Kerajaan Malaka pernah menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam se

Posisi Kesultanan Malaka yang strategis membuat banyak orang mendatanginya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Posisi Kesultanan Malaka yang strategis membuat banyak orang mendatanginya. Sama halnya ketika dalam masa kejayaannya Sriwijaya menjadi pusat pendidikan agama Buddha, Malaka pun punya posisi sebagai pusat penyebaran agama Islam.

Pengamat sejarah kebudayaan Islam dari UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Prof Dien Madjid mengatakan, Malaka merupakan pelabuhan transito perdagangan di mana orang-orang menunggu arus angin yang disesuaikan tujuannya.

Dulu, orang berlayar menggunakan kapal layar yang sangat bergantung pada arah angin. Ketika ia ingin ke arah timur, misalnya, ia harus menunggu angin yang tepat agar bisa mengantarkannya ke arah timur. Selama angin yang tepat ini musimnya belum datang, mereka singgah terlebih dahulu di bandar pelabuhan terdekat. Mereka tinggal kemudian berbaur dengan penduduk setempat, bahkan ada yang menikah.

Selama singgah ini merupakan masa di mana mereka bisa mengenalkan budaya dan agama yang mereka anut. Bagi para pedagang Muslim, yang kebanyakan berasal dari Arab, mereka juga melakukan dakwah dan menyebarkan agama Islam di tempat-tempat yang mereka singgahi seperti ini.

Para pedagang Muslim ini mau singgah ketika sang raja telah mendeklarasikan ia masuk Islam dan Kerajaan Malaka yang dipimpinnya adalah kerajaan Islam. Keputusan sang raja masuk Islam ini membuat Malaka menjadi semakin ramai karena para saudagar yang Muslim berkenan singgah. Malaka menjadi semakin besar dan menjadi pusat penyebaran agama Islam.

Malaka menjadi sebuah tempat transit yang bisa menyebarkan dan mengembangkan Islam dengan cepatnya. Selain para pedagang dari Arab, para ulama dari Demak dan Aceh juga bertemu dan menjadi satu di Malaka ini.

Islam disebarkan dengan berbagai media. Tak ada satu pun yang melalui jalur kekerasan. Kebanyakan adalah melalui dakwah dan menggunakan media majalah dan buku-buku yang berasal dari Arab langsung.

Pada masa itu, para ulama juga menggunakan budaya sebagai media dakwah. Salah satunya adalah melalui wayang, sama dengan yang dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Jawa. Inilah mengapa di Malaysia ada wayang dan mereka ngotot mengakui wayang adalah budaya miliknya.

Islam mudah diterima oleh orang Melayu yang kala itu menghuni daerah Malaka ini karena nilai-nilai keislaman yang diajarkan oleh para pedagang ini, mirip dengan budaya asli mereka. “Misalnya, sopan dalam perilaku, santun berbahasa, menghormati orang tua, saling silaturahim, gotong royong, dan nilai baik lainnya,” ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

tirto.id - Kerajaan Malaka berdiri di Semenanjung Malaya pada awal abad ke-15 Masehi. Sejarah kerajaan yang kemudian menjadi kesultanan setelah memeluk Islam ini dapat ditelusuri dari sedikit sumber yang masih bisa ditemukan.Lokasinya yang dekat dengan Selat Malaka membuat kerajaan ini pernah memiliki salah satu bandar dagang paling ramai di kawasan Asia Tenggara. Pusat pemerintahan kerajaan ini berada di Melaka, kini termasuk wilayah negara Malaysia.

Asal-usul berdirinya kerajaan di tanah Melayu ini ternyata berawal dari serangan Majapahit pada akhir abad ke-14 Masehi. Majapahit merupakan kemaharajaan besar bercorak Hindu-Buddha yang amat kuat dengan ibu kota di Trowulan, Jawa Timur.



Kala itu, Majapahit melakukan ekspansi hingga ke Tumasik (kini dikenal sebagai Singapura). Parameswara, raja kecil yang membawahi Tumasik, terpaksa melarikan diri. Bersama para pengikutnya yang masih tersisa, Parameswara menyusuri pesisir Selat Malaka.

Dalam When China Ruled the Seas: The Treasure Fleet of the Dragon Throne (2014) Louise Levathes menjelaskan, Parameswara kemudian mendirikan kerajaan baru di tepi Selat Malaka pada 1405 M. Negeri inilah yang dikenal dengan nama Kerajaan Malaka atau Melaka.


Sejarah Kerajaan Malaka

Menurut catatan Mariana dalam Modul Sejarah Indonesia Kelas X (2020:4), terungkap bahwa Raja Malaka pertama bernama Iskandar Syah. Sosok ini tidak lain adalah Parameswara setelah memeluk agama Islam.
Iskandar Syah menyadari dibutuhkannya pengakuan kerajaan lain terhadap kedaulatan Kerajaan Malaka. Oleh karena itu, ia kemudian mengirim beberapa orang ke Kekaisaran Tiongkok (Cina).Kaisar Zhu Di, pemimpin Dinasti Ming periode 1402-1424 M, menerima permintaan tersebut dengan syarat bahwa Malaka harus membayar upeti berkala kepada Kekaisaran Cina. Iskandar Syah pun sempat berkunjung ke Cina.
Kekaisaran Cina siap membantu apabila Kesultanan Malaka mendapatkan masalah. Hal tersebut terlihat pada 1409 ketika Malaka diserang Kerajaan Siam (Thailand), demikian ungkap Carl Vadivella Belle dalam Tragic Orphans: Indians in Malaysia (2014:6).

Pasukan dari Cina yang dipimpin panglima perang muslim bernama Laksamana Cheng Ho pun datang membantu Malaka hingga situasi kembali aman.

Tahun 1411, Iskandar Syah melakukan perjalanan yang kedua kalinya ke Cina. Menurut catatan Faridah Abdul Rashid dalam Research on the Early Malay Doctors 1900-1957 Malaya and Singapore (2012:61), Sultan Malaka ini dikawal 450 orang dalam lawatannya ke Tiongkok kala itu.


Masa Kejayaan Malaka

Kesultanan Malaka langsung mencapai masa kejayaan di era raja pertama yakni Sultan Iskandar Syah. Mariana dalam Modul Sejarah Indonesia Kelas X (2020:4) menyebutkan bahwa Malaka berkembang sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar yang disegani di Asia Tenggara.Kesultanan Malaka berhasil memperluas wilayahnya hingga mencakup seluruh daerah Semenanjung Malaya. Lokasinya yang strategis membuat kerajaan maritim ini cukup berpengaruh dalam perdagangan internasional pada masa-masa itu.Bukan hanya dalam perekonomian, Kesultanan Malaka juga menjadi salah satu pusat penyebaran dan pengajaran agama Islam, terlebih pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477). Sultan Mansyur Syah berhasil menjadikan Kesultanan Malaka menjadi pusat dagang dan pusat agama Islam di Asia Tenggara. Bahkan, ia juga berniat memperluas wilayah Malaka hingga ke Sumatera. Kejayaan Malaka ternyata justru menjadi incaran bangsa-bangsa asing, salah satunya adalah Portugis yang kala itu dipimpin oleh Raja Manuel I (1495-1521).

Menurut John Holland Rose dan kawan-kawan dalam The Cambridge History of the British Empire Arthur Percival Newton (1929:11), Portugis mengincar pelabuhan milik Kesultanan Malaka.

Portugis amat berhasrat menguasai bandar niaga tersebut karena lokasinya yang strategis yakni di jalur perdagangan Cina dan India. Hingga akhirnya, sebelum Kekaisaran Cina datang untuk membantu, Portugis berhasil menundukkan Kesultanan Malaka pada 1511 yang sekaligus mengakhiri riwayat kerajaan ini.

  • Sri Lestari
  • Jurnalis BBC Indonesia

Kerajaan Malaka pernah menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam se

Keterangan gambar,

Masjid Kampung Hulu Malaka merupakan salah satu masjid tertua di Negeri Malaka, Malaysia, sekaligus saksi bisu sejarah Kesultanan Malaka.

Negeri Malaka di Malaysia merupakan salah satu wilayah penting dalam penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara.

Sejak didirikan, Kesultanan Malaka mendapatkan pengaruh dari para pedagang Arab, India, dan Cina sekitar abad ke-14 dan ke-15. Maklum, Malaka merupakan kota pelabuhan dan lokasi perdagangan nan strategis.

“Pedagang dari India dan Arab itu mengajarkan Islam ke kesultanan yang ada di Malaka, kemudian menyebar ke Trengganu, Pahang, Johor,” jelas Profesor Zainal Kling, pakar sejarah Islam dari Universitas Malaya, Malaysia, kepada jurnalis BBC Indonesia, Sri Lestari.

Selain ke Semenanjung Malaya, Islam dari Kesultanan Malaka menyebar ke Sumatera dan Kalimantan. Hal ini, menurut Profesor Zainal Kling, tidak lepas dari latar belakang pendiri Kesultanan Malaka.

Keterangan gambar,

Suasana berbuka puasa di Masjid Kampung Hulu.

Kesultanan Malaka didirikan oleh Parameswara, yang merupakan orang Melayu beragama Hindu keturunan Raja Sriwijaya. Parameswara lalu mengganti nama menjadi Muhamad Iskandar Syah setelah masuk Islam.

Sultan Iskandar Syah lantas menguatkan relasi dengan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah yang kini menjadi Indonesia dengan menikahi putri dari Kerajaan Samudera Pasai di Aceh.

Tetapi, kejayaan Kesultanan Malaka ini tidak bertahan lama setelah datangnya pasukan Portugis dan Inggris pada 1511. Akibatnya, wilayah ini menjadi pusat pemerintahan kolonial.

Zainal mengatakan setelah diduduki Portugis, Inggris kemudian Belanda, Kesultanan Malaka pun runtuh. Pemimpin terakhirnya, Sultan Mahmud, melarikan diri ke Pahang lalu ke Johor. Dia meninggal pada 1628.

Keterangan gambar,

Makam Syamsudin Al Sumatarani, orang Aceh yang tewas ketika melawan penjajahan Portugis di Kesultanan Malaka.

"Keturunan langsung Sultan Malaka sempat berkuasa di Pahang dan Johor tetapi kemudian putus juga diganti dengan keturunan para temenggungnya," jelas Zainal.

Ketika Malaka berada dalam kekuasaan penjajah, pasukan Aceh pernah berupaya untuk menyerang kekuasaan Portugis. Namun, itu pun berakhir dengan kekalahan Aceh.

Dua tokoh penting pasukan Kesultanan Aceh, yaitu Panglima Pidi dan Syamsudin Al Sumatarani, meninggal. Jasad Panglima Pidi dimakamkan di Bukit Cina, sementara Syamsudin Al Sumatarani di Kampung Ketek di Malaka.

Keterangan gambar,

Masjid Kampung Kling yang bergaya arsitektur Cina merupakan bukti imbas keragaman budaya di Kesultanan Malaka.

Sejak penjajahan itu pula banyak pendatang dari Cina masuk yang dikenal dengan sebutan Babah dan Nyonya. Hingga kini jejak para pendatang dapat disaksikan melalui arsitektur kawasan kota tua Malaka.

Tak hanya itu, keragaman agama, budaya dan suku, toleransi beragama dapat langsung dirasakan.

Dua masjid tertua di Malaka, yaitu Kampung Hulu dan Kampung Kling, terletak di tengah-tengah permukiman etnis Cina. Di depan masjid, warung pun tetap diijinkan buka pada saat Ramadan.