Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden dipilih oleh

PIKIRAN RAKYAT - Dalam forum diskusi atau debat politisi di banyak media, berbagai pembicara/narasumber sering melontarkan terminologi presidensialisme untuk mendukung argumentasi yang terkadang tidak berbanding lurus dengan paradigma presidensialisme.

Salah satu kesepakatan politik para perumus konstitusi generasi kedua [second framers of the constitution] dalam amandemen UUD 1945, adalah konsensus berupa spirit memperkuat [purifikasi] sistem presidensialisme.

Hal itu dinilai berdasarkan beberapa alasan.

  1. Kehendak para pendiri bangsa diawal, menghendaki format sistem pemerintahan presidensialisme.
  2. Bangsa indonesia memiliki pengalaman traumatis dengan sistem pemerintahan parlementer, khususnya ketika berlaku UUDS 1950.
  3. Sistem pemerintahan parlementer dianggap sebagai aliran pemikiran demokrasi liberal.
  4. Sistem presidensialisme dinilai dapat menciptakan stabilitas pemerintahan.
  5. Melalui pemilihan umum secara langsung, presiden mendapat legitimasi secara langsung dari rakyat sehingga tidak terkekang oleh konstelasi parlemen.

Baca Juga: Keseimbangan Lingkungan, antara Etika dan Konservasi

Jika mengamati sistem presidensialisme, yang diberlakukan di berbagai negara, paling tidak terdapat beberapa karakter utama yang melekat pada konsepsi presidensialisme yaitu bahwa presiden memengang fungsi ganda yaitu sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara [head of state and head of government].

Lembaga eksekutif [presiden] merupakan lembaga yang mutual independence [terpisah] dari lembaga legislatif. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen.

Secara oprasional, beberapa ahli seperti Fitra Arsil, Akademisi Hukum Tata Negara, yang meringkas dengan 2 karakteristik utama yaitu presiden dipilih secara langsung dan presiden memiliki masa jabatan yang tetap, fix term Government.

Baca Juga: Negara Berjuang Atasi Pandemi Covid-19, Rencana Amandemen UUD Bukan Hal yang Diperlukan

Selain itu, di antara ciri yang terdapat dalam sistem presidensial, presiden juga ditempatkan sebagai single executive yang dapat membentuk organisasi pendukung untuk membantu presiden dalam melaksanakan tugasnya menjalankanpernerintahan.

Lazimnya kekuasaan eksekutif pendukung [atau eksekutif dalam arti luas ini] diisi sebuah kelompok kerja yang terdiri dari para menteriyang menangani berbagai persoalan menurut spesifikasinya masing-mnasing.

Kelompok kerja ini dikenal dengan nama kabinet, council ata kernenterian. Seperti halnya di Amerika Serikat dikenal dengan nama administration yang terdiri atas para secretary.

Dalam sistem presidensial, lazimnya tidak dikenal koalasi layaknya dalam sistem parlementer. Namun, perkembangan praktik ketatanegaraan dewasa ini melalui pembentukan kabinet, sistem presidensial juga, dalam beberapa praktiknya, membentuk koalisi melalui kabinet/council.

Baca Juga: Amandemen UUD 1945 dan Jabatan Presiden Tiga Periode, Idealkah?

Di berbagai negara dengan sistem pemerintahan presidensial, pengaturan mengenai cara pengangkatan para menteri dalam kabinet, secara umum, diatur dalam dua jenis pengaturan.

Pengaturan pertama seperti yang terjadi di Amerika Serikat, ketika presiden membutuhkan persetujuan parlemen dalam menunjuk menteri-menteri dalam kabinet.

Hal ini sertuang dalam Article II Section 2 Konstitusi Amerika Serikat yang biasa dikenal dengan advice and consent.

Berbeda dengan praktik yang di awal, Pengaturan Kedua seperti di banyak negara Amerika Latin, justru presidensecara bebas menentukan anggota kabinetnya.

Sehingga, presiden dapat leluasa mengatur roda pemerintahan berdasarkan karakteristiknya yang otonom.

