Maharsi Wyasa terlahir dari seorang ibu yang bernama

Byasa [Sansekerta: व्यास; Vyāsa] [dalam pewayangan disebut Resi Abyasa] adalah figur penting dalam agama Hindu. Beliau juga bergelar Weda Wyasa [orang yang mengumpulkan berbagai karya para resi dari masa sebelumnya, membukukannya, dan dikenal sebagai Weda. Beliau juga dikenal dengan nama Krishna Dwaipayana.

Beliau adalah filsuf, sastrawan India yang menulis epos terbesar di dunia, yaitu Mahabharata.

Sebagian riwayat hidupnya diceritakan dalam Mahabharata. Dalam Mahabharata, dapat diketahui bahwa orangtua Resi Byasa adalah Bagawan Parasara dan Dewi Satyawati [alias Durgandini atau Gandhawati].

Kelahiran

Dalam kitab Mahabharata diketahui bahwa orangtua Byasa adalah Resi Parasara dan Satyawati. Diceritakan bahwa pada suatu hari, Resi Parasara berdiri di tepi Sungai Yamuna, minta diseberangkan dengan perahu. Satyawati menghampirinya lalu mengantarkannya ke seberang dengan perahu. Di tengah sungai, Resi Parasara terpikat oleh kecantikan Satyawati. Satyawati kemudian bercakap-cakap dengan Resi Parasara, sambil menceritakan bahwa ia terkena penyakit yang menyebabkan badannya berbau busuk. Ayah Satyawati berpesan, bahwa siapa saja lelaki yang dapat menyembuhkan penyakitnya boleh dijadikan suami. Mendengar hal itu, Resi Parasara berkata bahwa ia bersedia menyembuhkan penyakit Satyawati. Karena kesaktiannya sebagai seorang resi, Parasara menyembuhkan Satyawati dalam sekejap. Setelah lamaran disetujui oleh orangtua Satyawati, Parasara dan Satyawati melangsungkan pernikahan. Kedua mempelai menikmati malam pertamanya di sebuah pulau di tengah sungai Yamuna, konon terletak di dekat kota Kalpi di distrik Jalaun di Uttar Pradesh, India. Di sana Resi Parasara menciptakan kabut gelap nan tebal agar pulau tersebut tidak dapat dilihat orang. Dari hasil hubungannya, lahirlah seorang anak yang sangat luar biasa. Ia diberi nama Krishna Dwaipayana, karena kulitnya hitam [krishna] dan lahir di tengah pulau [dwaipayana]. Anak tersebut tumbuh menjadi dewasa dengan cepat dan mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang resi. Weda Wyasa Umat Hindu memandang Krishna Dwaipayana sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat bagian [Catur Weda], dan oleh karena itu ia juga memiliki nama Weda Wyasa yang artinya “Pembagi Weda”. Kata Wyasa berarti “membelah”, “memecah”, “membedakan”. Dalam proses pengkodifikasian Weda, Wyasa dibantu oleh empat muridnya, yaitu Pulaha, Jaimini, Samantu, dan Wesampayana. Telah diperdebatkan apakah Wyasa adalah nama seseorang ataukah kelas para sarjana yang membagi Weda. Wisnupurana memiliki teori menarik mengenai Wyasa. Menurut pandangan Hindu, alam semesta adalah suatu siklus, ada dan tiada berulang kali. Setiap siklus dipimpin oleh beberapa Manu, satu untuk setiap Manwantara, yang memiliki empat zaman, disebut Catur Yuga [empat Yuga]. Dwapara Yuga adalah Yuga yang ketiga. Purana [Buku 3, Ch 3] berkata:

Dalam setiap zaman ketiga [Dwapara], Wisnu, dalam diri Wyasa, untuk menjaga kualitas umat manusia, membagi Weda, yang seharusnya satu, menjadi beberapa bagian. Mengamati terbatasnya ketekunan, energi, dan dengan wujud yang tak kekal, ia membuat Weda empat bagian, sesuai kapasitasnya; dan raga yang dipakainya, dalam menjalankan tugas untuk mengklasifikasi, dikenal dengan nama Wedawyasa.

