Hal apa yang menimbulkan ketertarikan kartini terhadap perempuan eropa

Jakarta -

Sosok perjuangan Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat menjadi simbol emansipasi wanita. Tepat di hari kelahiran RA Kartini, Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai bentuk apresiasi atau perjuangannya.

RA Kartini yang dikenal cerdas dan berwawasan luas ini diketahui sempat berkeinginan melanjutkan pendidikan di Belanda. Di penghujung usianya, Kartini juga mewujudkan salah satu cita-citanya yakni membangun sebuah sekolah di Rembang, atas dukungan sang suami.

Lalu bagaimana perjuangan RA Kartini dalam bidang Pendidikan?

Keinginan ke Belanda

Melansir dari buku Sisi Lain Kartini yang diterbitkan dalam rangka Pameran Temporer Sisi Lain Kartini oleh Museum Kebangkitan Nasional, Kemendikbud RI, berikut kisah perjuangan Kartini dalam bidang pendidikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pahlawan Nasional Perempuan Indonesia ini memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan di Belanda, sebagai bentuk kemajuan berpikir dan keinginannya untuk melepaskan diri dari jeratan adat yang membatasi kaum perempuan di masa itu.

Sejak dipingit di usia 12 tahun, kemampuan bahasa Belanda RA Kartini terus terasah. Ia sering membaca dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satunya bernama Rosa Abendanon. Dari bacaan Eropa dan surat-suratnya kepada Rosa, ketertarikan Kartini untuk berpikir maju seperti perempuan Eropa timbul.

Melalui suratnya kepada Nyonya Ovink Soer, tertulis bahwa dirinya ingin mencari beasiswa ke Belanda, "Kami mau mempelopori dan memberi penerangan, karenanya kami pertama-tama harus pergi ke Belanda untuk belajar. Bagi kami baik, kalau kami pergi. Ibu tercinta, tolong usahakan kami bisa pergi"

Namun keinginan RA Kartini harus tertahan karena tidak mendapat izin dari kedua orang tuanya.

Ingin Jadi Guru

Setelah keinginan ke Belanda ditentang, Ibu Kartini mendapat kesempatan mengenyam pendidikan sebagai guru. Hal itu didukung dengan diumumkannya politik kolonial baru oleh pemerintah Belanda pada September 1901.

Dalam sidang parlemen, Ratu Wilhelmina memproklamasikan berlakunya politik etis dimana pemerintah harus menyejahterakan masyarakat Indonesia yang dijajah Belanda.

Secercah harapan muncul usai pada 8 Agustus 1900, Kabupaten Jepara dikunjungi J.H. Abendanon, yang kala itu menjabat sebagai Direktur Depertemen Pendidikan, kerajinan dan agama. Ia datang untuk menjelaskan rencana pendirian kostschool (sekolah asrama) untuk gadis-gadis bangsawan. Sayangnya hal itu ditolak oleh sebagian besar bupati dengan alasan aturan adat bangsawan yang melarang anak perempuan dididik di luar rumah.

"Selamat jalan impian hari depan yang keemasan! Sungguh, itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan". demikian isi surat Kartini kepada sahabat penanya, Stella saat mengungkapkan kekecewaannya.

Bangun Sekolah

Ibu Kartini dan Roekmini, saudaranya, memutuskan untuk membuka sekolah untuk anak-anak gadis pada Juni 1903 di pendopo Kabupaten Jepara.

Murid-murid disana diajari berbagai keterampilan, seperti membaca, menulis, menggambar, tata krama, sopan-santun, memasak, serta membuat kerajinan tangan.

(izt/imk)

Hal apa yang menimbulkan ketertarikan kartini terhadap perempuan eropa
Raden Ajeng Kartini (Ist)

JAKARTA, KalderaNews.com — Raden Ajeng Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2 Mei 1964. Penetapan itu dilakukan dengan Keputusan Presiden No 108 tahun 1964. Ditandangani oleh Presiden Sukarno. Ia sendiri lahir 141 tahun lalu, tanggal 21 April.

SK penetapan kepahlawanan Kartini, dalam pertimbangannya, tak menonjolkan peranannya sebagai pejuang emansipasi perempuan. Pemberian gelar kepahlawanan itu didasarkan pada peranannya yang melampaui emansipasi perempuan, yaitu melawan penjajahan bangsa.

Hal itu terlihat pada redaksi SK tersebut. Di sana, Kartini ditetapkan sebagai pahlawan dengan pertimbangan, “mengingat djasa-djasanja sebagai pemimpin Indonesia di masa silam, jang semasa hidupnja, karena terdorong oleh rasa tjinta Tanah Air dan Bangsa, memimpin suatu kegiatan jang teratur guna menentang pendjadjahan di bumi Indonesia.”

Tidak mengherankan banyak kalangan yang menganggap perayaan Hari Kartini pada 21 April yang sangat ‘perempuan’ dewasa ini telah mempersempit jasa Kartini.

Hari Kartini selama ini, seperti digambarkan oleh Glenn Ardi pada sebuah tulisannya tahun 2016, berjudul “Kartini: Bukan Hanya tentang Kebaya,” sering dipandang sebagai “hari dimana anak-anak didandani pake kebaya dan baju daerah…. Sosok Kartini begitu identik dengan kebaya, pakaian daerah, tradisi seremonial setiap tahunnya.”

BACA JUGA:


Padahal, kata Head of Marketing and Branding Zenius itu, “keistimewaan Kartini bukan terletak pada kebaya, lagu atau seremonial adat, tetapi pada intelektualitasnya, gagasannya dan perjuangannya.”

Membangkitkan Nasionalisme

Kartini dengan nama bangsawannya, Raden Adjeng Kartini, semasa hidupnya yang singkat (25 tahun) memang banyak menaruh perhatian pada isu-isu perempuan. Namun, surat-suratnya yang diterbitkan sesudah ia meninggal, menunjukkan ia memiliki perhatian yang lebih luas pada nasib bangsanya. Bagi Kartini, perjuangan perempuan untuk memperoleh kebebasan adalah bagian dari gerakan yang lebih luas, yaitu kebangkitan bangsa yang terjajah.

Lahir di Jepara, 21 April 1879, Kartini tumbuh sebagai seorang perempuan terdidik di tengah keluarga bangsawan Jawa. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang patih. Ia diangkat menjadi bupati Jepara beberapa waktu setelah Kartini lahir.

Kartini adalah anak ke 5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung (dari istri pertama ayahnya, M.A. Ngasirah), Kartini yang tertua.

Kartini menempuh pendidikan di Europese Lagere School (ELS) di Jepara sampai usia 12 tahun. Ia berhenti karena tradisi yang mengharuskannya dipingit.

Dari pendidikan, ia banyak belajar tentang hak asasi manusia dalam arti yang paling praktis: ia tidak suka basa-basi tatakrama. Orang yang paling pertama ia didik tentang kesetaraan manusia adalah adik-adik perempuannya. Ia tidak mau mereka berjalan di depannya dengan menunduk-nunduk.

Kartini tampaknya adalah murid yang cerdas. Ia memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang cukup. Ini menyebabkannya dapat bergaul dengan supel di antara noni-noni Belanda, teman sekolahnya.

Kemahiran berbahasa tampaknya juga dipupuk di tengah keluarga ini. Kakaknya, Sosrokartono, dikenal sebagai seorang yang pintar dalam bidang bahasa, dan disinggung di buku memoar Mohamad Hatta ketika wakil presiden pertama RI itu menempuh pendidikan di Belanda.

Kemampuan Kartini berbahasa Belanda mempermudahnya untuk belajar sendiri ketika tidak sekolah lagi. Ia mengkonsumsi bacaan-bacaan kaum terdidik Belanda.

Dari berbagai surat-suratnya, terungkap deretan buku dan bacaannya. Ia pembaca fanatik surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft. Ia juga membaca majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Dalam usianya yang relatif muda, ia pun telah membaca Max Havelaar karya Multatuli, yang menggambarkan kekejaman penjajahan Belanda. Roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder, termasuk yang ia baca.

Apa yang dia baca dan renungkan kemudian ia tulis. Percikan pemikiran –kadang-kadang curahan hati — ia tulis berupa surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Dari surat-suratnya, tampak cara berpikir Kartini yang lugas. Ia tidak segan-segan mendebat pendapat teman korespondensinya.

Itu, misalnya, tampak dalam salah satu suratnya kepada Estella Zeehandelar, sahabat pena yang ia kenal lewat jurnal De Hollandsche Leile. Ia ‘melawan’ teman Belandanya itu yang dia pandang seolah memaksa dengan tidak sabar agar terjadi perubahan dalam tradisi Jawa. Begini ia menulis:

“Janganlah kami coba dengan paksa mengubah adat kebiasaan negeri kami ini; bangsa kami yang masih seperti anak-anak itu, akan mendapat yang dikehendakinyam yang mengkilap bercemerlangan. Kemerdekaan perempuan tak boleh tidak akan datang juga; pasti akan datang juga, hanyalah tiada dapat dipercepat datangnya,” tulis Kartini.

Meskipun ada kalanya berbeda pendapat, Kartini banyak belajar dan dipengaruhi oleh kemajuan berpikir perempuan Eropa. Ini menimbulkan pemikiran baginya untuk memajukan perempuan pribumi. Ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Namun, perhatian pada kemajuan perempuan pribumi adalah bagian dari keinginannya memajukan bangsanya.

Dalam artikelnya “Pemikiran-pemikiran R.A. Kartini yang Menginspirasi Kaum Pergerakan” di Tirto.Id, Indira Ardanaweswari mengutip sejumlah referensi yang mendukung hal ini. Di antaranya tentang pendapat Sitisoemandari Soeroto.

Sitisoemandari Soeroto dalam “Kartini Sebuah Biografi,” menyebut Kartini adalah Ibu Nasionalisme Indonesia. Menurut dia, konsep tentang bangsa tersirat dalam surat-surat Kartini. Lebih jauh, surat-surat tersebut telah mendorong kemunculan kelompok diskusi tentang nasionalisme Indonesia, termasuk di kalangan mahasiswa di Belanda.

Pada bulan Desember 1911, misalnya, perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda, Indische Vereenging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia, mengadakan rapat khusus untuk membicarakan konsep nasionalisme Kartini. Pemimpin PI kala itu, Notosoeroto, membawakan pidato berjudul Buah Pikiran Raden Ajeng Kartini sebagai Pedoman Perhimpunan Hindia.

Di Indonesia, pendiri Boedi Oetomo, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, mendirikan Kartini Club, sebuah kelompok diskusi, wahana kaum terpelajar untuk mencapai kesetaraan berbangsa. Dr Tjipto tertarik pada pemikiran Kartini yang mendobrak tradisi Jawa demi membangkitkan nasionalisme.

Di kemudian hari, pencipta lagu Indonesia Raya, W.R. Soepratman menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini yang sangat populer. Ia menggambarkan Kartini sebagai ‘pendekar bangsa dan pendekar kaumnya’ untuk merdeka.

Pakar dari dalam dan luar negeri mengakui pemikiran-pemikiran Kartini melampaui zamannya. Tidak heran bila ia dipandang sebagai sosok aneh dan liar oleh lingkungan terdekatnya. Annee Lawrence, peneliti dan pengajar di Western Sydney University, Australia, memasukkan Kartini sebagai salah seorang Wanita Berbahaya dalam Dangerous Woman Project, lewat sebuah artikel R.A. Kartini and The Clover Leaf.

“Mengapa (dia) berbahaya? Dengan caranya sendiri ia menulis untuk melancarkan kritik, untuk membangkitkan kesadaran melalui kemarahan, rasa malu dan kesedihan. ia mengungkap ketidaksetaraan, hukuman, penindasan. Jika masyarakat dibuat oleh manusia, mereka dapat diubah. Dia bekerja untuk perubahan itu, emosinya terus bergerak, dia mempertaruhkan raganya, berbicara kebenaran pada eksotisme, tradisi dan kekuatan kolonial, tetap setia pada nilai yang dipilihnya, jalur reformasi yang dipilihnya,” tulis Anne Lawrence.

Glenn Ardi, yang tampaknya baru menemukan ketertarikan membaca surat-surat Kartini 105 tahun setelah diterbitkan, memberi ‘kuliah’ kepada generasinya, tentang keberanian dan pemberontakan Kartini. “Jadi sekarang kalo lo memandang potret Kartini yang kalem dengan mengenakan kebaya jangan dibayangkan dia adalah putri bangsawan yang kalem, anggun, sopan denan tata krama yang halus. Sosok Kartini yang gue baca adalah sosok yang pecicilan, pemberontak, tidak patuh, lincah, berpandangan luas, pandai, suka bercanda dan kalau tertawa terbahak-bahak,” tulis dia.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Episode hidup Kartini yang paling sering dibicarakan karena kontroversinya ialah perkawinannya. Orang tuanya menjodohkannya kepada bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Mereka menikah pada tanggal 12 November 1903.

Oleh banyak kalangan, ini dipandang sebagai inkonsistensi Kartini pada perjuangannya, Namun, dalam sebuah suratnya terungkap, bahwa keputusan ini sesuatu yang sangat pribadi, yaitu untuk menghormati ayahnya. Untuk segala hal lain, ia dapat menjadi sangat kuat dan persisten. Namun kepada ayahnya, Kartini tak kuasa menolak.

“Stella, aku hendak merebut kemerdekaanku. Aku tidak gentar karena keberatan dan kesukaran, rasaku cukup kuatnya aku akan mengalahkan sekaliannya itu, tetapi ada yang sungguh aku segani. Stella, sudah beberapa kali kuceritakan, aku sayang akan Bapak dengan segenap sukmaku. Belum tentu hatiku, entah akan beranikah aku meneruskan kehendakku, bila akan melukai hatinya, hatinya yang kasih sayang kepada kami itu,” katanya dalam salah satu suratnya pada tahun 1903, kepada Stella, ketika mengemukakan alasan mengapa ia tidak jadi bersekolah di Batavia, karena tidak diizinkan ayahnya.

Sesudah menikah, Kartini masih tetap melanjutkan usahanya memajukan pendidikan di kalangan perempuan. Suaminya mengerti keinginan Kartini. Maka berdirilah sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. (Bangunan itu kini digunakan sebagai Gedung Pramuka).

Sayangnya usia pernikahan mereka singkat. Pada tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan putra pertama sekaligus terakhirnya. Bayi itu diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat.

Empat hari kemudian, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Ia dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Ketika Kartini mengandung bahkan sampai melahirkan, dia sehat walafiat. Dokter yang menolongnya, Dr van Ravesten, sempat menengok keadaan Kartini pada hari terakhirnya dan tidak mengamati ada gejala yang mengkhawatirkan. Mereka bahkan sempat meminum anggur bersama. Sejumlah dokter berpendapat Kartini meninggal karena mengalami preeklampsia atau tekanan darah tinggi yang biasa terjadi pada ibu hamil.

Setelah Kartini meninggal, J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini kepada istrinya dan teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.

Kumpulan surat-surat itu menjadi buku dengan judul Door Duisternis tot Licht pada tahun 1911. Terjemahan harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu. dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Pada tahun 1938, sekali lagi buku ini terbit dengan judul yang sama oleh penerbit yang sama, namun dengan pembagian bab yang berbeda. Penyuntingnya, Armijn Pane, seorang sastrawan Pujangga Baru,

Armijn Pane membuat kata pengantar pada buku ini yang merupakan penilaiannya atas Kartini. “Kartini pada mulanya mencaci agamanya dan adat istiadatnya. Mukanya selamanya dihadapkan ke arah Barat. Kemudian berubah juga, kemudian dipandangnya adat istiadatnya dan pikiran-pikiran yang terkandung dalam bangsanya ada baiknya juga.” (SM)

* Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan dishare pada saudara, sahabat dan teman-temanmu.