Kelebihan dan kekurangan penerapan Dwifungsi ABRI

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, yang juga seorang purnawirawan jenderal Angkatan Darat baru-baru ini mengeluarkan pernyatakan kontroversial dengan mengusulkan bahwa pemerintah bisa saja merekrut perwira-perwira militer untuk mengisi jabatan-jabatan di kementerian dan pemerintahan.

Banyak pihak menentang wacana Luhut untuk menerima militer dalam seleksi jabatan sipil, karena khawatir ini dapat mengembalikan kebijakan dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) era Orde Baru yang otoriter yang memungkinkan militer untuk terlibat dalam kehidupan sipil masyarakat. Pada saat itu tentara menduduki jabatan-jabatan di kementerian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Luhut menyangkal bahwa dirinya ingin mengembalikan peran militer seperti pada masa Orde Baru.

Namun, mereka yang menentang berpendapat bahwa usulan Luhut dapat membahayakan proses demokrasi di Indonesia yang sudah berjalan selama dua dasawarsa semenjak 1998. Presiden pada rezim Orde Baru, Suharto menggunakan militer dan peran dwifungsi ABRI untuk mempertahankan kekuasaannya yang berlangsung 32 tahun lamanya.

Akan tetapi, sebagai ahli hukum administrasi negara yang meneliti reformasi birokrasi Indonesia, saya berpendapat bahwa selama personil tentara kompeten, mereka memiliki hak sebaliknya–seperti pendahulunya yang berjuang dalam Perang Kemerdekaan–untuk melayani publik.

Konsep Dwifungsi ABRI diilhami oleh semangat pejuang Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda antara 1945-1949. Semangat yang yang melibatkan seluruh warganegara dalam berjuang bagi negara selamanya relevan bagi Indonesia.

Saat ini, proses rekruitmen berdasarkan kompetensi telah menjadi bagian dari reformasi birokrasi, baik di organisasi kemiliteran maupun sipil, untuk menghindari penyelewengan kekuasaan yang pada masa lalu terjadi lagi.

Sejarah Gemilang

Dwifungsi ABRI berawal dari tradisi luhur militer Indonesia dalam perang melawan Belanda antara 1945-1949. Generasi awal prajurit-prajurit Indonesia bertempur atas keinginan sendiri, didorong semata oleh hasrat untuk membela negara dari rongrongan Belanda yang enggan mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Kala itu, tentara Indonesia terbentuk secara sukarela. Rakyat mengangkat senjata dan bertempur tanpa ada yang menyuruh atau membiayai.

Salah satu tokoh militer Indonesia terkemuka, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, mengabadikan semangat ini dan mencetuskan konsep “Broad Front”. Menurut konsep ini, tentara tidak boleh hanya mengurus pertahanan dan keamanan, tetapi juga ikut serta dalam upaya meningkatkan kesejahteraan negara secara keseluruhan. Namun, Jenderal Nasution menegaskan bahwa militer Indonesia tidak akan memainkan peran politik langsung guna mencegahnya menjadi alat politik untuk merebut kekuasaan.

Itulah sebabnya sepanjang 1950-an sampai awal 1960-an, militer Indonesia berjuang tidak hanya di medan laga, tetapi terlibat aktif—-meski tidak secara langsung-—dalam urusan-urusan politik bahkan ekonomi.

Sejarah kelam

Sepanjang Orde Baru, perwira-perwira dan jenderal-jenderal militer ditempatkan di hampir semua bidang kehidupan untuk mempertahankan stabilitas politik.

Kalangan militer melakukan pendekatan tangan besi dengan alasan menghindari huru-hara politik dan ekonomi yang terjadi pada masa rezim Sukarno.

Campur-tangan militer dalam kehidupan sipil ini, sayangnya, berujung pada penindasan bahkan kekerasan terhadap suara-suara kritis, bahkan siapapun yang sekadar berbeda pendapat dengan pemerintah.

Sepanjang Orde Baru, militer Indonesia dituduh melakukan berbagai pelanggaran HAM, termasuk pada peristiwa 1965, berbagai operasi militer di Papua dan Aceh, kerusuhan 1998, dan banyak lagi.

Penahanan akademisi dan aktivis Robertus Robet baru-baru ini, karena menyanyikan parodi Mars ABRI yang dianggap menghina tentara, membawa kembali kenangan buruk itu.

Para aktivis mengecam usul Luhut untuk memastikan pengalaman buruk di masa lampau tidak akan pernah terjadi lagi.

Mencermati usul luhut

Namun, pernyataan Luhut bisa jadi didorong oleh alasan pragmatis.

Indonesia melaksanakan kebijakan rekrutmen perwira militer untuk mengisi jabatan-jabatan sipil sampai pertengahan 1990an. Setelah kejatuhan Orde Baru di 1998, kebijakan ini ditinggalkan dan jabatan-jabatan yang biasa diisi oleh perwira militer itu pun dihapuskan. Banyaknya diperkirakan mencapai lebih dari ribuan jabatan.

Berakhirnya kebijakan rekrutmen lama ini mengakibatkan ribuan perwira dalam dinas aktif tidak memiliki tugas apapun. Gaji pokok yang relatif kecil kadang memaksa mereka mencari pemasukan tambahan untuk nafkah mereka. Beberapa perwira bahkan terpaksa menjadi pengemudi taksi daring.

Untungnya, dalam suasana yang lebih demokratis, pendidikan dan latihan perwira militer diarahkan untuk menjadikan mereka lebih profesional. Akibatnya, kebanyakan perwira militer menjadi kompeten dalam banyak keahlian dan keterampilan sipil seperti di bidang manajemen.

Inilah mungkin yang membuat Luhut percaya diri menawarkan junior-juniornya mengisi jabatan-jabatan dalam birokrasi sipil.

Kembalinya dwifungsi: mungkinkah?

Setelah hampir 20 tahun menjadi lebih demokratis, mungkinkah militer kembali ber-dwifungsi?

Dari sudut pandang internal militer kemungkinannya kecil karena adanya kebijakan restrukturisasi TNI. Sejak masa kepresidenan Abdurrahman Wahid pengisian jabatan sipil oleh perwira militer sudah mulai dikurangi. Pada masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, seorang jenderal Angkatan Darat yang terkenal akan komitmennya pada demokrasi, restrukturisasi ini selesai dilaksanakan dengan hasil yang memuaskan.

Kebanyakan prajurit Indonesia kini bangga dengan julukan profesional yang diberikan padanya. Mereka juga menyesali dan merasa malu akan pengalaman institusi mereka sepanjang Orde Baru.

Di lain pihak, lembaga-lembaga pemerintah juga menunjukkan keprofesionalan mereka. Era Reformasi sejak akhir 1990an telah meningkatkan pengaruh birokrasi sipil, setelah bertahun-tahun tunduk pada rezim otoriter yang didukung militer.

Proses rekrutmen di lembaga-lembaga pemerintahan telah dirancang untuk berdasar pada keterampilan dan kompetensi. Jika lembaga-lembaga ini berencana untuk merekrut perwira militer, mereka harus menempuh proses yang sama dengan calon-calon lainnya.

Dengan semakin banyaknya warganegara Indonesia yang berdinas di ketentaraan memiliki kapasitas dan keterampilan profesional, masuk akal jika sumberdaya ini dimanfaatkan. Justru tidak masuk akal jika perwira-perwira generasi baru ini dihalangi untuk memasuki sektor publik karena dosa-dosa institusinya di masa lampau.

Meski demikian, harus diakui bahwa rekrutmen sektor publik berbasis kompetensi ini belum terbukti dapat menjamin bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan militer di masa lalu tidak akan terjadi lagi. Mungkin satu-satunya cara agar publik dapat menerima militer dalam jabatan-jabatan sipil adalah dengan tindakan nyata baik pemerintah maupun militer untuk terus mendukung demokrasi setulus hati.

Penangkapan akademisi aktivis karena menghina militer di bawah pemerintahan Jokowi (yang didukung oleh jenderal-jenderal dari zaman Orde Baru) belum mampu menunjukkannya. Jadi, tentu saja, hal ini masih butuh waktu.

Ariza Muthia telah berkontribusi dalam penerbitan artikel ini

If so, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. With the latest scientific discoveries, thoughtful analysis on political issues and research-based life tips, each email is filled with articles that will inform you and often intrigue you.

Editor and General Manager

Find peace of mind, and the facts, with experts. Add evidence-based articles to your news digest. No uninformed commentariat. Just experts. 90,000 of them have written for us. They trust us. Give it a go.

If you found the article you just read to be insightful, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. Each newsletter has articles that will inform and intrigue you.

Komentari artikel ini

Kenapa konsep dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia [ABRI] ini muncul dan direalisasikan pada era Orde Baru? Kita mesti lihat gimana konteks kehidupan bernegara pada era tersebut. Nah, selepas Indonesia berperang mempertahankan kemerdekaan dan adanya berbagai operasi militer untuk menumpaskan ancaman terhadap kedaulatan Indonesia, tentara Indonesia mengalami kebuntuan untuk ikut berpartisipasi bagi kemerdekaan.

Kita tahu kalau setelah Indonesia merdeka, ada berbagai tantangan dari pihak luar yang mengancam kedaulatan Indonesia. Semua tantangan ini, kan, dihadapi oleh tentara Indonesia. Namun, setelah tantangan-tantangan dari pihak luar tersebut mulai terkikis satu per satu, pemerintah era tersebut mulai berpikir bagaimana caranya supaya tentara Indonesia bisa terlibat lagi untuk negara ini.

Ibaratnya, kalau Avengers-nya Marvel berhasil melawan musuh-musuh yang mengancam dunia dan semua musuh tersebut sudah dikalahkan, selanjutnya, mau ngapain lagi? Kira-kira begitu, ya, ilustrasinya, hehe.

Konsep dwifungsi ABRI pertama kali digagas oleh Abdul Haris Nasution pada pidatonya di ulang tahun Akademi Militer Nasional tanggal 13 November 1958. Gagasan tersebut diperkenalkannya dengan istilah Jalan Tengah. Gagasan tersebut pada akhirnya diresmikan sebagai kebijakan politik era Orde Baru lewat Undang-Undang Nomor 82 Tahun 1982.

Potret Abdul Haris Nasution [Dok. Wikimedia Commons].

Baca Juga: Latar Belakang dan Visi Pemerintahan Masa Orde Baru – Materi Sejarah Kelas 12

Tentara Indonesia tidak ingin terlalu mengintervensi pemerintahan dan merusak demokrasi karena hal tersebut justru akan berubah menjadi “junta militer”, yaitu pemerintahan diktator militer. Oleh karena itu, kebijakan dwifungsi ABRI ini dipercaya dapat mengakomodasi kebutuhan tentara Indonesia untuk terus berpartisipasi selepas kemerdekaan Indonesia.

Sebelum lanjut, kalau elo mau nonton video pembahasan tentang konsep dwifungsi ABRI secara lebih lengkap, bisa diakses lewat link di bawah ya!

Setelah penyerahan kedaulatan pada 1949, tentara kembali mendapat “sambutan" zaman seiring gencarnya aksi separatisme di sejumlah daerah dalam usia Republik yang masih muda. Militer kembali ke medan laga.

Pada tahun-tahun penuh pergolakan itu, terbit Undang-undang Nomor 74 tahun 1957 tentang Pencabutan Regeling op de Staat van Oorlog en Beleg [undang-undang keadaan bahaya dari zaman kolonial] dan Penetapan Keadaan Bahaya.

Undang-undang yang mengatur wewenang militer dalam keadaan bahaya atau kondisi darurat perang ini membuka peluang bagi tentara untuk mengeluarkan perintah atau peraturan yang menyangkut keamanan dan ketertiban umum.

“Militer di Indonesia mulai memiliki peran signifikan dalam perpolitikan pasca dikeluarkannya Undang-undang Keadaan Darurat Perang [Martial Law] atau dikenal dengan sebutan SOB [staat van oorlog en beleg] pada tahun 1957," tulis Connie Rahakundini Bakrie dalam Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal [2007], yang ia kutip dari Jusuf Wanandi.

Setelah kondisi darurat perang dicabut, Nasution memperkenalkan konsep “jalan tengah" yang membuka jalan bagi militer—meski perang telah berakhir—untuk tetap “hadir" dalam kehidupan sipil atas nama stabilitas nasional.

Konsep ini kemudian dimatangkan pada zaman Orde Baru oleh Soeharto dengan nama Dwifungsi ABRI. Selama puluhan tahun bos Orde Baru ini membuat kedudukan militer begitu kuat. Tentara diberikan kesempatan yang amat luas untuk menduduki sejumlah jabatan sipil di pemerintahan.

Mereka yang dapat dengan mudah menyandang senjata itu hadir dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan sektor lainnya. Pada masa itu jabatan-jabatan seperti menteri, gubernur, dan bupati/walikota, banyak diisi anggota militer aktif.

Apa yang diungkapkan Robertus Robet dalam Aksi Kamisan pada 28 Februari 2019 adalah soal dwifungsi ini. Robet menekankan pentingnya supremasi sipil dalam kehidupan demokrasi kiwari. Tentara, sebagaimana mestinya, harus tetap di barak, fokus dan setia pada tugas pokoknya.

Baca juga: Mantan Kasum TNI Klaim Tentara Aktif di Kementerian Bukan Dwifungsi

Isu banyaknya perwira tinggi dan menengah TNI seperti jenderal dan kolonel, yang tidak memiliki jabatan [non-job], terus dibicarakan jelang Pemilu 2019. TNI pun saat ini mengalami surplus perwira. Di mana jumlah perwira yang ada melebihi jumlah posisi yang tersedia.

Baca Juga: Melihat Kembali Dwifungsi ABRI di Era Orde Baru

Berdasarkan data Februari 2018, TNI kelebihan jenderal sebanyak 141 orang. Lalu dari jumlah tersebut, setidaknya ada 63 jenderal TNI AD, 45 dari TNI AL, dan 37 orang dari TNI AU. Tak hanya itu saja, TNI berpangkat kolonel yang non-job juga memiliki jumlah yang sangat besar yakni 790 orang, dengan rincian sebanyak 469 kolonel TNI AD, 214 dari TNI AL, dan 140 dari TNI AU.

Terkait kondisi ini, pemerintah sebenarnya tak tinggal diam dan sejauh ini sudah banyak langkah dan kebijakan yang diambil untuk mengatasi hal tersebut. Misalnya saja pemerintah berusaha menciptakan jabatan-jabatan baru untuk para perwira TNI non-job tersebut. Sayangnya, cara itu belum berdampak signifikan apalagi sampai menuntaskannya.

Pada masa SBY misalnya, struktur organisasi TNI diperluas. Lebih rinci, misalnya tipe Komando Resort Militer atau yang lebih dikenal dengan sebutan Korem dispesifikasi menjadi A dan B. Korem sendiri merupakan komando pembinaan dan operasional kewilayahan TNI Angkatan Darat di bawah Kodam. Korem membawahi beberapa Komando Distrik Militer atau Kodim, satuan pendukung seperti Polisi Militer, Zeni Bangunan, Pembekalan dan Angkutan, Peralatan, Perhubungan, Kesehatan dan lainnya.

Korem dipimpin oleh seorang Komandan Resort Militer biasa disebut Danrem dengan pangkat Brigjen TNI untuk tipe A dan Kolonel untuk tipe B. Tak hanya itu saja, jenjang kepangkatan untuk suatu jabatan juga dinaikkan. Seperti asisten Pangkostrad yang sebelumnya dijabat kolonel sekarang dijabat brigadir jenderal.

Selain itu, jumlah kesatuan tempur TNI juga ditambah. Dalam penerapannya, penambahan kesatuan tempur TNI ini dilakukan dengan penciptaan beberapa brigade baru, terutama di TNI AD dan TNI AL. Ada pula usaha menempatkan perwira-perwira TNI di lembaga-lembaga negara yang masih berkaitan dengan kemiliteran seperti BIN, BNPT, Wantanas, Basarnas, dan lain sebagainya.

Bahkan, pada zaman SBY, dibangun Universitas Pertahanan. Universitas Pertahanan didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2011 dan ditetapkan melalui Surat Mendiknas Nomor 29/MPN/OT/2009 tanggal 6 Maret 2009 perihal Pendirian Unhan. Unhan sendiri akhirnya diresmikan oleh Presiden SBY pada tanggal 11 Maret 2009 di Istana Negara. Lembaga ini juga diharapkan mampu menampung surplus perwira TNI yang terjadi.

Tak hanya di era SBY, di era Jokowi juga terjadi usaha untuk menyerap perwira TNI non-job lewat jabatan-jabatan baru. Di bawah Presiden Jokowi, misalnya TNI-AD menambah sekitar 60 jabatan untuk menampung para perwira yang non-job. Selain itu, Jokowi juga memperluas kebijakan peningkatan status Korem.

Kalau sebelumnya status Korem Tipe A hanya dibuat untuk daerah-daerah yang strategis dari sisi keamanan saja, kini Korem Tipe A diperluas di kota-kota besar. Tak hanya itu saja, TNI-AD juga memperbanyak kesatuan teritorialnya.

Diterbitkan: Maret 22, 2019 1.53pm WIB

.

×

Get news that’s free, independent and based on evidence. Get newsletter

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, yang juga seorang purnawirawan jenderal Angkatan Darat baru-baru ini mengeluarkan pernyatakan kontroversial dengan mengusulkan bahwa pemerintah bisa saja merekrut perwira-perwira militer untuk mengisi jabatan-jabatan di kementerian dan pemerintahan.

Banyak pihak menentang wacana Luhut untuk menerima militer dalam seleksi jabatan sipil, karena khawatir ini dapat mengembalikan kebijakan dwifungsi ABRI [Angkatan Bersenjata Republik Indonesia] era Orde Baru yang otoriter yang memungkinkan militer untuk terlibat dalam kehidupan sipil masyarakat. Pada saat itu tentara menduduki jabatan-jabatan di kementerian, Badan Usaha Milik Negara [BUMN], bahkan Dewan Perwakilan Rakyat [DPR].

Luhut menyangkal bahwa dirinya ingin mengembalikan peran militer seperti pada masa Orde Baru.

Namun, mereka yang menentang berpendapat bahwa usulan Luhut dapat membahayakan proses demokrasi di Indonesia yang sudah berjalan selama dua dasawarsa semenjak 1998. Presiden pada rezim Orde Baru, Suharto menggunakan militer dan peran dwifungsi ABRI untuk mempertahankan kekuasaannya yang berlangsung 32 tahun lamanya.

Join 175,000 people who subscribe to free evidence-based news. Get newsletter

Akan tetapi, sebagai ahli hukum administrasi negara yang meneliti reformasi birokrasi Indonesia, saya berpendapat bahwa selama personil tentara kompeten, mereka memiliki hak sebaliknya–seperti pendahulunya yang berjuang dalam Perang Kemerdekaan–untuk melayani publik.

Konsep Dwifungsi ABRI diilhami oleh semangat pejuang Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda antara 1945-1949. Semangat yang yang melibatkan seluruh warganegara dalam berjuang bagi negara selamanya relevan bagi Indonesia.

Saat ini, proses rekruitmen berdasarkan kompetensi telah menjadi bagian dari reformasi birokrasi, baik di organisasi kemiliteran maupun sipil, untuk menghindari penyelewengan kekuasaan yang pada masa lalu terjadi lagi.

Video yang berhubungan