Tokoh Mahabharata

Selain dikenal sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat bagian, Byasa juga dikenal sebagai penulis [pencatat] sejarah dalam Mahabharata, namun ia juga merupakan tokoh penting dalam riwayat yang disusunnya itu. Ibunya [Satyawati] menikah dengan Santanu, Raja Hastinapura. Dari perkawinannya lahirlah Citrānggada dan Wicitrawirya. Citrānggada gugur dalam suatu pertempuran, sedangkan Wicitrawirya wafat karena sakit. Karena kedua pangeran itu wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati menanggil Byasa agar melangsungkan suatu yajña [upacara suci] untuk memperoleh keturunan. Kedua janda Wicitrawirya yaitu Ambika dan Ambalika diminta menghadap Byasa sendirian untuk diupacarai. Sesuai dengan aturan upacara, pertama Ambika menghadap Byasa. Karena ia takut melihat wajah Wyasa yang sangat hebat, maka ia menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, Byasa berkata bahwa anak Ambika akan terlahir buta. Kemudian Ambalika menghadap Byasa. Sebelumnya Satyawati mengingatkan agar Ambalika tidak menutup mata supaya anaknya tidak terlahir buta seperti yang terjadi pada Ambika. Ketika Ambalika memandang wajah Byasa, ia menjadi takut namun tidak mau menutup mata sehingga wajahnya menjadi pucat. Byasa berkata bahwa anak Ambalika akan terlahir pucat. Anak Ambika yang buta bernama Dretarastra, sedangkan anak Ambalika yang pucat bernama Pandu. Karena kedua anak tersebut tidak sehat jasmani, maka Satyawati memohon agar Byasa melakukan upacara sekali lagi. Kali ini, Ambika dan Ambalika tidak mau menghadap Byasa, namun mereka menyuruh seorang dayang-dayang untuk mewakilinya. Dayang-dayang itu bersikap tenang selama upacara, maka anaknya terlahir sehat, dan diberi nama Widura. Ketika Gandari kesal karena belum melahirkan, sementara Kunti sudah memberikan keturunan kepada Pandu, maka kandungannya dipukul. Kemudian, seonggok daging dilahirkan oleh Gandari. Atas pertolongan Byasa, daging tersebut dipotong menjadi seratus bagian. Lalu setiap bagian dimasukkan ke dalam sebuah kendi dan ditanam di dalam tanah. Setahun kemudian, kendi tersebut diambil kembali. Dari dalamnya munculah bayi yang kemudian diasuh sebagai para putera Dretarastra.

Wyasa tinggal di sebuah hutan di wilayah Kurukshetra, dan sangat dekat dengan lokasi Bharatayuddha, sehingga ia tahu dengan detail bagaimana keadaan di medan perang Bharatayuddha, karena terjadi di depan matanya sendiri. Setelah pertempuran berakhir, Aswatama lari dan berlindung di asrama Byasa. Tak lama kemudian Arjuna beserta para Pandawa menyusulnya. Di tempat tersebut mereka berkelahi. Baik Arjuna maupun Aswatama mengeluarkan senjata sakti. Karena dicegah oleh Byasa, maka pertarungan mereka terhenti.

Penulis Mahabharata

Pada suatu ketika, timbul keinginan Resi Byasa untuk menyusun riwayat keluarga Bharata. Atas persetujuan Dewa Brahma, Hyang Ganapati [Ganesha] datang membantu Byasa. Ganapati meminta Wyasa agar ia menceritakan Mahabharata tanpa berhenti, sedangkan Ganapati yang akan mencatatnya. Setelah dua setengah tahun, Mahabharata berhasil disusun. Murid-murid Resi Byasa yang terkemuka seperti Pulaha, Jaimini, Sumantu, dan Wesampayana menuturkannya berulang-ulang dan menyebarkannya ke seluruh dunia.


Om Swastiastu, Berikut ini saya ceritakan kisah kelahiran Dewi Satyawati dan Maha Rsi Wyasa. Semoga bermanfaat untuk dan menambah wawasan umat sedharma.


Ada seorang raja di kerajaan Chedi yg bernama Uparichara. Beliau adalah raja yang sangat baik dan bijaksana sehingga dewa indra menganugrahkannya sebuah wimana [semacam kereta terbang yg digunakan rahwana saat mnculik dewi sita]

Suatu hari beliau melanglang buana di angkasa dengan wimana tersebut. Melihat keindahan alam di kerajaannya, beliau langsung teringat dengan istrinya tanpa disadari air kama [air kehidupan] dari raja Uparichara keluar dari tubuhnya dan langsung jatuh di sungai yamuna. Air kama itu langsung ditelan oleh seekor ikan yg merupakan jelmaan dari bidadari yg brnama adrika yang dikutuk untuk menjadi seekor ikan. Dia bisa kembali ke kahyangan jika melahirkan anak manusia yg kembar buncing [laki dan perempuan ].

Singkat kata, ikan itupun hamil dan tertangkap jaring nelayan, saat si nelayan yang bernama dasabala itu membelah perut ikan itu, ia terkejut melihat sepasang anak kembar laki dan perempuan. Karna bingung akhirnya kedua bayi tersebut dibawa ke hadapan raja Uparichara dan menanyakan apakah ini adalah sebuah berkah atau kutukan.

Saat sang raja melihat kedua anak itu, ia tertarik dengan anak yang laki-laki karna sangat tampan dan berprabawa suci.

Anak itu kemudian akan menjadi Raja Matsya [raja di kerajaan wirata tempat pandawa melakukan penyamaran]

Sedangkan anak yg wanita itu juga berprabawa agung namun baunya sangat amis. Anak itu diberi nama Sugandhiwati kelak akan dikenal dgn nama Setyawati. 



Satyawati tunbuh menjadi gadis yang sangat cantik namun berbau amis...ia bertugas sebagai   penyeberang perahu.

Suatu hari, ada seorang Rsi yang bernama Parasara meminta untuk diseberangkan ke sisi lain Sungai Yamuna. Di tengah sungai itu, sang rsi tak henti-hentinya memandang Setyawati. Ia merasakan sebuah keagungan yang luar biasa dari setyawati dan melihat sebuah sejarah besar umat manusia akan terlahir darinya.

Atas petunjuk dewata, Rsi Parasara menyembuhkan Setyawati dari bau amisnya sehingga ia menjadi wanita yg benar-benar sempurna. Ia juga dianugrahi seorang putra yg diberi nama Krisna Dwipayana, karena ia terlahir di pulau hitam di tengah sungai yamuna, anak ini sangat spesial. Begitu lahir ia langsung dewasa dan menguasai ilmu weda.

Kelak anak ini akan menjadi seseorang yang memilah pustaka suci weda menjadi 4 dan menjadi pencatat sejarah kisah mahabharata dengan bantuan Dewa Ganesha. Beliau dikenal dengan gelar Rsi Vedavysa atau Rsi Wyasa



Rsi Wyasa pergi meninggalkan ibunya, namun sebelum pergi ia berpesan agar jika ibunya memerlukan bantuannya, ia akan datang saat itu juga. Suatu hari, Dewi Setyawati bertemu dengan seorang raja dari hastinapura yg bernama raja Santanu Kisahpun berlanjut ke kelahiran anak-anak dari Dewi Setyawati dan Sumpah Bisma ~~ Referensi : //web.facebook.com/notes/mahabharata-mahabharat-antv/kelahiran-dewi-satyawati-dan-maharsi-wyasa/1459751677593862 ***

Dewi Satyawati, Permaisuri Yang Ambisius Pemantik Kisah Perang Bharatayudha


Ambisi Seorang Permaisuri

“Keinginan berlebihan akan selalu mengecewakan, karena tidak setiap keinginan akan terpenuhi. Matematika alam tidak bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan dan pikirkan. Hukum Alam bekerja sesuai dengan Kehendak-Nya. Janganlah kita diperbudak oleh keterikatan serta keinginan kita.” [Krishna, Anand. [2002]. Fiqr Memasuki Alam Meditasi Lewat Gerbang Sufi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama]

Kisah seorang istri yang ambisius, yang suami dan anak-anaknya suka atau tidak suka terpaksa menuruti kemauannya adalah kisah yang masih up to date sampai kini. Dewi Setyawati, dalam versi India bernama Satyavati mempunyai ambisi kuat agar keturunannya menjadi Raja Hastina. Dewi Setyawati adalah seorang janda cantik dengan satu putra, dan Raja Hastina, Prabu Santanu ingin mempersuntingnya. Dewi Setyawati telah berputra Abhyasa atas perkawinan sebelumnya dengan Resi Parasara. Dewi Setyawati bersedia menjadi istri Prabu Santanu, apabila anak-anaknya kelak menjadi Raja Hastina. Dikisahkan Prabu Santanu senantiasa dalam kesedihan akibat istrinya yang telah memberikan seorang putra bernama Dewabrata kembali ke Kahyangan karena kesalahannya.

Setelah sang putra yang menginjak remaja, Prabu Santanu sering menyerahkan kerajaan kepada sang putra pada saat dia berburu ke hutan untuk menghilangkan kesedihan. Dalam kesedihan itulah dia bertemu dengan Dewi Setyawati dan jatuh cinta. Permintaan Setyawati agar anaknya menjadi raja Hastina, menambah kepusingan sang raja.

Sang Prabu Santanu sangat bingung, yang berhak menjadi putra mahkota adalah Dewabrata yang nantinya dikenal sebagai Bhisma, kalaupun Bhisma bersedia mengalah, maka anak keturunan Bhisma pasti tetap akan menuntut haknya, dan akan terjadi perang saudara pada wangsa Kuru, dinastinya.

Merepotkan Kehidupan Bhisma

Dewi Setyawati yang begitu terikat pada ambisi mempunyai anak kandung Raja Hastina, telah merepotkan sang suami dan anak tirinya. Setyawati lupa bahwa ambisi agar anak keturunannya menjadi Raja Hastina itu adalah Maya, Keinginan Duniawi yang tidak abadi. Mencari kebahagiaan pada yang tidak abadi tidak akan menghasilkan kebahagiaan abadi. “Tantangan Terberat bagi Kaum Perempuan adalah keterikatannya pada Maya. Maya berarti ‘ilusi’. Sebelum melanjutkan pendapat Paramhansa Yogananda, saya mesti menegaskan bahwa virus penyakit ini tidak hanya menyerang kaum perempuan saja. Kaum pria pun diserangnya. Kita semua, tanpa kecuali, terpengaruh oleh maya. Ada yang cepat tersadarkan, ada yang lamban, dan ada yang seumur hidup tidak pernah tersadarkan. Pengaruh maya menciptakan ilusi seolah materi itu langgeng. Kemudian ilusi tersebut menciptakan keterikatan.” [Krishna, Anand. [2012]. Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama]

Demi  kecintaan Bhisma terhadap negara Hastina, agar tidak terjadi perang saudara di kemudian hari, Bhisma bersumpah tidak akan kawin. Pengorbanan Bhisma yang begitu besar meningkatkan spiritual Bhisma, sehingga dia mendapat anugerah Hyang Widhi untuk bisa menentukan kapan saatnya meninggalkan jasadnya di dunia di kemudian hari. Bagi Bhisma pengabdian dan bhaktinya hanya untuk Ibu Pertiwi, untuk Hastina. Bhisma tidak melarikan diri ke puncak gunung sebagai pertapa. Dharma bhaktinya adalah mempersatukan negara. Kita melihat perbedaan nyata antara kecintaan Bhisma terhadap tanah tumpah darah dan kecintaan Dewi Setyawati terhadap ambisi pribadi.

Perkawinan Dewi Setyawati dengan Prabu Santanu melahirkan dua orang putra, Citragada dan Wicitrawirya. Citragada seorang yang sakti, akan tetapi sombong dan akhirnya mati sebelum kawin. Sedangkan Wicitrawirya adalah seorang yang lemah dan diperkirakan akan kalah dalam sayembara untuk mendapatkan pasangan seorang putri raja. Dewi Setyawati sangat sedih melihat nasib putra-putranya, tetapi dia tidak mau menyerah, dia membujuk Bhisma untuk mencarikan jodoh bagi Wicitrawirya.

Pengorbanan Abhyasa


Ketika Raja Kasi mengadakan sayembara bagi tiga putrinya, demi pengabdiannya kepada kerajaan Hastina, Bhisma ikut bertanding, menang dan memboyong ketiga putri untuk diberikan kepada Wicitrawirya. Dewi Ambalika dan Dewi Ambika menerima kondisi tersebut, akan tetapi Dewi Amba menolak, Dewi Amba hanya mau kawin dengan Bhisma.

Bhisma mengatakan bahwa dirinya telah bersumpah tidak akan kawin demi keutuhan Hastina. Bhisma menakut-nakuti Dewi Amba dengan anak panah yang secara tidak sengaja terlepas dan membunuh Dewi Amba. Bhisma tertegun, demi Hastina tanpa sengaja dia telah membunuh seorang wanita, Bhisma sadar dia pun nantinya harus terbunuh oleh seorang wanita.

Matinya Dewi Amba oleh anak panah Bisma yang tidak sengaja lepas mungkin akan sedikit berbeda dengan cerita-cerita yang umat sedharma saksikan di literatur ataupun di televisi. Jika umat sedharma memiliki referensi yang pasti, mohon berikan komentarnya.Suksma

Pengabdian Bhisma rupanya hampir sia-sia, karena Wicitrawirya pun meninggal sebelum memberikan putra. Dewi Setyawati juga tidak mau menyerah, dan meminta bantuan Abhyasa putera Setyawati dengan Resi Parasara untuk menikahi Dewi Ambalika dan Dewi Ambika. Abhyasa patuh terhadap ibunya walau sebenarnya tidak sreg memperistri mereka. Hidupnya sudah dipersembahkan kepada Hyang Widhi, dia mengumpulkan kitab-kitab Veda, dia ingin catatan-catatannya nantinya dapat mencerahkan umat manusia. Akan tetapi karena Kehendak Hyang Widhi, Abhyasa melakukan kehendak ibunya.

Kelahiran Destarastra, Pandu dan Widura serta Embryo Perang Bharatayudha


Alkisah, untuk menguji ketabahan Dewi Ambalika dan Ambika, konon Abhyasa membuat dirinya berwajah mengerikan. Ketika berhubungan suami istri dengan Abhyasa yang berwajah mengerikan, Dewi Ambalika menutup mata, dan lahirlah Destarastra yang buta. Sedangkan Dewi Amba melengoskan leher dan pucat pasi melihat wajah Abhyasa yang mengerikan, sehingga lahirlah Pandu yang ‘tengeng’, lehernya miring dan pucat.

Mereka berdua takut berhubungan suami istri dengan Abhyasa dan kemudian minta seorang pelayan melayani Abhyasa dalam kegelapan dan lahirlah Widura. Setelah memenuhi keinginan ibunya, Abhyasa meneruskan pekerjaan mulianya di luar istana.

Ambisi Dewi Setyawati untuk membuat anak keturunannya menjadi raja dalam perjalanannya mengalami banyak hambatan, bahkan akhirnya telah mengakibatkan anak cucunya, putra-putra Destarastra dan putra-putra Pandu melakukan perang saudara dalam perang Bharatayuda yang menghancurkan dunia.

Pandawa dan keturunannya, Raja Parikesit pun sebetulnya merupakan anak keturunan Dewi Kunti yang menggunakan mantra pembuat keturunan dari Resi Durwasa tanpa hubungan suami istri dengan Pandu, cucu Dewi Setyawati. Anak keturunan Dewi Setyawati lewat Destarastra punah akibat perang Bharatayuda. Sedangkan yang meneruskan tahta adalah keturunan Dewi Kunti. Kisah tersebut terjadi atas kehendak Hyang Widhi agar kita semua dapat mengambil hikmahnya.

Renungan

Di dalam diri kita pun terdapat potensi Dewi Setyawati yang tidak kenal lelah dalam merealisasikan gelora ambisi kita. Apabila di depan kita tersedia peluang, bukan tidak mungkin kita pun akan bertindak sama seperti Dewi Setyawati. Perkawinan awal Dewi Setyawati dengan Parasara, yang tanpa nafsu duniawi dan penuh kasih telah melahirkan Bhagawan Abhyasa yang akan dikenang sepanjang masa sebagai penulis kitab Mahabharata dan kitab Veda. Dulu keinginan Setyawati kawin dengan Resi Parasara hanya untuk menyembuhkan penyakitnya yang berupa bau tubuh yang “amis, bacin” sehingga mengganggu semua orang yang dekat dengan dirinya. Sedangkan perkawinan dengan Prabu Santanu ingin mempunyai putra seorang raja. Dewi Setyawati yang berbahagia sebagai istri seorang resi yang sederhana berubah karakternya melihat kegemerlapan seorang raja.

Mengapa menjadi ambisius? Renungan Shri Chaitanya.

Wahai Hyang Mahamenawan! Selama ini aku menjadi budak ambisi dan keinginan-keinginanku, Aku telah jatuh dalam lumpur hawa nafsu pancaindra. Gusti, aku tak mampu menggapaiMu, namun Kau dapat menemukanku. Aku tak berdaya, Engkau Mahadaya. Aku hanyalah debu dibawah kaki suciMu, angkatlah diriku dan berkahilah daku dengan kasihMu! Mengapa? Mengapa selama ini kita menjadi budak ambisi dan keinginan-keinginan kita sendiri. Karena kita terpesona oleh dunia benda, oleh bayangan Hyang Mahamenawan. Memang, bayanganNya saja sudah penuh pesona. Tapi alangkah tidak beruntungnya kita jika kita berhenti pada bayangan. Betapa meruginya kita jika kita tidak menatap Ia Hyang Terbayang lewat dunia benda ini. Ambisi dan keinginan kita sungguh tidak berarti, karena semuanya terkait dengan bayang-bayang. Kita mengejar bayangan keluarga, kekuasaan, kekayaan, kedudukan, ketenaran, dan sebagainya. Keinginan kita sungguh sangat miskin. Ambisi kita adalah ambisi para pengemis. Hyang Mahamenawan adalah raja segala raja. Ia adalah Hyang Terdekat, kerabat yang tak pernah berpisah, sementara kita masih menempatkan keluarga sejajar denganNya. Sungguh sangat tidak masuk akal. Silakan melayani keluarga. Silakan mencintai kawan dan kerabat. Tapi jangan mengharapkan sesuatu dari mereka semua, karena dinding kekeluargaan pun bisa retak. Persahabatan dapat berakhir. Kemudian, kau akan kecewa sendiri. Kekuasaan apa, kekayaan apa, kedudukan apa, dan ketenaran apa pula yang menjadi ambisimu? Jika kau menyadari hubunganmu dengan Ia Hyang Mahakuasa, dan Mahatenar adanya, saat itu pula derajadmu terangkat dengan sendirinya dari seorang fakir miskin, hina, dan dina menjadi seorang putra raja, seorang raja ! [Krishna, Anand. [2010]. The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama] Referensi :
  • //kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/
  • //www.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
  • //www.kompasiana.com/triwidodo

Om Santih, Santih, Santih Om

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề