Ketuhanan yang berkebudayaan” merupakan salah satu konsep rumusan dasar negara yang disampaikan oleh

Freepik.com

Isi Rumusan Pancasila dari 3 Tokoh Nasional

Bobo.id - Apakah teman-teman sudah tahu isi rumusan pancasila dari tiga tokoh nasional?

Sebelum menjadi dasar negara yang utuh, pancasila dirumuskan terlebih dahulu. Perumusan pancasila ini dilaksanakan pada sidang pertama BPUPKI.

Saat itu ketua BPUPKI, yaitu K.R.T Radjiman Wedyodiningrat menyampaikan perlunya ada dasar negara untuk membentuk negara Indonesia merdeka.

Ada tiga tokoh nasional yang pada saat itu memberikan usulan rumusan dasar negara. Mereka adalah Mohammad Yamin, Soepomo, dan Ir. Soekarno.

Apa isi rumusan pancasila dari tiga tokoh nasional ini? Yuk, kita cari tahu bersama-sama!

Baca Juga: Rumusan Dasar Negara Menurut Soekarno, Asal-usul Lahirnya Pancasila

1. Mohammad Yamin

Mohammad Yamin menyampaikan isi rumusan pancasila di sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Berikut isi rumusan dasar negara yang disampaikan:

1. Peri Kebangsaan

2. Peri Kemanusiaan

3. Peri Ketuhanan

4. Peri Kerakyatan

5. Kesejahteraan Sosial

2. Soepomo

Selanjutnya di sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, Soepomo menyampaikan rumusan pancasila. Berikut adalah isi rumusan pancasila yang diusulkan:

1. Persatuan

2. Kekeluargaan

3. Keseimbangan lahir dan batin

4. Musyawarah

5. Keadilan rakyat

Baca Juga: 7 Fungsi dan Peranan Pancasila bagi Bangsa Indonesia

3. Ir. Soekarno

Di hari terakhir sidang pertama BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno juga menyampaikan rumusan pancasila. 

Berikut adalah isi rumusan dasar negara dari Soekarno:

1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan

3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahteraan sosial

5. Ketuhanan yang berkebudayaan

Pada kesempatan itu juga Soekarno menyatakan kalau dasar negara yang ia sampaikan bernama Pancasila.

Panca artinya lima dan sila memiliki arti dasar atau asas.

Pembentukan Panitia Sembilan

Saat sidang pertama BPUPKI berakhir, dasar negara masih belum ditentukan. 

Karena itu ketua BPUPKI membentuk panitia kecil untuk menyempurnakan dasar negara dan menampung usulan dari anggota BPUPKI lainnya.

Rapat Panitia Sembilan menghasilkan rancangan pembukaan hukum dasar atau yang kita kenal dengan Piagam Jakarta.

Baca Juga: 5 Makna Lambang Pancasila, Mulai dari Bintang hingga Padi dan Kapas

Isi pancasila yang disampaikan pada Piagam Jakarta adalah sebagai berikut:

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun, pada 18 Agustus 1945 isi pancasila yang disampaikan di Piagam Jakarta diubah pada sila pertama.

Penyempurnaan Pancasila

Mulanya sila pertama berbunyi "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Setelah sila pertama diubah, maka saat itu pancasila sudah resmi menjadi dasar negara Indonesia.

Baca Juga: Contoh Sikap yang Tidak Sesuai dengan Nilai-Nilai Pancasila di Berbagai Lingkungan, Materi Kelas 5 SD Tema 1 

Isi pancasila yang sudah disempurnakan adalah sebagai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Nah, itulah tadi isi rumusan pancasila dari tiga tokoh nasional. Teman-teman harus selalu mengamalkan sila-sila pancasila dalam kehidupan sehari-hari, ya!

[Sumber: Buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas VII / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2017].

Tonton video ini, yuk!

----

Ayo, kunjungi adjar.id dan baca artikel-artikel pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar dan menambah pengetahuanmu. Makin pintar belajar ditemani adjar.id, dunia pelajaran anak Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Seorang guru menjelaskan kepada siswa mengenai Pancasila di Rumah Kebangsaan Pancasila, Desa Jogjogan, Cisarua, Bogor, Jawa Barat.

 

SAAT persiapan kemerdekaan Republik Indonesia, para tokoh negara saat itu mencoba merumuskan sebuah dasar negara yang akan menjadi fondasi dan cita cita negara. Sidang BPUPKI dan PPKI menjadi wadah dalam membentuk usulan dasar negara pada saat itu. Ada tiga calon dasar negara yang disampaikan oleh tiga tokoh negara yaitu Soekarno, Soepomo, dan Muh. Yamin.

Usulan dasar negara dari Muh Yamin

Baca juga: BPIP Dorong Lembaga Pendidikan Narasikan Nilai-nilai Pancasila di Lingkungan Sekolah dan Kampus

Usulan dasar negara dari Muh Yamin disampaikan pada sidang pertama BPUPKI, 29 Mei 1945, dengan isi usulan berikut;

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kebangsaan persatuan Indonesia
  3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Usulan dasar negara dari Soepomo

Usulan rumusan dasar negara selanjutnya disampaikan Soepomo. Usulan tersebut disampaikan pada sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945.

Usulan rumusan dasar negara Soepomo berisi lima prinsip yaitu:

  1. Persatuan
  2. Kekeluargaan
  3. Keseimbangan lahir dan batin
  4. Musyawarah
  5. Keadilan rakyat

Usulan dasar negara dari Soekarno

Usulan dasar negara ketiga diungkapkan oleh Soekarno. Usulan dasar negara tersebut berisi lima dasar yang disampaikan lewat pidato pada sidang pertama BPUPKI pada 1 Juni 1945.

Berikut usulan dasar negara yang diungkapkan Soekarno:

  1. Kebangsaan Indonesia
  2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
  3. Mufakat atau demokrasi
  4. Kesejahteraan sosial
  5. Ketuhanan yang berkebudayaan

Dari hasil perundingan dan perumusan tersebut, tidak serta merta melahirkan dasar negara. Pengesahan Pancasila terjadi pada saat rapat PPKI. Pada saat itu, Soekarno memberi usulan dasar negara diberi nama Pancasila, dengan “panca” berarti lima dan “sila” berarti dasar. [OL-1]

"Kapolri harus menunjukkan komitmen membersihkan kepolisian dari kasus-kasus narkoba. Saya menagih komitmen Kapolri untuk menerapkan...

Penangkapan Kapolda Jawa Timur Irjen Teddy Minahasa atas dugaan menjual sebagian barang bukti sitaan kasus narkoba telah membuat banyak...

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan kepada anggota Polri yang memiliki hidup mewah, tidak memiliki sense of crisis di tengah...

Sidang BPUPKI. [Wikimedia Commons].

1 Juni 1945. Di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI] Sukarno menyampaikan gagasannya mengenai dasar negara Indonesia. Dalam pidato yang disaksikan puluhan peserta sidang itulah kemudian Pancasila lahir.

Pada kesempatan itu, Sukarno menawarkan lima sila sebagai dasar negara: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan yang terakhir, Ketuhanan. Lima sila itu kemudian dinamai Pancasila.

Sukarno kemudian menawarkan lagi, “Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja.” Tiga sila itu adalah socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Dan jika ingin satu sila, kata Sukarno, maka tiga sila tersebut jika diperas menjadi satu kata yakni gotong-royong.

Polemik RUU HIP

Apa yang disampaikan Sukarno 75 tahun yang lalu itu belakangan muncul lagi dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila [RUU HIP]. Yang disebut Sukarno sebagai Trisila dan Ekasila itu muncul dalam Pasal 7 RUU HIP.

Merujuk draft RUU HIP pada laman resmi DPR, pasal 7 ayat [1] berbunyi, "Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan".

Kemudian pada ayat [2] disebutkan bahwa, "Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan". Sementara ayat [3] berbunyi, "Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat [2] terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong".

Baca juga: Makna Pidato Sukarno 1 Juni 1945 tentang Pancasila

Pasal 7 RUU HIP ini kemudian menimbulkan polemik. Beberapa ormas Islam khawatir pemakaian frasa "Ketuhanan yang Berkebudayaan" akan membuat Indonesia menjadi sekuler. Frasa itu dianggap mengesampingkan sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa.

Frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" itu awalnya muncul dalam pidato Sukarno pada 1 Juni 1945. Setelah ia menjabarkan empat sila yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi dan Kesejahteraan sosial, maka sampailah ia menjelaskan sila kelima.

"Prinsip Ketuhanan!" seru Sukarno. Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, lanjutnya, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Ia menyebut bahwa yang beragama Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang beragama Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw, dan orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab agamanya.

"Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme-agama'. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!" sebutnya.

Baca juga: Sejarah Peringatan Hari Lahir Pancasila

Dalam mengamalkan dan menjalankan agama, sambung Sukarno, juga hendaknya secara berkeadaban. Yakni dengan saling menghormati antaragama. Ia mencontohkan bahwa Nabi Muhammad Saw dan Nabi Isa juga telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain.

"Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” jelasnya.

Kekaburan Makna

Seturut dengan apa yang dikatakan Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945, Yudi Latif, mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila [BPIP], menyebut bahwa frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" dipakai Sukarno sebagai semangat untuk mengembangkan asas Ketuhanan yang Maha Esa. Sama halnya dengan frasa "Ketuhanan yang berkeadaban".

"Dengan ungkapan tersebut, bisa dipahami bahwa dalam pandangan Sukarno, asas Ketuhanan yang Maha Esa itu, dalam relasi politis-muamalahnya, hendaknya dikembangkan dengan semangat Ketuhanan yang berkebudayaan," kata Yudi Latif kepada Historia.

Dalam tulisannya "Ketuhanan yang Berkebudayaan" dalam buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila, Yudi Latif menyebut bahwa asas Ketuhanan telah melalui perdebatan panjang para pendiri bangsa. Yang kemudian memunculkan mufakat pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa.

Baca juga: Sila Ketuhanan dari Ulama Padang Japang

Ketuhanan dalam kerangka Pancasila, jelas Yudi Latif, menyerupai konsepsi agama sipil atau civic religion yang melibatkan nilai-nilai moral universal agama. Namun, juga secara jelas dibedakan dari agama.

Nilai moral Ketuhanan menjadi landasan pengelolaan kehidupan publik-politik dalam masyarakat multikultur-multiagama. Yang mana tidak menjadikan salah satu agama atau unsur keagamaan mendikte negara.

Ketuhanan dalam kerangka Pancasila juga merupakan usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik berdasarkan moralitas Ketuhanan.

"Dalam kerangka pencarian titik-temu ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang berpretensi menyudutkan agama ke ruang privat karena sila pertama Pancasila [sebagai konsensus publik] jelas-jelas menghendaki agar nilai-nilai Ketuhanan mendasari kehidupan publik-politik," tulis Yudi Latif.

Namun, Pancasila tidak menghendaki perwujudan negara agama. Karena hal itu akan memunculkan tirani keagamaan yang bertentangan dengan pluralitas kebangsaan serta menjadikan penganut agama dan kepercayaan lain sebagai warga negara kelas dua.

Lebih lanjut, perihal memeluk agama maupun menganut kepercayaan lain juga dijamin kebebasannya. Yudi Latif mencontohkan Wonsonegoro, seorang anggota BPUPKI adalah seorang teolog yang percaya kepada Tuhan yang Maha Esa [supreme being] namun tidak otomatis memeluk atau menganut agama tertentu.

"Lebih dari itu, kepedulian Pancaila lebih tertuju pada moralitas publik, tidak mencampuri moralitas [keyakinan] pribadi," jelasnya.

Baca juga: Wawancara DN Aidit: PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila

Namun, menurut Yudi Latif, kekaburan dalam melihat hubungan antara agama, Pancasila, dan negara kemudian menjadi salah satu penyebab timbulnya berbagai masalah. Misalnya mengenai kecemasan bahwa Pancasila bisa menggantikan peran agama.

Dalam konteks ini, Sukarno pernah berpidato pada peringatan lahirnya Pancasila di Istana Negara pada 5 Juni 1958. Pada kesempatan itu, Sukarno membantah pernyataan bahwa Pancasila merupakan perasan dari nilai-nilai Buddhisme. Demikian, ia juga tidak ingin Pancasila dipertentangkan dengan agama.

"Saya minta janganlah menaruhkan Pancasila ini secara antagonistis terhadap kepada misalnya agama Islam, dan janganlah pula meletakkan Pancasila ini secara congruentie yang sama dengan misalnya agama Buddha, janganlah ditaruhkan secara antagonistis kepada agama Islam, jangan ditaruh secara congruentie kepada Agama Buddha. Jangan!"

Sementara itu, sejarawan Anhar Gonggong menyebut bahwa frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" memiliki maksud yang sederhana. Seperti yang sudah disampaikan Sukarno dalam pidatonya, supaya tidak ada egoisme agama yang menimbulkan pertentangan antaragama.

"Itu yang dia maksud. Cuma menurut saya ya memang agak terlalu melenceng pemahaman itu karena untuk apa itu digunakan [dalam RUU HIP] wong sudah diterima Ketuhanan yang Maha Esa. Ya selesai kan," kata Anhar kepada Historia.

Menurut Anhar, setelah pidato disampaikan dan Pancasila kemudian dibahas sebagai dasar negara, baik Trisila maupun Ekasila tidak lagi diperdebatkan.

Baca juga: Atas Nama Ideologi Negara

"Dan tidak pernah dibicarakan lebih lanjut. Begitu selesai bicara kan yang dibicarakan Pancasila. Nggak pernah ada yang dibicarakan Trisila, Ekasila," sebutnya.

Anhar juga melihat misalnya, apa yang ditulis dalam RUU HIP itu berbeda dengan isi pidato Sukarno. Ia membandingkan kata "diperas" yang ada dalam pidato dengan kata "ciri" dalam RUU HIP. Keduanya berbeda. "Trisila dan Ekasila bukan ciri," kata Anhar.

Anhar menambahkan bahwa pidato Sukarno 1 Juni 1945 merupakan konsep. Setelah konsep dibahas dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila dalam alinea ke-4 diterima, konsep tersebut sudah tidak dipersoalkan lagi.

"Kita udah selesai kok. Lalu kapan kita bekerja dengan baik, kapan kita saling menutupi apa yang pernah kita hadapi ketika kita masih berkelahi sebelum semua apa yang dimiliki, yang dikerjakan oleh pemimpin kita masa lampau, kita sudah warisi seperti sekarang?" ujarnya.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề