Jelaskan pelajaran apa yang dapat diambil dari tembang Tombo Ati ciptaan Sunan Bonang?

Makam Sunan Bonang di Kabupaten Tuban, Jatim. [Foto: repro. tubankab.go.id]

Kastolani Sabtu, 02 Mei 2020 - 05:37:00 WIB

JAKARTA, iNews.id - Sunan Bonang merupakan salah satu walisongo yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Sunan Bonang bernama Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.

Versi lain mengatakan Dewi Condrowati adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.

Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa, Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.

Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadah para wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.

BACA JUGA:
Kisah Sunan Kalijaga, Berdakwah dengan Metode Wayang

Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.

Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.

Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.


Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.

Terlebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.

Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarnya. Tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.

Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

Meski sudah berusia lanjut, Sunan Bonang terus melakukan syiar agama Islam ke masyarakat yang belum tersentuh ajaran agama. Sunan Bonang wafat saat berdakwah di Pulau Bawean. Berita segera disebarkan ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.

Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan Sunan Bonang di Pulau Bawean. Tetapi murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenazahnya dimakamkan di dekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya.

Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.

Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang kedalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenazah tertinggal satu.

Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban.

Sementara kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada di Kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.

Beragam karya sastra dihasilkan Sunan Bonang yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan [tasawuf] atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.

Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr [wafat pada 899]. Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental [alam malakut]. Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.


Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi [peniadaan] dan ‘isbah [peneguhan]. 


Editor : Kastolani Marzuki

TAG : tuban bulan ramadan sejarah islam

JAKARTA – “Obat hati ada lima perkaranya. Yang pertama baca Quran dan maknanya. Yang kedua, salat malam dirikanlah. Yang ketiga berkumpullah dengan orang saleh. Yang keempat perbanyaklah berpuasa. Yang kelima zikir malam perpanjanglah”.

Penggalan lirik lagu di atas cukup populer setelah dipopulerkan oleh penyanyi religi Opick pada tahun 2005 dalam lagunya ‘Tombo Ati’. Sebelumnya, Cak Nun dengan Kiai Kanjeng-nya juga melantunkan lagu penuh nasihat yang populer di kalangan umat Islam ini, pada tahun 1996.

Namun, siapakah pencipta asli dari Tombo Ati? Merujuk dari beberapa sumber, pencipta tembang Tombo Ati sebenarnya adalah Sunan Bonang, salah satu dari sembilan Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam di nusantara. Sunan Bonang menciptakannya menggunakan bahasa Jawa. Tombo Ati bisa diartikan sebagai Obat Hati atau Obat Kegundahan Hati atau juga Syair Ketentraman Jiwa.

Dalam menciptakan Tombo Ati, Sunan Bonang terinspirasi dari seorang ulama yang cukup eksis pada abad ke-3 Hijriah, Ibrahim bin Ahmad, atau biasa dipanggil Abu Ishaq al-Khawwash yang menjelaskan pentingnya menghayati makna Al-Quran pada saat membacanya.

Sunan Bonang sendiri bernama asli Maulana Makhdum Ibrahim. Ia dilahirkan pada tahun 1465 dan wafat pada tahun 1525. Sunan Bonang merupakan putra keempat dari Sunan Ampel dan Nyi Ageng Manila. Menurut Jurnal Middle East and Islamic Studies, ia dipanggil Sunan Bonang karena dalam metode dakwah menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa, ia menggunakan alat musik tradisional Jawa yang dinamakan Bonang.

Dalam versi China, menurut naskah dari klenteng Talang, nama kecil Sunan Bonang adalah Liem Bong Ang. Dengan nama ini dalam pengucapannya kemudian bertransilerasi menjadi Bonang.

Menurut naskah tersebut, ia adalah putra Bong Swi Ho yang juga dikenal dengan Sunan Ampel. Informasi ini dalam naskah tersebut menyebutkan, Sunan Bonang adalah keturunan China yang memperoleh ajaran dan pendidikan Jawa.

Sejak masa kecil, Sunan Bonang sudah mendapat pelajaran agama Islam dari ayahnya, Sunan Ampel lewat disiplin yang ketat. Setelah beranjak dewasa, Sunan Ampel mengirim Sunan Bonang dan Sunan Giri [Raden Paku] untuk belajar ke Makkah dan ke Pasai [Aceh]. Di Pasai, Sunan Bonang belajar kepada Syekh Awwalul Islam serta para ulama besar ahli tasawuf berasal dari Baghdad, Mesir dan Iran.

Sepulang dari menuntut ilmu di Pasai, Sunan Bonang menyebarkan ajaran Islam di wilayah Jawa Timur termasuk Tuban, Pati, Pulau Madura dan Pulau Bawean yang terletak di utara pulau Jawa. Dalam menyiarkan agama Islam beliau menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan kebudayaan yang telah berkembang di masyarakat pada masa sebelum Islam dikenal.

Pertunjukan Gamelan
Alat musik bonang sendiri yang kerap dilekatkan pada nama Maulana Makhdum Ibrahim, merupakan alat musik berbahan kuningan yang mempunyai tonjolan di bagian tengahnya, mirip gong berukuran kecil. Menurut buku karya Handrito yang berjudul Sunan Bonang: Seniman Yang Berdakwah, alat musik itu sering digunakan Sunan Bonang dalam pertunjukan, kemudian dinamakan Bonang yang diambil dari nama tempat kediaman Sunan Bonang yaitu Desa Bonang, di daerah Lasem, Jawa Tengah.

Pada masa itu, alat musik ini selain digunakan untuk gamelan pengiring pertunjukan wayang, digunakan juga oleh aparat desa untuk mengumpulkan warga dalam rangka menyampaikan informasi dari pemerintah kepada penduduk.

Sunan Bonang memainkan alat musik disertai dengan lagu-lagu syiar ajaran Islam sehingga banyak orang tertarik untuk mendengar, kemudian ingin memainkannya. Oleh Sunan Bonang, orang-orang yang datang ke masjid yang ia bangun, boleh memainkan alat musik bonang dengan syarat membasuh kaki di kolam yang dibangun di depan masjid dan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu. Jadi beberapa orang pada saat itu masuk Islam atas dasar syarat dari Sunan Bonang.

Untuk lebih banyak menarik simpati orang, Sunan Bonang menggelar pertunjukan gamelan. Masih dari dari buku Sunan Bonang: Seniman Yang Berdakwah, Sunan Bonang merupakan Walisongo yang mempunyai cita rasa seni sangat tinggi. Ia berhasil membuat orang-orang suka dengan pertunjukan gamelannya.

Sunan Bonang kemudian menyempurnakan instrumen gamelan dengan bonang, kenong, dan kempul. Pendeknya, ia bisa dibilang sebagai kreator gamelan Jawa sampai saat ini.

Hasil aransemen Sunan Bonang memiliki pesan-pesan zikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan rohani. Pesan rohani dalam gamelan karya Sunan Bonang ini menjadi sarana yang mampu menyadarkan masyarakat dalam beragama. Dari sini, agama Islam kemudian menyebar kepada masyarakat tanpa ada paksaan sedikitpun.

Bahkan, tidak sedikit penduduk yang penasaran dan ingin belajar bagaimana cara membunyikan alat musik bonang serta bermain gamelan. Mereka juga banyak meminta diajarkan memainkan lagu-lagu ciptaan Sunan Bonang.

Sunan Bonang pun dengan sabar mengajarkan penduduk satu per satu untuk memainkan alat musik bonang. Kesempatan ini juga digunakan Sunan Bonang untuk mengajarkan ajaran Islam ke penduduk. Metode dakwah dan mengajarkan ajaran Islam melalui musik terus dilakukan Sunan Bonang setelah mendapatkan simpati penduduk.

Lagu-lagu yang diajarkan Sunan Bonang juga disesuaikan dengan kesukaan warga pada saat itu, tembang lagu-lagu Jawa. Hanya saja, ia menyisipkan ajaran agama Islam pada liriknya.

Melalui musik dan lagu, ajaran Islam yang disampaikan oleh Sunan Bonang mudah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Apalagi, musik dan lagu juga bisa mudah diingat daripada ceramah-ceramah.

Asal tahu saja, bakat seni yang dimiliki Sunan Bonang diturunkan dari Ibunya yang merupakan bangsawan di Tuban. Dari ibunya, Sunan Bonang banyak belajar tentang kesenian dan budaya Jawa. Dirinya memahami dan menguasai seluk-beluk yang berkaitan dengan kesusastraan Jawa, terutama tentang tembang-tembang jenis macapat yang sangat populer saat itu. Sejumlah tembang macapat kemudian diketahui juga dikarang ulang oleh Sunan Bonang.

Sosok Pujangga
Predikat pujangga juga melekat pada Sunan Bonang. Selain menggunakan alat musik tradisional, Sunan Bonang juga menggunakan media sastra Jawa untuk menyebarkan Islam. Sunan Bonang menulis kitab yang disebut dengan Suluk Bonang atau Suluk Wujil.

Wujil yang artinya cebol, sejatinya mengacu pada seorang tokoh terpelajar Majapahit yang meninggalkan agama Hindu untuk menjadi penganut Islam yang taat. Suluk Wujil berisi tentang ilmu kesempurnaan hidup dan mistik.

Diketahui tembang Tombo Ati juga berawal dari tulisan Suluk Sunan Bonang. Merujuk Jurnal Middle East and Islamic Studies, kata Suluk berasal dari akar kata Salaka-yasluku-sulukan. Dari penggalan kata dalam Hadis Rasulullah SAW terdapat kata “salaka” yang dimaknai oleh kesepakatan mufasir yaitu “berjalan”. Sementara dalam tafsir lain, Suluk dapat diartikan karangan bercorak tasawuf yang disampaikan dalam bentuk tembang.

Dalam buku Sunan Bonang: Seniman Yang Berdakwah juga disebutkan, karya sastra Sunan Bonang terasa penuh keindahan dengan banyak makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang saat ini kabarnya disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Suluk karya Sunan Bonang yang terkenal salah satunya adalah Gita Suluk Wali yang dibawakan dengan untaian lirik puisi-puisi yang memikat. Dalam puisinya itu, dipaparkan soal hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta, laksana laut pasang yang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus.

Ada juga Suluk Jebeng. Dalam suluk ini terdapat Tembang Dandanggula yang tak kalah terkenal. Lahirnya Suluk Jebeng karena ada percakapan mengenai pengenalan diri sendiri agar berada di jalan yang benar dan juga tentang pembentukan khalifah yang ada di bumi. Selain itu, Suluk Jebeng juga menggambarkan hubungan kuat yang saling mengenal antara Tuhan dengan manusianya.

Kemudian ada Suluk Khalifah yang juga digunakan dalam metode dakwah. Suluk ini berisi tentang perjalanan Walisongo dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di Indonesia. Syair Suluk Khalifah ini menjelaskan perjuangan Walisongo dalam mengajarkan masyarakat tentang Islam, hingga memeluk Agama Islam.

Dalam menjalankan riyadhoh ke Pasai dan juga perjalanan ibadah hajinya, Sunan Bonang menunjukkan ciri khas yang sangat berbeda dengan para penulis muslim awal di Sumatra. Para penulis dari Sumatra sejak awal menggunakan huruf Jawi, yaitu huruf Arab yang disesuaikan dengan budaya Melayu. Sementara, Sunan Bonang dan para penulis muslim Jawa awal, tetap menggunakan huruf Jawa sehingga bisa mudah dikenal masyarakat terpelajar Jawa.

Selanjutnya, keberhasilan Sunan Bonang dalam menyebarkan agama Islam juga ditunjukkan dengan ia membantu berdirinya Kerajaan Islam Demak dan pendirian Masjid Agung Demak. Sunan Bonang diketahui juga pernah memberikan pendidikan agama Islam kepada Raden Fatah, Putra Raja Brawijaya V dari Majapahit. Kemudian, Sunan Bonang mendirikan pesantren di Tuban.

Aransemen Spontan
Selain lewat musik dan puisi, Sunan Bonang juga terkenal dengan keahliannya berdakwah saat menjadi dalang yang memainkan wayang. Sunan Bonang melakukan inovasi dengan menambahkan beberapa tokoh dalam pertunjukan wayangnya, seperti kuda, gajah, harimau, garuda dan kereta perang.

Saat pentas, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon yang memasukkan tafsir-tafsir khas Islam, seperti pada kisah perseteruan Pandawa-Kurawa.

Ketika menjadi dalang, Sunan Bonang juga tidak lupa menyisipkan lagu-lagu Islami yang puitis dan kemudian bisa diserap dengan mudah oleh masyarakat. Ia juga menyampaikan ajaran kebaikan dalam Islam di pertunjukannya. Pada saat tampil, Sunan Bonang juga tidak jarang melakukan aransemen spontan untuk membuat pertunjukan semakin menarik.

Dalam kesenian wayang, Sunan Bonang tidak berperan sendiri. Ia dibantu oleh tokoh-tokoh yang lain, yang merupakan muridnya, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Prawoto dan Raden Fatah yang kehadirannya makin menyempurnakan kesenian wayang kulit.

Sunan Bonang, dalam pertunjukannya, berperan dalam menyusun struktur gramatika [tata bahasa] pewayangan, sehingga bahasa yang disampaikan menjadi lebih dinamis dan dapat diikuti oleh masyarakat dari zaman ke zaman. Sementara, Sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu diganti dengan batang pisang. Begitu juga dengan penambahan blencong, kotak wayang, cempala dan gunungan.

Sunan Prawoto sendiri berperan menambahkan tokoh raksasa, kera, dan juga skenario cerita di dalamnya. Sementara Raden Fatah, menambahkan tokoh gajah dan wayang Pramponan.

Selayaknya pendakwah, dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ikhya Ulumuddin dari al-Ghozaliy dan al-Anthaki dari Dawud al- Anthaki. Kitab lain yang juga jadi referensi dan digunakannya adalah tulisan Abu Yazid al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir al- Jilaniy. Secara singkat, ajaran Sunan Bonang menurut disertasi Gunning dan Schreiber, memuat tiga tiang agama yaitu Tasawuf, Usuluddin, dan Fiqih.

Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada tahun 1525. Namun, ada empat makam yang diyakini sebagai makam Sunan Bonang, yakni di Desa Bonang, Lasem, Rembang dan Tuban.

Menurut kabar yang berkembang di masyarakat, Sunan Bonang tidak menikah. Hal ini diyakini karena Sunan Bonang ingin mengabdikan hidupnya untuk dapat melakukan penyebaran Agama Islam ke masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. [Gisesya Ranggawari, dari berbagai sumber]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề