Contoh kasus berita mengenai perlindungan tenaga kerja

Siaran Pers Nomor: B-050/SETMEN/HM.02.04/03/2021


Jakarta [8/03] – Beredarnya video yang viral di media sosial menunjukkan dugaan kekerasan di lingkungan pabrik yang dilakukan oleh tenaga kerja asing [TKA] asal Korea terhadap pekerja perempuan lokal, membuat geram banyak pihak. Kejadian tersebut terjadi di PT. Taekwang, Subang, Provinsi Jawa Barat pada Kamis, 4 Maret 2021. Insiden terjadi saat dilakukannya patroli protokol kesehatan dan penegakan disiplin terhadap peraturan perusahaan mengenai larangan makan di tempat kerja oleh salah satu Tenaga Kerja Asing [TKA].

Menanggapi pada video viral tersebut, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak [Kemen PPPA], Vennetia R. Danes sangat menyesalkan terjadinya tindak kekerasan fisik dan verbal terhadap pekerja perempuan tersebut. 

“Kekerasan fisik dan verbal terhadap pekerja perempuan tidak boleh dilakukan dengan alasan apapun, terutama di lingkungan kerja. Saat ini, kami telah dan terus melakukan koordinasi untuk mendapatkan informasi terkini terkait kasus kekerasan ini dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Bencana [P3AKB] Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Subang. Kami juga akan terus memantau dan memastikan korban dalam kondisi aman, serta memberikan pendampingan psikologis atas traumatik atau pelayanan kesehatan lainnya sebagai dampak atas insiden kekerasan yang dialami oleh korban,” ungkap Vennetia. 

Vennetia menegaskan tercantum dengan jelas bahwa perlindungan atas hak-hak pekerja perempuan menjadi prioritas dan pelanggaran atas hak pekerja yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dapat di toleransi, terlebih jika kasus tersebut terkait kasus kekerasan fisik atau kasus kekerasan berbasis gender.

“Kami menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya dan menyambut baik upaya penegakan hukum terhadap pelaku. Dari hasil koordinasi kami dengan Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi [Disnakertrans] Provinsi Jawa Barat, telah membenarkan bahwa manajemen perusahaan PT. Taekwang telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja [PHK] terhadap TKA tersebut. Disnakertrans Provinsi Jawa Barat juga akan mengeluarkan surat resmi yang sedang diproses untuk disampaikan kepada Gubernur Provinsi Jawa Barat dan Kementerian Ketenagakerjaan yang segera di release dan disampaikan  kepada kami. Memberikan efek jera sebagai konsekuensi atas perlakuan tindakan kekerasan yang menimpa perempuan pekerja tersebut merupakan langkah tepat yang diambil oleh perusahaan. Besar harapan agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi, sebab pekerja perempuan harus mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan utamanya dilingkungan kerja,” ujar Vennetia. 

BIRO HUKUM DAN HUMAS KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN  DAN PERLINDUNGAN ANAK Telp.& Fax [021] 3448510 e-mail :

website : www.kemenpppa.go.id

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia

Kamis, 05 Jan 2017 18:39 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Solidaritas Perempuan mengungkapkan, ada 66 laporan kasus kekerasan dan pelanggaran hak pada perempuan buruh migran sepanjang tahun 2016. Dari jumlah tersebut, laporan didominasi persoalan gaji yang tak pernah dibayar hingga trafficking.Koordinator Penanganan Kasus Solidaritas Perempuan Nisaa Yura mengatakan, kekerasan maupun pelanggaran hak yang diterima perempuan buruh migran, khususnya Pembantu Rumah Tangga [PRT] terjadi lantaran minim perlindungan dari pemerintah Indonesia."Indonesia selama ini menuntut negara tujuan untuk melindungi. Tapi Indonesia sendiri tidak punya bentuk perlindungan yang spesifik," ujar Nisaa di Kantor Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Jakarta, Kamis [5/1].

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Status PRT, kata Nisaa, belum diakui sebagai sebuah pekerjaan layaknya jenis pekerjaan lain. Hal ini membuat hak-hak ketenagakerjaan PRT terus dilanggar dan sulit mendapat keadilan.Pelatihan yang diberikan perusahaan penyalur tenaga kerja selama juga dinilai tak efektif bagi PRT tersebut. Menurut Nisaa, para PRT hanya diajarkan hal-hal teknis terkait pekerjaan namun tak dijelaskan hak-hak ketenagakerjaan mereka."Harusnya ada informasi soal hak tenaga kerja selama mereka ikut pelatihan. Selama ini pelatihan hanya soal rumah tangga," katanya.Tak heran, lanjut Nisaa, ada perbedaan cukup signifikan soal pengetahuan hak tenaga kerja PRT di Arab Saudi dengan mereka yang bekerja di Hong Kong.Nisaa berkata, para majikan di Arab Saudi umumnya membatasi akses keluar rumah bagi PRT mereka. Sedangkan di Hong Kong para PRT lebih dimudahkan karena masih boleh keluar dari rumah dan berkumpul dengan rekan sesama PRT."Sehingga pemahaman mereka soal hak tenaga kerja ini muncul dari kumpul-kumpul itu," terangnya.Sementara itu, moratorium pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dianggap tak efektif. Moratorium tersebut dinilai hanya menjadi penyelesaian instan yang ingin dilakukan pemerintah.Selain itu, kebijakan ini juga bertentangan dengan Konvensi Migran 90 pasal 8 ayat 1 yang menyebutkan, para pekerja migran dan anggota keluarganya harus bebas meninggalkan negara mana pun termasuk negara asalnya.Apalagi belum semua calon perempuan buruh migran memahami soal moratorium tersebut. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan sejumlah pihak untuk menyalurkan para calon perempuan buruh migran itu ke luar negeri secara ilegal.Pihaknya menemukan peningkatan jumlah kasus penempatan buruh migran yang tidak melalui jalur resmi. Para calonperempuan buruh migran perempuan ini pun bersedia dengan alasan himpitan ekonomi dan sempitnya lapangan pekerjaan di tempat kelahiran mereka."Negara tidak mampu menjamin kesejahteraan. Jadi wajar mereka bekerja sebagai PRT di luar negeri," tutur Nisaa.Sementara itu sejumlah alasan menjadi pemicu para perempuan memilih mengadu nasib sebagai PRT di luar negeri. Anggota Solidaritas Perempuan, Andriyeni, mengatakan, banyak perempuan buruh migran yang bekerja sebagai PRT untuk membantu kondisi keuangan keluarga. Alih-alih mendapatkan penghasilan, para PRT mesti rela tak digaji hingga berbulan-bulan.Ia menyebutkan, ada seorang PRT asal Karawang yang tak digaji hingga disiksa secara fisik saat bekerja di Arab Saudi. Bahkan ketika kembali ke Indonesia, PRT itu harus pulang tanpa uang dengan kondisi mata buta sebelah."Setelah berjuang lima tahun akhirnya dia dapat gaji dengan bantuan mediasi dari Kementerian Tenaga Kerja," tuturnya.

Penyalur jasa tenaga kerja, lanjutnya, tak jarang melakukan kecurangan pada perempuan buruh migran ini. Hal ini membuat perempuan buruh migran terjebak dalam trafficking.

Hal ini dimulai dari manipulasi visa, perpanjangan kontrak, pemalsuan identitas, penyekapan, pemotongan gaji, hingga penipuan yang berujung pada eksploitasi perempuan buruh migran.Andriyeni menyayangkan lambatnya respons dari pemerintah terkait permasalahan ini. Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru minim perlindungan dan mendiskriminasi hak asasi para perempuan buruh migran.

Pemerintah, kata dia, mesti memperbaiki mekanisme penanganan kasus buruh migran dengan sistem satu atap. "Kami mesti mendesak terus supaya instansi bisa maksimal beri perlindungan," ucapnya. [rdk/rdk]

LIVE REPORT

LIHAT SELENGKAPNYA

Sumber gambar, Por Cheng Han

Keterangan gambar,

Kondisi Adelina saat dijemput polisi pada tanggal 10 Februari lalu.

Adelina, seorang TKI yang meninggal di Penang akibat kurang gizi dan luka-luka yang diduga disebabkan aksi kekerasan majikan, membuat 'marah bangsa', kata anggota parlemen Malaysia.

Steven Sim Chee Kong, anggota parlemen di Bukit Mertajam menemui Adelina pada Sabtu [10/02] lalu setelah mendapat pengaduan dari tetangga yang melihat tenaga kerja asal Nusa Tenggara Timur ini mengalami luka-luka parah termasuk di tangan.

Adelina meninggal di rumah sakit pada keesokan harinya, Minggu [11/02]. Kepolisian Malaysia telah menahan tiga tersangka atas meninggalnya tenaga kerja Indonesia yang telah bekerja di negara tetangga ini sejak 2014.

"Kematian Adelina menyebabkan orang Malaysia marah, marah kepada majikan karena Adelina diperbuat [diperlakukan] sedemikian," kata Steven kepada wartawan BBC Indonesia, Endang Nurdin.

Lalu Muhamad Iqbal, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, mengatakan belum ada kesimpulan final dari dokter forensik.

Namun, menurutnya, "salah satu penyebab yang ditemukan adalah Adelina mengalami malnutrisi satu bulan terakhir, ada luka... kemungkinan bekas gigitan binatang."

Steven Sim mengatakan saat bertemu kondisi Adelina lemah dengan luka parah di tangannya.

Adelina sempat menuturkan bahwa selama sebulan terakhir dia dipaksa tidur di luar rumah bersama anjing peliharaan majikan, tak diberi makan, dan mengalami penganiayaan.

Perlindungan pekerja domestik di Malaysia

Sumber gambar, Migrant Care

Keterangan gambar,

Luka-luka yang diderita Adelina.

Steven Sim menyerukan agar pemerintah Malaysia dan juga Indonesia memperkuat perundang-undangan agar pekerja mendapatkan perlindungan.

Lalu Muhamad Iqbal mengatakan dalam dua tahun terakhir ini tidak ada payung hukum antara dua negara menyangkut pekerja domestik karena sudah berakhirnya Memorandum of Understanding [MoU] pada 2016.

"Kita sudah sampaikan keinginan kita untuk membuat sebuah MoU yang baru sama sekali, bukan perpanjangan dari yang lama tapi belum mendapatkan respons dari Malaysia hingga saat ini. Kita harap ini bisa menjadi momentum untuk Malaysia untuk mendorong pembahasan MoU tersebut," kata Lalu.

Perjanjian kerja sama ini juga diperlukan bagi "majikan untuk memastikan apa yang mereka bayar untuk pekerja domestik dengan nilai uang seperti yang mereka harapkan," tambahnya.

Lalu juga mengatakan "Malaysia juga perlu melakukan penguatan di sektor regulasi ini, harapan kita supaya bisa mengakomodir fenomena yang muncul belakangan khususnya perdagangan manusia."

Sumber gambar, Por Cheng Han

Keterangan gambar,

Adelina tidur di beranda bersama anjing peliharaan majikannya.

BBC Indonesia telah menghubungi Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia yang mengatakan tidak akan memberikan pernyataan karena kasus ini dalam penyelidikan polisi.

Saat ini terdapat sekitar 2,5 juta WNI yang bekerja di Malaysia dan 50% di antaranya ilegal.

Glorene Das, direktur Tenaganita, organisasi hak asasi manusia di Kuala Lumpur yang menangani pekerja migran menyatakan kekerasan ini antara lain akibat istilah "pembantu rumah tangga" dalam hukum Malaysia.

"Ini terjadi karena akta [hukum] untuk pembantu atau pekerja rumah tangga tidak memadai untuk melindungi mereka. Sekarang ini, ada istilah pembantu atau budak. Istilah yang terdapat di hukum Malaysia ini...menciptakan pemikiran bahwa ada majikan dan budak," kata Glorene.

Tim Tenaganita juga sempat menjumpai Adelina, yang dijemput di rumah majikannya bersama polisi.

"Kondisinya begitu parah dan dia takut memberitahu apa yang terjadi terhadap dirinya, parah terutama karena luka-luka yang dia derita...[Saat ditanya], dia tak mau menjawab, dan kelihatan takut," tambahnya.

Wahyu Susilo dari organisasi pekerja migran, Migrant CARE, mengatakan, "Kematian Adelina memperpanjang daftar kematian buruh migran Indonesia asal NTT yang ditahun 2017 mencapai 62 orang."

Wahyu juga menyatakan perlu ada "pengusutan dugaan bahwa Adelina adalah korban perdagangan manusia."

Kasus "terburuk" penganiayaan tenaga kerja Indonesia adalah yang dialami Nirmala Bonat pada 2004. Penyiksaan yang dilakukan majikannya membuat dia mengalami trauma berat.

Saat persidangan pada 2014, Nirmala antara lain mengatakan majikannya meletakkan setrika panas di payudaranya.

"Saya menderita kesakitan yang sangat parah. Saya tak bisa mandi atau tidur karena sakitnya tak tertahankan," kata Nirmala.

Pengadilan Tinggi Malaysia pada 2015 mengabulkan gugatan Nirmala terhadap majikannya, Yim Pek Ha, dan suaminya, Hii Ik Ting, untuk membayar ganti rugi sekitar Rp1,1 miliar.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề