Kelebihan dan kekurangan sistem proporsional tertutup

Merdeka.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai jika penerapan sistem pemilu proporsional terbuka masih relevan untuk diterapkan dibandingkan proporsional tertutup. Dengan daerah pemilihan yang diperkecil, jumlah caleg tiap dapil sudah berkurang.

"Oleh karena itu dalam pandangan kami sendiri, kalau menerapkan pemilu serentak nasional sesungguhnya untuk DPR RI masih relevan memakai proporsional terbuka. Karena dapil (daerah pemilihan) sudah diperkecil, kalau dapil diperkecil jumlah caleg juga berkurang, sebenarnya lebih sederhana," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini saat dihubungi merdeka.con, Senin (8/6).

Dalam draft RUU Pemilu 2020, DPR akan mengubah sistem menjadi proporsional tertutup. Menurut Titi, terdapat problem yang tidak menjelaskan terkait mekanisme rekrutmen caleg dalam internal partai.

"Walau dalam sistem pemilihan ini pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, termasuk proporsional terbuka maupun tertutup. Jadi kalau, misal pilihannya proporsional tertutup. Pembuat UU harus bisa memastikan dan menjamin demokratisasi di dalam partai," tegasnya.

"Karena kan, demokratisasi secara tertutup itu membuat pemilih tidak bisa memilih langsung calonnya. Oleh karena penempatan caleg dalam daftar nomor urut, itu bisa dipastikan dan dijamin betul dengan sistem demokratis," sambungnya.

Menurutnya, poin yang harus diperbaiki adalah pembuatan aturan yang jelas, tegas, dan transparan. Karena kecenderungan kompetisi kampanye pada caleg, penetapan, termasuk dana kampanye sering tidak terkontrol dengan baik.

"Jadi pada sistem proporsional terbuka maupun tertutup itu punya kelemahannya masing-masing, jadi butuh aturan yang lebih detail terkait mekanisme demokratisasi pada internal partai terkhusus mekanisme pencalonan caleg. Termasuk soal daftar caleg dari partai untuk lebih mengedepankan demokratisasi di internal partai," jelas Titi.

2 dari 2 halaman

Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai Indonesia belum siap dengan sistem proporsional tertutup dalam pemilu legislatif.

"Demokrasi kita tidak siap dengan Pemilu tertutup, selain melahirkan kekuasaan oligarki, kesejahteraan bersama akan sulit tercapai, dan sebaliknya akan menyuburkan politik balas jasa sekaligus menyuburkan sandera politik." kata dia, kepada merdeka.com Senin (8/6).

Meski begitu, sistem proporsional terbuka bukannya tanpa cela. Sistem tersebut pun akan berakibat buruk jika tidak didukung oleh kedewasaan pemilih.

"Memang selalu ada sisi buruk, sistem terbuka pun memerlukan kedewasaan pemilih. Tanpa itu produk pemilu sama buruknya dengan sistem tertutup," tegas dia.

Hanya saja, jelas dia dalam sistem proporsional terbuka, proses pengawasan dan kontrol sosial lebih mudah untuk dilakukan. Sementara sistem proporsional tertutup akan menutup akses masyarakat untuk melakukan kontrol.

"Dan itu buruk bagi demokrasi," tandas Dedi. (mdk/bal)

Baca juga:
Perludem Harap Model Pemilu Nasional dalam RUU Pemilu Dilaksanakan 2024, Bukan 2029
PAN Minta Ambang Batas Parlemen 4 Persen Dipertahankan
PAN Nilai Sistem Proporsional Tertutup Mengebiri Hak Rakyat
Komisi II DPR: Cuma PKS yang Minta Ambang Batas Presiden 10 Persen
Sistem Proporsional Tertutup Picu Praktik Jual Beli Nomor Urut Caleg
Golkar Usul Ambang Batas Parlemen 7%, Agar UU Pemilu Tak Direvisi Melulu

BibTex Citation Data :

@article{DLJ17295, author = {Mega Putri Rahayu*, Lita Tyesta A.L.W, Ratna Herawati}, title = {SISTEM PROPORSIONAL DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF DI INDONESIA}, journal = {Diponegoro Law Journal}, volume = {6}, number = {2}, year = {2017}, keywords = {Pemilihan Umum, Sistem Pemilihan Umum, Legislatif, Sistem Proporsional, Daftar Tertutup, Daftar Terbuka.}, abstract = { Di Indonesia telah berulang kali dilangsungkan pemilu. Salah satu aspek yang penting dalam penyelenggaraan pemilu adalah sistem pemilu yang digunakan. Terdapat berbagai macam sistem pemilu yang pernah diterapkan di Indonesia, salah satunya adalah sistem proporsional. Terdapat dua macam sistem proporsional yang pernah diterapkan di Indonesia yaitu sistem proporsional daftar tertutup dan sistem proporsional daftar terbuka. Kedua sistem ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Untuk itu perlu adanya pemahaman mengenai perkembangan sistem proporsional dalam pemilu legislatif di Indonesia, dan apa kelebihan serta kekurangan dari masing- masing sistem, sehingga dapat diketahui alasan dipilihnya sistem tersebut dalam pemilu legislatif di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Dispesifikasikan sebagai penelitian deskriptif, teknik pengumpulan data dengan cara studi pustaka untuk memperoleh data sekunder, dan teknik analisis data secara deskriptif analitis.Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perkembangan sistem pemilihan umum legislatif di Indonesia tidak mengalami banyak perubahan semuanya menggunakan proporsional, hanya saja pada masa sebelum reformasi sistem proporsional yang digunakan adalah sistem proporsional daftar tertutup, sedangkan setelah reformasi menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Selain itu masing- masing sistem memiliki kelebihan dan kelemahan yang dapat dilihat dari segi tingkat proporsionalitas perwakilan, sistem kepartaian, lembaga perwakilan, dan hubungan antara wakil yang terpilih dengan pemilih. }, pages = {1--11} url = {https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/17295} }

