Masalah kemiskinan harus segera dituntaskan. hal ini merupakan pengaruh globalisasi melalui saluran

Hits: 0

HUKUM KEGIATAN EKONOMI

Bismar Nasution

KATA PENGANTAR

Sebagai salah satu negara di dunia, tidak bisa tidak Indonesia harus menyesuaikan hukumnya dengan sistem hukum yang berlaku di dunia internasional. Karena sebagai bagian dari dunia internasional, kesesuaian hukum yang berlaku di Indonesia dengan dunia internasional akan mendorong tumbuhnya​​ kegiatan ekonomi atau​​ kepercayaan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Dengan kata lain,​​ adanya​​ jaminan​​ kepastian hukum dapat menjadikan Indonesia sebagai negara pilihan untuk berinvestasi.

Harmonisasi hukum​​ Indonesia dengan​​ hukum yang berlaku dalam kegiatan ekonomi di​​ dunia internasional dapat mendorong​​ ​​ keikutsertaan Indonesia dalam kencenderungan era globalisasi ​​ ekonomi, sehingga keberadaan Indonesia makin diperhitungkan di dunia internasional.

Buku “Hukum Kegiatan Ekonomi” ini mencoba untuk mengkompilasi bagaimana keberadaan hukum dalam kegiatan ekonomi. Dengan demikian buku ini mencoba untuk menggambarkan bagaimana peranan hukum dalam kegiatan ekonomi. Sehingga diharapkan buku ini dapat membuka cakrawala praktisi​​ atau pelaku ekonomi​​ dan peminat hukum tentang peranan hukum dalam perkembangan ekonomi, untuk memahami setiap kegiatan ekonomi untuk kejelasan hukum.

Kehadiran buku ini jelas belum sempurna, sumbang saran dari banyak pihak untuk perbaikan hukum ini sangat diharapkan.

Buku ini lahir dari bantuan berbagai pihak​​ ,​​ oleh karena itu mengucapkan​​ penulis mengucapkan terima kasih kepada saudara Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, Drs. Syafrin, MA, Raja Bongsu Hutagalung, SE, Khaerul H. Tanjung, SH, Ario Wandatama,​​ SH, Juliandi P. Silalahi, SH,​​ Ika Safithri, SH, dan Siska Rahman, SH​​ yang telah banyak berperan serta dan mengkritisi bagian-bagian dari buku ini. Tanpa kritisi dan debat,​​ mungkin tidak akan ada upaya untuk menjadikan buku ini, Juga terima kasih kepada pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Mudah-mudahan buku ini bermanfaat.

Bismar Nasution

Medan​​ Agustus 2003

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR​​ …………………….  ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​​​ i

DAFTAR ISI​​ ……………………………….  ​​ ​​ ​​ ​​​​ iii

Rangka Era Globalisasi Ekonomi​​  ​​ ​​ ​​ ​​​​ 1-10

  • Pengaruh Globalisasi Ekonomi​​ 

Pada Hukum Indonesia  ​​​​   ​​ ​​​​ 11-23​​ 

  • Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan​​ 

Investasi dan Hukum Investasi​​ 

Indonesia  ​​ ​​​​ 24-33

  • Aspek Hukum Dalam Transparansi​​ 

Pengelolaan Perusahaan BUMN/

BUMD Sebagai Upaya Memberantas​​ 

KKN  ​​​​   ​​ ​​​​ 34-48

  • Penerapan Good Corporate​​ 

Governance Dalam Pencegahan

Penyalahgunaan Kredit​​   ​​ ​​​​ 49-66​​ 

  • Penentuan Perbuatan “Salah”​​ 

dan “Palsu” Dalam Pemberitahuan​​ 

Pabean  ​​ ​​​​ 67-86​​ 

  • Pengadilan Pajak : Perbandingan​​ 

Beberapa Negara dan Implementasi​​ 

Di Indonesia  ​​​​ 87-101

  • Sistem Sub – Contracting Antara

Perusahaan Industri Besar dan​​ 

Pengusaha Industri Kecil Suatu​​ 

Kegiatan Hukum  ​​​​ 102-121

  • Marger, Akuisisi, dan Konsolidasi  ​​​​ 122-146

  • Kepentingan Pasar Modal Dalam​​ 

Rancangan Perubahan​​ 

UU Kepailitan​​  ​​ ​​​​   ​​​​ 147-164

  • Peraturan Tentang Jasa di Bidang​​ 

Keuangan [ Bank, Non Bank ] Pasca​​ 

GAAT – GATS/WTO Dalam Kaitannya

Dengan Ketentuan Perdagangan di

Indonesia​​   ​​​​ 165-196

  • Strategi dan Etika Investasi Portofolio

Antara Resiko dan Profit  ​​​​  ​​  197-207

Perlu Memerankan Hukum Dalam Pemulihan Ekonomi​​ ​​   ​​ ​​​​ 208-249

REFORMASI HUKUM​​ 

DALAM RANGKA ERA GLOBALISASI EKONOMI​​ *​​ 

Arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang finansial, produksi dan perdagangan telah membawa dampak​​ pada​​ pengelolaan ekonomi Indonesia. Dampak ini lebih terasa lagi setelah arus globalisasi ekonomi semakin dikembangkannya prinsip liberalisasi perdagangan [trade liberalization] yang telah diupayakan secara bersama-sama oleh negara-negara di dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi regional, seperti​​ North American Free Trade​​ [NAFTA],​​ Single European Market​​ [SEM],​​ European Free Trade Agreement​​ [EFTA],​​ Australian-New Zealand Closer Economic Relation and Trade Agreement​​ [ANCERTA],​​ ASEAN Free Trade Area​​ [AFTA],​​ Asia Pacific Economic Cooperation​​ [APEC] dan​​ World Trade Organization​​ [WTO].

Bagi Indonesia yang perekonomian bersifat terbuka akan terpengaruh dengan prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi perdagangan tersebut. Karena perekonomian Indonesia akan berhadapan dengan perekonomian negara lain/perekonomian mitra dagang Indonesia seperti ekspor-impor; investasi, baik yang bersifat investasi langsung maupun tidak langsung; serta pinjam-meminjam. Pengaruh perekonomian ini menjadi tantangan bagi perumusan kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan pelaku ekonomi.

Memasuki era 2003 Indonesia harus sudah mantap persiapannya untuk menghadapi pengaruh yang timbul terhadap perekonomian/perdagangan Indonesia dalam semua aspek. termasuk di dalamnya aspek hukum, khususnya hukum ekonomi yang merupakan pranata hukum yang berisikan kebijaksanaan untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke suatu arah tertentu. Apalagi pada era 2003​​ adalah​​ awal berlakunya beberapa ketentuan perjanjian AFTA​​ yang​​ merupakan tenggang​​ waktu bagi negara-negara​​ berkembang untuk memperbaharui/mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan atau pranata hukumnya dengan ketentuan-ketentuan​​ agreement establishing​​ WTO beserta ketentuan-ketentuan​​ annexes-nya yang telah​​ diratifikasi Indonesia pada tanggal 2 Nopember 1994 melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994.

Pembaharuan hukum ekonomi Indonesia merupakan konsekuensi dari Indonesia sebagai salah satu di antara 125 negara yang ikut menandatangani perjanjian WTO yang lahir sebagai hasil perundingan Putaran Uruguay [Uruguay Round] yang diselenggarakan dalam kerangka​​ General Agreement on Tariff and Trade​​ [GATT], yang dimulai pada September 1986 di Funtadel Este, Uruguay dan berakhir pada 15 April 1994 di Marakesh, Marokko. ​​ WTO ini merupakan pengganti GATT yang merupakan organisasi perdagangan Internasional dengan tujuan utama adalah untuk merealisasikan perdagangan Internasional dan menjadikan perdagangan bebas sebagai landasan perdagangan Internasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteran umat manusia.1 ​​​​ Dalam pasal XVI Ayat [4] dan [5] persetujuan perundingan WTO dinyatakan, bahwa setiap anggota harus menjamin keselarasan undang-undang, aturan-aturan dan prosedur-prosedur administratif nasionalnya sendiri.

Disinilah diperlukan hukum ekonomi sebagai perangkat aturan untuk memberikan antisipasi ekonomi Indonesia era 2003.​​ Hal​​ ini berarti hukum ekonomi harus diperbaharui/diharmonisasikan sesuai dengan “ritme” tuntutan WTO, guna menampung aturan-aturan perdagangan Internasional dan global setelah tahun 2003.

Pendekatan Reformasi Hukum Ekonomi

Aksi yang harus dilakukan sekarang dalam konteks menyongsong era 2003 adalah melakukan pembaharuan produk-produk hukum ekonomi yang efektif untuk mengantisipasi perjanjian-perjanjian WTO. Berarti harus dilaksanakan pembangunan hukum [law making] yang bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri, sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangan mutakhir, sesuatu yang biasa disebut sebagai modernisasi hukum.2 ​​​​ Dalam pembaharuan hukum ini perlu dibuat pendekatan dengan pengkajian hukum yang bertujuan mencapai jaminan dan kepastian hukum​​ bagi perdagangan global.

Pada tahun 1970 pengkajian hukum dan kaitannya dengan pembangunan hanya mengkaji bagaimana hukum dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah​​ satu fokus kajiannya adalah bagaimana peranan hukum sebagai alat perubahan sosial [law is tool of social engineering] dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. ​​ Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1990 kajian hukum rekayasa sosial di atas telah bergeser sejalan dengan terjadinya arus era globalisasi yang ditandai dengan era perdagangan bebas [free trade] kepada kajian hukum dari lingkup domestik ke masalah-masalah kajian global.3

Pengkajian hukum dalam kaitannya dengan pembangunan yang diharmonisasikan dengan era globalisasi tersebut sesuai dengan prinsip dari ciri globalisasi. John Naisbitt dan Patricia Aburdene ​​ melukiskan ramalan yang menjadi perhatian umat manusia melalui buku​​ Mega Trend 2000​​ telah melukiskan bagaimana situasi kehidupan umat manusia dalam era globalisasi. ​​ Mereka​​ dalam bukunya mengemukakan prinsip dan ciri globalisasi itu antara lain adalah​​ single economy​​ atau​​ economy-one market place.​​ 

Prinsip dan ciri globalisasi ini menuntut negara-negara melakukan harmonisasi hukumnya agar sesuai dengan tuntutan era globalisasi dengan cara melakukan berbagai​​ structural adjusment policies​​ berupa serangkaian deregulasi, liberalisasi, debirokratisasi dan swastanisasi. Mengenai ini John Naisbitt mengemukakan​​ The march forward deregulation, liberalization and privatitation will continue in quick steep.4​​ Oleh karena itu muncullah pengkajian pengaruh globalisasi ekonomi terhadap peranan hukum.

Masalah hukum dalam era globalisasi sejalan dengan batasan dari perdagangan bebas itu sendiri. Ini biasa​​ diartikan sebagai suatu pertukaran dari komoditi-komoditi antara negara-negara independen tanpa halangan-halangan hukum yang dimaksudkan untuk membatasi perdagangan tersebut, seperti tarif protektif, kuota, kontrol komoditi, kontrol terhadap pertukaran barang, prosedur bea-cukai yang sulit, atau monopoli pemerintah atau monopoli lainnya.5

Jalannya pengkajian hukum yang mengalami pergeseran fokus kajian sebagaimana peranan hukum dalam pembangunan tahun 1970 dan tahun 1990 di​​ atas,​​ tidak harus dipisahkan pengertiannya. Karena sasaran yang dituju adalah sama-sama tercapainya jaminan dan kepastian hukum.

Dalam konteks pembaharuan hukum dalam memasuki era 2003​​ jaminan dan kepastian hukum diatas sangat penting. Karena itu kebijaksanaan pembaharuan hukum Indonesia dalam era 2003 hendaknya berorientasi kepada jaminan dan kepastian hukum. Di samping itu, yang harus menjadi perhatian dalam pembaharuan hukum ini, adalah sarana yang dapat mempelancar jalannya perekonomian.​​ 

Menurut studi yang dilakukan Burg’s ​​ mengenai hukum dan pembangunan terdapat 5 [lima] unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat ekonomi, yaitu​​ stabilitas​​ [stability], prediksi [preditability], keadilan [fairness], pendidikan [education], dan pengembangan khusus dari sarjana hukum [the special development abilities of the lawyer].6​​ Selanjutnya Burg’s ​​ mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di​​ atas merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Disini​​ stabilitas​​ berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sedangkan​​ prediksi​​ merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara.7

Sesuai dengan pendapat Burg’s diatas,​​ maka J.D. Ny Hart juga mengemukakan konsep hukum sebagai dasar pembangunan ekonomi, yaitu​​ predictability, procedural capability, codification of goals, education, balance, defenition and clarity of status​​ serta​​ accomodation.8

Dengan mengacu pada pendekatan hukum dalam pembangunan ekonomi di atas, maka hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut :9

Pertama, hukum harus dapat membuat prediksi [predictability], yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi.

Kedua, hukum itu mempunyai kemampuan prosedural [procedural capability] dalam penyelesaian sengketa. Misalnya dalam mengatur peradilan tribunal [court or administrative tribunal], penyelesaian sengketa diluar pengadilan [alternative dispute resolution] dan penunjukan arbiter konsiliasi [conciliation] dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam penyelesaian sengketa.

Ketiga, pembuatan, pengkodifikasian hukum [codification of goals] oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara.

Keempat, hukum itu setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai kemampuan maka harus dibuat pendidikannya [education] dan selanjutnya disosialisasikan.

Kelima, hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan [balance]. karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi.

Keenam, hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas [definition and clarity of status]. ​​ Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang.

Ketujuh, hukum itu harus dapat mengakomodasi [accomodation] keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Terakhir, tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan adalah unsur stabilitas [stability] sebagaimana diuraikan di muka.

Reformasi Peraturan Perundang-Undangan

Berdasarkan pendekatan pembaharuan hukum ekonomi dalam menyongsong era 2003, maka program legislasi nasional di masa mendatang harus memberikan prioritas pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tujuan dari Putaran Uruguay yang merupakan penyempurnaan sistem GATT untuk menata kembali aturan permainan dalam perdagangan Internasional.​​ Dengan menunjang upaya agar perdagangan dunia dapat menjadi semakin terbuka, supaya arus perdagangan dapat berkembang dengan semakin mengurangi hambatan-hambatan dalam bentuk tarif maupun​​ non tarif. Keterbukaan pasar yang semakin luas akan meningkatkan arus perdagangan yang pada gilirannya akan menunjang kegiatan ekonomi semua anggota yang selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masing-masing negara.10

Dengan ini pembaharuan hukum ekonomi dalam bentuk peraturan perundang-undangan harus mengakomodasikan​​ Agreement Establising​​ WTO​​ yang membentuk organisasi perdagangan dunia berikut semua naskah persetujuan yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan kegiatannya sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari perjanjian WTO, yaitu​​ Multilateral Agreement on Trade in Goods​​ meliputi GATT 1994 dan 12 perjanjian khusus atas komoditas dengan prosedur perdagangan Internasional [Annex 1A],​​ General Agreements on Trade in Services​​ [Annex IB],​​ General Agreements on Trade Related Aspects of Multilateral Property Rights​​ [Annex 1C],​​ Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes​​ ​​ [Annex 2],​​ Trade Policy Review Mechanisme​​ [Annex 3] dan​​ Final Acts Embodying the results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations​​ yang merupakan rangkuman hasil-hasil yang dicapai dalam perundingan Putaran Uruguay serta​​ Ministerial Decision and Declarations​​ yang memuat berbagai deklarasi atau keputusan tingkat Menteri mengenai pelaksanaan persetujuan yang berhasil dicapai. Karena itu, bidang-bidang hukum ekonomi yang menerima dampak langsung dan harus diperbaharui/diharmonisasikan sesuai dengan Perjanjian Putaran Uruguay adalah Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Hukum Investasi yang berkaitan dengan perdagangan, Hukum Persaingan, Hukum tentang penyelesaian sengketa dan informasi hukum.

Disamping itu, pembaharuan peraturan perundang-undangan di atas, perlu mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan, seperti hukum-hukum kontrak,​​ leasing, sewa-beli,​​ factoring, modal ventura, Perseroan Terbatas, dan Pasar Modal​​ yang​​ merupakan​​ undang-undang baru yang dianggap telah responsif terhadap tuntutan prinsip liberalisasi perdagangan. Tetapi Undang-Undang Perseroan Terbatas masih memerlukan kajian tindak lanjut dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu mengatur mengenai merger, akuisisi dan konsolidasi. Sedangkan Undang-Undang Pasar Modal seyogyanya ditindak​​ lanjuti sesuai dengan pengaturan sekuritas yang lazim dalam dunia internasional. Dalam hal ini tidak dapat dihindari bahwa di masa mendatang pasar modal Indonesia akan terintegrasi dengan pasar modal​​ internasional. Karena itu harus dipikirkan implikasi yang timbul dari sudut hukum. Misalnya mengenai antisipasi​​ insider trading, “apakah sudah saatnya kita mengatur penyelesaian​​ insider trading​​ secara internasional”?

Seyogyanya pembaharuan modul produk hukum ekonomi yang akan diupayakan disesuaikan dengan tujuan dari​​ ASEAN Free Trade Area​​ [AFTA], yang menyediakan kawasan ASEAN sebagai kekuatan efektif bagi pertumbuhan ekonomi regional dan dapat menarik investor intra​​ ASEAN ​​ maupun investor asing untuk menanamkan modalnya di kawasan negara-negara anggota ASEAN. ​​ Seterusnya pembaharuan hukum itu harus disesuaikan dengan budaya hukum [legal culture] ​​ bangsa Indonesia. ​​ Karena budaya hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Hukum Indonesia.

P e n u t u p

Keterikatan Indonesia dalam perjanjian WTO memang perlu mendapat dukungan dari hukum ekonomi yang selaras dengan substansi​​ ketentuan-ketentuan WTO. Karena itu dibuat perubahan hukum ekonomi yang dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum. Berarti peraturan perundang-undangan yang diperbaharui harus dapat berjalan efektif. ​​ Efektifnya hukum ekonomi ini harus dapat disajikan secara operasional.

Oleh karena itu dalam pembaharuan hukum harus disejajarkan dengan ketentuan-ketentuan WTO dan ketentuan-ketentuan kerjasama​​ internasional serta regional di antara negara-negara yang berkecimpung dalam pasar global.

DAFTAR PUSTAKA

Ehrenberg, Daniel ​​ S., “The Labor Link : Applying the International Trading System to Enforce Violation of Forced and Child Labor,”​​ GATT Activities 1991, 20 Yale ​​ J. Int’l, 1995.

Hart, J.D. Ny., “The Role of Law in Economic Development,” ​​ dalam Erman Rajagukguk,​​ Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi,​​ Jilid ​​ 2,​​ Universitas Indonesia, Jakarta, 1995.

Kartadjoemana, H.S.,​​ GATT dan WTO, UI-Press, Jakarta, 1996.

Naisbit, John,​​ Global Pradox, William Morrow and Company, Inc., New York ,1994.

Rahardjo, Satjipto, ​​ Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983.

Rajagukguk, Erman, “Pembaharuan Hukum​​ Indonesia Dalam Era Globalisasi :​​ Suatu Pemikiran Untuk mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan,” dalam​​ Agenda Bangsa Pasca 50 Tahun Indonesia Merdeka, CIDES, Jakarta, 1995.

Theberge, Leonard ​​ J., “Law and Economic Development,” ​​ Journal of International Law and Policy¸​​ Vol. 9, 1980.

Wright, Quncy,​​ Encyclopedia Americana,​​ Americana Corporation, New York, 1969.

PENGARUH GLOBALISASI EKONOMI

PADA HUKUM INDONESIA

Fenomena ekonomi dunia pada masa kini, membuat negara-negara termasuk Indonesia, dituntut untuk mengikuti kecenderungan globalisasi ekonomi yang mengarah pada penduniaan dalam arti peringkasan atau perapatan dunia [compression of the world] dalam bidang ekonomi. Globalisasi ekonomi yang juga semakin dikembangkan oleh prinsip liberalisasi perdagangan [trade liberalization] atau perdagangan bebas [free trade] lainnya, telah membawa pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut. Oleh karena arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas itu sulit untuk ditolak dan harus diikuti. Sebab globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas ​​ tersebut berkembang melalui perundingan dan perjanjian internasional.​​ 

Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum tidak dapat dihindarkan. Sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara [cross-border].1​​ Tepatlah pandangan Lawrence M. Friedman, yang mengatakan hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh luar.2 ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

Dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas telah menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Negara-negara di dunia yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas itu, baik negara maju maupun sedang berkembang bahkan negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam kegiatan ekonominya.​​ 

Tulisan ini mengkaji pengaruh globalisasi ekonomi terhadap hukum Indonesia, khususnya berkenaan dengan pengaturan investasi dan perdagangan sesuai dengan batasan investasi dalam globalisasi ekonomi atau perdagangan bebas. Globalisasi ekonomi​​ yang​​ dapat​​ diartikan sebagai suatu pertukaran dari komoditi-komoditi antara negara-negara independen tanpa halangan-halangan hukum yang​​ dapat​​ membatasi perdagangan tersebut, seperti tarif protektif, kuota, kontrol komoditi, kontrol terhadap pertukaran barang, prosedur bea-cukai yang sulit, monopoli pemerintah atau monopoli lainnya.3​​ 

Investasi dan Perdagangan Bebas Global

Prinsip liberalisasi perdagangan yang telah diupayakan secara bersama-sama oleh negara-negara di dunia telah menimbulkan interdependensi dan integrasi perdagangan di antara bangsa-bangsa di dunia, termasuk perdagangan di Indonesia. Prinsip perdagangan bebas​​ telah​​ ditetapkan melalui kesepakatan dalam​​ Agreement Establishing the World Trade Organization​​ [Perjanjian WTO] dan ​​ ASEAN Free Trade Area​​ [AFTA] yang disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN.​​ 

WTO mulai beroperasi sebagai organisasi internasional pada 1 Januari 1995. WTO dikenal​​ sebagai pendukung vital untuk memperkuat kerjasama ekonomi dunia dan juga disebut sebagai salah satu organisasi internasional terpenting di bidang​​ perekonomian internasional, disamping organisasi internasional lainnya.​​ 

Hal ini dapat diamati dari pendapat Peter D. Sutherland, mantan Direktur Jenderal GATT yang disampaikan pada​​ World Economic Forum,​​ “Money, Finance and Trade have all to be treated in an integrated way. The resources that can be mobilized by the World Bank in support of the development of essential​​ infrastructure and enterprice are vital, especially to give a lead to promising private sector initiatives. The IMF’s role of guiding macro-economic and monetary policy is crucial one. And the new WTO will-over and above all its other specific tasks – privide a much-needed means of gauging the appropriateness and effectiveness of micro-economic policies through their impact on trade and consistency with multilateral rules.4​​ 

Fungsi WTO sebagai pengganti GATT menetapkan aturan perdagangan internasional, dimana tujuan utamanya adalah meliberalisasikan perdagangan internasional dan menjadikan perdagangan bebas sebagai landasan perdagangan internasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan umat manusia.5​​ 

Sekarang ini substansi pengaturan yang ditangani WTO diperluas sampai mencakup bidang-bidang baru [new issues] yang sebelumnya tidak pernah dimuat dalam GATT, seperti masalah perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual [HAKI], masalah kebijakan di bidang investasi yang mempunyai dampak terhadap perdagangan, dan masalah perdagangan jasa [General Agreements on Trade in Service​​ – GATS].

Ketentuan bidang investasi tersebut dapat dilihat dari dua jenis perjanjian yang menjadi lampiran [annex] dari Perjanjian Pendirian WTO, sebagaimana terdapat pada​​ Trade​​ Related Investment Measures​​ [TRIMs] ​​ dan GATS.​​ 

Dalam TRIMs diatur mengenai ketentuan-ketentuan investasi yang berkaitan dengan perdagangan barang. Pasal 1​​ Agreement on Trade​​ Related Investment Measures​​ menyatakan bahwa “This Agreement applies to investment measures related to trade in goods only.”​​ 

Pada dasarnya TRIMs tersebut merupakan penegasan kembali pengaturan mekanisme pelaksanaan ketentuan yang berkaitan dengan aturan GATT 1947, khususnya mengenai ketentuan Pasal III dan XI yang mengatur 2 [dua] hal pokok.​​ Pertama,​​ agar negara-negara tidak menerapkan kebijaksanaan yang membatasi volume atau nilai impor dari suatu perusahaan untuk dapat memperoleh atau menggunakannya bagi suatu jumlah yang dikaitkan kepada tingkat produk yang diekspornya [trade balancing requirement].​​ Kedua,​​ menerapkan kebijaksanaan yang menentukan investor asing untuk menggunakan sebagian dari input produksinya dari sumber dalam negeri [domestic content requirement]. Sedangkan persyaratan lain yang sebenarnya ingin dimasukkan oleh negara maju adalah kebijaksanaan yang menentukan investor asing untuk mengekspor sebagian produksinya sebagai syarat untuk memperoleh izin penanaman modal [export performance reqirement].

Sedangkan GATS, pada khususnya mengatur berkenaan dengan cara pemasokan jasa [mode of supply] melalui kehadiran komersil [commercial presence], yang mengatur investasi di bidang sektor jasa. Pasal 1 ayat 1 GATS menyatakan 4 [empat] cara pemasokan jasa, yaitu​​ cross border, consumption abroud, commercial presence,​​ dan​​ movement of natural person.​​ 

Ketentuan investasi yang diatur dalam GATS adalah ketentuan yang menyangkut​​ commercial presence​​ atau disebut​​ presence of juridical person​​ dengan ketentuan bahwa negara anggota diwajibkan untuk memberikan akses ke pasar domestiknya dan memberikan perlakukan non diskriminasi antar sesama anggota [most favored nation] serta memperlakukan pemasok jasa asing​​ yang tidak lebih jelek dari pemasok jasa domestik [national treatment].​​ 

Adapun​​ setiap jenis usaha yang dilakukan melalui;​​ pertama,​​ pendirian, akuisisi atau pendirian suatu badan hukum di dalam wilayah suatu negara dengan tujuan untuk melakukan pemasokan suatu jasa.​​ Kedua,​​ pendirian suatu kantor cabang atau perwakilan di dalam wilayah suatu negara dengan tujuan untuk melakukan pemasokan suatu jasa.  ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

Di samping itu, perkembangan kerjasama ekonomi regional sebagaimana dibuat ASEAN, yang menjadi AFTA pada tanggal 1 Januari 2003, seperti ditetapkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi [KTT] IV ASEAN bulan Januari 1992 di Singapura, juga bertujuan menerapkan konsep untuk meningkatkan volume perdagangan bagi negara-negara anggota [trade creation] ASEAN. Hal ini menuntut Indonesia harus siap mengatur kegiatan perdagangannya diharmonisasikan dengan ketentuan AFTA tersebut.​​ 

Oleh karena berlakunya​​ atau diterapkannya​​ AFTA, baik sebagian maupun secara penuh akan membawa pengaruh​​ pada perkembangan ekonomi​​ dan hukum Indonesia di masa mendatang. Sebab penetapan AFTA sebagai suatu​​ sistem​​ perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara tersebut akan menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang perdagangan serta akan membawa dampak perdagangan atau ekonomi di Indonesia, dimana lalu lintas perdagangan akan bebas tanpa hambatan tarif bea masuk maupun non tarif. Artinya, barang-barang hasil produksi negara-negara ASEAN akan sangat bebas masuk pada setiap negara anggota ASEAN.

Konsep AFTA melalui​​ Common Effective Preferential Tariff​​ [CEPT], yaitu penurunan tarif beberapa komoditi tertentu secara bersamaan sampai mencapai tingkat 0-5%, dimana penurunan tarif tersebut dilakukan secara bertahap, yaitu sampai mencapai kondisi perdagangan bebas untuk seluruh komoditi setelah 15 tahun. Namun, tahap pertama penurunan tarif itu berlaku mulai 1 Januari 2003 pada 15 komoditi.​​ 

Adapun kerangka CEPT sebagaimana terdapat dalam Ketentuan Umum adalah sebagai berikut​​ :​​ 

Pertama,​​ semua negara anggota ASEAN ikut serta dalam skema CEPT.​​ 

Kedua,​​ produk yang dimasukkan ke dalam skema CEPT berdasarkan pendekatan sektoral pada tingkat 6 digit​​ Harmonized system​​ [HS].​​ 

Ketiga,​​ bagi negara-negara yang belum siap memasukkan produk-produk tertentu ke ​​ dalam skema CEPT, pengecualian dapat dilakukan pada tingkat 8 atau 9 digit HS dan bersifat sementara.​​ 

Keempat,​​ produk-produk yang dianggap ‘’sensitif’’ oleh negara-negara anggota dapat dikeluarkan dari skema CEPT dan tidak diberikan konsesi dalam rangka CEPT berupa penurunan tarif [Non​​ Tariff​​ Barrier-NTB] dan lain-lain. Setelah delapan tahun, produk yang dikeluarkan tersebut ditinjau kembali untuk ditetapkan apakah masuk skema CEPT atau dikeluarkan secara permanen. Ketentuan tersebut merupakan pelaksanaan prinsip [6-X].​​ 

Kelima,​​ suatu produk CEPT harus memenuhi kandungan lokal [local content] paling sedikit 40%.​​ 

Keenam,​​ produk-produk dari skema Tarif Preferensi ASEAN [ASEAN PTA] setelah dikenakan​​ Margin of Tariff Preference​​ [MOP] sehingga tarif efektifnya menjadi 20% atau lebih rendah, dialihkan masuk skema CEPT. Bagi produk ASEAN PTA yang belum memenuhi ketentuan di atas, tetap menikmati MOP yang berlaku.​​ 

Sedangkan lingkup produk CEPT meliputi seluruh jenis produk industri, termasuk barang modal, produk olahan hasil pertanian, dan produk-produk lainnya yang tidak termasuk defenisi produk pertanian. Produk pertanian dan jasa dikeluarkan dari skema CEPT. Selanjutnya, penurunan tarif dan jangka waktu penurunan tarif efektif produk CEPT dilaksanakan secara bertahap sampai mencapai tingkat antara 0-5% dalam jangka waktu 15 tahun, dimana jadwal penurunan tarif tersebut terdiri dari penurunan tarif yang sedang berlaku sampai menjadi tarif efektif 20% dalam jangka waktu 5-8 tahun dan dimulai tanggal 1 Januari 1993.​​ Penurunan tingkat tarif efektif selanjutnya​​ dari 20% menjadi 0-5% adalah dalam jangka waktu 7 tahun.​​ 

Namun, secara keseluruhan kedua proses penurunan tersebut tidak lebih dari 15 tahun. Sementara itu, produk-produk yang telah mencapai tingkat tarif 20% atau lebih​​ rendah, dapat menikmati konsesi​​ CEPT dengan syarat negara yang bersangkutan mengumumkan jadwal penurunan tarifnya dari 20% menjadi 0-5% atas produk​​ tersebut. Jadwal penurunan tarif itu tidak menghalangi suatu negara untuk menurunkan tarifnya menjadi 0% dengan segera.​​ 

Sebagai awal dari pelaksanaan CEPT, disepakati produk-produk yang dipercepat penurunan tarifnya menjadi 0-5%, meliputi;​​ semen, pupuk, pulp, tekstil, perhiasan, permata, perabot dari kayu, rotan, barang-barang kulit, plastik, obat-obatan, elektronika, kimia, produk karet, minyak nabati, keramik, gelas dan​​ copper cathode.

Dalam konsep AFTA melalui CEPT diatur mengenai beberapa pengecualian yang dikategorikan dalam​​ general exeption, highly sensitive list,​​ dan​​ sensitive list. Berkenaan dengan pengecualian tersebut, produk CEPT dibebaskan dari pembatasan kuantitatif dan larangan penggunaan valuta asing. Selanjutnya dalam 5 tahun bentuk-bentuk NTB lainnya harus telah dihapuskan.​​ 

Disamping itu, negara peserta tidak diperkenankan untuk menghapuskan atau mengurangi segala konsesi yang telah disepakati melalui penerapan sistem​​ Custom Valuation, pengaturan-pengaturan baru yang menghambat perdagangan, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

Negara anggota AFTA dapat melakukan langkah-langkah darurat asal saja sesuai dengan ketentuan GATT. Ukurannya adalah dalam pelaksanaan CEPT tersebut dilihat apakah impor suatu barang meningkat pesat sehingga menyebabkan pengaruh berat bagi industri yang sama di negara anggota.​​ Maka negara yang bersangkutan dapat menangguhkan semester pemberian konsesi tarifnya. Juga dilihat apakah terjadi penurunan cadangan devisa yang tajam, dapat dilakukan langkah-langkah untuk membatasi impor selama nilai konsesi yang telah disepakati tetap terjaga. Rencana penerapan langkah-langkah darurat tersebut harus disampaikan secepatnya kepada Badan CEPT.​​ 

Untuk langkah-langkah darurat itu, negara anggota dapat mengambil langkah-langkah pengamanan yang dianggap perlu karena beberapa alasan.​​ Pertama,​​ perlindungan terhadap keamanan nasional.​​ Kedua,​​ perlindungan moral masyarakat.​​ Ketiga,​​ perlindungan terhadap manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan kesehatan.​​ Keempat,​​ perlindungan terhadap benda-benda yang mempunyai nilai artistik, sejarah, dan kepurbakalaan.​​ 

Indonesia telah mengeluarkan Keputusan Presiden [Keppres] Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor [Safeguards], yang ditetapkan tanggal 16 Desember 2002. Keppres mengenai​​ Safeguards​​ tersebut memberikan kewenangan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk mengusulkan tindakan pengamanan sementara dalam bentuk rekomendasi pengenaan Bea Masuk sementara kepada Menteri Keuangan. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Keppres​​ Safeguards​​ itu dapat melakukan pengamanan atas ancaman kerugian bagi industri dalam negeri akibat membanjirnya barang-barang impor sejenis atau yang secara langsung menjadi saingan hasil industri dalam negeri.  ​​ ​​​​ 

Pembaharuan Hukum

Prinsip globalisasi ekonomi dan prinsip perdagangan bebas tersebut melalui WTO dan AFTA akan membuat perekonomian Indonesia berhadapan dengan perekonomian negara lain atau perekonomian mitra dagang Indonesia seperti ekspor-impor,​​ investasi, baik yang bersifat investasi langsung ​​ maupun tidak langsung [portfolio investment],​​ serta pinjam-meminjam. Pengaruh WTO ​​ dan AFTA tersebut menjadi tantangan bagi perumusan hukum atau kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan pelaku ekonomi.

Disinilah diperlukan pembaharuan hukum sebagai perangkat aturan untuk memberikan antisipasi globalisasi ekonomi tersebut pada investasi atau perdagangan bebas, baik dalam lingkup​​ organisasi​​ perdagangan​​ dunia,​​ WTO maupun lingkup AFTA. Artinya, hukum Indonesia berkenaan dengan investasi dan perdagangan harus diperbaharui sesuai dengan “ritme” tuntutan WTO dan AFTA. ​​ Misalnya setiap negara yang​​ ikut menandatangani Persetujuan Pembentukan WTO dalam kerangka GATT harus memenuhi ketentuan-ketentuan antara lain berkaitan dengan investasi. Seperti Prinsip-prinsip​​ Non-Discrimination, Most Favored Nation, National Treatment, Transparency,​​ dimana prinsip-prinsip itu harus menjadi substansi peraturan-peraturan nasional negara-negara anggota WTO.​​ 

Disamping itu​​ persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang ​​ Hak Atas Kekayaan Intelektual [Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights–TRIPs], dimana TRIPs​​ merupakan standar internasional yang harus diterapkan negara anggota WTO dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur berkenaan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual [HAKI] atau Hak Cipta dan Hak-hak yang terkait, seperti Merek Dagang, Indikasi Geografis, Disain Industri, Paten, Hak atas Topografi Rangkaian Terpadu Semi​​ konduktor, Perlindungan mengenai​​ Undisclosed Information,​​ dan Pengawasan Terhadap​​ Praktik​​ yang Membatasi Konkurensi dalam Kontrak Lisensi.​​ 

Sedangkan​​ dalam lingkup AFTA, misalnya perlu memperbaharui ketentuan berkenaan dengan ​​ penurunan tarif beberapa mata dagangan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dan hambatan-hambatan perdagangan di antara negara-negara ASEAN.​​ 

Oleh karena itu, Indonesia​​ harus membenahi peraturan perundang-undangan berkenaan​​ dengan bidang investasi dan perdagangan, baik karena ketentuan-ketentuan baru dalam GATT maupun AFTA. Indonesia harus menyongsong rezim GATT dan AFTA dengan cara melakukan pembaharuan hukum investasi atau perdagangan yang dapat berfungsi untuk mengantisipasi rezim GATT dan AFTA tersebut. Berarti harus dilaksanakan pembaharuan hukum atau​​ law making​​ yang bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum investasi atau perdagangan, sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangan mutakhir, sesuatu yang biasa disebut sebagai modernisasi hukum.6​​ 

Dalam pembaharuan hukum ini perlu dibuat pendekatan dengan pengkajian hukum yang bertujuan mencapai jaminan dan kepastian hukum bagi kegiatan investasi dan perdagangan secara global.

Dalam konteks pembaharuan hukum dalam memasuki WTO dan AFTA, upaya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum di Indonesia semakin penting untuk dikaji. Oleh karena itu, kebijaksanaan pembaharuan hukum Indonesia dalam era WTO dan AFTA ​​ hendaknya berorientasi kepada jaminan dan kepastian hukum sesuai dengan yang diinginkan dalam ketentuan-ketentuan WTO dan AFTA.​​ 

Unsur-unsur hukum dalam pembangunan ekonomi tepat untuk diterapkan dalam pembaharuan hukum investasi dan perdagangan dalam menyongsong berlakunya ketentuan WTO dan AFTA. Selanjutnya program legislasi nasional di masa mendatang harus memberikan prioritas pada hukum yang berkaitan dengan kerangka ketentuan WTO dan konsep AFTA melaui CEPT, dimana hukum investasi dan perdagangan yang berlaku selama ini harus menjadi semakin terbuka, supaya arus investasi dapat berkembang dan sekaligus semakin mengurangi hambatan-hambatan dalam bentuk tarif maupun non tarif. Negara yang dapat memanfaatkan WTO dan AFTA tersebut secara luas akan meningkatkan arus investasinya dan perdagangannya.7​​ Oleh karena itu​​ pembaharuan hukum investasi dan perdagangan dalam​​ bentuk​​ peraturan​​ perundang-undangan harus mengakomodasikan ketentuan WTO dan konsep AFTA melalui CEPT berikut semua naskah persetujuannya yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan kegiatan investasi bagi anggota-anggota negara ASEAN.

Dengan demikian kita perlu Undang-Undang Investasi yang baru menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman​​ Modal Dalam Negeri serta berbagai​​ structural adjusment policies​​ berupa paket-paket deregulasi yang berlaku selama ini dibidang Penanaman Modal Asing.​​ 

Demikian pula kita​​ perlu mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini berkaitan dengan akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan, standar wajib bagi mutu dan keamanan produk, pemilikan saham asing di Indonesia, perpajakan, bea cukai dan lain-lain peraturan yang dapat merupakan hambatan-hambatan dalam penanaman modal asing.​​ 

Penutup

Indonesia harus sudah mantap persiapannya untuk menghadapi pengaruh yang timbul terhadap perekonomian atau perdagangan Indonesia dalam semua aspek akibat globalisasi ekonomi, termasuk kesiapan dalam aspek hukum, khususnya hukum investasi dan perdagangan. Selanjutnya, hukum investasi atau perdagangan yang diperbaharui itu harus dapat berjalan efektif. ​​ Efektifnya hukum tersebut harus dapat disajikan secara operasional.​​ 

Dalam konteks itu, perlu pula peningkatan kualitas sumber daya manusia pada biro hukum berbagai departemen maupun pemerintah, baik pusat, propinsi, kota maupun kabupaten untuk memahami ketentuan WTO dan AFTA melalui CEPT.

DAFTAR PUSTAKA

Braithwaite, John dan Drahos, Peter .​​ Global Business Regulation.​​ New York. Cambridge University Press. 2000.

D. Sutherland, Peter. “Global Trade – The Next Challenge.” Pidato disampaikan pada​​ World Economic Forum.​​ Davos. tanggal 28 Januari 1994.

Ehrenberg, Daniel S. g, “The Labor Link: Applying the International Trading System to Enforce Violation of Forced and Child Labor,”​​ Yale Journal International Law,​​ Vol. 20, 1995.

J. Theberge, Leonard.​​ “Law and Economic Development.” ​​​​ Journal of International Law and Policy.​​ Vol. 9. 1980.

Kartadjoemana H.S.​​ GATT dan WTO. Jakarta. UI-Press. 1996.

M. Friedman Lawrence.​​ Legal Cultur and the Welfare State: Law and Society-An Introduction. Cambridge. Massachusetts. London. Harvard University Press. 1990.

Rahardjo Satjipto.​​ Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung. Alumni. 1983.

Rajagukguk Erman. “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44.​​ Medan 20 Nopember 2001.

Wright Quncy.​​ Encyclopedia Americana.,​​ New York. Americana Corporation. 1969.

IMPLIKASI AFTA TERHADAP KEGIATAN INVESTASI DAN HUKUM INVESTASI INDONESIA

Berkembangnya kerjasama ekonomi regional sebagaimana dibuat ASEAN, yang akan menjadi​​ ASEAN Free Trade Area​​ [AFTA] pada tanggal 1 Januari 2003, seperti ditetapkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi [KTT] IV ASEAN bulan Januari 1992 di Singapura, menuntut Indonesia harus siap mengatur kegiatan investasi dan hukum investasi yang diharmonisasikan dengan ketentuan AFTA tersebut. Oleh karena berlakunya atau diterapkan AFTA, baik sebagian maupun secara penuh akan membawa pengaruh pada perkembangan investasi dan hukum investasi di masa mendatang. Sebab penetapan AFTA sebagai suatu​​ sistem​​ perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara tersebut akan menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang investasi serta akan membawa dampak pengelolaan investasi atau ekonomi di Indonesia, dimana lalu lintas perdagangan akan bebas tanpa hambatan tarif bea masuk maupun non tarif. Artinya, barang-barang hasil produksi negara-negara ASEAN akan sangat bebas masuk pada setiap​​ negara anggota ASEAN.

