Jelaskan kehidupan masyarakat di bidang agama dan budaya pada masa kerajaan Majapahit

Om Swastyastu. Om Awighnamastu Namo Sidham. Om Anobadrah Kratavo Yantu Visvatah. Om Sidhirastu Tat Astu Astu Swaha

Umat sedharma yang berbahagia. Mimbar Hindu kali ini membahas dharmawacana tentang ‘Kebhinekaan dan Toleransi Kehidupan Beragama [Pluralisme]’

Kebhinekaan dan Toleransi Kehidupan Bergama tidak akan pernah lepas dalam kehidupan beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negeri ini sangat majelmuk, terdiri dari ribuan pulau, suku, adat, dan budaya. Oleh karena itu, perlu ada pemahaman tentang pluralisme. 

Pluralisme berasal dari Bahasa Inggris: Pluralism yang terdiri dari dua suku kata Plural yang berarti beragam, dan isme yang berarti paham. Jadi Pluralisme adalah beragam pemahaman atau macam-macam paham. Bila dikaitkan dengan Pluralisme Hindu dapat diartikan beragam pemahaman atau cara pandang Hindu terhadap praktik ajaran Agama Hindu itu sendiri.  

Umat sedharma yang berbahagia. Kita patut bersyukur karena umat Hindu dikenal sangat menjujung tinggi perbedaan. Hindu mengajarkan Desa, Kala, dan Patra yang diwariskan dari generasi ke generasi. 

Pada masa Kerajaan Majapahit, sat Hindu masih menjadi agama mayoritas, masyarakat dari berbagai agama dapat hidup berdampingan. Sebab, mereka memakai semboyan atau sesanti puja karya Empu Tantular yang tertulis dalam Swastikarana: 81:  “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” [berbeda-beda tetapi tetap satu dan tidak ada dharma yang kedua]. 

Lantas, bagaimanakah pandangan Hindu terhadap keberagaman itu sendiri. Pemujaan tidak bisa diseragamkan karena adat dan budaya yang berbeda. Dalam Kitab Suci Bhagawad Gita IV. 11 disebutkan: Ye yatha mam prapadyante. Tams tathaiva bhajamy aham. Mama vartmanuvartante. Manusyah partha sarvasah. [Bagaimanapun [jalan] manusia mendekati-Ku, Aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan]

Jadi dari sloka tersebut dapat dipahami bahwa Sang Hyang Widhi tidak pernah membedakan jalan atau cara yang kita lakukan untuk memuja-Nya. Sang Hyang Widhi akan menerima semua itu.  Sloka ini mengajarkan umat Hindu untuk melihat perbedaan atau kebhinekaan sebagai sesuatu yang selalu ada di dunia ini atau sering kita sebut Rwa Bhineda. 

Inilah yang mendasari walaupun pemeluk agama Hindu berbeda suku dan budaya, namun tetap satu. Hindu tidak anti terhadap perbedaan, baik secara kebudayaan, adat-istiadat, dan dalam ritual [upacara dan upakara]. Kita tetap memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Inilah maksud dari Kebhinekaan atau Pluralisme Hindu,.

Dalam Chandogya Upanisad juga disebutkan: Om Tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman [Hyang Widhi haya satu, tak ada duanya dan maha sempurna]. [Swastikarana:104]. Jadi kita perlu menyadari bahwa Hyang Widhi hanyalah satu tidak ada duanya dan Maha Sempurna yang meresapi setiap insan di alam semesta ini. 

Umat sedharma yang berbahagia. Sebagai umat Hindu, marilah kita bersama menjunjung tinggi kebhinekaan, sehingga kehidupan beragama akan sangat toleran baik dengan sesama Hindu maupun dengan umat agama lainnya. 
Bukankah bunga di taman tidak akan tampak indah jika hanya terdiri dari saju jenis dan warna bunga saja. Namun, jika banyak warna dan jenisnya, maka akan tampak lebih indah. Sama halnya dengan Indonesia yang sangat beragam. 

Demikian dharmawacana kali ini. Suro Diro Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti. Saya akhiri dengan Puja Parama Santhi. Om Santhi SanthI Santhi Om

Agus Sutrisno [Penyuluh Agama Hindu]

© Copyright 2021 Kementerian Agama RI

tirto.id - Sejarah peradaban Nusantara tidak dapat dilepaskan dari riwayat Kerajaan Majapahit. Kemaharajaan Majapahit adalah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang meninggalkan cukup banyak situs candi atau bangunan suci untuk kepentingan agama.

Menurut Kitab Negarakertagama seperti yang diterjemahkan oleh Theodore Gauthier Pigeaud dalam “Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit 1365 AD" [1962], kekuasaan Majapahit terbentang dari Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia bagian timur.

Berdiri pada 1293, Kerajaan Majapahit merengkuh masa kejayaan pada era pemerintahan Hayam Wuruk [1350-1389] dengan didampingi Mahapatih Gajah Mada. Sepeninggal dua pemimpin ini, Majapahit mulai mengalami kemunduran dan akhirnya musnah pada 1478 akibat serangan dari Kesultanan Demak.

Agama di Kerajaan Majapahit

M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern [1991] menyebutkan bahwa Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.

Mayoritas penduduk Kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah amat luas di Nusantara memeluk agama Hindu, Buddha, atau ajaran Siwa-Buddha, meskipun ada pula yang masih menganut kepercayaan leluhur yakni Kejawen atau Animisme.

Ajaran Siwa-Buddha merupakan sinkretisme atau percampuran dari agama Hindu dan Buddha di Nusantara. Di era Majapahit, ajaran yang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno ini berpadu menjadi satu.

Hasil penelitian Hariani Santiko berjudul “Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit" yang terhimpun dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi AMERTA [Vol. 30, No. 2, Desember 2012], mengungkapkan, Majapahit banyak meninggalkan bangunan suci lainnya yang merupakan sisa sarana ritual keagamaan.

Di samping candi, terdapat pula pemandian suci [patirthan] dan gua-gua pertapaan, serta beberapa pintu gerbang. Candi-candi pada masa Majapahit kebanyakan bersifat agama Śiwa [Hindu] dan ada pula beberapa candi yang bercorak Buddha.

Sifat keagamaan bangunan-bangunan suci ini dapat ketahui dari ciri-ciri arsitektural, jenis arca yang ditinggalkan, serta dukungan bukti data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakertagama, Kakawin Sutasoma, Kakawin Arjunawiwaha, Pararaton, dan beberapa keterangan yang didapat dari prasasti.

Baca juga:

  • Sejarah Kerajaan Kristen Larantuka & Kaitannya dengan Majapahit
  • Sejarah Hidup Gajah Mada, Mahapatih Majapahit, & Isi Sumpah Palapa
  • Sejarah Hidup Hayam Wuruk: Fakta Raja Majapahit & Masa Kejayaan

Toleransi Agama di Majapahit

H.B. Hery Santosa dalam riset bertajuk “Fungsi Agama dalam Pemerintahan pada Masa Kejayaan Majapahit" menuliskan bahwa kehidupan sosial budaya masyarakat Majapahit juga diwarnai oleh hal-hal yang bersifat keagamaan.

Agama memiliki fungsi dan peran sebagai pengendali jarak sosial, pemberi fenomena integrasi dan menumbuhkan rasa toleransi antar warga. Kerajaan memberi pengakuan dan kesempatan yang sama terhadap tokoh-tokoh agama untuk duduk dalam pemerintahan.

Adanya satu bangunan suci [candi] yang memiliki dua atau lebih sifat keagamaan, merupakan bukti dari integrasi sosial dan toleransi dalam bidang agama. Bukan hanya bagi pemeluk Hindu atau Buddha, melainkan juga umat muslim karena penganut agama Islam sudah ada di zaman Majapahit.

Penduduk Majapahit sejak era Hayam Wuruk diduga sudah ada yang memeluk Islam. Hal tersebut diperkuat dengan ditemukannya pemakaman muslim di Desa Tralaya, Trowulan, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit.

Nisan di pemakaman Islam tersebut ada yang menunjukkan angka tahun 1203 Saka atau 1281 Masehi. Selain itu, tulis Dukut Imam Widodo dalam Sidoardjo Tempo Doeloe [2013], terdapat nisan yang tergurat angka 1533 Saka atau 1611 Masehi.

Nantinya, seiring semakin menguatnya pengaruh Islam dan kemunculan Kesultanan Demak, kejayaan Majapahit dan pamor Hindu-Buddha pun kian meluruh. Hingga akhirnya, Kemaharajaan Majapahit mengalami keruntuhan abad ke-16 Masehi.

Baca juga:

  • Sejarah Singkat Majapahit, Pusat Kerajaan, & Silsilah Raja-Raja
  • Sejarah Perang Paregreg: Awal Runtuhnya Kerajaan Majapahit
  • Sejarah Perang Bubat Majapahit vs Sunda: Penyebab, Lokasi, Dampak

Candi-Candi Peninggalan Majapahit

Cukup banyak candi peninggalan dari masa Kerajaan Majapahit, baik candi yang bercorak Hindu maupun Buddha, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Candi Tikus
  • Candi Sukuh
  • Candi Bajang Ratu
  • Candi Wringin Lawang
  • Candi Jabung
  • Candi Brahu
  • Candi Pari
  • Candi Surawana
  • Candi Wringin Branjang
  • Candi Minak Jinggo
  • Candi Rimbi
  • Candi Kedaton
  • Desa Ngetos

Baca juga:

  • Sejarah Keruntuhan Kerajaan Majapahit & Prasasti Peninggalannya
  • Sejarah Majapahit: Penyebab Runtuhnya Kerajaan & Daftar Raja-Raja
  • Sejarah Kerajaan Majapahit: Kekuatan Militer dan Persenjataan

Baca juga artikel terkait KERAJAAN MAJAPAHIT atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
[tirto.id - isw/agu]


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề