Jenazah yang tidak boleh Dishalatkan dalam syariat Islam adalah

Jakarta -

Mengurus jenazah adalah bagian dari kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya. Kewajiban ini bersifat fardhu kifayah, yang artinya telah gugur jika sudah dilakukan orang lain.

Kewajiban mengurus jenazah sejatinya memberi banyak hikmah bagi seorang muslim, bahkan ketika dia tidak langsung melakukannya. Rasulullah SAW dalam hadits menjelaskan besarnya pahala mereka yang menghadiri pengurusan jenazah.

مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ . قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ

Artinya: "Barangsiapa yang menghadiri prosesi jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barangsiapa yang menghadiri prosesi jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud dua qiroth?" Rasulullah SAW menjawab, "Dua qiroth itu semisal dua gunung yang besar." (HR Bukhari).

Kewajiban mengurus jenazah terdiri dari memandikan, menutupi seluruh tubuhnya dengan kain kafan, menunaikan salat jenazah atau salat ghaib untuk mayat, dan menguburkannya dengan layak.

Dikutip dari buku Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari dari Kandungan hingga Kematian karya Dr Muh Hambali, M Ag, tidak semua jenazah boleh dimandikan. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan jenazah bisa langsung dikubur tanpa harus mandi lebih dulu.

Jenazah yang tidak boleh dimandikan

1. Orang yang mati syahid karena perang di jalan Allah SWT

2. Orang yang meninggal saat ihram dengan kain kafan sebagai baju ihramnya

3. Bayi yang baru lahir dan belum mengeluarkan suara

Kondisi tersebut kini bertambah satu, yaitu pada pasien yang meninggal akibat COVID-19. Jenazah bisa langsung ditayamumkan, atau langsung dikubur dengan pertimbangan darurat.

Jika pada beberapa kasus bisa dimandikan dengan pertimbangan ahli, pakaian jenazah tidak perlu dibuka dengan air dialirkan ke seluruh tubuh. Selain dari kondisi yang telah disebutkan, maka jenazah bisa dimandikan.

Syarat-sayat jenazah bisa dimandikan:

1. Muslim

2. Anggota badan jenazah masih ada, meski sedikit atau hanya sebagian.

Bagaimana mengurus jenazah yang tidak boleh dimandikan?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sedikitnya pernah mengeluarkan dua fatwa tentang proses mengurus jenazah yang tidak boleh dimandikan. Fatwa pertama adalah pedoman pengurusan jenazah pasien COVID-10 nomor 18/2020.

"Setelah jenazah karena dlarurah syar'iyah tidak dimandikan atau ditayamumkan, maka dikafani dengan kain yang menutup seluruh tubuh dan dimasukkan ke dalam kantong jenazah yang aman dan tidak tembus air untuk mencegah penyebaran virus dan menjaga keselamatan petugas," tulis fatwa tersebut.

Fatwa lainnya dikeluarkan pada 31 Desember 2004 saat terjadi bencana tsunami Aceh dengan korban yang sangat banyak. Dalam fatwa bernomor 34/2004 tersebut, jenazah boleh tidak dimandikan namun sebaiknya diguyur sebelum dikubur jika memungkinkan.

Pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah, walaupun terkena najis. Jenazah wajib segera dikubur dan boleh dishalati sesudahnya walaupun dari jarak jauh dengan salat ghaib.

Simak Video "Melihat Persiapan Pemakaman Lily Wahid di Ponpes Tebuireng Jombang"



(row/lus)

Jenazah bisa dikuburkan secara massal.

Darmawan / Republika

Akibat gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi pada 28 September lalu, membuat Masjid Arkam Babu Rahman (masjid Apung) yang terletak di pantai Talise, Palu Sulawesi Tengah, nampak rusak, Sabtu (13/10).

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan agar suatu kaum mengurus jenazah anggotanya yang wafat. Jenazah Muslim hukumnya fardhu kifayah untuk dimandikan, dikafani, dishalatkan, hingga dikuburkan. QS Abasa:21 menunjukkan bahwa manusia harus dikuburkan saat meninggal dunia. "Kemudian, Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur."

Rasulullah SAW pun melalui hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menjelaskan bahwa umat Islam harus segera mengurus jenazahnya. "Tidak pantas di antara mayat seorang Muslim untuk ditahan di antara keluarganya."

