Jelaskan sistem pengambilan hukum terhadap masalah waqiiyah di kalangan nu

Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dalam Bahtsul Masail di Lingkungan Nahdlatul Ulama

A. KETENTUAN UMUM

  1. Yang dimaksud dengan kitab adalah al-kutub al-mu’tabarah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunah wal Jamaah [rumusan Muktamar NU ke XXVII].
  2. Yang dimaksud dengan bermazhab secara qauli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup mazhab tertentu.
  3. Yang dimaksud dengan bermazhab secara manhaji adalah bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab.
  4. Yang dimaksud dengan istinbath adalah mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah.
  5. Yang dimaksud dengan qaul adalah pendapat imam mazhab.
  6. Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama mazhab.
  7. Yang dimaksud dengan taqrir jama’i adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa qaul/wajah.
  8. Yang dimaksud dengan ilhaq [ilhaq al-masail bi nazha’iriha] adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab [menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”].
  9. Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan untuk membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa “judul” masalah maupun telah disertai pokok-pokok pikiran atau pula hasil pembahasan awal dengan maksud dimintakan tanggapan.
  10. Yang dimaksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil suatu Bahtsul Masail oleh PB Syuriah NU, Munas Alim Ulama NU atau Muktamar NU.
SISTEM PENGAMBILAN KEPUTUSAN HUKUM

I. PROSEDUR PENJAWABAN MASALAH

Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:

  1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat tersebut.
  2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu qaul/wajah.
  3. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para ahlinya.
  4. Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbath, jama’i dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.

  II. HIRARKI DAN SIFAT KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL

  1. Seluruh keputusan Bahtsul Masail di lingkungan NU yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.
  2. Suatu hasil keputusan bahtsul masail dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.
  3. Sifat keputusan dalam bahtsul masail tingkat Munas dan Muktamar adalah:

a. Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan/atau, b. Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.  

III. KERANGKA ANALISIS MASALAH

Terutama dalam memecahkan masalah sosial, Bahtsul Masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah [yang sekaligus tercermin dalam hasil keputusan] antara lain sebagai berikut:

1. Analisa Masalah [sebab mengapa terjadi kasus ditinjau dari berbagai faktor]:

  • a. Faktor Ekonomi,
  • b. Faktor Budaya,
  • c. Faktor Politik,
  • d. Faktor Sosial dan lainnya.

2. Analisa Dampak [dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang hendak dicari hukumnya ditinjau dari berbagai aspek], antara lain:

  • a. Secara Sosial Ekonomi,
  • b. Secara Sosial Budaya,
  • c. Secara Sosial Politik,
  • d. Dan lain-lain.

3. Analisa Hukum [fatwa tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang]. Di samping putusan fiqh/yuridis formal, keputusan ini juga memperhatikan pertimbangan Islam dan hukum positif.

  • a. Status hukum [al-ahkam al-khamsah/sah - batal],
  • b. Dasar dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah,
  • c. Hukum Positif.

4. Analisa Tindakan, Peran dan Pengawasan [apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa di atas]. Kemudian siapa saja yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan di mana hal itu hendak dilakukan, serta bagaimana mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan rencana.

  • a. Jalur politik [berusaha pada jalur kewenangan negara dengan sasaran mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah].
  • b. Jalur budaya [berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat melalui berbagai media massa dan forum seperti pengajian dan lain-lain].
  • c. Jalur ekonomi [meningkatkan kesejahteraan masyarakat].
  • d. Jalur sosial lainnya [upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan dan seterusnya].  
B. PETUNJUK PELAKSANAN I. PROSEDUR PEMILIHAN QAUL/WAJAH

1. Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat.

  1. 1. Pemilihan salah satu pendapat dilakukan:
  • a. Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau yang lebih kuat.
  • b. Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar NU ke I, bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih: 1. Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani [al-Nawawi dan al-Rafi’i].

2. Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi saja.

3. Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi’i saja.

4. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama.

5. Pendapat ulama yang terpandai.

6. Pendapat ulama yang paling wara’.  

II. PROSEDUR ILHAQ

Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaq al-masail bi nazha’iriha secara jama’i. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaih dan wajhul ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.  

III. PROSEDUR ISTINBATH

Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhaq bih dan wajhul ilhaq sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinbath secara jama’i, yaitu dengan mempraktekkan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah oleh para ahlinya.

Sumber : Ahkamul Fuqaha no. 395 KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA NAHDLATUL ULAMA Di Bandar Lampung Pada Tanggal 16 - 20 Rajab 1412 H. / 21 - 25 Januari 1992 M.

  • News item has been deleted

IslamicMarkets uses cookies.
About our cookie policy.

Pengambilan keputusan hukum Islam melalui Metode istimbath hukum lembaga bahstul masail [LBM] yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai wujud sumbangsih dalam hukum islam di era disrupsi seperti sekarang ini. Dalam LBM Nahdlatul Ulama [NU] ini tidak hanya membahas masalah fikih saja, koridornya mencakup segala aktivitas tauhid dan juga tasawuf. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui metode istimbath hukum apa saja yang digunakan dalam lembaga bahstul masail NU dan pengaruhnya terhadap Hukum Islam yang ada di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa 1. Kerangka Konseptual dalam Pemikiran Hukum Islam menurut NU meliputi a] Aswaja, b] Bermażhab, c] Kutub al-Mu’tabarah, dan d] Maslahah. 2. Metodologi penggalian hukum islam oleh Lembaga Bahstul Masail Nahdlatul Ulama menggunakan beberapa kerangka pemikiran yaitu : a] Dalam kasus yang ditemukan jawabannya dalam ibarat kitab [keterangan -keterangan] dan hanya satu qaul [pendapat], maka qaul itu yang diambil. b] Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya. c] Bila jawaban tidak diketemukan dalam ibarat kitab [keterangan -keterangan] kitab sama sekali, maka dipakailah ilhaq al masail bin nadhariyah secara jamai oleh para pakar/ahlinya. d] Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan analogi [ilhaq], maka dilakukan istimbat jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji oleh para ahlinya. 3] Pengaruh Keputusan Bahtsul Masa’il terhadap Hukum Islam di Indonesia, Dampak keputusannya tergantung dari bagaimana kita memandang dari berbagai sudut pandang, artinya hal ini tidak terlalu berpengaruh dalam hal undang-undang atau peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan hasil dari pada keputusankeputusannya hanya bersifat rekomendasi saja, namun sangat berpengaruh dalam hal kultural apabila diikuti oleh seluruh warga nahdliyyin yang dikenal militan terhadap ulamanya, karena keputusan Bahtsul Masa’il ialah hasil dari kesimpulan yang disampaikan para musahhih yang terdiri dari para kiyai. Adapun kaitannya dengan fungsi dari pada bahtsul masail NU diantaranya sebagai sarana kajian ilmiah, fungsi silaturahim, fungsi konsolidasi dan fungsi kaderisasiFatwa, Fiqh, Fuqaha, Ijtihad, Islam, Salah, Sunnah, Masih

Create FREE account or Login to add your comment

  1. METODE ISTIMBATH HUKUM BAHSTUL MASAIL NAHDLATUL ULAMA MAKALAH Diajukan Guna memenuhi Tugas Individu pada Mata Kuliah Usul Fiqh Perbandingan II Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. I. Nurol Aen M.A Dr. H. Mustofa, M.Ag Oleh : Hisam Ahyani NIM. 3200130010 PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI S-3 HUKUM ISLAM KONSENSTRASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2021 1
  2. METODE ISTIMBATH HUKUM BAHSTUL MASAIL NAHDLATUL ULAMA Oleh : Hisam Ahyani ABSTRAK Pengambilan keputusan hukum Islam melalui Metode istimbath hukum lembaga bahstul masail [LBM] yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai wujud sumbangsih dalam hukum islam di era disrupsi seperti sekarang ini. Dalam LBM Nahdlatul Ulama [NU] ini tidak hanya membahas masalah fikih saja, koridornya mencakup segala aktivitas tauhid dan juga tasawuf. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui metode istimbath hukum apa saja yang digunakan dalam lembaga bahstul masail NU dan pengaruhnya terhadap Hukum Islam yang ada di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa 1. Kerangka Konseptual dalam Pemikiran Hukum Islam menurut NU meliputi a] Aswaja, b] Bermażhab, c] Kutub al-Mu’tabarah, dan d] Maslahah. 2. Metodologi penggalian hukum islam oleh Lembaga Bahstul Masail Nahdlatul Ulama menggunakan beberapa kerangka pemikiran yaitu : a] Dalam kasus yang ditemukan jawabannya dalam ibarat kitab [keterangan -keterangan] dan hanya satu qaul [pendapat], maka qaul itu yang diambil. b] Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya. c] Bila jawaban tidak diketemukan dalam ibarat kitab [keterangan -keterangan] kitab sama sekali, maka dipakailah ilhaq al masail bin nadhariyah secara jamai oleh para pakar/ahlinya. d] Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan analogi [ilhaq], maka dilakukan istimbat jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji oleh para ahlinya. 3] Pengaruh Keputusan Bahtsul Masa’il terhadap Hukum Islam di Indonesia, Dampak keputusannya tergantung dari bagaimana kita memandang dari berbagai sudut pandang, artinya hal ini tidak terlalu berpengaruh dalam hal undang-undang atau peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan hasil dari pada keputusankeputusannya hanya bersifat rekomendasi saja, namun sangat berpengaruh dalam hal kultural apabila diikuti oleh seluruh warga nahdliyyin yang dikenal militan terhadap ulamanya, karena keputusan Bahtsul Masa’il ialah hasil dari kesimpulan yang disampaikan para musahhih yang terdiri dari para kiyai. Adapun kaitannya dengan fungsi dari pada bahtsul masail NU diantaranya sebagai sarana kajian ilmiah, fungsi silaturahim, fungsi konsolidasi dan fungsi kaderisasi. Kata Kunci : Metode Istimbath Hukum Islam, Bahstul Masail Nahdlatul Ulama PENDAHULUAN Nahdlatul Ulama [NU] yang merupakan organisasi kemasyarakatan [Ormas] Islam yang memiliki human resources yang melimpah dalam melakukan penggalian hukum Islam dan salah satu Ormas terbesar di Indonesia, yang memiliki Eksistensi dalam pengembangan pada pondok-pondok pesantren NU di setiap tahunnya mampu melahirkan para mutafannin [professional] dalam multidisiplin ilmu yang diperlukan dalam pemenuhan serta penggalian suatu istinbath al ahkam. Bahtsul Masail [BM] adalah media ulama yang dilakukan oleh 2
  3. kalangan nahdiyyin dalam istinbath hukum secara berjama ’ah [istinbath jama’i]. Hasil-hasil keputusan yang telah disepakati dari hasil Bahtsul Masail dapat dianggap sebagai al-Qawl al Rajih [pendapat yang kuat] yang menjadi pendapat jumhur ulama NU, walaupun tetap NU sebagai lembaga harus menghormati apabila ada kyai NU yang melakukan istinbath fardi [penggalian hukum secara individu] yang berbeda dengan hasil keputusan yang telah disepakati dalam Bahtsul Masail. Pendapat Afifuddin Muhajir dalam penggunaan Metodologi istinbath hukum yang selama ini digunakan oleh kalangan ulama NU dapat dikerucutkan menjadi dua metode: pertama taqlid qawliy [taqlid tekstualis] yaitu mengambil pendapat ulama dalam kitab-kitab fiqih mu’tabarah. Yang kedua taqlid manhaji [taqlid metodologis], yaitu menetapkan hukum yang tidak ditemukan dalam kitab mu’tabarah dengan metodologi yang biasa digunakan ulama yang mu’tabar. Taqlid qawliy dibagi menjadi tiga: taqrir, tahqiq dan ilhaq al mas’alah bi al nadziriha. Taqrir adalah menetapkan hukum suatu masalah di tengah-tengah masyarakat dengan pendapat ulama yang terdapat di dalam kitab fiqih mu’tabar, dalam keadaan pendapat ulama dalam masalah ini tidak terjadi khilaf [dissensi]. Tahqiq adalah menetapkan hukum suatu masalah di tengah-tengah masyarakat dengan pendapat ulama yang terdapat dalam kitab fikih mu’tabar, dalam keadaan pendapat ulama dalam masalah ini terjadi khillaf, kemudian digunakan metode tanqih atau tarjih [mencari yang terkuat pijakan hukumnya] dari kedua pendapat ini. Sedangkan ilhaq al mas’alah bi al nadziriha adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ditemukan jawabannya didalam kitab-kitab fikih mu’tabar dengan cara mencari padanan masalah ini dengan masalah yang ada di dalam kitab-kitab fikih dengan mencari persamaan illat hukumnya. Ketiga macam taqlid ini masih mengacu kepada kitabkitab mu’tabarah di kalangan NU. Adapun yang di maksud taqlid manhaji adalah cara ulama NU beristinbath dalam menetapkan hukum di tengah masyarakat tentang suatu masalah yang belum ditemukan status hukumnya di dalam kitab-kitab mu’tabarah dengan langsung meneliti nash al-Qur’an dan hadits tetapi tetap dengan metodologi yang diakui dan digunakan oleh para ulama mu’tabar yang telah dituangkan dalam kitab-kitab ushul fikih. Istinbath dengan metode taqlid manhaji ini dapat dilaksanakan dengan tiga metode. Dua metode telah disepakati dikalangan NU, sedangkan satu metode belum disepakati. Dua metode yang telah disepakati itu adalah istinbath bayani [dari nash langsung] dan istinbath qiyasi [dengan memperhatikan illat]. Sedangkan satu cara yang terjadi dissensi dikalangan ulama NU adalah metode istinbath maqoshidi. Dalam pra Musyawarah Nasional [Munas] alim-ulama NU yang dilaksanakan di Pesantren Pagentongan, Bogor, pada 1-2 Maret beberapa waktu lalu, selain terjadi perdebatan tentang definisi apa itu istinbath maqosidi, para mubahitsin juga berdebat tentang perlu dan tidaknya metode ini dikembangkan dikalangan NU. Sebagian para mubahitsin masih memiliki kekhawatiran bahwa metode ini kemudian menjadi celah liberalisme ditubuh NU. Istinbath maqoshidi adalah istinbath yang mengacu kepada mashlahah sebagai tujuan dari disyariatkannya sebuah hukum [maqoshid al syari’ah], terkadang terkesan metode ini mengesampingkan nash ketika berhadapan dengan kemaslahatan. Para ulama NU yang hadir dalam BM maudhu’i di Pegentongan itu sebagian setuju menggunakan metode ini mengingat banyak masalah hukum yang muncul dalam konteks kekinian yang sulit untuk diselesaikan dengan metode konvensional, metode ini pula dianggap sebagai metode titik-temu dari dua kubu pemikiran yang sama-sama ekstrim yaitu kaum tekstualis dan liberalis. Sebagian lagi belum bisa menerima karena metode ini rawan digunakan oleh kaum liberal yang berkiblat kepada Al Thufi [w. 716 h.] yang demi kemaslahatan kemudian berani mengesampingkan nash. Salah satu jargon Al-Thufi adalah: Tanqih al nushus bi al mashlahah [nash-nash alQur’an dan Hadits dapat direkontruksi relevansinya demi kemaslahatan]. 3
  4. KH . Afifuddin Muhajir1, pakar Ushul Fikih NU yang kepakarannya dalam ilmu ushul dapat disejajarkan dengan KH. Ma’ruf Amin dan KH. Sahal Mahfudz, dalam makalahnya saat BM di Pagentongan itu menyatakan bahwa istinbath maqosidi bisa diakomodir sebagai salah satu metode NU dalam menetapkan hukum, selain istinbath bayani dan qiyasi. Menurutnya, istinbath maqosidi mempunyai pijakan referensi yang jelas dari sunnah nabawiyyah. Beliau mengungkapkan salah satu contoh referensi dari riwayat Imam Bukhari dan Muslim tentang kejadian para sahabat yang akan kembali dari perang Ahzab, ketika itu Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa tidak ada sahabat yang solat Ashar kecuali di Bani Quraidzah, ketika solat Ashar tiba para sahabat belum sampai ke Bani Quraidzah, sebagian sahabat tetap memegang perintah Nabi agar salat di Bani Quraidzah, sebagian lagi melaksanakan salat diperjalanan karena ditakutkan waktu Ashar akan habis. Setelah masalah itu dilaporkan kepada Nabi, Nabi mengapresiasi keduanya. Pengambilan keputusan hukum Islam melalui Metode istimbath hukum lembaga bahstul masail [LBM] yang dilaksanakan oleh Ormas terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama yang menjadi kebutuhan dalam menjawab permasalahan-permasalahan dikalangan masyarakat muslim khususnya, dan umumnya bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Hal inilah yang menjadikan peneliti untuk melakukan penelitian, dan hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangsih dalam hukum islam khusunya di Indonesia di era disrupsi seperti sekarang ini. Dalam LBM Nahdlatul Ulama [NU] ini tidak hanya membahas masalah fikih saja, koridornya mencakup segala aktivitas tauhid dan juga tasawuf. Dari latarbelakang diatas maka peneliti akan mengkaji serta menggali terkait permasalahan apa saja metode istimbath hukum yang digunakan oleh lembaga bahstul masail NU dan pengaruhnya terhadap Hukum Islam yang ada di Indonesia. Sehingga tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui metode istimbath hukum apa saja yang digunakan dalam lembaga bahstul masail NU dan pengaruhnya terhadap Hukum Islam yang ada di Indonesia dalam menjawab permasalahan-permasalah yang ada di masyarakat terkait hokum islam [hokum ekonomi syariah, ekonomi syariah, hokum keluarga] dan lain sebagainya. Dari latar belakagn diatas maka Peneliti akan menggali serta menguak terkait 1] Bagaimana kerangka konseptual Pemikiran Hukum Islam menurut NU, dan 2] Bagaimana Metodologi penggalian hukum islam oleh Lembaga Bahstul Masail Nahdlatul Ulama ?, serta 3] Bagaimana Pengaruh dari Keputusan Bahtsul Masa’il terhadap Hukum Islam di Indonesia ?. PEMBAHASAN Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Bahtsul Masail Nahdlatul ulama sebagai jam‟iyah sekaligus gerakan diniyah Islamiyah dan ijtima’iyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan paham ahlu Sunnah wal jamaah sebagai dasar berakidah dan menganut slah satu dari empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi‟I dan Hambali sebagai pegangan dalam berfikih. Dengan mengikuti mazhab empat ini, menunjukkan elastisitan dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang di pandang sebagai kebutuhan [hajah] meskipun kenyataan keseharian para ulama menggunakan fikih masyarakan Indonesia yang bersumber dari mazhab syafi‟i. hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh para ulama dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab 1 KH. Imaduddin Utsman, “Bahtsul Masa’il Dengan Metode Istinbath Maqoshidi, Liberal?,” tangerangnews.com, diakses 8 Maret 2021, //tangerangnews.com/opini/read/30539/Bahtsul-Masail-denganMetode-Istinbath-Maqoshidi-Liberal. 4
  5. syafi ‟i. Hanya terkadang dalam keadaan tertentu [untuk tidak terlalu melawan budaya konvensional] beralih ke madzab lain.2 Sekilas Sejarah Lembaga Bahstul Masail Nahdlatul Ulama’ Nahdlatul Ulama [NU] didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’ari di Surabaya. Latarbelakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Dalam Anggaran Dasarnya yang pertama [1927], dinyatakan bahwa Nahdlatul Ulama bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat. Bahtsul Masail secara harfiah berarti pembahasan berbagai masalah yang berfungsi sebagai forum resmi untuk membicarakan almasa’il ad-diniyah [masalah-masalah keagamaan] terutama berkaitan dengan al-masa’il al-fiqhiyah [masalah-masalah fiqh]. Dari perspektif ini al-masa’il al-fiqhiyah termasuk masalah-masalah yang khilafiah [kontroversial] karena jawabannya bisa berbeda pendapat. Nahdlatul Ulama dalam stuktur organisasinya memiliki suatu Lembaga Bahtsul Masail [LBM]. Sesuai dengan namanya, Bahtsul Masail, yang berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama, LBM berfungsi sebagai forum pengkajian hukum yang membahas berbagai masalah keagamaan. Menurut Dr. KH. Muhammad Sahal Mahfudh3 Tugas dari LBM adalah menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum . Oleh karena itu lembaga ini merupakan bagian terpenting dalam organisasi NU, sebagai forum diskusi alim ulama [Syuriah] dalam menetapkan hukum suatu masalah yang keputusannya merupakan fatwa dan berfungsi sebagai bimbingan warga NU dalam mengamalkan agama sesuai dengan paham ahlusunnah wal jamaah sebagai dasarnya. Hal ini sampai sekarangpun masih tetap dijadikan faham yang dianut oleh NU, sebagaimana disebutkan dalam bab II, pasal 3 angaran dasar NU hasil Muktamar XXXI, di Boyolali pada tanggal 02 November- 02 Desember 2004 yang selengkapnya berbunyi: Nahdlatul Ulama Sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah Beraqidah/Berasas Islam Menganut Faham Ahlusunnah Wal Jamaah Dan Menurut Salah Satu Madzhab Empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Dan Hambali. Lihat Zahro, Tradisi Intelektual NU. Sejarah Terbentuknya LBMNU dari tradisi intelektual dalam mencari solusi dan legalitas hukum di kalangan kiai dan pesantren tersebut, lalu NU melanjutkan tradisi itu dan mengadopsinya sebagai bagian kegiatan keorganisasian. Bahtsul Masail sebagai bagian aktivitas formal organisasi pertama dilakukan tahun 1926, beberapa bulan setelah NU berdiri. epatnya pada Kongres I NU [kini bernama Muktamar], tanggal 21-23 September 1926. Selama beberapa dekade, forum Bahtsul Masa`il ditempatkan sebagai salah satu komisi yang membahas materi muktamar. Belum diwadahi dalam organ tersendiri. Pada tingkat nasional, bahtsul masail diselenggarakan bersamaan momentum Kongres atau Muktamar, Konferensi Besar [Konbes], Rapat Dewan Partai [ketika NU menjadi partai] atau Musyawarah Nasional [Munas] Alim Ulama. Awalnya Bahtsul Masail skala nasional diselenggarakan setiap tahun. Hal itu terjadi sejak Muktamar I [1926] sampai Muktamar XV [1940]. Namun situasi politik yang kurang stabil akibat meletusnya Perang Dunia II, membuat kegiatan Bahtsul Masail yang menyertai Kongres, setelah periode 1940, menjadi tersendat-sendat. Tidak lagi tiap tahun. Sejak tahun 1926 sampai 2007 telah diselenggarakan Bahtsul Masa`il tingkat nasional sebanyak 42 kali. Ada beberapa Muktamar yang dokumennya belum ditemukan, yaitu Muktamar XVII [1947], XVIII [1950], XIX [1952], XXI [1956], XXII dan XXIV. Dari dokumen yang terlacak, baru ditemukan 36 kali Bahtsul Masail skala nasionalyang menghasilkan 536 keputusan. Setelah lebih setengah abad NU berdiri, Bahtsul Masail baru dibuatkan organ tersendiri bernama Lajnah Bahtsul Masail Diniyah. Hal itu dimulai dengan 2 Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Nhdlatul Ulama [1926-2004 M]. Kata Pengantar Rais „Am PB NU Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU oleh Sahal Mahfudz, terj. Djamaluddin Miri [Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004]. 3 Muhammad Sahal Mahfudh, Keputusan mukhtamar, Munas, dan Konbes NU Tahun 1926-1999 M, t.t. 5
  6. adanya rekomendasi Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta tahun 1989 . Komisi I Muktamar 1989 itu merekomendasikan PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, sebagai lembaga permanen. Untuk memperkuat wacana pemben-tukan lembaga permanen itu, pada Januari 1990, berlangsunghalaqah [sarasehan] di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, yang juga merekomen-dasikan pembentukan Lajnah Bahtsul Masa`il Diniyah. Harapannya, dapat mengonso-lidasi ulama dan cendekiawan NU untuk melakukan ijtihad jama’i. Empat bulanan kemudian, pada tahun 1990 pula, PBNU akhirnya membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, dengan SK PBNU nomor 30/A.I.05/5/1990. Sebutan lajnah ini berlangsung lebih satu dekade. Namun demikian, status lajnah dinilai masih mengandung makna kepanitian ad hoc, bukan organ yang permanen.4 Metode Ijtihad Hukum Majelis Lembaga Bahstul Masail Nahdlatul Ulama’ Adapun Metode Ijtihad Hukum Majelis Lembaga Bahstul Masail Nahdlatul Ulama’ menurut Zahro5 diantaranya Metode Qouly yaitu suatu cara istimbath hukum yang dipergunakan oleh ulama/intelektual NU dalam Lembaga Bahtsul Masail dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari madzhab empat, dengan mengacu dan merujuk secara langsung bunyi teks. Atau dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup madhab tertentu. Kemudian Metode Ilhaqi [analogi] dimana menurut pendapat Masyhuri6 yaitu menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab [belum ada ketetapan hukumnya] dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab [telah ada ketetapan hukumnya] atau menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”. Metode Manhajiy [bermazhab] adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh oleh Lembaga Bahtsul Masail dengan mengikuti jalan fikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab. Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam dalam Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Mengacu pada Hasil Keputusan Bahtsul Masail syuriyah PWNU JATIM di PP. Zainul Hasan Genggong Probolinggo tanggal 26-28 Rabi’ul Akhir 1413/23-24 Oktober 1992 dijelaskan bahwa : 1. Yang dimaksud dengan kitab adalah kutub al-madzahib alarba'ah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah. 2. Adapun yang dimaksud dengan bermadzhab secara qawli adalah mengikuti pendapatpendapat yang sudah jadi dalam lingkup salah satu al-madzahib al-arba'ah. 3. Kemudian yang dimaksud dengan bermadzhab secara manhaji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab empat. 4. Dan yang dimaksud dengan istinbath jama'iy adalah mengeluarkan hukum syara' dari dalilnya dengan qawaid ushuliyyah secara kolektif. 5. Yang dimaksud dengan qawl dalam refensi madzhab Syafi'i adalah pendapat imam Syafi'i. 6. Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama' madzhab Syafi'i. 7. Yang diamaksud dengan taqrir jama'iy adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah dalam madzhab Syafi'i. 4 “Sejarah Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama / LBMNU,” diakses 8 Maret 2021, //www.galerikitabkuning.com/2021/02/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu-lbmnu.html. 5 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999 [Yogyakarta: LKis, 2004], 118. 6 A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan , jilid 2 [Jakarta: PPRMI dan Qultum Media, 2004], 89. 6
  7. 8 . Yang dimaksud dengan ilhaq[ilhaqul masail bi nazhairiha] adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab [menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah jadi]. Dalam disertasi karya Ahmad Zahro ditemukan bahwa kitab-kitab Mu'tabaroh yang berorientasi pada madzhab empat, dimana dalam menggunakan kitab-kitab Syafi'iyah dan kurang memperhatikan tiga madzhab lainnya. kemudian metode istinbath hukum yang digunakan oleh Lajnah Bahtsul Masail yaitu metode Qauly [merujuk pada teks suatu kitab rujukan] bila tidak ada maka menggunakan metode Ilhaqiy [Qiyash], dan yang terakhir adalah metode Manjhajy [Istinbathy hukum dengan menelusuri serta mengikuti metode 4 madzhab dan dilakukan tanya jawab dan diskusi.7 Ijtihad dalam Konteks NU Ijtihad dalam konteks NU mengalami pergumulan yang dinamis, antar kelompok yang aktif menyuarakan pentingnya berijtihad atau taqlid manhaji [mengikuti metodologi, bukan produk pemikiran] dengan mereka yang konsisten dengan pola konvensional, yaitu taqlid qauli [mengikuti produk pemikiran] yang masih mendominasi pemikiran NU. Martin Van Bruinessen, seperti dikutip Nawawi8 dalam disertasi Jamal Ma’mur9, mengkritik keputusan hukum yang dihasilkan forum Bahtsul Masail NU yang kurang inovatif dan menolak ijtihad. Keputusan hanya berhubungan masalah ibadah, sementara masalah sosial, ekonomi, dan moral diabaikan. Bahkan, transmisi pemikiran keagamaan NU tidak mengalami perubahan, baik dari sisi isi [content] maupun pendekatan [approach]. Menurut penelitian Ahmad Arifi10, mayoritas ulama NU masih tidak berani melakukan taqlid manhaji, apalagi ijtihad. Mayoritas mereka memilih taqlid qauli. Inilah yang disebut Arifi dengan nalar fikih formalistik tekstual yang ideologis. Ciri nalar fikih ini adalah mencari jawaban persoalan yang aktual dengan teks yang ada dalam kitab kuning yang diakui kebenarannya [al-kutub al-mu’tabarah]. Ulama NU mengutip apa adanya teks tersebut dan menghubungkan dengan persoalan yang dikaji. Argumentasi kelompok ini adalah pemikiran ulama masa lalu masih relevan dengan konteks dunia modern sekarang. Berpegang kepada mażhab adalah jalan terbaik dan selamat, karena kredibilitasnya tidak diragukan dan validitas pemikiran dan argumentasinya sudah teruji. Kelompok ini dibagi dua. Pertama, tekstualis-radikal [ortodoks], yaitu kelompok yang hanya mengacu kepada kitab-kitab rujukan secara kaku dan tidak menerima kitab-kitab modern yang tidak termasuk dalam al-kutub al-mu’tabarah. Kelompok ini bisa masuk dalam kategori kaum konservatif [muḥafiẓun] karena berpegang teguh kepada doktrin mażhab dan mempertahankan status quo. Mereka menolak wacana ‘hermeneutika’ dan pemikiran liberal sebagai metode penafsiran untuk bahtsul Masa’il dalam Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Donohudan Boyolali tahun 2004. Kedua, tekstualis moderat. Yaitu kelompok yang memegang teguh pola bermażhab, tapi dalam mengemukakan argumentasi diimbangi dengan konteks situasi dan kondisi masyarakat sekarang. Kelompok ini menerima pengembangan atau pembaruan bermażhab, tapi tetap memakai metode qauli Salah satu tokoh kelompok tekstualis-radikal adalah KH. Subadar, KH. Sadid Jauhari, KH. Kafabihi Mahrus dan KH. M. 7 Ahmad Zahro, “Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama 1926-1999 [Telaah Kritis Terhadap Keputusan Hukum Fiqih]” [Disertasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001], //digilib.uin-suka.ac.id/14428/. 8 Nawawi Nawawi, Dinamika Pemikiran Wakaf Di Nahdlatul Ulama [Semarang: PPS IAIN Walisongo, 2012], 1. 9 Jamal Ma’mur, “Dinamika Pemikiran Gender Dalam Nahdlatul Ulama [Studi Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-28 [1989] Sampai Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-32 [2010]]” [phd, IAIN Walisongo, 2014], 42, //eprints.walisongo.ac.id/2543/. 10 Ahmad Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqih Tradisi Pola Mazhab [Yogyakarta: ELSAQPRESS, cet. ke2, 2010], 268. 7
  8. Aniq Muhammadun . Sedangkan salah satu tokoh kelompok tekstualis moderat adalah KH. Aziz Masyhuri dan KH. Yasin Asmuni.11 Kedua, adalah nalar fikih sosial-kontekstual karena berusaha memahami dan memaknai fikih secara kontekstual dengan pendekatan etis [aspek moral] dan esoteris [hakikat] yang mengacu pada maqāṣid as-syarī’ah dalam mereformulasi substansi dan tujuan hukum [Arifi, 2010:294-296]. Salah satu tokoh kelompok ini adalah KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Masyhuri Naim, KH. Hasyim Abbas, KH. Arwani Faisal dan KH. Afifuddin Muhajir. Ketiga, nalar fikih kritis [transformatif-emansipatoris] karena mengembangkan pemikiran fikih secara lebih kontekstual dan aspiratif. Mereka melakukan demokratisasi pemikiran fikih mażhab. Masdar Farid Mas’udi menjadi tokoh kelompok ketiga ini. Kelompok ini berani menentang arus pemikiran NU dengan gagasan-gagasan yang provokatif. Madzhab Qauli dan Manhaji Mażhab qauli adalah mengikuti produk pemikiran para imam mażhab dan ulama pengikutnya untuk merespons persoalan-persoalan yang ada. Mażhab qauli ini dilakukan dengan cara mencocokkan qaul [pendapat] yang ada dalam kitab-kitab mażhab dengan masalah yang dikaji [waqi’ah]. Menurut [Ahkamul Fuqaha, 2011] Ketokohan menjadi aspek penting dalam mażhab qauli, yaitu mendahulukan pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi-Rafi’i, pendapat Imam Nawawi, pendapat Imam Rafi’i, pendapat yang didukung mayoritas ulama, pendapat ulama terpandai, dan pendapat ulama yang paling wira’i.12 Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh [2013], mażhab qauli adalah menggunakan pendapat seseorang untuk merespons suatu persoalan. Mażhab qauli ini mempunyai kelemahan, yaitu tidak memperhatikan ruang dan waktu keluarnya pendapat seorang tokoh. Misalnya, pendapat Imam Syafi’i belum tentu sama dengan kondisi era sekarang yang sudah mengalami perubahan demi perubahan dengan cepat. Di sinilah mendesak sebuah pengembangan mażhab qauli kemju mażhab manhaji untuk merespons perkembangan dunia yang berjalan dengan cepat. Bermażhab secara manhaji adalah mengikuti metodologi [manhaj] yang digunakan para imam mażhab dalam memutuskan hukum untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkembang. Hal ini dilaksanakan jika tidak qaul [pendapat Imam mażhab] dan wajah [pendapat ulama mażhab] yang bisa digunakan untuk menjawab persoalan yang muncul. Mażhab manhaji ini dilakukan dengan cara ilhāqul masāil bi nazairiha [menyamakan masalah yang belum ada pendapat para ulama dengan masalah yang sama yang sudah ada pendapat ulama]. Salah satu contoh aplikasi ilhāqul masāil bi nazairiha ini adalah bolehnya transaksi via elektronik, seperti media telpon, email, atau cybernet dalam akad jual beli jika kedua belah pihak sudah melihat barang yang diperjualbelikan [mabi’] atau sudah dijelaskan sifat dan jenisnya, serta memenuhi syarat dam rukun jual beli lainnya. 13 Kitab-kitab yang dijadikan referensi untuk menjawab masalah ini adalah kitab klasik yang belum menjelaskan transaksi via elektronik, maka digunakan kasus yang substansinya sama untuk menjawab, yaitu dalam kasus memesan barang hal ini sebagaimana pendapat [Muhammadun, 2013] sebagaimana dikutip oleh Jamal Ma’mur14. Jika cara ini belum mampu menjawab masalah, maka digunakan istinbāt jamā’i [kolektif] dengan cara menggunakan kaidah usūliyyah dan fiqhiyyah yang dilakukan oleh para ahlinya 11 Ma’mur, “Dinamika Pemikiran Gender Dalam Nahdlatul Ulama [Studi Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-28 [1989] Sampai Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-32 [2010]],” 44. 12 Ahkamul Fuqaha, Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama [1926-2010 M] [Surabaya : LTNNU& Khalista, 2011], 2–5. 13 Fuqaha, 714. 14 Ma’mur, “Dinamika Pemikiran Gender Dalam Nahdlatul Ulama [Studi Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-28 [1989] Sampai Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-32 [2010]],” 52. 8
  9. [Fuqaha, 2011:860-862]15. Menurut Ahmad Zahro, salah satu contoh aplikasi istinbāt jamā’i ini adalah keputusan tentang bunga bank dan asuransi yang dijelaskan dengan pendekatan ekonomi, merujuk pendapat para pakar dan menerapkan beberapa kaidah fiqhiyah. 16 Menurut Dr. KH. Sahal Mahfudh [2013] dalam riset yang dilakukan oleh Ma’mur, dalam bermażhab manhaji membutuhkan ketrampilan dan keahlian memadai untuk melakukannya, tidak semua orang mampu, karena harus menguasai usul fikih secara mendalam. Ia harus mengkaji masalah secara komprehensif, melihat rujukan, kemudian mencari jalan keluar yang membawa kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan. Ini dapat dilakukan secara individu [fardi] maupun kolektif [jama’i]. Jika para ulama tidak mampu bermażhab manhaji, maka mereka akan mengalami kesulitan karena perubahan terus terjadi tanpa henti, sehingga dibutuhkan para ulama yang memahami perubahan tersebut dan memutuskan hukum secara obyektif dan bertanggungjawab.17 Lahirnya mażhab manhaji ini Martin van Bruinessen, dalam bukunya NU, Tradisi Relasi Kuasa18 mengatakan bahwa mażhab manhaji ini tidak lepas dari ketidakpuasan generasi muda NU terhadap bentuk dan substansi fatwa yang dilahirkan ulama senior. Mereka menilai bahwa problem yang dikaji tidak relevan dengan dinamika zaman, sementara problemproblem sosial yang penting diabaikan karena para ulama menghindar untuk bersentuhan dengan isu-isu yang sensitif. Generasi muda tersebut menginginkan pemikiran Islam yang lebih relevan secara sosial dan politik, sehingga mereka mengkritik fatwa tradisional yang menggunakan kitab otoritatif tanpa melakukan kontekstualisasi dan tanpa menjelaskan kenapa kutipan-kutipan tersebut relevan dengan kasus yang ada. Kerangka Konseptual Pemikiran Hukum Islam NU 1. Aswaja Menurut Sahal Mahfudh19 Eksistensi NU tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal jama‟ah [aswaja], karena NU adalah organisasi sosial keagamaan yang berjuang untuk menegakkan ajaran aswaja. Secara praktis, aswaja adalah aliran yang mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy‟ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam aspek akidah, mengikuti salah satu mażhab empat [Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali] dalam aspek syari‟ah, dan mengikuti Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam alGhazali dalam aspek tasawuf. Aswaja adalah aliran yang selalu berada di tengah dari dua kutub besar akidah jabariyah [fatalistik] dan qadariyah [free will] dan dari dua kutub besar pemahaman yang rasional dan tekstual. Secara historis, aswaja belum dikenal pada masa Abu Hasan al-Asy‟ari dan Abu Manshur al-Maturidi, bahkan para pengikut al-Asy‟ari, seperti alBaqillani, alBaghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali, dan asy-Syahrastani belum menyebut istilah Aswaja. Baru pasa masa az-Zabidi, Aswaja secara eksplisit disebutkan sebagai golongan yang mengikuti alAsy‟ari dan al-Maturidi.20 Aswaja adalah paham yang diikuti oleh para kiai dan diyakini kebenarannya. Para kiai tersebut menjadi pembela yang gigih terhadap Aswaja. Ketika orang-orang modernis menganjurkan adanya pembaharuan doktrin Islam agar umat Islam tidak terbelenggu oleh ajaran mażhab empat, yang sudah diperkenalkan di Jawa mulai awal abad kedua puluh, para kiai yang gigih mempertahankan Aswaja menentang pembaharuan tersebut dengan 15 Fuqaha, Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama [1926-2010 M], 860–62. 16 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual, Pengantar: Prof. Dr. KH. Said Agil Husein al-Munawwar [Yogyakarta: LKiS, 2004], 169. 17 Ma’mur, “Dinamika Pemikiran Gender Dalam Nahdlatul Ulama [Studi Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-28 [1989] Sampai Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-32 [2010]],” 53. 18 Martin van Bruinessen, NU, Tradisi Relasi Kuasa [Yogyakarta: LKiS, 1994], 220. 19 Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna [Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999], 52–53. 20 Zahro, Tradisi Intelektual, Pengantar: Prof. Dr. KH. Said Agil Husein al-Munawwar, 47–48. 9
  10. membentuk organisasi sosial keagamaan yang bernama Jam ‟iyah Nahdlatul Ulama. Ketegasan para kiai ini dibuktikan dengan kitabkitab yang dikaji di pesantren yang mengikuti mażhab Imam Syafi‟i dan pengikutnya, dan kitab-kitab tasawuf [Dhofier, 1994:149].21 Aswaja juga dapat dipahami yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Namun, dalam konteks Jawa, Aswaja mempunyai makna lebih sempit yang membedakannya tidak hanya kepada syi‟ah, tapi juga kepada kelompok Islam modern. Makna yang sempit tersebut adalah faham yang mengikuti Imam Abu Hasan al- Asy‟ari dan Abu Manshur al-Maturidi dalam bidang tauhid, salah satu Imam Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali dalam bidang hukum Islam, dan Imam Abu Qasim al-Junaidi dan Imam Ghazali dalam bidang tasawuf.22 Inilah yang disebut Aswaja Nahdliyah yang menjadi pedoman berpikir, berperilaku, dan mengambil keputusan secara individu dan organisasi.23 Memahami Ahlus Sunnah wal jamâ’ah [Aswaja] menurut di masa kini tidak saja perlu, tetapi juga penting untuk menerapkan dan mempertahankan Akidah ke depan. Apalagi di era sekarang ini, tantangan dari berbagai aliran sesat semakin marak dimana mana, maka pendidikan keimanan dan akidah harus digalakkan, agar pemahaman tentang aswaja benar-benar membumi di tengah umat. Terlebih saat ini semakin banyak faham agama yang bermunculan sehingga umat semakin bingung Aliran mana yang sesat dan faham mana yang akan selamat, apalagi mereka juga kurang memahami Ahlussunnah wal Jama’ah, sekalipun mereka mengaku sebagai warga NU, yang menganut paham Aswaja.24 2. Bermażhab Secara ringkas dapat disebutkan menurut Azizy25 bahwa bermażhab adalah mengikuti suatu mażhab dalam sistem pengambilan hukum Islam/fikih. Di Indonesia, mażhab Syafi‟i adalah mażhab yang diikuti mayoritas. Kitab-kitab mażhab Syafi‟i dipelajari baik di sekolah atau melalui pengajian sorogan dan bandungan Bermażhab menjadi bentuk pertanggung jawaban ilmiah, wujud penghormatan dan pengakuan ulama NU terahadap ulama imam mażhab dan para ulama yang mengikuti imam mażhab yang sudah dikenal oleh umat Islam dunia. Fikih adalah produk pemikiran hukum yang dilahirkan para imam mażhab dan pengikutnya dari proses istinbaṭ dari sumber utamanya [al-Qur‟an dan hadis]. Para imam mażhab menurut pendapat Ahmad Arifi26 mempunyai kemampuan untuk memahami petunjuk yang ada dalam sumber hukum tersebut]. Suburnya pola mażhab di dunia Islam sangat dipengaruhi oleh penyebaran pemikiran imam mażhab yang dilakukan oleh para ulama generasi pasca imam mażhab dan murid-muridnya. Sejak taklid dijadikan pilihan realistis oleh mayoritas umat Islam [abad 6-13 H.], fikih pola mażhab menjadi tumpuan utama untuk mengatasi problem hukum yang terus terjadi sepanjang masa. Ada tiga alasan mengapa umat Islam, khususnya NU memilih pola bermazhab menurut Ahmad Arifi adalah sebagai berikut : 1] Pemikiran mażhab fikih telah terkodifikasi dengan sistematis sehingga mudah dipelajari. 2] Kredibilitas imam mażhab dan keunggulan pemikirannya telah teruji sejarah dengan bukti mayoritas umat Islam mengikuti pemikirannya. 3] Mengikuti imam mażhab adalah langkah praktis dan pragmatis, karena 21 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai [Jakarta: LP3ES, 1994], 149. 22 Dhofier, 149. 23 Abdul Karim, Aswaja Nahdliyah, Konsepsi, Amaliyah, dan Pengembangan [Pati: PCNU Pati, 2012], 1–2. 24 Badruzzaman M. Yunus, Konsep ASWAJA [Asal-Usul dan Ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah] [Bandung : Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2019], iv. 25 A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar menuju Ijtihad sesuai Saintifik-Modern [Jakarta: Teraju, 2003], 20. 26 Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqih Tradisi Pola Mazhab, 167. 10
  11. tidak membutuhkan kemampuan dan kesungguhan dari awal untuk menjawab persoalan yang dihadapi , apalagi ketika persoalan tersebut mendesak untuk diperoleh jawabannya.27 3. Al-Kutub al-Mu’tabarah Kitab kuning adalah sumber pengetahuan NU dalam memutuskan hukum dalam kasus apapun. Kitab kuning ini dalam perjalanannya dikenal dengan istilah al-kutub almu‟tabarah. Pembahasan tentang kriteria al-kutub al-mutabarah dalam komunitas NU berjalan secara dinamis dan progresif. Hal ini terlihat dari beberapa forum yang dibutuhkan untuk memperdalam kajian ini. 1] Forum yang pertama kali mengkaji pengertian kitab mu’tabarah terjadi dalam Munas Alim Ulama di Situbondo pada tanggal 21 Desember 1983. Dalam forum tersebut diputuskan bahwa kitab-kitab mu’tabarah adalah kita-kitab yang mengikuti madzhab empat. Dasar yang digunakan adalah kitab Bughyah alMustarsyidīn, I‟ānah at-Ṭālibīn, dan al-Fawā‟id al-Makkiyyah.28 Proses penetapan kriteria kitab-kitab mu‟tabarah ini berlangsung dengan dinamis, karena ada perdebatan sengit. Dalam Munas Alim Ulama di Situbondo 1983, Dr. KH. Sahal Mahfudh menentang pendapat yang membatasi kitab mu’tabarah pada kitab-kitab mażhab. Kiai Sahal mengusulkan penggunaan kaidah “Ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh”[Khuz ma shafa wa da’ ma kadar]. Tujuan Kiai Sahal adalah menghindari fanatisme bermażhab dan mengedepankan obyektivitas, karena tidak semua kitab yang ditolak itu bertentangan dengan sunni. Misalnya, karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang mengkritik tawassul, praktek tarekat, dan kewalian ditolak. Namun jika sesuai dengan praktek NU digunakan. Dalam kitab karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah banyak yang sama dengan sunni pada selain hal-hal di atas. Di sinilah pentingnya seleksi secara jernih, tidak langsung melarang. Namun, karena mayoritas peserta mengambil sikap preventif sesuai kaidah saddan li adzaari’ah [menutup pintu pada hal yang merusak], maka forum mengambil keputusan bahwa kitab mu’tabarah dibatasi pada kitab madzhab.29 Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh [2013], mayoritas ulama NU mengkhawatirkan adanya kitab-kitab yang tidak berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah [Aswaja] dan ada sebagian ulama NU yang mempunyai kitab selain Aswaja. Keputusan yang diambil di Munas Situbondo ini dalam rangka merespons fenomena kitab-kitab non Aswaja tersebut. 4. Maslahah Keputusan NU untuk mengembangkan sistem bermażhab dari qauli ke manhaji membutuhkan perangkat hukum yang dinamis. Mażhab manhaji membutuhkan sumbersumber hukum yang lebih dinamis, akomodatif, dan kreatif mengantisipasi perkembangan zaman. Jika empat sumber utama dalam hukum Islam, yaitu al-Qur‟an, hadis, ijmā’, dan qiyās masih berkutat kuat terhadap teks, maka dibutuhkan sumber baru yang jauh lebih luas jangkauannya ke depan. salah satunya adalah maslahah. Maslahah dikaji secara mendalam dalam disiplin ilmu uṣul fikih. Ar-Raysuni, seperti dikutip Bazro Jamhar menjelaskan, ar-Risālah adalah kitab pertama yang lahir dalam bidang uṣul fikih karya Imam Syafi‟i, namun kajian maslahah tidak dijelaskan secara eksplisit, karena masuk dalam kajian qiyās, yaitu pada ‘illat [causa hukum]. Kemudian lahir karya-karya besar pada abad III dan IV yang mengkaji maslahah, seperti al-Furūq karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali, buku uṣul fikih karya al-Māturidi [333 H.], al-Qaffāl [365 H.], dan alBāqillani [403 H.] dalam kitab at-Taqrīb wa al-Irsyād [Jamhar, 2012:36].30 27 Arifi, 167. Fuqaha, Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama [1926-2010 M], 386–87. 29 Fuqaha, xii. 30 Bazro Jamhar, “Konsep Maslahat Dan Aplikasinya Dalam Penetapan Hukum Islam [Studi Pemikiran Ushûl Fiqh Sa’id Ramadhân al-Bûthi]” [masters, IAIN Walisongo, 2012], //eprints.walisongo.ac.id/115/. 28 11
  12. Pengaruh Keputusan Bahtsul Masa ’il terhadap Hukum Islam di Indonesia Sebagaimana pendapat Hanifudin_el-hady dalam Kerangka metodelogi Lembaga Bahstul Masail Nahdlatul Ulama yang dilakukan dalam Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama dengan menggunakan beberapa kerangka pemikiran yaitu : 1] Dalam kasus yang ditemukan jawabannya dalam ibarat kitab [keterangan -keterangan] dan hanya satu qaul [pendapat], maka qaul itu yang diambil. 2] Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya. 3] Bila jawaban tidak diketemukan dalam ibarat kitab [keterangan -keterangan] kitab sama sekali, maka dipakailah ilhaq al masail bin nadhariyah secara jamai oleh para pakar/ahlinya. 4] Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan analogi [ilhaq], maka dilakukan istimbat jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji oleh para ahlinya.31 Lembaga Bahtsul Masail yang merupakan sebuah Lembaga yang berfungsi sebagai forum diskusi antara para ulama serta kaum intelektual guna membahas permasalahanpermasalahan yang muncul dari berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti masalah keagamaan, ekonomi, sosial, hukum, politik dan aspek lainnya, yang tentunya dengan jelas memberikan keterangan berupa status hukum dari berbagai permasalahan tersebut, dengan turut mempertimbangkan tentang keadaan saat ini agar keputusan yang dikeluarkan dapat sesuai dengan kehidupan masyarakat dan tentunya berakibat pada kehidupan masyarakat yang sejahtera. Pendapat Muhammad Awwaluddin Arrasyid32dalam riset ilmiahnya dijelaskan bahwa dampak keputusan Bahtsul Masa’il terhadap hukum Islam di Indonesia tergantung dari bagaimana kita memandang dari berbagai sudut pandang, artinya hal ini tidak terlalu berpengaruh dalam hal undang-undang atau peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan hasil dari pada keputusan-keputusannya hanya bersifat rekomendasi saja, namun sangat berpengaruh dalam hal kultural apabila diikuti oleh seluruh warga nahdliyyin yang dikenal militan terhadap ulamanya, karena keputusan Bahtsul Masa’il ialah hasil dari kesimpulan yang disampaikan para musahhih yang terdiri dari para kiyai. Istimbath hukum pendapat Sahal Mahfudh menjelaskan bahwa dalam menggali dan menetapkan hukum dikalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi penggalin hukum dilakukan dengan mentatbiiqkan [menyelaraskan] secara dinamis nasnas fuqaha [teks-teks yang tersurat dalam kitab] dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Istimbath langsung dari sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Hadis yang cenderung pada pengertian ijtihad, bagi Ulama Nahdlatul Ulama masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan ilmu terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh para mujtahid.33 Adapun kaitannya dengan fungsi dari pada bahtsul masail NU ini, menurut Kiyai Ishomuddin selaku Ketua SC [Steering Committee] Batsul Masail Pra Munas Alim Ulama dan Konbes NUtahun 2020 diantaranya :34 pertama, sebagai sarana 1] kajian ilmiah yang difokuskan pada pemutusan suatu hukum islam yang menggunakan referensi dari kitab-kitab mu'tabar yang diputuskan oleh para ulama / kiyai NU yang memiliki keilmuan yang unggul [Al-‘alim Al-‘Allamah]. Dalam Bahtsul Masail NU ini ada tiga komisi, a] Komisi Waqi’iyah/aktual], b] komisi Maudhui’yah /tematik, dan c] Komisi Qonuniyah /perundangundangan. Kedua, sebagai 2] Kedua, fungsi silaturahim. Melalui perhelatan ini, para kiai dari 31 Hanifudin_el-hady, “Jendela Dunia : Bahtsul Masail NU,” Jendela Dunia [blog], 8 Juli 2011, //khotimhanifudinnajib.blogspot.com/2011/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html. 32 Muhammad Awwaluddin Arrasyid, “Istinbath Hukum oleh Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama [LBM-NU] dan Pengaruhnya terhadap Hukum Islam di Indonesia [Studi di PWNU Sulawesi Selatan]” [diploma, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2017], //repositori.uin-alauddin.ac.id/4418/. 33 Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial [Yogyakarta: LkiS, 1994], 45–46. 34 Sumber://www.nu.or.id/post/read/117372/empat-fungsi-bahtsul-masail-menurut-kiai-ishomuddin, diakses pada 19 Maret 2021 12
  13. sejumlah daerah bisa bertemu . "Di antara kita yang jarang bertemu atau memiliki sekat hati, di dalam bahtsul masail ini hendaklah kita eratkan tali silaturahim dan tali persaudaraan," ucapnya. Ketiga, fungsi konsolidasi. Konsolidasi ini penting untuk saling mengenal kiai yang satu dengan yang lainnya, bahkan menguatkan hubungan satu sama lain. "Jadilah engkau sebagaimana dua buah tangan yang saling kerja sama di dalam menyelesaikan masalah, di dalam mencari setiap solusi atas setiap masalah yang dihadapi," ucapnya. Keempat, fungsi kaderisasi. Ia mengaku menginginkan pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama hidup dengan kiai-kiai yang cerdas dan berpengetahuan luas berdasarkan kitab-kitab kuning yang mu'tabar dan bisa dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat. Kesimpulan Dari paparan diatas dari permasalahan bagaimana Metode Istimbath Hukum Bahstul Masail Nahdlatul Ulama dapat disimpilkan bahwa : 1. Kerangka Konseptual dalam Pemikiran Hukum Islam menurut NU meliputi 1] Aswaja, 2] Bermażhab, 3]Al-Kutub al-Mu’tabarah, dan 4] Maslahah. 2. Metodelogi penggalian hukum islam oleh Lembaga Bahstul Masail Nahdlatul Ulama yang dilakukan adalah menggunakan beberapa kerangka pemikiran yaitu : 1] Dalam kasus yang ditemukan jawabannya dalam ibarat kitab [keterangan -keterangan] dan hanya satu qaul [pendapat], maka qaul itu yang diambil. 2] Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya. 3] Bila jawaban tidak diketemukan dalam ibarat kitab [keterangan -keterangan] kitab sama sekali, maka dipakailah ilhaq al masail bin nadhariyah secara jamai oleh para pakar/ahlinya. 4] Masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan analogi [ilhaq], maka dilakukan istimbat jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji oleh para ahlinya. 3. Dampak keputusan Bahtsul Masa’il terhadap hukum Islam di Indonesia tergantung dari bagaimana kita memandang dari berbagai sudut pandang, artinya hal ini tidak terlalu berpengaruh dalam hal undang-undang atau peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan hasil dari pada keputusan-keputusannya hanya bersifat rekomendasi saja, namun sangat berpengaruh dalam hal kultural apabila diikuti oleh seluruh warga nahdliyyin yang dikenal militan terhadap ulamanya, karena keputusan Bahtsul Masa’il ialah hasil dari kesimpulan yang disampaikan para musahhih yang terdiri dari para kiyai. Adapun kaitannya dengan fungsi dari pada bahtsul masail NU diantaranya sebagai sarana kajian ilmiah, fungsi silaturahim, fungsi konsolidasi dan fungsi kaderisasi. Dimana Tugas dari LBM NU sendiri adalah menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum. Oleh karena itu lembaga ini merupakan bagian terpenting dalam organisasi NU, sebagai forum diskusi alim ulama [Syuriah] dalam menetapkan hukum suatu masalah yang keputusannya merupakan fatwa dan berfungsi sebagai bimbingan warga NU dalam mengamalkan agama sesuai dengan paham ahlusunnah wal jamaah sebagai dasarnya. . Daftar Pustaka Arifi, Ahmad. Pergulatan Pemikiran Fiqih Tradisi Pola Mazhab. Yogyakarta: ELSAQPRESS, cet. ke-2, 2010. Arrasyid, Muhammad Awwaluddin. “Istinbath Hukum oleh Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama [LBM-NU] dan Pengaruhnya terhadap Hukum Islam di Indonesia [Studi di PWNU Sulawesi Selatan].” Diploma, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2017. //repositori.uin-alauddin.ac.id/4418/. 13
  14. Azizy , A. Qodri. Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar menuju Ijtihad sesuai SaintifikModern. Jakarta: Teraju, 2003. Bruinessen, Martin van. NU, Tradisi Relasi Kuasa. Yogyakarta: LKiS, 1994. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994. Fuqaha, Ahkamul. Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama [1926-2010 M]. Surabaya : LTNNU& Khalista, 2011. Hanifudin_el-hady. “Jendela Dunia : Bahtsul Masail NU.” Jendela Dunia [blog], 8 Juli 2011. //khotimhanifudinnajib.blogspot.com/2011/07/normal-0-false-false-false-en-us-xnone.html. Jamhar, Bazro. “Konsep Maslahat Dan Aplikasinya Dalam Penetapan Hukum Islam [Studi Pemikiran Ushûl Fiqh Sa’id Ramadhân al-Bûthi].” Masters, IAIN Walisongo, 2012. //eprints.walisongo.ac.id/115/. Karim, Abdul. Aswaja Nahdliyah, Konsepsi, Amaliyah, dan Pengembangan. Pati: PCNU Pati, 2012. Mahfudh, Muhammad Sahal. Keputusan mukhtamar, Munas, dan Konbes NU Tahun 19261999 M, t.t. Mahfudh, Sahal. Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Nhdlatul Ulama [1926-2004 M]. Kata Pengantar Rais „Am PB NU Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU oleh Sahal Mahfudz, terj. Djamaluddin Miri. Surabaya: LTN NU Jawa Timur, 2004. ———. Nuansa Fikih Sosial. Yogyakarta: LkiS, 1994. ———. Pesantren Mencari Makna. Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999. Ma’mur, Jamal. “Dinamika Pemikiran Gender Dalam Nahdlatul Ulama [Studi Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-28 [1989] Sampai Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-32 [2010]].” Phd, IAIN Walisongo, 2014. //eprints.walisongo.ac.id/2543/. Masyhuri, A. Aziz. Masalah Keagamaan , jilid 2. Jakarta: PPRMI dan Qultum Media, 2004. Nawawi, Nawawi. Dinamika Pemikiran Wakaf Di Nahdlatul Ulama. Semarang: PPS IAIN Walisongo, 2012. “Sejarah Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama / LBMNU.” Diakses 8 Maret 2021. //www.galerikitabkuning.com/2021/02/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nulbmnu.html. Utsman, KH. Imaduddin. “Bahtsul Masa’il Dengan Metode Istinbath Maqoshidi, Liberal?” tangerangnews.com. Diakses 8 Maret 2021. //tangerangnews.com/opini/read/30539/Bahtsul-Masail-dengan-MetodeIstinbath-Maqoshidi-Liberal. Yunus, Badruzzaman M. Konsep ASWAJA [Asal-Usul dan Ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah]. Bandung : Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2019. Zahro, Ahmad. “Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama 1926-1999 [Telaah Kritis Terhadap Keputusan Hukum Fiqih].” Disertasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001. //digilib.uin-suka.ac.id/14428/. ———. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999. Yogyakarta: LKis, 2004. ———. Tradisi Intelektual, Pengantar: Prof. Dr. KH. Said Agil Husein al-Munawwar. Yogyakarta: LKiS, 2004. 14

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề