Hadits mutawatir lebih baik dan lebih tinggi tingkatnya daripada hadis ahad

2. Karakteristik Hadis Hasan

Hadis hasan memiliki kedudukan di bawah hadis shahih dan di atas hadis dhaif. Menurut al-Hafidh dalam Nukhbatul Fikar bahwa hadis hasan adalah hadis yang dinukilkan oleh rawi yang adil, yang kurang kuat ingatannya muttashil serta tidak cacat dan tidak janggal. Menurut at-Turmudzi dalam al-‘Illal di akhir jami’nya mengatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang selamat dari syadz dan dari orang yang tertuduh berdusta dan hal tersebut diriwayatkan dalam berbagai jalan. Adapun menurut al-Khattabi hadis hasan adalah yang diketahui makhrajnya dan perawinya dikenal sebagai orang-orang yang masyhur.[45]

Hadis Hasan dapat diklasifikasikan kepada dua bagian:

1. Hadis hasan lidzatihi, yaitu hasan yang memenuhi syarat-syarat hadis hasan seperti yang telah disebutkan.

2. Hadis Hasan lighairihi, yaitu Hadis yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastor (tak nyata keahliannya)[46]

Contoh hadis hasan:

قال الترمذى حد ثنا احمد بن منيع حدثنا هشيم عن يزيدين ابى زياد عن عيد الر حمن بن ابن ليل عن البراء بن عازب قال: قال رسول الله ص: حقا على المسلمين ان يغتسلوايوم الحمعة . رواه الترمذي

Artinya :

(Kata Turmudzi) “telah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Mani’, telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Yazid bin Abi zi-yad, dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari al-Bara’ bin Azid, ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya satu kewajiban atas orang-orang Islam adalah mandi pada hari jum’at” (HR. at-Tirmizi)[47]

Dari rumusan itu ada tiga unsur penting dalam hadis hasan, yaitu:

1. Isnadnya tidak mengandung prasangka bohong. Hal itu berarti isnadnya tergolong tsiqah (terpercaya), shadug (benar) dan dhabit (kuat ingatannya). Meskipun para perawi hadis derajatnya daif, kedaifan perawi tidak sampai tingkat berbohong, para ulama hadis juga menjelaskan beberapa ciri perawi hadis hasan itu antara lain: 1) hafalan-hafalan kurang kuat, 2) tidak jelas riwayat hidupnya, 3) tidak terdaftar pada kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, 4) Muddallis (meriwayatkan dari ulama semasa atau sebelumnya dalam keadaan samar). Apabila keadaan sifat-sifat itu tidak mengurangi keadilannya, maka dapat diterima hadis yang diriwayatkannya sebagai hadis hasan, sedikit di bawah hadis shahih.

2. Hadis itu tidak syadz. Menurut imam syafi’i, hadis itu diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya dari Nabi saw., bukan sebaliknya maka disyaratkan hadis hasan itu bersih dari pertentangan periwayatan, karena apabila bertentangan dengan riwayat yang terpercaya, hadis itu ditolak.

3. Diriwayatkan dengan jalan lain yang setingkat. Maksudnya hadis itu diriwayatkan dengan jalan lain satu atau lebih yang sederajat atau lebih tinggi. Bukan jalan (sanad) yang lebih rendah, untuk dapat dijadikan rujukan salah satu diantaranya.

Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa perbedaan hadis hasan dengan hadis shahih hanya sedikit segi saja yaitu pada kedhabitannya rawi (hafalannya yang kurang)

Ada banyak kitab-kitab yang hanya memuat hadis shahih dan hadis hasan sehingga darinya dapat dijadikan rujukan dan pedoman hukum setelah Alquran, antara lain:

1. al-Ma’rifatu Man Nazala an AshShahabati Sairal Buldan terdiri atas 5 juz, karya seorang imam yang tsiqah dan penulis banyak kitab yaitu Abu Al-Hasan Ali bin Abdullah Al-Maadiun.

2. Kitab Ma’rifah, terdiri atas 100 juz karya Imam Abu Muhammad Abdullah bin Isa al-Maruji,

3. Kitab ash-Shahabih, terdiri atas 5 juz karya Imam Muhammad bin Hibban Abu Hasan al-Basati

4. Al-Isti’ab li Ma’rifatil Ashhad, karya Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barra an-Namri al Qurthubi al Maliki.

