Jurnal sebelum membuat buku panduan wisata

HERYUNANTO”Kau pernah ke sini?!” Tanya lelaki yang baru saja kukenal di ruang tunggu beberapa waktu yang lalu. Sekarang ia duduk persis di sebelahku. Memegang sebuah buku panduan wisata yang diambil dari kantong kursi di depannya.

Rute pesawat yang sama menjadi alasan baginya untuk membuka percakapan dan menanyakan namaku di ruang tunggu beberapa yang waktu lalu. Namaku Nyale, jawabku pendek padanya dan menjabat tangannya di ruang tunggu yang hening dan dingin beberapa saat yang lalu. Di ruang tunggu itu, ia terus saja bercerita tentang namanya, asalnya, dan pekerjaannya, bahkan tentang orang-orang penting yang dekat dengannya dan kini dengan sangat kebetulan ia duduk di seat yang sama denganku.

Duduk di sebelahku, membuatnya makin nyerocos tentang dirinya, kali ini ditambah tentang prestasi yang pernah direngkuhnya. Sikap diam dan hanya dengan anggukan pada tiap katanya tak membuatnya berpikir bahwa aku tak peduli pada tuturannya. Aku terpaksa terdiam dan mengangguk hanya sebagai salah dua cara untuk menjalankan peranku sebagai makhluk sosial yang diharuskan menghargai sesama, mendengarkan dengan baik ketika orang berbicara. Meskipun hanya untuk berpura-pura.

Kali ini aku menjawab padanya sambil mengaitkan sabuk pengamanku, ”Rumahku di sekitar sana.” Mataku menerawang ke landasan pacu yang masih basah karena sisa hujan yang sempat kalap setelah sempat kulirik buku panduan wisata yang dibolak-baliknya. Mendengarku, wajahnya berpaling dari buku panduan wisata, beralih memandang lekat padaku.

”Beneran?!” Ia mengajukan pertanyaan seolah aku dan jawabanku tidak memiliki dasar hukum yang sah. Ia tak yakin dengan apa yang telah didengarnya.

”Sebelah mana?!” Sambungnya menodongkan buku panduan wisata.

”Di sini? Atau di sini? Atau di sini?” Ditunjuknya satu per satu gambar yang tampak meriah dalam buku. Gambar pantai berpasir putih, hotel-hotel megah nun mewah, dan gambar perempuan dengan sejumlah lelaki di belakangnya, serta gambar sebuah liburan keluarga yang tampaknya sangat berbahagia, tertawa dengan gigi-gigi besarnya dan pakaiannya yang sepertinya pakain baru, mirip iklan pasta gigi atau iklan baju lebaran di televisi.

”Tidak, tidak ada di situ, tapi di sekitarnya,” pelan jawabku padanya.

Ia memandangku lebih penuh. Diam untuk beberapa detik dan bertanya, ”Jadi, setidaknya kamu pernah ke sini, kan?” Ia menunjuk satu gambar yang dipenuhi pasir putih, air laut yang tmpak kebiruan, dan tebing-tebing pada tiap pojoknya. Menambah meriah dan pesona gambar. Tidak ketinggalan pula, dalam gambar itu dilengkapi patung perempuan berselendang dan sejumlah laki-laki sedang terpaku tampak mengejarnya.

”Aku ingin sekali ke sini,” ucapnya kembali dengan mengetuk telunjuk beberapa kali. Persis di gambar patung perempuan itu.

”Bisa antar aku ke sana? Setidaknya aku bisa nginep, makan, atau bahkan masuk ke tempat ini secara gratis bersama tuan rumah sepertimu,” ucapnya sekali lagi dengan tawa yang cukup membuat aku turut terkekeh padanya.

”Bisa?!” tanyanya lagi.

Aku memandang lekat dan ketat pada gambar perempuan dengan sejumlah lelaki di belakangnya dalam buku panduan wisata. Mengembalikan masa yang pernah terenggut. Mengembalikan aku berpuluh tahun lebih muda daripada hari ini. Mengembalikan aku dengan sahabat-sahabat kecilku. Mengembalikan aku pada film-film India favoritku di rumah Amak Ijan dan balapan kembang landak, serta mengamblikan keke yang kukeruk setiap sore dengan sendok pada pasir pantai untuk lauk makan malam. Semuanya kambuh karena tanya si lelaki yang baru saja kukenal di ruang tunggu bandara.

***

”Bisa antar saya ke sana?” Tanya seorang lelaki pada kami yang saat itu tengah mencari keke dan mendengar sebuah kisahan Mohabbattein dari si Miun. Jumlah mereka delapan orang termasuk si penanya. Pakaian rapi yang mereka kenakan membuat mereka mirip bintang film India yang pernah kutonton di rumah Amak Ijan di hari minggu sebelumnya.

Film India yang membuat kami dilema pada si penjual es keliling yang menabuh kentongannya dengan nada tak sabaran. Si Miun menjadi yang beruntung di antara kami, karena uang sakunya lebih banyak meski ia telah membelanjakannya pada si penjual es keliling. Ia menjadi satu-satunya di antara kami yang berhasil mendapatkan tiket masuk ke rumah Amak Ijan untuk menonton film minggu siang ini, sementara kami, hanya mampu mendongak dari bawah lantai rumah panggung Amak Ijan seraya mengumpat ketika ada yang kentut. Tiap hari minggu, Amak Ijan secara khusus memutar film-film India yang dibintangi oleh Shah Rukh Khan, Salman Khan, Kajol, Preity Zinta dan bintang-bintang film India lainnya yang terkenal, memiliki paras tampan dan cantik, serta tentu berkisah melankolis yang siap memberangus air mata para ibu-ibu yang menontonnya. Amak Ijan selalu cermat dan tepat memilih film yang akan diputarnya. Bukan hanya mempertimbangkan filmnya dibintangi oleh siapa, namun ia juga sangat mempertimbangkan kisah, kualitas lagu dan goyangan para pemeran film sebelum membeli kaset film India dan memutar di rumahnya. Ia tak mau merugi. Waktu itu di kampung kami hanya Amak Ijanlah yang mempunyai alat pemutar video berbentuk persegi sekaligus televisi berwarna yang cukup besar. Rumah panggungnya pun cukup luas untuk memuat sepuluh bahkan sampai tiga puluh orang. Amak Ijan menyadari keunggulannya dari warga lain. Ia mulai menjalankan ilmu ekonomi yang didapatinya dari keadaan, selain seorang nelayan ia juga seorang pedagang yang ulung. Ia mematok harga untuk sekali pemutaran film India di rumahnya, harga tiket masuk ke rumahnya lima ratus rupiah untuk semua umur. Jadi, bagi kami anak-anak yang tidak mempunyai cukup uang belanja, maka kami harus rela mendongak dan mengintip dari celah-celah lantai kayu rumah panggung Amak Ijan, meski hanya mendengar suara film bahkan sesekali mendengar suara kentut. Dan kami rela hanya menunggu cerita dari seorang teman yang mempunyai karcis menonton film. Seperti cerita si Muin pada sore ini, ketika kami sedang mengeruk pasir untuk mendapatkan keke.

Kedatangan delapan orang lelaki ini menghentikan cerita si Muin dan tangan-tangan kami yang mengeruk pasir dengan sendok. Mereka menanyakan letak rumah kepala dusun. Si Muin dan yang lainnya serentak memandangku. Memintaku segera menjawab pertanyaan si penanya. Usiaku yang paling tua menjadi satu musabab selalu aku yang diandalkan dalam segala hal, termasuk kali ini.

Aku perlahan menjelaskan pada si lelaki penanya bahwa rumah kepala dusun akan ia capai dengan melewati sejumlah bangunan dan belokan. Aku juga menyebutkan orang paling terkenal di tempat kami, Amak Ijan, si jurangan film kampung. Berharap mereka kenal dan bertanya saja kepada Amak Ijan. Namun sayang, tak seperti dugaanku, mereka sama sekali tak mengenalnya. Dengan terpaksa aku harus menggambarkan beberapa bangunan dan jalan yang harus mereka lewati di pasir dengan sendok yang kupakai untuk mengeruk pasir. Namun, percuma saja, mereka tidak mempunyai pengetahuan apalagi pemahaman yang cukup untuk itu. Mereka tak cukup pintar.

”Boleh antar saya ke sana?” tanyanya lagi padaku yang belum selesai menggambar peta jalan menuju rumah kepala dusun.

”Nanti saya kasih uang,” lanjutnya kemudian.

Aku menoleh ke arah gerombolanku yang masih memandangku dengan aneh. Beberapa di antaranya mengangguk dan tersenyum padaku, dan kuanggap sebagai sebuah persetujuan dari mereka untuk melepaskanku bersama lelaki-lelaki asing ini. Tanpa berpikir panjang aku menitipkan bakak yang sudah terisi cukup banyak keke pada salah satu rekanku. Aku mendongak kepada si penanya setelah sandal jepit kukenakan. Lalu dengan satu aba-aba berupa anggukan dariku, mereka seperti anjing yang mengendus langkahku dari belakang, mengekoriku. Sementara mata mereka awas memetakan tiap pojok di pantai itu.

Belum tuntas setengah perjalanan, Udin yang baru saja pulang memancing menawarkan diri untuk menggantikan posisiku sebagai penunjuk jalan kepada lelaki-lelaki berpakain rapi ini. Mereka mengiyakan tawaran Udin dan aku pun dengan sangat senang hati merelakan si Udin mengambil alih peranku.

”Ini, seperti janjiku padamu,” kata lelaki yang jalannya paling dekat denganku, yang sebelumnya juga bertanya padaku. Tampaknya ia adalah pemimpin mereka. Ia menyodorkan selembar uang padaku dengan wajah penuh senyum.

”Ambil saja, lumayan untuk jajan dan menonton di rumah Amak Ijan,” sahut si Udin sambil membenarkan letak kail di bahunya.

Si lelaki penyodor uang itu mengangguk meyakinkanku agar segera mengambil selembar uang yang ditawarkan. Pada anggukan yang ke dua, aku langsung mengambilnya dan berlari menjauh darinya.

”Dasar anak kampung,” celetuk salah satu di antara mereka yang tak sempat kuhapal wajahnya. Ucapannya tak begitu kupedulikan, aku berlari dengan senangnya menuju pantai. Dalam pelarianku, berseliweran wajah ceria teman-temanku di rumah Amak Ijan. Tentu karena film India berikutnya, aku yang akan membayar semua tiket masuk di rumah Amak Ijan. Uang kugenggam dengan lekat.

***

”Dasar anak kampung!! Jangan main di sini!!” kata seorang lelaki pada kami dengan nada tinggi dan tegang. Saat itu aku dan gerombolanku menuju pantai seperti biasanya, tapi tidak sedang mengeruk pasir untuk mencari keke. Hari itu, sepulang sekolah, tak peduli siang bolong yang panasnya melolong. Kami merencanakan balapan bunga rumput berduri. Bunga aneh dari rumput aneh. Mirip hewan bulu babi, namun bedanya bulu babi hidup di dalam air laut, sementara bunga rumput ini hidup di sepanjang pundak-pundak pantai. Pohonnya kering, seperti batang sapu lidi, daunnya keras dan tajam, bunganya bulat berduri tajam nun jarang. Kami menyebutnya kembang landak. Memetiknya pun butuh usaha, kami harus rela betis dan paha kami tertusuk daun-daunnya yang berduri. Lalu setelah mendapatkan bunganya yang mirip bulu babi, dengan memanfaatkan angin, kembang landak kami lepas pada pasir pantai dan ia akan melaju dengan cepat bahkan melebihi kecapatan kami sendiri. Seperti sikap seorang sprinter, kami turut melaju berusaha mengalahkannya. Percayalah, itu sangat menyenangkan. Begitulah rutinitas kami di siang bolong, hingga seorang lelaki entah darimana datangnya mengusir kami karena merasa terganggu, entah karena apa.

Aku dan gerombolanku hanya mampu diam dan berdiri dengan pandangan lekat. Sebelum pada akhirnya si Udin yang tak melaut hari itu tiba-tiba berucap tepat di belakang pundakku dan mengagetkan kami, ”Pantai ini sudah dibeli, dibeli oleh orang yang memberimu uang seminggu yang lalu. Nantinya hotel-hotel dan tugu peringatan akan dibangun megah dan meriah. Demi memperingati dan menambah nilai jual pantai ini, begitu cerita kepala dusun.”

”Kalau masuk ke pantai ini, kalian harus membayar,” lanjut si Udin dengan tangan berkacak pinggang.

”Meski ini pantai kita?”

”Meski dan mesti bayar,” Tutup si Udin dan berlalu dengan tangan melenggang.

***

”Jadi, bisakah kau antar aku ke sana?” Tanya lelaki di dalam pesawat yang duduk di sebelahku ini sekali lagi dan menghanyutkan masa kecilku.

Aku melihatnya dalam, sebelum pada akhirnya kupalingkan wajahku menuju jendela pesawat dan berucap rendah dari balik masker, ”Kau dan aku mesti bayar, meski kampungku sendiri.”

Mandalika, Januari 2021

Catatan:

1. bakak ’wadah yang terbuat dari anyaman bambu’ (Bahasa Sasak)

2. keke ’kerang’ (Bahasa Sasak)

Hubbi S. Hilmi, lahir di Labuhan Haji, Lombok, NTB. Salah satu tenaga pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Khairun Ternate. Bergiat di Komunitas Penyair Institute (KPI) Purwokerto dan bergiat di Komunitas Bacarita Sastra (KBS) Maluku Utara. Cerpennya pernah muat di MalutPost, harian Rakyat Sulawesi Tenggara, majalah Harmoni Kantor Bahasa Maluku Utara, harian Mercusuar. Beberapa esai dan opininya pernah muat di SatelitPost Purwokerto, tabloid Minggu Pagi Yogyakarta, harian Bhirawa Surabaya, Jurnal Asia Medan, harian Rakyat Sulawesi Tenggara, Suara Pemred Singkawang. Domisili sekarang di Ternate, Maluku Utara.