Dampak ini akan lebih terasa lagi setelah arus globalisasi ekonomi semakin dikembangkan oleh prinsip liberalisasi perdagangan [trade liberalization] lainnya, yang telah diupayakan secara bersama-sama oleh negara-negara di dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi regional maupun internasional.

Pada masa kini arus globalisasi ekonomi itu harus diikuti, mengingat kecenderungan globalisasi ekonomi tersebut berkembang melalui perundingan dan perjanjian internasional.1​​ Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum juga tidak dapat dihindarkan. Sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara. Globalisasi hukum itu dapat terjadi melalui perjanjian dan konvensi internasional, perjanjian privat, dan institusi ekonomi baru.2 ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

Bagi Indonesia yang perekonomiannya​​ bersifat terbuka akan pula terpengaruh dengan prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi perdagangan tersebut. Karena perekonomian Indonesia akan berhadapan dengan perekonomian negara lain atau perekonomian mitra dagang Indonesia seperti ekspor-impor; investasi, baik yang bersifat investasi langsung maupun tidak langsung; serta pinjam-meminjam. Pengaruh perekonomian ini menjadi tantangan bagi perumusan kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan pelaku ekonomi. Disinilah diperlukan pembaharuan hukum investasi sebagai perangkat aturan untuk memberikan antisipasi kegiatan investasi di Indonesia era AFTA 2003. Dengan ini berarti hukum investasi harus diperbaharui sesuai dengan “ritme” tuntutan AFTA, guna menampung ketentuan-ketentuan AFTA.

Dengan demikian dalam rangka memasuki era AFTA 2003 Indonesia harus sudah mantap persiapannya untuk menghadapi pengaruh yang timbul terhadap perekonomian/perdagangan Indonesia dalam semua aspek.​​ Termasuk di dalamnya aspek hukum, khususnya hukum investasi yang merupakan pranata hukum yang berisikan kebijaksanaan untuk mengarahkan kegiatan investasi ke suatu arah ketentuan AFTA. Apalagi pada era 2003 ini awal berlakunya beberapa ketentuan perjanjian AFTA dan merupakan tenggang waktu bagi anggota negara-negara ASEAN untuk memperbaharui atau mengharmonisasikan hukum investasinya masing-masing agar sejajar dengan ketentuan AFTA.

Pendekatan Pembaharuan Hukum Investasi

Aksi yang harus dilakukan sekarang dalam konteks menyongsong era AFTA 2003 adalah melakukan pembaharuan produk-produk hukum investasi yang efektif untuk mengantisipasi AFTA. Berarti harus​​ dilaksanakan pembaharuan hukum atau​​ law making​​ yang bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum investasi, sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangan mutakhir, sesuatu yang biasa disebut sebagai modernisasi hukum.3​​ 

Dalam pembaharuan hukum ini perlu dibuat pendekatan dengan pengkajian hukum yang bertujuan mencapai jaminan dan kepastian hukum bagi kegiatan investasi secara global.​​ Namun, perlu menjadi pemahaman bahwa jalannya pengkajian hukum yang mengalami pergeseran fokus kajian sebagaimana peranan hukum dalam pembangunan antara tahun 1970 dan tahun 1990 di muka tidak harus dipisahkan pengertiannya. Karena sasaran yang dituju adalah sama-sama tercapainya jaminan dan kepastian hukum.

Dalam konteks pembaharuan hukum dalam memasuki era AFTA 2003 upaya untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum di Indonesia​​ semakin penting untuk dikaji.​​ Oleh karena itu, kebijaksanaan pembaharuan hukum Indonesia dalam era AFTA 2003 hendaknya berorientasi kepada jaminan dan kepastian hukum sesuai dengan yang diinginkan dalam ketentuan-ketentuan AFTA. Di samping itu, yang harus menjadi perhatian dalam pembaharuan hukum itu, adalah sarana yang dapat mempelancar jalannya perekonomian.​​ 

Untuk pembaharuan hukum investasi dalam rangka menuju berlakunya AFTA, maka proses yang harus dilakukan adalah membuat hukum investasi yang sesuai dengan persyaratan di atas, agar jalannya hukum investasi itu tidak terhambat. Persyaratan pembuatan hukum investasi itu juga harus diharmonisasikan dengan konsep AFTA melalui​​ Common Effective Preferential Tariff​​ [CEPT], yaitu penurunan tarif beberapa komoditi tertentu secara bersamaan sampai mencapai tingkat 0-5%, dimana penurunan tarif tersebut dilakukan secara bertahaf, yaitu sampai mencapai kondisi perdagangan bebas untuk seluruh komoditi setelah 15 tahun. Namun, tahap pertama penurunan tarif itu berlaku mulai 1 Januari 2003 pada 15 komoditi. Adapun kerangka CEPT adalah sebagai berikut:

1.  ​​​​ Ketentuan umum

  • Semua negara anggota ASEAN ikut serta dalam skema CEPT.

  • Produk produk yang dimasukkan ke dalam skema CEPT berdasarkan pendekatan sektoral pada tingkat 6 digit​​ Harmonized system​​ [HS].

  • Bagi negara-negara yang belum siap memasukkan produk-produk tertentu ke​​ dalam skema CEPT, pengecualian dapat dilakukan pada tingkat 8 atau 9 digit HS dan bersifat sementara.

  • Produk-produk yang dianggap “sensitif’’ oleh negara-negara anggota dapat dikeluarkan dari skema CEPT dan tidak diberikan konsesi dalam rangka CEPT berupa penurunan tarif [NTB] dan lain-lain. Setelah delapan tahun, produk yang dikeluarkan tersebut ditinjau kembali untuk ditetapkan apakah masuk skema CEPT atau dikeluarkan secara permanen. Ketentuan tersebut merupakan pelaksanaan prinsip [6-X].

  • Suatu produk CEPT harus memenuhi kandungan lokal [local content] paling sedikit 40%.

  • Produk-produk dari skema Tarif Preferensi ASEAN [ASEAN PTA] setelah dikenakan​​ Margin of Tariff Preference​​ [MOP] sehingga tarif efektifnya menjadi 20% atau lebih rendah, dialihkan masuk skema CEPT. Bagi produk ASEAN PTA yang belum memenuhi ketentuan di atas, tetap menikmati MOP yang berlaku.

2.  ​​​​ Lingkup Produk CEPT

Produk CEPT meliputi seluruh jenis produk industri, termasuk barang modal, produk olahan hasil pertanian, dan produk-produk lainnya yang tidak termasuk defenisi produk pertanian. Produk pertanian dan jasa dikeluarkan dari skema CEPT.

  • Penurunan Tarif dan Jangka Waktu

  • Penurunan tarif efektif produk CEPT dilaksanakan secara bertahap sampai mencapai tingkat antara 0-5% dalam jangka waktu 15 tahun.

  • Jadwal penurunan tarif:

    • Penurunan tarif yang sedang berlaku sampai menjadi tarif efektif 20% adalah dalam jangka waktu 5-8 tahun dan dimulai tanggal 1 Januari 1993.

    • Penurunan tingkat tarif efektif selanjutnya ​​ dari 20% menjadi 0-5% adalah dalam jangka waktu 7 tahun.

    • Secara keseluruhan kedua proses penurunan tersebut diatas tidak lebih dari 15 tahun.

  • Produk-produk yang telah mencapai tingkat tarif 20% atau lebih rendah, dapat menikmati konsesi CEPT dengan syarat negara yang bersangkutan mengumumkan jadwal penurunan tarifnya dari 20% menjadi 0-5% atas produk tersebut.

  • Jadwal penurunan tarif tersebut di atas tidak menghalangi suatu negara untuk menurunkan tarifnya menjadi 0% dengan segera.

  • Ketentuan-ketentuan Lainnya

  • Produk CEPT dibebaskan dari pembatasan kuantitatif dan larangan penggunaan valuta asing. Selanjutnya dalam 5 tahun bentuk-bentuk NTB lainnya harus telah dihapuskan.

  • Negara peserta tidak diperkenankan untuk menghapuskan atau mengurangi segala konsesi yang telah disepakati melalui penerapan sistem​​ Custom Valuation, pengaturan-pengaturan baru yang menghambat perdagangan, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

  • Dapat dilakukan langkah-langkah darurat asal saja sesuai dengan ketentuan GATT, yaitu:

  • Negara anggota diperkenankan mengambil langkah-langkah pengamanan yang dianggap perlu selama berkaitan dengan:

    • Perlindungan terhadap keamanan nasional.

    • Perlindungan moral masyarakat.

    • Perlindungan terhadap manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan kesehatan.

    • Perlindungan terhadap benda-benda yang mempunyai nilai artistik, sejarah, dan kepurbakalaan.

  • Dibentuk suatu badan setingkat menteri [council] untuk mengkoordinasikan, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan CEPT, serta membantu para Menteri Ekonomi ASEAN [AEM] dalam mengatasi segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan CEPT. Badan ini beranggotakan 1 [satu] orang wakil senior dari masing-masing negara anggota ASEAN dan Sekretaris Jenderal ASEAN. Sekretariat ASEAN memberikan dukungan administrasi bagi pelaksanaan tugas badan tersebut

  • Sebagai awal dari pelaksanaan CEPT, disepakati produk-produk yang dipercepat penurunan tarifnya menjadi 0-5%, yaitu meliputi : semen, pupuk, pulp, tekstil, perhiasan, permata, perabot dari kayu, rotan, barang-barang kulit, plastik, obat-obatan, elektronika, kimia, produk karet, minyak nabati, keramik, gelas dan copper cathode.

Berdasarkan pendekatan pembaharuan hukum investasi dalam menyongsong era AFTA 2003, maka program legislasi nasional di masa mendatang harus memberikan prioritas pada hukum yang berkaitan dengan kerangka konsep AFTA, melalui CEPT, dimana hukum investasi yang berlaku selama ini harus menjadi semakin terbuka, supaya arus investasi dapat berkembang dan sekaligus semakin mengurangi hambatan-hambatan dalam bentuk taruf maun non tarif. Negara yang dapat memanfaatkan AFTA tersebut secara luas akan meningkatkan arus investasinya, yang pada gilirannya akan menunjang kegiatan masuknya investasi ke negara itu dan selanjutnya akan meningkatkan pula kesejahteraan ekonomi negara tersebut.4​​ 

Dengan ini pembaharuan hukum investasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan harus mengakomodasikan konsep AFTA melalui CEPT berikut semua naskah persetujuannya yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan kegiatan investasi bagi anggota-anggota negara ASEAN.

Secara spesifik, pembaharuan hukum investasi itu, perlu mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini berkaitan dengan akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan, standar wajib bagi mutu dan keamanan produk, penanaman modal asing, pemilikan saham asing di Indonesia, perpajakan, bea cukai dan lain-lain peraturan yang dapat merupakan hambatan-hambatan dalam penanaman modal asing.​​ 

Seyogyanya pula pembaharuan hukum investasi yang akan diupayakan disesuaikan dengan tujuan dari AFTA, yang menyediakan kawasan ASEAN sebagai kekuatan efektif bagi pertumbuhan ekonomi regional dan dapat menarik investor intra​​ ASEAN ​​ maupun investor asing untuk menanamkan modalnya di kawasan negara-negara anggota ASEAN. ​​ Seterusnya pembaharuan hukum itu harus disesuaikan dengan​​ budaya hukum​​ [legal culture] ​​ bangsa Indonesia. ​​ Oleh karena budaya hukum tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Hukum Indonesia.​​ 

Penutup

Berdasarkan keterikatan Indonesia dalam penerapan AFTA, baik dalam perdagangan dan investasi sebagaimana diuraikan di​​ atas, pembaharuan hukum yang berkaitan dengan investasi tidak dapat dihindarkan, jika Indonesia ​​ tidak ingin tertinggal dengan negara-negara lain anggota ASEAN atau ditinggalkan oleh anggota negara ASEAN dalam hubungan investasi.​​ 

Pilihan kini untuk jalannya investasi di Indonesia adalah perlu mendapat dukungan dari hukum investasi yang selaras dengan substansi ketentuan-ketentuan AFTA. ​​ Oleh karena itu, perlu dibuat pembaharuan hukum investasi yang dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi investor, khususnya investor yang berasal dari negara ASEAN.​​ 

Selanjutnya, pembaharuan hukum investasi dalam kerangka AFTA itu harus dapat disejajarkan dengan ketentuan-ketentuan AFTA dan juga ketentuan-ketentuan kerjasama Internasional di antara negara-negara yang berkecimpung dalam pasar global.​​ 

Di samping itu, perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia pada biro hukum berbagai departemen maupun pemerintah, baik pusat, propinsi, kota maupun kabupaten untuk memahami konsep AFTA melalui CEPT, agar konsep AFTA melalui CEPT tersebut dapat selaras ​​ dengan hukum investasi yang berlaku di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ehrenberg, Daniel ​​ S., “The Labor Link : Applying the International Trading System to Enforce Violation of Forced and Child Labor,”​​ GATT Activities 1991, 20 Yale ​​ J. Int’l, 1995.

Hart, J.D. Ny., “The Role of Law in Economic Development,” ​​ dalam Erman Rajagukguk,​​ Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi,​​ Jilid ​​ 2,​​ Universitas Indonesia, Jakarta, 1995.

Kartadjoemana, H.S.,​​ GATT dan WTO, UI-Press, Jakarta, 1996.

Naisbit, John,​​ Global Pradox, William Morrow and Company, Inc., New York ,1994.

Rahardjo, Satjipto, ​​ Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983.

Rajagukguk, Erman, “Pembaharuan Hukum Indonesia Dalam Era Globalisasi : Suatu Pemikiran Untuk mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan,” dalam​​ Agenda Bangsa Pasca 50 Tahun Indonesia Merdeka, CIDES, Jakarta, 1995.

Theberge, Leonard ​​ J., “Law and Economic Development,” ​​ Journal of International Law and Policy¸​​ Vol. 9, 1980.

Wright, Quncy,​​ Encyclopedia Americana,​​ Americana Corporation, New York, 1969.

ASPEK HUKUM DALAM TRANSPARANSI PENGELOLAAN PERUSAHAAN BUMN/BUMD​​ 

SEBAGAI UPAYA MEMBERANTAS KKN

Sampai sekarang ini, pembicaraan​​ good corporate governance, khususnya peningkatan transparansi dalam etos kerja pengelolaan perusahaan masih mampu untuk menarik perhatian banyak orang. Mengapa pembicaraan itu menarik ? tidak lain, oleh karena adanya pendapat, rupa-rupanya penerapan prinsip transparansi perusahaan sampai sekarang belum seluruhnya memuaskan. Berita-berita tentang​​ inefficiency,​​ Korupsi,​​ Kolusi dan​​ Nepotisme [KKN]​​ sebagai​​ hidden enemy​​ masih menghiasi berbagai media massa. Berdasarkan Indeks Keburaman​​ [Opacity Index]​​ yang pernah diturunkan majalah​​ the Economist ​​​​ 3 Maret 2001, dimana​​ Opacity Index​​ tersebut mengukur ketidakjelasan​​ sistem​​ hukum dan pengaturan, kebijakan ekonomi makro dan perpajakan, standar​​ praktik​​ akuntansi serta korupsi di tiga puluh lima negara. Cina, Rusia, dan Indonesia merupakan negara yang paling buram.​​ 

Apabila penerapan prinsip transparansi yang terdapat dalam strategi​​ good corporate governance​​ dikaitkan dengan upaya memberantas KKN,​​ maka penekanan pelaksanaan prinsip keterbukaan menjadi penting. Sebab penerapan transparansi akan dapat meminimalisasi KKN tersebut. Apalagi​​ Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah​​ memasukkan pula tanggung jawab korporasi. Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Dalam Pasal 20 ayat 3 Undang-Undang tersebut juga ditentukan bahwa dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.​​ 

Secara spesifik, penerapan prinsip transparansi itu berfungsi untuk mendukung jalannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dimana dalam konsideran peraturan perundang-undangan tersebut ditegaskan bahwa korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional yang membutuhkan efisiensi tinggi. Tulisan ini tidak membahas secara mendalam tentang KKN, hanya lebih menitikberatkan pembahasan kajiannya pada fungsi transparansi tersebut dalam kaitannya dengan​​ good corporate governance.

Good Corporate Governance

Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms menguraikan istilah​​ pengelolaan perusahaan​​ [corporate governance] dari Ira M. Millstein, “The Evolution of Corporate Governance in the United States,” yang dibacakan di depan Forum Ekonomi Dunia, di Davos, Swiss pada tanggal 2 Februari 1998, dimana dikatakan bahwa istilah “pengelolaan perusahaan” memiliki banyak definisi. Istilah tersebut dapat mencakup segala hubungan perusahaan, yaitu hubungan antara modal, produk, jasa dan penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas.1

Istilah pengelolaan perusahaan juga dapat mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan untuk dapat dipertanggungjawabkan di depan para pemegang saham perusahaan publik, seperti juga audit juga kerja dari pasar untuk mengkontrol perusahaan. Istilah itu dapat juga​​ mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu kepada keaktifan pemegang saham.2​​ 

Secara lebih sempit, istilah pengelolaan perusahaan dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dari dewan direksi. Adapun sebutan yang tepat untuk definisi ini adalah pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan antara manajer perusahaan dan pemegang saham, didasarkan pada suatu pandangan bahwa dewan direksi merupakan agen para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan untuk dikelola guna kepentingan perusahaan tersebut.​​ 

Secara singkat istilah pengelolaan perusahaan tersebut oleh Gregory dan Simms diuraikan dengan pandangan definisi luas dan terbatas. Secara terbatas,​​ istilah tersebut berkenaan dengan hubungan antara manajer, direktur dan pemegang saham perusahaan. Istilah tadi juga dapat mencakup hubungan antara perusahaan itu sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat. Sedangkan, secara luas istilah pengelolaan perusahaan dapat meliputi kombinasi hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktik pribadi yang memungkinkan perusahaan menarik modal masuk, berkinerja secara efesien, menghasilkan keuntungan dan memenuhi ​​ harapan masyarakat secara umum dan sekaligus kewajiban hukum.3

Grup Penasehat Bisnis Sektor​​ Organization for Economic Coorperation and Development​​ [OECD] mengenai Pengelolaan Perusahaan membuat satu laporan mengenai prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan [corporate governance] dari pandangan sektor swasta dengan menitikberatkan pada “apa yang diperlukan oleh suatu pengelolaan untuk menarik modal.”​​ Laporan tersebut diketua oleh, Ira M. Millstein [Laporan Millstein].4 ​​​​ 

Dalam Laporan Millstein itu disebutkan, intervensi pemerintah dalam masalah pengelolaan perusahaan adalah cara yang paling efektif dalam rangka menarik modal, jika intervensi tersebut terfokuskan pada empat bidang. Salah satu bidang diantara tiga bidang lainnya adalah bidang transparansi. Tiga bagian lainnya ​​ ialah,​​ pertama, pemastian adanya perlindungan atas hak–hak pemilik saham minoritas dan asing, dan pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya/bahan.​​ Kedua, pengklarifikasian​​ peran dan tangung jawab pengelolaan serta usaha-usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham untuk diawasi ​​ oleh dewan direksi.​​ Ketiga, pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat adalah bidang​​ transparansi,5​​ yang sekaligus menjadi salah satu prinsip OECD dalam pengelolaan perusahaan.6​​ 

Prinsip transparansi tersebut menyatakan, bahwa ​​ “kerangka pengelolaan perusahaan harus dapat memastikan bahwa pengungkapan informasi yang akurat​​ atau tepat dilaksanakan berkaitan dengan materi yang menyangkut perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan dan kepemimpinan dari suatu perusahaan.”7

Berkaitan dengan prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan yang baik oleh OECD tersebut, Cetak Biru Pasar​​ Modal Indonesia dibuat Bapepam,​​ juga menetapkan strategi pengembangan pasar modal. Salah satu strategi yang ditekankan, bahwa agar​​ good corporate governance​​ dapat dimengerti dan diterapkan dengan baik, maka perlu dicermati kajian yang dilakukan oleh OECD terhadap prinsip-prinsip utama​​ good corporate governance, termasuk prinsip keterbukaan.8​​ Upaya mencapai​​ good corporate governance​​ tersebut, juga sesuai​​ dengan pernyataan Bapepam, bahwa salah satu penyebab rentannya perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap gejolak perekonomian adalah lemahnya penerapan​​ good corporate governance​​ dalam pengelolaan perusahaan.9

Fungsi Transparansi

Prinsip transparansi​​ [selanjutnya disebut “keterbukaan”] penting untuk mencegah penipuan [fraud] atau KKN. Sangat baik untuk dipahami ungkapan yang pernah diungkapkan Barry A.K Rider: “sun light is the best disinfectant and electric light the policeman.” Dengan perkataan lain, Rider mengatakan bahwa “more disclosure will inevitably discourage wrongdoing and abuse.10​​ 

Selanjutnya, dia menyatakan bahwa dalam pasar keuangan pendapat tersebut tidak perlu lagi dibuktikan, tetapi lebih banyak tergantung informasi apa yang harus diungkapkan dan kepada siapa informasi itu disampaikan.11​​ Fungsi prinsip keterbukaan untuk mencegah penipuan tersebut adalah pendapat yang paling tua.12

Dengan demikian prinsip keterbukaan menjadi isu utama yang harus dikaji. Prinsip keterbukaan sekarang ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah merupakan sejarah yang panjang dalam kegiatan perusahaan atau dunia pasar modal.​​ 

Untuk lebih memahami pembenaran prinsip keterbukaan tersebut, dapat diikuti pengamatan Coffee tentang perlunya sistem keterbukaan wajib [mandatory disclosure system], dimana dengan teori yang lebih sederhana ia dapat menjelaskan bagaimana​​ sistem​​ keterbukaan difokuskan. Coffee.​​ Jr mengatakan, bahwa ada dasar substansial untuk dipercaya bahwa ketidakefisienan yang lebih besar akan terjadi tanpa​​ sistem​​ keterbukaan wajib, karena biaya sosial yang berlebih akan dikeluarkan investor untuk mengejar laba perusahaan.13​​ 

Pengamatan Coffee tentang perlunya mempertahankan​​ sistem​​ keterbukaan wajib tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerapan keterbukaan bagi BUMN/BUMD. Gunanya untuk mengatur pemberian informasi mengenai keadaan keuangan dan informasi lainnya kepada investor atau​​ stakeholders.14 ​​​​ Dengan perkataan lain, tujuan yang ingin dicapai ketentuan penerapan keterbukaan itu adalah untuk menghasilkan dokumen yang menceritakan kepada investor atau​​ stakeholders,​​ mengenai berbagai hal yang seharusnya diketahui oleh mereka.​​ 

Dengan pemberian informasi berdasarkan prinsip keterbukaan itu, maka dapat diantisipasi terjadinya kemungkinan investor atau​​ stakeholders​​ tidak memperoleh informasi atau fakta materiel. Sebaliknya, informasi itu juga sangat berfungsi karena berisi fakta materiel, yang dapat dibuat sebagai bahan untuk memberantas KKN dalam BUMN/BUMD. ​​ ​​ 

Standar Pemeriksaan Keuangan Perusahaan Publik

Kejadian yang menimpa beberapa perusahaan publik dan dunia akuntan di pasar modal Amerika Serikat, yang pada mulanya ​​ dipicu dengan indikasi​​ misrepresentation​​ dalam laporan keuangan, seperti yang​​ terjadi pada kasus Enron Corporation, Xerox, WordCom dan Merc, perlu dicermati. Oleh karena, setelah kejadian-kejadian tersebut telah​​ memunculkan berbagai pendapat yang mengarah pada perlunya ditinjau kembali standar pemeriksaan keuangan oleh akuntan. Walaupun selama ini di pasar modal Amerika Serikat dianggap telah mempunyai standar yang ketat, namun tuntutan lebih memperketat standar tersebut telah menjadi wacana.​​ 

Memang masalah standar itu telah lama dibicarakan dalam pasar modal di Amerika Serikat, dimana disebutkan bahwa ​​ Akuntan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal tidak bebas bekerja tanpa suatu standar. Menurut Marc I Steinberg, para akuntan tetap dituntut bekerja dengan sangat hati-hati untuk melihat informasi yang diberikan emiten pada waktu​​ due diligence​​ sesuai dengan yang telah dalam penelitian yang cukup [reasonable investigation].​​ 

Standar​​ reasonable investigation​​ didasarkan pada standar berakal sehat dan bijaksana dalam mengurus harta milik pribadi [prudent man in the management of his own property]. Steinberg menyebutkan pula, bahwa standar​​ prudent man​​ tidak hanya didasarkan kepada investigasi yang wajar, tetapi juga kepada kepercayaan yang wajar.​​ 

Di Indonesia, standar pemeriksaan keuangan perusahaan di pasar modal sebagai dasar penerapan pertanggungjawaban akuntan yang melakukan pemeriksaan keuangan perusahaan masih belum cukup.​​ Sedangkan permasalahan berkenaan dengan standar akuntansi tersebut paling perlu untuk mendapat perhatian. Penekanan terhadap permasalahan standar akuntansi itu sesuai dengan adanya pertanyaan yang berkembang pada sekitar pemberlakuan standar akuntansi bagi perusahaan yang akan​​ go public.

Pernyataan Menyesatkan

Pernyataan menyesatkan, sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan prinsip keterbukaan. Sebab pada umumnya pelanggaran peraturan prinsip keterbukaan terdiri dari pernyataan menyesatkan yang disebabkan adanya​​ misrepresentation. ​​​​ Dalam pandangan hukum pasar modal pelanggaran peraturan prinsip keterbukaan tersebut dikategorikan sebagai penipuan [fraud].​​ 

​​  Pelanggaran prinsip keterbukaan, yaitu pernyataan menyesatkan dalam bentuk​​ misrepresentation,​​ dapat​​ terjadi apabila ada pernyataan yang secara jelas tidak sesuai dengan fakta. Artinya, pernyataan tersebut tidak benar sesuai dengan fakta dan terdapat suatu gambaran yang salah atau gambaran yang diterima oleh investor tersebut menciptakan suatu kondisi yang berlainan dengan keadaan yang sebenarnya, seperti perbuatan-perbuatan yang memberikan gambaran yang salah terhadap kualitas emiten, manajemen, potensi ekonominya, saham-saham yang ditawarkan atau fakta materiel.​​ 

Oleh sebab itu​​ misrepresentation​​ adakalanya disebut juga dengan​​ misstatement, yaitu suatu perbuatan yang membuat pernyataan yang salah, khususnya berkaitan dengan data internal yang dapat menyesatkan bagi investor. Selain itu, pernyataan menyesatkan juga dapat muncul karena adanya​​ omission,​​ yaitu perbuatan penghilangan informasi fakta materiel, baik dalam dokumen-dokumen maupun dalam perdagangan saham. Dengan demikian pelanggaran prinsip keterbukaan dalam bentuk “pernyataan menyesatkan” harus dipertanggungjawabkan secara hukum.​​ 

Usul-Usul​​ 

Dalam Pembaharuan Undang-Undang Perseroan Terbatas Dan Undang-Undang Pasar Modal

Dalam pembaharuan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Pasar Modal perlu pencantuman hak-hak​​ Komisaris dan​​ Direktur Independen​​ tersebut. Perlindungan ​​ terhadap kepentingan​​ pemegang saham minoritas [yang bukan​​ pemegang​​ saham​​ pengendali] diusulkan agar tercermin dengan adanya wakil-wakil mereka yang duduk sebagai Komisaris dan Direksi. Diusulkan pula agar Pemegang Saham Non Pengendali ini dapat mengadakan RUPS tersendiri untuk hal-hal tertentu dan keputusannya dapat mengikat seluruh pemegang saham.

Tugas Komisaris Independen antara lain :

  • Menelaah kebijakan-kebijakan akuntansi yang penting dan​​ praktik​​ yang dilakukan oleh perseroan sebagaimana tertuang dalam laporan keuangan.

  • Melakukan pembahasan dengan pemeriksa independen sehubungan dengan permasalahan hasil audit.

  • Melakukan pengawasan keuangan internal perseroan.

  • Melakukan pembahasan atau penelaahan atas efektifitas pengendalian internal perseroan.

  • Dalam hal tertentu dapat menetapkan ruang lingkup dan jangka waktu pekerjaan pemeriksa independen.

  • Menelaah organisasi dan independensi pemeriksa internal.

  • Menelaah tingkat kepatuhan perseroan terhadap pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Begitu juga ada yang mengusulkan Tugas dan Wewenang Direksi Independen untuk hal-hal tertentu. Umpamanya, perbuatan-perbuatan dibawah ini hanya dapat dilakukan oleh Direksi dengan persetujuan tertulis dari Direktur Independen​​ :

  • Melepaskan atau menjaminkan aktiva tetap [fixed asset] dan aktiva lancar [current asset] perseroan.

  • Mengambil bagian baik sebagian atau seluruhnya atau ikut serta dalam perseroan atau badan-badan lain atau menyelenggarakan perusahaan baru.

  • Melepaskan sebagian atau seluruhnya penyertaan perseroan dalam perseroan atau badan-badan lain.

  • Menerima atau memberikan pinjaman jangka pendek, menengah, panjang baik yang bersifat operasional maupun tidak operasional yang melebihi jumlah tertentu yang ditetapkan oleh anggaran dasar.

  • Mengadakan perjanjian atau kerjasama lisensi, manajemen atau perjanjian sejenisnya dengan badan usaha atau pihak lain.

  • Mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga yang membawa konsekuensi keuangan perseroan secara material pada Perseroan.

  • Mengikat perseroan sebagai penjamin [borg​​ atau​​ avalist] yang mempunyai akibat keuangan secara material pada Perseroan.

  • Untuk tidak menagih lagi dan menghapuskan dari pembukuan piutang.

  • Penghapusan persediaan barang yang melebihi jumlah tertentu yang mempunyai akibat keuangan secara material pada Perseroan.

  • Mengeluarkan jumlah uang melebihi suatu jumlah tertentu yang ditentukan dalam anggaran dasar.

  • Mengembangkan proyek baru yang mempunyai akibat keuangan secara material pada Perseroan.

  • Melakukan pengeluaran-pengeluaran non​​ rutin dan Perseroan.

  • Mengangkat staf ​​ manajemen ​​ dua tingkat dibawah Direksi.

  • Menentukan gaji staf ​​ manajemen ​​ dua tingkat dibawah Direksi.

  • Menunjuk konsultan hukum, akuntan dan penilai independen.

  • Menentukan jumlah bonus bagi karyawan.

Disamping​​ pembaharuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, perlu pula pembaharuan Undang-Undang Pasar Modal. Antara lain diusulkan agar, umpamanya, Bapepam dapat mewajibkan Emiten untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen apabila Perusahaan Publik tersebut​​ akan melakukan tindakan​​ yang mengandung benturan kepentingan dengan kepentingan pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham pengendali.

Pemegang saham independen adalah pemegang saham yang tidak mempunyai benturan kepentingan sehubungan dengan suatu transaksi tertentu serta bukan merupakan ​​ Pihak Terafiliasi dari direktur, komisaris atau​​ pemegang​​ saham​​ utama. Benturan kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis atau kepentingan lainnya dari​​ perusahaan dengan kepentingan ekonomis atau kepentingan lainnya dari pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama perusahaan.

Usul-usul pencantuman pasal-pasal baru dalam Undang-Undang Pasar Modal tersebut diatas, dapat mendorong terlaksananya pengelolaan perusahaan dengan baik [good corporate governance], dengan adanya partisipasi​​ komisaris dan​​ direksi yang mewakili​​ pemegang​​ saham minoritas bukan pengendali. Partisipasi tersebut dalam bentuk persetujuan mereka terlebih dulu manakala perusahaan bermaksud mengambil keputusan-keputusan yang penting​​ sebagaimana diuraikan diatas.

Penutup

Bagi pihak manajemen perusahaan, khususnya manajemen BUMN/BUMD mutlak ​​ memahami prinsip keterbukaan, agar dapat memahami apa yang telah ditetapkan dalam strategi​​ good corporate governance,​​ khususnya​​ berkaitan dengan KKN.​​ 

Pemahaman​​ ini​​ sekaligus berguna untuk lebih mendalami persoalan bagaimana menciptakan perusahaan yang efisien. Hal ini sejalan dengan tujuan prinsip keterbukaan, yaitu untuk menciptakan mekanisme pasar yang efisien, melindungi investor, dan membantu menetapkan harga pasar yang akurat.​​ 

Peraturan yang mewajibkan prinsip keterbukaan harus ditegakkan, sebab peraturan kewajiban prinsip keterbukaan secara substansial memberikan informasi yang lengkap dan akurat pada saat-saat yang ditentukan. Selain itu, yang lebih penting lagi, bahwa peraturan prinsip keterbukaan tersebut mengatur pengawasan, waktu, tempat, dan dengan cara bagaimana perusahaan melakukan keterbukaan.​​ 

Hal ini relevan dengan apa yang dikatakan Sangita, SN dalam​​ Anti Corruption Strategies,​​ bahwa penanggulangan korupsi membutuhkan paling tidak tiga faktor penting. Pertama, adequacy, comprehensiviness and compatibility of anti-corruption strategies to attack the causes of corruption.​​ Kedua, political will to implement the strategis. Ketiga,​​ social pressure and control to eradicate corruption.15

DAFTAR PUSTAKA

Bapepam,​​ Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, Jakarta: Bapepem, 1999.

Barry A.K. Rider, “Global Trens in Securities Regulation: The Changing Legal Climate,”​​ Dickinson Journal of International Law,​​ [Spring, 1995].

Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance]: Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance], kerjasama, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.

John C. Coffee, Jr, “Market Failure and the Econjomic Case for A Mandatory Disclosure System,”​​ Virginia Law Review,​​ [Vol. 79, 1984].

Laporan Millstein itu dimuat dalam Business Sector Advisory Group, “Report to the OECD on Corporate Governance: Improving Competiveness and Access to Capital in Global Markets [April 1998].​​ 

Muladi, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kerugian Negara dalam Badan Usaha Milik Negara Berdasarkan Undang-Undang Korupsi di Indonesia,” makalah disampaikan dalam SeminarSehari Reposisi Keuangan Negara: Pengelolaan, Pertanggungjawaban, dan Pemeriksaan BUMN Menuju Good Governance,” Jakarta, tanggal 20 Februari 2003.

Nicholas I. Georgakopoulus, “Why Should Disclosure Rules Zubsidize Informed Traders,”​​ International Review Law and Economic,”​​ [Vol. 16, 1996].

Richard W. Jenning dan Harold Marsh, Jr,​​ Securities Regulation Cases and Materials,​​ [New York: The Foundation Press Inc, 1987].

PENERAPAN​​ GOOD CORPORATE GOVERNANCE​​ DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN KREDIT*

Salah satu yang mengakibatkan runtuhnya perekonomian Indonesia disebabkan oleh karena tidak adanya​​ good corporate governance​​ di dalam pengelolaan perusahaan. Kajian Booz-Allen & Hamilton pada tahun 1998 menunjukkan bahwa​​ indeks​​ good corporate gavernance​​ Indonesia dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Singapura dan Jepang adalah yang paling rendah. Dalam kajian yang sama ditemukan bahwa indeks efisiensi hukum dan peradilan juga paling rendah. Sama dengan penelitian McKinsey tahun 1999, menunjukkan bahwa persepsi investor mengenai praktik​​ good corporate governance​​ pada perusahaan-perusahaan Indonesia juga adalah paling rendah.1​​ 

Selanjutnya,​​ kajian yang dibuat oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa lemahnya penerapan​​ corporate governance​​ merupakan faktor yang menentukan parahnya krisis di Asia. Kelemahan tersebut antara lain terlihat dari minimnya pelaporan kinerja keuangan dan kewajiban-kewajiban perusahaan, kurangnya pengawasan atas aktivitas manajemen oleh Komisaris dan Auditor, serta kurangnya insentif untuk mendorong terciptanya efisiensi di perusahaan melalui mekanisme persaingan yang​​ fair.2

Grup Penasehat Bisnis Sektor​​ Organization for Economic ​​​​ Cooperation and Development​​ ​​ [OECD] menetapkan empat prinsip umum​​ good corporate governance, yaitu prinsip keadilan [fairness],​​ keterbukaan [transparency],​​ tanggungjawab [accountability] dan pertanggungjawaban [responsibilty].​​ 

Berkaitan dengan prinsip-prinsip​​ good corporate governance,​​ maka bank ​​ sebagai jantung dan motor penggerak perekonomian suatu negara,3​​ harus mengupayakan pelaksanaannya dalam kegiatan bank. Hal ini mengingat pentingnya bank tersebut. William A. Lovett mengatakan: “Bank and financial institutions collect money and deposits from all elements of society and invest these funds in loans, securities and various other production assets.”4 ​​​​ 

Pentingnya bank, juga dapat​​ beberapa hal dari bisnis yang dianggap paling menarik dapat diamati antara lain, bahwa bisnis tersebut dimulai dan didanai oleh masyarakat atau badan-badan atau bisnis tersebut pada awalnya berkembang dengan pemberian kredit pemasok [supplier credit] dan diikuti dengan pendanaan dari bank.5

Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsi utama bank, yaitu untuk memobilisasi​​ dana masyarakat dan menyalurkan dana tersebut dalam bentuk kredit kepada penggunaan atau investasi yang efektif dan efisien, perlu didukung peraturan yang cukup yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip​​ good corporate governance.​​ 

Makalah ini mencoba membahas masalah pelaksanaan peraturan perkreditan dalam industri perbankan Indonesia. Pembahasan ini perlu mengingat pengaturan antara industri perbankan dan kegiatan perbankan tidak dapat dipisahkan. Ingo Walter mengatakan, “…small changes in financial regulation can bring about trully massive changes in financial activity….”6​​ Selanjutnya, tujuan pengaturan industri perbankan untuk menjaga​​ keamanan [safety] bank dan pengaturan pemberian kredit,7​​ agar dapat dipastikan bank dapat secara tepat dan cepat menyalurkan kredit-kreditnya kepada pihak yang sangat membutuhkan.

 

Masalah Pemberian Kredit

Bank di Indonesia pernah mengalami masalah-masalah yang menuju kehancuran. Masalah-masalah tersebut berasal dari faktor makro dan mikro. Masalah yang berasal dari faktor makro adalah bermula dari krisis ekonomi yang terjadi sejak semester kedua tahun 1997. Hal ini ditandai dengan krisis nilai tukar ditandai dengan anjloknya nilai rupiah terhadap US Dolar sebesar 109,6% pada Desember 1997 dibandingkan dengan nilai Rupiah pada Juli 1997.8​​ 

Masalah makro itu berkaitan dengan masalah mikro, yaitu munculnya krisis utang swasta yang mengakibatkan krisis perbankan. Sebab, menurut Laporan Tahunan 1997/1998 Bank Indonesia, anjloknya nilai rupiah itu telah memperburuk kualitas perkreditan bank-bank. Kondisi itu dapat dilihat dari kondisi kredit setelah krisis melanda Indonesia, dimana jumlah kredit bermasalah meningkat 50% pada Juni 1998 dari total Rp. 625,5 triliun yang disalurkan. Jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan tahun 1996, yaitu 10% dari jumlah kredit yang disalurkan.9

Setidak-tidaknya kehancuran industri perbankan Indonesia disebabkan enam faktor.​​ Pertama,​​ penyaluran kredit yang terlalu ekspansif yang dipacu oleh pemasukan dana luar negeri yang bersifat rentan, oleh karena sifatnya jangka pendek.​​ Kedua,​​ pemberian kredit tanpa melalui proses analisa kredit yang sehat.​​ Ketiga,​​ konsentrasi kredit yang berlebihan kepada suatu kelompok usaha atau individu baik yang terkait dengan bank maupun tidak.​​ Empat, moral hazard​​ karena belum tegasnya mekanisme​​ exit policy ​​ ​​​​ dan berlarut-larutnya penyelesaian bank-bank bermasalah.​​ Lima,​​ campur tangan pemilik yang berlebihan dalam manajemen bank [bahkan tidak sedikit pemilik yang merangkap jabatan sebagai pengurus bank].​​ Keenam,​​ lemahnya aspek supervisi dan regulasi perbankan.10​​ 

Oleh karena itu, hancurnya bank erat kaitannya dengan pemberian kredit yang berisiko tinggi, yang pada gilirannya dapat berakibat pada keamanan dan kesehatan industri perbankan. Hal ini dapat diamati dari proses penyaluran kredit yang terjadi dengan praktik​​ mark-up,​​ sehingga pada gilirannya menghancurkan struktur kapital itu sendiri.​​ 

Dalam temuan Booz-Allen & Hamillton menunjukkan bahwa​​ mark-up​​ dari dana pinjaman yang diminta [application of funds]​​ sampai 10 kali​​ operating cash flow​​ yang riil. Walaupun tidak di-mark-up,​​ perusahaan-perusahaan tersebut berusaha menutup kekurangan biaya untuk operasi dari pinjaman. Akibatnya, perusahaan akan rugi terus-menerus meminjam dana dari luar negeri, yang bahkan melampaui pendapatan operasionalnya sendiri, sehingga mengalami​​ deteriorating financial performance.11​​ ​​ 

Dalam konteks Indonesia, masalah pemberian kredit antara lain dapat diamati dari besarnya kredit yang disalurkan oleh bank kepada kelompok usaha sendiri. PT. Bank Dagang Nasional [BDNI] telah menyalurkan kredit kepada grup usahanya sebesar Rp. 24.4 Trilliun atau 90,7%. Sedangkan PT. Bank Danamon sebesar Rp. 12.9 Trilliun atau 43,8%. Selanjutnya, PT. Bank Modern sebesar Rp. 1.2 Trilliun atau 63,2% dari total kredit yang disalurkan.12​​ Masalah itu berpotensi terhadap pelanggaran Ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit​​ [BMPK], yang menetapkan bahwa bank dilarang memberikan kredit lebih 20% dari modalnya kepada satu perusahaan atau suatu grup perusahaan. Apabila debitor adalah pihak terkait dengan bank maksimal kredit adalah 10% dari modal bank. Pelanggaran Ketentuan BMPK itu telah mulai sejak Oktober 1995. Misalnya Bank Anrico memberikan pinjaman kepada anak perusahaan sebesar 1.925% dari modalnya. Sedangkan Bank Jakarta menyalurkan kredit kepada perusahaan terkait lebih dari dua kali modalnya.13​​ 

Kasus yang sama, baru-baru ini terjadi pada bank-bank BUMN, dimana Badan Pemeriksa Keuangan [BPK] menemukan yang hampir dapat dipastikan bahwa terjadi penyimpangan penyaluran kredit di beberapa bank BUMN sebesar Rp. 189 Trilliun. Salah satu penyimpangannya meliputi pelanggaran BMPK.14 ​​ ​​ ​​​​ 

Masalah pemberian kredit lainnya, juga dapat diamati dari pemberian kredit kepada grup usaha sendiri itu, sering tidak diiringi dengan penyediaan jaminan yang cukup. Di Amerika Serikat, pemberian kredit yang tidak dijamin secara cukup dikategorikan sebagai penipuan [fraud]. Pengadilan dalam kasus FDIC v. WR. Grace & Co, 877 Fed 2d 614 [7th​​ cir 1989] berpendapat, bahwa debitor dinyatakan telah melakukan penipuan, apabila tidak memberitahukan kepada kreditor bahwa jaminan yang diberikannya tidak cukup.15​​ 

Masalah-masalah pemberian kredit tersebut menjadi penyebab kegagalan bank dalam ​​ menjalankan fungsinya dan dari masalah-masalah itu antara lain dapat digambarkan Helen A. Garten, bahwa penyebab kegagalan berkaitan dengan kelalaian, penipuan dan penggelapan pengurus bank.16​​ Oleh karena itu, yang dikatakan Fred Galves, “the best way to rob a bank is own one,”17​​ dan masalah-masalah pemberian kredit, perlu diantisipasi dengan peraturan pelaksanaan perkreditan yang cukup berdasarkan prinsip-prinsip​​ good corporate governance.​​ ​​ 

Penerapan Good Corporate Governance

Holly J. Gregory dan Marsha E. Simms saat membicarakan pengelolaan perusahaan [corporate governance], menyinggung “apa dan mengapa pengelolaan perusahaan ​​ penting.” Gregory dan Simms membuat pernyataan dengan mengutip pendapat James D. Wolfensohn yang mengatakan, bahwa dalam dunia ekonomi saat ini, pengelolaan perusahaan telah dianggap penting sebagaimana pemerintah negara.”18

Hal ini dapat dipahami dari batasan pengelolaan perusahaan tersebut, sebagaimana dikatakan Ira M. Millstein, ​​ yang memberikan penekanan pada cakupan dari segala hubungan perusahaan. Seperti hubungan antara pemodal, produk jasa dan penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas.19

Selanjutnya istilah​​ good corporate governance​​ dapat juga mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan​​ dapat dipertanggungjawabkan dihadapan pemegang saham dan publik. Istilah​​ good corporate governance​​ juga dapat mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu pada keaktifan pemegang saham. Secara lebih sempit, istilah​​ good corporate governance​​ itu dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dewan direksi. Termasuk pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan antara dewan direksi [pengelola] perusahaan dan​​ pemegang saham, yang didasarkan pada pandangan bahwa dewan direksi merupakan perantara para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan dikelola demi kepentingan pemegang saham.​​ 

Hal ini sejalan dengan paradigma bahwa para direksi bertanggungjawab kepada dewan komisaris dan dewan komisaris bertanggung​​ jawab kepada pemegang saham.20​​ 

Dengan demikian pengelolaan bank penting diformulasikan dengan prinsip-prinsip​​ good corporate governance, agar kualitas pengelolaan bank dapat mendorong jalannya fungsi utama bank tersebut, sekaligus untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Dalam konteks pelaksanaan perkreditan, diperlukan pendekatan peraturan yang mengatur pemecahan permasalahan perkreditan yang muncul dalam industri perbankan. Pemberian kredit harus didasarkan pada keadilan, keterbukaan, pertanggungjawaban dan tanggung​​ jawab, agar sumber kredit stabil dan dapat dipercaya, sekaligus mencegah risiko yang berlebihan.

 

Prinsip Keadilan

Peraturan perkreditan ​​ harus menentukan jaminan yang cukup secara tegas ​​ dengan sanksi yang cukup, dimana pelaksanaan pemberian kredit dikelola dengan​​ prudential. ​​ Di ​​ samping ​​ itu, peraturan ​​ perkreditan ​​ itu ​​ harus ​​ menentukan ​​ secara cukup antisipasi terhadap kemungkinan praktik pemberian kredit ​​ yang ​​ merugikan, seperti penipuan. Selanjutnya peraturan ​​ perkreditan ​​ tersebut ​​ harus ​​ menentukan secara ​​ cukup ​​ bahwa ​​ setiap ​​ contractual ​​ relationship ​​ harus ​​ dapat ​​ dilaksanakan secara efektif.

Formulasi ​​ prinsip ​​ keadilan  ​​​​ dalam  ​​​​ peraturan  ​​​​ perkreditan,  ​​​​ juga  ​​​​ harus ​​ melakukan  ​​​​ pendekatan  ​​​​ pada  ​​​​ prinsip  ​​​​ pengawasan,  ​​​​ dimana  ​​ ​​​​ direksi  ​​​​ mempunyai peran yang cukup untuk mengawasi manajemen.21​​ Alasan dilakukan pengawasan itu berkaitan dengan upaya menjaga kepercayaan masyarakat. Pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas​​ sistem​​ perbankan penting diupayakan, oleh karena kepercayaan masyarakat merupakan faktor yang sangat krusial dalam bank sebagai industri jasa.

Untuk menjaga kepercayaan masyarakat dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan secara langsung maupun secara berkala terhadap kepatuhan bank pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkreditan dalam industri perbankan.​​ 

Bank Indonesia [BI] Nomor: 1/6/PBI/1999 tentang Pengawasan Direktur Kepatuhan [Compliance Director] dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Bank Umum. Dalam peraturan itu disebutkan, bahwa Direktur Kepatuhan adalah anggota direksi bank atau anggota pimpinan kantor cabang bank asing yang ditugaskan untuk menerapkan langkah-langkah yang diperlukan, guna memastikan kepatuhan bank terhadap peraturan perundang-undangan lain yang berlaku dan perjanjian serta komitmen dengan BI. Selanjutnya, disebutkan bahwa Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank [SPFAIB] adalah ukuran minimal yang harus dipatuhi oleh semua bank dalam melaksanakan fungsi audit intern.

Di samping itu, BI telah membuat peraturan BI Nomor: 2/1/PBI/2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan [Fit and Proper Test], dimana disebutkan bahwa​​ penilaian​​ kemampuan dan kepatuhan adalah hasil proses evaluasi secara berkala atau setiap waktu, apabila dianggap perlu oleh BI terhadap integritas pemegang saham pengendali serta integritas dan kompetensi dari pengurus dan pejabat eksekutif dalam mengelola kegiatan operasional bank.

Peraturan tersebut merupakan salah satu pemenuhan terhadap prinsip keadilan dalam​​ good corporate governance,​​ oleh karena melalui ketentuan itu diupayakan tegaknya prinsip berhati-hati [prudent] dalam​​ mengelola bank. Kongres Amerika Serikat, tepatnya pada tahun 1991, telah mewajibkan seluruh lembaga perbankan federal untuk menetapkan ketentuan yang merumuskan standar​​ safety and soundness​​ dalam tiga bidang.​​ Pertama, ​​​​ operasi dan manajemen.​​ Kedua,​​ kualitas aset, pendapatan, dan penilaian saham.​​ Ketiga,​​ kompensasi karyawan.  ​​​​ 

 ​​​​  

Prinsip Keterbukaan

Prinsip keterbukaan dalam industri perbankan​​ berkaitan dengan prinsip keadilan sebagaimana diuraikan di muka. Oleh karena jalannya prinsip keadilan harus didukung oleh keterbukaan keadaan finansial dalam pengawasan perusahaan. Gregory dan Simm,​​ mengatakan, bahwa kegagalan dewan komisaris dan pemegang saham pengendali dalam mempertanggungjawabkan pengawasan usaha dapat diamati dari faktor yang menunjukan dewan komisaris dan pemegang saham pengendali terlibat melakukan tindakan pemberian pinjaman yang didasarkan pada hubungan pertemanan, dibandingkan atas adanya suatu analisis yang mendalam mengenai risiko. Hal ini bukan suatu yang mengejutkan, oleh karena mereka mendasarkan pendapat pada suatu adanya investasi berlebihan yang bersifat non produktif dan kegiatan perusahaan yang bersifat spekulatif.​​ 22​​ 

Dengan demikian mendesak penerapan disiplin keuangan yang efektif dalam perusahaan. Hal ini penting, karena gagalnya perusahaan mengatasi risiko, salah satunya disebabkan minimnya standar atas keterbukaan.23​​ Dalam kaitannya dengan penerapan prinsip keterbukaan dalam bank, BI telah membuat Peraturan BI Nomor: 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank, dimana pertimbangan pembuatan peraturan tersebut adalah untuk menciptakan disiplin pasar [market dicipline]. Peraturan itu diupayakan untuk meningkatkan tranparansi kondisi keuangan dan kinerja bank untuk memudahkan penilaian di antara sesama peserta pasar melalui publikasi laporan kepada masyarakat.

Peraturan transparansi​​ itu​​ masih perlu dikritisi, khususnya mengenai keterbukaan kinerja bank secara cukup. Misalnya, masalah keterbukaan yang berkaitan dengan anggota direksi dan komisaris serta manajer untuk mengungkapkan kepentingan yang bersifat substansial dalam pelaksanaan perkreditan atau hal-hal yang berhubungan dengan perusahaan.

Selanjutnya, perlu diatur dalam peraturan perkreditan mengenai keterbukaan perusahaan [debitor] secara tepat waktu dan akurat. Misalnya, keterbukaan debitor kepada kreditur dalam reorganisasi. Debitor yang berada dalam posisi diambang kepailitan harus mengungkapkan informasi kepada kreditur berbagai fakta dan informasi. Terdapat tiga tujuan dari keterbukaan tersebut.24

1. Keterbukaan itu berguna untuk memungkinkan kreditur untuk melakukan atau tidak melakukan pembayaran yang telah dilakukan kepada kreditur lainnya, kepada​​ insider​​ atau kepada teman-teman debitor.​​ 

2.Informasi itu memungkinkan kreditur mengambil sikap terhadap rencana atau usulan reorganisasi atau likuidasi.​​ 

  • Yang paling penting adalah keterbukaan tersebut memungkinkan kreditur melakukan tawar-menawar terhadap rencana dan keputusan akhir, apakah menyetujui atau menolak rencana tersebut.

Salah satu cara untuk menentukan standar dalam mengukur informasi yang cukup [adequate information] dalam keterbukaan tersebut adalah mengajukan pertanyaan kepada kreditur yang mempunyai hak suara, apa yang ingin diketahui kreditur.​​ 25

Sebagian besar keputusan kreditur untuk menerima atau menolak rencana bergantung kepada empat pertanyaan sebagai berikut​​ :26

1. Apakah rencana​​ feasible​​ ?

2.Seberapa besar nilai [kalau ada] yang diberikan rencana tersebut kepada kreditur.

3.Apakah kreditur menerima bagiannya secara adil dari pembagian nilai yang tersedia.

4.  ​​​​ Apakah bentuk pemberian nilai tersebut dapat diterima.

Kreditur membutuhkan keterbukaan dari informasi yang substansial untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan demikian proses keterbukaan tersebut sangat krusial.27

Fungsi dari pernyataan keterbukaan yang disetujui oleh pengadilan adalah untuk menyediakan informasi yang cukup kepada kreditur sehingga mereka dapat memberikan penilaian tentang rencana itu.

Section​​ 1125 [a][1]​​ Bankruptcy Code​​ yang berlaku di Amerika Serikat mendefinisikan informasi yang cukup sebagai berikut:

“... information of a kind, and in sufficent detail, as far as is reasonably practicable in light of the nature and history of the debtor and the condition of debtor’s books and records, that would enable a hypothetical reasonable investor typical of holders of claims or interest of the relevant class to make an informed judment about the plan, but adequate information need not include such information about any other possible or proposed plan.”​​ 28

Kongres membiarkan adanya standar yang kabur dalam mengevaluasi apa yang dikatakan sebagai informasi yang cukup dan membiarkannya ditentukan secara​​ case-by-case​​ berdasarkan fakta dan situasi tertentu.

Beberapa pengadilan telah menjelaskan daftar keterbukaan yang secara khusus harus ada dalam suatu pernyataan keterbukaan.​​ In re​​ Scioto Valley Mortgage Co ,​​ 88 B.R. 168 [Banker S.D. Ohio 1988] pengadilan mengadopsi 19 butir daftar jenis informasi yang dapat dipersyaratkan dalam suatu daftar keterbukaan tersebut, yaitu sebagai berikut​​ :29

1.Keadaan atau situasi yang mendasari munculnya permohonan kepailitan.

2.Suatu deskripsi yang lengkap dari aset yang tersedia beserta nilainya.

3.Antisipasi ke depan dari debitor.

4.Sumber dari informasi yang terdapat di dalam Pernyataan Pendaftaran.

5. Suatu​​ disclaimer​​ secara khusus mengidentifikasikan bahwa tidak ada pernyataan informasi mengenai debitur atau jaminan yang diberikan di luar yang telah dinyatakan di dalam pernyataan keterbukaan.

6. Kondisi dan kinerja dari debitor pada saat debitor tersebut berada dalam kondisi​​ chapter​​ 11.

7.Informasi mengenai gugatan terhadap kekayaan.

8.Suatu analisis likuidasi yang menyatakan estimasi pendapatan yang akan diperoleh oleh kreditur.

9.Metode akuntansi dan penilaian yang digunakan dalam menyusun informasi keuangan yang terdapat pada pernyataan keterbukaan.

10. Informasi tentang manajemen dari debitur ke depan, termasuk besarnya kompensasi yang akan dibayar kepada setiap​​ insider, direktur dan atau pejabat-pejabat lainnya dari debitur.

11.Suatu ringkasan dan rencana dari reorganisasi.

12.Estimasi semua biaya administrasi termasuk biaya penasehat hukum dan akuntan.

13.Kolektivitas dari setiap rekening pendapatan.

14. Setiap informasi keuangan,​​ valuations, atau proyeksi​​ pro porma​​ yang relevan bagi kreditur dalam menentukan apakah menerima atau menolak rencana.

15.Informasi yang relevan tentang risiko yang akan dihadapi oleh kreditur.

16.Nilai aktual atau proyeksi dari nilai yang akan diterima dari transfer yang pasti akan diterima.

17. Keberadaan, kemungkinan, keberhasilan, litigasi​​ non-bankrupcy.

18.Konsekuensi perpajakan dari rencana.

19.​​ Hubungan debitur dengan pihak terafiliasi.

Secara umum suatu pernyataan keterbukaan harus berisikan semua informasi yang berdampak terhadap keberhasilan atau kegagalan proposal rencana reorganisasi. Pernyataan keterbukaan tersebut harus berisi semua materi informasi yang berkaitan dengan risiko yang akan dihadapi oleh kreditur berdasarkan reorganisasi yang diusulkan. Sebaliknya pernyataan pendaftaran tidak boleh dibebani dengan informasi yang terlalu teknis dan informasi-informasi tambahan yang sangat banyak [overly technical and extremely numerous additions], dimana informasi tersebut hanya akan mengakibatkan berkurangnya pemahaman bagi kreditur tertentu.

 

Prinsip Tanggungjawab

Peraturan ​​ perkreditan ​​ harus ​​ menentukan antisipasi persoalan dalam bank yang ​​ dapat ​​ muncul ​​ karena ​​ adanya ​​ perbedaan pendapat​​ kepentingan antara Pemegang Saham dan Direksi. Di samping itu, ditentukan secara cukup dan ​​ jelas fungsi, hak, wewenang dan tanggung​​ jawab ​​ masing-masing ​​ pengurus ​​ bank ​​ dalam pemberian kredit. Misalnya, apakah yang menjadi ukuran tanggung jawab pengurus bank atau direktur dalam masalah yang timbul dalam perkreditan atau bagaimanakah pengurus bank dianggap telah memenuhi kewajibannya menjalankan prinsip​​ duty of care. Apakah yang menjadi tolok ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian disebabkan oleh keputusan bisnis [business judgement] yang tidak tepat untuk dapat menghindar dari pelanggaran​​ duty of care. ​​​​ 

 

Prinsip Pertanggungjawaban

Peraturan ​​ perkreditan ​​ harus  ​​​​ membuat  ​​​​ ketentuan  ​​​​ secara  ​​​​ cukup,  ​​​​ agar pengurus ​​ bank ​​ dan ​​ debitor ​​ selalu  ​​​​ patuh​​  ​​​​ terhadap ​​ ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan perkreditan, baik yang ​​ berkaitan ​​ dengan ​​ masalah antara ​​ lain ​​ perlindungan ​​ hak ​​ pekerja, ​​ perlindungan ​​ lingkungan ​​ hidup, ​​ maupun perlindungan konsumen.

Penutup

Masalah-masalah pelaksanaan perkreditan dalam industri perbankan di Indonesia perlu diatasi, oleh karena masalah tersebut menjadi penghambat berjalannya fungsi bank, yang pada gilirannya membuat pemulihan ekonomi Indonesia terganggu. Dengan ini peraturan perkreditan yang cukup dengan muatan prinsip-prinsip​​ good corporate governance ​​ mendesak untuk diterapkan.

DAFTAR PUSTAKA

David G. Epstein, Steve H. Nickles dan James J. White, ​​ Bankruptcy,​​ [St. Paul. Minn: West Publishing Co, 1993].​​ 

Deborah A. de Mott, “Do You Have the Right to Remain Silent ? Duties of disclosure in Business Transaction,”​​ Deleware Journal of Corporation Law, ​​​​ [Vol. 19, 1994].

Fred Galves, “Might Does Not Make Right: The Call for Reform of the Federal Government’s D’Oench, Duhme and 12 U.S.C s 1823 [E] Superpowers in Failed Bank Litigation,” Minnesota Law Review, [June, 1996].

Gillian G. Carcia, “Protecting Bank Deposits, International Monetary Fund,”​​ Economic Issues,​​ [No. 9, 1997].​​ 

Helen A. Garten, “What Price Bank Failure,”​​ Ohio State Law Journal, [1989].

Holly J. Gregory, “Tanggapan Mengenai Pedoman Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance] dan Peraturan Mengenai Praktik di Pasar Negara Berkembang,” ​​ makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.​​ 

Holly J. Gregory dan Marsha E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance]: Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.

Horst Laubscher, Mengapa Pengelolaan Perusahaan Penting Bagi Indonesia, makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.

Ingo Walter,​​ High Performance Financial System: Bluptint for Development, [Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1993].

Jurnal Pasar Modal Indonesia, [No. 8/IX/Agustus 1998].

Kompas, 9 Maret 2002.​​ 

Mark S. Scarberry, Kenneth N. Klee, Grant W. Newton dan Steve H. Nickles,​​ Business Reorganitation In Bankruptcy,​​ [St. Paul, Minnesota: West Publishing Co, 1996].​​ 

Michel Bacman,​​ Asian Eclipse Exposing the Dark Side of Business in Asia,​​ [Singapore: John Wiley & Sons, 2001]

Nicholas A. Lash,​​ Banking Laws and Regulation: An Economic Perspective, [USA: Prentice Hall Inc, 1987]. ​​ 

Review of the Indonesia Economy, Vol. 3, Nomor 1 [Januari 1999].​​ 

Sofyan A. djalil, Good Corporate Governance,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.

The Economist,​​ “A Survey of Banking in Emerging Market the Four to Fear,” [April, 12-18, 1997].

The World Bank, “Indonesia In Crisis A Macroeconomic Update,” Washington, D.C. , [16 Juli 1998].

Warta Ekonomi, [No. 15/TH.X/31 Agustus 1998].

Widigdo Sukarman, “Upaya Penyehatan Perbankan dan Sektor Rill,” Bisnis & Ekonomi Politik Quaterly​​ 

William A. Lovett,​​ Banking and Financial Institutional Law,​​ USA: West Publishing,Co,1997.

PENENTUAN PERBUATAN​​ “SALAH” DAN “PALSU” DALAM PEMBERITAHUAN PABEAN

Harmonisasi peraturan di rezim​​ World Trade Organization​​ [WTO] dan era pasar bebas ASEAN [ASEAN Free Trade Area/ AFTA] harus sejalan dengan prinsip globalisasi yang meliputi adanya penyesuaian kebijakan struktural [structural adjusment policies], termasuk berbagai kebijakan berkenaan dengan aspek kepabeanan [customs]. Berdasarkan kecenderungan tersebut, Indonesia telah melakukan pembaruan peraturan kepabeanan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabenan.​​ 

Harmonisasi peraturan kepabeanan era WTO sejalan dengan dengan ketentuan-ketentuan GATT difokuskan untuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi praktik penyelenggaraan kegiatan perdagangan internasional sesuai dengan​​ praktik​​ kepabeanan internasional sebagaimana diatur dalam persetujuan perdagangan internasional.

Hal-hal yang baru mengenai ketentuan kepabeanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak terlepas dari tuntutan rezim WTO. ​​ Misalnya, dalam​​ Annex​​ 1A​​ Multilateral Agreement on Trade Goods​​ dari WTO ditentukan​​ Understanding on the Interpretation of Article​​ XXIV, dimana perjanjian memperjelas dan mempertegas kriteria serta prosedur untuk pemeriksaan​​ atas​​ Customs Unions​​ dan​​ Free Trade Areas​​ baru atau yang diperbesar dan untuk evaluasi atas akibat-akibat yang timbul terhadap pihak ketiga.​​ 

Perjanjian itu juga memperjelas prosedur untuk diikuti dalam rangka mencapai “compensatory adjustment” dalam hal para pihak yang membentuk​​ customs union​​ untuk meningkatkan tarif terikat. Kewajiban para pihak dalam hal tindakan-tindakan yang diambil oleh pemerintah-pemerintah atau penguasa-penguasa tingkat regional maupun lokal dalam wilayah kekuasaan mereka juga harus diperjelas. Misalnya,​​ Agreement on Implementation of Article VII of the General Agreement on Tariff and Trade [GATT]​​ 1994 menentukan keputusan tentang Penilaian Pabean memberi hak kepada petugas pabean untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dari importir, apabila terdapat alasan yang menyangsikan kepada pernyataan tentang nilai dari barang-barang yang diimpor.​​ 

Oleh karena itu, apabila petugas tetap menyangsikan kebenaran pernyataan, meskipun setelah disampaikannya informasi tambahan, dapat dianggap bahwa nilai pabean dari barang-barang impor tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai yang dinyatakan, dan pabean akan menentukan nilai tersebut berdasarkan ketentuan persetujuan WTO tersebut.

Berkenaan dengan kebenaran pernyataan tersebut, pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan masih perlu diperjelas, khususnya masalah kapankah suatu pernyataan dalam Pemberitahuan Pabean dikategorikan “salah” sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat [5] dan kapankah suatu pernyataan tersebut dikategorikan “palsu” sebagaimana diatur dalam Pasal 103 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tersebut.

Ketentuan Pemberitahuan Pabean Di Indonesia

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan menentukan, bahwa dalam rangka kepabeanan, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu-lintas barang yang masuk atau keluar Daerah Pabean dan pemungutan Bea Masuk, diwajibkan membuat Pemberitahuan Pabean.1​​ 

Ketentuan dan tata cara Pemberitahuan pabean tersebut berkenaan dengan 5 cara.​​ pertama, bentuk, isi, dan keabsahan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean.​​ Kedua,​​ penyerahan dan pendaftaran Pemberitahuan Pabean.​​ Ketiga,​​ penelitian, perubahan, penambahan, dan pembatalan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean.​​ Keempat,​​ pendistribusian dan penatausahaan Pemberitahuan Pabean dan catatan pabean.​​ Kelima,​​ penggunaan dokumen pelengkap pabean. Adapun yang termasuk dokumen pelengkap pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap Pemberitahuan Pabean. Seperti,​​ invoice, bill of lading, packing,​​ dan​​ manifest.2 ​​​​ 

Dengan ini terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean dengan cara penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang.3​​ Di samping itu, terhadap barang ekspor juga dilakukan penelitian dokumen.4​​ Adapun tujuan pemeriksaan pabean atas barang impor itu dimaksudkan untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean.​​ 

Pasal 82 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan menentukan mengenai pemeriksaan barang, antara lain guna memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan atau dokumen yang diajukan, dimana dinyatakan sebagai berikut:

[1]​​  Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan barang impor dan ekspor setelah Pemberitahuan Pabean diserahkan.

  • Pejabat Bea dan Cukai berwenang meminta importir, eksportir, pengangkut, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, atau yang mewakilinya menyerahkan barang untuk diperiksa, membuka sarana pengangkut atau bagiannya dan membuka setiap bungkusan atau pengemas yang akan diperiksa.

  • Jika permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat [2] tidak dipenuhi, Pejabat Bea dan Cukai berwenang memenuhi keperluan tersebut atas risiko dan biaya yang bersangkutan.

  • Barangsiapa yang tidak memenuhi permintaan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat [2] dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 [lima juta rupiah].

  • Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean atas impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak lima ratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar dan paling sedikit seratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar.

  • Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan Pabean atas Ekspor dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 [sepuluh juta rupiah] dan paling sedikit Rp. 1.000.000,00 [satu juta rupiah].​​ 

Berdasarkan ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tersebut, terlihat bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Pemberitahuan Pabean dikenakan sanksi administrasi berupa denda. Sementara itu, pihak yang salah dalam pelaksanaan Pemberitahuan Pabean dikenai pula sanksi adiministrasi berupa denda.

Dengan demikian pemberian sanksi administrasi berupa denda yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tersebut hanya terbatas pada kategori adanya unsur pemberitahuan yang salah dalam pelaksanaan Pemberitahuan Pabean.​​ 

Di samping itu, berkenaan dengan pemberitahuan pabean ini, Undang-Undang mengenai Kepabeanan tersebut mengatur juga ancaman dengan pidana, yaitu sanksi pidana. ​​ Pasal 103 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan mengatur sanksi pidana terhadap pemalsuan dokumen pabean, dimana ditentukan barang siapa yang menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 [dua ratus lima puluh juta].

Namun, apabila diamati ketentuan yang terdapat dalam Pasal 103 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang mengatur sanksi pidana terhadap pemalsuan dokumen kepabeanan, maka dirasakan perlunya suatu pemahaman yang lebih dalam, apa yang menjadi ukuran pemberitahuan pabean yang palsu atau dipalsukan.​​ 

Oleh karena ketentuan Pasal 103 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tersebut tidak menjelaskan ukuran yang menentukan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan.​​ 

Tidak adanya ukuran itu dapat membuat apa yang diinginkan ketentuan Pasal 103 huruf a tersebut sulit untuk dicapai. Apalagi preseden yang lahir dari pendapat pengadilan di Indonesia untuk ukuran palsu dalam pemberitahuan pabean belum pernah ada yang dapat dipakai secara rinci untuk menjadi pedoman bagi Pejabat Bea dan Cukai untuk mengatasi ukuran palsu dalam pemberitahuan pabean.​​ 

Ukuran Salah Dan Palsu Dalam Pemberitahuan Pabean

Untuk memudahkan pemahaman penerapan sanksi administrasi berupa denda dan sanksi pidana sebagaimana ditentukan Pasal 82 dan Pasal 103 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tersebut, terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud pengertian salah [false] dan palsu [falsely].​​ 

Untuk memahami kata​​ salah​​ itu dapat dikaitkan dengan dua terminologi.​​ Pertama,​​ dimaksudkan atau diketahui [knowingly] atau dengan sembrono [negligently] tidak ​​ benar [untrue].​​ Kedua,​​ tidak benar karena kesalahan atau kekeliruan [mistake] atau tidak sengaja atau setelah dilakukan dengan jujur [reasonable care] tapi tetap salah.5​​ 

Selanjutnya, sesuatu itu dikatakan salah apabila hal tersebut terjadi atau dibuat dengan pengetahuan, baik secara aktual maupun secara konstruktif, bahwa sesuatu itu tidak benar atau illegal atau terjadi dengan salah.6​​ Dalam konteks ini, “sesuatu pernyataan [termasuk dalam suatu dokumen] dikatakan salah apabila pernyataan itu tidak benar karena dilakukan oleh orang itu atau dimaksudkan orang tersebut untuk salah.”7​​ 

Sedangkan,​​ yang dimaksud​​ palsu, khususnya dalam suatu undang-undang pidana [criminal statute], mensyaratkan sesuatu yang lebih dari tidak benar [bukan hanya tidak benar], dimana termasuk​​ perfidiously​​ atau curang yang dimaksudkan untuk melakukan penipuan. Hal itu diaplikasikan dengan membuat dan merubah suatu tulisan dengan maksud untuk memalsukan, dalam hal ini termasuk kertas atau tulisannya tidak asli, dimana dokumen itu bisa kertasnya palsu atau tulisannya palsu.8 ​​​​ 

Strict Complience Rule

Untuk memberikan gagasan pemikiran penentuan antara salah dan palsu dalam pemberitahuan pabean, perlu dilihat sebagai suatu perbandingan untuk penentuan hal tersebut dari beberapa doktrin yang berkembang dalam​​ praktik​​ transaksi bisnis internasional. Misalnya sebagaimana diatur dalam UCP 500,9​​ dimana L/C hanya dibayar jika dokumen-dokumen yang diajukan sesuai dengan apa yang dipersyaratkan dalam L/C. Dalam hal ini dianut prinsip pembayaran berdasarkan prinsip kesesuaian dokumen, artinya L/C tidak dapat direalisasikan bila dalam transaksi L/C terdapat unsur penipuan.​​ 

Ketentuan UCP tersebut sesuai dengan​​ doktrin kesesuaian mutlak​​ [doctrine of strict complience] atau dikenal pula dengan sebutan​​ asas kesesuaian mutlak​​ [strict complience rule]. Menurut​​ strict complience rule​​ itu dokumen-dokumen yang diajukan harus sesuai dengan persyaratan L/C, dimana unsur kesesuaian tersebutlah yang menentukan L/C itu dibayar oleh bank penerbit atau kuasanya.​​ 

Strict complience rule​​ berasal dari pendapat pengadilan Inggris dalam kasus​​ Equitable Trust Co v. Dawson Partners,​​ 27 Lloyd’s L.R. 49 [1927], yang berpendapat, “There is no room for documents which are almost the same, or which will do just as well.” Dalam kasus tersebut hakim juga mengemukakan bahwa telah merupakan prinsip umum dalam transaksi L/C bank pengaksep hanya dapat melakukan tuntutan ganti rugi [indemnity], jika akseptasi yang dilakukannya berdasarkan dokumen-dokumen yang benar-benar sesuai dengan persyaratan L/C.10​​ 

Menurut​​ strict complience rule,​​ dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam L/C harus benar-benar dipenuhi sesuai dengan semestinya. Perbedaan substansial atau tidak substansial antara L/C dan​​ dokumen-dokumen yang diajukan penerima tidak diperkenankan. Jika terdapat perbedaan, bank penerbit atau kuasanya tidak berkewajiban melakukan pembayaran L/C kepada penerimanya.​​ Pendapat pengadilan yang mendasarkan pada​​ strict complience rule​​ tersebut,​​ telah pula diadopsi oleh berbagai pendapat pengadilan Amerika Serikat. Dalam kasus​​ Board of Trade of San Fransisco v. Swiss Credit Bank,​​ 728 F. 2d, 1241, pengadilan berpendapat, bahwa L/C yang diterbitkan di New York mempersyaratkan adanya​​ warehouse receipt,​​ oleh karena itu dokumen itu haruslah secara hukum merupakan​​ ​​ warehouse receipt​​ sesuai dengan hukum New York. Bank penerbit tidak berhak untuk menentukan kepemilikan barang jika​​ warehouse receipt​​ tersebut tidak sesuai dengan hukum New​​ York.

Selanjutnya, dalam kasus​​ Far Eastern Textile Ltd v. City National Bank and Trust Company, ​​​​ 430 F. Supp. 193, ditentukan L/C mensyaratkan adanya dokumen tambahan, yaitu surat pesanan pembelian ditandatangani oleh Larry Fannin by Paul Thomas, yang seharusnya ditandatangani dengan hanya menyatakan Larry Fannin. Pengadilan berpendapat, bahwa bank tidak berkewajiban membayar wesel penjual jika surat pesanan pembelian ditandatangani oleh agen atas nama prinsipal karena L/C mensyaratkan surat pesanan pembelian ditandatangani oleh prinsipal sendiri.11

Ketiga kasus diatas tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang salah dalam dokumen. Apabila pendapat pengadilan yang mengadopsi​​ strict complience rule​​ itu dielaborasi pada ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang mengatur sanksi administrasi berupa denda terhadap Pemberitahuan Pabean yang salah, maka dapat membantu Pejabat Bea dan Cukai menentukan apakah Pemberitahuan Pabean mengandung salah atau palsu.​​ 

Penentuan apakah Pemberitahuan Pabean mengandung salah atau palsu dapat didasarkan pada pendekatan​​ strict complience rule​​ dalam pemeriksaan barang impor,​​ dimana Pejabat Bea dan Cukai melihat​​ apakah ada kesesuaian pemberitahuan atau dokumen dengan barang impor. Kalau tidak ada kesesuaian dalam pemberitahuan atau dokumen dengan barang impor, maka Pemberitahuan Pabean tersebut telah dapat dikategorikan salah atau palsu.

Namun, dalam penentuan salah atau palsu itu perlu diperhatikan, apakah tidak adanya kesesuaian pemberitahuan atau dokumen dengan barang tersebut tidak signifikan atau signifikan ? Apabila tidak adanya kesesuaian tersebut tidak signifikan, misalnya ketidaksesuaiannya hanya salah pengetikan atau ditandatangani oleh yang tidak semestinya, maka dengan ini Pemberitahuan Pabean tersebut dapat dikategorikan salah.​​ 

Sebaliknya, apabila tidak adanya kesesuaian tersebut signifikan, misalnya ada unsur-unsur curang, kelalaian [negligence]12​​ kesengajaan,13​​ dimaksudkan untuk menipu,14​​ maka dengan ini Pemberitahuan Pabean tersebut dapat dikategorikan palsu.15

​​ Dengan demikian pemahaman Pemberitahuan Pabean yang palsu tersebut dan dikaitkan dengan terminologi palsu di muka, maka Pemberitahuan Pabean yang palsu dapat juga disebut dengan​​ misrepresentation.​​ Adapun pengertian​​ misrepresentation​​ adalah suatu kata-kata atau tingkah laku seseorang kepada seseorang lain dalam bentuk pernyataan yang secara jelas sesuai dengan fakta. Dalam hal ini pernyataan itu tidak benar sesuai dengan fakta dan terdapat suatu gambaran yang salah. Gambaran yang telah diterima oleh seseorang lain itu menciptakan kondisi yang berlainan dengan keadaan yang sebenarnya. Maksud pernyataan ini adalah untuk menipu [deceive] dan menyesatkan [mislead].16​​ Sementara itu, yang disebut menyesatkan adalah suatu kegagalan memasukkan seluruh fakta materiel, kemudian menciptakan penyimpangan oleh karena terjadi pengurangan informasi [omissions].17​​ 

Apabila​​ misrepresentation​​ dan​​ omissions​​ yang pada gilirannya menciptakan pernyataan menyesatkan [misleading statement], seperti pernyataan menyesatkan di pasar modal dielaborasi pula dalam penentuan pernyataan palsu dalam Pemberitahuan Pabean, maka perlu diamati bagaimana pendapat-pendapat pengadilan di negara maju membuat unsur-unsur pernyataan menyesatkan di pasar modal tersebut. Misalnya, dari berbagai pendapat pengadilan di Amerika telah membuat enam unsur pernyataan menyesatkan tersebut.​​ 

Pertama,​​ adanya pernyataan fakta materiel yang palsu [misrepresentation] atau pernyataan tersebut tidak lengkap [omissions].​​ In re Glenfed, Inc, Sec, Litig, 42 F. 3d 1541 [9th​​ Cir, 1994].18​​ Kedua,​​ adanya kewajiban untuk menyampaikan informasi.​​ Chiarella v. United States,​​ 445 U.S. 222 [1980].19​​ Ketiga,​​ adanya pengetahuan ​​ oleh pihak yang melakukan​​ misrepresentation​​ atau​​ ommission,​​ bahwa yang dilakukannya dengan maksud melakukan penipuan [scienter]. Mahkamah Agung Amerika membuat batasan​​ scienter​​ sebagai suatu pernyataan yang digerakkan dengan bermaksud untuk menipu dan manipulasi atau​​ defraud. Ernst & Ernst v. Hochfelder,​​ ​​ 425 U.S. 185 [1976].20​​ Keempat,​​ merupakan fakta materiel.​​ Shafiro v. UJB Financial Corp,​​ 946 F.​​ 2d. 272 [3rd​​ Cir. 1992].21​​ Kelima,​​ adanya keyakinan [reliance]. Peil v. Speider, 806 F.2d. 1154 [3rd​​ Cir. 1986].22 ​​​​ Keenam,​​ adanya kerugian [injury].​​ Cooke v. Manufactured Homes,​​ 998 F.2d. 1265 [4th​​ Cir. 1993].23

Selanjutnya elaborasi itu dapat dilakukan dengan mengamati bagaimana ketentuan standar pemeriksaan dokumen oleh bank sebagaimana ditetapkan oleh​​ Article​​ 13 UCP 500 dan ketentuan alasan penolakan bank atas dokumen-dokumen sebagaimana diatur dalam​​ Article​​ 15 UCP 500. Hal ini merupakan salah satu yang menarik untuk diamati dalam rangka elaborasi tersebut adalah suatu dokumen dikategorikan penipuan, apabila tidak dipenuhi persyaratan materiel dokumen-dokumen tersebut.​​ 

​​ Article​​ 15 UCP 500 telah menentukan apa yang menjadi persyaratan materiel tersebut, dimana ditentukan bahwa: “Bank assumme no liability or responsibility for the form, sufficiency, accuracy, genuineness, falsification or legal effect of any docement[s], or for general and/or particular conditions stipulated in the document[s] or superimposed thereon; nor do they assume any liability or responsibilty for the description, quantity, weight, quality, condition, packing, delivery, value or existence of the goods represented by any document[s], or for the good faith or acts and/or omissions, solvency, performance or standing of the consignors, the carriers, the forwarders, the consigness or the insurers of the goods or any other person whomsoever.”​​ ​​ 

Dengan ini elaborasi tersebut menjadi penting, hal ini sejalan pula sebagaimana diamati Clive M. Scmitthoff, penipuan biasanya berkenaaan dengan dokumen-dokumen, dimana dokumen-dokumen itu mungkin palsu atau salah hanya diketahui dari barang-barang yang dicantumkan dalam dokumen-dokumen itu.24​​ Sebab bisa saja dokumen-dokumen menurut penglihatan benar,​​ namun kenyataannya dokumen-dokumen tersebut palsu.

Keperluan elaborasi tersebut bagi Pejabat Bea dan Cukai mengingat Pasal 112 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan memberikan kewenangan khusus kepada Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan.

Country Of Origin Markings

Untuk memperjelas penentuan apakah Pemberitahuan Pabean mengandung salah atau palsu dan persyaratan materiel dokumen dapat juga dibandingkan dengan​​ ketentuan​​ country of origin markings,​​ sebagaimana diatur dalam​​ Article​​ IX GATT.​​ 

Dalam​​ Article​​ IX tersebut ditetapkan ketentuan-ketentuan berkaitan dengan persyaratan​​ country of origin markings.​​ Pertama, ditentukan​​ Article​​ IX:1​​ precludes a WTO Member from discriminating against articles of certain countries with respect to country of origin markings requirements.​​ Kedua,​​ ditentukan​​ Article​​ IX:2​​ states that these requirements should be reduced to a minimum to avoid difficulties and inconvenveniences caused to commerce and industry.​​ Ketiga, ditentukan​​ Article​​ IX:4​​ provides that complience with the requirements should not result in serious damage to, or material reduction in value or unreasonable increase in the cost of, the foreign article.25

Dari ketentuan​​ country of origin markings​​ dapat disimpulkan, bahwa terdapat prinsip yang mempersyaratkan​​ country of origin markings​​ bagi setiap negara anggota WTO harus menghindari kesulitan dan​​ ketidaklancaran dalam perdagangan dan industri dan tidak boleh menyebabkan kerugian yang serius. Oleh karena itu, dalam​​ Article​​ IX;2 ditentukan bahwa setiap negara harus memberikan “necessity of protecting consumers against fraudulent or misleading indications.26​​ 

Berkenaan dengan persyaratan​​ country of origin markings​​ tersebut, dapat dipahami karena secara teoritis pembeli yang paling akhir [ultimate purchaser] punya hak mengetahui dimana barang yang akan dia beli dibuat. Tanda [markings] itu merupakan data bagi calon konsumen untuk menganalisis maupun mensintesakan dengan informasi lain, oleh karena berdasarkan data tersebut dia mengambil keputusan.27​​ Dibandingkan dengan Undang-Undang yang mengatur kepabeanan [custom law] di Amerika ​​ Serikat, telah menentukan bahwa setiap barang yang diproduksi di luar negeri harus diberikan​​ markings​​ untuk memberikan informasi kepada​​ ultimate purchaser,​​ termasuk informasi nama negara dimana barang itu diproduksi.​​ 

Secara terperinci tujuan ketentuan​​ country of origin markings​​ sebagai berikut:

  • Untuk melindungi konsumen terhadap perbuatan curang atau indikasi yang menyesatkan.28

  • Pembeli terakhir [ultimate purchaser] dari suatu barang yang diimpor mempunyai hak untuk mengetahui di negara mana barang itu dibuat. Tanda negara asal/markings​​ misalnya “made in Indonesia” merupakan data bagi pembeli terakhir untuk menentukan keputusan membeli atau menolak barang itu.29

  • Alasan politik. Cukup sering terjadi misalnya konsumen tidak mau membeli barang-barang yang diimpor dari negara asalnya yang terbuat dari kayu yang merusak lingkungan, atau barang-barang yang di negara asalnya dibuat oleh tenaga kerja anak-anak, dan sebagainya.30

  • Dibandingkan dengan ketentuan​​ Section​​ 304 dari​​ US Markings Statute​​ disebutkan bahwa​​ tujuan utama ketentuan​​ country of origin markings​​ adalah untuk memberikan kemungkinan pada pembeli terakhir [ultimate purchaser], guna dapat memilih membeli atau menolak barang itu, seandainya itu penting baginya. [Pengaturan ini dilandasi adanya kepercayaan pihak US itu penting baginya.​​ 

  • Kasus​​ United States v. Ury,​​ 106 F.2d 28 [2nd​​ Cir. 1939] melalui​​ United States Court of Appeals for the second Sircuit​​ mensyaratkan bagi setiap barang pada saat diimpor harus mempunyai​​ country of origin markings.​​ Pengadilan dalam kasus​​ Ury​​ tersebut menyatakan: “The purpose was to apprise the public of the foreign origin and thus to confer an advantage on domestic producers of competing goods. Congress was aware that many consumers prefer merchandise produced in this country.”31​​ 

Dalam ketentuan​​ country of origin markings​​ tersebut terdapat hal penting untuk dipahami, yaitu berkaitan dengan​​ substantial transformation​​ dari suatu barang yang diimpor.​​ Substansial transformation​​ merupakan parameter menentukan negara​​ mana​​ yang menjadi asal suatu barang. Hal ini perlu karena pada era globalisasi dewasa ini perbuatan atau proses suatu barang perdagangan telah melalui proses beberapa negara [tidak hanya satu negara].32​​ 

Pengadilan dalam kasus​​ United States v. Murray,​​ 621 F. 2d. 1163. [1st​​ Cir. 1980], menyatakan “substansial transformation​​ terdiri atas dua kata:​​ transformation​​ berarti perubahan fundamental, jadi bukan sekedar perubahan bentuk, penampilan, sifat atau karakter suatu artikel saja. Perubahan itu harus menyebabkan suatu barang​​ pindah kelas​​ baik dalam hal tarif yang dikenakan, pergudangan, pengenalan konsumen atas​​ barang itu. Fundamental berarti perubahan yang sangat besar dan berpengaruh terhadap nilai riil suatu barang. Tingkat perubahan itu diukur dengan nilai ekonomi karena​​ substansial​​ mempunyai pengertian ekonomi.33

 Selanjutnya, dalam kasus​​ Anheuser-Busch​​ Brewing Association v United States,​​ 207 U.S. 556 [1908] pengadilan memutuskan, bahwa adanya alat pengukur apakah telah terjadi​​ substansial transformation​​ atau tidak ditentukan dari terminologi dari “nama,” “barang,” “karakter barang,” dan “penggunaannya.”34​​ 

Perkembangan berikutnya muncul dari berbagai pendapat pengadilan, dimana untuk menentukan apakah suatu barang telah berubah secara substansial dalam hal nama, karakter maupun penggunaanya sebagaimana ditetapkan dalam kasus diatas, maka pengadilan harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:35

  • Apakah ada peningkatan nilai barang pada setiap tahap produksi di masing-masing negara.

