Contoh pengendalian diri yang disebut khanti samvara adalah

Kalian tentu pernah mendengar seseorang yang memiliki alat kelamin laki-laki tetapi berperilaku seperti perempuan. Kemudian, orang tersebut menjalani … operasi ganti kelamin. Bagaimana komentar kalian terhadap masalah tersebut ditinjau dari sudut pandang keimanan kepada takdir Allah Swt.? bantu sangat penting yang panjang 1 lembar kertas folio​

bahasa Arab ruang tamu,ruang keluarga,dapur,kamar,ruang belajar, kamar mandi... untuk besok​

Kalau mengenakan pakaian kaos biasa untuk sholat di masjid apakah tidak apa-apa?​

bantu dong cuy.......​

bantu dong cuy........​

bantu dong cuy.........​

1. Sebutkan 15 adab akhlak terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala 2. Sebutkan 15 adab akhlak terhadap Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam

Fiil mudlori dari lafadz masjidu

Sebutkan 5 dhomir beserta ciri-cirinya!

Jelaskan peristiwa datangnya Jibril di hadapan Nabi Muhammad Saw.!​

Mengapa dalam Islam seorang mujtahid harus memenuhi semua syarat mutlak yang telah ditentukan dalam Islam untuk mengeluarkan sebuah hukum​

bantu jawab please... yang bantuin aku follow aku jadiin jawaban tercerdas besok di kumpulkan [༎ຶ ෴ ༎ຶ][༎ຶ ෴ ༎ຶ][༎ຶ ෴ ༎ຶ]​

pengertian komersial dan non komersial beserta contohnya masing masing ​

membuat percakapan bahasa jepang 2 orang,menanyakan nama dan letak benda​

Tulisen nganggo aksara jawa! Yen temen temen maca lan nulis jawa iku ora angel. ​

Tulisen nganggo aksara jawa! Yen temen temen maca lan nulis jawa iku ora angel. ​

hai kak aku mau nanya aku kan umur 11 tahun ceritanya gini ak kan haid pas hari 1-3 darah nya keluar dikit nah hr ini ak dah lebih dari 7 hari haid ny … a hr ni HR ke 9 and darah nya deres ga biasanya sederes itu, itu normal ga di kak?...dan kl lebih dr 7 HR biasanya sampe berapa hari?..​

sebutkan dan jelaskan contoh dari pemuaiantolong di jawab ya​

buatkan 2 contoh literasi buku fiksi​

soal nahwu kelas 7tolong nomor 5 aja..​

1.      Pengendalian Diri

Pada dasar dasarnya setiap manusia pasti selalu mempunyai keinginan untuk dapat memiliki perilaku yang baik, tetapi dalam kenyataannya untuk mencapai tujuan mulia itu tidaklah mudah. Untuk mencapai tujuan yang dinginkan tersebut, diperlukan niat, usaha, pemahaman dan kemampuan untuk dapat berlatih menjaga tingkah laku dengan baik. Seseorang yang dapat menjaga  dan mengawasi tingkah lakunya dengan baik akan selalu dihormati dan disegani oleh semua orang, karena mempunyai perilaku yang baik akan membawa berkah untuk dirinya sendiri.

Dalam Maha Maṅgala Sutta, bagian dari Digha Nikaya, Sang Buddha bersabda: “Perpengetahuan luas, berketerampilan, terlatih baik dalam tata susila dan bertutur kata dengan baik, itulah berkah utama [Tim Penterjemah, 1997: 18-25].

Menurut Sapardi, menjelaskan bahwa: pengendalian diri dengan melaksanakan moral [sila] dan melaksanakan kebajikan-kebajikan sebagai

dasar untuk dapat terlahir kembali di alam yang membahagiakan, termasuk di alam manusia. Terlahir sebagai manusia merupakan hasil dari perbuatan baik dari perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan pada masa kehidupan sebelumnya [Sapardi, 2006: 78].

Berkenaan dengan  perbuatan dan kehidupan manusia, Sang Buddha bersabda dalam Dhammapada XII: 165 yang bunyinya sebagai berikut:

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan tak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri, tak seorangpun yang dapat mensucikan orang lain [Attanā va kataṁ pāpaṁ attanā saṁkilissati,attanā akataṁ pāpaṁ attanāva visujjhati suddhi asuddhi paccattaṁ, nāñño aññaṁ vidodhaye] [Tim Penterjemah, 2005: 70].

