Jelaskan perbedaan antara tulisan jurnalisme musik resensi dan jurnalisme musik review

“Most rock journalism is people who can’t write, interviewing people who can’t talk, for people who can’t read” – Frank Zappa

Sekitar minggu yang lalu seorang teman yang bekerja diluar negri mengambil cuti untuk pulang ke Indonesia. Lalu menghubungi saya untuk menemaninya muter-muter kota Bandung. Salah satu tempat yang kami kunjungi ialah toko buku.

Teman saya membeli buku “Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat” yang memenuhi satu rak buku best seller dengan warna orange yang mencolok. Sedang saya melihat-lihat ke sisi lain rak lalu menemukan buku dengan desain yang relatif mencolok juga, berwarna merah dan kuning berbalut cover Rhoma Irama, Deddy Stanzah & Gito Rollies (kalo tidak salah), Duta & Eros SO7, serta Arian 13 Seringai.

Tiga hari kemudian saya kembali ke toko itu lalu membeli buku berwarna dominan merah tersebut. Judulnya “Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya”. Buku setebal 198 halaman keluaran KPG Desember 2018.

Pada bab 1 buku ini membahas tentang perjalanan majalah musik di Indonesia sejak awal sebelum kemerdekaan (Majalah Soeara Nirom & Swing), majalah Diskorina & Aktuil yang sering menjadi rujukan buku-buku yang meneliti tentang khasanah musik masa lampau, majalah Hai & Trax yang saya sendiri menjadi saksi hidup dan redupnya majalah tersebut, hingga membahas kenapa majalah musik sebesar Rolling Stone Indonesia bisa bubar pada awal Januari 2018 kemarin.

Pada awal bab 2 terdapat kutipan dari Frank Zappa “Most rock journalism is people who can’t write, interviewing people who can’t talk, for people who can’t read”. Menurut saya ini cukup menarik, dimana di Indonesia tidak terdapat pendidikan formal khusus jurnalisme musik (hal.39) sehingga biasanya jurnalis musik ini adalah seorang fan yang membangun karier sebagai penulis melalui media zine atau blog. Mewawancarai musisi yang tidak pandai menuangkan opininya melalui kata-kata/obrolan. Membuat tulisan untuk orang-orang yang lebih banyak memilih menggunakan indra pendengaran dari pada penglihatan. Sebuah ironi yang menarik wkwkkw.

Terdapat pula table perbedaan jurnalisme umum vs jurnalisme musik dan infografik sejarah singkat jurnalisme & kritik musik di dalam bab 2 ini.

Bab 3 berjudul “Musik Bukan Sekedar Hiburan” membahas tentang bagaimana jurnalisme musik atau kritik musik di era industrialisasi menjadikan tulisan-tulisan tentang musik lebih banyak mengulas sisi kehidupan musisi tersebut dibandingkan sisi musik atau kreatif dari musisinya. Hal ini pernah dikeluhkan oleh Fariz R.M pada wawancaranya di majalah Vista No. 18 tahun 1983.

Selain itu ada sub bab berjudul “Ragam Tulisan Musik”. Dalam sub bab ini saya mendapat banyak pengetahuan teknis tentang bagaimana dan apa saja yang bisa saya tulis berhubungan dengan musik. Ulasan album, ulasan pertunjukan, ulasan lagu/lirik, analisis, wawancara musisi, esai personal, tulisan blog, profil musisi, gaya alternatif, bagaimana bunyinya, skena musik dan kritik budaya. Semua itu dibahas satu persatu. Khusus di bab ini saya mendapatkan pengetahuan yang bisa saya aplikasikan langsung.

Di bab 4 penulis menjelaskan tentang jurnalisme sastra yaitu gaya jurnalisme baru yang menyajikan informasi yang lebih subjektif, tapi pada satu sisi tetap mengedepankan cara-cara kerja dan etika jurnalistik dalam membeberkan fakta dan peristiwa (hal. 89). Pada paragraf berikutnya dijelaskan pula mengenai jurnalisme sastra yang lebih ekstrim yang disebut jurnalisme Gonzo. Di pelopori oleh Hunter S. Thompson dimana reportase yang di informasikan tak lagi memberi jarak antara sang reporter dan narasumber. Menurut Thomson, reportase yang berdasarkan objektivitas adalah mitos dan sudah usang (hal.96).

Bab 5 menjelaskan hal yang cukup pelik, yaitu tentang “Bagaimana Selera Terbentuk”. Kita tahu bahwa selera itu relatif. Tapi apakah selera benar-benar relatif? hingga tidak ada universalitas dalam selera?. Teman saya sering bercanda mengenai “cantik/bagus itu relatif” sedang “jelek itu absolut”. Nah di bab ini kita akan mendapati penjelasan yang cukup mendalam mengenai apa dan bagaimana selera itu terbentuk. Pemikir-pemikir besar yang biasanya kita baca di buku-buku filsafat dibahas di sini. Mulai dari Blaise Pascal, David Hume, hingga Pierre Bourdieu. Dari seluruh bab di buku ini, bab mengenai selera ini lah yang paling menyita waktu dan konsentrasi saya.

Diakhir bab terdapat tabel perbandingan musik gedongan VS musik kampungan yang pada tahun 1970-an sempat ramai diperbincangkan dan diberitakan.

Awal bab 6 bercerita tentang band rock Kings of Leon dan rapper Change The Rapper pada Juni 2017 menuntut media daring MTV untuk menghapus ulasan negatif musik mereka. Ya, di bab ini membahas tentang adakah kritik musik yang objektif? Yang benar- benar memberikan pengetahuan historis, musikal, maupun sosial kepada masyarakat (Khususnya di Indonesia). Tanpa konflik kepentingan dan netral.

Di paragraf selanjutnya pula dijelaskan mengenai jenis-jenis kritik seni. Namun yang paling menarik di bab ini adalah sebuah paragraf di halaman 149 yang membahas tentang betapa Amir Pasaribu bisa mengulas musik dengan sangat komperhensif, lugas, dan jujur. Dalam tulisanya bejudul “Seperempat Abad lagu Indonesia Raja”, dia (Amir Pasaribu) berani mengkritik lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ciptaan WR Supratman sebagai plagiat dari lagu “Lekka Lekka” atau “ Pinda Pinda” yang dikenal orang Belanda pada zaman sebelum perang dunia I.

Bab 7 menjelaskan mengenai “Kemunculan Media Alternatif”. Bagaimana media alternatif seperti zine, blog dan yang lainnya mucul serta mendapatkan ruang dan pembacanya sendiri. Terdapat table perbedaan media alternatif vs media mainstream dilihat dari dimensi, sistem, pengelola, orientasi, dan khalayak.

Pada bab 8 atau bab akhir bercerita mengenai pengalaman penulis mengikuti KAMI (Konfrensi Musik Indonesia) di Ambon. Di akhir bab ini penulis mencatat kesimpulan dari diskusi tersebut.

Wahhh.. sekitar 2 jam saya menulis resensi ini. 2 kali putar ulang album Explosion in the Sky – The Earth is Not a Cold Dead Place.

Akhir kata semoga berkah. Dan bisa nge resensi buku “Flip Da Skrip” nya Herry Sutresna yang belinya bareng dengan buku ini, namun belum dibuka apalagi dibaca.

Music journalism is dead, Long live music journalism! (hal. 179)

SENI BUDAYA 59 Reputasi Jobim mulai bersinar pada tahun 1956, ketika dia diminta oleh Vinicius de Moraes sebagai komposer Musik untuk sebuah ilm yang berjudul Orfeu de Conceicao. Salah satu lagu soundtrack dalam ilm ini akhirnya menjadi salah satu trademark bagi Jobim yaitu Se Todos Fossem Iguais A Voce. Tiga tahun kemudian Vinicius dan Tom kembali dipanggil untuk membuat sebuah soundtrack untuk ilm selanjutnya yaitu Black Orpheus 1959. Lagu-lagu tersebut dikerjakan Tom dan Vinicius melalui telepon karena Vinicius saat itu sedang dinas di Montevideo, Uruguay. Popularitas Tom Jobim dengan konsep musik Bossanovanya akhirnya semakin mendapat apresiasi hingga memasuki Amerika Serikat. Semua berawal dari kunjungan misi kebudayaan Amerika Serikat ke Brazil yang di dalamnya terlibat seorang gitaris Jazz legendaris Amerika Serikat, Charlie Byrd. Byrd yang kemudian menemukan genre musik ini di sebuah kelab malam di Rio di mana Tom Jobim, Sergio Mendes, dan Joao Gilberto sering tampil di sana, akhirnya bergegas menemui rekannya yang merupakan seorang saksofonis legendaris Amerika Serikat, Stan Getz sepulang dari Brazil. Proyek kolaborasi Charlie Byrd dan Stan Getz yang bereksperimen dengan aliran musik ini ternyata sukses besar. Album hasil proyek mereka yang berjudul Jazz Samba 1961 berhasil mencapai peringkat pertama dalam Chart album di Amerika Serikat selama kurang lebih 70 minggu dan menjadi awal Bossanova Crazes merajalela di seluruh Amerika Serikat hingga akhir 1960-an. Tom Jobim akhirnya mendapat undangan khusus dari Konsulat Jenderal Brazil untuk tampil bersama musisi Jazz Amerika Serikat di Carnegie Hall, New York pada tahun 1961. Bersama Jobim turut serta legiun Bossanova lainnya seperti Carlos Lyra dan Joao Gilberto. Sumber: Anc, http:www.kompasiana.com

3. Tulisan Jurnalisme Musik

Tulisan jurnalisme musik adalah tulisan yang berisi ulasan seni musik, khususnya pertunjukan musik atau peristiwa musik yang lain. Sebagaimana tulisan jurnalisme pada umumnya, tulisan jurnalisme musik juga dimaksudkan untuk penyampaian informasi kepada khalayak tentang suatu berita. Jadi, tulisan jurnalisme musik juga menonjolkan tersampaikannya informasi tentang pertunjukan musik kepada khalayak. Prinsip-prinsip tulisan jurnalisme musik sama dengan tulisan jurnalisme pada umumnya. Tulisan haruslah aktual dan faktual, bukan iktif. Tulisan juga harus objektif. Tulisan dibangun dengan gaya deduktif atau piramida terbalik. Yang penting didahulukan dan rinciannya dikemudiankan. Isi tulisan juga harus memuat 5 W + 1 H, yakni what, who, when, where, why, dan how. Dalam contoh tulisan jurnalisme musik di bawah ini dapat dianalisan unsur-unsur pokoknya. What pada tulisan tersebut adalah konser tunggal perdana penyanyi Andien yang bertajuk “Metamorfosa Andien: Liar Penuh Cerita Mengejutkan”. Who -nya adalah Andien, seorang penyanyi pop wanita Indonesia yang populer di kalangan penggemarnya. When -nya adalah Rabu 1582015 malam. Where-nya di JCC Jakarta Convention Cetre Plenary Hall, Jakarta. Why-nya adalah konser tersebut menandai 15 tahun Andien berkarya musik dalam blantika musik pop Indonesia. How-nya adalah gambaran tentang aksi Andien yang liar dan penuh kejutan di atas panggung konser yang megah dan mewah. Juga deskripsi tentang aksi Andien beserta para bintang tamu dalam membawakan lagu-lagu hit di dalam 6 album yang dihasilkan selama karier bermusiknya. KELAS XI SMAMASMKMAK 60 SEMESTER 2 Tulisan jurnalisme umumnya memberikan ulasan yang objektif dan faktual. Ada dua jenis tulisan jurnalisme tentang seni musik, yakni: a. Resensi Resensi adalah tulisan yang berisi ulasan karya seni musik yang siap dilepas ke masyarakat. Biasanya berisi pertimbangan tentang perlunya masyarakat menikmati karya seni musik tersebut tetapi berbeda dengan kritik, resensi lebih kepada melontarkan ajakan kepada khalayak untuk menikmati karya seni musik tersebut. Langkah-langkah resensi sebagai berikut. 1. Pahami dasar-dasar teori musik sebagai landasan memberikan pertimbangan. 2. Amati dan pelajari karya seni musik yang akan diresensi. 3. Temukan keunggulan dan kelemahan karya seni musik tersebut berdasarkan kajian teori musik. 4. Berikan pertimbangan kepada khalayak. 5. Susun tulisan resensi dengan sistematika: a identitas karya seni pencipta, penyaji, genre, dan tahun release, b deskripsi singkat tentang karya seni musik tersebut, penciptanya, penyajinya, garapan musiknya, dan sebagainya, c pertimbangan bagi khalayak mengapa khalayak perlu menikmati karya tersebut, dan d simpulan berupa rekomendasi kepada khalayak untuk menikmati karya seni musik tersebut. b. Review Review adalah tulisan jurnalisme yang berisi ulasan tentang unsur-unsur seni musik, penciptanya, penyajinya, garapannya, dan penampilannya. Biasanya review disajikan setelah sebuah pergelaran musik dilaksanakan. Berikut adalah contoh tulisan jurnalisme musik. REVIEW KONSER Metamorfosa Andien: Liar Penuh Cerita Mengejutkan oleh: Firli Athiah Nabila, http:showbiz.liputan6.com Andien Aisyah atau yang lebih akrab disapa Andien sukses menggelar konser tunggal perdananya di JCC Plenary Hall, Rabu 1582015 malam. Konser bertajuk “Metamorfosa” ini berhasil membius penonton dengan aksi liar Andien serta visual yang memanjakan mata. Konser yang digelar dalam rangka 15 tahun Andien berkarya bekerja sama dengan 5 musisi, 5 desainer, dan juga 5 penata musik di Tanah Air. Dengan panggung sederhana, sorotan lampu tajam, Andien membuka konser dengan muncul di tengah bersama lima penarinya dibalut busana serba biru karya Didi Budiarjo. SENI BUDAYA 61 Seluruh sisi panggung yang didominasi kayu terjamah oleh Andien. “Pulang” menjadi lagu ke-10 Andien di konser Metamorfosa. Penyanyi yang sudah menelurkan enam album ini kemudian mengajak penonton bernostalgia melihat video masa kecil Andien sampai menikah. Tidak berhenti di situ, Andien berturut-turut menyanyikan single “Teristimewa” dan “Gemintang”. Di dua lagu itu, ia bergaya seperti Cat Woman dengan jumpsuit hitam kulit nan seksi. Kemudian Andien berganti baju dress hitam dengan aksesoris unik. Ia memanggil guest star selanjutnya, Yovie Widianto untuk diajak duet lagu “Kasih Putih”. Suasana semakin seru saat Andien menyanyikan “Satu yang Tak Bisa Lepas” dari album terbarunya. Di lagu ini, Andien memakai baju yang dipenuhi cat. Ia lalu memanggil guest star selanjutnya, Jevin Llyod memadukan unsur beatbox dan EDM menyanyikan medley lagu “Ipanema”, “Valentine”, dan “Menjelma”. Wanita berusia 30 tahun ini mengajak penonton berjoget dengan single “Jadikan Aku Pacarmu”. Belum habis di lagu tersebut, Andien medley dua lagunya berjudul “Bisikan Hati” dan “Detik Tak Bertepi” dari album pertama Andien berjudul Bisikan Hati yang rilis pada tahun 2000. Tak lupa Andien memberikan tribute kepada mendiang Elfa Secoria menyanyikan “Selamat Jalan Kekasihku”. Lalu, konser mendadak “pecah” di lagu berikutnya, “Let It Be My Way” yang ia nyanyikan bersama guest star terakhir he Cash. Sepanjang lagu ini Andien dan he Cash membuat penonton terbahak-bahak dengan ulah mereka di atas panggung. Sejak awal, penonton terus di buat penasaran dengan aksi serta kostum panggung Andien. Penyanyi yang memulai kariernya di usia belia ini membawakan 24 lagu dengan berganti baju lebih dari 10 busana dari karya lima desainer, yakni Mel Ahyar, Todjo, Tri Handoko, Didi Budiarjo, dan Danjyo Hiyoji. Secara keseluruhan Andien sukses bermetamorfosa di 15 tahun berkarya. Ia tidak hanya memperdengarkan suara emasnya, tetapi juga menyuguhkan aksi panggung serta visual yang sulit dilupakan. Andien pun tampak puas dengan konser Metamorfosa miliknya. “Terima kasih semuanya untuk malam ini. Metamorfosa ini memaknai 15 tahun saya berkarya yang merangkum titik saya dari bawah, perlahan naik, berada di puncak, kemudian ada di fase jatuh sampai akhirnya sahabat-sahabat saya di lima desainer, komposer, dan lainnya mau membantu saya tanpa melihat satu mata untuk kembali bangkit sampai saya bisa menggelar konser ini. Terima kasih,” tutupnya usai konser. Firli Athiah Nabila, http:showbiz.liputan6.com

4. Tulisan tentang Kritik Musik