  • Tingkatan atau jenis prosesing yang dipakai di masing-masing negara.

  • Efek dari prosesing terhadap barang tersebut.

  • Pasar dimana barang itu dijual pada setiap tahap produksi.

  • Biaya prosesing.

  • Ada tidaknya perbedaan signifikan sifat atau karakter barang sebelum diproses kembali dengan sesudah barang itu di proses kembali dengan sesudah barang itu di proses kembali di negara pengimpor.

  • Daya tahan barang sebelum dan sesudah prosesing.

  • Nama barang atau identitas barang itu dalam perdagangan sebelum dan sesudah prosesing.

  • Jaringan distribusi penjualan barang, sesudah dan sebelum prosesing [berbeda atau tidak].

  • Klarifikasi tarif barang sesudah diproses dan sebelum diproses kembali.​​ 

Penutup

Tidak adanya ukuran kategori yang jelas antara salah dan palsu dalam Pemberitahuan Pabean akan dapat menghambat jalannya peraturan kepabeanan, pada gilirannya berpotensi membuat ketentuan berkenaan dengan dokumen salah dan palsu menjadi​​ dead letter.​​ Oleh karena itu, perlu mengambil gagasan pemikiran mengatasi masalah tersebut. Hal menjadi sangat krusial untuk dipikirkan.​​ 

Di samping itu, perlu menjadi pemikiran pula, bahwa dalam menerapkan sanksi hukum dalam pelanggaran peraturan Pemberitahuan Pabean perlu membuat analisis ekonomi terhadap rencana pemberian sanksi. Oleh karena analisis ekonomi dari hukum pidana mendasarkan diri pada asumsi bahwa calon pelaku tindak pidana selalu berupaya memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.36​​ Untuk itu, perlu memikirkan​​ rational crime​​ dalam penerapan denda yang didasarkan pada tingkat keseriusan pelanggarannya.37​​ 

DAFTAR PUSTAKA

Anheuser-Busch Brewing Association v United States,​​ 207 U.S. 556 [1908]

Chiarella v. United States,​​ 445 U.S. 222 [1980]

Clive M. Schmitthoff, “Export Trade: Confirmed Documentary Credit; Issue Illegal but Confirmation Legal,”​​ The Journal of Business Law.​​ September 1980.

Cooke v. Manufactured Homes,​​ 998 F.2d. 1265 [4th​​ Cir. 1993].

D. Schapffmeister,​​ Kekhawatiran Masa Kini [Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan Dalam Teori dan​​ Praktik].​​ Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 1994.

Ernst & Ernst v. Hochfelder,​​ ​​ 425 U.S. 185 [1976].

Henry Campbell Black,​​ Black‘ s Law Dictionary,​​ [ST. Paull, Minn: West Publishing Co, 1990.

In re Glenfed, Inc, Sec, Litig, 42 F. 3d 1541 [9th​​ Cir, 1994].

Jack E. Karns dan Frederick P. Schadler, “Requaring Basic Disclosure of Preliminary Management Buyout Negotiations: Re-defining Rule 10b-5 Materiality After​​ RJB Nabisco,”​​ Memphis State University Law Review,​​ [Vol. 19, 1989].

Peil v. Speider, 806 F.2d. 1154 [3rd​​ Cir. 1986].

R. Soesilo,​​ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [K.U.H.P] Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,​​ [Bogor: Politeia, 1996].

Raj Bhala, 1, International Trade Law Theory and Practice,[​​ New York: LEXIS Publishing, 2001].

Ramlan Ginting,​​ Letter of Credit Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis,​​ [Jakarta: Salemba Empat, 2000].

Robert Cooter dan Thomas Ulen,​​ Law and Economic.​​ New York: Addison Wesley Longman, 1999.

Shafiro v. UJB Financial Corp,​​ 946 F. 2d. 272 [3rd​​ Cir. 1992].

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Uniform Customs and Practice for Documentary Credits​​ [UCP] 500

United States v. Murray,​​ 621 F. 2d. 1163. [1st​​ Cir. 1980]

United States v. Ury,​​ 106 F.2d 28 [2nd​​ Cir. 1939]

Wirjono Prodjodikoro,​​ Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia,​​ [Jakarta-Bandung: P.T. Eresco, 1967]

PENGADILAN PAJAK : PERBANDINGAN BEBERAPA NEGARA DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA*

Menurut hasil studi Bank Dunia Tahun 2002, salah satu cara untuk membuat pengadilan menjadi efisien adalah dengan cara membuat Pengadilan Khusus [Specialized Courts].1​​ Pengadilan Khusus yang efisien merupakan tuntutan yang harus dinyatakan, oleh karena pengadilan yang demikian diharapkan untuk mempercepat proses penyelesaian sengketa para pihak dengan adil, cepat dan efektif. Namun, untuk menyatakan Pengadilan Khusus yang efisien tersebut harus didukung dengan suatu​​ sistem​​ peradilan yang modern dan berwibawa. Untuk keperluan itu, perlu dibuat perbandingan bagaimana pendekatan dalam tradisi pengadilan di negara​​ common law​​ dan​​ civil law​​ menyelesaikan suatu perkara.​​ 

Di sini perlu dipahami sumber hukum dalam​​ common law ​​ yang lahir dari keputusan-keputusan pengadilan [case law] dan sumber hukum yang lahir dari berbagai peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam tradisi​​ civil law.​​ Dalam pengamatan Mary Ann Glendon,​​ case​​ law​​ dengan teknik penguraian dalam hubungannnya dengan​​ precedent​​ dianggap menjadi nafas​​ common law.​​ Sedangkan metode interpretasi terhadap undang-undang seakan-akan menjadi jantung kehidupan dari​​ civil law.2

Dalam tulisan ini akan dikaji kedudukan Pengadilan Pajak di beberapa negara, baik di negara​​ civil​​ law​​ maupun negara​​ common law.​​ Namun, dalam hal-hal tertentu, perbandingannya lebih ditekankan pada ​​ tradisi pengadilan di negara​​ common law,​​ penekanan kajian perbandingan​​ dalam tradisi​​ common law​​ tersebut dimaksudkan sebagai gagasan bagi terciptanya kepastian dan​​ predictability​​ hukum melalui Pengadilan Pajak yang efisien dan berwibawa.  ​​ ​​​​ 

Kedudukan Pengadilan Pajak Di Beberapa Negara

Apabila diperhatikan model pengadilan pada negara-negara maju, maka dapat dipahami, bahwa Pengadilan Khusus telah lama dikenal sebagaimana terdapat di negara​​ common law,​​ seperti Amerika Serikat. Namun, di negara-negara maju lainnya, peradilan yang menyelesaikan sengketa pajak tidak diselesaikan melalui Pengadilan Khusus, tetapi diselesaikan dalam lingkup peradilan umum.​​ 

Peradilan yang mengadili sengketa pajak terdapat dalam lingkup peradilan umum atau peradilan administratif dapat diamati pada negara​​ civil law,​​ seperti Perancis dan Belanda. Di Perancis terdapat​​ Conseil d’Etat​​ yang berfungsi sebagai instansi teratas yang memeriksa sengketa tata usaha negara dalam tingkat kasasi. Sedangkan pada tingkat yang lebih rendah terdapat 25 [duapuluh lima] Tribunal Administratif dan Peradilan Tata Usaha yang berfungsi menyelesaikan masalah-masalah kekuasaan negara, pendidikan, pajak, jaminan sosial dan yang berkaitan dengan jabatan profesional.3​​ Dalam peradilan tersebut terdapat kamar khusus perpajakan yang mengadili sengketa pajak. Dengan ini dapat dilihat bahwa di Perancis kedudukan pengadilan pajak berada dalam lingkup peradilan administratif. Sedangkan di Belanda, kedudukan peradilan pajak berada dalam kompentensi peradilan umum [gerechtshoven], dimana dalam setiap​​ gerechtshoven​​ itu terdapat kamar perpajakan yang berfungsi mengadili sengketa pajak.​​  ​​​​ 

Di negara​​ common law,​​ seperti Amerika Serikat, juga telah lama mempunyai Pengadilan Khusus. Hal ini dapat dipahami dari sistem​​ state court​​ dan​​ federal court​​ yang memiliki beberapa pengadilan khusus. Pengadilan-pengadilan tersebut sama seperti layaknya pengadilan umum, dimana pengadilan itu memiliki wewenang jurisdiksi untuk subjek tertentu. Misalnya, dalam hal kasus perceraian dan pengasuhan anak yang diselesaikan​​ dalam pengadilan keluarga [family court]. Dalam pengadilan itu tidak dikenal adanya pemeriksaan pengadilan dengan​​ jury​​ [jury trial]. Pengadilan yang mengurusi surat pengesahan, yaitu pengadilan yang mensyahkan surat-surat wasiat dan mengawasi administrasi dari harta benda ahli waris.​​ 

Contoh lain misalnya,​​ Pengadilan atas​​ Claim​​ tertentu [Court of Claims] dan Pengadilan Pajak [Tax Court] pada tingkat federal dan pengadilan anak-anak [juvenile​​ court] dalam sistem​​ state. Oleh karena dalam pengadilan-pengadilan tersebut berhubungan dengan gugatan yang sangat terbatas, maka pengadilan itu mengembangkan/mendidik staf-staf khusus untuk hal tersebut. Sama halnya dengan hakim-hakim yang bertugas dalam pengadilan, dimana hakim dalam melaksanakan tugasnya dalam pengadilan klaim dan pajak, menjadi sangat peka dengan kebijakan-kebijakan publik yang ada dalam kaitannya dengan permasalahan hukum pengadilan itu sendiri.4

 ​​​​ Di Indonesia, peranan Pengadilan Khusus akan semakin bertambah penting. Setelah dibentuknya Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan perkara-perkara kepailitan, sekarang dibentuk pula Pengadilan Pajak yang berkedudukan di Jakarta,5​​ untuk menyelesaikan perkara-perkara dalam sengketa pajak, sesuai dengan yang diamanatkan ​​ oleh  ​​ ​​ ​​​​ Undang-Undang ​​ Nomor 14 ​​ Tahun ​​ 2002 ​​ tentang Pengadilan Pajak [selanjutnya disingkat UUPP]. Pasal 2 UUPP menentukan, bahwa Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan dalam sengketa pajak.​​ 

Pengadilan Pajak Di Indonesia Dan Amerika Serikat

Apabila di Indonesia Pengadilan Pajak diatur melalui UUPP, maka Amerika Serikat, Pengadilan Pajak diatur melalui​​ Article​​ I​​ of the Constitution of the United State, dimana disebutkan Pengadilan Pajak “tries and adjudicates controversies involving the existence of deficiencies or overpayments income, estate, and gift taxes in cases where deficiencies have determined by the Commissioner of Internal Revenue.”6​​ Di Amerika Serikat, Pengadilan Pajak tersebut termasuk dalam lingkup pengadilan khusus [specialized courts].  ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

Pengadilan Pajak di Amerika Serikat yang termasuk dalam lingkup pengadilan khusus, sebagaimana disebut di atas tersebut tidak memiliki sistem pemeriksaan pengadilan melalui​​ jury.​​ Sedangkan dalam hal terjadi upaya banding, maka hal tersebut dilaksanakan sebagaimana sistem peradilan banding umumnya.​​ Peradilan banding akan berpedoman kepada temuan-temuan fakta yang ada kebijakan peradilan dari peradilan khusus tersebut.7​​ 

Dalam hal kewenangan untuk mengadili [yurisdiksi] dari peradilan-peradilan khusus tersebut, di sini pengugat memiliki pilihan untuk menggugat dalam peradilan banding itu sendiri atau pada peradilan umum yang juga memiliki jurisdiksi atas kasus khusus tersebut. Mengenai permasalahan atau sengketa ​​ perpajakan federal, seorang pembayar pajak yang merasa tidak senang atau dirugikan dapat menempuh proses administrasi dan melalui pengadilan pajak yang ada untuk suatu tanggung jawag perpajakan, ataupun ​​ pembayar pajak tersebut dapat membayar jumlah yang disengketakan tersebut dan kemudian mengugat pada​​ federal district court​​ untuk meminta pembayaran kembali atau kompensasi. Di samping itu, pembayar pajak tersebut dapat meminta​​ jury trial,​​ apabila jalan penyelesaian perkaranya terlambat.8

Dengan demikian pengadilan khusus, termasuk pengadilan pajak,​​ pertama,​​ harus menigkatkan efisiensi, sebab perlunya keahlian dalam pengadilan khusus tersebut.​​ Kedua,​​ perlu adanya kemampuan untuk menyesuaikan peraturan-peraturan atau prosedur dengan situasi-situasi yang tertentu.​​ Ketiga,​​ perlu adanya pengembangan kualitas staf ​​ yang dapat menyediakan atau mengumpulkan data awal dan data yang telah diperiksa sesuai dengan sistem hukum dalam pengadilan khusus tersebut.9

Kekuasaan Pengadilan Pajak

Adanya perubahan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, dimana Pasal 11 dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 diubah menjadi “Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat [1], secara organisatoris, administratif, dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.” Dengan perubahan itu, terlihat tuntutan Pengadilan yang mandiri, yaitu terlepas dari pengaruh eksekutif . Walaupun Pasal 11 A ayat [1] Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 itu menyebutkan, bahwa pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan tersebut dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 [lima] tahun sejak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 mulai berlaku. Namun, tanggal 12 April 2002 telah disahkan UUPP, sekaligus tanggal 12 tersebut berlakunya UUPP itu serta Pengadilan Pajak resmi berdiri di Indonesia. Berdirinya Pengadilan Pajak akan menggantikan fungsi ​​ Badan Penyelesaian Sengketa Pajak [BPSP] sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.​​ 

Kekuasaan Pengadilan Pajak dapat dilihat dari tugas dan wewenang Pengadilan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUPP, yang menyebutkan, bahwa Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Di samping itu, disebutkan bahwa Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan yang berwenang, dimana sengketa pajak yang menjadi objek pemeriksaan adalah sengketa yang dikemukakan pemohon banding dalam permohonon keberatan yang seharusnya diperhitungkan dan diputuskan oleh yang berwenang. Dengan ini, putusan Pengadilan Pajak yang telah ditetapkan sebagai putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap [final and binding] sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat [1], masih memberikan kesempatan kepada para pihak yang bersengketa melakukan upaya hukum melalui Mahkamah Agung.​​ 

Hal ini sama dengan Pengadilan Pajak di Amerika Serikat atau tradisi​​ common law,​​ sebab​​ pengadilan memberikan pilihan bagi pembayar pajak individual, suatu prosedur-prosedur yang lebih sederhana yang disediakan oleh peradilan-peradilan yang berkenaan dengan permasalahan pajak dengan lebih sederhana, dimana permasalahan tersebut diselesaikan melalui prosedur ini maka keputusan peradilan merupakan keputusan final dan tidak dapat diganggu​​ gugat oleh peradilan manapun. Semua keputusan peradilan selain keputusan peradilan pajak sederhana dapat diperiksa ulang pengadilan banding Amerika Serikat dan setelah itu diperiksa dalam tingkat yang lebih tinggi lagi pada Mahkamah Agung.10 ​​​​ 

Dissenting Opinion

Salah satu isu baru dalam Pengadilan Pajak di Indonesia adalah perbedaan pendapat [dissenting opinion]. Isu​​ dissenting opinion​​ yang diatur dalam UUPP itu, telah menjadi satu terobosan dalam tradisi peradilan​​ di Indonesia yang selama ini tidak mengenal​​ dissenting opinion.​​ Oleh karena itu, Hakim diperkenankan melakukan perbedaan pendapat [dissenting opinion] dalam putusan Pengadilan Pajak.

Penerapan​​ dissenting opinion​​ dalam putusan pengadilan dapat diperhatikan dalam tradisi di negara​​ common law,​​ dimana peradilan di negara tersebut telah lama menganut​​ dissenting opinion​​ dalam putusan pengadilan.​​ Dissenting opinion​​ didasarkan pada kebalikan dari pendapat [dissent]. Sedangkan terminologi​​ dari​​ dissent​​ tersebut adalah “most commontly used to denote the explicit disagreement of one or more judges of a court with the decision passed by the majority upon a case before them. In such event, the non-concurring judge is reported as ​​ `dissenting.` A dissent may or may not be accompanied by a dissenting opinion.”11​​ 

Pasal 79 ayat [2] UUPP menyatakan, “Apabila Majelis di dalam mengambil putusan dengan cara musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan sehingga putusan diambil dengan suara terbanyak, pendapat Hakim Anggota yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan Pengadilan Pajak.” Penjelasan Pasal 79 ayat [2] tersebut menyebutkan, bahwa pencatuman pendapat Hakim Anggota yang berbeda dalam putusan Pengadilan Pajak, dimaksudkan agar pihak-pihak yang bersengketa dapat mengetahui keadaan dan pertimbangan Hakim Anggota dalam Majelis. Lebih jauh lagi, diaturnya​​ dissenting opinion​​ sebagaimana terdapat dalam Pasal 79 ayat [2] ​​ UUPP itu akan memberikan kesempatan pada masyarakat menilai pendapat hakim dalam suatu putusan Pengadilan Pajak.​​ 

Selanjutnya,​​ dissenting opinion​​ dalam putusan Pengadilan Pajak, akan menjadi bahan pertimbangan bagi hakim di tingkat Mahkamah Agung untuk memahami sengketa pajak ​​ para pihak yang akan diputusankannya.

Apabila diperhatikan dari​​ praktik​​ pengadilan di Amerika Serikat, ​​ dissenting opinion​​ para hakim dalam putusan pengadilan diuraikan berdasarkan analisis terhadap ketentuan yang menjadi dasar pertimbangan hukum. Misalnya, dalam perkara​​ United​​ States v. Chiarella,​​ 588 F.2d 1358 [1978], Hakim Meskill berbeda pendapat dengan Hakim Ketua Irving R. Kaufman dan Hakim Smith. Perkara​​ Chiarella​​ yang disidangkan dalam​​ United States District Court of Appeals, Second Circuit​​ untuk​​ Southern district of New York​​ itu ​​ berawal dari pelanggaran yang dilakukan Chiarella​​ terhadap​​ Rule​​ 10b-5​​ Securities Exchange Act of​​ 1334, dimana menurut​​ Rule​​ tersebut tidak boleh melakukan perbuatan curang. Dalam putusan perkara itu Hakim Ketua Kaufman yang juga disetujui Hakim Smith berpendapat, bahwa Chiarella telah melanggar​​ Rule​​ 10b-b. Pelanggaran​​ Rule​​ 10b-5 oleh Chiarella tersebut dikaitkan dengan penafsiran atas ketentuan kategori “orang dalam” [“insider”] dalam​​ praktik​​ insider trading,​​ serta penentuan adanya keterbukaan [disclosure] yang diwajibkan bagi Chiarella dalam perdagangan saham. Pendapat Hakim Ketua Kaufman dan Hakim Smith tersebut mendasarkan pertimbangan pada putusan-putusan pengadilan sebelumnya, seperti putusan pengadilan dalam perkara​​ SEC v. Texas Gulf Sulphur Co,​​ 401 F.2d 833 [2d Cir. 1968] dan​​ SEC v. TexasGulf Sulphur Co,​​ 349 U.S. 976, 89 S. Ct. 1454, 22 L.Ed 2d 756 [1969],​​ Speed v. Transamerica Corp,​​ 99 F. Supp. 808, 829 [D.Del.1951]. Dalam putusan tersebut dapat disimpulkan, bahwa setiap orang yang memiliki​​ inside information​​ harus mengungkapkannya kepada investor, jika tidak mampu mengungkapkannya karena alasan melindungi rahasia perusahaan, maka orang tersebut harus​​ memilih untuk tidak melakukannya dan harus tidak melakukan apapun atau memberikan rekomendasi dalam perdagangan saham yang bersangkutan, saat​​ inside information​​ itu belum diungkapkan.  ​​ ​​ ​​​​ ​​ ​​ 

Hakim Meskill tidak sependapat dengan putusan tersebut, Ia menyebutkan, sebagaimana dapat dilihat  ​​​​ dalam​​ dissenting opinion​​ dalam putusan perkara itu, “I respectfully dissent. Today’s decision expands Rule​​ 10b​​ drastically, it does so without clear indication in prior law that this is the next logical step on the path of judicial​​ development of Rule​​ 10-b,​​ and, alarmingly, it does in the context of a criminal case.”12​​ Dalam​​ dissenting opnion​​ Hakim Meskill, dapat dilihat bahwa dia mendasarkan tidak sependapat dengan pendapat Hakim Ketua Kauffman dan Hakim Smith tersebut dengan mendasarkan pendapatnya antara lain pada putusan pengadilan dalam perkara​​ General Time Corp v. Talley Industries, Inc, 403 F.2d 159, 164 [2d Cir. 19680], dan ​​ General Time Corp v. Talley Industries, Inc,​​ 393 U.S. 1026, 89 S.Ct. 631, 21 L.Ed. 2d 570 [1969], dimana dalam perkara itu Mahkamah Agung telah menolak satu tuntutan atas suatu perusahaan yang mengakuisisi saham perusahaan lain yang dituntut untuk mengungkapkan kepada pemegang saham mengenai rencana ​​ perusahaan tersebut.

Ada kalanya perbedaan pendapat antara hakim dalam putusan tidak seluruhnya, tetapi hanya sebagian [dissenting in part]. Dalam perkara​​ United States v. Carpenter,​​ 791 F.2d 1024 [2nd Cir. 1986] terdapat​​ dissenting in part​​ atas putusan pengadilan tersebut. Hakim Miner menyatakan​​ dissenting in part​​ pada pendapat Hakim Mansfield dan Hakim Pierce. Hakim Pierce dalam persidangan menetapkan, Kenneth P. Felis dan R. Foster Winans melakukan penipuan, dimana adanya penipuan tersebut didasarkan pada teori penyalahgunaan [misappropriation theory].​​ 

Hakim Miner tidak sependapat sebagian atas pendapat Hakim Mansfield dan Hakim Pierce tersebut. Hakim Miner berpendapat, bahwa​​ misappropriation theory​​ tidak bisa ditafsirkan secara luas sekali, misalnya melakukan kegiatan-kegiatan oleh terdakwa. Ia menyebutkan, “I respectfully dissent from so much of the majority opinion as affirm the convictions for securities fraud.”13 ​​​​ Sedangkan, apabila diperhatikan dengan penerapan​​ misappropriation theory​​ Hakim miner sependapat sebagaimana ditetapkan oleh Hakim Manfield dan Hakim Pierce ​​ dalam putusan pengadilan tersebut.  ​​​​ ​​ ​​  ​​ ​​ ​​​​  ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

Stare Decisis

Apabila​​ dissenting opinion​​ yang merupakan tradisi dalam pengadilan​​ common law​​ akan diterapkan dalam putusan Pengadilan Pajak di Indonesia, maka perlu dipahami​​ stare decisis doctrine.​​ Istilah​​ stare decisis​​ berasal dari istilah​​ stare decisis et non quieta movere,​​ yaitu “stand by the decision and do not disturb what is settled,14​​ sedangkan dalam​​ Black’s Law Dictionary​​ diartikan “to adhere to precedents, and not to unsettle things which are established.15

Stare decisis doctrine​​ tersebut merupakan salah satu fondasi dari tradisi​​ common law,​​ sejak pertama kali​​ stare decisis doctrine​​ ditanamkan di benua Amerika Serikat. Doktrin tersebut sangat utama dalam​​ sistem​​ hukum di Amerika Serikat, dimana doktrin itu harus dimengerti setiap orang secara menyeluruh sebelum dapat mengerti dan menghargai sistem itu sendiri. Sebagai tambahan, untuk memastikan persamaan perlakuan bagi pihak yang berperkara,​​ stare decisis​​ menyediakan beberapa fungsi yang menguntungkan, dimana​​ stare decisis​​ memberikan tugas kepada hakim untuk menemukan kembali hukum [reinventing the wheel] dari kasus sebelumnya dan memfungsikannya untuk membagi beban kewajiban untuk keputusan-keputusan yang tidak terlalu terkenal yang dibuat oleh hakim terdahulunya. Hal ini menjaga kelangsungan ​​ dari keputusan hukum yang ada, memberikan ruang bagi pengembangan hukum yang konsisten dan​​ predictability.16

 Di samping fungsi doktrin​​ stare decisis​​ sebagaimana diuraikan di atas, terdapat fungsi terakhir dari doktrin​​ stare decisis​​ tersebut, ​​ yang mungkin merupakan hal yang terpenting dari fungsi kesemuanya, dikarenakan hukum melayani masyarakat dalam dua jalur. Hukum menyediakan sarana-sarana untuk menyelesaikan perselisihan yang ada dan menyediakan kedamaian. Tetapi yang lebih penting adalah, Hukum​​ memberikan kepada setiap warga suatu pegangan/pola tindakan di masa yang akan datang dan yang kemudian membantu menjaga peraturan dan stabilitas di masyarakat. Dalam menjaga ke dua fungsi itu, hukum bekerja secara sempurna pada saat alasan-alasan hukum yang dapat dimengerti secara jelas oleh mereka yang berpegang pada hukum tersebut. Hal ini yang menyebabkan bahwa setiap hakim harus bersusah payah untuk menjelaskan keputusannya secara tertulis. Catatan inilah yang juga membuat hukum itu lebih tegas bagi hakim dalam menyelesaikan kasusnya di kemudian hari untuk memutuskan keputusannya sesuai dengan rasa atau bangunan hukum yang ada pada saat itu.17

 Oleh karena hakim akan berhadapan dengan kasus-kasus yang dituntut untuk memberikan putusan yang mempunyai kepastian dan​​ predictability.​​ Dalam perkara​​ College v. Boyland,​​ 4 N.Y.2d 528 [C.A.N.Y., 1958] dapat diamati bagaimana pengadilan menghadapi satu kasus berkaitan dengan​​ New York Taxing Statute​​ atas pembebasan pajak​​ real estate,​​ dimana “the real property of a corporation…organized exclusively for…educational…purposed, and used exclusively for carrying on thereupon one or more of such purposes either by the owning corporation or by an other such corporation.18​​ Dalam perkara tersebut suatu perusahaan yang bebas pajak mengikatkan diri pada perjanjian konsesi dengan suatu jaringan restoran lain, yang mana jaringan restoran tersebut dapat mengoperasikan restoran-restorannya ​​ di area ​​ gedung utama suatu perguruan tinggi yang sebelumnya dikuasai oleh​​ cafetaria​​ perguruan tinggi itu sendiri. Di bawah perjanjian tersebut dinyatakan bahwa perguruan tinggi ini harus menyediakan, tanpa bayaran, ruangan, perawatan dasar dari ruangan, dan segala perlengkapan. Jaringan restoran ini diwajibkan mengoperasikan restoran tersebut untuk para murid, fakultas dan staff dari perguruan tinggi tersebut dan berhak atas keuntungan ataupun kerugian yang timbul dari pengoperasian tersebut. Setelah mempelajari konsep usaha pelayanan makanan ini, petugas pajak pemerintah berusaha menarik kembali fasilitas bebas pajak dari perguruan tinggi tersebut, diseimbangkan dengan aset nyata yang dimiliki oleh perguruan tinggi tersebut. Di bawah peraturan tersebut, apakah perguruan tinggi ini berhak atas pembebasan pajak atas harta benda yang digunakan untuk fasilitas retoran?​​ 19

 Dengan demikian penerapan doktrin​​ stare decisis​​ dalam pengadilan di Indonesia perlu dipertimbangkan. Menurut pengamatan Charles Himawan, “penerapan​​ stare decisis,​​ mungkin akan lebih cepat mengantar Indonesia ke pembaharuan pranata hukum dan menjamin kepastian dan​​ predictability,​​ dua unsur mutlak untuk kehidupan tatanan hukum.”20​​ Ia mengatakan, “dengan adanya dua unsur itu, konsistensi dalam penerapan hukum akan pula terjamin.”  ​​ ​​​​ ​​ 

Penutup

 Kepercayaan terhadap Pengadilan Pajak akan sangat tergantung pada pelayanan hukum yang diberikan oleh Pengadilan Pajak tersebut. Artinya Pengadilan Pajak itu harus dapat memenuhi harapan sebagai benteng terakhir pemberi keadilan​​ [the last bastion of justice]. Untuk memenuhi harapan itu, hakim Pengadilan Pajak harus lebih aktif melakukan penemuan hukum, sekaligus menciptakan kewibawaan hukum melalui kepastian dan​​ predictability​​ hukum.​​ 

Dalam konteks ini, tepat mengulang kembali sebagaimana diuraikan di atas, perlukah kita menerapkan​​ stare decisis​​ ? Namun, untuk menjawab pertanyaan itu Charles Himawan sudah mengingatkan, “dalam usaha untuk menerapkan​​ stare decisis,​​ Badan Peradilan dan para ahli hukum Indonesia sebenarnya dihadapi oleh dua​​ macam pilihan: menolak​​ stare decisis​​ karena tidak sesuai dengan sistem hukum yang dikenal di Indonesia atau menerima karena pembangunan nasional membutuhkannya.”21 ​​​​ 

Selanjutnya, hakim Pengadilan Pajak dan personalia pengadilan lainnya harus mengelola manajemen pengadilan secara efisien dan transparan, tanpa pengelolaan manajemen yang demikian akan mengakibatkan​​ lamanya penyelesaian perkara​​ [court delays], yang pada gilirannya akan membuat​​ menumpuknya perkara​​ [backlog of cases].  ​​​​ Akhirnya, juga terdapat harapan agar peradilan​​ pajak tidak melakukan tindakan memihak​​ [lack of neutrality].

DAFTAR PUSTAKA

Azhari.​​ Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya.​​ Jakarta: UI-Press, 1995.

Charles Himawan. “Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum,” Pidato Pengukuhan pada Upacara Penerimaan Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap Pada FakultasHukum Universitas Indonesia, Jakarta, tanggal 24 April 1991.

Henry Campbell Black.​​ Black’s Law Dictionary.​​ ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990.​​ 

Mary Ann Glendon. “The Sources of Law in A Changing Legal Order,”​​ Creighton Law Review,​​ [Vol. 17, 1984].

The World Bank Annual​​ ​​ Report​​ 2002.

Thomas W. Dunfee, Janice R. Bellace, David B. Cohen dan Arnold J. Rosoff.​​ Business and Its Legal Environment.​​ New Jersey: Prentice-Hall, Inc.​​ 

United States v. Carpenter,​​ 791 F.2d 1024, 1036 [2nd​​ Cir. 1986].

United States v. Chiarella, 588 F.2d 1358, 1373 [1978]

SISTEM​​ SUB-CONTRACTING​​ ANTARA PERUSAHAAN

INDUSTRI BESAR DAN PENGUSAHA INDUSTRI KECIL

SUATU KAJIAN KULTUR HUKUM

Pemerintah Indonesia sejak program Pengembangan Nasional Tahun [PELITA] Ke II, telah menata strategi pembangunan ekonomi kepada tiga sasaran, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan stabilitas nasional dengan prioritas penekanan kepada aspek pemerataan. Aspek pemerataan dimaksud adalah pemerataan kesempatan kerja maupun berusaha dengan sasaran utama kelompok pengusaha ekonomi lemah, termasuk di dalam-nya pengusaha industri kecil.

Dengan program pembangunan itu sudah banyak kegiatan yang berhasil memecahkan berbagai masalah ekonomi. Namun pada umumnya masih ada ketimpangan ekonomi yang menuntut usaha yang sungguh-sungguh untuk mengatasinya. Oleh karena itu Garis-Garis Besar Haluan Negara [GBHN] Tap. No. II/MPR/1993 Bab IV Sub A-3, menetapkan perluasan dan kegiatan ekonomi, memperluas lapangan kerja dari lapangan usaha, serta meningkatkan masyarakat secara lebih ​​ merata melalui mantapnya iklim yang mendukung pembinaan dan peningkatan usaha informal. Usaha kecil golongan ekonomi lemah, dan usaha menengah, kerjasama kemitraan antara koperasi, usaha negara dan swasta.1

Secara konkritnya dalam Pelita VI ini kerjasama antara perusahaan/industri besar dan pengusaha industri kecil masih diperintahkan oleh GBHN. Dalam hal ini pengusaha industri kecil [usaha skala kecil] terus ditingkatkan antara lain melalui​​ sistem​​ Sub-contracting.​​ 

Dengan ini berarti pengusaha industri kecil masih perlu diberikan kesempatan yang lebih luas untuk ikut berperan dalam bisnis dengan cara bekerjasama dengan perusahaan industri besar. Hal ini juga merupakan suatu perintah untuk memecahkan berbagai masalah dalam kerjasama antara pengusaha industri besar dan pengusaha industri kecil yang telah berlangsung dan sekaligus membuat pemantapan atas pelaksanaannya. ​​ 

Keadaan ini dapat diperhatikan dari pelaksanaan kerjasama antara perusahaan industri besar dan pengusaha industri kecil melalui​​ Sub-contracting​​ [selanjutnya disingkat​​ sub-contracting] masih memperoleh tantangan-tantangan atau hambatan-hambatan yang harus dipecahkan dalam mengisi pembangunan ekonomi.

Masalah dalam​​ sub-contracting​​ tersebut menyangkut masalah tentang landasan hukum dan masalah keuntungan yang diperoleh dari pengembangan perusahaan industri kecil melalui​​ sub-contracting​​ dengan perusahaan besar. Karena disatu pihak pranata hukum yang mengaturnya belum tuntas, dilain pihak, dalam pelaksanaan​​ sub-contracting​​ itu masih dijumpai kegiatan yang tidak mendukung pengembangan bisnis industri kecil. Karena industri kecil masih dianggap sebagai komplementer dalam​​ sistem​​ sub-contracting.

Kurangnya keuntungan pengembangan bisnis pengusaha industri kecil dalam​​ sub-contracting​​ disebabkan kurangnya inisiatif dan pengertian perusahaan industri besar terhadap makna pelaksanaan​​ sub-contracting​​ ini, yang hasilnya dapat memberikan manfaat kedua belah pihak.

Jika pelaksanaan​​ sub-contracting​​ mempunyai penekanan terhadap pengembangan pengusaha industri kecil dengan cara keterkaitan bisnis antara kedua usaha bisnis tersebut sebagai sarana baru pembangunan ekonomi dan perlakuan baru untuk mewujudkan pemerataan, maka perkembangan aspek pelaksanaan​​ sub-contracting​​ itu adalah berupa kebijaksanaan yang mempunyai arti penting untuk mewujudkan hubungan hukum antara perusahaan industri besar dan pengusaha industri kecil, yaitu antara hukum yang berkaitan dengan​​ sub-contracting​​ dan hukum yang secara nyata berlaku, serta pelaksanaan/penegakan hukum​​ sub-contracting​​ yang memberikan perlindungan adil dan wajar bagi pengusaha industri kecil.

Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan dimuka, maka perlu mengkaji pelaksanaan/penegakan hukum​​ sub-contracting​​ yang pengkajiannya didekati dari segi kultur hukum dengan tujuan mencari alternatif yang bisa dikerahkan dan segi hukum untuk bisa mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing dalam​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting, sekaligus untuk mencapai sasaran pengembangan industri kecil.  ​​​​ 

Dengan demikian dalam tulisan ini akan dikaji hukum dalam lingkup aturan-aturan sikap tindakan anggota-anggota masyarakat yang bersandar pada hukum sebagai basis untuk pola tingkah laku sosial. Disamping itu pengkajian ini tidak luput dari prinsip moral seperti keadilan dan kewajaran yang lahir dari jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi panutan individu masyarakat Indonesia. Selanjutnya prinsip moral ini akan dikaitkan kajiannya dengan nilai-nilai yang menciptakan etika dan​​ sistem​​ dari standar moral​​ sistem​​ hukum​​ sub-contracting​​ yang bernuansa​​ kepastian [predictability],​​ Keadilan [fairness] dan​​ efisiensi [efficiency].2

  • Keadaan Hukum​​ Sub-Contracting

 Strategi pertumbuhan ekonomi [growth oriented strategy] yang berorientasi kepada ekspor non-migas sebagai penggerak utamanya telah menempatkan pentingnya sektor industri. Orientasi baru ekonomi Indonesia tersebut telah membuka kesempatan bagi dunia usaha khususnya sektor swasta, baik perusahaan yang berskala besar, menengah maupun kecil, untuk mendorong berkembangnya industri di Indonesia.

 Disamping itu, kebijaksanaan pemerintah tersebut telah pula menciptakan perbaikan iklim investasi, untuk mendorong semakin meningkatnya minat investor-investor asing melakukan investasi di Indonesia. Meningkatnya peranan investasi asing di Indonesia pada gilirannya akan mendorong terciptanya kerjasama antara perusahaan asing dengan perusahaan-perusahaan nasional, yang dibuat berdasarkan kontrak kerja. Dalam hal ini perusahaan-perusahaan nasional yang terlibat tidak terbatas pada perusahaan besar saja, karena tentunya peranan perusahaan menengah dan kecil juga akan semakin diperlukan. Dengan demikian terlihat adanya​​ division of labour​​ antara perusahaan besar, menengah dan kecil.

Sesuai dengan perkembangan perusahaan besar didunia yang tidak memproduksi seluruh bagian-bagian sampai ke perakitan akhir. Tetapi telah lebih mengarah kepada​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ dengan usaha industri kecil. Hal ini disebabkan​​ pada​​ suatu pertimbangan bahwa memproduksi sendiri terhadap bagian sampai ke perakitan akhir itu tidak lagi kompetitif.​​ 3

 Dengan demikian praktik sistem​​ sub-contracting​​ perusahaan besar sebagai perusahaan induk dengan perusahaan kecil sebagai pemasok atau sub-contractor​​ kini dinilai lebih kompetitif, karena dapat menekan ongkos dan menghindarkan ketidakefesienan produksi.4​​ Alasan ini juga yang menyebabkan​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ tumbuh dengan banyak di Jepang.

 Dijepang setiap perusahaan besar atau perusahaan induk dipasok oleh sejumlah pemasok bagian komponen-komponen. Misalnya Toyota Motor menerapkan hubungan pemasok [sub-contracting] dengan lebih kurang 2.000 sub-contractor​​ utama, untuk memasok bagian-bagian dan komponen bagi perakitan mobil Toyota. Kebanyakan dari sub-contractor​​ adalah usaha-usaha industri menengah dan kecil.5​​ Di Indonesia​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ telah diterapkan oleh grup Astra untuk​​ sub-contracting​​ dalam memasok bagian-bagian komponen bagi perakitan mesin Toyota. Dengan ini perkembangan​​ sistem​​ sub-contracting​​ di Jepang/perusahaan Toyota memperlihatkan bahwa usaha industri kecil mempunyai kedudukan yang strategis, yaitu tidak lagi sebagai komplementer bagi perusahaan industri besar.

 Berdasarkan penilaian​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ lebih kompetitif dibandingkan dengan memproduksi seluruh bagian-bagian sampai keperakitan akhir​​ yang pada gilirannya meningkatkan​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting,​​ maka pranata hukum yang dapat memberikan landasan dalam​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ tersebut mutlak diperlukan. Karena tanpa pranata hukum yang cukup memadai, baik mengenai isinya maupun pelaksanaannya, maka praktik sistem​​ sub-contracting​​ akan berjalan pincang. Dalam hal ini pranata hukum tersebut harus dapat mengarahkan dan menunjang berkembangnya industri kecil melalui​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ itu. Karena pada umumnya sub-contractor​​ dalam​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ terdiri dari industri kecil.