Dalam keadaan normal, mayat wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Prosedur ini dilakukan menurut tata cara yang sudah ditentukan dalam syariat Islam. Dalam keadaan darurat, di mana pengurusan (penanganan) jenazah tidak mungkin memenuhi ketentuan syariat di atas maka pengurusan jenazah dilakukan dengan cara darurat.

Ada kondisi di mana Nabi SAW pernah memerintahkan untuk mengubur para syuhada' Uhud dalam bercak-bercak darah. Mereka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan (HR Al Bukhari). Hukum ini khusus bagi syahid ma'rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, merujuk pada Asy Syarhul Mumti (5/364), mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian orang yang mati karena wabah tha'un atau karena penyakit perut, mati tenggelam, atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah  mengeluarkan fatwa tentang pengurusan jenazah dalam keadaan darurat. Fatwa tersebut lahir pada 31 Desember 2004. Tidak lama setelah bencana tsunami di Aceh terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Ketika itu, tak kurang dari seratus ribu korban jiwa tewas. Saksi mata bahkan melihat setiap jarak 100 meter ada 70 mayat di Banda Aceh.

Untuk kondisi darurat tersebut, MUI pun berfatwa bahwa jenazah boleh tidak dimandikan saat hendak dikubur. Tapi, apabila memungkinkan, sebaiknya diguyur sebelum penguburan. Pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah. Meski kafan darurat itu terkena najis.

Tak hanya itu, menurut MUI, mayat boleh dishalatkan sesudah dikuburkan meski dari jarak jauh (shalat ghaib). Boleh juga tidak dishalati menurut qaul mu'tamad (pendapat yang kuat). Jenazah pun wajib segera dikuburkan. Pemakaman tersebut bisa dilakukan secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas. Meski terdiri atas satu atau beberapa liang kubur. Tak hanya itu, dalam kondisi seperti tsunami Aceh, mayat tidak harus dihadapkan ke arah kiblat.

Penguburan massal juga boleh dilakukan tanpa memisahkan jenazah laki-laki dan perempuan. Pun, antara Muslim dan non-Muslim. Jenazah boleh langsung dikuburkan di tempat jenazah ditemukan. Mantan ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Hasanuddin AF menambahkan, penanganan jenazah korban bencana dalam hukum Islam terbagi atas kondisi.

Pertama, saat jasad korban di temukan utuh. Kiai Hasanuddin mengungkapkan, umat Islam setem pat masih wajib untuk memandikan, mengafani, hingga melaksanakan shalat jenazah untuk jasad tersebut, seperti layaknya pemula saraan jenazah normal.

Kedua, untuk jasad korban yang tidak ditemukan utuh maka  tak perlu dimandikan. Dia menjelaskan, jenazah boleh lang sung dikafani hingga dishalatkan, dan dimakamkan secara Islami di tempat yang sesuai kehendak sanak familinya.

Untuk jasad kategori ketiga ketika korban sudah tidak mungkin ditemukan. Sebelum memutuskan tidak ditemukan, dia menjelaskan, keluarga jenazah harus memastikan proses pencarian korban sudah diputuskan berakhir oleh pihak yang berwenang, misalnya, Badan Nasional Penang gulangan Bencana (BNPB).

Kemudian, dari data BNPB atau pejabat daerah setempat, dapat diperoleh kepastian nama-nama orang hilang itu serta agama mereka ialah Islam. Kemudian, handai tolan bisa melaksanakan shalat ghaib buat mereka.

Persatuan Islam (Persis) pun pernah berfatwa mengenai penanganan jenazah dalam kondisi darurat. Menurut Persis, membakar mayat korban bencana hukumnya haram kecuali bila tidak ada jalan lain. Artinya, pembakaran mayat dilakukan dalam kondisi luar biasa. Misalnya, bila dibiarkan mayat-mayat itu bisa menyebarkan penyakit menular bagi manusia. Wallahualam.

  • fatwa
  • jenazah korban bencana

Jenazah yang tidak boleh Dishalatkan dalam syariat Islam adalah

sumber : Dialog Jumat Republika

#Liputanmedia

Wabah virus corona (COVID-19) masih belum dapat ditekan secara maksimal hingga saat ini. Merujuk data Johns Hopkins University per 13 Agustus 2020, COVID-19 telah menelan korban hingga lebih dari 750 ribu jiwa di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, COVID-19 setidaknya telah menewaskan 5.903 jiwa. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, pasti kita bertanya-tanya bagaimana cara mengurus jenazah COVID-19 yang sesuai protokol kesehatan sekaligus memenuhi syariat agama Islam.

Hal ini terjawab lewat webinar yang diselenggarakan pada Senin (10/8) yang berjudul “Tatalaksana Jenazah COVID-19 Sesuai Syariat Agama Islam”, yang menghadirkan dua narasumber, yakni Prof. dr. Budi Sampurna, Sp.F.M(K), S.H., DFM., Sp.KP, Guru Besar Forensik & Medikolegal FKUI RSCM, dan Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, M.A, Sekretaris Komisi Fatwa MUI.

Supaya lebih tercerahkan, simak penjelasan lengkapnya di sini!

1. Protokol kesehatan khusus untuk mengurus jenazah COVID-19 dibuat dengan banyak pertimbangan

Menurut Prof. Budi, ada banyak pertimbangan mengapa jenazah COVID-19 harus diurus dengan protokol kesehatan ketat. Ini karena COVID-19 menular lewat berbagai cara, mulai dari droplet, aerosol, muntahan, feses, serta kontak langsung dengan benda yang terkontaminasi.

Selain itu, COVID-19 masih mungkin menular melalui udara (airborne), virus bisa ditemukan di benda mati hingga beberapa jam, dan ditemukan di jenazah hingga 9 hari postmortem (sesudah kematian), sehingga dikhawatirkan dapat menular dari jenazah ke manusia yang masih hidup.

Selain itu, pada jenazah yang diautopsi, ditemukan bahwa reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) masih positif hingga hari ke-12, konsentrasi RNA SARS-CoV-2 masih tinggi di paru-paru, ditemukan virus dalam darah (viremia), dan titer RNA virus tinggi di organ hati, ginjal, dan jantung.

Oleh karena itu, keselamatan dan kesehatan orang yang hidup harus diutamakan. Menurut Prof. Budi, penularan bisa dihindari dengan mencegah virus keluar dari jenazah, mencegah kontak langsung, memakai alat pelindung diri (APD), menjaga kebersihan tangan, memiliki etika batuk atau bersin yang baik, serta menjaga jarak antara pelayat-jenazah dan pelayat-pelayat.

2. Jenazah harus disegerakan pemakamannya, pengawetan tidak direkomendasikan

Badan Kesehatan Dunia (WHO) tidak merekomendasikan pengawetan jenazah, melainkan disegerakan untuk dimakamkan dalam waktu 24 jam. Menurut Prof. Budi, pengawetan jenazah dengan menyuntikkan formalin bisa memunculkan aerosol dan sebaiknya hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan dilengkapi dengan APD lengkap.

Dalam praktiknya, semua jenazah yang menunjukkan gejala klinis COVID-19, meski probable (belum sempat dilakukan pemeriksaan PCR) atau confirmed, jika meninggal harus diperlakukan dengan tata cara pengurusan jenazah COVID-19. Kecuali, jika ditemukan sebab kematian lain yang tak ada hubungannya dengan COVID-19, misalnya karena kecelakaan atau trauma.

Dikatakan oleh Prof. Budi, jika kematian terjadi di luar rumah sakit, maka petugas pemeriksa jenazah akan mencari dugaan penyebab kematian. Jika kematian dinyatakan berhubungan dengan COVID-19, maka jenazah akan diurus sesuai prosedur dengan menutup semua lubang di tubuhnya dan dimasukkan ke kantong jenazah yang kedap air.

Namun, jika kematian terjadi di rumah sakit, protokol COVID-19 akan diterapkan, walau jenazah berstatus suspect, probable, atau confirmed. Tentu saja, komunikasi, informasi, dan edukasi yang baik harus diberikan pada keluarga pasien. Mereka memiliki hak untuk melihat jenazah sebelum ditutup, berhak mendoakan, melayat, menyalatkan (jika beragama Islam), dan memakamkan.

3. Jenazah boleh dimandikan dan dikafani sesuai dengan Fatwa MUI No. 18 Tahun 2020

Ketika pasien sudah dinyatakan meninggal, peralatan medis akan dilepaskan dari tubuhnya, seperti selang infus, kateter, atau tube. Bekas suntikan harus ditutup dengan plester kedap air. Jika diperlukan, lakukan swab pada jenazah. Pastikan bahwa cairan tidak keluar dari lubang tubuh dengan menutupnya memakai kapas. Untuk mencegah keluarnya cairan dan aerosol, jangan menekan bagian dada dan perut jenazah.

Lebih lanjut, Prof. Budi mengatakan bahwa jenazah yang beragama Islam boleh dimandikan dan dikafani sesuai dengan Fatwa MUI No. 18 Tahun 2020. Hal ini tertuang lewat Ketentuan Hukum poin 2 yang berbunyi:

“Umat Islam yang wafat karena wabah COVID-19 dalam pandangan syara’ termasuk kategori syahid akhirat dan hak-hak jenazahnya wajib dipenuhi, yaitu dimandikan, dikafani, disalati, dan dikuburkan, yang pelaksanaannya wajib menjaga keselamatan petugas dengan mematuhi ketentuan-ketentuan protokol medis.”

Sesuai Fatwa MUI No. 18 Tahun 2020, jenazah bisa dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya. Selain itu, petugas wajib berjenis kelamin sama dengan jenazah yang dimandikan dan dikafani.

Jika tidak ada, maka diurus oleh petugas yang ada dengan syarat jenazah tetap memakai pakaian saat dimandikan atau ditayamumkan. Sebelum dimandikan, najis harus dibersihkan. Lalu, petugas memandikan jenazah dengan mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh.

Jenazah dikafani tiga lapis, lalu dibungkus dengan kain yang tidak tembus air atau plastik, dan pastikan tidak ada cairan yang keluar dari jenazah. Sebelum jenazah dimasukkan ke peti mati, keluarga inti bisa melihat jenazah untuk terakhir kalinya dari jarak 2 meter. Jenazah tidak boleh disentuh atau dicium demi mematuhi kewaspadaan standar, Prof. Budi menerangkan.

Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi dan harus segera dimasukkan ke peti mati. Lalu, peti mati disegel dengan plastik yang tak tembus air dan dieratkan dengan paku atau sekrup. Tak lupa, peti mati diberi identitas jenazah agar tidak tertukar. Peti mati juga harus disemprot dengan cairan disinfektan.

4. Anak kecil, lansia di atas 60 tahun, dan orang dengan penyakit sebaiknya tidak melayat

Menurut Fatwa MUI No. 18 Tahun 2020, berikut ini adalah pedoman menyalatkan jenazah yang terpapar COVID-19:

Disunnahkan menyegerakan salat jenazah setelah dikafani.

Dilakukan di tempat yang aman dari penularan COVID-19.

Dilakukan oleh umat Islam secara langsung minimal satu orang. Jika tak memungkinkan, boleh disalatkan di kuburan sebelum atau sesudah dimakamkan. Jika tak memungkinkan, boleh disalatkan dari jauh (salat gaib).

Pihak yang menyalatkan wajib menjaga diri dari penularan COVID-19.

Untuk tata cara menguburkan, harus dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah dan protokol medis. Caranya adalah memasukkan jenazah bersama petinya ke dalam liang kubur tanpa harus membuka peti, plastik, dan kafan. Jika dalam keadaan darurat, beberapa jenazah boleh disemayamkan dalam satu liang kubur.

Saat dikubur, keluarga diberi kesempatan untuk melayat. Namun, anak kecil, lansia di atas 60 tahun, dan orang yang memiliki penyakit berisiko tinggi sebaiknya tidak ikut melayat. Jangan lupa untuk menjaga jarak antar pelayat minimal 2 meter atau 3 langkah kaki. Disarankan untuk segera mencuci tangan dengan air dan sabun, mandi, dan berganti pakaian sepulang dari melayat.

Untuk lokasi penguburan, WHO menyarankan untuk memberi jarak aman 250 meter dari sumur atau sumber air yang digunakan untuk minum dan 30 meter dari sumber air lainnya.

Itulah prosedur memandikan dan mengubur jenazah COVID-19 sesuai syariat Islam.

Mengingat pandemi masih jauh dari usai, kita harus melindungi diri sebaik mungkin dengan menerapkan pola hidup sehat, menjaga kebersihan diri dengan rajin cuci tangan, kelola stres dengan baik, istirahat cukup, dan olahraga rutin. Niscaya, tubuh kita akan terus fit dan terhindar dari berbagai penyakit.