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka yang bertingkah laku dengan baik, selalu sopan dalam berkata-kata, pintar dan memiliki keterampilan yang tinggi maka dalam hidupnya akan selalu berhasil karena segala tingkah lakunya terkendali. Untuk dapat menjaga semua tingkah laku dengan baik maka diperlukan suatu usaha yang keras untuk dapat berlatih dengan baik dalam tata susila. Dalam hal inilah sangat diperlukan pengendalian diri untuk dapat mewujudkan perilaku yang baik dan benar.

a.        Pengertian Pengendalian Diri

Pengendalian diri merupakan gabungan dari kata pengendalian dan diri. Ditinjau dari kata dasarnya, pengendalian berasal dari kata dasar kendali, yang mendapat konfiks pe-an. Menurut Poewardaminta menyebutkan bahwa: kendali berarti, “tali kekang” [Poewardaminta, 2007: 543]. Kata Kendali juga dapat diartikan sebagai berikut:

Mengendalikan yang artinya memegang kendali, menguasai kendali, memegang pimpinan, mengelola, memerintah, mengekang dan menahan. Sedangkan kata pengendalian dapat diartikan sebagai “Proses, cara, perbuatan pengendalian, pengekangan, pengawasan atas kemajuan dengan membandingkan hasil dan sasaran secara teratur yang menyesuaikan usaha [kegiatan] dengan hasil pengawasan” [Poewardaminta, 2005: 450].

Kata pengendalian identik dengan kesadaran. Menurut pendapat Poewardaminta, kesadaran berarti keadaan yang mengetahui, mengerti dan keinsafan akan diri sendiri” [Poewardaminta, 2007: 976]. Dalam Ilmu Psikologi, kesadaran seseorang dikatakan sebagai sesuatu yang selalu berubah-ubah sepanjang waktu dan dapat mempunyai bentuk yang bermacam-macam [Rita L. Atkinsan, 1996: 250]. Menurut Poewardaminta, diri berarti “badan, orang seorang secara pribadi, tidak dengan yang lain” [Poewardaminta, 2007: 268].

Berdasarkan arti dari masing-masing kata penyusunnya, bila dipadukan akan didapatkan pengertian pengendalian diri yaitu suatu proses atau cara pengendalian perbuatan badan yang dilakukan oleh diri sendiri melaui pikiran ucapan dan perbuatan.

Dalam Bahasa Inggris pengendalian diri disebut dengan self control. Dalam kamus Oxford dituliskan, “control of ones own feelings, behaviour” [Tim Penyusun, 2006: 373]. Yang dapat diterjemahkan sebagai pengendalian diri dari masing-masing prilaku. Maksudnya adalah bahwa untuk mengendalikan diri sendiri tidak dapat dilakukan oleh orang lain, tetapi hanya diri sendirilah yang dapat mengatasi tindakan yang sedang dilakukan. 

Seperti yang telah dijelaskan di atas, menurut pendapat S. Momink yang menyebutkan bahwa:

Orang bijak yang mampu mengendalikan perbuatan, mengendalikan ucapan, orang bijak yang mampu mengendalikan pikiran telah mengendalikan diri sendiri dengan sempurna [The wise who control their body who control their tongue the wise who control their mind are truly well controlled] [S. Momink, 2007: 50-51].

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Sang Buddha juga pernah bersabda dalam Dhammapada XVII: 17: 14 yang dikutip oleh Surya Widya sebagai berikut:

Orang bijaksana mengendalikan perbuatan melalui badan jasmani, mereka juga mengendalikan perbuatan melalui ucapan, mereka juga mengendalikan pikiran dengan baik, mereka yang menjaga dengan baik ketiga pintu, badan jasmani, ucapan dan pikiran, benar-benar telah mengendalikan diri dengan sepenuhnya [Kāyena saṁvutā dhīra atho vācāya samvutā manasā samvutā dhīrā te ve suparisaṁvutā [Surya Widya, 2001: 95].

Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa pikiran adalah yang mengawali segala tindakan yang dilakukan, jika pikiran kita baik maka perbuatan yang tercermin juga akan baik, tetapi jika pikiran kita buruk maka perbuatan yang tercermin juga akan buruk. Seseorang harus dapat mengendalikan pikirannya dari hal-hal yang buruk. Jika pikiran dapat terkendali maka kita dapat mengontrol semua tindakan-tindakan yang akan kita lakukan.

Menurut Khotbah Dhamma Y. M. Bhante Panna Vattho Thera dijelaskan bahwa: dengan kesabaran kita selalu berlatih memunculkan kewaspadaan, dengan kewaspadaan dan perhatian kita akan dapat mengenali apapun yang ada di sekeliling kita, lalu kita dapat mengenali, mengerti dan paham dengan apapun yang benar [Bhante Panna, 2003: 26].

Mengenai hal menumbuhkan kewaspadaan dalam Dhammapada II: 21, Sang Buddha bersabda sebagai berikut:

Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan; kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati [Appamādo amatapadaṁ pamādo maccuno padaṁ appamattā na mīyanti ye pamattā yathā matā] [Tim Penterjemah, 2005: 11].

Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki kewaspadaan yang baik akan dapat melindungi dirinya sendiri dari bahaya sehingga dapat menuju ke keadaan yang abadi yang tidak akan dilahirkan lagi. Kewaspadaan sangat penting dimiliki oleh setiap orang agar dalam melakukan segala aktivitas dapat dikerjakan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan.

Dalam agama Buddha pengendalian diri sering disebut dengan Samvara dapat diartikan sebagai mawas diri, mengetahui diri kita, mengarahkan dan mengendalikan diri kita untuk menuju kebahagiaan atau kedamaian.

Menurut pendapat Dody Herwidanto, dijelaskan bahwa: “Secara harfiah, istilah samvara berarti menutup atau menyumbat sesuatu aliran. Arti yang dibawakan di sini adalah menutup atau menyumbat aliran pikiran-pikiran tidak baik atau jahat dengan cara lima macam praktek yaitu moral [sila], perhatian [sati], pengetahuan [nana], kesabaran [khanti] dan semangat [viriya] samvara [Dody Herwidanto, 1988: 130].

Menurut pendapat penulis, pengendalian diri dalam agama Buddha dapat diartikan sebagai cara seseorang untuk menumbuhkan kesabaran dan kewaspadaan dengan mengikis pikiran-pikiran yang tidak baik. Dengan kesabaran, seseorang dapat meraih kebahagiaan, kesuksesan dalam meraih cita-cita sehingga dapat menjalani kehidupan yang sejahtera. Sedangkan memiliki kewaspadaan akan menjadikan seseorang lebih teliti dan berhati-hati dalam mengambil setiap keputusan yang berkenaan dengan dirinya sehingga dapat mengontrol diri sendiri dan terhindar dari masalah. Pengendalian diri adalah suatu proses atau cara seseorang untuk dapat menahan dan mengendalikan segala tindakan yang dilakukan baik melalui pikiran, ucapan dan perbuatan  dengan penuh kesadaran.

b.        Cara menumbuhkan Pengendalian Diri dalam Agama Buddha

Dalam Dhamma Vibhaga dijelaskan bahwa dengan mempunyai pengendalian diri maka kita akan mendapatkan kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran dan keharmonisan. Sang Buddha menjelaskan dalam Maha Maṅgāla Sutta bahwa: “terlatih baik dalam tata susila, itulah berkah utama [vinayo ca susikkhito, etaṁmaṅgalamuttamaṁ]” [Tim Penterjemah, 2005: 31].

Mengarah pada usaha mengendalikan diri dari perilaku yang tidak pantas atau sesuai dengan norma agama dan hukum yang berlaku di masyarakat maupun Negara sehingga dapat menimbulkan kerugian dan penderitaan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dalam Dhamma Vibhaga dijelaskan bahwa ada lima latihan pengendalian diri [samvara], yaitu:

1]        Pengendalian Diri melalui Perilaku [Sīla Saṁvara]

Menurut Tejanando menyebutkan bahwa: Sila saṁvara adalah pengendalian diri terhadap tingkah laku dan ucapan sesuai dengan moral dan etika yang berlaku dalam norma agama di mana pun kita berada [Tejanando, 2006: 26].

