Kelebihan dan kekurangan sistem PEMERINTAHAN Majapahit
Majapahit berhasil menghimpun kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dan beberapa kerajaan di Asia Tenggara daratan dalam menghadapi perkembangan arus global perdagangan dan politik internasional di kawasan Asia Tenggara. Show SEMULA, Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha yang berlandaskan ekonomi agraris. Kerajaan itu didirikan Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana pada 1293 dan dibangun dari reruntuhan Kerajaan Singhasari akibat pemberontakan Jayakatwang, raja kerajaan-daerah Kadiri. Majapahit berhasil mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14, pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang dibantu mahapatihnya, Gajah Mada. Pada masa itu, hasil bumi yang melimpah ruah dari daerah pedalaman yang subur diangkut ke berbagai daerah untuk diperdagangkan, melalui jalur darat, sungai, dan laut. Pada zaman Majapahit, perdagangan sekitar perairan Nusantara telah dikuasai para saudagar Jawa (Majapahit). Pada waktu itu mereka telah mengadakan hubungan perdagangan dengan daerah-daerah di luar Jawa, yaitu dengan Banda, Ternate, Ambon, Banjarmasin Malaka, dan Filipina. Beberapa pelabuhan di daerah pesisir Jawa merupakan pelabuhan tempat pengumpulan barang-barang hasil bumi, khususnya rempah-rempah dari Maluku yang akan diperdagangkan atau dipertukarkan dengan barang-barang lain kepada saudagar-saudagar asing di pelabuhan Malaka. Di daerah pesisir kemudian muncul kota-kota pelabuhan yang menjadi pusat-pusat perdagangan di antaranya Canggu, Surabaya, Gresik, Sidayu, Pasuruhan, Tuban, dan Jepara yang ramai dikunjungi para pedagang dari Nusantara, Tiongkok, dan Arab. Lalu, akhirnya sekitar tahun 1500 datang pula orang-orang Eropa ke Nusantara. Sejalan dengan perkembangan perdagangan dan pelayaran antarpulau dan antar-Kerajaan Majapahit pun telah mengembangkan konsep kehidupan sosial-ekonominya dan berpaling dari sebuah kerajaan agraris menjadi sebuah kerajaan yang semikomersial dan menguasai perdagangan dan pelayaran di sekitar perairan Nusantara hingga puncak kejayaannya. Pada masa kejayaan itulah Majapahit berhasil menghimpun kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dan beberapa kerajaan di Asia Tenggara daratan dalam menghadapi perkembangan arus global perdagangan dan politik internasional di kawasan Asia Tenggara. Perkembangan ini telah menumbuhkan kesadaran dan kesatuan kerajaan-kerajaan di Nusantara dibawah pimpinan Majapahit dalam suatu jalinan kerja sama regional untuk kepentingan bersama yang dijalin dalam hubungan persahabatan. “Pendapat bahwa Majapahit menjajah kerajaan-kerajaan di Nusantara perlu diluruskan. Sebab yang tepat, Majapahit itu menjalin kerja sama dengan kerajaan-kerajaan itu,” terang arkeolog dan ahli Majapahit dari Universitas Indonesia Hasan Djafar saat menjadi narasumber dalam diskusi budaya yang dihelat Jakarta Pauperum School of Art and Culture (Japa) di Galeri Cemara 6 Jakarta. Persahabatan Pada masa itulah kebesaran dan wibawa Majapahit berpengaruh luas di Nusantara. Majapahit menjalin kerja sama ekonomi dengan daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan di Nusantara (Desantara), dan oleh karena itulah daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan tersebut dilindungi Sri Maharaja Majapahit. Seperti disebutkan pada Pupuh XV: 1.4 Negarakertagama, bahwa pada waktu itu Majapahit telah memperluas hubungan regional ini dengan beberapa kerajaan yang ada di Asia Tenggara daratan dan bahkan yang ada di India. “Itulah di antaranya daerah-daerah yang dilindungi Sri Maharaja. Sesungguhnya Syangka, Ayodhyapura, Kimutang, Darmmanagari, Marutma, dan Rajapura. Terutama Singhanagari, Campa, Kamboja, selanjutnya Yawana adalah sahabat-sahabat yang kekal (yang sama kedudukan),” begitu yang disebut Empu Prapanca dalam Negarakertagama, Pupuh 15:1. “Hubungan ini dijalin dalam bentuk persahabatan atau Mitreka Satata,” tegas Djafar. Majapahit telah mampu mengembangkan kehidupan bernegara dengan penuh dinamika dan toleransi dalam keragaman berbangsa dan budaya. Konsep Persatuan Nusantara Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada itulah agaknya yang telah menginspirasi para Bapak Pendiri Bangsa pada masa awal Kebangkitan Nasional untuk dijadikan sebuah model persatuan Indonesia. Para pendiri Bangsa dan Negara Indonesia, khususnya Bung Karno, sangat sadar akan besar dan beratnya tantangan menegakkan kesatuan bangsa dan negara di atas hamparan kemajemukan sosial-budaya Nusantara. Salah satu terobosan Bung Karno adalah dengan melemparkan konsep suku-bangsa. Suku yang berada dalam ranah sosial-budaya digandengkan dengan konsep bangsa dalam ranah politik. Itulah analogi yang tepat untuk Indonesia. Analogi itu digunakan Bung Karno untuk menegaskan bahwa kebangsaan ialah daun meja yang hanya mampu tegak ajek bila ia ditopang kaki-kaki meja. Patut diingat bahwa berbeda dengan kaki-kaki meja yang merupakan benda mati, suku-suku terdiri dari warga manusia makhluk hidup yang punya pikiran, perasaan, sikap, dan aspirasi serta perilaku yang hidup bergerak. Menyatukan daun meja dengan kaki-kakinya jelas secara substantif sangat berbeda dengan menyatukan beragam suku, umat beragama, dan golongan-golongan dalam suatu kesatuan bangsa dan negara. Bung Hatta sudah mengingatkan bangsa kita pada 1950-an agar persatuan kebangsaan kita jangan sampai terjerembap menjadi persatuan bangsa. Artinya, persatuan Indonesia tidak boleh dipaksakan dengan kekerasan. Sesuai sila keempat dan kedua Pancasila, persatuan Indonesia harus diupayakan lewat jalan musyawarah yang dilakukan dengan tata-cara yang berperikemanusian yang adil dan beradab. Dari sejak zaman kerajaan-kerajaan masa lampau sampai dengan era Orde Baru, persatuan kebangsaan kita telah dibayar dengan biaya kemanusiaan dan biaya perkonomian yang sangat tinggi. Pengalaman pemberontakan di sejumlah daerah-daerah serta perlawanan separatisme seharusnya menjadi pengalaman berharga yang sangat mahal. Lalu, bagaimana harusnya merawat Indonesia yang sedemikian majemuk. Mengutip Sosiolog Thamrin Amal Tomagola yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut. “Indonesia harus dirawat dengan dengan menegakkan keadilan bagi seluruh warga negara.” (M-2) tirto.id - Presidensial (presidensiil) didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang puncak kekuasaannya diduduki oleh lembaga eksekutif atau presiden. Sejarah mencatat, Indonesia pernah dan masih menerapkan sistem ini meskipun tidak sepenuhnya murni. Dalam sistem presidensial, presiden memiliki hak paling tinggi sebagai kepala negara dan pemerintahan. Namun, ada dua lembaga lain (legislatif dan yudikatif) yang perannya mengawasi serta merumuskan UU negara yang nantinya dijalankan oleh presiden. Ribkha Annisa dalam artikel “Sistem Presidensial Indonesia" yang termuat di jurnal Cosmogov (Vol.4, No.2, 2018:249) menyebutkan, sistem presidensial memisahkan kekuasaan menjadi tiga, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif alias trias politica, yang memiliki peran dan wewenang masing-masing.
Di Indonesia, sistem ini pernah diterapkan pada masa setelah kemerdekaan. Namun, diungkap oleh Retno Saraswati lewat tulisan “Desain Sistem Pemerintahan Presidensial yang Efektif" dalam jurnal MMH (Vol.41, No.1, 2012) bahwa sistem pemerintahan Indonesia kemudian diganti menjadi demokrasi parlementer. Sistem presidensial kemudian diresmikan kembali oleh Indonesia setelah reformasi. Hal tersebut tercatat dalam keputusan MPR mengenai arah perubahan agar pemerintahan Indonesia bisa lebih stabil (Retno Saraswati, 2012:139). Hingga kini, kesepakatan dan aturan sistem tersebut diberlakukan oleh RI dalam UUD 1945 setelah amandemen. Contoh cirinya seperti “Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan" (UUD 1945 Pasal 4 Ayat 1) dan beberapa gambaran lainnya.
Baca juga:
Sejarah Konsep Sistem PresidensialKonsep sistem presidensial tidak dapat lepas trias politica yang diterangkan oleh John Locke melalui “Two Treatises on Civil Government" (1632-1704). Kemudian, pada 1748, Montesquieu dalam “Esprit des Lois" juga membahas perihal tiga kekuasaan dalam negara tersebut. Sejalan dengan itu, Rusadi Kantaprawira dalam Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar (1985:140) menuliskan bahwa trias politica yang dimaksud John Locke dan Montesquieu menyangkut tiga hal berikut ini:
Baca juga:
Sebelum presidensial, pemerintahan cenderung berada dalam satu genggaman kuasa. presiden atau raja yang mengepalai negara dan sering salah langkah. Singkatnya, setiap lembaga negara musti mengerjakan fungsi dan wewenang yang sudah diberikan. Dengan begitu, proses perjalanan negara dengan sistem presidensial yang satu sama lain masih saling mengawasi ini bisa menciptakan sebuah kemajuan baru. Namun, harus tetap mengedepankan kondisi konkret yang ada di masyarakat, mulai dari budaya, keyakinan, nilai, dan lain-lain. Kini, latar belakang tersebut bisa mempengaruhi lahirnya sistem pemerintahan presidensial yang berbeda-beda di setiap negara dunia. Misalnya, sistem presidensial di Indonesia berbeda dengan yang diterapkan di Amerika Serikat.
Baca juga:
Ciri-Ciri Sistem Presidensial
Baca juga:
Kelebihan Sistem Presidensial
Baca juga:
Kekurangan Sistem Presidensial
Baca juga:
Baca juga
artikel terkait
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
atau
tulisan menarik lainnya
Yuda Prinada
Subscribe for updates Unsubscribe from updates
|