 Di Indonesia pranata hukum yang mengatur​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ belum dapat memberikan sumbangan yang maksimal kepada pengembangan industri kecil. Walaupun telah ada peraturan perundang-undangan yang​​ pengaturannya​​ bertujuan mengembangkan industri kecil melalui peningkatan praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ antara perusahaan besar dan industri kecil.6​​ Seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984, dan​​ Pasal 27 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang menggariskan salah satu kemitraan usaha besar/menengah dan usaha kecil dapat melakukan kemitraan dengan pola​​ sub-contracting, belum dapat ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat undang-undang. Oleh karena itu pelaksanaan hukumnya belum sepenuhnya berjalan mulus dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi industri kecil.

 Kenyataannya peraturan praktik sistem​​ sub-contracting​​ belum sepenuhnya berjalan lancar,7​​ disebabkan industri kecil yang menjadi sub-kontraktor sering menghadapi masalah-masalah yang sangat berkaitan dengan praktik sistem sub-contracting​​ tersebut. Dalam “Dialog Temu Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi dengan BUMN/BUMS” tanggal 12 Maret 1997 di Jakarta terungkap bahwa kalangan pengusaha kecil dan koperasi menghadapi berbagai masalah. Seperti terbatasnya kapasitas produksi dan permodalan, masih lemahnya daya kreasi, inovasi, rekayasa produksi dan lemahnya wawasan kemampuan serta lemahnya penguasaan hukum maupun ketentuan dalam perdagangan internasional.8​​ 

 Kebijakan pemerintah yang bertujuan mengembangkan industri kecil melalui praktik sistem​​ sub-contracting​​ seperti diuraikan dimuka, berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang juga bertujuan mengembangkan industri kecil lainnya. Karena kebijakan-kebijakan tersebut juga belum memadai, baik mengenai isinya maupun pelaksanaannya atau belum sepenuhnya berjalan mulus dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh industri kecil.

 Dengan demikian pranata hukum yang memadai, baik mengenai isinya maupun mengenai pelaksanaannya yang menjadi landasan hukum bagi​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ yang akan datang, perlu​​ melihat kecenderungan-kecenderungan di atas. Artinya pembuatan pranata hukum itu harus dapat memberikan arah yang jelas secara menyeluruh bagi​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting.​​ Karena bagi Indonesia dalam proses industrialisasi [early industrialising] sebagai bagian pembangunan ekonomi harus ditingkatkan melalui penerapan hukum, pranata hukum, dan alat-alat pelayanan hukum secara rasional.​​ 9

 Untuk mengembangkan pola pikir di atas, perlu didukung oleh kemauan politik atau​​ political will​​ dari pemerintah. Karena hampir​​ diseluruh negara-negara yang mengalami modernisasi yang cepat, pemerintahnya telah menjadi pendorong utama untuk kegiatan perekonomiannya.​​ 

Dalam hal ini pemerintah telah menjadi sumber utama inovasi dalam bidang ekonomi dan sosial.10​​ Untuk konteks Indonesia peranan pemerintah itu dapat dilakukan dengan membina perusahaan nasional atau industri kecil dengan cara insentif atau berupa informasi [information clearing house] yang mensuplai data kepada perusahaan nasional.

 Peranan pemerintah dalam bidang ekonomi dan sosial ini perlu diiringi dengan pembuatan hukum. Hal ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Professor Charles Himawan, bahwa meskipun peranan manusia Indonesia jelas penting, namun hal itu tidak berarti bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia dapat memerintah tanpa hukum, sebab hukum dan manusia adalah tidak terpisahkan dalam mengatur masyarakat.​​ 11

 Dengan demikian pemerintah sangat berperan membuat strategi pengembangan industri kecil melalui​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting, yaitu dengan pembuatan hukum yang melandasi​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ secara menyeluruh. Dalam hal ini parameter hukum tersebut diupayakan sebagai suatu misi12​​ yang berusaha untuk mencapai cita-cita pengembangan industri kecil agar dapat melakukan hubungan bisnis dalam​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ secara lancar. Artinya sebagai upaya komplementer terhadap pengembangan industri kecil melalui praktik​​ sistem​​ sub-contracting. Salah satu cara adalah dengan memberikan pengaturan hukum yang kokoh bagi praktik sistem​​ sub-contracting​​ di Indonesia, sehingga hukum yang belum berperan melindungi/mengembangkan industri kecil melalui​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting, dapat dikembangkan pada pendayagunaan pada titik maksimal.​​ 

 Di samping pembuatan hukum yang melandasi praktik​​ sistem​​ sub-contracting, kontrak juga perlu diperhatikan sebagai parameter dalam​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting. Karena kenyataannya kontrak dilaksanakan dalam praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ selama ini telah memuat ketentuan-ketentuan kontrak secara berlanjut. Tetapi kontrak tersebut sering tidak memuat secara terperinci dan jelas apa yang dimaksud oleh para pihak dan tidak mencantumkan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan kontrak ini disele-saikan.13 ​​​​ 

Sedangkan menurut Richard A. Posner kontrak-kontrak antara pengusaha yang merakit atau yang menjual produk akhir dan seseorang yang memasok atau pemasok bagian-bagian komponen harus berunding mengenai persetujuan pelaksanaan kontrak pada saat pelaksanaan kontrak tersebut. Kontrak tersebut biasanya mensyaratkan secara terperinci mengenai harga, jumlah, mutu, batas tanggal penyerahan, syarat-syarat kredit​​ dan seterusnya pelaksanaan tugas pemasok. Dan jika ada situasi yang mensyaratkan perubahan terhadap yang telah disepakati, maka persetujuan dalam kontrak harus dirundingkan. ​​ 14

 Pendapat Posner mengenai kontrak antara pengusaha​​ main​​ contraktor​​ dan sub-contraktor​​ di atas, perlu diterapkan dalam​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting. Karena kontrak dalam​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ harus dibuat secara terperinci dan seterusnya merencanakan kontrak yang dapat digunakan untuk mengembangkan industri kecil. Artinya kontrak dalam​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ itu diupayakan suatu janji dari perusahaan​​ main​​ contraktor​​ untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi industri kecil.​​ 

 Dalam hal ini terlihat bahwa kontrak dalam​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ di samping untuk bisnis industri kecil, juga dapat didayagunakan untuk tujuan pengembangan industri kecil. Hal ini dapat dibenarkan, karena dalam kontrak dibenarkan mengatur hal-hal untuk tujuan seseorang.15 ​​ ​​​​ Di Indonesia kontrak demikian diatur dalam pasal 1338 K. U. H. Perdata [B.W] yang menganut azas kebebasan berkontrak. Artinya para pihak bebas untuk menentukan isi atau tujuan kontrak sebatas yang diperkenankan oleh Undang-undang.

 Dengan demikian kontrak yang terlaksana dalam​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ dimungkinkan pendayagunaannya untuk mendorong pengembangan industri kecil atau sarana mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh industri kecil dalam​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting.​​ 

 Berdasarkan keseluruhan di muka, maka pengkajian kultur hukum dalam mengembangkan industri kecil melalui​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting​​ diperlukan untuk mendukung terciptanya kondisi yang lebih​​ kondusif​​ bagi lancarnya​​ praktik​​ sistem​​ sub-contracting.​​ 

  • Pendekatan Kultur Hukum​​ Sub-Contracting

Kultur Hukum disini mengkaji hukum yang mengatur sub-contracting supaya turun dari norma-norma Pancasila sebagai filsafat yang tertinggi dan sumber-sumber dari segala sumber hukum. Selanjutnya norma-norma Pancasila ini dikembangkan ke dalam teori hukum dan perumusan norma-norma hukum. Radburch menguraikan teori hukum ini dirumuskannya sebagai penjelasan dan penjernihan nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang tinggi.16​​ 

Dengan kultur hukum diharapkan dapat mengkaji hubungan yang adil dan wajar antara kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia pada umumnya untuk mengkaji bagaimana kegiatan manusia ini dapat dilihat dari ukuran-ukuran nilai yang luhur dari pribadi manusia.

Di sini pendekatannya dilakukan berdasarkan masalah baik dan buruk dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan sesama manusia itu. Berdasarkan hal ini timbul masalah moral dalam kajian hukum tersebut. Pandangan moral ini menjadi bagian pula dari kultur hukum, yang berperan dalam melihat adil dan wajar sebagaimana diuraikan di atas. Prof. H.L.A. Hart seorang ahli filsafat hukum dari Inggris menyatakan bahwa hubungan antara hukum dan moral adalah berdasarkan pada moral dalam arti luas yang didalamnya termasuk​​ such rules obviously required for social life … for bidding, or at least restricting the free use of violence, rules requiring certain forms of honesty and truthfulness in dealing with otehrs, and rules for bidding the destruction of tangible thing or their seizure from from other.17

Berdasarkan konteks hukum dan moral ini dalam kaitannya dengan​​ sistem​​ sub-contracting, maka moral yang luhur dari jiwa Pancasila dan terpancar dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945, yang menjamin bahwa semua​​ warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang menentukan bahwa susunan perekonomian disusun sebagai usaha bersama atau asas kekeluargaan.​​ 

Dengan ketentuan​​ sistem​​ hukum positif ini jelas tidak dihalalkan di Indonesia kegiatan ekonomi terkotak kepada kelompok manusia tertentu. Karena ketentuan di atas ini bersifat imperatif yang menentukan perekonomian tidaklah dibiarkan berjalan sendiri berdasarkan kekuatan ekonomi tertentu atau kekuatan pasaran bebas. Tetapi yang diharapkan dari ketentuan itu adalah kegiatan perekonomian berada dalam lingkup demokrasi ekonomi yang secara jelas ditetapkan melalui penjelasan​​ Pasal 33​​ UUD 1945. Kalven dan Hans Zeizel menguraikan bahwa hukum adalah ibarat sebuah jendela melalui mana kita melihat kehidupan, terkadang hukum itu adalah sejarah dan juga hukum itu selalu terlibat dalam pennerjemahan nilai-nilai masyarakat ke dalam norma-norma.18

Hadirnya hukum positif yang mendasari​​ sub-contracting​​ di muka bukan berarti sub-contracting telah berjalan sesuai dengan yang diinginkan hukum positif tersebut. Oleh karena itu masih diperlukan implementasi penegakan hukum itu secara konsisten. Dengan alasan ini keinginan untuk meningkatkan​​ sub-contracting​​ masih memerlukan perhatian atas faktor pelaksanaan hukumnya. Randy E. Barnett dalam tulisannya yang berjudul​​ Foreward : Why We Need Legal Philisophy​​ menyatakan bahwa para aliran hukum alam menyatakan bahwa defenisi hukum sebagai​​ puts the cart before the horse. The institution of law, they argue, has a social function [more on what his function might be below].19​​ Inti seluruh tulisan Barnett ini adalah menetapkan bahwa cara positivisme adalah memandang hukum tidak cukup untuk membahagiakan manusia.

Dengan demikian kultur hukum mempunyai peran yang sangat penting dalam mengkaji jalannya​​ sub-contracting​​ yang diinginkan. Karena kultur hukum mengkaji hal-hal yang bersifat dasar dari hukum, seperti hakikat hukum dan dasar-dasar yang menjadi kekuatan mengikat dari hukum. Dalam hal ini kultur hukum mengadopsi​​ hukum sebagai gejala yang universal menjadi fokus kajiannya dan dianalisis berdasarkan asas-asas peraturan-peraturan dan unsur-unsur dari​​ sistem​​ hukumnya.

Pendekatan dari kultur hukum dalam​​ praktik​​ sub-contracting ​​​​ akan dilihat tidak hanya bagaimana peraturan​​ sub-contracting​​ yang ada sekarang atau bagaimana peraturan itu dibuat. Tetapi dalam konteks kultur hukum akan lebih penting penglihatannya apakah peraturan-peraturan itu dilaksanakan. Jadi di sini dikaji lingkungan dari peraturan tersebut dan penjagaan wibawa hukumnya. Berarti melihat hukum tidak boleh terfokus hanya kepada substansinya saja. Sesuai dengan ini Lawrence M. Friedmann menyebutkan bahwa unsur-unsur​​ sistem​​ hukum terdiri dari struktur [structure], substansi [substance] dan kultur [culture].​​ Struktur hukum​​ adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan formalnya.​​ Substansi hukum​​ adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum. Sedangkan kultur hukum adalah bagian dari kultur yang menyangkut​​ sistem​​ hukum.20

Kultur hukum ini sangat tepat dipakai dalam membicarakan mengenai kultur​​ sub-contracting​​ sebagaimana dikemukakan di atas. Karena kultur hukum ini mempunyai kekuatan untuk dipakai sebagai sumber informasi guna menjelaskan​​ sistem​​ hukum sub-contracting tersebut. Tanpa kultur hukum ini akan sulit dijelaskan mengapa​​ sistem​​ hukum sub-contracting tidak berjalan seperti yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan kultur hukum sebagai salah satu unsur​​ sistem​​ hukum, di dalamnya menyangkut pandangan masyarakat terhadap​​ hukum. Lebih lanjut Friedmann mengemukakan bahwa sikap masyarakat terhadap hukum dan​​ sistem​​ hukum adalah keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, gagasan-gagasan dan harapan harapannya .21​​ 

Disamping itu Friedmann menyatakan bahwa kultur hukum digunakan untuk norma-norma dan gagasan-gagasan mengenai hukum.22​​ Untuk itu , cara pendekatan hukum yang digunakan sebagai saran yang mengatur sub-contracting​​ adalah hukum yang terfokus kepada strukturnya, substansinya dan kulturnya . Dengan cara ini hukum itu diupayakan untuk mengarahkan tujuan yang diinginkan​​ sub-contracting. Oleh karena itu hukum​​ sub-contracting​​ harus memperhatikan landasan pemantapan jalannya sub-contracting sebagai berikut :

Pertama, dalam rangka pencapaian tujuan [goals]​​ sistem​​ sub-contracting​​ akan didasarkan pada pertumbuhan asas-asas hukum yang memperlancar jalannya​​ sistem​​ sub-contracting​​ sesuai dengan tatanan kehidupan ekonomi nasional yang dikehendaki.

Kedua,​​ pemikiran tentang bentuk persetujuan​​ sistem​​ sub-contracting,​​ harus didasarkan pada prinsip-prinsip pembaharuan hukum yang berunsur kebijaksanaan pelaksanaan kerjasama dan​​ public interest,​​ sebagaimana telah berkembang secara universal dalam himpunan​​ the value chain​​ Nasional yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945

Ketiga,​​ pemikiran kegiatan perlakuan cara baru untuk pemantapan​​ sistem​​ sub-contracting​​ itu, harus didasarkan pada pendekatan pembinaan yang ditekankan pada sikap perusahaan industri besar dan pengusaha industri kecil untuk menghasilkan suatu kinerja [performance] terbaik dan kompetitif. Selanjutnya kedua belah pihak berada pada tingkat​​ bargaining position​​ yang seimbang. Dalam hal ini kepada pengusaha industri kecil dibuka kesempatan untuk mengembangkan kerjasamanya dan kepastian usaha yang adil dan transparan.

Pendekatan ketiga ruang lingkup hukum di atas yang harus menjadi pilihan​​ dalam​​ memberikan landasan pemantapan pelaksanaan​​ sistem​​ sub-contracting​​ yang dilakukan oleh perusahaan industri besar dan pengusaha industri kecil.

Dengan demikian pilihan cara pendekatan dengan ketiga ruang lingkup hukum tersebut secara terpadu dapat dibuat sebagai pedoman bentuk perwujudan​​ sistem​​ sub-contracting, serta kegiatan perlakuan cara baru untuk pemantapan​​ sistem​​ sub-contracting​​ dianggap sesuai dengan pertumbuhan yang mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi Pancasila, nilai-nilai demokrasi ekonomi, serta kultur hukum bangsa Indonesia. Hal-hal inilah yang dapat dijadikan menjaga​​ survive-nya​​ sub-contracting​​ dan terciptanya mekanisme pasar yang bertujuan untuk mencapai kepastian, keadilan dan efisiensinya​​ sistem​​ sub-contracting.

Pedoman jalannya hukum​​ sistem​​ sub-contracting​​ di atas inilah yang diupayakannya dengan penerapan keadilan dan kewajaran bagi​​ sistem​​ sub-contracting. John Rawls dalam​​ Theory Of Justice​​ yang mengemukakan​​ bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga kedua-duanya membawa manfaat bagi yang paling tidak diuntungkan, yaitu sesuai dengan asas tabungan yang adil dan melekat pada jabatan-jabatan dan kedudukan-kedudukan terbuka bagi semua orang berdasarkan prinsip kesempatan yang sama dan bebas dari diskriminasi.23

Mengacu kepada rumusan Rawls di atas ini, maka apa yang menjadi keadaan kurang baik dan tidak adil dalam masalah pengusaha industri kecil mesti diperbaiki dalam​​ sistem​​ hukum​​ sub-contracting. Arah perbaikannya didasarkan kepada keadaan dan pengaturan sesuai dengan teori​​ Justice as fairness​​ sebagai pendapat Aristoteles dalam menguraikan keadilan distributif [distributive justice] yang menyatakan bahwa​​ keadilan distributif adalah mengacu kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat dan perlakuan yang sama terhadap kesejahteraan dihadapan hukum [equity before the law].24

Berdasarkan perlunya perlakuan terhadap pengusaha industri kecil sesuai dengan keadilan dan kewajaran, maka dapat diberi kesimpulan bahwa​​ sistem​​ hukum​​ sub-contracting​​ yang menuju perlindungan pengusaha industri kecil harus merupakan suatu hukum yang baik [responsive law]. Jerome Frank mengemukakan​​ responsive law​​ harus merupakan kelanjutan dari keinginan merumuskan teori hukum yang modern, yang lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat.25 ​​​​ Karena dalam pengertian bertanggung jawab, selektif dan penyesuaian diri.26

Lembaga hukum yang responsif akan tetap mempertahankan unsur-unsur yang penting bagi integritasnya, sambil terus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan baru di sekitar lingkungannya. Lebih jauh, hukum yang responsif akan menganggap desakan masyarakat sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk memperbaiki diri.27

Dalam upaya mengembangkan pengusaha industri kecil dalam sistem hukum​​ sub-contracting​​ di Indonesia maka model hukum yang responsif ini, perlu menjadi perhatian memasukkan unsur teori kepentingan sosial [theory of social interest] dari Roscoe Pound. Karena menurut Pound hukum yang responsif harus menawarkan sesuatu yang lebih dari hanya keadilan yang prosedural [prosedural justice]. Tetapi hukum itu harus kompeten sekaligus adil dan harus dapat membantu menetapkan kepentingan umum serta harus menjadi komitmen dalam keadilan substansial [substantive justice].28

Jadi keadilan harus mengatur segala aspek-aspek perlindungan pengusaha industri kecil dalam​​ sub-contracting, agar bisa secara​​ fair​​ memagari hak dan kewajibannya. Karena hak dan kewajiban pengusaha industri kecil harus diberi jaminan oleh keadilan. Karena jika tidak ada keadilan bagi pengusaha industri kecil dalam​​ sub-contracting, maka berarti pengusaha industri kecil itu belum memperoleh perlindungan hukum.

Melihat jalannya hukum​​ sub-contracting​​ selama ini dan kenyataan​​ praktiknya maka pendekatan kultur hukum sangat berperan untuk mengkaji pelaksanaan/penerapan hukum​​ sub-contracting. Karena dengan kultur hukum dapat melihat suatu hubungan​​ yang adil dan wajar antara kegiatan-kegiatan para pihak yang melakukan​​ sub-contracting, yang didasarkan terhadap ukuran nilai-nilai yang luhur dari jiwa Pancasila dan UUD 1945.

Aspek sistem​​ sub-contracting​​ pada akhirnya bukan merupakan konsep​​ yang maju sendiri ke depan tanpa bantuan dari kultur hukum. Oleh karena itu​​ sistem​​ sub-contracting​​ harus berjalan seiring dengan kajian kultur hukum, agar hukum​​ sub-contracting​​ diketahui apakah berjalan efektif dan dapat disajikan secara operasional.

Dalam pelaksanaan/penerapan hukum​​ sub-contracting​​ dengan unsur-unsur kepastian, keadilan dan efisiensi serta sesuai dengan​​ sistem​​ hukum yang mengandung struktur, substansi dan budaya hukum bangsa Indonesia.

Dengan ini kerangka hukum​​ sub-contracting​​ dengan muatan unsur-unsur di atas ini merupakan syarat bagi berkembangnya​​ sub-contracting​​ yang bertujuan mencapai kesejahteraan semua lapisan masyarakat dan​​ memiliki akses yang sama dalam memperoleh tujuan yang diinginkan oleh​​ sistem​​ hukum​​ sub-contracting​​ yang ada serta dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pelaku​​ sub-contracting, khususnya kepada pengusaha industri kecil secara fair untuk memagari hak dan kewajiban mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Bruce Chopman dan John Quinn, “Efficiency, Liberty and Equality : Three ethical justification for Regulatory Reform”, Osgoode Hall​​ Law Journal [Vol. 20 No. 3]​​ 

Charles Himawan,​​ The Foreign Investment Process in Indonesia, [Singapore : Gunung Agung, 1980]

Erman Rajagukguk, “ Hubungan Penjual dan Pemasok Dalam Upaya Mengembangkan Industri : Suatu tinjauan Hukum”. Makalah disampaikan pada Seminar Perundang-undangan, Jakarta, 18-19 Juli 1980

Freidmann, American Law, [New York : W.W.Norton &Company, 1984]

Hal Hill,​​ Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia [Foreign Investment and Industrialization in Indonesia]​​ Diterjemahkan oleh Burhanuddin Abdullah, [jakarta​​ : LP3ES, 1990]

H.L.A. Hart, The Concept of Law [Oxford University Press, 1988]

Jhon Rawls dalam Howard Davies dan David Holdcroft,​​ Jurisprudence : Texts and Commentary, [London :​​ Butter – Worth & Co Ltd, 1991]​​ 

Kalven and Hans Zeizel dalam Robert S. Summers, Law : Its Nature, Functions and Limits, [Englewood Cliffs,​​ N.J. : Prentice Hall Inc, 1972]

Ketetapan-Ketetapan MPR RI. 1993​​ [Surabaya​​ : Penerbit Bina Pustaka Tama]

Lawrence M. Friedmann,​​ Law and Society, [New Jersey : Prentice-Hall, 1977]

Lawrence M. Friedmann,​​ The Republic of Choice Law, Authority and Culture, [Massachussetts :​​ Harvad University Press, 1990]

Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law​​ and Policy, [Vol. 9, 1980]​​ 

Media Indonesia, 13 Maret 1997, hal.3, kolom 1

Michael B. Metzger, J.D., Jane P. Mallor, J.D.A. James Barnes, J.D., a.l.,​​ Business Law and​​ The Regulatory Environment,​​ Illinois : Irwin, 1986]

Monte Palmer,​​ Dilemmas of Political Development, [Itasca, Illinois :​​ ​​ F.E. Peacoek Publisher Inc., 1982]

Pasuk Phongpaichit,​​ The New of Japanese Investment In Asean. [Singapore : Institut of Southeast Asian Studies, 1990]

Phillipe Nonet dan Philip Zelznick,​​ Law and Sociaty in Transsition : Toward Responsive Law, [New York :​​ Harper Colophon Books, 1978]

Randy E. Bernett, “Formord : Why We Need Legal Philosophy”, 8 Harvard Journal of Law and Public Policy 1

Richard B. Mc Kenzie dan Gordon Tullockm,​​ Modern Political Economy.​​ [Tokyo :​​ Mc. Graw-Hill Kogakusha, 1978]

Richard A. Posner,​​ Economic Analysis of Law.​​ [Boston, Toronto :​​ Little Brown and Company, 1977]

Thomas I. Emerson, “Law as A Force Social Progress”, 18 Conecticut Law Review I [1985]​​ 

Wolfgang Friedmann,​​ Legal Theory.​​ [London L Stevens & Sons, 1953]​​ 

MERGER, ​​ AKUISISI ​​ DAN ​​ KONSOLIDASI

Penggabungan ​​ dan ​​ peleburan ​​ perusahaan ​​ telah ​​ menjadi ​​ masalah ​​ bisnis ​​ dan ​​ hukum ​​ di ​​ Indonesia ​​ sejak ​​ beberapa ​​ tahun ​​ terakhir ​​ ini. ​​ Dari ​​ segi ​​ bisnis ​​ penggabungan ​​ dan ​​ peleburan ​​ perusahaan ​​ mempunyai ​​ tujuan ​​ tertentu, ​​ antara ​​ lain, ​​ untuk ​​ menjamin ​​ sumber ​​ bahan ​​ baku ​​ atau ​​ komponen ​​ [suku ​​ cadang], ​​ menguasai ​​ jalur ​​ distribusi, ​​ menambah ​​ jenis ​​ barang ​​ atau ​​ jasa ​​ yang ​​ dapat ​​ dijual ​​ [diversifikasi ​​ usaha]. ​​ 

Disamping ​​ itu ​​ merger ​​ dan ​​ akuisisi ​​ bertujuan ​​ untuk ​​ mengurangi ​​ ongkos ​​ produksi ​​ dan ​​ memperbaiki ​​ kwalitas ​​ produk, ​​ dalam ​​ rangka ​​ meningkatkan ​​ kinerja ​​ perusahaan29. ​​ 

Dari sudut​​ hukum​​ penggabungan dan peleburan ​​ perusahaan ​​ dibedakan ​​ dengan ​​ tiga ​​ istilah ​​ : ​​ merger, ​​ akuisisi ​​ dan ​​ konsolidasi. ​​ Merger ​​ terjadi ​​ bila ​​ suatu ​​ perusahaan ​​ menggabungkan ​​ diri ​​ ke ​​ dalam ​​ perusahaan ​​ lain ​​ [melalui ​​ penjualan ​​ assetnya] ​​ dan ​​ perusahaan ​​ yang ​​ terakhir ​​ ini ​​ membubarkan ​​ diri ​​ [dilikuidasi]. ​​ Umpamanya, ​​ PT​​ S ​​ merger ​​ ke ​​ dalam ​​ PT A ​​ dan ​​ PT S ​​ kemudian ​​ membubarkan ​​ diri ​​ [likuidasi]. ​​ PT A ​​ mengeluarkan ​​ sahamnya ​​ atau ​​ membayar ​​ tunai ​​ kepada ​​ bekas ​​ pemegang ​​ saham ​​ PT S. ​​ 

Akuisisi ​​ terjadi, dalam contoh diatas​​ PT​​ A​​ membeli ​​ mayoritas ​​ saham ​​ dari ​​ saham ​​ PT S, ​​ baik ​​ dari ​​ PT S ​​ sendiri ​​ [saham-saham ​​ yang ​​ belum ​​ dikeluarkan] ​​ maupun ​​ dari ​​ para ​​ pemegang ​​ saham ​​ PT S. ​​ PT A ​​ kemudian ​​ mengeluarkan ​​ saham ​​ atau ​​ membayar ​​ tunai ​​ untuk ​​ saham ​​ PT S ​​ yang ​​ diambil ​​ alihnya ​​ tersebut. ​​ PT S ​​ kemudian ​​ menjadi ​​ anak ​​ perusahaan ​​ dari ​​ PT A. ​​ 

Akibat ​​ praktis ​​ dari ​​ transaksi ​​ kedua ​​ penggabungan ​​ diatas ​​ adalah ​​ perusahaan ​​ yang ​​ mengambil ​​ alih ​​ kemudian ​​ mengontrol ​​ bisnis ​​ perusahaan ​​ yang ​​ diambil ​​ alihnya. ​​ Konsolidasi ​​ terjadi ​​ bila ​​ dua ​​ atau ​​ lebih ​​ perusahaan ​​ meleburkan ​​ diri ​​ menjadi ​​ satu ​​ perusahaan ​​ baru ​​ dan ​​ perusahaan-perusahaan ​​ lama ​​ yang ​​ bergabung ​​ membubarkan ​​ diri ​​ [dilikuidasi]. ​​ Dalam ​​ contoh ​​ diatas, ​​ Konsolidasi ​​ PT S ​​ dan ​​ PT A ​​ melahirkan, ​​ umpamanya, ​​ PT SA.  ​​​​ 

Langkah ​​ selanjutnya ​​ dalam ​​ rangka ​​ merger ​​ adalah ​​ persetujuan ​​ dari ​​ Rapat ​​ Umum ​​ Pemegang ​​ Saham ​​ masing-masing ​​ perusahaan ​​ yang ​​ akan ​​ melakukan ​​ merger ​​ mengenai ​​ rencana ​​ merger tersebut. ​​ RUPS ​​ diselenggarakan ​​ setelah ​​ Rencana ​​ merger mendapat persetujuan dari​​ instansi ​​ yang ​​ terkait. ​​ Mengambil ​​ contoh ​​ PT A ​​ mengambil ​​ alih ​​ PT S, ​​ maka ​​ dalam ​​ RUPS ​​ PT A ​​ perlu ​​ mengeluarkan ​​ putusan ​​ mengenai ​​ : ​​ 

  • persetujuan ​​ bagi ​​ PT A ​​ untuk ​​ menerima ​​ masuknya ​​ PT S;​​ 

  • memberi ​​ otorisasi ​​ kepada ​​ Direksi ​​ PT​​ A ​​ untuk ​​ mengumumkan ​​ keputusan ​​ mengenai ​​ merger ​​ melalui ​​ beberapa ​​ surat ​​ kabar ​​ berskala ​​ nasional; ​​ 

  • persetujuan ​​ peningkatan ​​ modal ​​ dasar ​​ PT A ​​ dengan ​​ modal ​​ yang ​​ berasal ​​ dari ​​ PT S; ​​ 

  • persetujuan ​​ untuk ​​ mengubah ​​ Anggaran ​​ Dasar ​​ PT A ​​ yang ​​ menyangkut ​​ modal ​​ dan ​​ hal-hal ​​ lain ​​ yang ​​ dianggap ​​ perlu ​​ akibat ​​ merger ​​ yang ​​ dilakukan.  ​​ ​​​​ 

Pada ​​ waktu ​​ yang ​​ sama ​​ RUPS,​​ PT S ​​ perlu ​​ memutuskan ​​ : ​​ 

Setelah ​​ adanya ​​ RUPS ​​ masing-masing ​​ perusahaan, ​​ maka ​​ dilakukan ​​ RUPS ​​ gabungan ​​ perusahaan ​​ yang ​​ mengambil ​​ alih ​​ dan ​​ perusahaan ​​ yang ​​ diambil ​​ alih ​​ mengenai ​​ Rencana ​​ merger ​​ yang ​​ telah ​​ disetujui ​​ RUPS ​​ masing-masing ​​ perusahaan.  ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

Perlindungan ​​ Kepentingan ​​ Dalam ​​ Merger ​​ 

 Rapat ​​ Umum ​​ Pemegang ​​ Saham ​​ masing-masing ​​ perusahaan, ​​ baik ​​ perusahaan ​​ yang ​​ mengambil ​​ alih ​​ maupun ​​ perusahaan ​​ yang ​​ diambil ​​ alih, ​​ tidak ​​ selalu ​​ mencapai ​​ putusan ​​ mereka ​​ mengenai ​​ suatu ​​ rencana ​​ merger ​​ dengan ​​ suara ​​ bulat. ​​ Untuk ​​ melindungi ​​ pemegang ​​ saham ​​ minoritas, ​​ maka ​​ merger ​​ tidak ​​ dapat ​​ diputuskan ​​ secara ​​ sepihak ​​ saja ​​ oleh ​​ pemegang ​​ saham ​​ mayoritas. ​​ Sehubungan ​​ dengan ​​ perusahaan ​​ yang ​​ sudah ​​ go ​​ public ​​​​ BAPEPAM ​​ mensyaratkan ​​ persetujuan ​​ dari ​​ pemegang ​​ saham ​​ yang ​​ tidak ​​ mempunyai ​​ benturan ​​ kepentingan, ​​ artinya ​​ pemegang ​​ saham ​​ minoritas, ​​ terhadap ​​ rencana ​​ merger ​​ perlu ​​ diperoleh. ​​ 

Apakah ​​ dalam ​​ mengambil ​​ keputusan, ​​ pemegang ​​ saham ​​ minoritas ​​ harus ​​ dengan ​​ suara ​​ bulat, ​​ atau​​ simple ​​ majority ​​​​ tidak ​​ pula ​​ diatur ​​ dalam ​​ surat ​​ keputusan ​​ tersebut ​​ diatas. ​​ Perlindungan ​​ terhadap ​​ pemegang ​​ saham ​​ minoritas ​​ perlu, ​​ karena ​​ umpamanya, ​​ pemegang ​​ saham ​​ tidak ​​ bisa ​​ dipaksa ​​ untuk ​​ menerima ​​ suatu ​​ perubahan ​​ yang ​​ mendasar, ​​ yang ​​ berbeda ​​ dari ​​ pada ​​ saat ​​ mereka ​​ membeli ​​ saham ​​ pertama ​​ kali. ​​ 

Ketidaksetujuan, ​​ mungkin ​​ timbul ​​ sehubungan ​​ dengan ​​ harga ​​ saham ​​ yang ​​ diambil ​​ alih. ​​ Bila ​​ keputusan ​​ mengenai ​​ merger ​​ diserahkan ​​ saja ​​ kepada ​​ pemegang ​​ saham ​​ mayoritas, ​​ maka ​​ bisa ​​ saja ​​ harga ​​ saham ​​ yang ​​ diambil ​​ alih ​​ tersebut ​​ atau ​​ penilaian ​​ terhadap ​​ aset ​​ yang ​​ diambil ​​ alih ​​ merugikan ​​ pemegang ​​ saham ​​ minoritas. ​​ 

Tidak ​​ kurang ​​ penting, ​​ disamping ​​ perlindungan ​​ terhadap ​​ pemegang ​​ saham ​​ minoritas, ​​ juga ​​ perlindungan ​​ terhadap ​​ tenaga ​​ kerja ​​ dari ​​ perusahaan ​​ yang ​​ diambil ​​ alih. ​​ Persetujuan ​​ BKPM ​​ untuk ​​ merger ​​ secara ​​ khusus ​​ menyebutkan ​​ bahwa ​​ penggabungan ​​ perusahaan-perusahaan ​​ tidak ​​ boleh ​​ mengakibatkan ​​ terjadinya ​​ pemberhentian​​ tenaga kerja yang telah ada. Didalam​​ praktik ​​​​ terdapat dua kemungkinan.​​ Pertama, ​​ tenaga ​​ kerja ​​ dari ​​ perusahaan ​​ yang ​​ diambil ​​ alih ​​ melalui ​​ “negosiasi” ​​ bersedia ​​ mengundurkan ​​ diri ​​ dengan ​​ imbalan / pesangon. ​​ Kedua, ​​ tenaga ​​ kerja ​​ dari ​​ perusahaan ​​ yang ​​ diambil ​​ alih ​​ pindah ​​ ke ​​ perusahaan ​​ yang ​​ mengambil ​​ alih, ​​ namun ​​ masa ​​ kerjanya ​​ di ​​ perusahaan ​​ yang ​​ pertama ​​ tidak ​​ dihitung. ​​ Hal ​​ ini ​​ tentu ​​ merugikan ​​ tenaga ​​ kerja ​​ yang ​​ bersangkutan. ​​ 

Perlindungan ​​ kepentingan ​​ berikutnya ​​ adalah ​​ bagi ​​ kreditur ​​ dari ​​ perusahaan ​​ yang ​​ diambil ​​ alih. ​​ Salah ​​ satu ​​ tujuan ​​ dari ​​ pengumuman merger di surat-surat kabar adalah untuk​​ kepentingan ​​ kreditur. Dalam pengumuman merger biasanya​​ dicantumkan ​​ bahwa, ​​ umpamanya, hutang-hutang​​ PT​​ S akan beralih menjadi hutang​​ PT A.​​ 

Perlindungan ​​ kepentingan ​​ masyarakat ​​ belum ​​ begitu ​​ mendapat ​​ perhatian ​​ dalam ​​ praktik ​​​​ di ​​ Indonesia. ​​ Di​​ Amerika​​ ​​ Serikat, merger tidak dapat dilakukan kalau hasilnya akan​​ melanggar ​​ “anti ​​ trust ​​ law”.30 ​​​​ 

Merger yang mengakibatkan monopoli akan ​​ merugikan masyarakat dari dua segi.​​ Pertama, ​​ tidak ​​ efisiennya ​​ pemanfaatan ​​ sumber ​​ daya ​​ alam, ​​ sehingga ​​ perusahaan ​​ menentukan ​​ harga ​​ dan ​​ kualitas ​​ produknya ​​ sendiri ​​ tanpa ​​ pesaing. ​​ Kedua, ​​ konsumen ​​ tidak ​​ mempunyai alternatif lain untuk​​ membeli produk yang ​​ disukainya, baik dari​​ segi ​​ harga ​​ maupun ​​ kualitasnya.  ​​ ​​ ​​​​ 

Merger,​​ Akuisisi​​ dan Konsolidasi Dalam Undang-Undang ​​ Perseroan​​ Terbatas  ​​ ​​​​ 

Pasal ​​ 102 ​​ ayat ​​ [1] ​​ Undang-undang ​​ Perseroan ​​ Terbatas ​​ menyebutkan ​​ : ​​ 

Didalam ​​ pasal ​​ tersebut ​​ diatas ​​ konsep ​​ penggabungan ​​ dan ​​ peleburan ​​ dijadikan ​​ satu. ​​ Hal ​​ tersebut ​​ dapat ​​ menimbulkan ​​ pengertian ​​ yang ​​ membingungkan. ​​ Sebaiknya ​​ penggabungan ​​ dan ​​ peleburan ​​ dicantumkan ​​ dalam ​​ ayat ​​ terpisah.  ​​ ​​ ​​​​ 

Selanjutnya ​​ Pasal ​​ 102 ​​ ayat ​​ [2] ​​ berbunyi ​​ : ​​ 

[2]​​ Rencana ​​ penggabungan ​​ atau ​​ peleburan ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam  ​​​​ ayat ​​ [1] ​​ dituangkan ​​ dalam ​​ Rancangan ​​ Penggabungan ​​ atau ​​ Peleburan ​​ yang ​​ disusun ​​ bersama ​​ oleh ​​ Direksi ​​ dari ​​ Perseroan ​​ yang ​​ akan ​​ melakukan ​​ penggabungan ​​ atau ​​ peleburan ​​ dan ​​ memuat ​​ sekurang-kurangnya :

Didalam ayat [2] ini tidak​​ jelas​​ Direksi mana yang membuat​​ rancangan.​​ Apakah​​ Direksi yang mengajukan penggabungan atau ​​ Direksi yang menerima penggabungan. Selanjutnya menjadi pemikiran pula agar anggota Direksi yang mempunyai pertentangan ​​ kepentingan tidak diperkenankan untuk membuat​​ rancangan. ​​ Perlu ​​ dipertimbangkan Rancangan dibuat atas dasar suatu keputusan ​​ rapat Direksi dan disetujui oleh Rapat Dewan Komisaris, baik dari ​​ perusahaan yang mengajukan penggabungan maupun perusahaan ​​ yang menerima penggabungan, atau​​ perusahaan-perusahaan​​ yang ​​ melakukan​​ peleburan. ​​ 

Bila ternyata semua atau mayoritas anggota Direksi ​​ mempunyai perbedaan kepentingan sehingga tidak​​ dapat ​​ diselenggarakan rapat Direksi, sebaiknya rancangan kemudian ​​ dibuat berdasarkan rapat Dewan​​ Komisaris.  ​​​​ 

Bila semua anggota Dewan Komisaris mempunyai ​​ perbedaan kepentingan, maka rancangan dibuat atas usul kemudian ​​ disetujui oleh Rapat Umum Pemegang​​ Saham. ​​ 

Mengenai ​​ persetujuan ​​ Pemegang ​​ Saham ​​ ayat ​​ [3] ​​ menentukan ​​ : ​​ 

[3] ​​ Penggabungan ​​ atau ​​ peleburan ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ ayat​​ [1]​​ hanya dapat dilakukan apabila Rancangan Penggabungan ​​ atau Peleburan sebagaimana dimaksud dalam ayat [2] disetujui oleh ​​ RUPS masing-masing​​ perseroan.  ​​​​ 

Dalam ​​ hal ​​ ini ​​ RUPS ​​ kedua ​​ perusahaan ​​ harus ​​ menyetujui ​​ rancangan ​​ tersebut. ​​ 

Mengenai​​ akuisisi, Undang-undang Perseroan​​ Terbatas ​​ mencantumkannya ​​ dalam ​​ pasal ​​ 103, ​​ yang ​​ berbunyi ​​ : ​​ 

  • Pengambilalihan ​​ perseroan ​​ dapat ​​ dilakukan ​​ oleh ​​ badan ​​ hukum ​​ atau ​​ orang ​​ perseorangan.​​ 

  • Pengambilalihan ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ ayat ​​ [1] ​​ dapat ​​ dilakukan ​​ melalui ​​ pengambilalihan ​​ seluruh ​​ atau ​​ sebagian ​​ besar ​​ saham ​​ yang ​​ dapat ​​ mengakibatkan ​​ beralihnya ​​ pengendalian ​​ terhadap ​​ perseroan ​​ tersebut.  ​​​​ 

  • Dalam ​​ hal ​​ pengambilalihan ​​ dilakukan ​​ oleh ​​ perseroan, ​​ maka ​​ berlaku ​​ ketentuan ​​ sebagai ​​ berikut ​​ : ​​ 

    • Rencana ​​ pengambilalihan ​​ dituangkan ​​ dalam ​​ Rancangan ​​ Pengambilalihan ​​ yang ​​ disusun ​​ oleh ​​ Direksi ​​ perseroan ​​ yang ​​ akan ​​ mengambil ​​ alih ​​ dan ​​ yang ​​ akan ​​ diambil ​​ alih, ​​ yang ​​ memuat ​​ sekurang-kurangnya ​​ : ​​ 

      • Nama perseroan yang mengambil alih dan yang diambil alih; ​​ dan ​​ 

      • Alasan serta penjelasan Direksi​​ masing-masing  ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​​​ perseroan mengenai​​ persyaratan serta tata cara ​​ pengambilalihan saham perseroan yang diambil​​ alih.