Berkenaan dengan pengendalian diri melalui ucapan dan tingkah laku, Tejanando berpendapat sebagai berikut:

Perbuatan yang tidak melanggar sila pertama, kedua, ketiga dan keempat yaitu: tidak membunuh atau menyakiti makhluk hidup, tidak mencuri, merampok, tidak berzinah, selingkuh, memperkosa dan tidak memakan atau minum yang menyebabkan ketagihan. Sedangkan yang berhubungan dengan ucapan adalah berbohong, berbicara kasar, memfitnah, omong kosong dan membual. Sehingga dengan berusaha bertingkah laku melalui ucapan dan perbuatan dengan benar maka seseorang akan hidup bahagia dan sejahtera [Tejanando, 2006: 26].

Sila merupakan kebajikan moral dan dapat dianggap sebagai suatu dasar yang membentuk semua hal-hal yang positif dalam kehidupan. Dalam Theragatha 612 Sang Buddha bersabda: “Kebajikan moral adalah dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk dari semua yang indah. Oleh karena itu, hendaklah orang menyempurnakan kebajikan moral [sila]” [Tim Penyusun, 2003: 91].

2]        Pengendalian Diri melalui Perhatian [Sati Saṁvara]

Menurut pendapat Tejanando, sati samvara adalah pengendalian diri yang dilakukan dengan selalu sadar dan waspada terhadap indria pada saat kontak dengan objek [Tejanando, 2006: 26].

Berhubungan dengan kesadaran dan pikiran yang dimiliki oleh seseorang, dalam Digha Nikaya III, 273 yang dikutip oleh Krishnanda Wijaya Mukti, disebutkan “pikiran [mana, citta] seringkali disamakan dengan kesadaran. Kesadaran terkait dengan perhatian atau ingatan [sati] dan menyadari [sampajanna], dua hal yang sangat membantu seseorang merealisasi kebenaran [Krishnanda W. Mukti, 2003: 189].

Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa kesadaran adalah hal yang sangat penting untuk dikembangkan. Dengan mengembangkan kesadaran, seseorang dapat mengenal dan mengetahui segala sesuatu yang berada di sekelilingnya sehingga akan selalu waspada. Seseorang akan waspada pada saat berkata, berbuat dan berpikir. Dengan waspada seseorang tidak akan melakukan kesalahan dan selau bertindak dengan benar.

Dalam Kitab Suci Dhammapada bab IX ayat 124 yang dikutip oleh Surya Widya, Sang Buddha bersabda:

Apabila seseorang tidak mempunyai luka di telapak tangannya, ia dapat memegang mangkok yang berisi racun, oleh karena racun tidak akan masuk ke dalam tubuhnya. Seseorang yang tidak melakukan perbuatan jahat tidak khawatir akan akibat dari perbuatan jahat [pānamhi ce vano nāssa hareyya pāninā visaṁ, nābbanaṁ visamanveti, natthi pāpaṁ akubbato] [Surya Widya, 2001: 49].

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa jika seseorang tidak melakukan kejahatan, maka ia tidak akan merasa resah dengan kehidupannya karena dengan selalu bertindak baik dan benar maka kedamaian akan selalu menyertainya. Dengan tidak melakukan kejahatan maka tidak akan ada akibat buruk yang ditimbulkan sehingga hidup akan lebih berbahagia. Dan dengan selalu waspada pada kejahatan maka seseorang tidak akan ikut terjerumus dalam kejahatan.

3]        Pengendalian Diri melalui Kesabaran [Khanti Saṁvara]

Menurut pendapat Tejanando, disebutkan: ”khanti samvara adalah sikap mengendalikan diri yang menumbuhkan kesabaran ketika menghadapi fenomena kehidupan ini” [Tejanando, 2006: 27].

 Dengan memiliki kesabaran baik yang bersifat lahir maupun yang bersifat batin kita, semua akan tahan terhadap masalah-masalah yang timbul dari luar maupun yang timbul dari dalam diri kita sendiri. Melatih kesabaran dapat kita lakukan dengan melaksanakan meditasi.

Dalam hal lain, dijelaskan oleh Wandy John M.W, bahwa manfaat melatih kesabaran adalah sebagai berikut:

Dengan melatih kesabaran, akan membuat seseorang menjadi mudah dalam pekerjaannya, dipercaya banyak orang, memiliki pengendaian diri yang baik dan dapat menahan emosi, disegani banyak orang, memiliki keindahan batin dan dapat membebaskan diri dari kemelekatan terhadap harta dan anggota tubuhnya sendiri [Wandy John M.W[ed.], 2007: 31]

Pada bagian lain yang berhubungan dengan manfaat memiliki kesabaran yang dimiliki seorang Bhikkhu dapat

 menimbulkan rasa hormat dari orang lain, Sang Buddha bersabda dalam Dhammapada XVII: 225, dikutip oleh Surya Widya yang bunyinya adalah sebagai berikut:

Para pertapa yan penuh kesabaran, selalu mengendalikan segala tingkah lakunya; akan mencapai keadaan yang terbebas dari kematian [Nibbana], di mana tidak ada kesedihan lagi [ahiṁsakā ye munayo niccaṁ kāyena saṁvutā te yanti accutaṁ thānaṁ yattha gantvā na socare [Surya Widya, 2001: 91].

Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa seseorang yang telah memiliki kesabaran dalam dirinya akan menjadikan pelindung bagi dirinya sendiri, karena dengan melatih kesabaran segala hal-hal yang buruk dapat dihindari dan selalu membawa kedamaian bagi dirinya sendiri, orang lain dan Negara.

4]        Pengendalian Diri melalui Usaha Benar [Viriya Saṁvara]

Menurut Dody Herwidanto, virya samvara yaitu pengendalian diri melalui usaha yang benar berarti menghilangkan pikiran-pikiran jahat dengan usaha yang baik. Usaha yang dilakukan dapat melalui empat cara yaitu: “Menahan pikiran buruk yang belum muncul; mengikis pikiran buruk yang telah muncul; menumbuhkan pikiran baik yang telah muncul dan mengembangkan pikiran baik yang telah muncul [Tim Penyusun, 1992: 131].

Dalam hal meningkatkan semangat untuk menjalani segala perbuatan, dalam Dhammapada II: 24, Sang Buddha bersabda sebagai berikut:

Orang yang penuh semangat, selalu sadar, murni dalam perbuatan, memiliki pengendalian diri, hidup sesuai dengan dhamma dan selalu waspada, maka kebahagiaannya akan bertambah [uṭṭhānavato satimato sucikammassa nisammakārino saññatassa ca dhammajīvino appamattassa yaso bhivaddhati [Tim Penterjemah, 2005: 11].

Pada bagian lain mengenai usaha untuk menumbuhkan hal-hal yang baik, dalam Itivuttaka bagian kelompok satu Sang Buddha bersabda kepada Para Bhikkhu sebagai berikut:

Orang yang tidak tekun, sembrono, malas dan tidak bersemangat, dipenuhi kemalasan mental dan kekakuan, tidak tahui malu dan tanpa rasa hormat…..Bhikkhu yang seperti itu tidak akan dapat mencapai pencerahan agung. Tetapi meditator yang penuh perhatian dan pengertian, tekun, cermat dan rajin, setelah memutus belenggu-belenggu kelahiran dan kelapukan, di sini dan kini, dengan sendirinya dapat mencapai pencerahan agung [Tim Penterjemah, 2007: 29].

Dari kutipan di atas, dapat penulis katakan bahwa dengan  pengendalian diri melalui usaha yang benar maka seseorang dapat

mengarahkan pikiran menuju tujuan yang hendak dicapai. Umat Buddha  harus memiliki semangat atau usaha untuk selalu dapat menjalankan perbuatan-perbuatan baik yang akan mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Menurut pendapat Tejanando, semangat adalah salah satu sikap mental yang harus dibangkitkan dan dikembangkan [Tejanando, 2006: 27]. Untuk mancapai hal itu, setiap orang seharusnya suka bergaul dengan dengan orang-orang yang rajin dan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh. Setiap orang seharusnya tidak bergaul dengan orang-orang yang malas, karena orang yang malas akan mempunyai kebiasaan malas merawat dirinya, sehingga ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Untuk mencapai kebahagiaan seseorang harus menghilangkan kemalasan yang ada dalam dirinya. Seseorang yang dapat bergaul dengan orang-orang yang baik dan mengikuti segala prilakunya maka ia akan dihormati oleh banyak orang. Tetapi bila seseorang bergaul dengan mereka yang kurang memiliki pengetahuan maka ia tidak akan memiliki kehormatan pada dirinya. Dengan bergaul kepada mereka yang memiliki pengetahuan dalam Dhamma maka seseorang akan dapat mengikuti usaha baik yang dilakukannya untuk dapat menghindari pikiran-pikiran buruk yang membelenggu diri seseorang.

