Hukum waris adat harus mempertimbangkan nilai kepatutan dalam memberikan waris terhadap anak angkat

Seluk Beluk Hukum Keluarga

13 Mei 2021

UU Perlindungan Anak menganut prinsip ‘demi kepentingan terbaik untuk anak’, tetapi pengangkatan anak tidak memutus hubungan darahnya dengan orang tua kandung. Hak mewaris bagi anak angkat berbeda-beda dalam sistem hukum.

Bacaan 5 Menit

Hukum waris adat harus mempertimbangkan nilai kepatutan dalam memberikan waris terhadap anak angkat

Ilustrasi

Tujuan perkawinan adalah meneruskan keturunan, tetapi ada orang tak memiliki keturunan. Biasanya pasangan suami-isteri melakukan pengangkatan anak. Dalam konteks pengangkatan anak dikenal istilah adopsi. Pengangkatan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, bahkan dikenal dalam sistem hukum perdata umum, hukum Islam, dan hukum adat.

Pengangkatan anak termasuk hukum keluarga yang banyak mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan. Tidak hanya oleh Kementerian Sosial, tetapi juga Mahkamah Agung. Perhatian semacam itu tidak lepas dari munculnya beragam masalah yang berkaitan dengan anak angkat, apalagi jika sudah berkaitan dengan pewarisan. Persoalannya berkisar pada hak-hak anak angkat dalam pembagian waris. Tidak jarang, persoalan hak waris anak angkat bermuara ke pengadilan. Dalam kaitan itulah Mahkamah Agung menerbitkan beleid yang relevan.

Sekadar contoh dapat disimak kisah berikut. Pasangan suami isteri, AP dan UK, telah bertahun-tahun menikah tak dikaruniai anak. Alhasil, keduanya memutuskan mengangkat anak atas persetujuan orang tua bayi tersebut. Bayi perempuan ini, sebut saja inisialnya SW, diasuh dan dibesarkan sebagaimana layaknya anak kandung. Nama di belakangnya pun menggunakan nama ayah angkatnya. Sembilan tahun setelah SW diangkat, pasangan AP-UK, mendapat anugerah. UK melahirkan anak perempuan, dan dua tahun kemudian disusul anak perempuan lainnya. Alhasil, AP-UK mengasuh tiga orang anak perempuan. Pasangan suami isteri ini berhasil mendidik anak-anak mereka, hingga lulus dari perguruan tinggi.

Belakangan, setelah AP meninggal dunia, terjadi perselisihan mengenai sebuah rumah permanen yang berdiri di atas lahan 2.295 meter persegi. Semasa hidupnya ternyata AP sudah menghibahkan rumah dan tanah itu kepada anak angkatnya tanpa persetujuan isteri. Karena itu, anak angkat digugat oleh isteri dan dua anak kandung almarhum ke Pengadilan Agama. Selaku tergugat, anak angkat ber[endapat kalau para penggugat menganggap rumah dan tanah tersebut sebagai harta warisan yang dapat dibagi seharusnya hibah dipersoalkan sejak AP masih hidup. Toh, Pengadilan Agama Pekanbaru memutuskan hibah yang diberikan AP semasa hidupnya batal. Pengadilan banding dan kasasi hasilnya tak jauh beda. Upaya peninjauan kembali yang diajukan anak angkat ditolak Mahkamah Agung.

Kasus riil yang diputuskan Mahkamah Agung pada November 2009 ini menunjukkan problema hukum yang mungkin terjadi dalam hubungan anak angkat dengan keluarga angkatnya.  Untuk mencegah kompleksitas masalah hukum yang terjadi, misalnya, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran No. 02 Tahun 2009 tentang Kewajiban Melengkapi Permohonan Pengangkatan Anak dengan Akta kelahiran.

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Pengangkatan Anak, sebagaimana diubah UU No. 35 Tahun 2014 menganut prinsip the best interest of the child, untuk kepentingan terbaik si anak. Berkaitan dengan hak waris, Pasal 39 UU Perlindungan Anak penting untuk dicatat: Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.

KUH Perdata tidak mengatur secara khusus hak waris anak angkat, tetapi ia berhak mendapatkan bagian melalui hibah wasiat. KUH Perdata hanya mengatur pengakuan terhadap anak luar kawin. Belanda pernah mengaturnya dalam Staatsblad No. 129 Tahun 1917 yang berlaku untuk golongan Tionghoa.


Page 2

Seluk Beluk Hukum Keluarga

13 Mei 2021

UU Perlindungan Anak menganut prinsip ‘demi kepentingan terbaik untuk anak’, tetapi pengangkatan anak tidak memutus hubungan darahnya dengan orang tua kandung. Hak mewaris bagi anak angkat berbeda-beda dalam sistem hukum.

Bacaan 5 Menit

Berdasarkan Pasal 875 KUH Perdata, seseorang berhak membuat wasiat atau testamen berisi pernyataan tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia, termasuk kehendaknya mengenai harta. Dengan pijakan ini, orang tua angkat bisa membuat wasiat yang memberikan bagian kepada anak angkat, tetapi pernyataan itu harus memperhatikan legitime portie ahli waris.

Hukum waris adat harus mempertimbangkan nilai kepatutan dalam memberikan waris terhadap anak angkat

Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Islam

Hukum kewarisan Islam didasarkan pada prinsip ijbari, bilateral, dan individual. Asas ijbari mengandung arti bahwa manusia tidak bebas memberikan tirkahnya hanya kepada orang-orang yang dikehendakinya. Asas bilateral mengandung arti seseorang dapat menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, baik dari keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas individual mengandung arti membagikan semua tirkah pewaris kepada seluruh kerabat dengan adil.

Hukum Islam juga sudah menentukan urutan ahli waris yang berhak mendapatkan waris, yaitu (i) ashhabul furudl; (ii) ahsabah nasabiyah; (iii) dzawurradi; (iv) dzawul arham; (v) radd kepada salah seorang suami-isteri; (vi) ‘ashib sababi; dan (vii) baitulmal. Kelompok ashhabul furudl adalah kelompok beranggotakan 12 yang sudah ditentukan dalam al-Qur’an, Hadits, dan ijtima’ ulama. Jadi, mereka adalah kelompok yang memperoleh bagian dari harta warisan yang berjumlah 12 orang. Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam merangkum siapa saja yang berhak menjadi ahli waris menurut hukum Islam. Pertama, menurut hubungan darah: golongan laki-lagi terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek; golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Kedua, menurut hubungan perkawinan, terdiri dari duda atau janda. Apabila semua ahli  waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak, ayah, ibu, janda, atau duda.

Dari kelompok ahli waris yang disebutkan ternyata tidak termasuk anak angkat, karena ahli watis tak punya hubungan darah dengan pewaris dan tidak ada pula hubungan perkawinan. Menurut Abdul Manan, dalam bukunya ‘Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia’ (2006: 219), anak angkat dimasukkan ke dalam kategori pihak di luar ahli waris yang dapat menerima harta peninggalan pewaris berdasarkan wasiat wajibah. Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam memuat normanya: “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyak 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.

Baca juga:

Ada banyak kasus hukum pewarisan yang melibatkan anak angkat, baik karena anak angkat ditetapkan sebagai anak kandung dalam dokumen hukum (lihat misalnya putusan MA No. 61 PK/AG/2016) maupun karena ahli waris lain tidak menerima pembagian waris kepada anak angkat. Itu pula sebabnya dalam putusan pengadilan, adakalanya hakim melihat realitas hubungan anak angkat dengan orang tuanya. Lihat misalnya kaidah hukum yang terbangun dalam putusan MA No. 1413 K/Pdt/1988 tanggal 18 Mei 1990: Apakah seseorang adalah anak angkat atau bukan, tidak semata-mata tergantung pada formalitas pengangkatan anak, tetapi dilihat dari kenyataan yang ada, yaitu sejak bayi ia dipeihara, dikhitankan, dan dikawinkan oleh orang tua angkat.

Hukum Adat

Negara mengakui hukum adat, termasuk dalam pengangkatan anak. Pengakuan ini dapat dibaca dari rumusan Pasal 39 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014, yang menyebutkan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adar kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Masyarakat adat di Indonesia, sebagaimana disinggung dua sarjana Belanda yang banyak mengkaji hukum adat di Indonesia: Ter Haar dan van Vollenhoven, mengenal pengangkatan anak. Tetapi dampaknya terhadap pewarisan bisa berbeda-beda untuk masing-masing adat. Ada masyarakat adat yang menganggap dan memperlakukan anak angkat sebagai anak yang lahir dari orang tua angkatnya sehingga diperlakukan sama dengan anak kandung. Sebaliknya, ada yang tetap tidak memutus hubungan anak angkat dengan orang tua biologisnya. Malah ada yang memperbolehkan anak angkat mendapatkan warisan dari orang tua angkat sekaligus dari orang tua kandungnya. Di daerah yang pengaruh Islamnya kuat, anak angkat tidak mewaris dari orang tua angkatnya.


Page 3

Seluk Beluk Hukum Keluarga

13 Mei 2021

UU Perlindungan Anak menganut prinsip ‘demi kepentingan terbaik untuk anak’, tetapi pengangkatan anak tidak memutus hubungan darahnya dengan orang tua kandung. Hak mewaris bagi anak angkat berbeda-beda dalam sistem hukum.

Bacaan 5 Menit

Baca juga:

Mahkamah Agung pernah memutuskan bahwa menurut hukum adat yang berlaku, seorang anak angkat berhak mewarisi harta gono gini orang tua sehingga ia menutup hak waris para saudara kandung orang tua angkatnya (putusan MA No. 102 K/Sip/1972 tanggal 23 Juli 1973). Putusan MA No. 1278 K/Sip/1977 memuat putusan mengenai waris anak angkat di Sulawesi Utara. Mahkamah Agung berpendapat sumaji kepada orang tua tidak dapat dipakai sebagai patokan dasar untuk menentukan dapat tidaknya seorang ahli waris mewarisi harta-harta peninggalan dari pewarisnya. Putusan MA No. 182 K/Sip/1959 mengandung kaidah hukum anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkat yang bukan merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkatnya.

Namun, dalam putusan mengenai adat Pasundan, Mahkamah Agung pernah memutuskan anak kukut atau anak angkat tidak berhak mewaris barang-barang pusaka, barang ini kembali kepada waris keturunan darah (putusan MA No. 82 K/Sip/1953). Putusan MA mengenai anak angkat di adat Jawa Tengah menganut kaidah hukum bahwa anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono gini dari orang tua angkatnya, sedangkan anak angkat tidak berhak mewarisi barang pusaka (No. 37 K/Sip/1959).