Jelaskan bagaimana isi berita Tome Pires yang menjelaskan tentang kerajaan Cirebon

Tomé Pires [Lahir di Portugal, ca. 1468 - wafat di Kiangsu, Tiongkok, 1540 pada usia 72 tahun] merupakan penulis dan bendahara Portugis. Karya terbesarnya, Suma Oriental [Dunia Timur], menceritakan penjelajahan pedagang Portugis hingga menguasai anak benua India dan Kesultanan Melaka pada tahun 1511. Buku tersebut memberikan banyak informasi berharga mengenai keadaan Nusantara pada abad ke-16.

Tomé Pires ialah pembantu Afonso de Albuquerque [1475-1491].

  • Lahir pada 1468 sebagai anak dari seorang pembantu Raja João II dari Portugal [1455-1495]
  • September 1511: dilantik sebagai feitor das drogarias [pengedar arak] ke Cochin di India atas kehendak raja.
  • Dia juga ditugaskan sebagai pemasok obat-obatan yang bernilai 4.000-5.000 dolar Portugis.
  • Kemudian Toma Pires dilantik sebagai penulis dan bendahara untuk menjaga harta perdagangan yang melibatkan Melaka dan Jawa.
  • Akhirnya dia dilantik sebagai duta Portugis ke negara Cina. Atas tindakan dan ide-ide serta pemikirannya, dia telah dipenjarakan di Kiangsu.
  • 1540 mati di Tiongkok dalam tahanan.

Buku yang ditulis tentang Cina dipersembahkan kepada laksamana Portugis di India dan sekarang disimpan National Library Paris.

Artikel utama: Suma Oriental

  • Bibliography Armando Cortesao, tr, The Suma Oriental of Tome Pires, London, 1944, Reprinted in 1967;
  • Irfan Habib, Merchant Communities in Precolonial India in JD Tracy, ed, The Rise of Merchant Empires, Cambridge, 1990;
  • MR Tarafdar, Bengal Economy Viewed in the Light of Tome Pires' Observations, Journal of the Asiatic Society of Bangladesh, 40, II.
  • //banglapedia.search.com.bd/HT/T_0190.htm

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tomé_Pires&oldid=19298110"

Taman Sunyaragi di Kesultanan Cirebon, Jawa Barat. Kisah Nyai Subang Larang tercatat dalam Carita Purwaka Caruban Nagari [CPCN], karya Pangeran Arya Cerbon yang digubahnya pada 1720. Selama berkali-kali Tome Pires menunjuk sebuah tempat yang ia sebut Chorobon yang ia maksud sebagai kota di Jawa, sekaranng dikenal Cirebon. ['De Indische Archipel', 1865-1876 / Tropenmuseum]

Nationalgeographic.co.id—Tome Pires, seorang pengelana berkebangsaan Portugis, dianggap menjadi saksi yang mencatat tentang sejarah Cirebon saat perkelanaannya ke Asia dicatat dalam Suma Oriental pada tahun 1513-1515.

Ia berlabuh di Pulau Jawa setelah selesai mengunjungi pelabuhan ramai di Malaka. Perjalanannya juga tidak luput dalam misi pencarian dan pembelian rempah-rempah.

Ia tiba di kawasan yang kemudian ia tuliskan dalam catatan perjalanannya sebagai Chorobon, yang merujuk pada suatu tempat di Jawa.

"Selama berkali-kali Tome Pires menunjuk sebuah tempat yang ia sebut Chorobon yang ia maksud sebagai kota di Jawa, sekaranng dikenal Cirebon," tulis Sobana Hardjasaputra.

Sobana yang tergabung dalam tim penulis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, meluncurkan buku yang berjudul Cirebon dalam Lima Zaman [Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20], terbit pada 2011.

Memasuki abad ke-17, masuknya pengaruh kolonial Belanda, mulai bermunculan para peneliti dan penulis berkebangsaan Belanda di Cirebon.

Keramik dari kapal karam di utara Cirebon, dari awal Dinasti Sung. Penanda perdagangan laut yang termasyhur. [Reynold Sumayku]

"Banyak sumber Belanda, Cirebon ditulis Charabaon, kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi Tjerbon atau Cheribon," imbuhnya.

Lantas, bagaimana penduduk lokal yang menghuni wilayah terebut dalam menyebut kotanya?

"Dulu, Cirebon oleh penduduk setempat biasa disebut Nagari Gede," jelas Sobana dan timnya. Sebutan itu kemudian berkembang, berubah lagi menjadi Garége. "Katanya, Garége berasal dari [kata] glagi yang berarti udang kecil yang telah kering," lanjutnya.

Page 2

Taman Sunyaragi di Kesultanan Cirebon, Jawa Barat. Kisah Nyai Subang Larang tercatat dalam Carita Purwaka Caruban Nagari [CPCN], karya Pangeran Arya Cerbon yang digubahnya pada 1720. Selama berkali-kali Tome Pires menunjuk sebuah tempat yang ia sebut Chorobon yang ia maksud sebagai kota di Jawa, sekaranng dikenal Cirebon. ['De Indische Archipel', 1865-1876 / Tropenmuseum]

Peta Jawa bagian Sunda Kuno dalam catatan Tom Pires [Suma Oriental] abad ke-16. [Indonesiana/Kemdikbud]

Beberapa sumber juga menyebut adanya peran Walisongo dalam penamaan Cirebon tempo dulu. Para Wali menyebut dengan istilah Carbon.

Carbon memiliki arti mendalam bagi perkembangan islam di Jawa era para Walisongo. Carbon mengandung arti puser jagat atau pusat bumi. Disebut pusat bumi karena tempatnya yang berada pada bagian paling tengah Pulau Jawa. 

Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, naskah kuno yang ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, menyebut Cirebon sebagai Sarumban yang kemudian berubah lagi menjadi Caruban.

Baca Juga: Lambang di Situs Makam Sunan Gunung Jati: Freemason Ada di Cirebon?

Baca Juga: Surawisesa Beri Portugis Sunda Kelapa, Pajajaran Dihajar Demak-Cirebon

Baca Juga: Prosesi Pemakaman Megah Sang Mayor Cina Pelindung Besar Kesenian Jawa

Kata Caruban memiliki arti 'campuran'. Kata ini juga berkaitan dengan sebutan Carbon yang diungkapkan oleh para Walisongo. Keduanya kemudian semakin dikenal di era kontemporer sebagai Cirebon.

Bermakna campuran, itulah penggambaran dinamika sosial masyarakat Cirebon. Menilik dari toponiminya [penamaannya], kata Cirebon berasal dari dua bahasa.

Secara etimologis, Cirebon berasal dari kata 'ci' dan 'rebon'. "Ci dalam bahasa Sunda adalah singkatan dari cai yang berarti air," sebut Sobana dan tim penulis.

Dalam bahasa Cirebon [penduduk lokal] kata 'Ci' dari kata Cirebon, bermakna sebagai air sisa pembuatan terasi [belendrang]. Sedangkan kata 'rebon' merupakan bahasa Jawa yang mengandung arti udang kecil.

Dinamisnya sosial masyarakat Cirebon digambarkan dengan toponiminya, yang merupakan perpaduan masyarakat Cirebon yang diisi oleh keturunan Sunda dan Jawa hingga pembauran yang dikenal dengan Cerbonan.

Isles de la Sonde [Kepulauan Sunda], peta yang dibuat Portugis abad 16. [Tome Pires, The Suma Oriental].

ADA beberapa teori yang dikembangkan para sejarawan soal Islamisasi di Nusantara. Penjelajah asal Portugis, Tome Pires, punya versinya sendiri. 

Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menjelaskan, petualangan Tome Pires dimulai pada masa di mana penjelajahan orang-orang Eropa berlangsung. 

“Sejak masa Colombus, abad ke-16 adalah abad discovery. Ada kompetisi arung samudra orang barat ke timur,” kata Sri Margana dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival ke-7 2018, di Hotel Grand Inna Maliboro, Yogyakarta, Kamis [22/2].

Advertising

Advertising

Baca juga: Mempertanyakan kembali teori Islamisasi di Nusantara

Penjelajahan bangsa Eropa didorong oleh keinginan menunjukkan kehebatan mengarungi samudra. Pun juga rasa haus akan pengetahuan dunia timur. 

“Hasil arung samudra paling utama adalah pengetahuan. Segala info tentang dunia timur menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya,” lanjutnya. 

Salah satunya Tome Pires yang menyajikan informasi lengkap tentang dunia timur. Dia mencatatnya dalam Suma Oriental. Yang paling menarik adalah pendapatnya soal hubungan komunitas Tionghoa dan Nusantara, khususnya dalam proses Islamisasi.

Baca juga: Islamisasi ala Cheng Ho

Ketika datang ke Jawa, Tome Pires mendapati bangsa asing: Arab, Persia, Gujarat, Bengal, dan Melayu. Para pendatang itu, kata Tome Pires, berhasil memperkaya diri dengan berdagang hingga mampu membangun masjid-masjid besar.

“Kata Pires, mereka sudah tinggal di Jawa selama 70 tahun. Ini dihitung dari waktu kunjungan Pires. Jadi sudah membawa pengaruh yang besar,” kata Sri Margana.

Menurut Tome Pires, jauh sebelum Islam datang, orang Jawa beragama pagan. Ketika bangsa Moor datang, mereka membangun benteng di sekeliling tempat tinggalnya. Mereka mengirim kaumnya untuk berdagang dengan jung, membunuh penguasa Jawa, dan mengangkat dirinya sebagai penguasa baru. 

“Dengan demikian mereka berhasil menjadikan diri sebagai penguasa dan mengambil alih kekuasaan dan perdagangan di Jawa,” tulis Tome Pires.

Jika itu benar, menurut Sri Margana, pernyataan Tome Pires meruntuhkan mitos tentang kehadiran Islam yang damai di tanah Jawa.

Penyebar Islam di Jawa

Catatan Pires juga seakan-akan mengklarifikasi tentang para penyebar Islam pertama di Jawa. Orang-orang Moor bukanlah satu-satunya penyebar Islam di Jawa, tapi juga Tionghoa.

Tome Pires menulis, para pate atau penguasa di Jawa, bukanlah orang Jawa asli yang berasal dari Jawa. Mereka melainkan Tionghoa, Keling, Persia dan berbagai negeri yang disebutkan sebelumnya. Namun, orang-orang ini sudah merasa lebih penting di kalangan bangsawan dan negeri Jawa secara kesuluruhan, bahkan melebihi orang yang tinggal di pedalaman. Itu karena mereka dibesarkan di tengah orang Jawa yang suka pamer, ditambah kekayaan yang mereka warisi dari para nenek moyang.

Baca juga: Islam Arab atau Islam Cina?

Pertanyaannya adalah, seberapa akurat informasi yang disebutkan Tome Pires? Dalam tulisannya, dia mengatakan sudah melakukan konfirmasi terhadap infomasi itu. 

“Pires bukan hanya mencatat yang dia lihat dan amati. Dia juga melakukan klarifikasi terhadap mitos dan kisah yang dia dengar,” kata Sri Margana.

Misalnya, soal hubungan Jawa dan Tiongkok. Menurut Tome Pires, raja Jawa dan Tiongkok tak pernah punya hubungan satu sama lain. Uang tunai Cina dibawa ke Jawa berkat perdagangan. Orang Jawa sudah melakukan perdagangan dengan komunitas Tionghoa jauh sebelum Malaka ada. 

“Kisah tentang Putri Cina menikahi orang Jawa itu jadi menurut dia [Pires, red.] bohong,” kata Sri Margana.

Baca juga: Adakah peran Cheng Ho dan Cina dalam Islamisasi Nusantara?

Menarik juga memperhatikan kesan Tome Pires terhadap orang Jawa. Katanya, soal kebaikan, harga diri, ketegasan, dan keberanian belum ditemukan di Jawa. Bahkan, keangkuhan orang Melayu, kata Pires, didapatkan dari perangai orang Jawa.

“Ini mengejutkan. Jawa selalu disebut baik, sopan, ternyata Tome Pire punya kesan sendiri,” kata Sri Margana. 

Dalam hal ini, subjektivitas muncul. Latar belakang sosial dan budaya yang dibawa Tome Pires mempengaruhi cara pandang dalam mencatat hal-hal yang dia temui dalam penjelajahannya, khususnya di Jawa. 

“Kalau mau pakai naskah ini sebagai sumber sejarah, harus kritis juga,” kata Sri Margana.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề