Hukum-hukum islam tentang ahli waris secara lengkap dijelaskan dalam
DOI: https://doi.org/10.51675/jaksya.v2i2.166 Keywords: Waris, bagian laki-laki dan perempuan, hukum Islam
Abstrak: Harta warisan adalah semua peninggalan pewaris yang berupa hak dan kewajiban atau semua harta kekayaan yang ditinggalaki-lakian untuk dibagikan kepada yang berhak (ahli waris). Dalam pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan juga perlu adanya asas keadilan tanpa mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan. Berbeda pada masa jahiliyyah, pembagian warisan hanya berlaku pada laki-laki saja dan terhadap anak yang belum dewasa, anak perempuan atau kaum perempuan tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Setelah Islam sempurna pembagian warisan tidak lagi pembedaan antara ahli waris anak-anak, perempuan, dan orang dewasa dalam memperoleh hak-haknya untuk menerima warisan. Dalam hukum Islam, tentang pembagian warisan telah ditetapkan dalam Q.S. al-Nisā’ ayat 11, khususnya tentang bagian laki-laki dan perempuan. KHI mengatur kewarisan dalam pasal 174 yang termasuk golongan laki-laki yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek dan golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Dalam pasal 176 dijelaskan tentang besarnya bagian. Anak perempuan bila hanya seorang, ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2011. Ahmad Rofiq. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001. Ahmad Warson Munawwir. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Perempuanogressif, 1997. Asrory Zain Muhammad dan Mizan. Al-faraidh: Pembagian Pusaka dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu, 1981. Dian Khairul Umam. Fiqih Mawaris. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000. Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an. Jakarta: Tinta Mas, 1997. Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. ___, Hukum Waris Indonesia menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Muhammad Ali al-Shobuni. Hukum Kewarisan Menurut al-Quran dan al-Sunnah. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2005. M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2005. Q. Sholeh. Asbabun Nuzul. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2009. Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1995. Umi Kulsum. Risalah Fiqih Wanita Lengkap. Surabaya: Cahaya Mulia, 2007. Wahbah al-Zuhaili. Tafsir al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr, 2005. Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga keturunan lurus disesuaikan dengan aturan adat masyarakat setempat yang lebih berhak.[1] Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Adat disebut hukum Waris Adat, Hukum Islam disebut hukum Waris Islam dan hukum Waris Perdata tidak memiliki hukum adat dan hukum islam, hal ini biasanya hanya diberlakukan untuk umat yang bukan beragamakan Islam. Setiap daerah memiliki hukum Adat dan hukum Islam yang berbeda-beda sesuai dengan sistem Adat, budaya kekerabatan yang mereka anut.[2][3][4] Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176. hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui. siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.[5] Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat bahayanya, paling tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah Subhanahu wa ta'ala sendiri yang menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk laki-laki dan perempuan, besar dan kecil, mereka tidak ada yang lemah dan kuat disesuaikan dengan tatanan adat dan budaya yang diberlakukan, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu. Karena di Indonesia Pengembangan Hukum Undang-undan serta Peraturan Pemerindah berdasarkan hukum islam dan hukum adat. Sehingga Hukum Islam dan Hukum Adat tidak berlawanan dengan pengembangan Hukum di Indonesia[6] Dzawil Furudl adalah deretan anggota keluarga yang memiliki hak atas harta peninggalan seorang yang meninggal dunia,[7] yaitu:
Terdapat tiga golongan ahli waris menurut ajaran bilateral:
Dzul faraa-idh (biasa disebut juga sebagai ashabul furudh atau dzawil furudh)Dzul faraa-idh ialah ahli waris yang telah mendapat bagian pasti, yang bagian-bagian tersebut telah ditentukan dalam Al-qur'an surat An-Nisa, atau sebagaimana pula telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bab ketiga, yang di antaranya:
Dzul qarabat atau ashabahDzul qarabat ialah ahli waris yang mendapat bagian sisa atau tidak ditentukan, di antaranya:
MawaliMawali adalah ahli waris pengganti yang menggantikan seseorang untuk memeroleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Mawali ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (misalnya wasiat) dengan pewaris. Pembagian Dzul faraa
Hukum waris dalam ilmu hukum merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pengaturan mengenai hukum waris tersebut dapat dijumpai dalam pasal 830 sampai dengan pasal 1130 KUH Perdata. Meski demikian, pengertian mengenai hukum waris itu sendiri tidak dapat dijumpai pada bunyi pasal-pasal yang mengaturnya dalam KUH Perdata tersebut. Untuk mengetahui pengertian mengenai hukum waris selanjutnya kita akan coba menilik beberapa pengertian mengenai hukum waris yang diberikan oleh para ahli, sebagai berikut: Hukum waris menurut Vollmar merupakan perpindahan harta kekayaan secara utuh, yang berarti peralihan seluruh hak dan kewajiban orang yang memberikan warisan atau yang mewariskan kepada orang yang menerima warisan atau ahli waris. Hukum waris menurut Pitlo adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena meninggalnya seseorang. Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai kedudukan harta dan kekayaan seseorang setelah meninggal dunia dan mengatur mengenai cara-cara berpindahnya harta kekayaan tersebut kepada orang lain. Selain beberapa pengertian tersebut di atas, pengertian mengenai hukum waris juga dapat dilihat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dalam pasal 171 disebutkan bahwa: Hukum Waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris kemudian menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan menentukan berapa bagian masing-masing. Hukum Waris Perdata ini diberlakukan hanya untuk umat yang beragamakan non Muslim. Hukum waris adat adalah Hukum lokal suatu daerah ataupun suku yang diberlakukan adat yang sebenarnya ialah Adat dan budaya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi yang masih dipertahankan serta masih berjalan hingga saat ini, ter verifikasi di wilayah tersebut. Hukum waris adat istiadat tetap dipatuhi dan diberlakukan menjadi ketetapan oleh masyarakat adatnya terlepas asal hukum waris tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis karena itu sudah sepatutnya harus di laksanakan sehingga menjadi kebiasaan membudaya hingga keturunan berikutnya. Sistem pewarisSistem keturunan: pewaris berasal asal keturunan ayah atau ibu ataupun keduanya.
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hukum_waris&oldid=21350201" |