Konstelasi partai politik dalam sistem presidensialisme di Indonesia

Praktik ketatanegaraan di Indonesia, justru sedikit berbeda, sebab kendati dalam sistem presidensialisme yang dilakukan di berbagai negara, terdapat kecenderungan membentuk koalisi.

Akan tetapi, pembentukan tersebut dinilai secara alamiah lahir berdasarkan peta kabinet yang dibentuk oleh presiden.

Di Indonesia, pembentukan koalisi justru dilakukan sebelum dilaksanakannya pemilihan umum atau sebelum terpilihnya presiden sehingga dalam hal ini, peta koalisi presiden justru menentukan corak pilihan masyarakat. Bahkan, menentukan kecenderungan presiden untuk menyusun kabinetnya berdasarkan corak koalisinya.

Hal itu menandakan komposisi sistem presidensialisme cenderung bergantung pada dominasi partai politik.

Maeve P. Carey, pengamat pemerintahan dari Columbia University, menganggap kondisi demikian telah mengganggu pelayanan publik karena prosesnya dapat mengubah fokus konsentrasi eksekutif daripelayanan publik menjadi aktivitas politik.

Pandangan Carey tentunya dapat dijadikan refleksi atas konstelasi sistem presidensialisme indonesia, yang masih memiliki kecenderungan menempatkan partai politik sebagai poros roda pemerintahan.

Oleh karenanya, menjadi sangat wajar ketika dalam beberapa kesempatan presiden mengemukakan kemarahannya di hadapan menteri. Namun, tanpa disertai pencabutan/pergantian beberapa pembantunya [menteri].

Sebab, dalam hal ini setiap menteri merupakan delegasi partai politik koalisi presiden, yang masih diperhitungkan keberadaannya berdasarkan peta koalisi presiden.

Berbeda halnya, jika presiden yang menentukan skema koalisi, ia dapat menghendaki siapa pembantu [secretary] tampa terkungkung skema politik, sebab presidenlah penentu peta politik.

Di sisi lain, hal demikian dapat menjadi anomali sistem presidensial yang digagas pada amandemen konstitusi pascareformasi. Sebab, skema presidensialisme yang dikonsepsikan oleh perumus konstitusi generasi kedua, menghendaki presiden bekerja secara sistemik, terlepas dari belenggu partai politik, berdasarkan prangkat-prangkat otonominya.

Hal demikian tergambar dari dihapusnya Dewan Penasehat Presiden, peniadaan pertanggungjawaban presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Garis-Garis Besar Haluan Negara [GBHN], serta peralihan kekuasaan pembentuk Undang-Undang kepada DPR.

Kesemuan konsepsi tersebut adalah untuk menghilangkan kecenderungan presiden terikat pada konstelasi partai politik lebih intens.

Sehingga, konsekuensi dari pengawasan dan pelaksanaan pemerintahan lebih diarahkan pada instrumen hukum melalui berbagai cabang kekuasaan negara lainnya, baik melalui parlemen maupun lembaga yudikatif.

Seperti pada saat proses pembentukan undang-undang [review maupun preview], angket, hak interplasi, dll.

Di sisi lain, lembaga yudikatif dapat mengawasinya melalui pengujian undang-undang [judicial review], maupun pengujian tindakan faktual/hukum pemerintah [Peradilan Administrasi] melalui lembaga kekuasaan kehakiman.

Oleh karenanya, jika sistem presidensialisme dengan kondisi hegemoni partai politik yang terlalu intens, maka dapat dikatakan telah Amandemen UUD 1945 lalu hanya menggeser redaksi dari yang semual pertanggungungjawaban Presiden kepada MPR [dalam Konstitusi pra-amandemen], kini berganti pada pertanggungjawaban presiden kepada koalisi partai politik.

Penulis adalah alumni Magister Ilmu Hukum [kenegaraan] Universitas Indonesia.

Disclaimer: Kolom merupakan bentuk komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Artikel ini bukan produk jurnalistik tetapi murni merupakan opini.

Video

Bài mới nhất

Chủ Đề