Gatra kapisan (kesatu) sajrone tembang dhandhanggula kasebut nduweni guru wilangan lan guru lagu …

Tembang Dhandhanggula

Dhandhanggula merupakan salah satu jenis tembang tradisional Jawa yang dikategorikan sebagai tembang cilik, atau tembang kecil. Secara struktural, tembang Dhandhanggula terdiri atas 10 baris atau gatra, dan masing-masing gatra terdiri atas beberapa suku kata (guru wilangan) yang diakhiri dengan bunyi tertentu (guru lagu). Jika dijabarkan maka tembang ini memiliki struktur sebagai berikut: 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a.

Dhandhanggula diambil dari nama kata raja Kediri, Prabu Dhandhanggendis yang terkenal sesudah prabu Jayabaya. Dalam Serat Purwaukara, dhandhanggula diberi arti ngajeng-ajeng kasaean, atau bermakna menanti-nanti kebaikan. Tembang macapat dhandhanggula memiliki makna harapan yang indah, kata dhandhanggula sendiri dipercaya berasal dari kata gegadhangan yang berarti cita-cita, angan-angan atau harapan, dan dari kata gula yang berarti manis, indah ataupun bahagia. Selain mempunyai arti harapan yang indah, beberapa kalangan juga ada yang menafsirkan dhandhanggula berasal dari kata dhandhang yang berarti burung gagak yang melambangkan duka, dan dari kata gula yang terasa manis sebagai lambang suka. Kebahagiaan dapat dicapai setelah sebuah pasangan dapat melampaui proses suka-duka dalam berumah tangga sehingga akan tercapai cita-citanya, cukup sandang, papan dan pangan. Seseorang yang sedang menemukan kebahagiaan dapat diibaratkan lagunya dhandhanggula.

Watak atau karakter dari tembang dhandhanggula ini bersifat lebih universal atau luwes dan merasuk hati. Jadi, tembang dhandhanggula ini bisa digunakan untuk menuturkan kisah dalam berbagai hal dan dalam kondisi apa pun. Selain itu, tembang ini memiliki watak gembira dan indah, sehingga sangat cocok digunakan sebagai tembang pembuka yang menjabarkan berbagai ajaran kebaikan, ungkapan rasa cinta dan kebahagiaan. Berikut naskah dan analisis pupuh Dhandhanggula yang merupakan bagian pertama Serat Wulang Reh karya Sri Susuhunan Pakubuwono IV.

Gatra kapisan (kesatu) sajrone tembang dhandhanggula kasebut nduweni guru wilangan lan guru lagu …

Tadarus Alquran dengan penerangan lampu minyak (credit: aengaeng.com)

Ulasan

Pamêdhare wasitaning ati | cumanthaka aniru pujôngga | dahat mudha ing batine | nanging kêdah ginunggung | datan wruh yèn akèh ngèsêmi | amêksa angrumpaka | basa kang kalantur | tutur kang katula-tula | tinalatèn rinuruh kalawan ririh | mrih padhanging sasmita (Inilah curahan hati | berlagak meniru pujangga | karena masih muda dan bodoh | maka perlu dibesarkan hatinya | tak sadar banyak yang mencibir | memaksa diri merangkai kata | bahasa yang melantur | nasehat yang telah terlupakan | namun dikerjakan dengan telaten dan seksama | agar terang makna yang ingin disampaikan.)

Pupuh Dhandhanggula diawali dengan ungkapan keinginan Sri Susuhunan Pakubuwono IV untuk mengungkapkan curahan hati sehingga seolah-olah meniru pujangga. Hal tersebut terlihat dari kalimat pamêdhare wasitaning ati, cumanthaka aniru pujôngga dimana kata pamedhare berasal dari kata dasar wedhar yang berarti “mengungkapkan” atau “menjelaskan” yang ditambah imbuhan pe-e sehingga menjadi kata benda dan bermakna “pengungkapan” atau “penjelasan”. Kata ini disusul dengan kata wasitaning yang berasal dari kata dasar wasita yang bermakna “kata” atau “pelajaran” atau “ungkapan” dan diberi akhiran ning yang berfungsi sebagai penggandeng kata selanjutnya. Kemudian kata ati yang berarti “hati” atau dapat juga bermakna “kalbu”, lalu disusul dengan kata cumanthaka yang berasal dari kata canthaka dan berarti “sombong” atau “memberanikan diri” dan disisipi kata um, kemudian diikuti kata aniru dari kata dasar tiru yang bermakna “meniru” dan diberi awalan han dan kata pujongga yang berarti “pujangga”. Secara lengkap, kalimat ini bermakna “karena ingin menjabarkan ungkapan hati sehingga saya memberanikan diri meniru pujangga”.