5. Al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasar min Umur Rasulullah saw.. wa Sunanihi wa Ayyumihi yang dikenal dengan al-Jami’ al-shahih atau al-Bukhari.

6. Ada juga kitab yang dikenal sebagai al-Kutub al-Khamsah (lima kitab hadis standar) yaitu : Karya al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Turmudziy dan an-Nasai[48]


III. PENUTUP

Dari keseluruhan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan adalah:

1. Hadis mutawatir adalah hadis yang memiliki sanad yang pada setiap tingkatannya terdiri atas perawi yang banyak dengan jumlah yang menurut hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kebohongan terhadap hadis yang mereka riwayatkan tersebut. Hadis ahad berarti hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi dengan dipanjangkan bacaan a-haad mempunyai makna satuan.

2. Status dan hukum hadis mutawatir adalah qat’i al-wurud, yaitu pasti kebenarannya dan menghasilkan ilmu yang durudy (pasti). Sedangkan dalam masalah hadis ahad, ahli hadis berbeda pendapat tentang pengamalannya.

3. Suatu hadis baru dikatakan hadis shahih (sanad dan matannya) jika telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: sanadnya bersambung, periwayatnya adil, dhabit, hafalannya kuat, tidak mengandung syadz dan illat. Sedangkan hadis hasan adalah hadis yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak janggal pada matannya dan diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.[49] Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hadis hasan kedudukannya berada di bawah hadis shahih. Yang membedakan keduanya terletak pada kurang kuatnya hafalan perawinya.

4. Hadis shahih dan hadis hasan persyaratannya sama, hanya perbedaannya terletak pada kedhabitan periwayatnya (hafalannya tidak kuat). Dari segi pengamalan hadis shahih dan hadis hasan para ulama berbeda pendapat karena statusnya dzanni sehingga ada yang menerimanya sebagai hujjah dan ada yang menolak menerima sebagai hujjah.

5. Hadis yang berkualitas shahih, para ulama sepakat dapat dijadikan hujjah untuk masalah hukum dan lainnya. Hadis hasan, Imam Bukhari dan Ibnul Araby, menolaknya sebagai dalili untuk menetapkan hukum, namun ulama lain seperti al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzainah, dapat menerimanya sebagai hujjah, dengan syarat apabila hadis hasan tersebut ternyata isinya bertentangan dengan hadis yang berkualitas shahih, maka yang diambil haruslah hadis yang berkualitas shahih.


DAFTAR PUSTAKA


Anwar,Moh. Ilmu Mushthalah Hadis. Surabaya: Bintang Prima, 2001.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari’, Juz XIV. Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Al-Bukhari,Abu Abdullah bin Muhammad Ismail. Shahih Bukhari. Jus. IV. Bairut: Darul Fiqri. t.th.

Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya. Bandung : Lubuk Agung, 1989.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud 1982.

Al-Fayyuin, Ahmad Ibnu Muhammad. al-Misbah al-Munir fi Bahri as-Syarhul Kabir lir Rafi’. Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1978.

Al-Gazali, Syaikh Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah : Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul, Studi Kritik Hadis Nabi saw Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Cet. I ; Bandung : al-Mizan, 1998.

Hanafie, A.Usul Fiqh.. Cet. VI; Jakarta: Widjaya, 1985.

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis.. Cet. I ; Jakarta : Bulan Bintang, 1992.

-----------------. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

Khon,H. Abdul Majid. Ulumul Hadis.. Semarang: CV. Toha Putra, 2004.

Mudasir,H. Ilmu Hadis. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. cet. I; Bandung: al-Ma’arif, 1986.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir; Arab Indonesia Lengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Al-Naisabury, Imam Abi Al-Husain Muslim Ibn Al-Hajjaj bin Muslim. Shahih Muslim. Jus II. t.c.. Beirut: Dar Ihya al Kutubil Arabiyah. t.th.

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Cet. III ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Nawer Yuslem,Ulumul Hadis. Jakarta: Pustaka Hidayah, 2006.

Nawwir, At-Taqbir Li an Nawawi Famul Ushul Hadis. Kairo: Abdurrahman Muhammad, t.th

Al-Qahiry,Ahmad bin Ali bin Muhammad Ja’far bin Hijr Al-Kattani Al-Asqalani. Subulus Salam. Mesir: Mustafa al Baby al Halaby, 1389.

Al-Razi, Abu Muhammad bin ‘Abd. Rahman bin Abi Hatim. Kitab Jarh wa al-Ta’dil, Juz II. Beirut: Dar al-Ma’arif, 1952.

Salah, Ibnu. Ulum al-Hadis. Madinah: al-Maktabat al-Islamiyah, 1972.

Shaleh, Subhi. Ulumul Hadis wa Mustalahu, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul, Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1958.

-----------------. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi,Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Sutarmadi, Ahmad. Al-Imam Al Turmuzi; Peranannya dalam Hadis dan Fiqh. Cet. I. Jakarta: 1998.

Al-Syakrazuri, Abu Amir Usman Abdur Rahman bin al Shalah. Ulumul Hadis. al Madinah al Munawarah al Maktaba al Ilmiah, 1972.

Al-Talhasi, Muhammad. Tafsir Musthahul Hadis, diterjemahkan oleh Zainul Muttaqim dengan judul, Ulumul Hadis; Studi Kompleks Hadis Nabi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.

At-Thahhan, Muhamud. Taisir Musthalah al-Hadis, Cet. VII; Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1985.






[1]Syaikh Muhammad al-Gazali, al-Sunnah al-Nabawiyah : Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul, Studi Kritik Hadis Nabi saw Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Cet. I ; Bandung : al-Mizan, 1998), h. 25

[2]Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis (Cet. I ; Jakarta : Bulan Bintang, 1992), h. 10

[3]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. III ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 189-190

[4]Ibid.

[5]Nawer Yuslem,Ulumul Hadits (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2006), h. 62.

[6]Moh. Anwar,Ilmu Mushthalah Hadits (Surabaya: Bintang Prima, 2001), h. 174.

[7]Nawer Yuslem,op. cit., h. 69.

[8]Muhamud at-Thahha, Taisir Musthalah al-Hadits, Cet. VII; Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1985.

[9]Ahmad bin Ali bin Muhammad Ja’far bin Hijr Al-Kattani Al-Asqalani Al-Qahiry,Subulus Salam (Mesir: Mustafa al Baby al Halaby, 1389 H.), h. 392.

[10]Imam Abi Al-Husain Muslim Ibn Al-Hajjaj bin Muslim An-Naisabury. Shahih Muslim. Jus II. t.c. (Beirut: Dar Ihya al Kutubil Arabiyah. t.th.), h. 782.

[11]Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (cet. I; Bandung: al-Ma’arif, 1986), h. 95.

[12]Abu Abdullah bin Muhammad Ismail Al-Bukhari,Shahih Bukhari. Jus. IV (Bairut: Darul Fiqri. t.th), h. 498.

[13]A. Hanafie,Usul Fiqh. (Cet. VI; Jakarta: Widjaya, 1985), h. 193.

[14]Abu Abdullah bin Muhammad Ismail Al-Bukhari, op. cit., h. 499.

[15]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi,Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 167.

[16] H. Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis. (Semarang: CV. Toha Putra, 2004), h. 131.

[17]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, op. cit., h. 168.

[18]Nawer Yuslem,op. cit., h. 79.

[19]H. Abdul Majid Khon,op. cit., h. 134.

[20]Nawer Yuslem,loc. cit.

[21]M. Hasbi Ash-Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 259.

[22]Abu Abdullah bin Muhammad Ismail Al-Bukhari,op. cit., h. 502.

[23]Moh. Anwar,op. cit., h. 175.

[24]Nawer Yuslem, op. cit., h. 81.

[25]H. Mudasir,Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 27.

[26]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, loc. cit.

[27]Abu Abdullah bin Muhammad Ismail Al-Bukhari,op. cit., h. 1273.

[28]Ahmad Warsan Munawir, Kamus al-Munawwir; Arab Indonesia Lengkap (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 264.

29Subhi Shaleh, Ulumul Hadis wa Mustalahu, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 132.

30T.M. Hasbi ash Shiddeqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1958), h. 161

31Ahmad Warson al-Munawwir, op. cit., h. 162.

32M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 14.

[33]Lihat Abu Muhammad bin ‘Abd. Rahman bin Abi Hatim al-Razi, Kitab Jarh wa al-Ta’dil, Juz II (Beiurut: Dar al-Ma’arif, 1952), h. 27-33.

[34]Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari’, Juz XIV (Beirut: Dar al-Fikr, t, th), h. 8-10.

[35]Lihat Ibid., h. 12.

[36]Lihat Ibnu Salah, Ulum al-Hadis (Madinah: al-Maktabat al-Islamiyah, 1972), h. 10.

37Abu Amir Usman Abdur Rahman bin al Shalah al-Syakrazuri, Ulumul Hadis, (al Madinah al Munawarah al Maktaba al Ilmiah, 1972), h. 10

[38]Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 111.

39An-Nawwir, At-Taqbir Li an Nawawi Famul Ushul Hadis (Kairo: Abdurrahman Muhammad, t. th), h. 2.

40Lihat M. Syuhudi Ismail, “Kaedah”, h. 126

41Lihat ibid, h. 127

42Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdikbud 1982), h. 16

43Ahmad Ibnu Muhammad al-Fayyuin, al-Misbah al-Munir fi Bahri as-Syarhul Kabir lir Rafi (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1978), h. 470-471.

44Muhammad at-Talhasi, Tafsir Musthahul Hadis, diterjemahkan oleh Zainul Muttaqim dengan judul, Ulumul Hadis; Studi Kompleks Hadis Nabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h, 46

[45]T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., h. 52.

46 Ibid, h. 136

47Ahmad Sutarmadi, Al-Imam Al Turmuzi; Peranannya dalam Hadis dan Fiqh, (Cet. I. Jakarta: 1998), h. 94-95.

48M. Syuhudi Ismail, “Kaedah”, h. 116.

49M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 14.

Perbedaan Hadits Mutawatir dan Hadist Ahad Lengkap Dengan Pengertiannya

Sebagai umat Islam kita sudah akrab dengan beberapa amalan sunnah dan hukum yang bersumber dari hadist. Dalam buku yang disusun oleh Ahmad Izzan dan Saehudin yang berjudul Hadis Pendidikan, Konsep Pendidikan Berbasis Hadis dijelaskan bahwa hadits merupakan sabda, perbuatan, maupun pernyataan dari Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum.

Hadits yang kita jadikan sandaran hukum setelah Alquran ini rupanya terdiri dari beberapa macam. Dalam buku yang ditulis oleh Syaikh Manna Al-Qaththan yang berjudul Pengantar Studi Ilmu Hadist (2015:110) dijelaskan bahwa pembagian hadist berdasarkan sampainya suatu hadis kepada kita hadist terbagi menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan hadist ahad.

Dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa hadist mutawatir menurut istilah adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh sejumlah orang sebagai perawi yang menurut kebiasaan mereka jauh dari perlakuan dusta mulai dari awal sanad hingga akhir sanad sehingga hadist yang diriwayatkan bukan termasuk hadist palsu.

ADVERTISEMENT

Suatu hadits dapat dikatakan sebagai hadist mutawatir jika memenuhi empat syarat yaitu diriwayatkan oleh orang dalam jumlah yang banyak, para perawi hadist tersebut berada di semua tingkatan sanad, para perawi hadits tidak memiliki kebiasaan berdusta. tak hanya itu, hadist dikatakan sebagai hadist mutawatir jika mereka menggunakan indera misalnya telah mendengar kami, telah melihat kami, dan lain sebagainya dalam sandaran hadist.

Berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad merupakan hadist yang diriwayatkan oleh satu orang. Secara singkat, hadist ahad merupakan hadis yang tidak memenuhi syarat sebagai hadist mutawatir. Hadist ahad ini terdiri dari tiga macam yaitu hadist mahsyur, hadist aziz dan juga hadist gharib.

Perbedaan antara hadist mutawatir dan hadist ahad tersebut dapat Anda jadikan wawasan baru khususnya untuk mengenali berbagai macam hadist yang Anda jadikan sebagai sandaran atau pedoman hukum dalam beribadah dan berkehidupan sehari-hari. Semoga bermanfaat. (DA/RA)

ADVERTISEMENT

Macam-Macam Hadis

Khalifah Umar bin Abdul Aziz membentuk suatu keilmuan yang membahas hadis nabi dan berlangsung sampai abad-abad selanjutnya. Nama kajian keilmuan tersebut adalah ilm mustholah al-hadits.

Melalui keilmuan tersebutlah, para ulama dapat mengklasifikasikan hadis menjadi beberapa macam. Berdasarkan jumlah rawi dalam setiap thobaqoh, hadis dibagi dua, yakni Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.

Sementara, dari sisi diterima atau tidaknya, hadis dibagi tiga macam, yakni Hadis Sahih, Hasan dan Daif.

1. Hadis Mutawatir

Disebut Hadis Mutawatir apabila jumlah perawi setiap thobaqoh tak terbatasi. Jika rawi pada setiap tingkatan sanadnya tak terbatas maka menurut akal tidak mungkin perawi tersebut sepakat memalsukan hadis.

Syarat sebuah hadis menjadi mutawatir menurut Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani dan para ulama, yakni apabila jumlah perawi minimal lima sampai sepuluh orang. Dari seluruh perawi itu, menurut kebiasaan mereka tidak mungkin bersekongkol dan dusta.

Sandaran hadis mereka dengan menggunakan panca indera, bukan dengan sesuatu yang dipikirkan. Misalnya kata: سمعنا (kami telah mendengar), رأينا (kami telah melihat) dan semacamnya dengan menggunkan panca indera.

2. Hadis Ahad

Disebut hadis Ahad adalah jika jumlah rawi di tiap thobaqoh-nya belum mencapai jumlah mutawatir. Misal jumlah rawi hanya satu, dua atau tiga orang.

Berdasarkan jumlah rawi dalam tiap thobaqoh, ulama membagi hadis ahad menjadi tiga macam yakni: Hadits Masyhur: Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih di setiap thobaqoh-nya.

Hadis Aziz, yaitu hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang. Serta Hadis Gharib, yaitu hadis yang diriwayatkan satu perawi.

3. Hadis Sahih

Disebut Hadis Sahih jika sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang berkualitas dan hafalannya kuat, serta dalam sanad dan matannya tidak ada syadz dan illah.

4. Hadis Hasan

Hadis Hasan adalah hadis yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tidak terdapat syadz dan illah. Akan tetapi dalam kualitas hafalan tidak sekuat hadis sahih.

5. Hadis Daif

Hadis Daif (lemah) merupakan hadis yang tidak memenuhi persyaratan Hadis Sahih dan Hadis Hasan.

Dalam pemakaian sebagai sumber hukum, para ulama sepakat bahwa hadis sahih dan hasan bisa digunakan. Namun hadis daif atau hadis lemah tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum kecuali dalam beberapa kasus hadis.

Baca juga:

  • Aisyah binti Abu Bakar: Rawi Hadis dan Perpecahan Suni-Syiah
  • Diduga Pakai Hadis Islam Saat Peragaan Busana, Rihanna Tuai Kritik

Baca juga artikel terkait HADIS atau tulisan menarik lainnya Cicik Novita
(tirto.id - cck/ulf)


Penulis: Cicik Novita
Editor: Maria Ulfa
Kontributor: Cicik Novita

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Berdasarkan jumlah rawi dalam setiap thobaqoh, hadis dibagi dua, yakni Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.

Pembagian Hadis Berdasarkan Jumlah Periwayat dan Kualitas

10 Januari 2015 01:09 |

Diperbarui: 22 Maret 2021 11:27


Hadits mutawatir lebih baik dan lebih tinggi tingkatnya daripada hadis ahad

pixabay

Hadits mutawatir lebih baik dan lebih tinggi tingkatnya daripada hadis ahad

Hadits mutawatir lebih baik dan lebih tinggi tingkatnya daripada hadis ahad

Tulisan ini menguraikan secara singkat dan umum tentang jenis hadis berdasarkan jumlah perawi dan kualitasnya. Diuraikan secara singkat dan umum karena keterbatasan waktu pembuatannya yang relatif singkat, sumber-sumber yang digunakan pun terdiri dari empat buku yang penulis dapatkan, semuanya berbahasa Indonesia. Sebenarnya, banyak sekali informasi yang bisa diakses dari internet terkait topik ini, tetapi hal itu tidak dilakukan karena proses verifikasinya menurut penulis lebih sulit.

A.Pembagian Hadis berdasarkan Jumlah Periwayat

Ulama hadis berbeda pendapat tentang pembagian hadis berdasarkan jumlah periwayatnya. Ada yang membagi menjadi dua, yaitu Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad. Ada juga yang membaginya menjadi tiga dengan menambah satu jenis yang disebut hadis Masyhur. Bagi ulama yang membagi pada dua jenis, hadis Masyhur dikategorikan sebagai bagian dari hadis Ahad.Pada uraian makalah ini, hadis Masyhur dikelompokkan pada pembahasan tentang hadis Ahad.

1.Hadis Mutawatir

Menurut bahasa, kata Mutawatir,berarti mutatabi' yaitu yang (datang) berturut-turut, dengan tidak ada jaraknya. Sedangkan hadis mutawatir menurut istilah ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap generasinya, yang menurut adat tidak mungkin mereka berbuat dusta, dan mereka meriwayatkannya secara indrawi dan memberikan ilmu yakin. Selain itu, ada juga yang mendefinisikan Hadis Mutawatir ialah Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta (jumlah banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya. Ada lagi yang mendefenisikan hadis mutawatir ialah Hadis yang diriwayatkan banyak orang, dan diterima dari banyak orang pula, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.

Dari definisi tersebut maka terdapat beberapa ciri atau syarat yang bisa disematkan pada hadis Mutawatir, yaitu: diriwayatkan banyak orang, diterima banyak orang, tidak mungkin perawi yang banyak itu bersepakat untuk berdusta, dan hadis itu didapat melalui panca indra. Jika dilihat berdasarkan fungsi dari ilmu hadis yaitu untuk memberikan keyakinan atas berita atau hadis yang disampaikan periwayat, maka kedudukan hadis mutawatir telah tercapai dengan baik bahwa yang tergandung di dalamnya adalah benar-benar dari Rasulullah SAW.

Adapun hadis mutawatir ini umumnya dibagi kedalam dua kategori yaitu, mutawatir lafzidan mutawatir maknawi.Sedangkan M. Syuhudi Ismail menambahkan satu lagi yaitu mutawatir 'amali,yaitu amalan agama yang dikerjakan Nabi Muhammad lalu diikuti oleh sahabat dan seterusnya hingga sekarang, seperti waktu shalat, jumlah rakaat shalat, adanya shalat id, adanya shalat janazah dan seterusnya.

Mutawatir lafzhi menurut para ulama, jumlahnya sangat sedikit, bahkan menurut Ibn Hibban dan al-Hazimi hadis tidak ada. Al-Asqolani menolak pendapat ibn Hibban dan al-Hazimi, menurutnya pandangan yang demikian itu terjadi karena kurang mengetahui jalan-jalan atau keadaan-keadaan para rawi serta sifat-sifatnya yang menghendaki bahwa mereka itu tidak mufakat untuk berdusta. Salah satu contoh hadis mutawatir lafzhi yang sering dikutip yaitu "barang siapa yang dengan sengaja berbuat dusta atas namaku, niscaya ia menempati tempat duduknya dari api neraka". Berbeda dengan mutawatir lafzhi, muawatir maknawitidak banyak diperdebatkan oleh ahli hadis, karena hadis ini relatif jauh lebih banyak dan lebih mudah dijumpai karena biasanya menyangkut aktifitas ibadah ritual.

Hadis-hadis mutawatir ini ini dapat diperoleh pada kitab-kitab hadis para ulama, tetapi untuk memudahkan memperoleh dan mengetahuinya terdapat ulama yang secara khusus menulis kitab hadis yang berisi hadis-hadis mutawatir, salah satu diantaranya ialah: al-azhar al-Mutanatsirah fi al Akhbar al-Mutanawatirah karya as-Suyuti yang di dalamnya memuat 112 buah hadis.

2.Hadis Ahad

Secara sederhana, yang disebut hadis ahad adalah hadis yang tidak mutawatir. Kata ahad adalah bahasa Arab yang berarti satu, maka pengertian hadis ahad adalah hadis yang disampaikan oleh satu periwayat. Dalam beberapa literatur yang didapat pengertian hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, atau yang jumlah periwayatnya terbatas dan tidak banyak sebagaimana yang terjadi pada hadis mutawatir.

Halaman Selanjutnya