5]        Pengendalian Diri melalui Pengetahuan Dhamma [Ñāna Saṁvara]

Menurut Tejanando disebutkan bahwa, ñāna saṁvara adalah pengendalian diri dengan mengunakan pengetahuan Dhamma yang telah dimiliki untuk menghadapi problem atau masalah-masalah yang dihadapi yang muncul dalam kehidupan ini. Pada dasarnya bahwa semua yang berkondisi adalah tidak kekal dan karena tidak kekal maka menimbulkan penderitaan itulah hal yang harus dipahami oleh kita semua [Tejanando, 2006: 27].

Menurut pendapat Dody Herwidanto, dijelaskan bahwa: “merenungkan hakikat dari empat kebutuhan-kebutuhan hidup yaitu pakaian, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan, serta tidak terseret oleh keinginan yang serakah. Menggunakan pandangan terang yang telah dicapai sewaktu berhubungan dengan orang-orang atau sewaktu menghadapi persoalan adalah makna dari bentuk pengendalian diri [Dody Herwidanto, 1992: 131].

Dalam Kitab Suci Itivuttaka bagian kelompok dua, Sang Buddha menjelaskan kepada para Bhikkhu sebagai berikut:

Alam kehidupan apapun yang tidak menyenangkan di dunia ini dan dunia sana, semuanya berakar pada ketidaktahuan, yang dibangun oleh nafsu keinginan dan keserakahan. Karena orang yang memiliki nafsu keinginan jahat tidak punya malu dan tidak punya rasa hormat, dari situlah kejahatan mengalir keluar dan dia pergi menuju keadaan sengsara. Maka dengan membuang nafsu keinginan dan keserakahan, beserta ketidaktahuan juga, seorang Bhikkhu mengembangkan pengetahuan dan meninggalkan semua alam penderitaan [Tim Penterjemah, 2007: 36].

Dari kutipan di atas, maka penulis dapat simpulkan bahwa seseorang yang tidak memiliki pengetahuan akan Dhamma hidupnya akan selalu dibarengi dengan pikiran buruk dan nafsu-nafsu keinginan yang rendah. Orang yang seperti ini tidak mengetahui cara apa yang harus dilakukan untuk dapat membebaskan diri dari belenggu ke keserakahan. Mereka selalu bertindak dengan pikiran yang dipenuhi ketidaktahuan dan tidak pernah berpikir untuk dapat melepaskan diri dari kesengsaraan. Namun, bila seseorang memiliki pengetahuan Dhamma yang tinggi maka ia dapat melepaskan diri menuju kebahagiaan.

c.         Cara melatih Pengendalian Diri dalam agama Buddha

Menurut Krishnanda Wijaya Mukti menyebutkan ada tiga macam latihan yang harus dilakukan untuk dapat melatih pengendalian diri yaitu: kita perlu mendisiplinkan diri dalam ucapan, pikiran dan tindakan sebelum melakukan tugas yang sulit yaitu melatih diri kita dengan cara bermeditasi [Krishnanda Wijaya Mukti, 2003: 209].

Dari kutipan di atas dapat dikatakan tujuan dari moralitas dalam agama Buddha adalah pengendalian ucapan dan perbuatan fisik, dengan kata lain kesucian ucapan dan tindakan. Ini disebut latihan moral kebajikan. Dalam melakukan meditasi orang-orang yang menjalankannya diharapkan bisa menahan diri dari segala hal yang berhubungan dengan kegiatan seksual dan dapat menahan nafsu-nafsu keinginan indrawi.

Selain hal tersebut di atas, Krishnanda Wijaya Mukti juga menjelaskan cara khusus yang berkaitan dengan meditasi untuk melatih diri yaitu:

Salah satu aspek terpenting dari meditasi Buddhis adalah Satipattana yaitu “membangun, melatih kesadaran”. Kata “patthana” bentuk singkat dari “upatthana”, secara harfiah berarti “menempatkan dengan dekat [pikiran seseorang]”, yaitu tetap sadar, bangun, menegakkan, memakai dan membangkitkan. Untuk membangkitakan seseorang terhadap pengertian kesadaran yang tajam pada satu objek, dan menghidupkan, membangunkan dan menimbulkan pengendalian indera, semua ini adalah membangun kesadaran yang terdiri dari empat tipe yaitu: melatih kesadaran jasmani [Kayanupassana], perasaan  [vedananupassana],  pikiran [cittanupassana] dan fenomena pikiran [dhammanupassana] [Krishnanda Wijaya Mukti, 2003: 212].

Seperti yang disebutkan dalam Itivuttaka bagian dari Khuddaka Nikaya, Sang Buddha bersabda sebagai berikut:

Mereka yang memiliki pikiran yang damai, yang mengerti, penuh perhatian dan tekun dalam meditasi, dengan jelas akan melihat segalanya dengan benar dan tidak merindukan kesenangan-kesenangan indria. Mereka yang damai, yang bergembira dalam ketekunan, yang melihat dengan takut pada keteledoran, tidak akan dapat terjatuh dan akan dekat dengan Nibbana [Tim Penterjemah, 2007: 42].

Pada bagian lain, disebutkan dalam Buddhaghosa, 370 yang dikutip oleh Corneles Wowor, bagian dari kitab Visuddhi Magga, Sang Buddha bersabda sebagai berikut: “Panna bersifat menembus hakikat kenyataan [dhamma]…dan langsung dihasilkan dari Samadhi. Barang siapa bersamadhi, ia akan mengetahui hakikat kenyataan” [Corneles Wowor, 2004: 4].

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, disebutkan juga dalam Dhammapada XXV: 371, terdapat Sabda Sang Buddha yang bunyinya sebagai berikut:

Bersamadilah, bhikkhu! Jangan lengah! Jangan biarkan pikiranmu diseret oleh kesenangan-kesenangan indera! Jangan karena lengah engkau harus menelan bola besi yang membara! Dan jangan karena terbakar maka engkau meratap. “Hal ini sungguh menyakitkan!” [jhāya Bhikkhu mā pamādo mā te kāmagune ramessu cittaṁ mā lohagulaṁ gilī pamatto mā kandi dukkhamidanti dayhamāno] [Tim Penyusun, 2005: 163].

Dari kutipan-kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa untuk dapat melatih diri dengan baik maka diperlukan latihan-latihan yang yang dapat dilakukan dengan melatih diri hidup susila, melatih meditasi dan melatih pengembangan kebijaksanaan.

Dalam Digha Nikaya 123: 94, yang dikutip oleh Corneles Wowor, hal ini dipertegas oleh Sang Buddha ketika Beliau menyatakan: “barang siapa terlatih dalam sila, meditasinya akan berkembang; barang siapa terlatih dalam meditasi, kebijaksanaannya akan berkembang; barang siapa terlatih dalam kebijakan, batinnya akan terbebas dari kekotoran….” [Corneles Wowor, 2004: 5].

Dari pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa seseorang yang dapat menerapkan moral [sila], konsentrasi [Samadhi] dan kebijaksanaan [panna] akan mempunyai kesabaran dan memiliki pengendalian diri denga baik sehingga dapat mencapai kebahagian yang paling tinggi.

d.        Manfaat memiliki pengendalian diri

Dalam Mahaparinibbana Sutta, yang dikutip oleh Tejanando, Sang Buddha menjelaskan bahwa banyak manfaat yang akan diperoleh apabila kita mempunyai prilaku yang baik atau dapat mengendalikan diri dengan baik. Seseorang yang mempunyai moral yang baik akan memperoleh lima manfaat, yaitu:

1]        Akan memperoleh harta materi maupun Dhamma

2]        Termasyur atau terkenal karena kebajikannya

3]        Mempunyai percaya diri di manapun dia berada

4]        Menjelang meninggal dunia pikirannya tenang, tidak

       gelisah dan tidak cemas.

5]        Setelah meninggal dunia terlahir di alam surga atau alam 

       Dewa [Tejanando, 2006: 28].

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sila dapat meningkatkan kehidupan yaitu dapat membentuk kekuatan mental, kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab dan rasa kesetia kawanan.

Dalam Itivuttaka bagian dari Khuddaka Nikaya dijelaskan juga manfaat-manfaat pelatihan, seperti Sabda Sang Buddha sebagai berikut:

Orang yang telah menyelesaikan pelatihan yang tidak lagi dapat terjatuh, dan telah mencapai kebijaksanaan yang lebih tinggi, Dia melihat akhir dari kelahiran. Orang suci itu menanggung tubuh terakhirnya, dan karena telah meninggalkan kesombongan, Dia telah pergi melampaui kelapukan, demikian kukatakan. Oleh karenanya, selalulah bergembira dalam meditasi, berkonsentrasi dan penuh semangat, dengan melihat akhir dari kelahiran, para bhikkhu, taklukkanlah mara dan bala tentaranya, dan pergilah melampaui semuakelahiran dan kematian [Tim Penterjemah, 2007: 43].

