Jelaskan dampak yang terjadi jika predator atau pemangsa mengalami peningkatan atau penurunan pada keseimbangan alam

Jakarta -

Dalam ekosistem, terdapat interaksi antar sesama makhluk hidup. Interaksi dapat terjadi antar individu dalam populasi ataupun antar individu berbeda populasi atau berbeda jenis (spesies).

Dikutip dari Bahan Ajar Ekosistem oleh SMA N 78 Jakarta, ekosistem terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Bentuk interaksi dalam ekosistem antara lain kompetisi, simbiosis, dan predasi.

A. Apa itu predasi?

Bentuk interaksi dapat berupa saling merugikan, saling menguntungkan, atau hanya salah satu saja yang diuntungkan. Predasi adalah hubungan antara makhluk hidup pemangsa dengan makhluk hidup yang dimangsa.

Makhluk hidup pemangsa dalam hal ini disebut juga Predator. Kata predator, dari Bahasa Latin 'praeda', adalah makhluk hidup yang memperoleh sumber-sumber yang diperlukan dengan memakan makhluk hidup lain.

Jika yang dimangsa adalah produser, maka bentuk interaksi itu disebut herbivori, sedangkan hewan yang memakan produser disebut herbivor. Meski terdengar merugikan, predator penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Predator dapat mengurangi jumlah mangsa dan melahirkan para pemangsa baru. Seleksi alam menguntungkan predator yang lebih efektif dan mangsa yang lebih menghindar, sehingga tidak ada yang mendominasi.

B. Contoh predasi

Interaksi predasi terjadi antara predator yang memakan dan mangsa yang dimakan. Berikut contoh predasi dalam ekosistem.

1. Burung memangsa cacing

2. Buaya memangsa kerbau

3. Singa memangsa rusa

4. Ular memangsa tikus

5. Hiu memangsa ikan kecil

Predasi tidak merugikan ekosistem, malah berusaha melindunginya agar tidak terjadi overpopulasi. Setelah memahami predasi dan contohnya, siswa dapat mengkaji interaksi antar makhluk hidup dengan lebih bijak.

Simak Video "Upaya Indonesia Bersihkan Sampah yang Mengancam Ekosistem Mangrove"



(row/row)

Akibat dari ulah kita sendiri dapat kita rasakan beberapa musibah yang menimpa kita sendiri, misalnya dalam bentuk banjir, tanah longsor, polusi udara, meningkatnya jumlah dan kualitas penyakit, dan banyak lagi yang sebenarnya harus menjadi pelajaran buat manusia. Akan tetapi, bila hati nurani kita tidak jernih, tidak suci, tidak fitrah, maka kita akan kesulitan mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian alam yang sebenarnya akibat ulah kita sendiri. Untuk itu keadaan yang fitrah menjadi sangat esensial supaya kita mampu kembali kejalan yang benar.

Kefitrahan kita memang seharusnya ada didalam lahir [yang nampak] dan di dalam batin [yang tidak langsung nampak]. Kefitrahan didalam lahir, selain harus kita cerminkan di dalam diri kita, juga seharusnya kita cerminkan di dalam lingkungan kita, baik itu lingkungan sosial maupun lingkungan fisikal-alam. Menjaga kebersihan dan keseimbangan alam adalah sebagian dari fitrah kemanusiaan. Untuk itu salah satu dan yang terpenting dari pendidikan dasar adalah menanamkan kecintaan terhadap alam. Cinta terhadap alam berarti kita menjaga kelestariannya dan menggunakannya dengan tidak terlalu berlebih-lebihan. Kita harus sadar akan keseimbangan ekosistem yyang betul-betul dibutuhkan alam. Bila semua ini terjaga maka manusia dan seluruh makhluk hidup dapat merasakan manfaat dari alam ini. Allah SWT berfirman dalam surat Al Hijr ayat 19-21:

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan [Kami menciptakan pula] makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”

Untuk menjaga keseimbangan ekosistem itu, dilarang kita membuat kerusakan dimuka bum. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 11-12:

Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.

Ayat ini sepertinnya cerminan buat kita, dimana pada masa tertentu kita pernah melihat pengrusakan hutan dengan dalih untuk pembangunan. Akhirnya sekarang ini kita bisa merasakan bagaimana resiko ketidakseimbangan ekosistem itu. Kenyataan itu terjadi dalam bentuk kebakaran hutan, banjir dan musibah lainnya. Hanya orang-orang yang menyadari akan kefitrahan manusia yang nantinya berpaling kedapa kebenaran dan kemudian memperjuangkanya dengan konsisten. Perjuangan itu salah satunya dapat dituangkan dalam aktifitas-aktifitas yang bisa mengembalikan alam pada keadaan seimbang, dan kita tidak berlebih-lebihan dalam memanfaatkannya.

Sumber: Al Qur’an dan masalah lingkungan hidup [Andi Hakim Nasoetion dan Asep Saefuddin]

Taman nasional Yellowstone di ambil pada tahun 1997 [kiri] dan tahun 2001. Foto: W. Ripple

TEMPO Interaktif, Santa Cruz - Lenyapnya sejumlah binatang pemangsa pada rantai mekanan teratas, seperti singa, serigala, dan hiu menyebabkan perubahan yang tak terduga pada rantai makanan di seluruh dunia. Sebuah kajian yang ditulis oleh 24 ilmuwan menyatakan bahwa binatang pemangsa tersebut, yang disebut apex predator, memainkan peran krusial dalam ekosistem. Tim yang dipimpin oleh James Estes, dosen ekologi dan biologi evolusioner di University of California, Santa Cruz, mengungkap bahwa menghilangnya predator dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada vegetasi, frekuensi kebakaran hutan, penyakit menular, spesies invasif, kualitas air, hingga siklus nutrisi. Perburuan dan hilangnya habitat karena pelmbalakan dan perubahan fungsi hutan menyebabkan penurunan populasi binatang tersebut.

“Hilangnya pemangsa puncak bisa dikatakan sebagai pengaruh umat manusia yang paling luas terhadap alam,” kata tim itu dalam kesimpulan kajian yang dipublikasikan dalam jurnal Science, Jumat, 15 Juli 2011.

Dalam kajian itu, para peneliti memeriksa berbagai temuan studi ekosistem darat, laut, maupun sungai dan danau. Hilangnya predator di bagian teratas rantai makanan akan menyebabkan dampak yang mengalir terus hingga ke rantai paling bawah.

Mereka memberi beragam contoh, seperti menyusutnya populasi serigala menyebabkan meledaknya populasi rusa elk di Taman Nasional Yellowstone dan pada akhirnya membuat vegetasi rumput dan semak menipis tajam. Penurunan jumlah singa dan leopard di beberapa tempat di Afrika telah mengubah populasi olive baboon [Papio anubis] dan meningkatkan kontak mereka dengan manusia. Hal ini akhirnya menyebabkan peningkatan parasit usus baik pada manusia maupun kera itu.

LIVESCIENCE | TJANDRA

Jakarta -

Dalam ekosistem, terdapat interaksi antar sesama makhluk hidup. Interaksi dapat terjadi antar individu dalam populasi ataupun antar individu berbeda populasi atau berbeda jenis [spesies].

Dikutip dari Bahan Ajar Ekosistem oleh SMA N 78 Jakarta, ekosistem terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Bentuk interaksi dalam ekosistem antara lain kompetisi, simbiosis, dan predasi.

A. Apa itu predasi?

Bentuk interaksi dapat berupa saling merugikan, saling menguntungkan, atau hanya salah satu saja yang diuntungkan. Predasi adalah hubungan antara makhluk hidup pemangsa dengan makhluk hidup yang dimangsa.

Makhluk hidup pemangsa dalam hal ini disebut juga Predator. Kata predator, dari Bahasa Latin 'praeda', adalah makhluk hidup yang memperoleh sumber-sumber yang diperlukan dengan memakan makhluk hidup lain.

Jika yang dimangsa adalah produser, maka bentuk interaksi itu disebut herbivori, sedangkan hewan yang memakan produser disebut herbivor. Meski terdengar merugikan, predator penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Predator dapat mengurangi jumlah mangsa dan melahirkan para pemangsa baru. Seleksi alam menguntungkan predator yang lebih efektif dan mangsa yang lebih menghindar, sehingga tidak ada yang mendominasi.

B. Contoh predasi

Interaksi predasi terjadi antara predator yang memakan dan mangsa yang dimakan. Berikut contoh predasi dalam ekosistem.

1. Burung memangsa cacing

2. Buaya memangsa kerbau

3. Singa memangsa rusa

4. Ular memangsa tikus

5. Hiu memangsa ikan kecil

Predasi tidak merugikan ekosistem, malah berusaha melindunginya agar tidak terjadi overpopulasi. Setelah memahami predasi dan contohnya, siswa dapat mengkaji interaksi antar makhluk hidup dengan lebih bijak.

Simak Video "Upaya Indonesia Bersihkan Sampah yang Mengancam Ekosistem Mangrove"

[row/row]

Fakta yang terjadi: Populasi serigala di seluruh dunia hilang sekitar 99 persen dari jumlah populasi yang pernah ada dalam sejarah. Sementara, populasi singa jatuh dari 450.000 menjadi 20.000 dalam 50 tahun. Hewan predator lainnya, tiga subspesies harimau punah di abad ke-20. Penangkapan ikan yang berlebihan dan pemotongan sirip hiu telah mengurangi beberapa populasi hiu menjadi 90 persen hanya dalam beberapa dekade. Meskipun populasi ikan paus bungkuk meningkat kembali sejak perburuan paus dilarang, mereka masih jauh dari jumlah yang pernah ada dalam sejarah. Sementara manusia bersedih atas angka statistik yang tampak seperti sekedar deretan angka, para ilmuwan sudah berpikir bahwa penurunan tersebut memiliki dampak yang jauh lebih besar pada manusia daripada sekadar menghilangnya hewan ikonik.

Kehancuran besar-besaran pada predator puncak –seperti hiu, serigala, dan kucing besar –telah mengubah ekosistem dunia secara drastis, menurut sebuah penelitian baru yang dimuat di Science. Walaupun peneliti telah lama mengetahui bahwa penurunan hewan di puncak rantai makanan, termasuk herbivora besar dan omnivora, mempengaruhi ekosistem melalui apa yang dikenal sebagai ‘kaskade trofik’, penelitian selama beberapa dekade terakhir hanya mulai mengungkapkan sejauh mana hewan-hewan ini mempertahankan lingkungan yang sehat, melestarikan keanekaragaman hayati, dan meningkatkan produktivitas alam.

Sementara banyak spesies besar yang dibahas dalam penelitian ini secara historis, dan dalam beberapa kasus masih, menjadi momok bagi banyak orang. Padahal, studi kasus menunjukkan bahwa bahkan predator besar dan berbahaya sebenarnya sangat membantu manusia daripada melukai mereka. “Hilangnya hewan-hewan ini mungkin adalah pengaruh manusia yang paling mudah menyebar pada alam,” dengan berani para peneliti memberitakan hal ini dalam tinjauan tersebut.

“Predator-predator ini serta prosesnya pada akhirnya melindungi manusia,” kata Ripple William, Direktur Program Trofik Kaskade dari Oregon State University dan asisten penulis laporan ini dalam sebuah siaran pers. “Ini bukan hanya tentang mereka, ini tentang kita.”

Segala jenis penyebab hilangnya predator, mulai dari serigala hingga paus telah menyebar melalui ekosistem dengan cara yang tak terduga, termasuk wabah penyakit, hilangnya keanekaragaman hayati, kebakaran hutan, emisi karbon, dan spesies invasif.

“Kami berpikir bahwa banyak kejutan ekologi yang dihadapi masyarakat selama berabad-abad lalu –pandemi, keruntuhan populasi spesies yang kami hitung serta erupsi yang tidak kami hitung, perubahan besar pada keadaan ekosistem, dan kerugian jasa keragaman ekosistem yang disebabkan atau difasilitasi oleh rezim pemaksaan atas bawah yang berubah, “tulis para ilmuwan.

Srigala di Taman Nasional Yellowstone. Foto: Taman Nasional Yellowstone

Predator Puncak

Tak banyak hewan yang dibenci oleh manusia melebihi dari serigala, hiu, dan kucing besar. Memang benar bahwa hiu dan kucing besar, seperti singa dan harimau, telah membunuh manusia. Juga benar bahwa serigala dan kucing dalam beberapa kasus bertanggung jawab atas pembunuhan ternak. Namun menurut para peneliti, peran spesies ini dalam ekosistem sangat penting, meskipun masih tidak dihargai.

“Kami memiliki bukti yang melimpah bahwa pemangsa besar sangat penting dalam fungsi alam, dari lautan terdalam hingga pegunungan tertinggi, daerah tropis sampai ke Kutub Utara,” kata Ripple.

Tapi bagaimana predator besar melindungi ekosistem?

Salah satu kasus yang sangat terdokumentasi tentang bagaimana hilangnya predator puncak–dan kembalinya mereka– ternyata mampu mengubah ekosistem adalah reintroduksi serigala di Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat.

Selama beberapa dekade ketika serigala lokal punah, rusa tumbuh liar. Mereka melahap vegetasi, terutama pohon aspen dan willow muda, yang berlimpah. Tidak hanya itu, perilaku mereka berubah: mereka menjadi ceroboh. Ketika ada serigala, rusa-rusa akan sangat gugup untuk menghabiskan waktu di daerah terbuka tertentu, seperti di sepanjang tepi sungai, tetapi dengan hilangnya serigala rusa menghancurkan vegetasi sungai. Dengan kurangnya vegetasi di sepanjang sungai, jumlah hewan seperti burung-burung berkicau dan berang-berang menurun. Dengan membuat bendungan, berang-berang membuat kolam yang penting bagi ikan. Bahkan erosi tanah meningkat, karena kurangnya naungan dari pohon di tepi sungai.

Coyote juga menjadi lebih berani dan semakin berlimpah jumlahnya tanpa adanya serigala yang menjaga agar mereka sejalan, sebuah proses yang dikenal para ilmuwan sebagai pelampiasan mesopredator, yaitu hilangnya predator puncak memungkinkan predator yang lebih rendah mengambil-alih ekosistem. Hal ini pada gilirannya merugikan mamalia kecil yang dimangsa coyote [pelampiasan mesopredator secara artistik digambarkan dalam film Disney The Lion King ketika turunnya singa memungkinkan hyena untuk merajalela dengan konsekuensi drastis]. Jadi, hilangnya satu spesies–serigala–melukai seluruh ekosistem.

Di Yellowstone ketika serigala kembali, rusa melarikan diri ke dalam hutan dan tidak akan lagi merumput dengan santai di area terbuka atau sepanjang sungai. Sekarang, pohon aspen dan willow sudah kembali; berang-berang sudah kembali; coyote berwaspada lagi, keanekaragaman hayati meningkat, dan seluruh ekosistem jadi lebih produktif.

Produk akhir dari berkurangnya predator puncak dalam vegetasi terlihat di pulau Rum Skotlandia, menurut para peneliti. Serigala telah hilang dari pulau itu selama ratusan tahun. Pada waktu itu, rusa memakan bersih pepohonan di pulau itu sampai tidak ada yang tersisa.

Meskipun ada bukti ini, serigala di banyak bagian dunia–termasuk AS–masih dipandang oleh banyak orang sebagai spesies pengganggu. Politisi AS baru-baru ini menyingkirkan serigala dari Undang-undang Spesies Terancam Punah[ESA], pertama kalinya dalam hukum selama hampir 40 tahun sejarah.

Serigala adalah contoh paling terkenal dari pentingnya predator puncak, namun bukan satu-satunya.

Hiu, seperti serigala, memiliki pengaruh serupa. Dimana jumlah hiu melimpah, ikan duyung–mamalia herbivora besar–dipaksa oleh ekologi ketakutan memindahkan area merumput mereka sama seperti rusa. Hal ini memungkinkan padang rumput laut pulih kembali, menyediakan habitat tertentu untuk sejumlah keanekaragaman hayati laut, baik tanaman dan hewan.

Beberapa penurunan jumlah predator bahkan memberikan hasil yang lebih mengejutkan. Menurut penulis, sedikitnya jumlah macan tutul dan singa di Sahara Afrika menyebabkan kenaikan pada populasi baboon zaitun. Populasi baboon besar sejak itu menginvasi pusat populasi manusia. Masalahnya para baboon ini membawa parasit usus yang dapat berpindah ke manusia. Dalam kasus ini hilangnya predator puncak kemungkinan mengubah penyebaran penyakit.

Peran predator besar bahkan dapat mempengaruhi penyebaran malaria. Banyaknya ikan besar di ekosistem air tawar dapat mengurangi malaria dengan memangsa nyamuk penyebar dalam jumlah besar. Kurangnya jumlah ikan dapat berarti lebih banyak insiden malaria, kata para penulis.

Tentu saja, pengenalan predator invasif ke suatu daerah yang sudah lama terbebas dari predator mungkin memiliki dampak negatif. Penelitian menunjukkan bahwa invasi rubah dan tikus kutub ke beberapa pulau Arktik telah menghancurkan populasi burung laut dan pada gilirannya merusak vegetasi. Ini karena burung laut membawa nutrisi penting dari laut ke tanah pulau itu. Tak ada burung, tidak ada nutrisi tanah.

Hewan predator puncak masih jadi momok manusia yang terbesar. Foto: National Park Service

Herbivora Puncak

Dalam banyak cara yang sama seperti predator puncak, herbivora-herbivora besar di dunia memiliki pengaruh besar pada ekosistem yang mereka huni.

Ketika rinderpes, penyakit ternak, membantai hewan-hewan berkuku besar Afrika seperti kerbau dan wildebeest Afrika pada akhir abad ke-19 vegetasi tumbuh semakin liar, mengubah ekosistem dari sebagian besar padang rumput menjadi lahan bersemak. Peningkatan vegetasi menyebabkan semakin seringnya kebakaran hutan. Setelah populasi hewan berkuku meningkat kembali, kebakaran mereda, dan ekosistem kembali ke keadaan semula.

“Efek atas bawah konsumen puncak dalam suatu ekosistem secara fundamental penting, tetapi itu adalah fenomena yang rumit,” jelas James Estes, seorang profesor ekologi dan biologi evolusi di University of California, Santa Cruz, dalam sebuah siaran pers. “Mereka memiliki efek beragam dan kuat pada cara ekosistem bekerja, dan hilangnya hewan-hewan besar ini memiliki implikasi luas.”

Sebagai contoh, spesies laut puncak seperti paus–yang merentangi jarak antara pemangsa, herbivora, dan omnivora–memainkan peran yang tak terduga dalam penyerapan karbon. Sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa industri penangkapan ikan paus selama abad terakhir melepaskan 105 juta ton karbon ke atmosfer. Mengapa? Tentu saja seekor paus yang sekarat tenggelam ke dasar laut dan membawa karbon bersamanya, memisahkannya di dasar laut. Sebaliknya, jika ikan paus dibunuh dan dibawa ke darat, karbon masuk ke atmosfer.

Dampak besar megafauna dunia dan predator puncak telah diabaikan karena beberapa alasan menurut para peneliti. Perubahan ini terjadi pada tingkat luas–kadang ribuan kilometer persegi dan termasuk sejumlah interaksi spesies–padahal sebagian besar penelitian meneliti daerah kecil atau spesies tunggal. Perubahan ini memakan waktu bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun untuk menjadi nyata, dan banyak dari hewan-hewan puncak ini sudah dalam penurunan tragis sebelum para ilmuwan mulai memperhatikan mereka. Yang paling penting, para peneliti hanya mengabaikan hubungan ekologis seperti itu sampai mereka terganggu. Sebagai contoh, tidak akan ada yang menduga bila serigala berdampak pada keanekaragaman hayati Yellowstone sampai serigala-serigala itu dibantai dan kemudian kembali.

“Interaksi ini tidak terlihat kecuali ada beberapa gangguan yang mengungkapkannya,” kata Estes. “Dengan hewan-hewan besar ini, tidak mungkin melakukan jenis-jenis eksperimen yang diperlukan untuk menunjukkan efek mereka, jadi bukti-buktinya diperoleh sebagai akibat dari perubahan alam dan catatan jangka panjang.”

Mengingat meningkatnya data mengenai pentingnya raja-raja rantai makanan bagi seluruh ekosistem, para peneliti mengatakan bahwa para ilmuwan perlu berhenti memandang spesies ini sebagian besar tidak penting, seperti meluncur di puncak dengan pengaruh yang kecil. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa ekologi dari ‘pemaksaan atas bawah’ harus menjadi cara baru untuk memahami pengaruh manusia pada lingkungan global.

“Sejauh konservasi itu bertujuan untuk memulihkan ekosistem fungsional, pengembalian hewan-hewan besar dan efek ekologi mereka adalah fundamental,” kata Estes. “Hal ini memiliki skala implikasi besar di mana konservasi dapat dilakukan. Anda tidak dapat mengembalikan konsumen puncak besar pada tanah seluas satu hektar. Hewan-hewan ini berkeliaran di daerah yang luas, sehingga akan memerlukan pendekatan skala besar. ”

Ini adalah argumen berani, tapi seorang ahli ekologi mengatakan bahwa kita tidak bisa lagi mengabaikan. Bayangkan sebuah dunia di mana manusia belajar untuk menghargai–serta hidup berdampingan dengan–serigala dan harimau, hiu dan singa. Bayangkan Amerika dengan migrasi bison lagi dan lautan di dunia penuh dengan ikan paus, bayangkan sungai dipenuhi salmon yang memijah dan jumlah singa meningkat kembali di Afrika, bayangkan hiu berenang tanpa diganggu dan harimau mengaum kembali dari kepunahan, bayangkan ini dan manusia dapat melihat bahwa pengaruh restorasi ekosistem lebih banyak dari sekedar lingkungan yang lebih produktif, lebih beragam.

KUTIPAN: James A. Estes, John Terborgh, Justin S. Brashares, Mary E. Power, Joel Berger, William J. Bond, Stephen R. Carpenter, Timothy E. Essington, Robert D. Holt, Jeremy B. C. Jackson, Robert J. Marquis, Lauri Oksanen, Tarja Oksanen, Robert T. Paine, Ellen K. Pikitch, William J. Ripple, Stuart A. Sandin, Marten Scheffer, Thomas W. Schoener, Jonathan B. Shurin, Anthony R. E. Sinclair, Michael E. Soulé, Risto Virtanen, David A. Wardle. Trophic Downgrading of Planet Earth. Science. Volume 333. 15 July 2011.

Diterjemahkan oleh: Andi Tenri Wahyuni

Video yang berhubungan