Buatlah sebuah analisis mengenai masalah utama yang memicu adanya perlawanan rakyat terhadap VOC

Hasrat VOC untuk menguasai perdagangan rempah di Nusantara selalu memicu konflik terhadap masyarakat di daerah yang dikunjunginya. Salah satu daerah yang kontra dengan kehadiran VOC adalah Gowa di Sulawesi Selatan yang diduduki oleh Kerajaan Gowa.

Kerajaan Gowa terletak di tengah-tengah lalu-lintas pelayaran dan perdagangan yang ramai antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Kerajaan ini menjadi pusat perhubungan antara Pulau Jawa, Pulau Kalimantan dengan Kepulauan Maluku yang menjadi surganya rempah-rempah. Faktor inilah yang membuat kongsi dagang Hindia-Belanda ini ingin menguasai dan memonopoli perdagangan di wilayah ini.

Namun untuk memonopoli perdagangan di Gowa pada abad 17, kongsi dagang yang memiliki nama lengkap Vereenigde Oostindische Compagnie ini sedikit tertatih-tatih. Kesulitan tersebut terjadi karena Kerajaan Gowa sedang dipimpin oleh seorang raja yang sangat menentang keras praktik monopoli perdagangan VOC.

Raja tersebut adalah Sultan Hasanuddin, raja ke-16 Kerajaan Gowa yang lahir pada 12 Januari 1631. Sebelum menjadi raja, nama asli beliau ialah I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah ia naik tahta, barulah ia bergelar Sultan Hasanuddin.

Sebelum Sultan Hasanuddin menduduki singgasana kerajaan, orang-orang Gowa sudah tidak suka dengan kehadiran bangsa Barat yang ingin menguasai rempah-rempah di perairan Sulawesi dan Maluku. Saat tampuk kerajaan dipegang olehnya, barulah perlawanan mulai terjadi.

Sultan Hasanuddin mengawali perlawanan dengan VOC pada tahun 1660. Di bawah komando Sultan Hasanuddin, pasukan Kerajaan Gowa yang terkenal dengan ketangguhan armada lautnya mulai mengumpulkan kekuatan bersama kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk menentang dan melawan VOC.

VOC yang melihat Kerajaan Gowa memperkuat pasukan tidak tinggal diam. VOC juga menjalin kerja sama dengan Kerajaan Bone yang sebelumnya memiliki hubungan kurang baik dengan Kerajaan Gowa. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh VOC untuk menghimpun kekuatan untuk menghancurkan Kerajaan Gowa. Namun, armada militer Kerajaan Gowa masih terlalu tangguh untuk dihancurkan VOC dan para sekutunya.

Pada 1663, pemimpin Kerajaan Bone yang bernama Arung Palakka melarikan diri ke Batavia untuk menghindari kejaran tentara Kerajaan Gowa. Di pusat pemerintahan Hindia-Belanda itu ia berlindung sekaligus meminta bantuan yang jauh lebih besar dari VOC untuk menghancurkan Kerajaan Gowa.

Setelah 3 tahun, pada 24 November tahun 1966 pun terjadi pergerakan besar-besaran yang dilakukan pasukan VOC di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Janszoon Speelman. Armada laut VOC meninggalkan pelabuhan Batavia menuju ke Sombaopu (ibukota Gowa).

Pada tanggal 19 Desember 1666 armada VOC yang kuat ini sampai di depan Sombaopu, ibukota dan sekaligus pelabuhan Kerajaan Gowa. Speelman mula-mula mau menggertak Sultan Hasanudin, namun karena Sultan Hasanuddin tidak gentar Speelman segera menyerukan tuntutan agar kerajaan Gowa membayar segala kerugian yang berhubungan dengan pembunuhan orang-orang Belanda oleh orang Makassar.

Karena peringatan dari VOC tidak diindahkan, Speelman mulai mengadakan tembakan meriam yang gencar terhadap kedudukan dan pertahanan orang-orang Gowa. Tembakan-tembakan meriam kapal-kapal VOC ini dibalas pula dengan dentuman-dentuman meriam yang gencar pula dilancarkan oleh pihak Kerajaan Gowa. Maka terjadilah tembak-menembak dan duel meriam yang seru antara kapal-kapal armada VOC dengan benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa.

Pertempuran hebat terus terjadi. Armada VOC diperkuat oleh pasukan Kerajaan Bone yang berada di bawah komando Arung Palakka. Akhirnya, setelah tak kuat menahan gempuran dari VOC dan pasukan Kerajaan Bone, Sultan Hasanuddin pun dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Perjanjian tersebut memukul telak Sultan Hasanuddin di mana ia harus mengakui monopoli VOC yang selama ini ia tentang. Selain itu, ia juga harus mengakui Arung Palakka menjadi Raja Bone. Wilayah Kerajaan Gowa pun dipersempit.

Akan tetapi, itu semua tidak serta-merta memadamkan semangat juang Sultan Hasanuddin beserta para pasukannya. Perlawanan-perlawanan masih terjadi pascaperjanjian, namun sayang tidak membuahkan hasil yang maksimal sehingga VOC masih mendominasi di wilayah Sulawesi Selatan.

Meski tak bisa mengusir bangsa Barat, hingga akhir hayatnya Sultan Hasanuddin masih bersikukuh tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Kegigihan tersebut dibawa sampai ia wafat pada 12 Juni 1670 di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Selama perlawanannya, Sultan Hasanuddin diberi julukan De Haantjes van Het Oosten yang berarti Ayam Jantan dari Timur karena semangat dan keberaniannya dalam menentang monopoli yang dilakukan VOC.

Pemerintah juga telah menetapkan Sultan Hasanuddin menjadi pahlawan nasional lewat Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/1973 sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan-perjuangan beliau dalam mempertahankan harga diri bangsa. Nama Sultan Hasanuddin pun digunakan menjadi nama universitas negeri (Universitas Hasanuddin) dan juga nama bandar udara di Makassar, Bandara Sultan Hasanuddin.

Baca Juga  Menilik 4 Sosok Perempuan Inspiratif Indonesia

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Referensi: Buku Sultan Hasanuddin Menentang VOC terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1975

Jakarta -

Perlawanan rakyat Maluku pada penjajahan tercatat sebagai salah satu perlawanan terhebat di negeri ini. Kawasan ini selalu menjadi incaran negara asing karena kekayaan rempah-rempah. Dua negara pernah mencoba menguasai kawasan ini, Portugis lalu kemudian Belanda.

Selain Maluku, perlawanan juga terjadi di beberapa daerah, seperti Jawa, Sumatera Barat, dan Aceh. Bentuk perlawanan tersebut dilakukan untuk mengusir penjajah dari Nusantara. Berikut ringkasan perjuangan perlawanan rakyat Maluku pada VOC Belanda yang dikutip dari berbagai sumber:

1. Latar Belakang

Latar belakang perlawanan rakyat Maluku mengusir bangsa Belanda karena adanya praktik monopoli dan sistem pelayaran Hongi yang membuat rakyat sengsara. Belanda melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi terutama rempah- rempah kepada VOC.

Kompeni juga melangsungkan sistem pelayaran Hongi (hongitochten). Dengan cara itu, para birokrat Kompeni dapat menginspeksi satu per satu pulau-pulau di Maluku yang bertujuan menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah. Kompeni juga punya hak ekstirpasi, yaitu hak memusnahkan pohon pala dan cengkeh jika harganya turun.

2. Perlawanan

Perlawanan rakyat Maluku muncul pada tahun 1635 di bawah pimpinan Kakiali, Kapitan Hitu. Saat Kakiali tewas terbunuh, perjuangannya dilanjutkan Kapitan Tulukabessy. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646. Sampai akhir abad ke-18 tak terdengar lagi perlawanan pada VOC.

Baru kemudian muncul nama Sultan Jamaluddin, dan Sultan Nuku dari Tidore. Namun VOC dengan cepat bisa memadamkan perlawanan itu. Lalu pada 1817 muncul tokoh dari di Pulau Saparua bernama Pattimura. Dalam aksi Pattimura itu, Benteng Duurstede berhasil dihancurkan oleh rakyat Maluku. Bahkan, Residen Belanda Van den Bergh terbunuh dalam peristiwa tersebut.

Tak sampai di situ, Belanda terus membawa pasukan dari Ambon hingga Jawa demi mengalahkan rakyat Maluku. Peristiwa ini menjalar ke kota lainnya di Maluku, seperti Ambon, Seram, dan pulau lainnya agar rakyat Maluku mundur.

Rakyat Maluku pun mundur karena kekurangan pasokan makanan. Demi menyelamatkan rakyat dari kelaparan, Thomas Mattulessia atau Patimurra menyerahkan diri dan dihukum mati.

3. Tokoh Perlawanan Rakyat Maluku

Ada dua tokoh yang terlibat dalam perlawanan tersebut, yakni Patimurra sebagai pemimpin perlawanan pertama dan pejuang perempuan Khristina Martha Tiahahu.

Khristina Martha Tiahahu diketahui menggantikan kepemimpinan Pattimura yang menyerahkan diri demi rakyat. Sayang, perjuangannya harus berhenti ketika ia dibawa ke pengasingan di Jawa dan meninggal dunia.

Kolonial pun semakin menerapkan kebijakan yang berat terhadap rakyat Maluku, terutama rakyat Saparua setelah perlawanan rakyat Maluku. Monopoli rempah-rempah kembali diberlakukan.

(pay/pal)

Setelah masuk ke Nusantara, Portugis secara berangsur-angsur menguasai Ternate. Setelah berhasil menguasai Malaka pada 1511, Bangsa Portugis melanjutkan perjalanan ke Maluku. Tujuan utamanya menguasai rempah-rempah di Ternate, Maluku. Awalnya, kedatangan Bangsa Portugis disambut hangat oleh raja dan rakyat Ternate. Bahkan Portugis diberi kesempatan mendirikan benteng dan hak monopoli perdagangan cengkeh. Keserakahan Portugis dan ketentuan harga cengkeh yang terlalu rendah membuat rakyat Ternate atau Maluku sengsara. Permusuhan antar keduanya pun tidak dapat dihindarkan. Akibatnya, Portugis harus memindahkan kegiatan dagang mereka ke Nusa Tenggara. Di samping itu, Portugis berusaha menyebarkan misi 3G (gold, glory, gospel) dimana dalam salah satu misi tersebut ada upaya menyebarkan agama Katolik (gospel) dengan cara paksa sehingga bertentangan dengan ajaran yang mereka anut, yaitu agama Islam.

Jadi, jawaban yang tepat adalah A.