Jakarta, CNN Indonesia -- Cerita soal Soeharto bukanlah sekedar kisah tentang korupsi seorang diktator lebih dari tiga dekade. Ia adalah seorang ayah yang peduli pada keluarganya. Namun, kepedulian itu dimanfaatkan sekelompok kecil orang dan mengorbankan kepentingan masyarakat banyak.
Sejak masuk lingkaran utama kekuasaan Orde Baru pada 1996, Yusril Ihza Mahendra [62] mengaku tak pernah mendapat sepeser pun uang dari Presiden RI ke-2 Soeharto. Hanya Siti Hartinah alias Ibu Tien yang sempat memberikannya semacam uang Tunjangan Hari Raya [THR].
"[Jumlah] duitnya Rp750 ribu, Rp500 ribu, Rp1 juta, sama baju batik. Tapi Pak Harto enggak pernah ngasih [uang]," aku dia, saat ditemui di kantornya, di Jakarta, Selasa [27/3].Ketika itu, Yusril adalah salah satu staf ahli di Sekretariat Negara. Salah satu tugas utamanya adalah memberikan masukan soal hukum tata negara dan menulis pidato bagi Soeharto.Dengan posisinya itu, Yusril mengaku dianggap Soeharto sebagai "anak kecil". Keuntungannya, kata dia, Soeharto bebas berbicara kepadanya tanpa terikat birokrasi.Lantaran itu pula ia menjadi salah satu dari sebagian kecil sekali pejabat yang bebas keluar masuk kediaman Soeharto di Jl. Cendana, Jakarta, terutama pada babak akhir kekuasaan Soeharto, Mei 1998.Yusril, yang kemudian hari menjabat Menteri Sekretariat Negara di era SBY ini, menyebut kedekatannya dengan Soeharto memberinya gambaran yang lebih utuh soal hari tuanya pascaberhenti dari kursi Presiden yang tak begitu mulus.Salah satu contohnya, keinginan memiliki rumah di Jl. Teuku Umar yang terhambat oleh harga yang mencapai Rp75 miliar. Sementara, jatah nilai rumah untuk mantan Presiden dari negara hanya mencapai Rp20 miliar. Hingga akhirnya, Soeharto hanya meminta bentuk tunainya saja "untuk memperbaiki rumah Cendana yang bocor-bocor"."Walau pun bilang Pak Harto korupsi, apa lah, enggak tahu lah ya kalau keluarganya memanfaatkan, orang kiri kanannya, pengusah-pengusaha, kalau Pak Harto-nya sendiri begitulah keadaannya," ucap dia.
Retnowati Abdulgani-Knapp, dalam buku autobiografi 'Soeharto, The Life and Leacy of Indonesia's Second President' [2007], menyebutkan bahwa desakan untuk menyelidiki rekening keluarga Soeharto makin tinggi usai penguasa Orde Baru itu berhenti dari kursi Presiden, 21 Mei 1998.
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, ketika itu, tunduk pada tekanan masyarakat.
Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib, dalam suratnya tanggal 4 Desember 1998, mengumumkan akan meminta keterangan Soeharto. Tiga orang Jaksa diterjunkan dalam penyelidikan di Pengadilan Tinggi, Jalan HR. Rasuna Said, Jakarta, 2 Desember 1998."Bagi keluarga Soeharto, ini merupakan tamparan keras karena mereka merasa seharusnya ada cara lain untuk menyelesaikan masalah penting ini secara lebih diplomatis," lanjutnya.Pelibatan Keluarga
Kedua, soal yayasan. Soeharto menekankan bahwa ia tidak menyesal mendirikan Yayasan Trikora, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, Yayasan Amal Muslim Pancasila, Yayasan Dana Abadi Karya Bakti [Dakab], Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri [Damandiri]."Soeharto menekankan yayasan adalah proyek kesayangannya yang ditujukan untuk membantu tujuan-tujuan yang dekat di hatinya dan ia berniat melanjutkan pekerjaan itu hingga akhir hayatnya."Yayasan-yayasan itu didirikan dengan Instruksi Menteri Keuangan. Bahwa, institusi keuangan diperintahkan untuk memberikan kontribusi wajibnya langsung kepada yayasan. Yakni, dari 5 persen dana yang dikumpulkan, 2,5 persen diberikan kepada Yayasan Supersemar, dan 2,5 persen diberikan kepada Yayasan Dharmais."Tidak ada dana digunakan untuk kepentingan politik maupun agama seperti ke Yayasan Dakab Amalbakti Muslim Pancasila. Lebih penting lagi, dana yang terkumpul disimpan di bank-bank pemerintah dan masih disimpan di sana sampai sekarang," disebut dalam buku itu.Pengusaha-pengusaha yang menyetorkan uang ke yayasan-yayasan itu melihat celah pengembalian dananya melalui anak-anak Pak Harto.Dana Disetop
Pada tanggal 11 Oktober 1999, Jaksa Agung mengeluarkan instruksi untuk menghentikan investigasi karena tidak ada bukti yang ditemukan bahwa, dalam kapasitasnya sebagai ketua yayasan, Pak Harto terlibat dalam praktik korupsi.Namun, ada beberapa instruksi lain untuk menginvestigasi Soeharto terkait pengumpulan dana yayasan dalam kedudukannya sebagai Presiden. Kejaksaan Agung menyerahkan kasus itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena tekanan publik.Pada tanggal 6 Desember 1999, pengadilan dibuka kembali. Sidang kesaksian dilakukan dari tanggal 31 Agustus 2000 hingga 28 September 2000.Pada tanggal 2 September 2000, Kantor Kejaksaan Agung meminta satu tim dokter untuk memeriksa kesehatan Pak Harto agar investigasi dapat berlanjut ke pengadilan.Sebanyak 19 dokter ahli kemudian mempresentasikan hasil pemeriksaan terhadap Seoharto, pada 27 September 2000. Kesimpulannya, Pak Harto tak dapat diadili karena masalah jantung, ingatan yang hilang, serta kesulitan berkomunikasi.Pada 28 September 2000, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus tidak dapat menerima kasusnya. Pak Harto dibebaskan dan kasusnya dikembalikan dan dihapus dari daftar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.Permisif
Jusuf Wanandi, salah satu pendiri Center for Strategic and International Studies [CSIS], dalam bukunya 'Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998 [2014], mengakui bahwa kelemahan utama Soeharto adalah tidak pernah mengambil posisi yang tegas dalam penanganan korupsi."Sejak 1967 ia mengutarakan pendapatnya bahwa 5 persen atau 10 persen komisi bagi pejabat yang menangani proyek adalah hal wajar. Ia tidak mempertimbangkan secara cermat kemungkinan para pejabat itu mempunyai konflik kepentingan dan berakibat dianggap salah di mata masyarakat dan elite politik. Sikap ini tidak pernah berubah sepanjang hidupnya," papar dia.Dalam pidatonya pada persemian museum serangan 1 Maret 1994 di Yogyakarta, Soeharto mengatakan, "Kewajiban utama kita adalah merawat keluarga karena kita sudah banyak berbuat bagi negara dan bangsa.""Berdasarkan falsafah hidupnya, ketika mempertimbangkan mana yang lebih penting antara kepentingan keluarga dan nilai-nilai antikorupsi, jelas bahwa ia menempatkan keluarga sebagai kepentingan paling tinggi," ucap Jusuf.Louise Williams, koresponden Sydney Morning Herald, dalam tulisannya berjudul 'Bussines as Usual' pada 14 Maret 1998, menggambarkan bahwa sistem Orde Baru yang diciptakan Soeharto tidak hanya menghilangkan iklim perbedaan pendapat.
Sistem ini juga menguntungkan bagi siapapun yang mampu memberikan dukungan. Bagi militer, Orba menawarkan kesempatan di dunia bisnis bagi para perwira. Bagi birokrat, struktur ini memberi peluang bagi tumbuhnya sogok-menyogok dan korupsi kecil-kecilan dalam setiap urusan rakyat banyak yang melibatkan Pemerintah. [arh/arh]