Disebutkan juga oleh Sang Buddha dalam Dhammapada XIII: 168 yang bunyinya adalah sebagai berikut:

Bangun! Jangan lengah! Tempuhlah kehidupan benar. Barangsiapa Menempuh kehidupan benar, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia berikutnya [uttiṭṭhe nappamajjeyya dhammaṁ sucaritaṁ care dhammacārī sukhaṁ seti asmiṁ loke paramhi ca] [Tim Penysun, 2005: 73].

Dalam Anguttara Nikaya yang dikutip oleh Tejanando, ada pernyataan Sang Buddha, yang bunyinya sebagai berikut:

Demikianlah Ananda dengan mempunyai perilaku bermoral manfaatnya adalah tidak adanya penyesalan; tidak adanya penyesalan memberikan kegembiraan; kegembiraan memberikan suka cita; suka cita memberikan ketenangan; ketenangan memberikan kebahagiaan; dan kebahagiaan memberikan konsentrasi sebagai manfaat yang akan diperolehnya” [Tejanando, 2009: 28].

Dari beberapa kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa harumnya nama mereka yang mempunyai sila yang baik akan menyebar ke dunia bahkan ke alam Dewa dan dengan mengendalikan diri kita akan memperoleh manfaat yang sangat besar bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan tercapainya perdamaian dunia. Dengan berusaha mempunyai pengendalian diri [Samvara], maka kita dapat memberikan kebahagiaan, kesejahteraan dan kedamaian di dunia.

e.         Akibat tidak memiliki Pengendalian Diri

Dalam Dhammapada XII: 161, Sang Buddha bersabda mengenai akibat dari tidak memiliki pengendalian diri yang bunyinya sebagai berikut:

Kejahatan yang dilakukan oleh diri sendiri, timbul dari diri sendiri serta disebabkan oleh diri sendiri, akan menghancurkan orang bodoh, bagaikan intan yang memecah permata yang keras [attanā va kataṁ pāpaṁ attajaṁ attasambhavaṁ abhimatthati dummedhaṁ vajiraṁ vamhayṁ maniṁ] [Tim Penterjemah, 2005: 69].

Pada bagian lain yang berkenaan dengan akibat dari orang yang tidak memiliki pengendalian diri, menurut Joko Wuryanto, menyatakan bahwa ada lima bahaya yang akan diperoleh yaitu:

1.      Kehilangan sebagian besar kekayaan, sifat mereka yang acuh tak acuh;

2.      Perbuatan mereka yang tidak baik;

3.      Perbuatan mereka yang melakukan dan menyusahkan setiap warga masyarakat, apakah mereka sebagai bhikkhu, pandita, berkeluarga dan pertapa;

4.      Mereka akan meninggal dunia dalam dalam kebingungan;

5.      Pada saat kehancuran tubuh mereka setelah kematian, meeka akan terlahir kembali dalam penderitaan, terlahir di alam bawah, alam neraka [Joko Wuryanto, 2007: 29].

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa orang yang tidak mempunyai pengendalian diri tidak akan dapat hidup dengan tenang, selalu membuat keonaran dan menyusahkan semua orang dan kehidupannya dipenuhi dengan penderitaan. Apapun yang dilakukan tidak akan memberi manfaat bagi dirinya sendiri, tindakan yang dilakukan akan selalu membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.


Dengan demikian maka dapat penulis simpulkan bahwa akibat dari tidak memiliki pengendalian diri adalah sangat membahayakan, karena akan menimbulkan kejahatan yang tidak ada hentinya. Kejahatan muncul dari dalam diri seseorang, karena pada dasarnya orang melakukan kejahatan karena pikiran mereka diliputi oleh hal-hal yang buruk yang dibarengi dengan keserakahan, kebencian dan kebodohan yang menimbulkan kejahatan untuk memenuhi kepuasan nafsunya. Hal ini terjadi karena kurangnya pengendalian diri yang dimiliki oleh seseorang. 

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề