Cacing adalah jenis binatang melata yang haram dikonsumsi karena

Ilustrasi [via animalia-life.club] Ilustrasi [via animalia-life.club]

Pernah kita mendapati seseorang melakukan jual beli ulat, cacing, atau semut untuk makanan burung? Fenomena ini jamak dijumpai di masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab atas kelangsungan hidup binatang piaraannya. Demi efisiensi, mereka yang malas atau kesulitan berburu sendiri ulat, cacing, atau semut itu lebih memilih untuk membelinya.

Kita tahu ketiga binatang itu haram dikonsumsi. Semut diharamkan karena terdapat hadits Nabi yang melarang membunuh serangga kelas insekta ini. Sementara cacing dan ulat dalam fiqih syafi’iyah haram pula dikonsumsi karena menjijikkan. Tidak ada persoalan hukum alias boleh ketika transaksi antara penjual dan pembeli adalah transaksi jual beli jasa. Artinya, orang yang butuh makanan burung sedang memberi upah berburu/menangkap kepada si pemilik cacing, ulat, atau semut. 

Namun fakta umum keseharian masyarakat tidak demikian. Si pembeli lazimnya dengan sadar berniat membeli, bukan sekadar mengganti ongkos [jasa] menangkap/berburu binatang-binatang tersebut. Begitu pun si penjual biasanya sedari awal memang tak bermaksud menjual jasa, melainkan cacing, ulat, atau semut sebagai mata pencaharian. Lalu bagaimana hukumnya ketika seseorang secara sengaja melakukan jual beli tiga binatang haram itu?

Persoalan ini pernah disinggung dalam Muktamar Ke-30 Nahdlatul Ulama pada tahun 1999. Saat itu muktamirin menyajikan jawaban bahwa terjadi khilafiyah [beda pendapat] di antara ulama. Pertama, mengharamkan karena dianggap hina. Kedua, sebagian ulama membolehkan karena dinilai ada unsur manfaatnya.

Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh mengungkapkan bahwa para ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan barang yang dijualbelikan harus suci [bukan najis atau bukan terkena najis]. Mereka memperbolehkan jualbeli barang-barang najis, seperti bulu babi dan kulit bangkai karena bisa dimanfaatkan. Kecuali barang yang terdapat larangan memperjual belikannya, seperti minuman keras, daging babi, bangkai dan darah, sebagaimana mereka juga memperbolehkan jual beli binatang buas dan najis yang bisa dimanfaatkan untuk dimakan. Ia menambahkan:

وَالضَّابِطُ عِنْدَهُمْ أَنَّ كُلَّ مَا فِيْهِ مَنْفَعَةٌ تَحِلُّ شَرْعًا فَإِنَّ بَيْعَهُ يَجُوْزُ لِأَنَّ اْلأَعْيَانَ خُلِقَتْ لِمَنْفَعَةِ اْلإِنْسَانِ

Artinya: “Dan parameternya menurut ulama Hanafiyah adalah, semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjual belikannya. Sebab, semua makhluk yang ada itu memang diciptakan untuk kemanfaatan manusia.” [Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, [Damaskus: Dar al-Fikr, 1989], Jilid IV, 181-182]

Dasar lain yang menjadi acuan adalah keterangan dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Dalam kitab ini Abdurrahman al-Juzairi mengatakan:

وَكَذلِكَ يَصِحُّ بَيْعُ الْحَشَرَاتِ وَالْهَوَامِ كَالْحَيَّاتِ وَالْعَقَارِبِ إِذَا كَانَ يُنْتَفَعُ بِهَا. وَالضَّابِطُ في ذلِكَ أَنَّ كُلَّ مَا فِيْهِ مَنْفَعَةٌ تَحِلُّ شَرْعًا فَإِنَّ بَيْعَهُ يَجُوْزُ 

Artinya: “Dan begitu pula sah jual beli serangga dan binatang melata, seperti ular dan kelajengking ketika bermanfaat. Dan parameternya menurut mereka [ulama Hanafiyah] dalam hal itu adalah semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjualbelikannya. Sebab, semua benda itu diciptakan untuk kemanfaatan manusia.” [Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, [Beirut: Dar al-Fikr, 1996], Jilid I, h. 382]

Keputusan muktamar tersebut tidak memberikan penjelasan lebih rinci tentang mana pendapat yang lebih kuat, seolah membuka kelonggaran kepada tiap orang untuk memilih pendapat yang diyakininya. Jika memilih pendapat yang kedua maka asas manfaat harus benar-benar ada, bukan untuk hal sia-sia atau merugikan. Wallahu a’lam. [Mahbib]

Kisah-Kisah Nabi Isa

Kami mencoba membahas hukum berobat dengan ekstrak cacing dan memaparkan beberapa pendapat ulama. Dalam masalah fikih perlu berlapang-lapang, saling menghormati pendapat orang lain selama mereka punya hujjah juga dengan penjelasan ulama yang diakui keilmuannya. Kami batasi hanya hukum berobat saja, karena ada hukum lainnya yang terkait yaitu hukum membudidayakan dan menjualnya untuk keperluan lainnya seperti makanan ternak/pakan hewan dan lain-lain

Cacing termasuk hasyarat

Dalam syariat dikenal istilah hewan hasyarat yaitu hewan-hewan melata kecil yang berada di muka bumi dan cacing termasuk dalam hal ini. Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith dijelaskan pengertian hasyarat,

[ الحشرة ] الهامة من هوام الأرض كالخنافس والعقارب والدابة الصغيرة من دواب الأرض كالفئران والضباب و كل كائن يقطع في خلقه ثلاثة أطوار [ يكون بيضة فدودة ففراشة ]

“Hasyarat adalah binatang kecil berupa serangga bumi seperti kumbang , kalajengking, melata kecil semisal tikus, kadal/cicak serta semua binantang yang memiliki tiga fase: telur, ulat dan kupu-kupu]”1

Cacing termasuk dalam hasyarat yaitu binatang kecil yang ada di bumi, karenanya sebagian ulama menjelaskan cacing termasuk hasyarat. Ibnu Hazm berkata,

لا يحل أكل الحلزون البري، ‏ولاشيء من الحشرات كلها كالوزغ، والخنافس، والنمل، والنحل، والذباب، والدبر، ‏والدود كله

“Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis hasyarat, seperti: cicak [masuk juga tokek], kumbang, semut, lebah, lalat, dan semua jenis cacing”2

Hukum memakan cacing

Mengenai hukum memakan hasyarat, para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:

1. Pendapat yang mengharamkan

Salah satu ulama madzhab Syafi’iyah [mayoritas Indonesia] menghukumi haram makan hasyarat. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

في مذاهب العلماء في حشرات الأرض كالحيات والعقارب والجعلان وبنات وردان والفأرة ونحوها : مذهبنا أنها حرام

“Dalam mazhab ulama Syafi’iyah, hasyaraat bumi [mengenai binatang-binatang kecil ] seperti ular, kalajengking, kumbang/serangga, tikus dan lain-lain, hukumnya adalah haram.”3

Demikian juga pendapat jumhur ulama, dalil mereka:

  1. Allah mengharamkan apa yang buruk/khabaits dan hasyarat termasuk dalam hal ini. Allah Ta’ala berfirman,

    وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

    “Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” [Al A’raf:157].

    الحشرات من الخبائث تستبعدها الطباع السليمة ،وغير مستطابة

    “Binatang-binatang kecil [hasyaraat] termasuk dari khabaits yang dianggap jelek oleh tabiat manusia dan dianggap suatu yang tidak baik [jika dimakan].”4

  2. Hasyarat tidak mempunyai cara untuk disembelih agar menjadi halal atau cara untuk membuatnya halal. Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

    لا يحل أكل الحلزون البري، ‏ولاشيء من الحشرات كلها كالوزغ، والخنافس، والنمل، والنحل، والذباب، والدبر، ‏والدود كله -طيارة وغير طيارة- والقمل، والبراغيث، والبق، والبعوض وكل ما كان من ‏أنواعها لقول الله تعالى: [ حرمت عليكم الميتة ] وقوله تعالى: [ إلا ما ذكيتم] وقد صح ‏البرهان على أن الذكاة في المقدور عليه لا تكون إلا في الحلق أو الصدر، فما لم يقدر فيه ‏على ذكاة فلا سبيل إلى أكله فهو حرام لامتناع أكله، إلا ميتة غير مذكى

    “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis hasyarat, seperti: cicak [masuk juga tokek], kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk, dan yang sejenis dengan mereka. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’i kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih [misalnya ikan dan belalang yang halal bangkainya]”.5

2. Pendapat yang membolehkan

Yaitu dari para ulama madzhab Malikiyah, dengan alasan:

  1. Hukum asal makanan adalah halal. Selama tidak membahayakan maka hasyarat halal dengan syarat dimatikan terlebih dahulu.

    حِلُّ أصنافها كلها لمن لا تضره. وإليه ذهب المالكية. لكنهم اشترطوا في الحل ‏تذكيتها

    “Pendapat yang membolehkan makan hasyaraat semuanya, asalkan tidak membahayakan. Ini adalah pendapat ulama Malikiyah. Akan tetapi mereka mempersyaratkan halalnya dengan cara disembelih/dimatikan.”6

  2. Terdapat hadits dari Milqab bin Talibb dari ayahnya, bahwa tidak ada pengharaman hasyaraat

    صَحِبْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم فَلَمْ أَسْمَعْ لِحَشَرَةِ الأَرْضِ تَحْرِيمًا

    “Aku menemai Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, aku tidak pernah mendengar haramnya hasyaraat bumi.”7
    Akan tetapi hadits ini dhaif [lemah]. Seandainya shahih pun, maka tidak menutup kemungkinan yang lain pernah mendengarkannya mengenai keharamannya.

Kesimpulan

  1. Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum memakan hasyarat
  2. Dalam hal berobat dengan yaitu dengan mengkonsumsi/meminum ekstrak cacing, maka kami memilih pendapat jumhur ulama dan madzhab Syafi’iyah yaitu haram. Dengan pertimbangan:
    1. Masih ada metode lainnya untuk berobat selain dengan ekstrak cacing
    2. Lebih berhati-hati agar terlepas dari perselisihan pendapat ulama
  3. Silahkan saja jika ada yang ingin memilih pendapat ulama lainnya seperti pendapat ulama Malikiyah yang membolehkan makan hasyarat, terlebih jika di daerah itu metode ekstrak cacing adalah satu-satunya obat untuk penyakit tersebut. Demikian juga MUI mengeluarkan fatwa bolehnya budidaya cacing dan menjadikan sebagai obat dengan memilih pendapat yang membolehkan8
  4. Perlu diketahui salah satu yang menjadi perselisihan dalam pembahasan hasyarat adalah mengenai “anggapan khabist/jelek”, penilaian khabits bisa berbeda-beda setiap orang. Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa semua hasyaraat khabaits haram kecuali yang dikecualikan oleh dalil. Beliau berkata,

    أكلُ الخبائثِ، وأكلُ الحيَّاتِ والعقاربِ حرامٌ بإجماعِ المسلمينَ

    “Memakan khabaits, ular dan kalajengking diharamkan dengan Ijma’ kaum muslimin.”9

  5. Sekali lagi ini adalah masalah fikih yang kita perlu berlapang-lapang dan menghormati pendapat orang lain selama mereka punya hujjah juga dengan penjelasan ulama yang diakui keilmuannya, jangan sampai bermusuhan dan berpecah belah.

Demikian semoga bermanfaat.

***

@Laboratorium RS Manambai, Sumbawa Besar – Sabalong Samalewa

Penulis: dr. Raehanul Bahraen

Artikel Muslim.or.id

____

1 Al-Mu’jam Al-Wasith 1/175, syamilah

2 Lihat Al-Muhalla: 7/405

3 Al-Majmu’ 9/17-18

4 Tafsirul Manar 8/145

5 Lihat Al-Muhalla: 7/405

6 Sumber: //fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=8361

7 HR. Abu Dawud dan didhaifkan oleh syaikh Al-Albani dalam Dhaif Sunan Abi Dawud

8 Silahkan lihat di: //halalmui.org/images/stories/Fatwa/cacing%20dan%20jangkrik.pdf

9 Majmu’ Fatawa 11/609

🔍 Jalan Lurus Menuju Surga, Dalil Dosa Besar, Hadist Hasan, Apa Itu Beriman, Hadis Hadis Shahih

Tags: berobat dengan cacingcacinghasyaratkesehatan

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề