Kenapa pemahaman masyarakat tentang pajak rendah

Pengetahuan dan pemahaman akan peraturan perpajakan adalah proses dimana wajib pajak mengetahui tentang perpajakan dan mengaplikasikan pengetahuan itu untuk membayar pajak. Suryadi [2006] dan Hardiningsih [2011] dalam penelitianya menyatakan bahwa meningkatnya pengetahuan perpajakan baik formal dan non formal akan berdampak postif terhadap kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak.Menurut peneliti [Hariyanto, 2006 dalam Hardiningsih, 2011] menemukan bahwa rendahnya kepatuhan wajib pajak disebabkan oleh pengetahuan wajib pajak serta persepsi tentang pajak dan petugas pajak yang masih rendah. Sebagian Wajib Pajak memperoleh pengetahuan pajak dari petugas pajak, selain itu ada yang memperoleh dari media informasi, konsultan pajak, seminar dan pelatihan pajak.

Pemahaman peraturan perpajakan adalah suatu proses dimana Wajib Pajak memahami dan mengetahui tentang peraturan dan undang-undang serta tata cara perpajakan dan menerapkannya untuk melakukan kegiatan perpajakan seperti, membayar pajak, melaporkan SPT, dan sebagainya. Hal tersebut dapat diambil contoh ketika seorang Wajib Pajak memahami atau dapat mengerti bagaimana cara membayar pajak kendaraan bermotor. Ketika Wajib Pajak memahami tata cara perpajakan maka dapat pula memahami peraturan perpajakan, dengan begitu dapat meningkatkan pengetahuan serta wawasan terhadap peraturan perpajakan.

Pengaruh pengetahuan dan pemahaman pajak

Rahadi [2014] menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Pemahaman Wajib Pajak tentang peraturan perpajakan merupakan penyebab internal karena berada di bawah kendali wajib pajak sendiri. Tingkat pengetahuan dan pemahaman Wajib Pajak yang berbeda-beda akan mempengaruhi penilaian masing-masing Wajib Pajak untuk berperilaku patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Tingkat pemahaman Wajib Pajak tinggi akan membuat Wajib Pajak memilih berperilaku patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.

Menurut Budiartha [2013] menyatakan bahwa kurangnya upaya Wajib Pajak dalam memperhatikan sosialisasi atau iklan yang telah dilakukan oleh pihak aparat pajak, membuat Wajib Pajak cenderung tidak patuh dalam membayar kewajiban perpajakan.


Wajib Pajak yang akan membayar pajak tentunya perlu memahami manfaat dalam membayar pajak dan fungsi dari pajak itu sendiri. Semakin tingginya pemahaman tentang peraturan perpajakan, maka Wajib Pajak akan semakin patuh dalam membayar pajak.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan dalam beberapa tahun terakhir penerimaan pajak di Indonesia masih sangat rendah. Selain penerimaan pajak nasional yang belum optimal, rasio pajak juga mengalami penurunan bahkan lebih rendah dibandingkan dengan negara lain.

“Penerimaan pajak kita dalam beberapa tahun terakhir jauh di bawah target. Kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan hartanya masih rendah sehingga membuat rasio pajak menjadi kecil,” katanya, Kamis [20/10] saat menyampaikan keynote speech dalam seminar “What Motivates Tax Compliance?” di Fakultas Ekonomika dan Bisnis [FEB] UGM.

Sri Mulyani menyebutkan regulasi perpajakan yang rumit menjadi salah satu penyebab rendahnya kepatuhan pajak masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah akan melakukan perbaikan regulasi perpajakan.

“Kita lakukan amandemen RUU Undang-Undang Perpajakan [KUP] dan RUU Pajak Penghasilan [Pph]. Regulasi pajak kita perbaiki supaya tidak menciptakan kompleksitas dan bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak,” paparnya.

Sementara itu, dari sisi administrasi pajak, pemerintah mendorong perbaikan pada Direktorat Jendral Pajak [DJP]. Dengan membangun dan memperkuat profesionalisme dan integritas sumber daya manusia dalam pelayanan perpajakan. Hal ini dilakukan dengan menciptakan kemudahan dalam pembayaran, pelaporan, serta akses infromasi perpajakan berbasis pada teknologi informasi. 