Walaupun demikian, Sri Susuhunan merasa sebagai orang yang belum memiliki ilmu sempurna yang digambarkan dalam kalimat dahat mudha ing batine dimana kata dahat yang memiliki makna “benar-benar” lalu kata mudha yang berarti “muda” disusul kata ing yang memiliki arti “di” dan kata batine yang berasal dari kata dasar batin yang memiliki arti “batin” dan diikuti akhiran e, sehingga kalimat ini memiliki makna “walaupun usia sudah tua, namun olah batinnya masih sangat muda”. Oleh karena itu Sri Susuhunan memohon agar selalu didukung langkahnya, yang terlihat dari kalimat nanging kedah ginunggung dimana kata nanging yang berarti “namun” lalu kata kedah yang berarti “harus” dan diikuti kata ginunggung yang berasal dari kata dasar gunggung yang memiliki arti “harus dipuji” dan diberi sisipan um sehingga kalimat ini berarti “namun harus banyak dipuji sehingga membesarkan hati”. Walaupun banyak cibiran, yang terlihat dari kalimat datan wruh yen akeh ngesemi  dimana kata datan berasal dari kata dasar tan yang berarti “tidak” dan mengalami penghalusan kata, lalu kata wruh yang berarti “tahu” disusul kata yen yang berarti “jika” dan kata akeh yang berarti banyak serta kata ngesemi berasal dari kata mesem yang berarti “tersenyum”, namun bisa juga dimaknak sebagai “tersenyum mencibir”, sehingga secara lengkap kalimat tersebut berarti “tak tahu jika banyak yang mencibir”.

Sri Susuhunan mengungkapkan isi hatinya untuk membagi hal-hal yang diketahuinya sehingga dapat menjadi petunjuk. Kemauan sepenuh hati terlihat dari kalimat tinalaten rinuruh kalawan ririh. Kata tinalaten berasal dari kata telaten, rinuruh dari kata ruruh yang berarti “mencari” sedang kata ririh berarti “sabar”, sehingga kalimat tersebut dapat diartikan “yang dicari secara telaten dan sabar”. Sedangkan keinginan agar karyanya jadi petunjuk dapat dilihat dari kalimat mrih padhaning sasmita. Kata mrih berasal dari kata amrih yang berarti “sehingga” atau “mengupayakan” sedangkan kata padhanging berasal dari kata padhang yang berarti “terang” dan sasmita berarti “pertanda” atau “alamat”.

Dari bait ini kita dapat melihat kerendahan hati seorang pemimpin Jawa yang mau mengakui keterbatasan dirinya namun tetap sabar, teliti, tekun dan telaten untuk menggali dan menyebarkan pengetahuan.

Sasmitaning ngaurip puniki | mapan ewuh yèn nora wêruha | tan jumênêng ing uripe | akèh kang ngaku-aku | pangrasane sampun udani | tur durung wruh ing rasa | rasa kang satuhu | rasaning rasa punika | upayanên darapon sampurna ugi | ing kauripanira (Makna kehidupan itu | sungguh sayang bila tak tahu | tidak kokoh hidupnya | banyak orang mengaku | perasaannya sudah dipahami | padahal belum tahu rasa | rasa yang sesungguhnya | hakikat rasa itu adalah | usahakan supaya sempurna | dalam kehidupanmu.)

Selanjutnya beliau mengajak sidang pembaca untuk merenungkan sasmita kehidupan atau sasmitaning urip. Dalam beberapa kamus kata sasmita memiliki arti “pertanda”, “alamat” dan “isyarat tertentu”. Dalam bahasa Jawa, orang yang memiliki kepekaan terhadap pertanda alam atau memiliki kemampuan untuk mengintip masa depan disebut sebagai orang yang tanggap ing sasmita. Oleh karena itu, frase sasmitaning urip dapat ditafsirkan sebagai “petunjuk untuk kehidupan baik di saat ini maupun di kemudian nanti”.

Kembali ke teks bait kedua, Sri Susuhunan mengatakan bahwa manusia layaknya mencari petunjuk atau sasmita kehidupan. Bagi mereka yang tidak mengasah diri memperoleh petunjuk, akan mengalami kesulitan berupa tidak memperoleh kepastian sehingga selalu terombang-ambing. Hal ini ditunjukan dalam kalimat mapan ewuh yen tan weruha dan kalimat selanjutnya tan jumeneng ing uripe, dimana mapan memiliki persamaan arti dengan kata bahasa Jawa jer atau awit yang berarti “pangkal”; ewuh berarti “kesulitan” atau “halangan”, kemudian kata tan yang berarti “tidak” atau “tanpa” dan kata weruha yang berasal dari kata dasar weruh yang berarti “melihat” atau “tahu” dan akhir ha yang memiliki makna “jadilah”. Selanjutnya, kata jumeneng memiliki arti “tonggak” atau dapat memiliki arti “berdiri kokoh” atau dapat juga memiliki arti “bertahta”. Dalam bahasa Jawa, kalimat “raja yang sedang bertahta di Majapahit” diungkapkan dalam kalimat prabu kang jumeneng ing Majapahit. Dalam kalimat ini, kata jumeneng dapat ditafsirkan sebagai “kepastian dalam hidup karena memiliki pedoman”.

Sri Susuhunan kemudian mengungkapkan bahwa saat ini banyak orang yang merasa memiliki rasa yang utama yang diungkapkan dalam kalimat akeh kang ngaku-aku yang berarti “banyak yang mengaku” dan kalimat pangrasane wis utami yang berarti “perasaannya sudah utama”. Namun ternyata banyak yang belum mengetahui rasa yang hakiki yang digambarkan dalam kalimat tur durung weruh ing rasa yang berarti “namun belum pernah tahu rasa” dan kalimat rasa kang satuhu yang berarti “rasa yang satuhu”. Kata satuhu berarti “sebenarnya” atau “nyata”.

Apa yang disebut sebagai rasa yang nyata atau dalam bait ini sebut sebagai rasaning rasa atau “inti dari rasa”, menurut beliau adalah langkah kita agar menyempurnakan diri dalam kehidupan kita. Hal ini terlihat dalam kalimat upayanen darapon sempurnaning dhiri yang berarti “berupayalah agar dirimu sempurna” dan kalimat ing kauripanira yang berarti “dalam kehidupanmu”.

Satu hal yang menarik dalam bait ini adalah konsep “rasa”. Konsep ini merupakan salah satu komponen tiga kekuatan hidup ala Jawa yang disebut sebagai tridaya. Tiga kekuatan hidup tersebut adalah: rasa, cipta, karsa. Berbagai ahli olah batin, filsuf, sufi hingga ahli bahasa mencoba mendefinisikan makna tridaya ini yang dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Rasa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata rasa diperikan sebagai berikut: rasa1/ra·sa/ n1 tanggapan indra terhadap rangsangan saraf, seperti manis, pahit, masam terhadap indra pengecap, atau panas, dingin, nyeri terhadap indra perasa); 2 apa yang dialami oleh badan: — pedih dan nyeri di perut merupakan gejala sakit lambung;3 sifat rasa suatu benda: gula — nya manis;4 tanggapan hati terhadap sesuatu (indra): — sedih (bimbang, takut);5 pendapat (pertimbangan) mengenai baik atau buruk, salah atau benar: — adil

Selain itu terdapat pendapat yang menyatakan bahwa rasa adalah merupakan hasil atau tanggapan dari sistem sensorik yang dapat merasakan sebuah kondisi-kondisi tertentu baik secara fisik maupun non-fisik. Hasil tanggapan merupakan sebuah nilai-nilai empirik yang kemudian dinyatakan secara visual, ucapan, perbuatan dan lain sebagainya. Ada juga orang yang menyatakan bahwa rasa itu perasaan yang berhubungan dengan hati, olah rasa, kalbu, nurani, moral, kasih, tulus, senang, cinta, emosi.

Sebagian ahli mengungkapkan bahwa rasa berfungsi sebagai sarana komunikasi antara diri manusia dengan segala kenyataan yang ada diluar. Komunikasi manusia dengan dunia luar bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan keadaan, dengan makhluk lain, dengan alam dan lingkungan dimana manusia hidup dan sebagainya. Komunikasi manusia dengan dunia luar berlangsung melalui ‘sinyal-sinyal’ (energi) yang kemudian dalam diri manusia diterima oleh instrumen yang disebut  ‘rasa’.

Selanjutnya, terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa rasa merupakan suatu kekuatan atau dorongan yang ‘menggelisahkan’ atau ‘mengusik’ diri manusia untuk bersemangat atau berani untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kalau sesuatu yang timbul tadi tidak ditindaklanjuti maka manusia akan terus gelisah. Rasa pada dasarnya menjadi ‘komandan’ yang mengeluarkan perintah untuk dilaksanakan. Hanya saja perintah tadi belum jelas menyatakan apa yang harus dilakukan. Bunyi perintah hanyalah: lakukan (atau jangan lakukan) sesuatu setelah menerima ‘sinyal’ dari luar.

Selain itu, beberapa ahli menyatakan bahwa rasa ialah kekuatan halus yang menyelimuti dan menyatu dari setiap gambar-gambar atau citraan terhadap segala sesuatu yang membawa kesan, hal ini sering kita namakan perasaan (emosi pribadi). Rasa diterapkan dengan menggunakan kekuatan perasaan batin atau emosi jiwa.

Andrew Beatty, Fortes Meyer, Edmund Leach, Jack Goody, dan Stanley Jeyaraja Tambiah dalam buku Varieties of Javanese Religion mengungkapkan bahwa rasa merupakan kata yang memiliki makna yang cukup rumit. Rasa dapat mengacu pada keadaan yang bersifat jasmaniah, namun dalam konteks budaya Jawa kata rasa juga dapat dimaknai keadaan yang bersifat emosional atau kewaspadaan, makna dalam diri dan secara isoterik dapat dimaknai cerminan Tuhan dalam wadag manusia atau dapat juga dimaknai sebagai pusat kesadaran.

Struktur tata kefilsafatan Jawa, menurut Dr. Purwadi dalam bukunya Filsafat Jawa dan Kearifan Lokal, dikenal istilah cipta rasa karsa. Cipta merujuk kepada struktur logika yang berupaya untuk memperoleh nilai kebenaran. Rasa merujuk kepada struktur estetika yang berupaya untuk memperoleh nilai keindahan. Karsa merujuk kepada struktur etika yang berupaya untuk memperoleh nilai kebaikan. Cipta-rasa-karsa, logika-etika-estetika dan kebenaran-keindahan-kebaikan merupakan satu kesatuan yang dapat membuat kehidupan menjadi selaras, serasi dan seimbang seperti prasapa Sultan Agung Hanyakrakusuma dalam Serat Sastra Gendhing : mangasah mingising budi, memasuh malaning bumi. Sebuah tertib sosial yang didukung oleh hubungan harmonis antara jagad gumelar (makrokosmos) dan jagad gumulung (mikrokosmos).

Paul Stange dalam buku Politik Perhatian: Rasa dalam Budaya Jawa, menyatakan bahwa rasa tidak hanya merupakan istilah yang diterapkan pada pengalaman indriawi yang mengiringi pada estetika, akan tetapi juga merupakan sebuah organ terpenting kognitif yang digunakan secara aktif dalam praktik dunia mistik. Rasa mempunyai nilai yang tidak dapat dinominalkan dan tidak mampu diraba. Dengan menggunakan rasa, masyarakat Jawa mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap berbagai fenomena alam yang akan terjadi. Hingga tidak mengherankan jika pada zaman dulu masyarakat Jawa mampu memahami dan mengerti apa yang dikehendaki oleh alam. Alam dan masyarakat mampu bersahabat sehingga tercipta kehidupan yang sangat harmonis dan jauh dari bencana.

Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa rasa adalah satu tingkatan dalam jiwa manusia yang berisi kriteria yang dimanfaatkan oleh manusia untuk mengukur kesesuaian antara diri dan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun non-fisik. Dalam tingkat rasa, manusia dapat merasakan kehadiran zat transedental yang menguasai diri dan dunianya serta mengarahkannya menuju kondisi yang lebih baik.

2. Cipta

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata cipta didefinisikan sebagai: cipta/cip·ta/ n kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru; angan-angan yang kreatif.

Beberapa ahli berpendapat bahwa cipta bisa diartikan sebuah proses pengupayaan untuk mewujudkan sesuatu yang belum ada menjadi nyata. Cipta pada dasarnya sebuah kekuatan pada diri “manusia” terhadap segala sesuatu yang bersifat untuk mewujudkan sesuatu menjadi nyata. Cipta memiliki kekuatan tersendiri atau independent atau merupakan inner power yang Tuhan YME berikan kepada manusia sebagai pembeda dari mahluk-mahluk lainnya. Dengan demikian bisa merupakan sebuah kekuatan yang dapat berjalan sendiri karena merupakan energi.

Selain itu, para ahli juga menyatakan bahwa cipta pada dasarnya secara lahiriyah (dapat diraba) bersemayam dalam otak manusia, dalam kepala manusia dengan segala perangkatnya berupa sensor-sensor motorik yaitu: mata, telinga, hidung dan mulut. Melalui keempat pintu inilah dapat mempengaruhi proses penciptaan yang dilakukan manusia, menuju kepada proses penciptaan yang baik maupun yang buruk. Sebenarnya selain ada dalam otak manusia, cipta bisa juga berada ditempat lainnya, sudah barang tentu ada pada bagian-bagian pada diri manusia bersifat kasat mata. Proses penerapan cipta ini menggunakan kekuatan pikiran dan imajinasi.

Sebagian ahli lain menyatakan bahwa cipta berhubungan dengan pikiran, pengetahuan, wawasan, gagasan, ide, nalar, logika, rancangan, kreasi, inovasi, imajinasi, perenungan, inspirasi. Kekuatan ‘rasa’ kemudian menggerakkan kekuatan ‘cipta’. Setelah digerakkan oleh ‘rasa’, maka ‘cipta’ mulai berfungsi dan menghasilkan ‘niat’. ‘Niat’ yang dihasilkan oleh ‘cipta’ merupakan bayangan keinginan atau kemauan untuk bertindak yang sudah terdifinisi atau terumuskan secara jelas. Orang sering salah menganggap ‘cipta’ atau bayangan ini sebagai ‘pemikiran’ atau idea. Cipta bukan ‘pemikiran’ atau idea, tetapi merupakan kekuatan ‘kreatif’ pada diri manusia.

Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cipta adalah sebuah tingkatan dalam jiwa manusia yang telah dibentuk oleh norma-norma dan kondisi lingkungan. Dalam tingkat cipta ini, manusia menggunakan akal budi dan penalaran untuk mengenali lingkungan dan bersikap terhadap lingkungan yang dihadapinya.

3. Karsa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata karsa diuraikan sebagai berikut: karsa/kar·sa/ n1 daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak; 2 kehendak; niat.

Sebagian ahli mengungkapkan pendapat bahwa karsa secara arti kata dapat diartikan sebagai kehendak yang ada pada diri “manusia”, juga merupakan sebuah kekuatan tersendiri yang Tuhan YME berikan kepada manusia sebagai pembeda dari mahluk-maluk cipta-Nya yang lain. Karsa sangat lekat sekali dengan kaitan proses untuk bergerak, beraktifitas atau bereaksi untuk berupaya mewujudkannya. Salah satu contoh bila perut kita “terasa” lapar, yang merupakan hasil dari merasakan dari sensor-sensor motorik, maka akan bisa berlanjut menjadi “Karsa” secara langsung tanpa didahului oleh “Cipta”. Bergerak langsung ingin mewujudkannya dengan segala cara mulai dari yang baik, sampai dengan terjerumus menjadi hal-hal yang tidak baik. Sekali lagi “baik” juga sebagai hasil dari perwujudan “Rasa” yang juga sangat-sangat relatif penilaiannya.

Selain itu, para ahli juga menyatakan bahwa karsa, berhubungan dengan kehendak, tekat, niat, semangat, kesungguhan baik yang positif atau negatif. Karsa mewujud sebagai kekuatan yang menggerakkan segala Cipta dan Rasa itu menjadi terlaksana. Karsa dengan jelas dapat dipahami sebagai ‘pikiran’ atau lebih tepat disebut kekuatan pikiran (mind power). ‘Pikiran’ merupakan pekerjaan otak yang didasarkan pada arsip data dan informasi yang disimpan di otak. Fungsi ‘pikiran’ adalah melakukan penalaran, pertimbangan, penjabaran terhadap ‘niat’ yang dihasilkan oleh kekuatan ‘cipta’.

Selanjutnya beberapa ahli menyatakan bahwa kekuatan rasa dan cipta sifatnya statis, artinya bagaimanapun kuatnya kekuatan tersebut tetap saja tidak mampu mengerakkan bagian tubuh untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebaliknya, kekuatan pikiran adalah kekuatan yang sifatnya dinamis atau kinetis yang dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh manusia dalamn bentuk tindakan atau action. Singkatnya: sinyal dari luar diterima oleh ‘rasa’. Rasa kemudian menyampaikan sinyal kepada ‘cipta’ yang selanjutnya menciptakan ‘niat’. Niat kemudian dijabarkan oleh ‘karsa’. Dengan adanya karsa maka manusia melakukan ‘tindakan’ atau ‘laku’.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karsa merupakan tingkatan dalam jiwa manusia yang menjadi kekuatan penggerak fisik manusia. Dalam level inilah, manusia melakukan berbagai pertimbangan dan perencanaan berdasar aktifitas di level rasa dan cipta. Hasil akhir level karsa adalah karya, atau aktifitas fisik manusia.

Dalam bait ini Sri Susuhunan ingin membagi resep hidup sempurna, yaitu selalu membina diri untuk menjadi sempurna dan menghindarkan diri dari rasa sombong atas pencapaiannya, dengan kata lain manusia yang telah mencapai tahapan “rasa”. Dalam kaitan kesempurnaan diri, karya ini memiliki satu benang merah dengan Serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung Hanyakrakusuma, dimana manusia Jawa perlu membina rasa sehingga selalu mencapai kesempurnaan. Dalam Serat Sastra Gendhing, manusia yang selalu berusaha untuk memahami Tuhan dan dunia masuk ke dalam tahap hakikat dalam empat tahapan sufisme yaitu syariat, tarikat, hakikat dan makrifat.

Jroning Kuran nggoning rasa yêkti | nanging ta pilih ingkang uninga | kajaba lawan tuduhe | nora kêna dèn awur | ing satêmah nora pinanggih | mundhak katalanjukan | têmah sasar-susur | yèn sira ayun waskitha | sampurnane ing badanira puniki | sira anggêgurua (Di dalam Al Quran terdapat rasa yang nyata | tapi tidak akan kau temukan | kecuali atas petunjuk-Nya | tidak boleh asal-asalan | di kemudian tidak ketemu | malah terjerumus | akhirnya tersasar | bila kamu ingin memahami | kesempurnaan hidupmu | maka bergurulah.)

Dalam bait ini Sri Susuhunan mengungkapkan bahwa tahapan rasa yang diungkap dalam bait sebelumnya terdapat dalam Kitab Suci Al Quran. Hal ini terlihat dalam kalimat jroning Kuran nggoning rasa yekti, dimana frasa jroning berasal dari kata jero yang berarti “dalam” dan kata ing yang memiliki makna “di”,  disusul kata Kuran yang berarti Al Quran, kitab suci agama Islam yang dikarenakan aksara Jawa tidak memiliki huruf “q” maka ditransliterasikan menjadi huruf “k”. Setelah itu frasa nggoning berasal dari kata enggon yang berarti “tempat keberadaan” dan imbuhan ing yang menyatakan keterangan tempat, lalu kata rasa sebagaimana diuraikan di bait sebelumnya dan kata yekti yang berarti “nyata”, “terang”, atau “terbukti”. Secara lengkap, kalimat ini bermakna “dalam Al Qur’an terdapat rasa yang sebenarnya”.

Dalam konteks pupuh Dhandanggula, kata rasa dalam bait ini mengacu pada rasa yang telah diuraikan dalam paragraf sebelumnya. Rasa mengacu pada tahapan dalam jiwa manusia Jawa untuk melihat dunia sekitar sehingga memperoleh kesempurnaan dan mengarah ke tahapan yang dalam bahasa Jawa disebut manunggaling kawula gusti, atau menyatukan hamba dengan Tuhan. Dalam pemahaman yang sempit, jargon ini dipandang sebagai kemusyrikan, karena menyamakan Tuhan dengan mahluk-Nya, namun bagi spiritualis Jawa jargon ini menggambarkan bagaimana manusia merasakan kehadiran Tuhan di setiap saat, sehingga dapat menjaga manusia dari perbuatan yang salah dan merugikan orang lain.

Namun demikian, Sri Susuhunan mengingatkan bahwa memahami Al Quran bukanlah perkara gampang. Tidak mudah seseorang memahami makna Al Quran, bahkan orang perlu berdoa dan meminta petunjuk Tuhan untuk memahami makna firman-Nya. Hal tersebut diungkap dalam kalimat nanging ta pilih ingkang uninga, dimana kata nanging berarti “tetapi” disusul kata ta yang memiliki makna menekankan kemudian kata pilih yang memiliki makna “jarang” atau “tidak semua” kemudian kata ingkang yang berarti “yakni” atau “yaitu” dan kata uninga yang berasal dari kata wuninga dan bermakna “mengetahui” sehingga kalimat ini memiliki makna “tetapi niscaya jarang yang memahami kitab suci”. Lalu disusul kalimat kajaba lawan tuduhe, dimana kata kajaba yang berarti “kecuali” kemudian lawan yang berarti “terhadap” dan kata tuduhe yang berasal dari kata pituduh yang berarti “nasehat” atau “petunjuk” dan akhiran e yang memiliki makna kepunyaan sehingga kalimat ini bermakna “kecuali atas petunjuk dari Tuhan”.

Sri Susuhunan mengingatkan bahwa kita tidak boleh sembarangan dalam memahami makna kitab suci, karena pemahaman yang dangkal dan tekstual terhadap kitab suci akan menjerumukan kita ke dalam pandangan yang sempit dan justru membuat kita bisa tersasar jauh dari makna yang disampaikan dalam kitab suci tersebut. Hal tersebut tergambar dalam kalimat berikutnya yaitu nora kêna dèn awur, dimana kata nora berasal dari kata dasar ora yang berarti “tidak” yang mengalami proses penghalusan menjadi kata nora, kemudian kata kena yang berarti “boleh” lalu kata den yang memiliki makna “agar” atau “disuruh”, lalu kata awur yang bermakna “tidak dilihat sungguh-sungguh” sehingga secara keseluruhan kalimat ini memiliki makna “tidak boleh kalian sembarangan melakukan pemaknaan”. Kemudian disusul kalimat ing satêmah nora pinanggih, yang terdiri dari kata ing yang memiliki sepadan dengan kata “di” kemudian kata satemah yang berarti “pada akhirnya” atau “hasilnya” lalu disusul kata nora yang berarti tidak dan diakhiri dengan kata pinanggih yang berasal dari kata panggih yang ditambah dengan sisipan in dan memiliki makna “bertemu” sehingga kalimat ini memiliki arti “hingga pada akhirnya tidak bertemu dengan makna sejati kitab suci”. Kalimat selanjutnya mundhak katalanjukan, têmah sasar-susur dapat dijabarkan sebagai berikut kata mundhak berarti “sehingga” atau “pada akhirnya” lalu kata katalanjukan yang berasal dari kata telanjuk yang maknanya adalah “penanda” atau “rambu” yang ditambah imbuhan ka-an sehingga maknanya menjadi “terlanjur” atau “kebablasan”. Kalimat ini dilanjutkan dengan kata temah yang bermakna “akibat” atau “akhirnya”, kemudian kata sasar yang berarti “keliru” atau “sesat” dan kata susur yang berarti “tepi sebelah luar” atau berarti pula “pegangan” atau “silsilah”. Secara keseluruhan, kalimat mundhak katalanjukan, temah sasar susur dapat dimaknai “sehingga kebablasan, pada akhirnya tersesat dari yang digariskan”

Selanjutnya Sri Susuhunan menyarankan apabila kita ingin memahami kesempurnaan diri, maka kita tidak boleh segan untuk belajar. Saran tersebut dilukiskan dalam kalimat yèn sira ayun waskitha, sampurnane ing badanira puniki, sira anggêgurua. Dalam kalimat pertama, kata yen berarti “jika” atau “apabila”, lalu kata sira yang bermakna “kamu” atau “engkau” disusul kata ayun yang berarti “berkeinginan” dan kata waskitha yang berarti “memahami” atau “mengetahui”. Kalimat sampurnane ing badanira puniki terdiri atas kata sampurnane yang berasal dari kata sampurna atau sempurna ditambahan akhiran ne yang bermakna “sempurnanya” lalu kata ing yang berarti “di” diikuti kata badanira yang terdiri dari kata badan yang bermakna “diri” atau “tubuh” dan kata nira yang bermakna “milikmu” dan diakhiri dengan kata puniki yang berarti “ini”. Rangkaian kalimat di atas ditutup dengan dua kata yaitu sira yang berarti “engkau” atau “kamu” dan anggegurua yang berasal dari kata guru yang dikenai proses sintaksis yang cukup rumit yaitu imbuhan ha dan ge lalu akhir a yang maknanya adalah “bergurulah”. Dari uraian di atas, kalimat yen sira ayun waskitha, sampurnane ing badanira, sira anggegurua dapat diartikan “apabila kami ingin memahami bagaimana menyempurnakan diri, maka engkau bergurulah”.

Bait ini sangat relevan dengan kondisi dunia akhir-akhir ini. Berbagai konflik, baik di level masyarakat akar rumput (grass root), di level nasional maupun internasional dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya adalah fanatisme agama yang dipicu oleh pemahaman yang keliru dan bersifat tekstual terhadap kitab suci -tidak hanya kitab suci Al Quran, namun kitab suci agama lain-. Ungkapan keprihatinan Sri Susuhunan 200 tahun lalu terasa sangat mutakhir, “tapi makna hakiki kitab suci sulit dipahami, kecuali atas petunjuk-Nya, tak bisa kau sembarangan, malah tak akan kau temukan maknanya, akhirnya kau terjerumus dan tersasar jauh dari mana hakiki kitab suci”. Untuk mengatasi hal ini, Sri Susuhunan menghimbau umat beragama dan para pemuka agama untuk terus belajar demi menajamkan pemahaman terhadap kitab suci.

Nanging yèn sira gêguru kaki | amiliha manungsa kang nyata | ingkang bêcik martabate | sarta kang wruh ing khukum | kang ngibadah lan kang ngirangi | sokur olèh wong tapa | ingkang wus amungkul | tan mikir pawèwèhing lyan | iku pantês sira guronana kaki | sartane kawruhana (Namun apabila engkau ingin berguru | pilihlah manusia yang nyata | yang bermartabat baik | dan yang mengerti hukum | yang beribadah dan sederhana | syukur dapat pertapa | yang telah lebih [ilmunya] | tak lagi memikirkan pemberian orang | itu pantas engkau jadikan guru | dan diminta petunjuknya.)

Dalam bait ini Sri Susuhunan memberikan beberapa kriteria orang yang pantas dijadikan guru. Sri Susuhunan mengatakan bahwa kita harus memilih manusia yang nyata sebagai guru. Kalimat pertama dalam bait ini nanging yen sira geguru kaki maknanya dapat diuraikan sebagai berikut, kata nanging bermakna “tapi”, “namun”, “demikian pun” disusul dengan kata yen yang berarti “jika” atau “apabila” lalu kata geguru yang berasal dari kata guru dikenai imbuhan ge yang maknanya “berguru” dan diakhiri dengan kata kaki, sebuah kata yang dipakai untuk memanggil anak atau cucu yang sangat dikasihi atau disayang. Kalimat amiliha manungsa kang nyata terdiri atas kata amiliha yang berasal dari kata pilih dan dikenai awalan ha sehingga bermakna “pilihlah”, disusul dengan kata manungsa yang berarti “manusia” dan kata kang yang bermakna “yang” lalu ditutup dengan kata nyata yang makna bahasa Indonesianya sama yaitu “nyata” yang dalam konteks ini memiliki makna “yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lengkap”. Dari paparan ini, secara lengkap kalimat pembuka tersebut bermakna “jika engkau ingin berguru, nak, pilihlah orang yang betul-betul berpengetahuan dan berpengalaman yang lengkap”.

Ciri manusia nyata menurut Sri Susuhunan adalah orang yang martabatnya baik, memahami hukum agama dengan baik, rajin beribadah dan mengurangi keduniawian. Ciri ini digambarkan dalam kalimat ingkang bêcik martabate, sarta kang wruh ing khukum, kang ngibadah lan kang ngirangi. Kalimat pertama terdiri atas kata ingkang yang berarti “yang” atau “yaitu” lalu disusul kata becik yang bermakna “baik” atau “betul” atau juga “benar” lalu kata martabate yang berasal dari kata martabat dan ditambah akhiran e sehingga bermakna “martabatnya”. Kalimat ini disusul kalimat sarta kang wruh ing khukum yang tersusun dari kata sarta yang berarti “dan” atau “serta” lalu kata kang yang artinya “yang” atau “yaitu” dan di dalam kalimat ini merujuk ke orang kemudian disusul kata wruh yang memiliki makna “tahu” atau “paham” dan dilanjutkan dengan kata ing yang berarti “dalam” dan kata khukum, yang berasal dari kata bahasa Arab al khukmi (حُكْم) yang artinya “hukum”. Kata khukum ini unik, karena diserap dari bahasa Arab dan ditulis dalam aksara Jawa yang dimodifikasi dimana aksara Jawa tidak memiliki konsonan ‘kh’. Kalimat lanjutannya terdiri dari kata kang yang berarti “yang” dan mengacu kepada seseorang, kemudian kata ngibadah yang berasal dari kata ibadah yang ditambah dengan imbuhan ha sehingga artinya menjadi “beribadah” dan dalam konteks ini tidak hanya sekedar ibadah, namun ibadah yang rajin dan benar-benar memahami makna beribadah; lalu disusul kata lan yang berarti “dan” kemudian kata kang yang berarti “yang” dan kata ngirangi yang berasal dari kata kurang yang diperhalus menjadi kata kirang dan ditambah imbuhan ha sehingga maknanya menjadi “mengurangi” dalam konteks ini adalah mengurangi kenikmatan duniawi. Dalam naskah asli, kata ngirangi ditulis sebagai wirangi, namun dalam beberapa versi, kata wirangi dituliskan kembali menjadi kata ngirangi sehingga maknanya adalah “mengurangi”. Makna keseluruhan kalimat tersebut adalah “orang yang baik martabatnya, dan orang yang memahami hukum, orang yang rajin beribadah dan orang yang mengurangi kenikmatan duniawi”.

Sri Susuhunan juga menekankan agar kita belajar dari pertapa, yaitu orang yang berilmu serta senantiasa merasa cukup dan bersyukur atas nikmat Tuhan yang diberikan. Penekanan ini tergambar dalam kalimat sokur olèh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawèwèhing lyan, iku pantês sira guronana kaki, sartane kawruhana. Kalimat pertama dibuka dengan kata sokur yang maknanya adalah ucapan terima kasih dan dalam konteks kalimat ini maknanya adalah “keuntungan yang bukan kepalang”; setelah itu disusul dengan kata oleh yang berarti “mendapat” atau “memperoleh” kemudian diikuti kata wong yang berarti “orang” atau “manusia” dan diakhiri kata tapa yang maknanya “menjalani mati raga dan menyingkir dari keramaian dunia”. Tindakan yang digolongkan sebagai tapa dalam budaya Jawa sangat beragam dan biasanya melibatkan tindakan merenung, berpantang kenikmatan duniawi, dan melakukan tindakan kebaikan bagi sesama. Oleh karenanya, para pertapa dalam budaya Jawa dipandang sebagai orang yang memiliki kelebihan dalam pengalaman batin dan bahkan ada yang meyakini bahwa para pertapa memiliki kesaktian.

Paparan tentang pertapa diikuti dengan kalimat ingkang wus amungkul yang tersusun dari kata ingkang yang berarti “yang” atau “yaitu” lalu kata wus yang berarti “telah” atau “sudah” dan kata amungkul yang berasal dari kata mungkul yang bermakna “dilakukan dengan sepenuh hati” dan diberi awalan ha sehingga kata amungkul bermakna “melakukan berbagai hal dengan sepenuh hati”. Kalimat ini diteruskan dengan kalimat tan mikir pawewehing lyan yang terdiri dari kata tan yang berarti “tidak” kemudian kata mikir yang berasal dari kata pikir dan awalan ma sehingga bermakna “memikirkan” lalu disusul kata pawewehing yang berasal dari kata weweh dan ditambah imbuhan pa-ing sehingga artinya menjadi “pemberian” dan diakhiri kata lyan yang merupakan penyingkatan dari kata liyan yang berarti “orang lain”. Kata liyan berasal dari kata liya yang bermakna “lain” dan mengalami proses penambahan akhir an sehingga makna lain dari kata liyan berarti “orang lain”.

Kalimat selanjutnya adalah iku pantes sira guronana kaki yang berasal dari kata iku yang berarti “itu” atau dalam konteks ini maknanya mengacu ke orang yang memiliki tiga ciri yang diuraikan sebelumnya; disusul kata pantes yang maknanya “pantas” lalu kata sira yang berarti “kamu” atau “engkau”, kemudian kata guronana yang berasal dari kata guru dan ditambah akhiran nana yang makna akhirnya adalah “kau belajar darinya” dan kata kaki, sebuah kata sapaan bagi anak atau cucu yang disayangi. Bait ini diakhir dengan kalimat sartane kawruhana yang tersusun dari kata sartane yang berasal dari kata sarta dan akhir ne yang maknanya “dan” atau “serta” dilanjutkan kata kawruhana yang berasal dari kata kawruh dan ditambah akhiran hana yang makna akhirnya adalah “mintalah pelajaran”. Berdasar analisis tersebut, maka kalimat-kalimat terakhir di bait ini adalah “akan lebih baik jika engkau dapat bertemu dan belajar dari seorang pertapa, yaitu orang yang telah melakukan pertapaan dengan sepenuh hati, orang yang tidak mengharapkan sesuatupun dari orang lain, oleh karenanya orang ini pantas engkau jadikan guru dan diminta pelajaran darinya”.

Dalam bait ini Sri Susuhunan mengingatkan bahwa orang yang memiliki ilmu saja tidak cukup sebagai panutan atau guru. Seorang guru khususnya guru agama, perlu melakukan pertapaan, dalam arti selain rajin beribadah juga tidak mengejar nikmat duniawi baik harta, tahta atau kekuasaan maupun hal-hal keduniawian lainnya. Seorang guru agama harus memiliki rasa yang tajam dalam memahami makrokosmos dan mikrokosmos sebagaimana disebut dalam bait kedua.