Republika/Adhi Wicaksono

Pemilu (ilustrasi)

Rep: Ahmad Islamy Jamil Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdebatan apakah Pemilu mendatang sebaiknya menggunakan sistem proposional terbuka atau tertutup kembali mengemuka, seiring dengan diajukannya revisi UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) oleh pemerintah.

Pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, wacana pemberlakuan kembali sistem proporsional tertutup pada Pemilu di Indonesia dikhawatirkan bakal memperkuat lagi sistem oligarki kepartaian dan menguatnya partai (struggle for power).

"Sistem semacam itu sering dianggap kembali ke model Pemilu semasa Orde Baru," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (23/7).

Pangi berpendapat, sistem proporsional tertutup memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya adalah mempersempit kanal partisipasi publik dalam Pemilu, serta menjauhkan ekses hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pascaPemilu.

Proporsional tertutup, lanjut Pangi, membuat komunikasi politik tidak berjalan secara efektif. Tidak hanya itu, krisis calon anggota legislatif juga menjadi sulit dihindari karena sedikitnya yang berminat  dan serius maju menjadi Caleg.

Hal itu disebabkan siapa-siapa saja yang duduk di parlemen nantinya sudah bisa diprediksi sejak jauh-jauh hari lantaran keputusannya ditentukan oleh partai.

"Pada sistem proporsional tertutup, partai berkuasa penuh dan menjadi penentu siapa-siapa saja yang akan duduk di kursi parlemen, setelah perolehan suara partai dikonversikan ke jumlah kursi," katanya.

Kendati demikian, kata Pangi, sistem Pemilu proporsional tertutup juga mempunyai beberapa keunggulan. Sistem ini dinilai mampu meminimalisasi politik uang karena biaya Pemilu yang lebih murah jika dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka.

Kelebihan lainnya, proporsional tertutup memastikan bahwa masyarakat cukup memilih partai dan biarlah partai yang akan mengirimkan kader-kader terbaiknya ke parlemen.

"Partai tahu betul siapa kader mereka yang punya kapasitas, integritas, serta narasi struktural dan kultural. Proporsional tertutup paling tidak mampu memompa wakil rakyat ke arah yang lebih baik," jelasnya.

Berkaca pada pelaksanaan dua Pemilu terakhir, kata dia, tidak sedikit kader  Parpol yang sudah berjuang dan bekerja keras membesarkan partai selama ini, justru tidak terpilih dalam pemilu legislatif.

"Deparpolisasi ilmiah pun menggeliat. Dengan modal uang dan popularitas, figur-figur yang masuk ke Parpol secara instan bisa terpilih tanpa harus bersusah payah menjadi pengurus partai," jelasnya.

Rancangan revisi UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) yang diajukan pemerintah memunculkan polemik klasik antara dua kutub yang saling berlawanan. Satu kelompok ingin mempertahankan sistem proporsional terbuka, sedangkan yang lainnya menghendaki kembalinya sistem proporsional tertutup.

  • revisi uu pemilu
  • sistem proposional tertutup
  • pemilu 2019

Kelebihan dan kekurangan sistem proporsional tertutup

Republika/Raisan Al Farisi

Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yuda (kiri)

Rep: Eko Supriyadi Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Hanta Yudha menilai, sistem proposional terbuka lebih baik daripada sistem tertutup. Menurutnya, sistem proporsional terbuka mampu memfasilitasi keanekaragaman masyarakat. ''Saya cenderung (Proporsional) terbuka, karena terbangun kedekatan antar pemilih. Ada keintiman antara pemilih dengan wakil rakyat,'' katanya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/1).Keuntungan lainnya dari proporsional terbuka adalah, pemilih bisa memberikan suara secara langsung, sehingga bisa memperkuat partisipasi dan kontrol publik. Selain itu, dinamika internal partai cenderung dinamis, sehingga lebih menggairahkan infrastruktur partai. ''Caleg populer juga dapat mendongkrak elektabilitas partai,'' ujarnya.Meski demikian, tidak ada sistem yang paling baik maupun unggul. Sistem Proposional terbukan juga memiliki kekurangan. Tergantung targetnya, apakah ingin memperkuat efektifitas pemerintahan atau memperkuat keterwakilan.Kekurangan dari sistem tersebut adalah mereduksi peran partai, serta menimbulkan kontestasi antar kader di internal partai.  Hanta menambahkan, karena begitu terbukan, sistem ini membuat lemahnya kontrol partai terhadap kandidat, dan menghambat kader ideologis partai.

''Kalau dipaksa tertutup, maka seleksi calon mesti terbuka. Kalau perlu dilakukan pemilu internal yang demokratis atau konvensi terbuka, itu bisa memberi solusi,'' jelasnya.

  • ruu pemilu
  • sistem proposional tertutup
  • sistem proposional terbuka

Kelebihan dan kekurangan sistem proporsional tertutup