“Untuk meningkatkan rasio pajak, pemerintah menetapkan kebijakan tax amnesty [pengampunan pajak],” tuturnya.

Seperti diketahui, pemerintah memasang target penerimaan pajak sebesar Rp.1.495,9 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017. Jumlah tersebut, sebanyak Rp1.271,7 triliun berasal dari pajak non migas. Sementara itu, sisanya bersumber dari kepabeanan dan cukai sebanyak Rp.191,2, triliun dan PPH Migas Rp.33 triliun.

Dalam seminar tersebut turut menghadirkan sejumlah narasumber lainnya. Diantaranya Prof. James Alm, Ph.D., President of Southern Economic Association, USA., dan Prof. Bambang Riyanto, Ph.D., serta Dr. Arti Adji yang merupakan dosen FEB UGM.

Prof. James Alm dalam kesempatan itu lebih banyak menyampaikan strategi untuk  meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Menurutnya, kepatuhan wajib pajak sangat bergantung pada pemahaman dan motivasi individu maupun perusahaan untuk memutuskan membayar atau tidak membayar pajak.

Kendati demikian, terdapat sejumlah cara yang dapat diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan dan memotivasi wajib pajak. Salah satunya, dengan deteksi dan pemberian sanksi. Cara lain bisa ditempuh dengan perbaikan dalam administrasi pajak yaitu menyediakan layanan yang lebih simpel dan mudah bagi wajib pajak dalam membayar pajak.

“Pemerintah pun harus mampu membangun kepercayaan dan meyakinkan masyarakat bahwa pajak yang dibayarkan dapat dikelola dengan baik,” jelasnya.

Sementara itu, Prof. Bambang Riyanto menyoroti tentang dampak struktur tarif cukai rokok terhadap tingkat kepatuhan cukai rokok pada industri rokok di Indonesia. Dari hasil survei tentang cukai rokok ilegal yang dilakukan UGM memperlihatkan adanya ketidakpatuhan industri rokok terhadap pelekatan cukai rokok yang telah ditetapkan pemerintah.

“Ketidakpatuhan ini diperkirakan karena adanya pengaruh struktur tarif cukai rokok Indonesia yang rumit terdiri dari 12 tingkatan tarif,” ujarnya.

Hasil penelitian yang dilakukan Bambang bersama Dr. Arti Adji dan Dr. Elan Satriawan dari FEB UGM menunjukkan bahwa industri rokok cenderung melakukan kecurangan yang lebih besar dalam kondisi struktur tarif cukai yang rumit. Sebaliknya, kecurangan minim dilakukan dalam kondisi struktur tarif cukai sederhana.

Menurutnya, kedepan penting untuk dilakukan penyederhanaan struktur tarif cukai  seperti dinyatakan dalam roadmap industri hasil tembakau. Isu keadilan dapat diakomodasi dengan jalan menerapkan tarif cukai menengah sehingga tidak mematikan industri rokok kecil. [Humas UGM/Ika]

PENGELAKAN PAJAK

DI NEGARA berkembang, tidak mudah untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, banyak faktor yang menyebabkan masyarakat masih enggan membayar pajak, mengelak pajak, serta bahkan tidak peduli tentang pajak. Terkait dengan keengganan tersebut, pernah dibahas dalam topik Kepatuhan Pajak: Pemerintah Mengapa Saya Harus Bayar Pajak?

Lebih lanjut, menurut Shiekh Sajjad Hassan dalam Buku Tax Audit Techniques in Cash Based Economies, merinci faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat mengelak membayar pajak sebgai berikut.

  1. Psikologis, Pajak Penghasilan [PPh] adalah pajak yang langsung dibebankan kepada masyarakat. Ketika masyarakat membayar pajak di akhir tahun, mereka sudah tidak punya uang lagi untuk membayar pajak karena penghasilan yang mereka peroleh telah habis dikonsumsi, ini tentu akan memberatkan. Lebih lanjut, secara psikologis, tidak ada seorang pun yang ingin berpisah dengan uang hasil jerih payahnya jika memang dimungkinkan.
  2. Historis, sebagian besar negara berkembang merupakan jajahan negara Eropa. Kemerdekaan negara berkembang didahului oleh perjuangan untuk dapat merdeka dari penjajah asing. Dalam perjuangan ini, secara politik, masyarakat diajarkan untuk tidak mematuhi hukum untuk membuat frustrasi penjajah, salah satunya dengan tidak membayar pajak. Paradigma inilah yang masih melekat bahwa pajak adalah produk Penjajah.
  3. Agama, di negara-negara berkembang, agama memainkan peran yang sangat penting. Para pemimpin agama, ada yang berpandangan bahwa pajak adalah warisan masa penjajahan dan tidak membayar pajak bukan merupakan dosa. Hal ini memberikan justifikasi yang kuat atas keengganan seseorang untuk membayar pajak.
  4. Kurangnya edukasi pajak, di negara-negara berkembang, tingkat pendidikan cukup rendah dan tidak ada pendidikan pajak sama sekali. Untuk orang yang tidak berpendidikan, sulit untuk memahami pentingnya membayar pajak. Baik pemerintah atau siapa pun di sektor swasta tidak melakukan upaya apapun untuk menjelaskan alasan untuk membayar pajak kepada masyarakat. Pajak sering dipandang sebagai hukuman.
  5. Kurangnya etika sosial, masyarakat di negara berkembang juga kurang memiliki etika sosial. Hukum tidak memiliki arti yang penting bagi mereka. Orang-orang selalu hanya memikirkan hak dan hak istimewa mereka. Kewajiban sangat tidak diperhatikan. Berdasarkan pemikiran ini, membayar pajak sebagai suatu kewajiban tentu menjadi jauh lebih sulit untuk dilakukan.
  6. Kurangnya tabu sosial, kepatuhan hukum diperlakukan sebagai tanda kelemahan dan mereka yang melanggar hukum dianggap pemberani. Ironisnya, di negara-negara berkembang, sejumlah besar masyarakat dengan bangga mengklaim kepada rekan-rekan mereka bahwa mereka tidak membayar pajak sama sekali.
  7. Kurangnya upaya pencegahan, di negara-negara berkembang, ratusan orang dipenjara setiap hari karena pencurian kecil-kecilan. Akan tetapi, meskipun terdapat banyak penggelapan pajak senilai miliaran, sangat sedikit wajib pajak yang dipenjarakan. Para pengemplang pajak tidak menganggap bahwa mengemplang pajak adalah tindakan yang mempunyai risiko pidana.
  8. Pembayaran transaksi melalui kas tunai, dalam ekonomi yang berbasis uang tunai, menyembunyikan penghasilan tidak hanya mudah, tetapi juga aman. Dalam sistem ekonomi seperti ini, pengelakan pajak memiliki lingkungan yang sangat kondusif untuk berkembang. Oleh karena itu, penyebarannya sangat cepat.
  9. Dorongan komersial, jika produsen atau importir menyembunyikan transaksinya, ia memaksa pedagang grosir untuk melakukan hal yang sama. Dengan demikian, pengecer di jalur selanjutnya, tidak punya pilihan selain menyembunyikan transaksi tersebut. Lebih lanjut, masih terdapat keinginan untuk menyembunyikan transaksi. Dalam budaya seperti ini, pembukuan/pencatatan yang jujur menjadi tidak mungkin. Bahkan, orang jujur ​​pun dipaksa mengikuti arus untuk menjadi tidak jujur.
  10. Kompleksitas hukum pajak, Undang-Undang Pajak Penghasilan [UU PPh] berkaitan dengan transaksi komersial dan harus mencakup berbagai transaksi yang sangat luas sehingga UU PPh bersifat kompleks. Kompleksitas ini memberikan cukup justifikasi bagi masyarakat awam untuk menggelapkannya.
  11. Prosedur pajak yang membosankan, apabila hukum pajak rumit, dapat diperkirakan prosedur administrasi pajak akan lebih rumit lagi. Oleh karena itu, kalua prosedur pajak rumit akan mendorong masyarakat menjauhi pajak selama mungkin.
  12. Tarif pajak yang tinggi, terakhir namun tidak kalah pentingnya, yaitu persoalan tarif pajak. Tarif yang tinggi akan memberikan justifikasi kepada masyarakat untuk mengelak membayar pajak. Tarif pajak yang rendah mungkin belum tentu juga mendorong masyarakat untuk membayar pajak, tetapi tarif yang tinggi jelas tidak kondusif untuk kepatuhan pajak.

Bagaimana pendapat Anda? Setujukah dengan argumen di atas…..

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề