Jelaskan dasar hukum BERLAKUNYA hukum adat di Indonesia

Jakarta -

Hukum adat di Indonesia sudah ada sejak zaman kuno. Hingga kini hukum adat masih dianut di berbagai daerah di Indonesia.

Kehadiran hukum adat bahkan diperkirakan sudah ada sebelum bangsa asing masuk ke Indonesia. Berbagai bukti pun mendukung temuan tersebut.

Lantas bagaimana sejarah hukum adat di Indonesia? Apa buktinya? Berikut serba-serbi yang perlu diketahui soal hukum adat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam buku Pengantar Hukum Indonesia oleh Rahman Syamsuddin, keberadaan peraturan adat istiadat sudah ada sejak zaman kuno yakni zaman pra hindu. Para ahli hukum adat berpendapat bahwa adat istiadat yang saat itu dijadikan pedoman adalah adat-adat Melayu Polinesia.

Seiring berjalannya waktu, datanglah kultur dari berbagai agama, mulai Hindu, Islam hingga Kristen yang membawa pengaruh kepada kultur asli tersebut hingga menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum adat di Indonesia yang kini masih bertahan merupakan akulturasi antara peraturan-peraturan adat istiadat zaman pra-Hindu dan peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.

Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau inladsrecht menurut Van Vaollen Hoven terdiri dari yang tidak ditulis (jus non scriptum) seperti hukum asli penduduk dan yang ditulis (jus scriptum) seperti ketentuan hukum agama.

Bukti Adanya Hukum Adat di Indonesia

Sebelum bangsa asing masuk ke Indonesia, hukum adat sudah ada dan berlaku di masyarakat. Berikut beberapa bukti yang menguatkan:

Kitab-kitab hukum kuno di lingkungan Kerajaan

  • Tahun 1000: pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan kitabnya yang disebut Civacasana
  • Tahun 1331-1364: Patih Majapahit Gajah Mada membuat kitab Gajah Mada
  • Tahun 1413-1430: Patih Majapahit Kanaka membuat kitab Adigama
  • Tahun 1350: di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava

Kitab-kitab hukum kuno yang mengatur kehidupan masyarakat di berbagai daerah:

  • Tapanuli: Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan sosial di tanah Batak), Patik Dohot Uhum ni Halak Batak (undang-undang dan ketentuan-ketentuan Batak)
  • Jambi: Undang-Undang Jambi
  • Palembang: Undang-Undang Simbur Cahaya (undang-undang tentang tanah di dataran tinggi daerah Palembang)
  • Minangkabau: Undang-Undang nan dua puluh (undang-undang tentang hukum adat delik di Minangkabau)
  • Sulawesi Selatan: Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang Wajo)
  • Bali: Awig-awig (peraturan subak dan desa) dan Agama Desa (peraturan desa) yang ditulis di dalam daun lontar.

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat di Indonesia

Di samping kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam hingga faktor-faktor tradisional, ada banyak faktor lain turut mempengaruhi perkembangan hukum adat di Indonesia. Dikutip dari Pengantar Hukum Indonesia oleh Rahman Syamsuddin, berikut faktor-faktornya:

  1. Magis dan animisme
    - Pengaruh faktor magis dan animisme di Indonesia berpengaruh besar dalam perkembangan hukum adat. Hal ini bisa dilihat dari upacara-upacara adat yang bersumber pada kekuasaan serta kekuatan gaib hingga kepercayaan animisme pada alam semesta atau pemujaan terhadap roh-roh leluhur.
  2. Faktor agama:
    - Pengaruh faktor agama juga merupakan salah satu yang cukup besar dalam perkembangan hukum adat. Mulai dari masuknya agama Hindu pada abad ke 8, agama Islam pada abad ke 14, dan agama Kristen yang dibawa pedagang-pedagang Barat.
  3. Faktor kekuasaan yang lebih tinggi:
    - Maksud dari kekuasaan yang lebih tinggi adalah kekuasaan raja, kepala kuria, nagari dan sejenisnya. Tidak semua raja yang pernah berkuasa baik, ada juga raja yang bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang keluarga dan lingkungan kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan. Misalnya penggantian kepala-kepala adat banyak diganti oleh orang-orang kerajaan tanpa menghiraukan adat istiadat bahkan menginjak-injak hukum adat yang ada dan berlaku di dalam masyarakat tersebut
  4. Adanya kekuasaan asing:
    - pengaruh kekuasaan penjajah Belanda turut mempengaruhi perkembangan hukum adat di Indonesia. Orang-orang Belanda kala itu membawa alam pikiran barat yang individualisme. Hal ini jelas bertentangan dengan alam pikiran adat yang bersifat kebersamaan.

Sejarah, bukti hingga faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat di Indonesia telah diketahui. Simak penjelasan lebih lengkap soal unsur dan sumber hukum adat di halaman berikut ini.

Simak juga 'Saat Tokoh Dayak Minta Edy Mulyadi Diberi Hukum Adat!':

[Gambas:Video 20detik]

BACA DAN SIMAK ppt berikut  dan perhatikan tugas dalam kolom ppt

Click kegiatan 3 hukum adat.pptx link to view the file.

Apa itu Hukum Adat

Secara garis besar, hukum adat adalah hukum kebiasaan yang artinya aturan dibuat dari tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan berkembang sehingga menjadi sebuah hukum yang ditaati secara tidak tertulis.

Hukum adat diakui oleh negara sebagai hukum yang sah. Setelah Indonesia merdeka, dibuatlah beberapa aturan yang dimuat dalam UUD 1945, salah satunya mengenai hukum adat.

Seperti salah satu dasar hukum berikut ini, yaitu pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

Sedangkan menurut para pakar hukum, pengertian hukum adat adalah

1. Menurut Prof. Mr. B. Terhaar Bzn

“Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.”

2. Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven:

Profesor luar negeri ini menyampaikan teorinya, bahwa: “Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.”

3. Menurut Dr. Sukanto, S.H.

Ahli ini menyatakan bahwa “Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum”.

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa secara umum hukum adat adalah hukum tidak terrtulis. Kendati demikian, masyarakat adat tetap meyakini bahwa ada hukum yang mengikat pada lingkungannya sehingga harus ditaati dan akan mendapatkan sanksi apabila dilanggar.

Artikel : Apa itu Hukum Adat


DASAR HUKUM BERLAKUNYA HUKUM ADAT

           Di dalam mempelajari hukum adat, salah satu yang harus diketahui adalah dasar hukum berlakunya hukum adat itu sendiri, hal ini untuk meykinkan bahwa keberadaan hukum adat memang benar-benar diakui didalam perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Adapaun perundang-undangan yang menjadi dasar hukum berlakunya hukum hukum adat itu adalah :

1.      Undang-Undang Dasar 1945

2.      UUDS Tahun 1950

3.      I.S. Pasal 131 jis R.R. Pasal 75 Baru dan Lama

4.      I.S. Pasal 134

5.      Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, LN Nomor  9

6.      Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 dan

7.      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

           Untuk lebih jelasnya dan guna melengkapi pengetahuan kita tentang Dasar Perundang-Undangan yang mendasari berlakunya Hukum Adat di lingkungan Tata Hukum positif di Indonesia, maka berikut disampaikan kajian dan paparan lebih jauh tentang Perundang-Undangan tersebut.

A.  Undang-Undang Dasar 1945

           Apabila kita kaji dan kita teliti kita tidak akan pernah mendapatkan di dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan dengan jelas dan tegas mengenai dasar berlakunya hukum adat.

           Dasar yang dipakai untuk memberlakukan Hukum adat itu adalah pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan :

“ Segala Badan Negara dan peraturan yang ada , mm asih langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang ini”.

B.  UUDS Tahun 1950.

           Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 dalam pasal 104 ayat 1 menyatakan : 

           “Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu “

C.   I.S. (Indische Staatsregeling) Pasal 131

       jis R.R.(Regerings-Reglement)  pasal 75 baru dan lama    

           Menurut ketentuan Pasal 131 ayat 2 sub b I.S., maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan TimurAsing berlaku hukum Adat mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat Ordonansi dapat menentukan bagi mereka :

a.         Hukum Eropa;

b.         Hukum Eropa yang telah dirubah (gewijzigd Eropees Recht);

c.         Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama; dan      

d.        Hukum baru (Nieuw Recht), yaitu :

Hukum yang merupkan synthese antara hukum adat dan hukum Eropa.

Ada perbedaan antara I.S. pasal 131 dan R.R. pasal 75.

Perbedaan itu antara lain :

a.        Pasal 75 R.R. lama itu ditujukan kepada hakim, sedangkan pasal 131 I.S. ditujukan kepada pembuat undang-undang;

b.       Pasal 75 R.R. lama tidak memuat kemungkinan bagi orang Indonesia asli untuk menundukkan diri kepada suatu hukum baru;

c.        Hukum adat tidak boleh diberlakukan apabila bertentangan dengan “azas-azas keadilan”. Apabila Hukum Adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara, maka hakim dapat menyesaikanya menurut azas-azas hukum Eropa.

Restriksi/ pembatasan atas penerapan dan kemungkinan untuk menambah Hukum Adat ini tercantum dalam R.R. pasal 75 ayat 3, sedang dalam I.S. pasal 131tidak ada.

D.   I.S. Pasal 134

      Mengenai berlakunya Hukum Adat, di dalam I.S. selain pasal 131 kita jumpai lagi di pasal 134, yang menyebutkan :

“Dalam hal timbul perkara hukum perdata antara orang-orang Islam, dan Hukum Adat mereka meminta penyelesaiannya, maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh Hakim Agama, kecuali ordonansi telah menetapkan lain”.

E.   Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951

       Lembaran Negara No 9/1951

          Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 disebutkan bahwa, pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan :

a.        Segala pengadilan Swapraja  (Zelfbestuurs-Rechtspraak) dalam negara Sumatra Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan Agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dan peradilan swapraja.

b.       Segala Pengadilan Adat  (Inhemse Rechtspraak in Rechtstreeks Bestuurd Gebied) kecuali peradilan Agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan   suatu bagian tersendiri dari peradilan Adat. Tetapi menurut pasal 1 ayat 3 UU Darurat ini, Dorpsrechter (Hakim Desa) tetap diperthankan. Peradilan yang dilakukan oleh Hakim Swapraja dan Hakim Adat yang telah dihapuskan itu diteruskan oleh Pengadilan Negeri.

F.     Undang-Undang No. 19 tahun  1964 dan

G.   Undang-Undang No. 14 tahun  1970   

               Ketentuan dan tuntutan dalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “ Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman” telah dipenuhi penyelenggaraannya oleh pasal 3 Undang-Undang No 19 tahun 1964.

               Dalam pasal 3 Undang-Undang tersebut memang tidak disebut dengan tegas adanya Hukum Adat, tetapi hanya dalam penjelasan pasal 10 dinyatakan adanya hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis.

Persoalannya adalah :

Apakah yang dimaksudkan dengan hukum tidak tertulis itu hanya Hukum Adat saja  atau termasuk hukum –hukum tidak tertulis lainnya seperti Hukum  perniagaan tidak tertulis, hukum tatanegara tidak tertulis dan lain-lainnya?

Jawaban atas persoalan tersebut dapat ditemukan dalam penjelasan umum Undanng-undang No 19 tahun 1964, yang menyatakan sebagai berikut :

“ Bahwa peradilan adalah peradilan Negara. Dengan demikian tidak ada tempat bagi peradilan swapraja dan peradilan Adat. Apabila peradilan-peradilan itu masih ada, maka selekas mungkin akan dihapuskan seperti yang secara berangsur-angsur telah dilaksanakan.

Selanjutnya ketentuan yang ada dalam Undang-undang No 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat termuat dalam pasal-pasal sebagai berikut :

a.       Pasal 23 (1) yang berbunyi :

“ Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Yang dimaksud dengan “hukum tak tertulis” dalam pasal tersebut adalah “Hukum Adat”.

Ini hampir sama dengan pasal 17 UU No 19 tahun 1964.

b.      Pasal 27 (1) yang berbunyi :

“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Ini hampir sama dengan  pasal 20 (1) UU No 19 tahun 1064.

              Dalam penjelasan umum Undang-undang ini, bagian 7 berbunyi sebagai berikut:

“ Penegasan, bahwa peradilan adalah peradilan Negara, dimaksud untuk  menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan Swapraja atau Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan peradilan Negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan negara. Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dngan mengintegrasikan diri di dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis berjalan secara wajar”.

              Ketentuan-ketentuan tersebut tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis yang disebut Hukum Adat, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada pengadilan-pengadilan Negara. Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar, sehingga turut srta secara aktif merealisasikan penyatuan dan kesatuan hukum diseluruh Indonesia.

              Hukum tidak tertulis yang diterapkan/ diselenggarakan oleh Pengadilan Swapraja dan Peradilan Adat adalah “Hukum Adat”.  (Imam Sudiyat,1981, 29)