Bolehkah wanita safar tanpa mahram rumaysho?

Secara bahasa, “safar” berarti menempuh sebuah perjalanan. Allah swt. telah menetapkan hukum-hukum safar serta mengabarkan kepada hamba-Nya tentang adab safar di dalam al-Quran dan sunnah Nabi saw. Dalam tinjauan syariat, safar adalah meninggalkan tempat tinggal dengan niat untuk menempuh perjalanan menuju tempat lain dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah swt. untuk meraih kemaslahatan dan hal-hal baik lainnya.

Akan tetapi mengenai perjalanan yang dianggap sebagai safar, para ulama masih berbeda pendapat. Kebanyakan dari ulama menentukan bahwa safar adalah perjalanan yang jaraknya lebih dari 85 km. Sedangkan beberapa ulama juga mengatakan, batasan perjalanan yang disebut dengan safar atau tidak, dikembalikan kepada kebiasaan atau adat masyarakat masing-masing. Menurut hemat penulis, safar itu difokuskan pada perjalanan dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah swt. untuk meraih kemaslahatan sesuai tujuan yang tersimpul dalam maqashid asy-syariah.

Memaknai Mahram Perempuan dalam Safar

Definisi mahram pada umumnya bagi muslimah adalah orang yang haram menikah dengannya, karena hubungan nasab, pernikahan, atau saudara susuan. Adapun penjelasan dari ketiganya adalah: pertama, mahram karena hubungan nasab, seperti anak laki-lakinya, saudara laki-lakinya, bapaknya, paman dari bapaknya, paman dari ibunya, kakeknya, anak saudara laki-lakinya (keponakannya), anak saudara perempuannya (keponakannya), sama saja baik saudara seayah saudara seayah atau seibu.

Kedua, mahram karena pernikahan, seperti suami putrinya (menantu), suami cucu dari putrinya (terus keturunannya ke bawah), putra suaminya (anak tiri), anak-anak dari putra suaminya, anak-anak dari putri suaminya (terus ke bawah), baik dari istri sebelum dia, sesudah dia atau bersamanya, ayah atau kakek suami (terus ke atas), baik dari pihak ayah suami atau ibu suami.

Ketiga, mahram karena susuan sama seperti mahram karena nasab berdasarkan sabda rasulullah saw., “penyusuan itu mengharamkan sebagaimana yang diharamkan karena nasab”. (HR. Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Mengenai syarat mahram yang menemani seorang perempuan menunaikan ibadah haji atau safar pada umumnya memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mahram dalam haji tidak semakna dengan mahram dalam pernikahan. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan mahram adalah orang yang haram menikahi perempuan itu secara terus-menerus dan tidak ada sesuatu sebab yang menghilangkan keharamannya. Mahram dalam ibadah haji memiliki cakupan yang lebih sempit, jadi lebih terkait pada hubungan keluarga dan satu keturunannya.

Perempuan, Safar, dan Mahram

Terkait dengan safar perempuan, karena dalil-dalil yang berhubungan dengan safar perempuan masih bersifat sangat umum, maka berpotensi menimbulkan berbagai penafsiran bahkan sering kali memicu perdebatan. Pada dasarnya hukum perempuan melakukan perjalanan atau (ber-safar) ramai-ramai seperti perjalanan menjalankan ibadah haji, bepergian untuk mencari nafkah ke negara lain atau menjadi seorang TKI, menghadiri seminar atau menyelesaikan studi di luar kota, sampai piknik, study tour, camping, dan bepergian lainnya tanpa disertai mahram adalah boleh atau mubah.

Syariat Islam hanya melarang umatnya melakukan pergaulan bebas atau perzinaan. Jika kita menilik Rasulullah saw. saat melakukan safat menyeberangi laut untuk peperangan, beliau selalu didampingi oleh sahabat. Sahabat yang dimaksud di sini tidak hanya laki-laki tetapi juga dari kalangan perempuan yang berani dan merelakan nyawanya untuk melindungi Rasulullah saw.

Baca Juga: Perjuangan Siti Walidah Mengangkat Derajat Perempuan

Saat itu, tugas perempuan adalah membantu logistik dan medis saat berperang. Kita tidak akan membicarakan tugas perempuan saat perang akan tetapi fokus pada perjalanan perempuan, artinya perempuan boleh melakukan safar tanpa pendampingan mahram; secara umum yang disebut dengan mahram disini adalah yang sudah disebutkan dalam definisi mahram di atas.

Memang ada satu hadis shahih yang sangat masyhur di kalangan ahli fiqih dan ahli hadis terkait safar pada umumnya. Rasulullah pernah melarang perempuan untuk bepergian lebih dari tiga hari tanpa pendampingan mahram.

لا تسافر المرأة ثلاثة أيام إلا مع ذي محرم

Artinya, “tidak diperbolehkan bagi perempuan untuk bepergian di atas tiga hari kecuali disertai mahramnya”.

Hadis inilah yang oleh banyak kalangan dijadikan dasar pelarangan muslimah untuk bepergian lebih dari tiga hari tanpa mahram. Namun bagi beberapa kalangan muslim lainnya, salah satunya adalah Yusuf al-Qardhawi, ia menuturkan hadis tersebut tidak dapat dipahami secara lafzhi (tekstual) melainkan harus dengan mempertimbangkan illat (alasan) pelarangannya. Satu alasan pelarangannya dalam hadis tersebut adalah tidak adanya jaminan keamanan dan dikhawatirkan terjadinya fitnah pada saat perjalanan itu dilakukan.

Jika ditinjau dari asbabul wurud hadis tersebut, saat itu seseorang yang ingin bepergian jauh maka dia harus melewati gurun pasir dan kebun kurma yang begitu luas sehingga banyak kemungkinan hal-hal buruk dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi bila tidak ditemani oleh mahram. Maka dari itu dapat dipahami, larangan bepergian bagi perempuan tidaklah bersifat mutlak tanpa illat (alasan).

Satu hal yang penting untuk diketahui suatu hukum sangat bergantung kepada illat-nya. Apabila illat itu tidak ada maka hukumnya juga terhapus atau tidak berlaku, sebagaimana perempuan bepergian bersama-sama dengan temannya yang lain dapat menghilangkan illat larangan tersebut, maka ketika itu agama tidak melarangnya atau membolehkan. Apalagi dalam konteks keindonesiaan saat ini, di mana transportasi dengan sangat mudah dan terjamin keamanannya, sehingga muslimah boleh bepergian selama syarat keamanan dan menjaga agama juga kehormatannya terpenuhi.

Haji Perempuan Tanpa Mahram

Dari Ibnu Abbas ra., dia berkata: Nabi saw. bersabda,

 لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا

Artinya, “janganlah perempuan safar (bepergian jauh) kecuali bersama dengan mahramnya, dan janganlah seorang (laki-laki) menemuinya melainkan perempuan itu disertai mahramnya. Maka seseorang berkata: “wahai Rasulullah saw., sesungguhnya aku ingin pergi mengikuti peran anu dan anu, sedangkan istriku ingin menunaikan ibadah haji.” Beliau bersabda: “keluarlah (pergilah berhaji) bersamanya (istrimu)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini yang menguatkan masalah mahram bagi perempuan dalam safar, sekaligus pelarangan perempuan safar tanpa mahram baik ketika menunaikan  ibadah haji maupun melakukan safar selainnya. Akan tetapi dalam riwayat lain, Nabi Muhammad saw. berkata bahwa kelak, pada suatu waktu tertentu, karena baiknya keamanan dalam perjalanan, akan terdapat seorang perempuan muslim yang pergi ke Mekkah dari wilayah yang sangat jauh untuk melakukan haji tanpa mahram.

Prediksi Rasulullah dalam hadis tersebut tentu relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana perempuan terjamin keamanannya baik dari aspek fisik juga hukum. Transportasi dengan sangat mudah didapatkan baik melalui jalur darat, laut, maupun udara. Bahkan beberapa armada sudah memisahkan penumpang laki-laki maupun perempuan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti pelecehan seksual dll.

Baca Juga: Khaulah binti Tsa’labah, Perempuan yang Mengadu kepada Tuhan

Perempuan juga mendapat jaminan hukum, karena Indonesia menerapkan Hukum Extrateritorial. Artinya, ke mana pun warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan perjalanan baik di dalam maupun di luar negeri, ketika mendapat perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi dari orang dalam maupun luar negeri maka akan mendapatkan bantuan hukum dari Indonesia. Sebagai contoh, perempuan yang menempuh jalur karir sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Jika para perempuan itu mendapat perlakuan yang tidak adil, mengalami kekerasan fisik dari majikan atau mandor, atau mengalami pelecehan seksual dan tindakan asusila lainnya tentu akan mendapatkan bantuan hukum.

Bahkan ketika masih berada di luar negeri, sepanjang sejak keberangkatan sesuai prosedur kebangsaan dan kenegaraan, pemerintah Indonesia akan menindak tegas kepada siapa saja yang berbuat asusila kepada warga negara Indonesia dan siapa saja yang merugikan negara juga warganya bahkan saat berada di mana pun dia. Dengan demikian keamanan sangat terjamin. Justru seharusnya yang perlu kita tekankan dengan memberikan edukasi kepada perempuan tentang bagaimana cara pelaporan yang benar dan melalui  kanal apa ketika hendak melaporkan terkait kejadian yang tidak diinginkan agar jaminan keamanan makin berpihak kepada perempuan.

Dalil-dalil Penguat Diperbolehkannya Perempuan Bepergian Tanpa Mahram

Terdapat beberapa dalil-dalil penguat yang dapat menjadi dasar diperbolehkannya perempuan bepergian tanpa mahram. Pertama, firman Allah saw, “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah” (Ali Imran [3]: 97). Dalam ayat ini, Allah Swt. menyebut kata “manusia” bukan salah satu gender, artinya tidak menyebut laki-laki saja atau perempuan. Jadi, siapapun di antara laki-laki maupun perempuan yang merasa mampu dan kuat dalam segi perbekalan maupun penjagaan diri maka sah saja melakukan ibadah haji sendirian.

Kedua, sabda Nabi saw., “janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah menuju ke masjid-masjid Allah”. Lalu mereka  berkata: “Masjidil Haram termasuk di antara masjid-masjid Allah dalam hadis tersebut”. Sehingga dapat diartikan bahwa Masjidil Haram termasuk di antara masjid-masjid Allah dalam hadis tersebut.

Ketiga, Umar ra., Rasulullah mengizinkan istri-istrinya  melaksanakan hajinya yang terakhir serta mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf ra. menemani mereka. Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari (Fathul Baari IV/72).

Keempat, sabda Nabi saw. kepada Adi bin Hatim ra.: “apabila engkau berumur panjang, maka engkau akan melihat seorang perempuan berpindah (safar) dari satu kampung sehingga ia berthawaf di Ka’bah dan dia tidak takut kepada seorang pun kecuali kepada Allah”. Ini adalah salah satu tanda di mana Islam itu berjalan dinamis, artinya sesuai dengan zaman dan konteks.

Dengan demikian, perempuan melakukan perjalanan, baik dalam rangka menunaikan ibadah haji, menjadi TKI, menghadiri seminar, menyelesaikan studi, dan perjalanan-perjalanan lain hukumnya mubah, meski tidak dalam pendampingan mahram selama syarat keamanan dan menjaga agama juga kehormatannya terpenuhi.

Apakah perempuan boleh safar tanpa mahram?

“Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya. Dan lelaki tidak boleh masuk ke rumahnya kecuali ada mahramnya”. Maka seorang sahabat berkata: “wahai Rasulullah, aku berniat untuk berangkat (jihad) perang ini dan itu, sedangkan istriku ingin berhaji”.

Berapa jarak safar bagi wanita?

“Batasan jarak safar yang membolehkan qashar adalah sekitar 80 km menurut jumhur ulama”(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 8/90). Pendapat kedua: 30 mil.

Bagaimana hukum safar?

"Safar (perjalanan) itu sepotong dari azab, yang salah seorang di antara kalian terhalangi dari makanan, minuman dan tidurnya. Oleh karena itu, jika salah seorang di antara kalian telah menunaikan keperluannya, hendaklah dia segera kembali kepada keluarganya.”