b.​​ Pengambilalihan dilakukan dengan persetujuan RUPS ​​ masing-masing atas Rancangan Pengambilalihan yang ​​ diajukan oleh Direksi masing-masing​​ perseroan.  ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

[4]​​ Dalam​​ hal​​ pengambilalihan dilakukan oleh badan hukum yang ​​ bukan perseroan, maka berlaku ketentuan sebagai​​ berikut ;​​ 

  • Rencana pengambilalihan dituangkan dalam Rancangan ​​ Pengambilalihan yang disusun oleh Direksi perseroan yang ​​ akan diambil alih dan Badan Pengurus badan hukum yang ​​ bukan perseroan yang akan mengambil alih, yang​​ memuat ​​ sekurang-kurangnya ​​ : ​​ 

    • Nama perseroan yang akan diambil alih dan nama  ​​ ​​ ​​​​ badan hukum yang bukan perseroan yang akan ​​ mengambil​​ alih;​​ dan

    • Alasan serta penjelasan Direksi perseroan yang akan ​​ diambil alih dan badan hukum yang bukan​​ perseroan ​​ yang​​ akan mengambil alih mengenai persyaratan serta ​​ tata cara pengambilalihan saham​​ perseroan yang ​​ diambil​​ alih.  ​​​​ 

b.​​ Pengambilalihan dilakukan dengan persetujuan RUPS ​​ perseroan yang diambil alih dan persetujuan Anggota atau ​​ Badan Pengurus dari hukum yang​​ bukan perseroan yang ​​ mengambil​​ alih. ​​ 

[5]​​ Dalam ​​ hal ​​ pengambilalihan ​​ dilakukan ​​ orang ​​ perseorangan, ​​ maka ​​ berlaku ​​ ketentuan ​​ sebagai ​​ berikut ​​ :  ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

a. Rencana​​ pengambilalihan​​ dituangkan dalam Rancangan Pengambilalihan yang disusun oleh Direksi perseroan​​ yang ​​ akan diambil alih dan orang perseorangan yang akan ​​ mengambil alih, yang memuat​​ sekurang-kurangnya ​​ :  ​​ ​​ ​​​​ 

  • Nama ​​ perseroan ​​ yang ​​ akan ​​ diambil ​​ alih ​​ dan ​​ orang ​​ perseorangan ​​ yang ​​ akan ​​ mengambil ​​ alih ; ​​ dan ​​ 

  • Alasan​​ serta​​ penjelasan Direksi perseroan yang akan  ​​ ​​ ​​ ​​ ​​​​ diambil alih mengenai persyaratan dan tata cara ​​ pengambilalihan​​ saham.  ​​ ​​ ​​​​ 

b. ​​ Pengambilalihan ​​ dilakukan ​​ dengan ​​ persetujuan ​​ RUPS ​​ perseroan ​​ yang ​​ akan ​​ diambil ​​ alih ​​ atas ​​ Rancangan ​​ yang ​​ diajukan ​​ Direksi ​​ perseroan ​​ yang ​​ akan ​​ diambil ​​ alih ​​ dan ​​ orang ​​ perseorangan ​​ yang ​​ akan ​​ mengambil ​​ alih.  ​​​​ 

[6]​​ Ketentuan ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ ayat ​​ [1] ​​ tidak ​​ membatasi ​​ badan ​​ hukum ​​ atau ​​ orang ​​ perseorangan ​​ untuk ​​ mengambil ​​ alih ​​ saham ​​ perseroan ​​ lain ​​ langsung ​​ dari ​​ pemegang ​​ saham.  ​​ ​​​​ 

Berbagai ​​ kepentingan ​​ harus ​​ mendapat ​​ perlindungan ​​ dalam ​​ tindakan ​​ penggabungan, ​​ peleburan, ​​ dan ​​ pengambilalihan, ​​ seperti ​​ disebutkan ​​ dalam ​​ pasal ​​ 104, ​​ yaitu ​​ : ​​ 

[1] Tindakan hukum​​ penggabungan, peleburan​​ dan ​​ pengambilalihan ​​ harus ​​ memperhatikan ​​ :  ​​​​ 

  • Kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas dan karyawan perseroan;​​ dan ​​ 

  • Kepentingan ​​ masyarakat ​​ dan ​​ persaingan ​​ sehat ​​ dalam ​​ melakukan ​​ usaha. ​​ 

[2]​​ Penggabungan, ​​ peleburan ​​ dan ​​ pengambilalihan ​​ tidak ​​ mengurangi ​​ hak ​​ pemegang ​​ saham ​​ minoritas ​​ untuk ​​ menjual ​​ sahamnya ​​ sesuai ​​ dengan ​​ harga ​​ yang ​​ wajar.  ​​​​ 

Di Amerika Serikat, terdapat tiga langkah yang diperlukan ​​ untuk​​ memberikan perlindungan, terutama kepada pemegang ​​ saham minoritas.​​ Pertama, merger harus disetujui oleh​​ Board​​ of ​​ Directors​​ dari tiap perusahaan yang akan melakukan merger dalam ​​ dokumen yang dikenal sebagai​​ a plan of​​ merger ​​​​ [rencana ​​ merger]. ​​ 

Rencana merger berisi syarat-syarat dan kondisi merger ​​ [termasuk bagaimana pemegang saham akan memutuskan hal ​​ tersebut] dan imbalan yang akan diterima oleh pemegang saham ​​ yang perusahaannya diambil alih. Dibeberapa bagian, Undang-undang mengharuskan pula rencana merger merubah Anggaran ​​ Dasar​​ Perusahaan mengambil alih. Dalam memberikan ​​ persetujuannya atas rencana merger, para Direktur terikat kepada ​​ kewajiban mereka untuk​​ melindungi kepentingan perusahaannya. ​​ 

Jika merger tersebut melibatkan Induk Perusahaan atau adanya ​​ benturan kepentingan​​ [conflict ​​ of ​​ interests], merger menjadi​​ objek ​​ penelitian​​ sebagai ​​ a ​​ self ​​ dealing ​​ transaction.​​ Jika​​ dalam​​ merger dilakukan penerbitan saham, penerbitan tersebut diperlukan sebagai ​​ “penjualan” dan pemegang saham dituju berhak atas ​​ prospektus yang terbuka​​ dan​​ “antifrand ​​​​ protection”​​ berdasarkan ​​ Federal Securities Laws [Undang-undang​​ Pasar​​ Modal]. ​​ 

Kedua, setelah mendapat persetujuan Dewan Direksi, ​​ rencana merger diajukan kepada pemegang saham dari tiap-tiap ​​ perusahaan untuk mendapatkan persetujuan yang​​ terpisah.  ​​​​ 

Menurut peraturan umum, persetujuan para pemegang ​​ saham harus diberikan dengan suara bulat, namun dalam hukum ​​ yang​​ moderen, persetujuan tersebut didasarkan kepada kehendak ​​ pemegang saham mayoritas. Pemegang saham tidak setuju atas ​​ rencana merger terikat​​ kehendak pemegang saham mayoritas. Pada ​​ mulanya, sebagian besar Undang-undang berbagai negara bagian ​​ mensyaratkan persetujuan 2/3 pemegang saham. Dewasa ini ​​ Undang-undang beberapa negara bagian hanya mensyaratkan ​​ mayoritas​​ pemegang​​ saham. Jika perusahaan memiliki lebih dari ​​ satu klas [jenis] saham, para pemegang saham dari tiap klas​​ [jenis] ​​ mempunyai hak untuk memberikan suara secara terpisah. ​​ Penolakan merger oleh salah satu klas pemegang saham​​ berarti ​​ rencana merger tidak mendapat​​ persetujuan. ​​ 

Di banyak Undang-undang negara bagian, pemegang ​​ saham yang tidak memiliki suara mempunyai hak untuk memberikan ​​ suara sebagai​​ grup, jika saham mereka terpengaruh oleh​​ adanya ​​ merger. Beberapa negara​​ bagian dalam Undang-undangnya bahkan ​​ mensyaratkan persetujuan baik dari pemegang saham yang ​​ mempunyai hak suara maupun dari pemegang saham yang tidak ​​ mempunyai hak suara, sehubungan dengan akibat dari​​ merger. ​​ 

Ketiga, oleh karena pemegang saham yang tidak setuju ​​ tidak dapat mencegah merger dan semua negara bagian di AS ​​ dalam Undang-undangnya menetapkan bahwa pemegang saham ​​ yang tidak setuju atas merger mempunyai hak untuk​​ mendapatkan ​​ penilaian, harga yang pantas dari saham mereka uang tunai. ​​ Umpamanya, Undang-undang Merger di​​ Delaware. ​​​​ 

“... ​​ allow ​​ majority ​​ shareholders ​​ to ​​ force ​​ minority ​​ shareholders ​​ to ​​ accept ​​ an ​​ unnegotiated ​​ price ​​ or, ​​ in ​​ other ​​ words, ​​ to ​​ “cash-out” ​​ minority ​​ shareholders ​​ who ​​ oppose ​​ a ​​ merger ​​ transaction. ​​ In ​​ order ​​ to ​​ prevent ​​ the ​​ majority ​​ from ​​​​ abusing ​​ its ​​ favorable ​​ position, ​​ the ​​ Delaware ​​ legislature ​​ has ​​ provided ​​ minority ​​ shareholders ​​ who ​​ dissent ​​ from ​​ a ​​ “cash-out” ​​ merger ​​ with ​​ the ​​ statutory ​​ remedy ​​ of ​​ an ​​ appraisal. ​​ The ​​ Appraisal ​​ remedy ​​ entitles ​​ the ​​ dissenting ​​ shareholders ​​ to ​​ a ​​ judicially ​​ determined ​​ appraisal ​​ of ​​ the ​​ “fair ​​ value” ​​ for ​​ their ​​ shares”. ​​​​ 31

Persetujuan dari​​ pemegang saham perusahaan yang diambil ​​ alih selalu disyaratkan. ​​ Didalam teori kepentingan mereka dilindungi ​​ secara mendasar dalam merger. Akan tetapi dalam selalu berbeda ​​ bagi pemegang saham perusahaan yang mengambil​​ alih. Apabila ​​ suatu perusahaan besar mengambil alih suatu perusahaan yang ​​ lebih kecil, akibat bagi pemegang saham perusahaan yang ​​ mengambil alih mungkin sedikit. Sebagian besar negara bagian ​​ dalam Undang-undangnya mengecualikan​​ perusahaan yang ​​ mengambil alih untuk mendapatkan persetujuan pemegang​​ saham, ​​ apabila ​​ : ​​ 

  • Anggaran ​​ Dasar ​​ dari ​​ Perusahaan ​​ yang ​​ tetap ​​ hidup ​​ tidak ​​ mengalami ​​ perubahan ​​ [kecuali ​​ nama ​​ perusahaan]  ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

  • Pemegang ​​ saham ​​ perusahaan ​​ tersebut ​​ tetap ​​ memegang ​​ jumlah ​​ saham ​​ yang ​​ sama ​​ dengan ​​ sebelum ​​ perusahaan ​​ tersebut ​​ melakukan ​​ merger, ​​ dan ​​ 

  • Merger ​​ tidak ​​ mencairkan ​​ hak ​​ suara ​​ dan ​​ hak ​​ untuk ​​ berpartisipasi ​​ dari ​​ pemegang ​​ saham ​​ perusahaan ​​ yang ​​ mengambil ​​ alih, ​​ tidak ​​ melebihi ​​ 20%. ​​ 

 Bila Perusahaan Induk memiliki 90% [dibeberapa negara ​​ bagian 95%] atau lebih dari saham​​ anak perusahaannya, banyak ​​ negara bagian dalam Undang-undang perusahaan mereka, ​​ mengizinkan anak perusahaan merger ke dalam perusahaan induk ​​ tanpa persetujuan pemegang saham kedua perusahaan tersebut. ​​ Hanya persetujuan​​ Board of​​ Director​​ dari Perusahaan Induk​​ yang ​​ diwajibkan. Pemegang saham minoritas dari anak perusahaan ​​ mendapat perlindungan​​ melalui​​ fiduciary​​ rule​​ yang berlaku bagi ​​ Induk Perusahaan sebagai pemegang saham mayoritas​​ dan ​​ appraisal ​​ rights..​​  ​​ ​​​​  ​​ ​​ ​​​​ 

 Pasal 104 ayat [2] Undang-undang Perseroan Terbatas ​​ menetapkan bahwa, penggabungan, peleburan​​ dan ​​ pengambilalihan ​​ tidak ​​ mengurangi ​​ hak ​​ pemegang ​​ saham ​​ minoritas ​​ untuk ​​ menjual ​​ sahamnya ​​ sesuai ​​ dengan ​​ harga ​​ yang ​​ wajar. Di Amerika Serikat, ​​ pemegang saham yang tidak setuju dengan rencana​​ merger ​​ mempunyai​​ appraisal​​ rights, yaitu minta​​ kepada perusahaan agar ​​ membeli saham-sahamnya dengan harga yang wajar. Metode untuk ​​ mendapatkan harga yang wajar tersebut​​ bermacam-macam. ​​ Pertama, penilaian bisa dilakukan berdasarkan penampilan kinerja ​​ pada masa lalu​​ [past ​​ performance]. Kinerja masa lalu bisa diukur ​​ dengan​​ : ​​ 

a. ​​ Market ​​ price ​​ 

b. ​​ Past ​​ earnings

c. ​​ Book ​​ value ​​ 

d. ​​ Liquidating ​​ value  ​​​​ 

e. ​​ Going ​​ concern ​​ value  ​​​​ 

Pengadilan mengakui kelemahan dan​​ kekuatan​​ metode-metode diatas. Oleh karenanya menggabungkan metode tersebut ​​ dengan kriteria tertentu. Umpamanya, Pengadilan Delaware dalam ​​ Tannetics, Inc v. A.I. Industries ​​ Inc. 5 Del. J.Corp.L.337 [Del Ch. ​​ 1979], dalam usaha mendapatkan harga yang wajar dengan​​ cara ​​ menilai assets​​ 45 %, ​​ average​​ earnings​​ 40 %​​ dan​​ market​​ price​​ 15 %. ​​ 

 Metode-metode diatas oleh sementara pihak dianggap tidak ​​ dapat memberikan harga saham yang wajar, apabila dikaitkan ​​ dengan prospek perusahaan dimasa​​ depan.​​ Oleh karena ada ​​ Pengadilan yang memakai metode​​ berdasarkan​​ Future​​ Earnings ​​​​ seperti dalam​​ perkara​​ Weinberger​​ v.​​ VOP. Inc 457 Azd 701​​ [Del ​​ 1983].​​ 

Pada umumnya Pengadilan di Amerika memberikan ​​ perlindungan kepada​​ pemegang​​ saham​​ minoritas.32 ​​ ​​​​ 

 Di Amerika Serikat, bila pemegang saham yang tidak setuju ​​ merger, tidak berhasil mendapatkan harga yang wajar bagi ​​ sahamnya melalui penawaran kepada perusahaan,​​ maka ​​ dissenting ​​ shareholders​​ akan​​ mengajukan masalahnya ke depan Pengadilan ​​ untuk mendapatkan harga yang wajar. Dalam waktu sekitar​​ 6​​ bulan ​​ Pengadilan telah memberikan​​ putusannya.  ​​ ​​ ​​​​ 

Persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham diperlukan ​​ dalam penggabungan, peleburan dan​​ pengambilalihan ​​ :  ​​ ​​​​ 

Pasal ​​ 105 ​​ 

  • Keputusan ​​ RUPS ​​ mengenai ​​ penggabungan, ​​ peleburan, ​​ dan ​​ pengambilalihan ​​ perseroan ​​ sah ​​ apabila ​​ diambil ​​ sesuai ​​ dengan ​​ ketentuan ​​ Pasal ​​ 74 ​​ ayat ​​ [1] ​​ dan ​​ Pasal ​​ 76.  ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

  • Direksi ​​ wajib ​​ mengumumkan ​​ dalam ​​ 2 ​​ [dua] ​​ surat ​​ kabar ​​ harian ​​ mengenai ​​ rencana ​​ penggabungan, ​​ peleburan, ​​ dan ​​ pengambilalihan ​​ perseroan ​​ paling ​​ lambat ​​ 14 ​​ [empat ​​ belas] ​​ hari ​​ sebelum ​​ pemanggilan ​​ RUPS. ​​ 

Untuk ​​ perusahaan ​​ yang ​​ pemilikannya ​​ merata ​​ akan ​​ sulit ​​ untuk ​​ mendapatkan ​​ persetujuan ​​ dengan ​​ quorum ​​ seperti ​​ tersebut ​​ dalam ​​ ayat ​​ [1], ​​ yaitu ​​ dihadiri ​​ oleh ​​ ¾ ​​ atau ​​ 75 % ​​ dari ​​ seluruh ​​ saham. ​​ 

Di ​​ Amerka ​​ Serikat, ​​ seperti ​​ dikatakan ​​ sebelumnya, ​​ pada ​​ mulanya ​​ sebagian ​​ besar ​​ Undang-undang ​​ dari ​​ beberapa ​​ negara ​​ bagian ​​ mensyaratkan ​​ mayoritas ​​ pemegang ​​ saham.  ​​ ​​​​ 

Undang-undang ​​ Perseroan ​​ Terbatas, ​​ mencantumkan ​​ pula ​​ tentang ​​ perlu ​​ tidaknya ​​ persetujuan ​​ Menteri ​​ Kehakiman ​​ :  ​​​​ 

Pasal ​​ 106

  • Rancangan ​​ Penggabungan ​​ perseroan ​​ yang ​​ telah ​​ mendapat ​​ persetujuan ​​ RUPS ​​ dilampirkan ​​ pada ​​ permohonan ​​ perubahan ​​ Anggaran ​​ Dasar ​​ perseroan ​​ untuk ​​ mendapatkan ​​ persetujuan ​​ Menteri ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ Pasal ​​ 15 ​​ ayat ​​ [1]. ​​ 

  • Rancangan ​​ Penggabungan ​​ perseroan ​​ yang ​​ telah ​​ mendapat ​​ persetujuan ​​ RUPS ​​ baik ​​ yang ​​ tidak ​​ disertai ​​ perubahan ​​ Anggaran ​​ Dasar ​​ maupun ​​ yang ​​ disertai ​​ perubahan ​​ Anggaran ​​ Dasar ​​ dilaporkan ​​ kepada ​​ Menteri ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ Pasal ​​ 15 ​​ ayat ​​ [3].  ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

  • Rancangan ​​ Peleburan ​​ perseroan ​​ yang ​​ telah ​​ mendapat ​​ persetujuan ​​ RUPS ​​ dilampirkan ​​ pada ​​ permohonan ​​ pengesahan ​​ Akta ​​ Pendirian ​​ perseroan ​​ hasil ​​ peleburan ​​ untuk ​​ mendapat ​​ pengesahan ​​ Menteri ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ Pasal ​​ 7 ​​ ayat ​​ [6]. ​​ 

  • Rancangan ​​ Pengambilalihan ​​ perseroan ​​ yang ​​ telah ​​ mendapat ​​ persetujuan ​​ RUPS ​​ dilaporkan ​​ kepada ​​ Menteri ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ Pasal ​​ 15 ​​ ayat ​​ [3]. ​​ 

  • Ketentuan ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ Pasal ​​ 21 ​​ dan ​​ Pasal ​​ 22 ​​ berlaku ​​ pula ​​ bagi ​​ penggabungan, ​​ peleburan, ​​ dan ​​ pengambilalihan ​​ perseroan.  ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

Pasal ​​ 107 ​​ Undang-undang ​​ Perseroan ​​ Terbatas ​​ menyebutkan ​​ bahwa ​​ : ​​ 

  • Dalam ​​ hal ​​ terjadi ​​ penggabungan ​​ atau ​​ peleburan, ​​ maka ​​ perseroan ​​ yang ​​ menggabungkan ​​ diri ​​ atau ​​ meleburkan ​​ diri ​​ menjadi ​​ bubar. ​​ 

  • Pembubaran ​​ perseroan ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ ayat ​​ [1] ​​ dapat ​​ dilakukan ​​ dengan ​​ atau ​​ tanpa ​​ terlebih ​​ dahulu ​​ mengadakan ​​ likuidasi.​​ 

  • Dalam ​​ hal ​​ pembubaran ​​ perseroan ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ ayat ​​ [1] ​​ tidak ​​ didahului ​​ dengan ​​ likuidasi, ​​ maka ​​ : ​​ 

    • Aktiva ​​ dan ​​ passiva ​​ perseroan ​​ yang ​​ digabungkan ​​ atau ​​ yang ​​ meleburkan ​​ diri, ​​ beralih ​​ karena ​​ hukum ​​ kepada ​​ perseroan ​​ hasil ​​ penggabungan ​​ atau ​​ peleburan ;  ​​​​ 

    • Pemegang ​​ saham ​​ perseroan ​​ yang ​​ digabungkan ​​ atau ​​ yang ​​ meleburkan ​​ diri ​​ menjadi ​​ pemegang ​​ saham ​​ perseroan ​​ hasil ​​ penggabungan ​​ atau ​​ peleburan.  ​​ ​​ ​​​​ 

Selajutnya, ​​ Pasal ​​ 108 ​​ menentukan ​​ :  ​​​​ 

[4] ​​ Direksi ​​ perseroan ​​ hasil ​​ penggabungan ​​ atau ​​ peleburan ​​ wajib ​​ mengumumkan ​​ hasil ​​ penggabungan ​​ atau ​​ peleburan ​​ tersebut ​​ dalam ​​ 2 ​​ [dua] ​​ surat ​​ kabar ​​ harian ​​ paling ​​ lambat ​​ 30 ​​ [tiga ​​ puluh] ​​ hari ​​ terhitung ​​ sejak ​​ penggabungan, ​​ atau ​​ peleburan ​​ selesai ​​ dilakukan.  ​​ ​​ ​​​​ 

[5]​​ Ketentuan ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ ayat ​​ [1] ​​ berlaku ​​ pula ​​ terhadap ​​ Direksi ​​ perseroan ​​ yang ​​ melakukan ​​ pengambilalihan ​​ sebagaimana ​​ dimaksud ​​ dalam ​​ Pasal ​​ 103 ​​ ayat ​​ [1]. ​​ 

Akhirnya, Pasal 109 mengatakan bahwa, ketentuan ​​ mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan ​​ perseroan diatur lebih​​ lanjut dengan Peraturan​​ Pemerintah.  ​​​​ 

Pelaksanaan​​ Merger

Pembahasan aspek​​ legalitas atau hukum atas rencana merger​​ sebuah​​ PT​​ A​​ dan PT​​ B misalnya, harus​​ didasarkan pada dasar-dasar hukum mengenai merger, sebagaimana telah diuraikan​​ diatas.​​ Dengan memperhatikan ketentuan merger yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas [UUPT] dan Peraturan Pemerintah ​​ Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, dapat dilihat bahwa rencana merger dari suatu perseroan harus diiringi dengan suatu Rancangan Merger.​​ 

Oleh karena itu, masing-masing Direksi PT A​​ dan PT B​​ yang merencanakan merger secara bersama-sama harus menyusun Rancangan Merger antara PT A​​ dan PT B.​​ Rencana Merger PT A​​ dan PT B​​ tersebut​​ harus memuat beberapa prosedural merger sebagai berikut​​ :

1.​​ Rancangan Merger PT A​​ dan PT B

Peraturan Perundang-undangan berkenaan dengan merger mewajibkan PT A​​ dan PT B​​ untuk membuat naskah yang disebut dengan “Rancangan Merger”,​​ dimana rancangan merger tersebut sekurang-kurangnya memuat informasi yang terdiri dari​​ :

  • Nama-mana perusahaan yang akan merger.

  • Alasan dan penjelasan dari masing-masing direksi PT A​​ dan ​​ PT B​​ yang akan merger.

  • Persyaratan merger.

  • Tata cara konversi saham.

  • Rancangan Perubahan Anggaran Dasar.

  • Neraca dan Perhitungan Laba Rugi PT​​ A​​ dan PT B.

  • Hal-hal lain yang perlu diketahui oleh para pemegang saham.​​ 

 Sesuai dengan batasan​​ merger​​ yang dikategorikan pada kejadian, dimana salah satu dari dua perusahaan yang bergabung dibubarkan. Dengan perkataan lain, salah satu perusahaan tetap hidup dan menjalankan bisnisnya, sedangkan perusahaan lainnya yang menggabungkan diri dibubarkan. Hal ini berbeda dengan​​ konsolidasi, dimana kedua perusahaan tersebut bubar dan kemudian muncul atau dibentuk suatu perusahaan baru [lihat,​​ Pasal 102 UUPT].​​ 

Dalam Pasal 107 UUPT mengatur merger tersebut, apakah dilakukan berdasarkan​​ merger dengan likuidasi​​ dan​​ merger tanpa likuidasi. Oleh karena PT A​​ dan PT B​​ mempunyai kesempatan untuk menetapkan dalam Rancangan Merger tersebut, apakah perusahaan yang bubar karena merger melakukan likuidasi atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi. Apabila dipilih merger tidak didahului dengan likuidasi, maka​​ pertama,​​ aktiva dan pasiva perseroan yang merger beralih karena hukum kepada perseroan hasil merger.​​ Kedua,​​ pemegang saham perseroan yang merger menjadi pemegang saham perseroan hasil merger.​​ 

Selanjutnya, apabila Rancangan Merger PT A​​ dan PT B​​ memilih merger dengan likuidasi, maka akan berlaku hukum yang berkaitan dengan likuidasi biasa secara​​ mutatis mutandis.

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang implikasi hukum dari merger, maka dalam membuat Rancangan Merger antara PT A​​ dan PT B​​ perlu​​ due diligence​​ yang dinamis, yang dimulai dengan sebuah tim​​ due diligence​​ yang kuat yang memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk mendapatkan​​ informasi dan menganalisa data serta mengintegrasikan data-data tersebut ke dalam satu visi merger tersebut, dimana hasil​​ due diligence​​ itu akan menjadi suatu dokumen [legal audit] terhadap​​ PT B​​ dan PT B.​​ 

Rapat Umum Pemegang Saham [RUPS]​​ 

Ketentuan merger yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ​​ Nomor 27 Tahun 1998 menentukan, bahwa usulan rencana merger yang disusun oleh Direksi tersebut harus mendapat persetujuan Komisaris PT A​​ dan PT B, setelah ada persetujuan itu baru rencana merger dapat dituangkan​​ dalam Rancangan Merger, yang selanjutnya dibawa untuk disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham [RUPS] PT A​​ dan PT B.​​ 

Selanjutnya, untuk merger antara​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ harus ditetapkan melalui RUPS, baik RUPS​​ PT A​​ maupun​​ PT B. Ketentuan untuk ketetapan merger dalam RUPS tersebut merupakan ketentuan hukum memaksa [dwingen recht] bagi​​ PT A​​ dan​​ PT B. Sesuai dengan ketentuan Pasal 76 UUPT, keputusan merger​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit ¾ [tiga perempat] bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit ¾ [tiga perempat] bagian dari jumlah suara tersebut. ​​ 

Pengumuman Dalam Rangka Merger

Berdasarkan Pasal 105 ayat 2 UUPT​​ juncto​​ Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998, maka masing-masing Direksi​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ secara bersama-sama harus mengumumkan Ringkasan Rancangan Merger antara​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ dalam 2 [dua] surat kabar harian dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ paling lambat 14 [empat belas] hari sebelum pemanggilan RUPS​​ PT A​​ dan​​ PT B. Pengumuman rencana merger tersebut melalui surat kabar adalah salah satu metode terhadap perlindungan para pihak yang dipandang perlu. Hal ini penting agar para pihak yang berkepentingan dapat mengetahui dan dapat mengambil upaya perlindungannya dari merger​​ PT A​​ dan​​ PT B.​​ 

Pengumuman tersebut dimaksudkan memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang bersangkutan mengetahui adanya rencana merger​​ PT A​​ dan​​ PT B. Apabila pihak-pihak yang merasa dirugikan kepentingannya, jika merger​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ dilaksanakan dapat mengambil langkah-langkah tertentu guna membela kepentingan pihak-pihak yang merasa dirugikan tersebut.

Pengumuman rencana merger tersebut akan bermanfaat bagi pihak yang melakukan penyertaan pada​​ PT A​​ atau​​ PT B​​ dan perjanjian-perjanjian yang dilakukan berbagai pihak dengan​​ PT A dan​​ PT B, baik perjanjian pinjam uang, perjanjian kerjasama, perjanjian usaha patungan, perjanjian distribusi atau keagenan, perjanjian bantuan teknik, perjanjian pemasokan bahan baku, maupun Perjanjian Pemberian​​ Kuasa Pengoperasian dan Pemeliharaan Terminal Petikemas di Pelabuhan.​​ 

Dengan pengumuman tersebut para pihak yang berkepentingan dapat mengetahui rencana merger​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ dan para pihak tersebut akan dapat melakukan pertanyaan ​​ terhadap rencana merger itu. Di samping prosedural dalam rangka merger​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ sebagaimana diuraikan di muka, perlu diperhatikan masalah berkenaan dengan perlindungan berbagai pihak jika dilaksanakan merger​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ sebagaimana diuraikan berikut ini​​ :

1.​​ Perlindungan Kepentingan Perseroan​​ 

Baik Pasal 104 UUPT maupun Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 menetapkan bahwa merger hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan perseroan. Bila dikaitkan dengan filosofi merger adalah untuk meningkatkan efisiensi perusahaan, maka merger antara​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ tersebut harus untuk meningkatkan efisiensi perusahaan. Oleh karena merger yang akan dilakukan harus untuk kepentingan​​ perseroan. Tindakan yang merugikan perseroan mempunyai akibat hukum bagi Direksi dan Komisaris, dimana Direksi dan Komisaris dapat digugat ke pengadilan. Hal sesuai dengan​​ hak derivative​​ [derivative suit​​ atau​​ derivative action], yaitu suatu gugatan yang dilakukan oleh para pemegang saham. ​​ 

Pasal 85 juncto Pasal 95 UUPT menentukan atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 [satu persepuluh] bagian dari jumlah seluruh pemegang saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap angota Direksi dan Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaian mereka menimbulkan kerugian pada perseroan.

Khusus kepada direksi dan Komisaris, Pasal 35 UUPT menentukan, bahwa dalam rangka melaksanakan tugasnya dalam rangka merger, direksi harus bertindak semata-mata untuk kepentingan perseroan. Apabila terjadi benturan kepentingan antara ​​ perseroan dan direksi, maka direksi wajib mengungkapkan hal tersebut dalam usulan rencana dan Rancangan Merger. ​​ 

2.​​  Perlindungan Kepentingan Pemegang Saham Minoritas

Pemegang saham mayoritas dalam​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ terdiri dari Negara Republik Indonesia, seperti dalam​​ PT A​​ Negara Republik Indonesia merupakan pemegang saham mayoritas, karena mempunyai 880.999 [delapan ratus delapan puluh ribu sembilan puluh sembilan] dan pemegang saham minoritas adalah Soebagijo Soemodihardjo dengan 1 [satu] lembar saham. Oleh karena itu kajian rencana merger​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ harus memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas trersebut. Hal ini sesuai dengan salah satu isu penting dalam UUPT adalah Perlindungan pemegang saham minoritas.​​ 

Dalam konteks merger, UUPT memberikan perlindungan bagi kepentingan pemegang saham minoritas, dimana Pasal 55 UUPT memberikan hak kepada pemegang saham minoritas untuk meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar, apabila pemegang saham minoritas tidak menyetujui tindakan perseroan yang melakukan merger.​​ 

Hal ini berkaitan dengan hak khusus yang disebut dengan​​ appraisal rights,​​ yaitu hak dari pemegang saham minoritas yang tidak setuju terhadap merger, tetapi ia kalah suara, maka pemegang saham minoritas yang kalah suara tersebut diberikan hak untuk menjual sahamnya kepada perusahaan yang bersangkutan dan perusahaan yang mengisukan saham itu wajib membeli kembali saham-saham tersebut dengan harga yang wajar.​​ ​​ 

3.​​  Perlindungan Kepentingan Karyawan

Dalam rangka perlindungan kepentingan karyawan, maka Ringkasan Rancangan Merger antara​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ harus diumumkan secara tertulis kepada karyawan​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ yang akan melakukan merger paling lambat 14 hari [empat belas] hari sebelum RUPS​​ PT A​​ dan​​ PT B. Selanjutnya, harus telah diketahui bagaimana cara penyelesaian status karyawan​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ yang akan merger.​​ 

Cara penyelesaian status karyawan harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemutusan hubungan kerja, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan dan juga harus memperhatikan ketentuan pemutusan hubungan kerja sebagaimana yang diatur dalam Kesepakatan Kerja Bersama [KKB] antara​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ dengan masing-masing Karyawannya. Di samping itu, perlu pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dalam Pasal 4 butir [2e] Undang-Undang tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyatakan, bahwa “Serikat Pekerja/Serikat Buruh mempunyai fungsi sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh​​ sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Perlindungan Kepentingan Masyarakat dan Persaingan Sehat

 Hal lain yang perlu dikritisi dari merger adalah akibat merger tersebut. Terdapat pendapat bahwa akibat negatif dari merger adalah​​ pertama,​​ terciptanya atau bertambahnya konsentrasi pasar yang dapat menyebabkan harga produk semakin tinggi.​​ Kedua,​​ kekuatan pasar [market power] menjadi semakin besar yang dapat mengancam pebisnis kecil. Apabila hal tersebut terjadi akan berfotensi untuk menciptakan monopoli. Sebab baik merger Horizontal, maupun merger vertikal dapat mengakibatkan hal yang tidak baik. Misalnya dalam merger horizontal, perusahaan-perusahaan yang merger tersebut menjual produk yang sama. Sehingga apabila merger dilakukan mereka, persaingan antara perusahaan-perusahaan tersebut dapat ditiadakan dan pangsa pasar yang dikuasai tentu akan menjadi lebih besar. ​​ 

Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang​​ Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah melarang  ​​​​ merger yang berfotensi untuk terjadinya​​ praktik​​ monopoli atau persaingan tidak sehat. Hal ini diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut. Namun, perlu diingat bahwa tindakan merger yang dilarang tersebut adalah tindakan merger yang dapat mengakibatkan​​ praktik​​ monopoli atau persaingan tidak sehat. Mengenai hal itu Pasal 104 UUPT menentukan, bahwa perbuatan hukum merger harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.  ​​​​ 

Perlindungan Kepentingan Kreditur

Kreditur harus menjadi perhatian pada kegiatan merger, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 33 butir [2] UUPT yang menyatakan, bahwa kreditur dapat mengajukan keberatan kepada perseroan yang akan merger. Selama penyelesaian keberatan kreditur belum ada, maka merger tidak dapat dilaksanakan. Di samping itu, suatu perusahaan bubar akibat adanya merger, maka kepentingan kreditur harus jelas diatur penyelesaiannya. Pasal 120 UUPT menyatakan, likuidator dari perseroan yang telah bubar wajib memberitahukan kepada semua krediturnya dengan surat tercatat mengenai bubarnya perseroan.  ​​​​ 

Di samping itu, dalam rangka rencana merger​​ PT A​​ dan​​ B, perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena perlu diperhatikan apakah Kewenangan Daerah yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut termasuk Kewenangan Daerah untuk mengelola pelabuhan di Daerah Otonomi. ​​ Dalam hal ini perlu kejelasan status pelabuhan, sebab Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Otonom menetapkan bahwa salah satu Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom ​​ adalah pengelolaan pelabuhan regional.

Penutup

Bila dilihat dari aspek legalitas atau hukum mengenai rencana merger antara​​ PT A​​ dan​​ PT B, maka yang dapat dibuat dalam rekomendasi dari aspek legalitas ini adalah perlu memperhatikan dengan secara mendalam faktor hukum yang berkaitan dengan merger ​​ tersebut. Misalnya, apakah​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ yang akan merger tersebut mempunyai masalah-masalah hukum, apakah asetnya aman dari segi hukum.​​ 

Dalam hal ini perlu dibuat suatu dokumen dalam bentuk​​ legal audit​​ terhadap​​ PT A​​ dan​​ PT B. Di samping itu, juga perlu menelusuri apakah prosedur merger​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ atau pembuatan dokumen-dokumen merger tersebut telah mengikuti yang ditentukan peraturan perundang-undangan dan dapat memberikan jaminan bahwa​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ yang akan merger di masa datang tidak memperoleh gangguan-gangguan dari aspek hukum atau munculnya gugatan-gugatan oleh pihak yang merasa dirugikan atau oleh​​ stakeholders.​​ 

Tidak kalah pentingnya adalah pengkajian dari segi hukum, agar tidak timbul masalah-masalah hukum berkenaan dengan kepengurusan dan ketenagakerjaan dan lain-lain hal ​​ yang harus diperhatikan sejak tahap-tahap pembicaraan dini dari merger​​ PT A​​ dan​​ PT B.​​ Memang, secara hukum rencana merger antara​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ dapat dilakukan atau tidak dapat dilakukan tergantung pada apakah Rancangan Merger tersebut sesuai atau telah memenuhi persyaratan yang ditentukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan merger.​​ 

Oleh karena dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas merger itu dapat dilakukan apabila telah diterima oleh RUPS, dimana apabila nantinya Konsep Akta ​​ Merger antara​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ telah mendapat persetujuan RUPS, maka selanjutnya dituangkan dalam Akta Merger​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ yang dibuat di hadapan notaris dalam Bahasa Indonesia. Tetapi, perlu menjadi pemikiran, bahwa​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ merupakan BUMN, maka perlu dikaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan BUMN untuk jalannya rencana merger​​ PT A​​ dan​​ PT B​​ serta juga mengkaji peraturan perundang-undangan berkenaan​​ dengan Otonomi Daerah sekaligus mengharmonisasikannya  ​​​​ dengan jalannya rencana merger tersebut.

KEPENTINGAN PASAR MODAL ​​ DALAM RANCANGAN​​ 

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN*​​ 

Tujuan​​ utama Undang-Undang Pasar Modal​​ adalah mengatur prinsip keterbukaan atau penyediaan informasi fakta materiel dan untuk mencegah perbuatan curang dalam perdagangan saham. Prinsip keterbukaan tersebut menjadi persoalan inti di pasar modal dan sekaligus merupakan jiwa pasar modal itu sendiri. Keterbukaan tentang fakta materiel sebagai jiwa pasar modal didasarkan pada keberadaan prinsip keterbukaan​​ yang memungkinkan tersedianya bahan pertimbangan bagi investor, sehingga ia secara rasional dapat mengambil keputusan untuk melakukan pembelian atau penjualan saham.1

Pentingnya prinsip keterbukaan dalam pasar modal, telah ditekankan oleh hasil studi​​ International Federation of Stock Exchanges​​ [FIBV] pada tahun 1998. Disebutkan dalam rangka menuju milenium ketiga orientasi pengembangan pasar modal dunia​​ adalah menciptakan pasar modal-pasar​​ modal yang likuid dan efisien. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, pasar modal dimana-mana cenderung meningkatkan hal-hal yang antara lain terkait dengan keterbukaan.2​​ Perlu diingat, berkembangnya suatu pasar modal sangat tergantung pada kemampuan lembaga-lembaga yang ada di pasar modal tersebut untuk memberikan keamanan investasi dan kualitas pelayanan yang tinggi. Keamanan dan kualitas jasa yang tinggi diperlukan untuk menarik sumber daya domestik untuk terlibat di pasar modal dan juga merupakan tuntutan dari investor internasional. Hasil riset​​ International Organization of Securities Comissions​​ [IOSCO], mengungkapkan bahwa pasar modal yang mengembangkan​​ sistem​​ yang aman dan efisien terbukti lebih menarik bagi investor domestik maupun asing.​​ 3

Oleh​​ karena itu, perlu pengaturan yang dapat mengembangkan pasar modal menjadi efisien. Pengaturan tersebut diperlukan mengingat pasar modal telah lama dipandang sebagai barometer dalam hakekat bisnis.​​ Federal Reserve Board​​ [FRB]4​​ memformulasikan kebijaksanaan moneternya dengan mengikuti 12 indikator ekonomi, diantaranya adalah pasar modal. Selama bertahun-tahun​​ FRB​​ telah merumuskan, bahwa pasar modal dapat membantu ramalan dan bentuk bisnis yang akan datang.5​​ Sebagai salah satu indikator ekonomi, kedudukan pasar modal dalam menunjang perekonomian nasional mempunyai peran yang strategis.6​​ 

Dengan demikian prinsip keterbukaan menjadi isu utama yang harus dikaji dalam pasar modal. Prinsip keterbukaan sekarang ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah merupakan sejarah yang panjang dalam dunia pasar modal, sebagaimana tuntutan perlunya prinsip keterbukaan dalam pasar modal Amerika Serikat untuk menyelamatkan pasar modalnya dari kehancuran akibat terjadinya​​ great depression​​ tahun 1929.7

Oleh karena itu, peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan di pasar modal harus diupayakan dapat berjalan dengan baik, agar apa yang menjadi tujuan prinsip keterbukaan dapat dicapai. Upaya tersebut harus didukung dengan peraturan yang cukup berkenaan dengan pelaksanaan prinsip keterbukaan, penentuan fakta materiel yang mempengaruhi harga saham dan perbuatan menyesatkan.

Berangkat dari tujuan Undang-Undang Pasar Modal tersebut, maka penekanan prinsip keterbukaan dalam kaitannya dengan pembicaraan kepentingan pasar modal dalam Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan ini penting untuk dikaji. Pentingnya kajian prinsip keterbukaan dalam kepailitan dapat diperhatikan dari kejadian emiten yang dimohonkan pailit, sementara itu investor baru tahu setelah diberitakan di media-media cetak dan elektronik. Di samping itu, pentingnya keterbukaan tersebut dapat dikaitkan dalam rencana reorganisasi, baik dalam rencana penundaan kewajiban pembayaran utang, maupun rencana perdamaian. Kejadian emiten dalam masalah kepailitan itu tidak terlepas dari kondisi keuangan emiten.

Masalah Keterbukaan Kondisi Keuangan Emiten

Tidak jalannya keterbukaan kondisi keuangan emiten dengan baik di pasar modal Indonesia akan dapat membuat sulitnya mengetahui kondisi keuangan emiten. Selanjutnya kesulitan mengetahui kondisi keuangan emiten tersebut akan membuat kesulitan untuk mengetahui apakah emiten itu masuk dalam kategori yang dapat dimohonkan pailit. Pengalaman itu dapat dipahami dari kejadian satu emiten dimohonkan pailit oleh kreditor, dimana investor dari emiten tersebut melakukan gugatan kepada emiten itu, oleh karena investor tidak pernah tahu sebelumnya mengenai masalah kejadian permohonan kepailitan itu. Hal yang sama pernah terjadi di pasar modal Amerika, dalam​​ Ernst & Ernst v. Hochfelder,​​ 425 U.S. [1976] terjadi penipuan yang dilakukan direktur perusahaan, dimana direktur tidak memberitahukan hutang perusahaan, sehingga perusahaan tersebut pailit.8 ​​ ​​​​ 

Pelaksanaan prinsip keterbukaan kondisi keuangan emiten dapat diperhatikan dari tahap setelah​​ listing,​​ dimana​​ terdapat kewajiban emiten untuk melaporkan kondisi keuangannya secara berkala [periodic report], dan secara insidentil [timely report]. Laporan secara berkala tersebut disampaikan kepada Bapepam dan diumumkan kepada masyarakat.​​ 

Pasal 86 ayat 1​​ Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal menyatakan:

“Emiten yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif atau perusahaan publik wajib:

a.​​  menyampaikan laporan secara berkala kepada Bapepam dan mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat; dan​​ 

b.​​  menyampaikan laporan kepada Bapepam dan meng-umumkan kepada masyarakat tentang peristiwa materiel yang dapat mempengaruhi harga Efek selambat-lambatnya pada akhir hari kerja-2 [kedua] setelah terjadinya peristiwa tersebut.”​​ 

Bapepam antara lain mengatur laporan tahunan mengenai realisasi penggunaan dana hasil Penawaran Umum secara kumulatif sampai dengan saat terakhir apabila dana tersebut belum habis. Laporan tahunan mengenai ikhtisar data keuangan penting, karena perusahaan harus menyajikan informasi perbandingan selama 5 [lima] tahun buku atau sejak memulai usahanya, jika perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahanya selama kurang dari 5 [lima] tahun. Laporan tahunan mengenai analisis dan pembahasan umum oleh manajemen. Dalam hal ini, perusahaan memberikan uraian singkat yang membahas dan menganalisis laporan keuangan dan informasi lain dengan penekanan pada perubahan-perubahan materiel yang terjadi sejak laporan tahunan terakhir atau sejak Pernyataan Pendaftaran diajukan.9

Di lihat dari peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan di atas telah banyak peraturan mengenai kewajiban emiten untuk melaksanakan keterbukaan kondisi keuangan emiten kepada publik. Namun, masih terdapat beberapa hal dari peraturan tersebut yang harus diperinci secara cukup. Sebagai contoh, peraturan mengenai penentuan fakta materiel kondisi keuangan emiten.

Keperluan penentuan fakta materiel dalam laporan keuangan emiten berkenaan dengan salah satu ketentuan Bapepam yang mengharuskan emiten memberikan laporan keuangan dan informasi lain atas munculnya perubahan-perubahan materiel pada kondisi keuangan emiten. Misalnya, penentuan materiel keadaan keuangan emiten pada masa yang akan datang menghadapi risiko fluktuasi kurs atau suku bunga. Apakah semua pinjaman dan ikatan tanpa proteksi yang dinyatakan dalam mata uang asing atau hutang yang suku ​​ bunganya tidak ditentukan terlebih dahulu termasuk fakta materiel ?​​ 

Kondisi keuangan beberapa emiten atau bank publik yang berkaitan dengan kerugian bank publik atau utang luar negeri telah menjadi masalah dalam pelaksanaan keterbukaan kondisi keuangan bank tersebut. Terdapat tiga puluh dua bank publik [BTO dan BBO] yang mengalami kerugian, tetapi tidak melakukan keterbukaan atas kerugiannya tersebut.

Di Amerika Serikat, kasus kerugian yang yang dialami investor disebabkan​​ misrepresentation​​ mengenai kondisi keuangan termasuk dalam kategori penipuan. Dalam​​ In Re Glenfed, Inc. Securities Litigation,​​ 11 F. 3d 843 [9th Cir. 1993],10​​ para investor melakukan ​​ gugatan atas pengelolaan keuangan oleh para pejabat dan direktur perusahaan​​ Glenfed.​​ Latar belakang kasus ini bermula dari laporan​​ GlenFed,​​ Inc​​ mengenai kerugian perusahaan sebesar $140,8 juta untuk kuartal kedua tahun fiskal 1991, setelah beberapa tahun mengalami keuntungan dalam operasinya. Dalam kasus tersebut Penggugat mendakwa bahwa para pejabat dan direktur perusahaan​​ GlenFed​​ membuat laporan pembukuan yang tidak benar yang ditujukan untuk menyembunyikan kondisi keuangan​​ GlenFed, Inc​​ yang buruk.11

Penggugat menuduh​​ GlenFed,Inc​​ menyembunyikan kerugian dan memperkecil cadangan kerugian pinjaman serta gagal untuk ​​ mengungkap fakta yang benar.​​ GlenFed, Inc​​ selalu berusaha untuk memperoleh perlakukan pembukuan yang lebih baik dari pada fakta yang benar mengenai jaminan. Hal ini dapat dilihat dari​​ laporan tahuan​​ GlenFed, Inc​​ diberi tanda sebagai “superior” atau “terbaik” dalam kualitas piutang dan “sangat patuh” dan “ketat” dalam penjaminan dan prosedur kredit. Sedangkan menurut Penggugat terjadi pengurangan sebesar 20 juta dolar pada piutang yang tidak dilaporkan pada​​ kuartal​​ empat tahun 1990. Selanjutnya, menurut Penggugat sampai kira-kira Juni 1990 penjaminan pinjaman dan kebijaksanaan monitoringnya tidak cukup dan tidak dipatuhi oleh para Tergugat.12​​ 

Di samping itu, Penggugat menuduh para Tergugat kurang teliti melaporkan ada tindakan hukum atas kekurang-jelasan ​​ nilai yang benar tentang agunan atas hutangnya. Sebab nilai agunannya kurang dari nilai hutang yang ada. Selanjutnya, Penggugat menyatakan tidak cukup monitoring terhadap hutang yang diberikan pada para Tergugat dan para Tergugat gagal secara tepat waktu memberitahukan hutangnya yang harus diselesaikan dengan tindakan hukum. Para penggugat juga mendakwa bahwa manager senior telah menunda dengan sengaja laporan kerugian yang dialami anak-anak perusahaan sampai dengan 31 Desember 1990.13

Penentuan kerugian sebagai fakta materiel dapat juga ditelusuri dalam​​ Howard Good v. Zenith Electronics Corporation,​​ 751 F. Supp. 1320 [N.D. III. 1990].14​​ Gugatan adalah mengenai Laporan Tahunan​​ Zenith​​ tahun 1988 yang menyatakan, bahwa​​ Zenith​​ lebih jauh mengharapkan peningkatan laba pada tahun 1989, berdasarkan volume ekonomi dan stabilnya industri tahun 1988.​​ Zenith​​ mengumumkan pendapatan triwulan pertama 1989 pada tanggal 21 Juli 1989. Perusahaan mengalami kerugian $ 13 juta. Kerugian tersebut disebabkan oleh posisi valuta asing dan menurunnya laba dalam divisi komputer​​ Zenith. CEO, Jerry Pearlman menyatakan bahwa, bila perusahaan masih mengharapkan 1989 sebagai tahun keberuntungan,​​ Zenith​​ “sekarang kurang yakin bila perusahaan akan lebih menguntungkan pada tahun 1989 dibanding 1988.” Segera setelah​​ release​​ laporan triwulan, harga saham​​ Zenith​​ jatuh.15

Howard Good menggugat​​ Zenith,​​ mengkalim laporan​​ Zenith​​ pada 25 April 1989, dimana​​ Zenith​​ mengharapkan peningkatan laba sepanjang tahun. Pernyataan tersebut jelas salah dan menyesatkan. Oleh karena,​​ Zenith,​​ pertama,​​ ​​ tidak mengungkapkan bahwa peramalan didasarkan pada asumsi bahwa dolar akan melemah terhadap valuta asing [foreign currence].​​ Kedua,​​ tidak mengungkapkan bahwa​​ Zenith​​ belum membatasi risikonya terhadap peningkatan dalam dolar dengan menggunakan opsi valuta asing.​​ Ketiga,​​ tidak mengungkapkan bahwa​​ Zenith​​ tidak memiliki dasar yang wajar untuk mengharapkan peningkatan laba dalam divisi komputer.​​ Keempat,​​ tidak mengungkapkan pengurangan penjualan, peningkatan inventaris, dan beban bunga tinggi yang ada dalam lini​​ personal computer​​ perusahaan.16

Dalam menanggapi gugatan penggugat, pengadilan menyatakan, bahwa untuk menetapkan gugatan menurut​​ Section​​ 19[b]​​ dan​​ 10b-5, penggugat harus menyatakan​​ Zenith,​​ pertama,​​ membuat pernyataan yang salah mengenai fakta atau menghilangkan fakta material yang membuat pernyataan menjadi menyesatkan.​​ Kedua,​​ sehubungan dengan perdagangan saham.​​ Ketiga,​​ dengan maksud untuk menyesatkan.​​ Keempat,​​ yang menyebabkan kerugian penggugat.17​​ Apabila bercermin pada putusan pengadilan tersebut, maka bank BTO atau BBO di Indonesia, dapat dikategorikan melakukan​​ misrepresentation​​ atau perbuatan yang menyesatkan. Dengan catatan, jika pernyataan yang diungkapkan BTO atau BBO mengenai kondisi keuangannya memenuhi​​ unsur-unsur berikut ini.​​ Pertama,​​ tidak mengungkapkan bahwa peramalan didasarkan pada asumsi bahwa rupiah akan melemah terhadap valuta asing.​​ Kedua,​​ tidak mengungkapkan bahwa bank publik tersebut belum membatasi risikonya terhadap peningkatan dalam dolar dengan menggunakan opsi valuta asing.​​ Ketiga,​​ tidak mengungkapkan bahwa bank publik tersebut tidak memiliki dasar yang wajar untuk mengharapkan peningkatan laba.​​ Keempat,​​ tidak mengungkapkan bahwa perusahaan mempunyai beban bunga tinggi berkenaan dengan utang luar negeri.

Namun, mereka bisa lolos dari gugatan bila dapat membuktikan, bahwa laporannya tersebut tidak menyesatkan​​ dan kerugiannya tidak membahayakan. Hal ini dapat dilihat dalam​​ D&N Financial, Corp. v. RCM Partners Ltd,​​ 735 F. Supp. 1242 [D. Del. 1990].18​​ Dalam hal ini Pengadilan memutuskan,​​ pertama,​​ pernyataan yang menyesatkan secara material telah diperbaiki.​​ Kedua,​​ perusahaan tidak menunjukkan kerugian yang membahayakan.19

Kasus lainnya berkenaan dengan laporan estimasi keuangan dapat juga dicermati dalam​​ John​​ Cione v. Gorr,​​ 843 F. Supp. 1199 [N.D. Ohio 1994].20​​ 

Investor menuntut perusahaan dan tiga pejabatnya, dengan dakwaan penipuan karena​​ misrepresentation.21​​ Penggugat menuduh​​ Cooper Tire, pada jangka waktu beberapa bulan antara 15 Februari sampai dengan 7 Juni 1993, menggambarkan kepada publik kondisi-kondisi keuangan dan operasional serta prospek yang akan datang dari​​ Cooper Tire.​​ Cooper Tire​​ melakukan pemalsuan dengan gaya yang meyakinkan.22

Pada 15 Februari 1993, Cooper Tire melaporkan hasil-hasil yang dicapai sampai dengan kuartal ke-4 tahun 1992. Hasilnya memperlihatkan suatu peningkatan dalam penjualan bersih dan laba bersih untuk tahun tersebut. Penggugat tidak mempersoalkan kebenaran dari hasil-hasil ini. Laporan tahunan 1992 berisikan informasi yang sama, juga melaporkan hasil penjualan. Pada 24 Maret 1993, para tergugat mengajukan formulir 10k yang disyaratkan kepada SEC, yang digabungkan dalam laporan tahunan 1992 dan pada 19 April 1993, para tergugat mengumumkan hasil-hasil operasional​​ Cooper Tire​​ untuk kuartal pertama tahun 1993.​​ 

Mereka melaporkan peningkatan-peningkatan dalam penjualan dan penghasilan selama​​ kuartal​​ pertama tahun 1992.23​​ Pada 5 Mei 1993, Cooper mengajukan Formulir 10-Q​​ kuartal​​ pertamanya, tergugat Rooney menyatakan bahwa “sebagai perusahaan, kami mempunyai posisi yang sangat baik untuk pertumbuhan jangka panjang.” Tergugat Reinhardt membicarakan peningkatan dividen yang pernah dilakukan selama tiga belas tahun sebelumnya dalam sejarah perusahaan. Penampilan​​ Cooper Tire​​ berakhir pada 7 Juni 1993, ketika perusahaan mengumumkan bahwa diperkirakan penjualan dan penghasilan​​ kuartal​​ kedua akan turun rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.24

Keterbukaan Debitor Kepada Kreditur Dalam​​ ​​ Reorganisasi

Debitor yang berada dalam posisi diambang kepailitan harus mengungkapkan informasi kepada kreditur berbagai fakta dan informasi. Terdapat tiga tujuan dari keterbukaan tersebut.25

1.​​  Keterbukaan itu berguna untuk memungkinkan kreditur untuk melakukan atau tidak melakukan pembayaran yang telah dilakukan kepada kreditur lainnya, kepada​​ insider​​ atau kepada teman-teman debitor.​​ 

2. ​​ ​​ Informasi itu memungkinkan kreditur mengambil sikap terhadap rencana atau usulan reorganisasi atau likuidasi.​​ 

3.​​  Yang paling penting adalah keterbukaan tersebut memungkinkan kreditur melakukan tawar-menawar terhadap rencana dan keputusan akhir, apakah menyetujui atau menolak rencana tersebut.

Salah satu cara untuk menentukan standar dalam mengukur informasi yang cukup [adequate information] dalam keterbukaan tersebut adalah mengajukan pertanyaan kepada kreditur yang mempunyai hak suara, apa yang ingin diketahui kreditur.​​ 26

Sebagian besar keputusan kreditur untuk menerima atau menolak rencana bergantung kepada empat pertanyaan sebagai berikut​​ :27

1.​​  Apakah rencana​​ feasible​​ ?

2.​​  Seberapa besar nilai [kalau ada] yang diberikan rencana tersebut kepada kreditur.

3.Apakah kreditur menerima bagiannya secara adil dari pembagian nilai yang tersedia.

4.Apakah bentuk pemberian nilai tersebut dapat diterima.

Kreditur membutuhkan keterbukaan dari informasi yang substansial untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tesrebut. Dengan demikian proses keterbukaan tersebut sangat krusial.28

Fungsi dari pernyataan keterbukaan yang disetujui oleh pengadilan adalah untuk menyediakan informasi yang cukup kepada kreditur sehingga mereka dapat memberikan penilaian tentang rencana itu.

Section​​ 1125​​ [a]​​ [1]​​ Bankruptcy​​ Code​​ yang berlaku di Amerika Serikat mendefinisikan informasi yang cukup sebagai berikut:

“...​​ information of a kind, and in sufficent detail, as far as is reasonably practicable in light of the nature and history of the debtor and the condition of debtor’s books and records, that would enable a hypothetical reasonable investor typical of holders of claims or interest of the relevant class to make an informed judment about the plan, but adequate information need not include such information about any other possible or proposed plan.”​​ 29

Kongres membiarkan adanya standar yang kabur dalam mengevaluasi apa yang dikatakan sebagai informasi yang cukup dan membiarkannya ditentukan secara​​ case-by-case​​ berdasarkan fakta dan situasi tertentu.

Beberapa pengadilan telah menjelaskan daftar keterbukaan yang secara khusus harus ada dalam suatu pernyataan keterbukaan.​​ In re​​ Scioto Valley Mortgage Co ,​​ 88 B.R. 168 [Bankr S.D. Ohio 1988] pengadilan mengadopsi ​​ 19 butir daftar jenis informasi yang dapat dipersyaratkan dalam suatu daftar keterbukaan tersebut, yaitu sebagai berikut​​ :30

1.​​  Keadaan atau situasi yang mendasari munculnya permohonan kepailitan.

2.Suatu diskripsi yang lengkap dari aset yang tersedia beserta nilainya.

3.Antisipasi ke depan dari debitor.

4.Sumber dari informasi yang terdapat di dalam Pernyataan Pendaftaran.

5. Suatu​​ disclaimer​​ secara khusus mengidentifikasikan bahwa tidak ada pernyataan informasi mengenai debitur atau jaminan yang diberikan di luar yang telah dinyatakan di dalam pernyataan keterbukaan.

6. Kondisi dan kinerja dari debitor pada saat debitor tersebut berada dalam kondisi​​ chapter​​ 11.

7.Informasi mengenai gugatan terhadap kekayaan.

8.Suatu analisis likuidasi yang menyatakan estimasi pendapatan yang akan diperoleh oleh kreditur.

9.Metode akuntansi dan penilaian yang digunakan dalam menyusun informasi keuangan yang terdapat pada pernyataan keterbukaan.

10. Informasi tentang manajemen dari debitur ke depan, termasuk besarnya kompensasi yang akan dibayar kepada setiap​​ insider, direktur dan atau pejabat-pejabat lainnya dari debitur.

11.Suatu ringkasan dan rencana dari reorganisasi.

12.Estimasi semua biaya administrasi termasuk biaya penasehat hukum dan akuntan.

13.Kolektivitas dari setiap rekening pendapatan.

14. Setiap informasi keuangan,​​ valuations, atau proyeksi​​ pro porma​​ yang relevan bagi kreditur dalam menentukan apakah menerima atau menolak rencana.

15.Informasi yang relevan tentang risiko yang akan dihadapi oleh kreditur.

16.Nilai aktual atau proyeksi dari nilai yang akan diterima dari transfer yang pasti akan diterima.

17. Keberadaan, kemungkinan, keberhasilan, litigasi​​ non-bankrupcy.

18. ​​ Konsekuensi perpajakan dari rencana.

19.Hubungan debitur dengan pihak terafiliasi.

Secara umum suatu pernyataan keterbukaan harus berisikan semua informasi yang berdampak terhadap keberhasilan atau kegagalan proposal rencana reorganisasi. Pernyataan keterbukaan tersebut harus berisi semua materi informasi yang berkaitan dengan risiko yang akan dihadapi oleh kreditur berdasarkan reorganisasi yang diusulkan. Sebaliknya pernyataan pendaftaran tidak boleh dibebani dengan informasi yang terlalu teknis dan informasi-informasi tambahan yang sangat banyak [overly technical and extremely numerous additions], dimana informasi tersebut hanya akan mengakibatkan berkurangnya pemahaman bagi kreditur tertentu.

Rekomendasi

Perlu pernyataan keterbukaan debitor yang menyediakan informasi yang cukup kepada kreditor, sebagaimana diuraikan di muka dipertimbangkan pengaturannya dalam aturan ​​ rencana reorganisasi yang diatur pada Rancangan Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, agar kreditor dapat memberikan penilaian tentang rencana reorganisasi yang diupayakan debitor, baik upaya rencana penundaan kewajiban pembayaran utang, maupun upaya rencana perdamaian. Selanjutnya, perlunya juga dipertimbangkan pengaturannya dalam keterbukaan kondisi keuangan emiten kepada Bapepam dan investor dalam Pembaharuan Undang-Undang Pasar Modal.

DAFTAR PUSTAKA

Beaver, H. Beaver. “The Nature of ​​ Mandated Disclosure,” dalam Richard A. Posner dan Kenneth E. Scott, ed,​​ Economic of Corporation Law and Securities Regulation.​​ Boston, Toronto: Little, Brown & Company, 1980.

Bapepam.​​ Cetak Biru Pasar Modal Indonesia.​​ Jakarta: Bapepam, 1999.

Downes, John dan Jordan Elliot Goodman.​​ Dictionary of Finance and Investment Terns,​​ diterjemahkan oleh Soesanto Budhidarmo. Jakarta: PT. Gramedia, 1996.

Epstein, David G., Steve H. Nickles dan James J. White. ​​ Bankruptcy.​​ St. Paul. Minn: West Publishing Co, 1993]

Gayed, E.S.​​ Challenge of A Generation Beyond the Crash of 87.​​ New York : Institute of Finance New York, 1989.

Keputusan Ketua Bapepam Nomor KEP-38/PM/1996 dan Peraturan Nomor VIII.G.2 tentang Laporan Tahunan.

Keputusan Ketua Bapepam Nomor KEP-22/PM/1998 dan Peraturan Nomor II.H.7 mengenai Pedoman tentang Pemeriksaan Atas Dugaan Adanya Laporan Keuangan yang Mengandung Informasi yang Tidak Benar atau Menyesatkan.

Rose, Peter ​​ S.​​ Money and Capital Market The Financial System in an Increasingly Global Economy.​​ Illinois, Boston : Dowjones-Irwin, 1989.

Undang-Undang Darurat​​ Republik Indonesia​​ No. 13 Tentang Bursa dan kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Bursa No. 15 Tahun 1952.​​ 

Undang-Undang​​ Republik Indonesia​​ Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal [UUPM].​​ 

Scarberry, Mark S., Kenneth N. Klee, Grant W. Newton dan Steve H. Nickles.​​ Business Reorganitation In Bankruptcy.​​ St. Paul, Minnesota: West Publishing Co, 1996.

Sumantoro.​​ Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di Indonesia.​​ Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Theberge, Leonard J.​​ “Law and Economic Development,” Journal of International Law and Policy,​​ Vol. 9, 1980.

Winarto, Jasso .ed.​​ Pasar Modal Indonesia Retrospeksi Lima Tahun Swastanisasi BEJ.​​ Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1977.

DAFTAR KASUS

Cione v. Gorr, 843 F. Supp. 1199 [N.D. Ohio 1994].

D&N Financial, Corp. v. RCM Partners Ltd, 735 F. Supp. 1242 [D. Del. 1990].

Ernst & Ernst v. Hochfelder,​​ 425 U.S. [1976]

Howard Good v. Zenith Electronics Corp, 751 F. Supp. 1320 [N.D. III. 1990].

In Re Glenfed, Inc. Securities Litigation, 11 F. 3d 843 [9th Cir. 1993].

Marx v. Computer Sciences Corp. 507 F.2d 485, 490 [9th Cir. 1974].​​ 

Schlifke v. Seafirst Corp. 866 F. 2d 935, 943 [7th Cir. 1989].

Peraturan Tentang Jasa Di Bidang Keuangan [Bank, non Bank]​​ 

Pasca GATT-GATS/WTO Dalam Kaitannya Dengan​​ 

Ketentuan Perdagangan Di Indonesia​​ *​​ 

Peraturan tentang jasa di bidang keuangan [Bank dan bukan Bank] dituntut untuk diharmonisasikan sejalan dengan arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang financial, produksi dan perdagangan, oleh karena arus globalisasi ekonomi tersebut telah membawa dampak pengelolaan ekonomi Indonesia.​​ 

Dampak ini lebih terasa lagi setelah arus globalisasi ekonomi semakin dikembangkan prinsip liberalisasi perdagangan [trade liberalization] yang telah diupayakan secara bersama-sama oleh negara-negara di dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi regional.

Memasuki era​​ 2003 Indonesia harus sudah mantap persiapannya untuk menghadapi pengaruh yang timbul terhadap perekonomian/perdagangan Indonesia dalam semua aspek, termasuk di dalamnya aspek hukum, khususnya hukum ekonomi yang merupakan pranata hukum yang berisikan kebijaksanaan untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke suatu arah tertentu. Apalagi pada era 2003 ini awal berlakunya beberapa ketentuan perjanjian AFTA dan merupakan tenggang waktu bagi negara-negara berkembang untuk memperbaharui/ mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan atau pranata hukumnya dengan ketentuan-ketentuan agreement establishing WTO beserta ketentuan-ketentuan annexes-nya yang telah diratifikasi Indonesia pada tanggal 12 Nopember 1994 melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994.

Pembaharuan hukum ekonomi Indonesia merupakan konsekwensi dari Indonesia sebagai salah satu di antara 125 negara yang ikut menandatangani Perjanjian WTO yang lahir sebagai hasil perundingan Puturan Uruguay [Urugay Round] yang diselenggarakan dalam kerangka General Agreement on Tariff and Trade [GATT], yang dimulai pada September 1986 di Puntadel Este, Urugay dan berakhir pada 15 April 1994 di Marakesh, Maroko. WTO ini merupakan pengganti GATT yang merupakan organisasi perdagangan Internasional dengan tujuan utama adalah untuk meliberalisasikan perdagangan Internasional dan menjadikan perdagangan bebas sebagai landasan perdagangan Internasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan umat manusia.186​​ Dalam pasal XVI ayat 4 dan 5 persetujuan perundigan WTO dinyatakan, bahwa setiap anggota harus menjamin keselarasan undang-undang, aturan-aturan dan prosedur-prosedur administratif nasionalnya sendiri.

Secara umum pembahasan topik makalah ini adalah memperkenalkan ketentuan GATT/WTO dan secara khusus adalah membahas kaitan peraturan tentang jasa di bidang keuangan GATS/WTO dalam kaitannya dengan peraturan jasa di bidang keuangan bank dan bukan bank yang berlaku di Indonesia, yang bertujuan untuk meperkenalkannya pada pelaku dunia bisnis. ​​ 

Ketentuan GATT-GATS/WTO Dalam Kaitannya​​ Dengan​​ Pembaharuan Hukum Di Indonesia

Pembaharuan hukum ekonomi sebagai sebagai salah satu perangkat aturan perdagangan untuk memberikan antisipasi ekonomi Indonesia era pasca GATT-GATS/WTO, mutlak harus diperbaharui atau diharmonisasikan sesuai​​ dengan “ritme” tuntutan WTO, guna menampung aturan-aturan perdagangan Internasional dan global pasca WTO tersebut.

Aturan-aturan perdagangan tersebut adalah sesuai dengan asas-asas yang disepakati oleh para anggota WTO, yaitu:

1.Principle of Most-Favoured-Nation Treatment [MFN Treatment].

Artinya, setiap anggota WTO harus segera dan tanpa syarat memberikan perlakuan terhadap jasa-jasa dan para pemasok jasa dari setiap anggota lainnya yang tidak kurang dari perlakuan yang diberikan terhadap jasa-jasa dan para pemasok jasa dari negara lain manapun juga, kecuali dalam hal-hal tertentu yang merupakan pengecualian yang diperbolehkan menurut GATS tersebut. Dengan kata lain, tidak boleh ada diskriminasi untuk memperlakukan jasa dan pemasok jasa dari suatu anggota yang satu dengan anggota yang lain.

2.Principle of National Treatment

 Artinya, suatu anggota WTO harus memberikan perlakuan yang sama bagi jasa-jasa dan pemasok jasa dari setiap anggota lain seperti yang diberikan kepada jasa-jasa dan pemasok jasa nasional dari anggota yang bersangkutan. ​​ Dengan kata lain, tidak boleh ada perlakuan diskriminatif antara jasa-jasa dan pemasok-pemasok jasa nasional dan asing. Dalam kaitannya dengan perbankan, ditentukan dalam dokumen​​ Understanding on Commitment in Financial Services,​​ yang merupakan pelengkap GATS, bahwa setiap anggota harus memberikan akses kepada​​ “payment and clearing systems”​​ yang diselenggarakan oleh badan-badan publik dan kepada​​ “official funding and refinancing facilities”​​ yang tersedia dalam rangka kegiatan bisnis pada umumnya, bagi​​ setiap anggota lainnya yang beroperasi di wilayah anggota yang bersangkutan. Dengan kata lain adalah untuk memperoleh fasilitas pendanaan dan kredit dari perbankan dan pasar uang. Namun ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk termasuk pula akses kepada​​ “the members lender of last resort facilities”. Dengan kata lain, tidak dimungkinkan untuk memperoleh bantuan likuiditas dari bank​​ sentral dari negara yang bersangkutan.

3.Principle of Transparancy

 Artinya, setiap anggota WTO harus segera mempublikasikan, selambat-lambatnya pada waktu mulai berlaku, semua tindakan yang berkaitan atau mempengaruhi pelaksanaan GATS. Selain darupada itu, setiap anggota harus transparan terhadap anggota lainnya. Dalam hubungan ini, setiap anggota harus segera dan sekurang-kurangnya setiap tahun memberitahukan kepada​​ Council for Trade in Services ​​ mengenai dikeluarkannya peraturan perundangan yang baru dan perubahan dari peraturan perundangan yang ada, yang secara signifikan mempengaruhi perdagangan jasa-jasa, yaitu perdagangan jasa-jasa yang secara spesifik telah menjadi komitmen negara yang bersangkutan terhadap GATS.

Berdasarkan pendekatan pembaharuan hukum ekonomi dalam kegiatan perdagangan pasca WTO, maka program legislasi nasional di masa mendatang harus memberikan prioritas pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tujuan dari Putaran Uruguay yang merupakan penyempurnaan sistem GATT untuk menata kembali aturan permainan dalam perdagangan Internasional, dengan menunjang upaya agar perdagangan dunia dapat menjadi​​ semakin terbuka, supaya arus perdagangan dapat berkembang dengan semakin mengurangi hambatan-hambatan dalam bentuk tarif maupun non tarif. Keterbukaan pasar yang semakin luas akan meningkatkan arus perdagangan yang pada gilirannya akan menunjang kegiatan ekonomi semua anggota yang​​ selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masing-masing negara.187

Dengan ini pembaharuan hukum ekonomi pada aktivitas perdagangan dalam bentuk peraturan perundang-undangan harus mengakomodasikan​​ Agreement Establishing​​ WTO yang membentuk organisasi perdagangan dunia​​ berikut semua naskah persetujuan yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan kegiatannya sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari perjanjian WTO, yaitu​​ Multilateral Agreement on Trade in Goods​​ meliputi GATT 1994 dan 12 perjanjian khusus atas komoditas dengan prosedur perdangan Internasional [Annex 1A],​​ General Agreements on Trade in Services [Annex 1B], General Agreements on Trade Related Aspects of Multilateral property Rights, [Annex 1C], Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes [Annex 2], Trade Policy Review Mechanism [Annex 3] dan Final Acts Embodying the Results of the Uruguay Round of Multirateral Trade Negotiations​​ ​​ yang merupakan rangkuman hasil-hasil yang dicapai dalam perundingan Putaran Uruguay serta​​ Ministerial Decision and Declarations​​ yang memuat berbagai deklarai atau keputusan tingkat menteri mengenai pelaksanaan persrtujuan yang berhasil dicapai.

Hukum atau peraturan yang berkaitan dengan pembiyaan sebagaimana diuraikan di ​​ atas merupakan peraturan lain dari ketentuan-ketentuan GATT yang menangani perdagangan barang [Trade in Goods]. Hal ini adalah perkembangan baru yang diatur dalam WTO yang sebelumnya tidak pernah dibuat dalam GATT, yang tercakup sebagai masalah perdagangan jasa atau​​ General Agreement on Tariff and Services​​ [GATS].​​ 

Ketentuan bidang investasi ini dapat ditemukan dalam dua jenis perjanjian yang menjadi lampiran [annex]​​ Perjanjian Pendirian WTO yaitu pada TRIMs dan GATS. Pada TRIMs yang diatur adalah ketentuan-ketentuan tentang investasi yang berkaitan dengan perdagangan barang. TRIMs pada dasarnya menegaskan kembali dan mengatur mekanisme pelaksanaan ketentuan yang berkaitan dengan yang telah diatur dalam GATT 1947 khususnya Pasal III dan XI yang mengatur 2 hal pokok yaitu :

1. Agar negara-negara tidak menerapkan kebijaksanaan yang membatasi volume atau nilai impor dari suatu perusahaan untuk dapat memperoleh atau menggunakannya bagi suatu jumlah yang dikaitkan kepada tingkat produk yang diekspornya [trade balancing requirement].

2. Menerapkan kebijaksanaan yang menentukan investor asing untuk menggunakan sebagian dari imput produksinya dari sumber dalam negeri [domestic content requirement]. Sedangkan persyaratan lain yang sebenarnya ingin dimasukkan oleh negara maju adalah kebijaksanaan yang menentukan investor asing untuk mengekspor sebagian produksinya sebagai isyarat unuk memperoleh ijin penanaman modal [expor performance requirement].

Dalam GATS, khususnya yang menyangkut cara pemasokan jasa [mode of supply] melalui kehadiran komersial [commercial presence], mengatur investasi di sektor jasa. ​​ Pasal 1 ayat 2 GATS menentukan 4 cara pemasokan jasa [mode of supply] yaitu :​​ 

1.​​ Cross Border Supply​​ [CBS]; yaitu cara perdagangan jasa yang dilakukan dari wilayah atau negara pemasok jasa [supplier] ke dalam wilayah suatu negara [konsumen] dimana dalam memberikan jasa tersebut pemasok tidak memasuki wilayah atau negara konsumen. Perdagangan dengan cara CBS dinyatakan dengan angka 1. Contoh perdagangan jasa dengan cara CBS adalah jasa konsultasi melalui media elektronik.

2.​​ Consumption Abroad​​ [CA]; yaitu cara perdagangan jasa dimana jasa diberikan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa dengan cara pengguna jasa mendatangi penyedia jasa. Cara pemasokan jasa seperti ini dikenal juga dengan istilah​​ Movement of Consumers. Pemasokan dengan cara CA, di dalam SOC dinyatakan dengan angka 2. Contohnya adalah jasa di bidang kesehatan dimana seorang pasien dari Indonesia berobat ke Singapura.

3.​​ Commercial Presence [CP]; adalah cara pemasokan jasa dimana dalam memberikan jasanya penyedia jasa memasuki wilayah atau negara konsumen dengan cara mendirikan suatu perusahaan di wilayah atau negara tersebut. Pemasokan jasa melalui cara ini dikenal pula dengan istilah​​ Presence of Juridical Person. Pemasokan dengan cara CP di dalam SOC dinyatakan dengan angka 3. Contohnya adalah beroperasinya kantor cabang bank asing di Indonesia.

4.​​ Movement of Natural Person [PNP]; adalah cara pemasokan jasa dimana penyedia jasa di dalam memberikan jasanya hadir di wilayah atau negara pengguna jasa baik dalam kapasitas sebagai pegawai suatu perusahaan asing maupun dalam kapasitas sebagai penyedia jasa itu sendiri. Pemasokan dengan cara PNP, di dalam SOC dinyatakan dengan angka 4. Contohnya adalah pegawai Citibank Amerika Serikat yang bekerja di kantor cabang Citibank Jakarta, atau seorang lawyer asing yang bekerja pada sebuah kantor pengacara Indonesia.

Ketentuan investasi yang diatur dalam GATS adalah ketentuan yang menyangkut​​ commercial presence​​ atau disebut dengan​​ presence of juridical person​​ menetapkan bahwa negara anggota diwajibkan untuk memebrikan akses ke pasar domestiknya dan memberikan perlakuan non diskriminasi antar semua anggota [most fovoured nation] serta memperlakukan pemasok jasa asing yang tidak lebih jelek dari pemasok jasa domestik [national treatment] yaitu setiap jenis usaha yang dilakukan melalui :

1.Pendirian, akuisisi atau pendirian suatu badan hukum di dalam wilayah suatu negara dengan tujuan untuk melakukan pemasokan suatu jasa.

2.Pendirian suatu kantor cabang atau perwakilan di dalam wilayah suatu negara dengan tujuan untuk melakukan pemasokan suatu jasa.

Peraturan Tentang Jasa Bidang Keuangan Bank

Untuk membuat pengaturan jasa bidang keuangan bank terlebih dahulu diperhatikan​​ Schedule of Specific Commitments atau Schedule of Commitments [SOC],188​​ yang merupakan dasar komitmen yang diberikan oleh negara anggota WTO kepada seluruh negara anggota lain sebagai konsekuensi negara tersebut menjadi anggota WTO.

SOC berisikan daftar dari sektor atau sub-sektor jasa yang ditawarkan atau dibuka kepada pemasok jasa asing beserta pembatasan-pembatasan yang diberlakukannya, baik pembatasan yang berlaku untuk akses pasar [limitations on market access] maupun pembatasan terhadap perlakuan yang sama antara perusahaan nasional dan perusahan asing [limitations on nationality treatment].

Sebagai suatu komitmen, SOC harus memuat semua informasi dengan jelas mengenai sektor atau sub-sektor yang ditawarkan atau dibuka, berikut pembatasan atas akses pasar, pembatasan atas​​ national treatment, serta apabila ada komitmen tambahan [additional commitments].

SOC mengikat negara anggota yang bersangkutan, dengan pengertian bahwa apabila suatu negara anggota WTO melanggar komitmen yang telah diberikannya, maka negara anggota WTO lainnya yang merasa haknya dihapus ataupun dirugikan sebagai akibat dari tindakan pelanggaran tersebut dapat melakukan suatu tindakan balasan.

Indonesia sebagai anggota WTO telah pula mendaftarkan komitmen kepada Sekretariat WTO dan komitmen tersebut telah diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1995 setelah sebelumnya Indonesia ikut menandatangani Perjanjian Pendirian WTO pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Marokko.​​ Isi SOC Indonesia di sub-sektor keuangan yang terakhir merupakan hasil perundingan lanjutan yang telah dilangsungkan sampai dengan bulan Juli 1995. Dalam rangka implementasi kesepakatan tersebut, Indonesia telah menandatangani​​ Second Protocol to the General Agreement on Trade in Services​​ tanggal 3 Juli 1996.

Horizontal Measures

Dalam ketentuan yang berlaku secara umum untuk seluruh sektor yang ditawarkan dalam​​ SOC Indonesia, dicantumkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Untuk mendirikan satuan usaha [commercial presence] di Indonesia hanya dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha patungan dan atau kantor perwakilan, kecuali ditentukan lain. Badan usaha patungan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

i.Harus berbentuk PT;

ii.Kepemilikan saham pihak asing pada PT tersebut maksimal 49%;

b.Untuk pembayaran pajak, non-residen akan dikenakan pajak sebesar 20% atas pendapatan bunga, royalti, deviden dan pembayaran yang diterima dari jasa yang dilakukannya di Indonesia;

c.Pembatasan penguasaan​​ objek atas​​ tanah sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 pihak asing tidak diperkenankan menguasai tanah yang dilekati Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Akan tetapi, suatu perusahaan patungan diperbolehkan menguasai tanah yang dilekati​​ Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan mereka dapat menyewa tanah dan properti;

d. Setiap badan hukum dan individual harus memenuhi persyaratan kualifikasi profesional [professional qualification];

e. Sesuai dengan​​ peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan dan imigrasi, yang diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah direktur, manajer dan tenaga ahli atau penasehat teknis, kecuali ditentukan lain. Jangka waktu tinggal yang diperkenankan adalah selama 2 tahun dengan perpanjangan maksimum selama 1 tahun. Sementara itu untuk tingkat manajer dan tenaga ahli teknis [intra ​​ corporate] hanya diperbolehkan apabila memenuhi tes kebutuhan ekonomi [economic need test].

f.Setiap orang asing yang bekerja di sektor jasa dikenakan pajak yang dikenakan pemerintah pusat, propinsi dan daerah.

g.Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, setiap orang asing yang bekerja pada perusahaan patungan, kantor perwakilan, dan jenis-jenis lain dari badan hukum, dan atau pemasok jasa individual harus memiliki izin kerja dari Departemen Tenaga Kerja;

h.Sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang imigrasi, setiap orang asing yang memasuki wilayah Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan dan prosedur keimigrasian.

General Conditions​​ untuk Perbankan

Dalam ketentuan yang berlaku umum untuk sub-sektor perbankan, ditetapkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

i. Semua pembatasan terhadap akses pasar dan​​ national treatment​​ akan dihapuskan pada tahun 2020 dengan syarat negara anggota WTO lainnya juga melakukan hal yang sama.

ii.Kepemilikan pihak asing diikat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

iii. Persyaratan yang tercantum dalam komitmen di sub-sektor perbankan adalah sesuai dengan​​ Annex on Financial Services, sebagaimana tercantum dalam​​ General Agreement on Trade in Services [GATS], kecuali ditentukan lain.

iv. Persyaratan dan kualifikasi yang tercantum dalam​​ general conditions on banking sub-sector​​ ​​ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penawaran di sub-sektor perbankan.

v. Kepemilikan saham pihak asing untuk kantor cabang bank asing yang telah ada sebelumnya tetap diakui sebesar 100% [grandfather clause].

vi.Kantor cabang bank asing dan bank campuran diberlakukan pembatasan geografis, yaitu hanya boleh mendirikan masing-masing ​​ 1 kantor cabang dan 1 ​​ kantor cabang pembantu di 8 kota besar yang ditetapkan.

vii. Pemasok jasa asing dengan posisi sebagai penasehat atau tenaga ahli selain berlaku ketentuan sebagaimana tercantum dalam​​ horizontal measures​​ ditambah dengan kelonggaran izin tinggal selama 3 [tiga] bulan untuk setiap orang dalam tahun yang sama.

viii.Akuisisi hanya dapat dilakukan melalui Pasar Modal dengan maksimum 49% dari saham yang telah didaftarkan di Pasar Modal.

ix.Pemasok jasa asing yang hendak melakukan usaha di Indonesia dalam bidang usaha perbankan harus dalam bentuk bank campuran yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dengan ​​ syarat :

 sebagaimana tercantum dalam​​ horizontal measures;

tidak terikat untuk memberikan izin baru; dan

bank campuran hanya dapat didirikan oleh bank dengan bank.

x.Pemerintah Indonesia tetap mempunyai hak untuk menentukan besarnya modal yang disetor bagi bank campuran.

xi.Hal-hal yang ditawarkan oleh Indonesia dalam SOC ini hanya terbatas yang tercantum dalam SOC dimaksud.

Transaksi yang Ditawarkan Dalam SOC Indonesia

Pencantuman komitmen negara-negara dalam SOC dilakukan dengan menggunakan pendekatan transaksi per transaksi yang didasarkan pada 2 prinsip utama, yaitu​​ positive list​​ [daftar positif] dan​​ negative list​​ [daftar negatif]. Prinsip​​ positive list​​ mempunyai arti bahwa hanya dicantumkan saja yang terbuka bagi pihak asing, sebaliknya prinsip negative list mengandung makna bahwa apabila tidak dicantumkan berarti tidak dilarang.​​ 

Pada sisi​​ positive list​​ dimasukkan seluruh transaksi dalam sektor atau sub-sektor yang boleh dimasuki oleh pihak asing, sedangkan pada sisi​​ negative list​​ berisikan pembatasan-pembatasan untuk akses pasar dan national treatment. Tingkat pembatasan yang dicantumkan untuk suatu jenis transaksi melalui ke empat cara perdagangan jasa dapat berupa none, unbound atau pembatasan spesifik.

Sesuai dengan prinsip liberalisasi bertahap [progressive liberalization] yang dianut dalam GATS, secara bertahap, dengan melalui suatu proses perundingan, daftar transaksi yang dicantumkan dalam kolom​​ positive list​​ akan semakin bertambah dan luas. Di lain pihak, pembatasan-pembatasan yang diberlakukan terhadap akses pasar maupun​​ national treatment​​ [daftar negatif] secara bertahap harus dikurangi atau dihapuskan.

Di dalam SOC Indonesia, transaksi yang ditawarkan atau dibuka bagi pihak asing [daftar positif] untuk sub-sektor perbankan adalah jenis kegiatan usaha yang hanya dapat dilakukan oleh Bank Umum. Adapun jumlah transaksi yang ditawarkan atau dibuka sebanyak 5 transaksi yang terdiri dari :

i.Penerimaan deposito dan dana pihak ke III lainnya;

ii.Segala jenis pinjaman antara lain termasuk kredit konsumsi dan anjak piutang;

iii.Semua jenis jasa pembayaran dan transfer;

iv.Bank garansi dan komitmen; dan

v.Transaksi-transaksi atas rekening sendiri maupun nasabahnya yang meliputi :

Instrumen pasar uang;

Devisa;

 Nilai tukar dan isntrumen suku bunga termasuk produk-produk seperti​​ swap​​ dan​​ forward;

Surat berharga yang dapat dipindahtangankan; dan

Manajemen kas, kustodian dan penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.

Untuk setiap transaksi yang ditawarkan tersebut di atas, untuk​​ modes of supply​​ 1 dan 2 ​​ tidak terdapat pembatasan akses pasar bagi pihak asing ataupun pembedaan antara pihak asing dengan pihak domestik pemasok jasa sejenis. Pembatasan hanya terdapat bagi transaksi penerimaan deposito dan dana pihak ke III lainnya khususnya di dalam kolom​​ limitations on market access​​ dimana ditetapkan bahwa bagi deposito yang diterima secara​​ cross-bordersupply​​ oleh bank yang beroperasi di Indonesia, termasuk kantor cabang milik Indonesia yang berada di luar negeri,​​ tunduk kepada atau diberlakukan ketentuan Pembatasan Pinjaman Komersial Luar Negeri sebagaimana diatur dalam Keputusan Presdien No. 39 Tahun 1993.

Khusus untuk modes of supply 3, pembatasan dalam akses pasar maupun pembedaan terhadap national treatment ditetapkan sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku sebagaimana tercantum dalam​​ horizontal measures​​ maupun​​ general conditions, yaitu antara lain harus berbentuk bank campuran, berbadan hukum PT, terkena​​ pajak pendapatan​​ sebesar 20%.

Untuk​​ modes of supply​​ 4, pembatasan dalam akses pasar dibedakan antara kantor cabang asing dan bank campuran. Untuk kantor cabang bank asing hanya posisi eksekutif yang dapat diisi oleh tenaga kerja asing dimana sekurang-kurangnya 1 [satu] orang harus WNI. ​​ Sedangkan untuk bank campuran hanya posisi direktur yang dapat diisi oleh tenaga kerja asing sesuai dengan proporsi kepemilikan sahamnya. Di lain pihak, pembedaan​​ national treatment​​ yang diberlakukan adalah sesuai dengan ketetnuan umum sebagaimana tercantum dalam​​ horizontal measures​​ maupu​​ general conditions, seperti pengenaan pajak bagi tenaga kerja asing, harus mempunyai izin kerja.

Pembaharuan Peraturan Perbankan Di Indonesia Pasca GATS/WTO

Apabila ketentuan-ketentuan GATS tersebut dikaitkan kepada peraturan perbankan ​​ yang berlaku di Indonesia ​​ selama ini sebagaimana diatur melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah Tahun 1992 tentang Bank Umum, maka ​​ terdapat beberapa hal yang harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan GATS. Karena itu Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun1992 itu telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Hal-hal yang diubah tersebut adalah sebagai berikut :

1.Pembukaan Kantor Cabang Bank Asing di Indonesia

 Ketentuan Pasal 22 UU No. 7 Tahun 1992 yang menentukan bahwa setelah berlakunya Undang-undang tersebut tidak dibenarkan lagi suatu bank yang berkedudukan di luar negeri [bank asing] untuk membuka kantor cabangnya di Indonesia. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan​​ Principle of national Teatment​​ dari GATS, karena itu telah diubah. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 telah diperbolehkan Bank Asing membuka kantor cabang di Indonesia.​​ 

2.Kewajiban Dalam Penyaluran Kredit

Pasal 27 PP No. 70 Tahun 1992 merupakan ketentuan yang bersifat diskriminatif bagi kantor cabang bank asing. Ketentuan itu menentukan bahwa kantor cabang bank asing wajib menyalurkan sebagian kreditnya untuk membiayai kegiatan ekspor non migas, sedangkan bank umum pemerintah maupun swasta nasional tidak dibebani kewajiban tersebut. Oleh karena GATS tidak membenarkan adanya diskriminasi yang demikian itu, maka berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ketentuan tersebut telah dihapuskan.

3.Kepemilikan

Mengingat GATS tidak membenarkan adanya pembatasan terhadap maksimum persentase kepemilikan saham, maka Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1992 jo Pasal 14 PP No. 70 Tahun 1992 yang menentukan bahwa warga negara asing atau badan hukum asing hanya boleh membeli saham bank umum yang dijual melalui bursa efek di Indonesia sebanyak-banyaknya 49% dari saham yang dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ketentuan ini tidak berlaku lagi. Sekarang warga negara asing tidak dibatasi lagi jumlah saham pada saat pembelian saham bank umum melalui Bursa Efek, telah boleh mereka membeli saham sampai 100 persen. Sedangkan pemilikan saham bank oleh warga negara asing bukan melalui pembelian saham melalui Bursa Efek, tetapi melalui penempatan langsung setinggi-tingginya sebesar 99 persen, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Umum No. 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999.

4.Pegawai Warga Negara Asing

GATS tidak menghendaki adanya pembatasan terhadap jumlah pegawai warga negara asing yang boleh dipekerjakan oleh suatu pemasok jasa [service supplier], termasuk pembatasan jumlah kepengurusan pihak asing. Oleh karena itu, Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1992 yang memberikan peluang bagi Bank Indonesia untuk menetapkan maksimum jumlah pihak asing yang boleh duduk di dalam kepengurusan suatu bank campuran. Ketentuan pembatasan pegawai warga negara asing tersebut telah dihapus setelah lahirnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.​​ 

5.Pembatasan Pemegang Saham Mayoritas

Ketentuan pembatasan pemegang saham mayoritas yang diatur dalam Pasal 26 Ayat [3] UU No. 7 Tahun 1992 yang membatasi warga negara asing dan atau badan hukum asing untuk menjadi pemegang saham mayoritas dalam pembelian saham bank umum melalui bursa efek, tidak berlaku lagi setelah berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

Peraturan Jasa Keuangan Bukan Bank

Peraturan jasa keuangan bukan bank ini berbeda dengan peraturan jasa keuangan bank yang telah menyesuaikan peraturannya dengan ketentuan WTO. ​​ Sampai sekarang peraturan jasa keuangan bukan bank tersebu masih diatur berdasarkan Keppres​​ Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Dalam Keppres​​ ini disebutkan bahwa lembaga jasa keuangan bukan bank adalah Badan Usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan.​​ 

Jasa Keuangan bukan bank dapat dilihat dari segi bidang usahanya sebagai berikut :​​ 

1.​​  Perusahaan Sewa Guna Usaha [leasing company] adalah ​​ badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara​​ finance​​ lense​​ maupun​​ operating​​ lease​​ untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Kegiatan Sewa Guna Usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal bagi Penyewa Guna Usaha, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli barang tersebut. Dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat [1], pengadaan barang modal dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang milik Penyewa Guna Usaha yang kemudian disewa gunakan kembali. Sepanjang perjanjian Sewa Guna Usaha masih berlaku, hak milik atas barang modal objek transaksi Sewa Guna Usaha berada pada Perusahaan Sewa Guna Usaha [Pasal 3].

2.​​  Perusahaan Modal Ventura [ventura​​ capital​​ company] adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan [investasi​​ company] untuk jangka waktu tertentu.

Kegiatan Modal Ventura dilakukan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu Perusahaan Pasangan Usaha untuk : [a] pengembangan suatu penemuan baru; [b] pengembangan perusahaan yang pada tahap awal usahanya mengalami kesulitan dana; [c] membantu perusahaan yang berada pada tahap pengembangan; [d] membantu perusahaan yang berada dalam tahap kemunduran usaha; [e] pengembangan proyek penelitian dan rekayasa; [f] pengembangan pelbagai penggunaan teknologi baru, dan alih teknologi baik dari dalam maupun luar negeri; [g] membantu pengalihan pemilikan perusahaan. ​​ 

Penyertaan modal dalam setiap Perusahaan pasangan Usaha bersifat sementara dan tidak boleh melebihi jangka waktu 10 [sepuluh] tahun. ​​ Penarikan kembali penyertaan modal [divestasi] oleh Perusahaan Modal ventura dalam segala bentuknya, dilaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 3 [tiga] bulan setelah dilaksanakan [Pasal 4].

3.​​  Perusahaan Perdagangan Surat Berharga [securities​​ company] adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk perdagangan surat berharga.

Perusahaan Perdagangan Surat Berharga melakukan kegiatan sebagai perantara dan perdagangan surat berharga [Pasal 5].

4.​​  Perusahaan Anjak Piutang [factoring​​ company] adalah ​​ badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.

Kegiatan Anjak Piutang dilakukan dalam bentuk : [a] pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri; [b] penata usahaan penjualan kredit serta penagihan piutang perusahaan klien [Pasal 6].

5.​​  Perusahaan Kartu Kredit [credit card company] adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang atau jasa dengan menggunakan kartu kredit.

Kegiatan Kartu Kredit dilakukan dalam bentuk penerbitan kartu kredit yang dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang atau jasa [Pasal 7].

6.​​  Perusahaan Pembiayaan Konsumen [consumers finance company]​​ adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala.

Kegiatan Pembiayaan Konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen [Pasal 8].

Tata Cara Pendirian dan Perizinan Lembaga Jasa Keuangan Bukan Bank

Lembaga jasa keuangan bukan bank dapat dilakukan dalam bentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi. Saham​​ Perusahaan Pembiayaan yang berbentuk Perseroan Terbatas dapat dimiliki oleh : [a] warga Negara Indonesia dan atau Badan Hukum Indonesia; [b] Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia [Usaha Patungan].

Jumlah Modal Disetor atau Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib bagi Perusahaan jasa keuangan bukan bank Sewa Guna Usaha dan Modal Ventura ditetapkan sebagai berikut : [a] Perusahaan Swasta Nasional sekurang-kurangnya sebesar ​​ Rp. 3.000.000.000,- [tiga milyar rupiah]; [b] Perusahaan Patungan Indonesia dan​​ Asing sekurang-kurangnya sebesar Rp. 10.000.000.000,- [sepuluh milyar rupiah]; [c] Koperasi​​ sekurang-kurangnya sebesar​​ Rp. 3.000.000.000,- [tiga milyar rupiah].​​ 

Jumlah Modal​​ Disetor​​ atau Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan salah satu dari kegiatan Anjak Piutang, Usaha Kartu Kredit, Pembiayaan Konsumen dan Perdagangan Surat Berharga ditetapkan sebagai berikut : [a] Perusahaan Swasta Nasional sekurang-kurangnya sebesar​​ Rp. 2.000.000.000,- [dua milyar rupiah]; [b] Perusahaan Patungan Indonesia dan Asing sekurang-kurangnya sebesar Rp. 8.000.000.000,- [delapan milyar rupiah]; [c] Koperasi sekurang-kurangnya sebesar Rp. 2.000.000.000,- [dua milyar rupiah].​​ 

Dalam hal Perusahaan Pembiayaan melakukan lebih dari satu kegiatan pembiayaan, jumlah Modal Disetor atau Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib ditetapkan sebagai berikut : [a] Perusahaan Swasta Nasional sekurang-kurangnya sebesar Rp. 5.000.000.000,- [lima milyar rupiah]; [b] Perusahaan Patungan Indonesia dan Asing sekurang-kurangnya sebesar Rp. 15.000.000.000,- [lima belas milyar rupiah]; [c] Koperasi sekurang-kurangnya sebesar ​​ Rp. 5.000.000.000,- [lima milyar rupiah] [Pasal 12].

Untuk memperoleh Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat [1] permohonan diajukan kepada Menteri Keuangan dengan melampirkan : [a] Akte Pendirian Perusahaan Pembiayaan yang telah disahkan menurut​​ ketentuan perundang-undangan yang​​ telah berlaku; [b] Bukti pelunasan modal disetor untuk Perseroan terbatas atau Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib untuk Koperasi, pada salah satu bank di Indonesia; [c] Contoh Perjanjian Pembiayaan yang akan digunakan; [d] Daftar susunan pengurus Perusahaan Pembiayaan; [e] Nomor Pokok Wajib Pajak [NPWP] perusahaan; [f] Neraca Pembukaan Perusahaan Pembiayaan; [g] Perjanjian Usaha Patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi Perusahaan Pembiayaan Patungan yang didalamnya tercermin arah Indonesianisasi dalam pemilikan saham [Pasal 13].

Di samping peraturan berdasarkan Keppres​​ tersebut lembaga keuangan bukan bank diatur oleh hukum pejanjian yang terdapat dalan KUH Perdata. Misalnya Perusahaan ​​ Factoring189​​ diciptakan berdasarkan kebutuhan yang nyata dalam dunia usaha dengan suatu tujuan komersial tertentu, yaitu suatu alternatif pembiyaan perusahaan dalam bentuk​​ off balance sheet. ​​ Aspek hukum hanya tampil ke muka dalam penilaian​​ yuridis transaksi tersebut. Perlu diingat bahwa tujuan komersial yang ingin dicapai oleh dunia usaha, jika ditinjau dari segi hukum, dapat saja tercapai dengan cara yang berbeda, asal tujuan komersial tercapai.

Perjanjian​​ factoring​​ di Indonesia tidak [belum] merupakan lembaga hukum yang secara langsung menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Perjanjian​​ factoring​​ sebenarnya mencakup serangkaian perbuatan – dan lembaga – hukum yang secara komersial bertujuan untuk menyediakan jasa pembiayaan kepada klien dengan mengkonversikan piutang [terutama piutang jangka pendek] menjadi uang tunai guna membiayai atau memperlancar kegiatan​​ usaha klien.

Mengikuti definisi kegiatan​​ factoring​​ [anjak piutang] dalam Keppres, maka​​ factoring​​ adalah “pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.”

Keppres​​ tersebut tidak membatasi pengertian istilah “piutang” baik dari segi​​ yuridis maupun segi perpajakan dan akuntansi. Dalam peraturan pelaksanaan Keppres​​ ini mungkin diperlukan penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah “piutang”.

Kegiatan​​ factoring​​ dapat dilakukan oleh bank, lembaga keuangan bukan bank serta perusahaan pembiayaan, baik perusahaan yang bergerak dalam beberapa bidang pembiayaan ataupun hanya salam bidang factoring.

Bagi perusahaan pembiayaan yang hanya bergerak dalam bidang factoring timbul masalah oleh karena kegiatan merreka tidak dimaksudkan untuk mencakup kegiatan pemberian fasilitas kredit, dan oleh karena itu perusahaan​​ factoring​​ bukan bank tidak dapat menawarkan suatu paket pembiayaan yang lengkap.

Perusahaan​​ factoring​​ di luar negeri sering memberikan fasilitas kredit, misalnya dalam bentuk​​ overdraft​​ [cerukan] untuk menjembatani jangka waktu sampai tanggal pembayaran harga pembelian piutang oleh perusahaan​​ factoring.​​ Pinjaman dan bunganya kemudian dapat dilunasi melalui perjumpaan hutang terhadap kewajiban pembayaran pembelian piutang oleh perusahaan factoring. Kombinasi juga pembiayaan demikian berdasarkan Keppres​​ 61 hanya dapat dilakukan oleh bank yang juga melakukan kegiatan factoring tetapi sepertinya tertutup bagi perusahaan factoring sendiri. Salah satu cara untuk menyediakan pembiayaan yang terkena pajak penghasilan. Dalam hubungan ini kiranya diperlukan penegasan dari segi perpajakan bahwa selisihnya antara harga nominal piutang dan harga piutang dapat diangap sebagai biaya.

Para Pihak dalam Transaksi​​ Factoring

1. Perusahaan​​ Factoring​​ atau juga disebut​​ factor, ​​ atau dalam hubungan dengan pengalihan piutang disebut “cessionaris” ​​ sebagai pembeli serta pengurus piutang.

2. Penjual Piutang atau klien, atau dalam hubungan dengan pengalihan piutang disebut “cedent” sebagai penjual piutang.

3. Debitur Piutang atau dalam hubungan dengan pengalihan piutang disebut “cessus”​​ sebagai debitur piutang yang dialihkan dan yang menjadi objek transaksi factoring.

Dilihat dari pemberitahuan kepada debitur piutang tentang pengalihan piutang perlu dibedakan antara :

Factoring​​ dimana pengalihan piutang diberitahukan kepada debitur piutang; dan

Factoring​​ dimana pengalihan piutang tidak diberitahukan kepada debitur piutang.

Dilihat dari pengalihan piutang perlu dibedakan antara :

Factoring​​ dimana piutang benar-benar dilaihkan; dan

Factoring​​ dimana piutang pada prinsipnya tidak dilaihkan dan hanya piutang yang tidak dapat ditagih, setelah seharusnya dibayar oleh debitur piutang dialihkan kepada perusahaan factoring.

Dari segi penanggungan​​ risiko​​ non pembayaran perlu dibedakan antara :

Factoring​​ dimana perusahaan factoring menanggung sepenuhnya​​ risiko​​ non pembayaran oleh debitur piutang [kecuali pengurangan oleh karena cacad dalam dasar penagihan];

Factoring​​ dimana perusahaan factoring tidak sepenuhnya menanggung​​ risiko​​ non pembiyaan, misalnya tidak menanggung​​ risiko​​ non pembayaran dalam hal kepailitan debitur piutang.

Dilihat dari segi harga pembelian piutang dapat dibedakan antara

Factoring​​ dengan harga pembelian piutang yang melebihi harga nominal piutang tersebut;​​ 

Factoring​​ dengan harga pembelian yang sama dengan harga nominal piutang; dan

Factoring​​ dimana harga pembelian piutang baru dibayar setelah perusahaan factur menerima pembayaran dari debitur piutang.

Penjualan dan Pengalihan Piutang sebagai Inti Transaksi​​ Factoring

Dasar hukum penjualan piutang terdapat dalam Pasal ​​ 1457 jo. Pasal 1533 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1459 hak milik atas piutang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli selama penyerahan belum dilakukan menurut Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan jalan membuat Akte Otentik [notaris] atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas piutang dialihkan kepada orang lain. Penyerahan bagi debitur piutang tidak ada akibat, melainkan setelah penyerajan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis diakuinya. Pemberitahuan terebut seharusnya suatu pemberitahuan resmi, yang berarti pemberitahuan melalui juru sita/panitera pengadilan negeri. Hanya, nampaknya dalam kenyataan hukum pemberitahuan dengan cara lain, asal dapat penerimaan pemberitahuan tersebut dapat dibuktikan atau tidak disangkal oleh debitur piutang, telah dianggap memenuhi persyaratan pemberutahuan tersebut.

Penyerahan piutang yang diadakan antara perusahaan​​ factoring​​ dan penjual piutang bagi kedua pihak tersebut secara efektif terjadi dan berlakus ejak saat diadakan, akan tetapi dalam hubungan antara perusahaan factoring dan debitur piutang hanya dapat diberlakukan terhadap debitur tersebut setelah pemberitahuan dilakukan kepadanya ataus etelah debitur tersebut mengakuinya secara tertulis. Sejak saat itu juga [dalam hal pemberitahuan yang efektif : walaupun debitur piutang tidak mempunyai pengalihan tersebut] ​​ perusahaan factoring bertindak sebagai kreditur baru terhadap debitur piutang. Hal tesrebut membawa akibat bahwa debitur piutang hanya dapat membebaskan diri dari kewajiban pembayaran piutang melalui pembayaran kepada perusahaan factoring sebagai kreditur baru. ​​ Pembayaran kepada kreditur lama setelah pemberitahuan tersebut tidak perlu diakui oleh perusahaan factoring sebagai pemenuhan piutang tersebut. Dalam keadaan ekstrim, dimana debitur [walaupun diberitahukan tentang penyerahan piutang tersebut] tetap membayar kepada kreditur lama yang telah menjual piutangnya, debitur piutang berkewajiban untuk membayar sekali lagi kepada perusahaan​​ factoring​​ sebagai kreditur baru.

Perlu diperhatikan bahwa yang dapat dijual dan dialihkan hanya piutang yang ada. Sejak kapan suatu piutang dapat dianggap ada untuk keperluan penjualan dan pengalihan piutang tersebut, khususnya dalam rangka​​ factoring.

Pada prinsipnya seseorang tidak dapat menjual dan mengalihkan sesuatu yang belum dimilikinya. Hal yang sama pada prinsipnya juga berlaku bagi penjualan dan pengalihan piutang. Suatu piutang yang akan ada secara efektif dapat dijual dan dialihkan.

Dalam kenyataan hukum suatu piutang telah dianggap ada untuk keperluan penjualan apabila dasar hukum yang dapat menimbulkan piutang itu telah ada. Misalnya, sejak suatu perjanjian jual-beli diadakan hak atas harga pembelian yang menjadi hak si penjual telah dapat dijual dan dialihkan, walaupun piutang tersebut telah boleh dijual dan dialihkan, piutang tersebut baru dapat ditagih kemudian sesuai dengan ketentuan perjanjian jual-beli tersebut​​ di atas.

Apabila penjelasan di atas diterapkan pada suatu transaksi factoring, piutang tersebut di atas dapat dijual kepada Perusahaan Piutang sejak perjanjian jual-beli diadakan dan bukan baru sejak barang yang dijual diserahkan atau harga penjualan dapat ditagih.

Walaupun dari segi hukum suatu piutang dapat dijual dan dialihkan dalam kenyataan dunia​​ factoring​​ suatu piutang baru dianggap ada apabila dari segi pembukuan telah dapat dianggap ada atau secara nyata telah dibukukan sebagai piutang.

Hak yang Menyertai Pengalihan Piutang

Penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat pada tagihan itu, akan tetapi juga tangkisan-tangkisan [kecuali misalnya perjumpaan hutang terhadap kreditur lama yang dilakukan setelah pemberitahuan kepadanya tentang pengalihan piutang] ​​ yang secara sah dapat diajukan oleh debitur piutang untuk mengurangi atau sama sekali menolak kewajiban pembayaran tersebut. Lagipula, pada prinsipnya, dengan diadakan penjualan dan piutang,​​ risiko​​ bahwa debitur tidak cukup mampu ditanggung oleh pembeli piutang. Apabila perusahaan factoring tidak bersedia menanggung​​ risiko​​ tersebut, perjanjian​​ factoring​​ harus memuat ketentuan khusus tentang itu.

Pemberitahuan kepada Debitur Piutang

Sehubungan dengan persyaratan pemberitahuan untuk menimbulkan kewajiban pembayaran debitur piutang kepada perusahaan factoring, dalam​​ praktik​​ factoring​​ [di luar negeri] dikenal dua jenis pelaksanaan factoring.

Dalam​​ notification​​ factoring​​ setiap debitur secara resmi diberitahukan tentang pengalihan piutang tesrebut. Dalam​​ non notification factoring​​ pemberitahuan tidak dilakukan, dan oleh karena itu debitur piutang boleh menganggap bahwa penjual piutang tetap krediturnya untuk keperluan pembayaran piutang tersebut.​​ Non notification factoring​​ dilakukan apabila penjual piutang dalam perjanjian-perjanjian dengan para debiturnya dilarang untuk mengadakan pengalihan piutang atau apabila piutangnya telah diberikan sebagai jaminan kepada kreditur-krediturnya. ​​ 

Dari segi hukum timbul pertanyaan : Apakah penjual piutang tetap secara sah boleh menjual piutang walaupun penjualan tersebut telah diberikan sebagai jaminan kepada para krediturnya [misalnya bank]? ​​ Menurut hemat saya baik dari segi hukum maupun dari segi komersial hal itu mengandung​​ risiko​​ yang sangat tinggi. Dalam bentuk yang ekstrem​​ factoring​​ demikian menjurus pada pemberian pinjaman terselubung dengan menggunakan nama​​ factoring. ​​ 

Dalam​​ non​​ notification factoring​​ administrasi penagihan bisa saja dilakukan oleh perusahaan​​ factoring, akan tetapi pembayaran secara​​ yuridis tetap harus dilakukan kepada penjual piutang, dan penjual piutang berkewajiban untuk meneruskan pembayaran tersebut, setelah diterimakannya, kepada perusahaan​​ factoring. ​​ Non-notification factoring​​ dapat menimbulkan kesulitan pula dari segi perpajakan dan pencatatan pembukuan perusahaan​​ factoring​​ dan penjual piutang.​​ Non-notification factoring​​ dapat saja dilakukan apabila keputusan untuk tidak memberitahukan para debitur​​ dilakukan karena alasan administrasi [misalnya : debitur banyak​​ sekali, sedangkan masing-masing piutang relatif kecil sehingga pemberitahuan menelan biaya besar].​​ Non-notification factoring​​ yang tidak didasarkan atas pengalihan hutang atau pengalihan hutang yang bersyarat [terbatas pada piutang yang tidak dibayar] menurut hemat kami tidak termasuk dalam kegiatan factoring sebagaimana dimaksud oleh Keppres​​ 61.

Perjanjian​​ factoring​​ pada prinsipnya tidak menimbulkan suatu hutang di pihak penjual piutang. Keadaannya malah terbalik dengan pengalihan piutang kepada perusahaan​​ factoring, perusahaan factoring menjadi berhutang kepada penjual piutang. Perusahaan​​ factoring​​ biasanya menanggung bahwa debitur piutang tidak membayar, kecuali apabila tidak dibayarnya piutang tersebut terjadi oleh karena debitur piutang berhenti membayar/pailit. Dalam hal kepailitan timbul kewajiban pembayaran kembali harga penjualan utang kepada perusahaan factoring.

Untuk menutup kerugian bahwa debitur piutang tidak membayar piutang tersebut pada waktu harus dibayar atau​​ seharusnya dibayar, perusahaan factoring dapat mensyaratkan bahwa semua tagihan kliennya dialihkan secara global kepada perusahaan​​ factoring. Perusahaan​​ factoring​​ lalu berhak untuk “mengembalikan” tagihan-tagihan tertentu yang dianggapnya sulit untuk ditagih kepada penjual piutang serta menutup kerugian yang timbul sebagai akibat pembayaran di muka kepada penjual piutang dengan pengambilan tagihan lain tanpa pembayaran harga pembelian piutang. Dalam keadaan demikian pun transaksi​​ factoring​​ mirip dengan suatu kredit dengan jaminan piutang.

Perjanjian​​ Factoring

Perjanjian​​ factoring​​ adalah perjanjian antara​​ satu​​ perusahaan​​ factoring​​ dan​​ dua​​ penjual piutang berdasarkan perjanjian mana perusahaan​​ factoring​​ menyediakan pembiayaan kepada penjual piutang melalui pembayaran tunai harga pembelian piutang serta pengurusan penagihan piutang tersebut, dengan atau tanpa pengalihan risiko pemenuhan piutang oleh debitur piutang tersebut dari penjual piutang​​ kepada perusahaan​​ factoring.

Dalam keadaan optimal ada tiga jenis jasa yang diberikan oleh perusahaan factoring : [1] Jasa pembiayaan melalui jual-beli piutang; [2] Jasa pengurusan piutang; dan [3] Jasa risiko non pembayaran [fungsi​​ delcredere].

Secara juridis perjanjian​​ factoring​​ mencakup unsur-unsur beberapa perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu antara lain perjanjian jual-beli [khususnya jual-beli piutang] serta perjanjian melalukan sementara jasa [Pasal 1601 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata] yang masing-masing menghasilkan akibat-akibat hukum tersendiri. Walaupun demikian perjanjian​​ factoring​​ menjurus ke arah jenis perjanjian tersendiri [sui generis].

Pada prinsipnya perjanjian​​ factoring​​ berdasarkan pada azas kebebasan berkontrak. Dalam kaitan dengan Keppres​​ 61, azas kebebasan berkontrak dipersempit oleh karena perusahaan​​ factoring​​ sebagai Lembaga Pembiayaan tidak diperbolehkan melakukan transaksi di luar ruang lingkup izin usahanya, misalnya lembaga​​ factoring​​ sebagai demikian tidak diperbolehkan menyediakan jasa pembiayaan yang hanya boleh dilakukan oleh Bank.​​ Keppres​​ 61 dan peraturan pelaksanaannya belum mengatur ketentuan tentang hal-hal yang harus dimuat dalam perjanjian​​ factoring.

Isi Perjanjian​​ Factoring

Penawaran Penjualan Piutang. Di bawah judul ini penjual menawarkan penjualan terus-menerus piutang-piutang dagangnya, misalnya seorang produsen menawarkan penjualan piutang-piutang sehubungan dengan penjualan hasil produksinya. ​​ Di bawah judul ini juga diatur tentang cara dan persyaratan penjualan piutang-piutang yang akan dijual kepada perusahaan​​ factoring.

Penerimaan Penawaran. Di bawah judul ini ditentukan bahwa perusahaan​​ factoring​​ berhak untuk menerima atau menolak piutang-piutang yang sewaktu-waktu ditawarkan kepada perusahaan​​ factoring. ​​ Sering ditentukan bahwa perusahaan​​ factoring​​ hanya berkewajiban membeli piutang yang ditawarkan oleh penjual piutang apabila dasar hukum piutang tersebut, misalnya kontrak jual-beli, sebelum diadakan telah disetujui oleh perusahaan​​ factoring. Variasi lain​​ adalah bahwa perusahaan​​ factoring​​ berkewajiban membeli piutang tersebut, akan tetapi tidak menanggung risiko non pembayaran.  ​​​​ Apabila piutang tersebut tidak dibayar oleh debitur piutang, penjual piutang menjadi berhutang kepada perusahaan​​ factoring​​ untuk jumlah piutang yang tidak dibayar.

Harga Penjualan Piutang. Di bawah judul ini diatur harga penjualan piutang serta kalkulasinya. ​​ Harga penjualan piutang pada prinsipnya didasarkan atas nilai nominal piutang dikurangi dengan biaya factoring [Factoring Charge], serta suatu jumlah tertentu untuk dana cadangan yang merupakan dana yang dipergunakan oleh perusahaan factoring untuk menutup kerugiannya oleh karena debitur piutang tidak membayar piutang. ​​ Di bawah judul ini juga ditentukan waktu pembayaran harga penjualan piutang yang biasanya merupakan tanggal rata-rata piutang selama satu bulan dapat ditagih [Average Due Date]. ​​ Perlu diingat bahwa bukan maksud perusahaan​​ factoring​​ untuk membayar harga penjualan piutang satu per satu, akan tetapi bahwa piutang-piutang yang dialihkan selama satu periode tertentu [setiap satu bulan] ​​ dikumpulkan dan dibayar pada tanggal-tanggal tertentu seperti dijelaskan di tas. ​​ Dalam hubungan ini dapat ditentukan bahwa penjual piutang dapat memperoleh “uang muka” atas harga pembelian piutang dan persyaratan untuk memperoleh uang muka tersebut. ​​ Uang muka [Initial Payment] dapat ditarik sesuai dengan suatu persentase tertentu dari harga pembelian piutang dengan membayar biaya yang bersifat atau setidak-tidaknya mirip dengan bunga atas pinjaman [Initial Payment Charge].

Dana Cadangan. Di bawah judul ini ditentukan persyaratan dana cadangan yang dipakai oleh perusahaan​​ factoring​​ untuk menutup kerugian non-pembayaran oleh debitur piutang.​​ Ketentuan ini juga memuat ketentuan tentang keadaan-keadaan yang menimbulkan dalam hal apa saja hak perusahaan​​ factoring​​ untuk menggunakan dana cadangan ini.  ​​​​ Dana cadangan berasal dari pengurangan harga penjualan piutang dan mengandung keharusan bahwa sebuah dana cadangan tidak boleh kurang dari suatu persentase tertentu dari harga pembelian piutang yang harus masih dibayar kepada penjual piutang.

Jaminan. ​​ Di bawah judul ini penjual piutang memberikan jaminan-jaminan tentang pitang yang akan dijual kepada perusahaan factoring, misalnya bahwa piutang yang akan dijual bebas dari hak jaminan pihak ketiga, bahwa penjual piutang tidak akan menjual ulang piutang tersebut dan bahwa piutang bebas sengketa. ​​ Jaminan-jaminan tersebut mengurangi risiko non pembayaran oleh debitur piutang yang dibebankan pada perusahaan​​ factoring. ​​ Apabila piutang yang dijual tidak dapat ditagih oleh karena jaminan-jaminan yang diberikan penjual piutang tidak benar, maka penjual piutang berkewajiban menanggung kerugian perusahaan​​ factoring.​​ Kerugian tersebut dapat ditutup dari dana cadangan, dari perjumpaan hutang terhadap kewajiban pembayaran harga pembelian piutang yang berikut, atau dialihkan statusnya menjadi pinjaman dan pembayaran kembali pinjaman tersebut terhutang oleh penjual piutang.

Administrasi Piutang. ​​ Di bawah judul ini diatur ruang lingkup jasa administrasi/ pengurusan piutang oleh perusahaan​​ factoring. ​​​​ Untuk jasa administrasi demikian, penjual piutang dapat dikenakan biaya administrasi tertentu yang dihitung dari saat persentase jumlah piutang yang dijual kepada dan/atau diurus perusahaan​​ factoring. ​​ Ketentuan ini juga mengatur tentang kewajiban laporan kepada penjual piutang tentang keadaan penagihan piutang.

Pembelian Kembali. ​​ Di bawah judul ini diatur kewajiban pembelian kembali piutang penjual piutang dalam keadaan-keadaan tertentu, misalnya apabila ternyata ada perselisihan tentang piutang yang ditagih. ​​ Ketentuan ini juga mengatur tentang harga penjualan kembali yang biasanya sama dengan nilai nominal piutang tersebut, jadi berarti lebih tinggi dari harga pembelian piutang yang telah dibayar oleh perusahaan​​ factoring​​ kepada penjual piutang.

P e n u t u p

Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO mutlak harus mematuhi ketentuan-ketentuan WTO. Para pelaku bisnis atau profesional yang menggeluti bisnis dalam lingkup negara-negara yang tergabung anggota WTO tidak bisa lepas dari ketentuan-ketentuan WTO tersebut.​​ 

Oleh karena itu ketentuan-ketentuan WTO harus dipahami untuk mendorong terciptanya bisnis dalam pasar global dan hanya dengan itu pelaku bisnis atau profesional dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam era globalisasi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia, Schedule of Commitments Indonesia : Sub-Sektor Perbankan, Jakarta : Enquiry Point Urusan Hukum dan Kesekretariatan Bank Indonesia, 1996.

Ehrenberg, Daniel ​​ S., “The Labor Link : Applying the International Trading System to Enforce Violation of Forced and Child Labor,” dalam GATT Activities 1991, 20 Yale J. Int’l, 1995.

Kartadjoemana, H.S., GATT dan WTO, Jakarta : UI - Press, 1996.

Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.

Rajagukguk, Erman, Hukum Bisnis, Diktat Kuliah Program Pasca Sarjana Master of Business Administration, Jakarta : Universitas Pancasila, 1993.​​ 

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tanggal ​​ 12 Mei 1999 tentang Bank Umum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

STRATEGI DAN ETIKA INVESTASI PORTOFOLIO

ANTARA​​ RISIKO​​ DAN PROFIT

Peranan pasar modal dalam kegiatan sektor keuangan merupakan salah satu upaya untuk memperoleh sumber pembiayaan bagi dunia usaha. Oleh karena itu, pemanfaatan peranan pasar modal tersebut diharapkan dapat memperbaiki struktur permodalan dunia usaha. Dalam usaha untuk mengembangkan pasar modal, maka diundangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasal Modal [UUPM] yang berupaya mewujudkan kegiatan pasar modal yang teratur, wajar dan efisien, disamping mengatur persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang melakukan kegiatan di bidang pasar modal dan ketentuan mengenai sanksi administratif ​​ bagi ​​ pihak-pihak tertentu yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang tersebut.

Disamping itu, dalam rangka memberikan peluang yang lebih luas bagi pemodal kecil untuk berinvestasi di pasar modal perlu dibentuk wahana yang tepat, yang dalam hal ini melalui pembentukan Reksa Dana [mutual fund], baik yang bersifat terbuka maupun tertutup. Masyarakat pemodal melakukan investasi dengan cara membeli saham Reksa Dana yang berbentuk perusahaan atau membeli unit penyertaan Reksa Dana yang berbentuk kontrak.

Dana masyarakat yang telah dihimpun kemudian diinvestasikan dalam bentuk​​ portofolio​​ yang pelaksanaannya dilakukan oleh Manajer Investasi yang profesional. Masyarakat pemodal setiap saat dapat menjual kembali unit penyertaan atau saham Reksa Dana yang bersifat terbuka yang harganya dihitung berdasarkan nilai kekayaan bersih [net asset value]. Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki saham Reksa Dana bersifat tertutup, mereka dapat menjual saham tersebut di Bursa yang harganya didasarkan pada kekuatan permintaan dan penawaran yang sama halnya dengan saham perusahaan lain yang tercatat di Bursa.

Salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan suatu peraturan pelaksanaannya yang berhubungan dengan tata cara dan persyaratan pengajuan izin untuk melakukan usaha sebagai Reksa Dana.

Dalam Pasal 1 butir 27 UUPM tersebut disebutkan Reksa Dana adalah wahana yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan kembali dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Sedangkan menurut Pasal 1 butir 11 UUPM manajer investasi adalah pihak yang kegiatannya usahanya mengelola portofolio efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Landasan Yuridis Reksa Dana

Pengertian Reksa Dana sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh Manajer Investasi. Reksa Dana merupakan salah satu pilihan untuk berinvestasi yang dapat ​​ dilakukan dengan mudah di pasar modal. Dana dihimpun secara kolektif dengan cara menerbitkan saham/unit penyertaan kepada individu dan lembaga yang kemudian diinvestasikan ke dalam suatu portofolio yang terdiri dari efek pasar uang yang terpilih dan dikelola oleh Manajer ​​ Investasi.

Di dalam ​​ upaya menumbuhkan minat pemodal menengah dan kecil untuk melakukan investasi di pasar modal, di dalam UUPM dimuat 12 pasal tentang ketentuan di bidang Reksa Dana. Bentuk hukum Reksa Dana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 adalah perseroan dan atau kontrak Investasi Kolektif. Reksa Dana secara umum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

  • Mempunyai kekayaan dan kewajiban.

  • Menerbitkan saham/unit penyertaan dalam rangka pengumpulan dana.

  • Memperoleh ​​ pendapatan yang bersumber dari dividen, bunga dan kapital gain.

  • Pengelolaan kekayaan dilakukan oleh Manajer Investasi.

  • Penyimpangan dan pengadministrasian kekayaannya dilakukan oleh bank kustodian.

Bentuk Hukum dan Sifat Reksa Dana

Reksa Dana dapat didirikan dalam bentuk hukum perseroan atau kontrak investasi kolektif [KIK]. Pilihan bentuk hukum menentukan sifat-sifat Reksa Dana berbentuk ​​ perseroan dapat bersifat tertutup atau terbuka, sedangkan yang berbentuk KIK hanya bersifat terbuka. Dalam Reksa Dana terbuka, Manajer Investasi membeli kembali saham atau unit penyertaan [Pasal 19 ayat [20 JO Pasal 20 ayat [2]. Pengecualian dari kewajiban untuk membeli sahamunit penyertaan oleh Manajer ​​ Investasi, jika terdapat hal-hal sebagai berikut :

  • Bursa efek di mana sebagian besar portofolio efek Reksa Dana diperdagangkan ditutup.

  • Perdagangan ​​ effek atas sebagian besar portofolio efek Reksa Dana di Bursam Efek dihentikan.

  • Keadaan darurat

  • Terdapat hal-hal lain yang ditetapkan dalam kontrak pengelolaaan​​ investasi setelah mendapat persetujuan Bapepam.

Reksa Dana ​​ yang berbentuk perseroan wajib mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas berlaku bagi Reksa Dana perseroan yang mempunyai ciri-ciri khusus, berdasarkan ketentuan Pasal 127 UUPT diberikan kemungkinan untuk mengatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan Pasar Modal. Ciri-ciri khusus dari Reksa Dana perseroan yang ditegaskan dalam UUPM antara lain :

Pembentukan Reksa Dana perseroan dapat dilakukan oleh Perusahaan Efek yang telah memperoleh ijin usaha sebagai Manajer Investasi. Manajer Investasi cukup mengajukan “pernyataan pendaftaran” dalam rangka Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif sebagaimana diatur dalam peraturan nomor IX.C.5.

Berdasarkan UUP yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1996 Kontrak Investasi Kolektif [KIK] adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemodal [Pemegang Unit Penyertaan], dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif. Tidak seperti halnya Reksa Dana berbentuk perseroan yang merupakan badan hukum yang berdiri sendiri yang didirikan khusus sebagai Reksa Dana berbentuk KIK bukan merupakan badan hukum.

Dalam Reksa Dana yang berbentuk KIK, akta pembentukannya memuat tugas dan kewajiban Manajer Investasi, Bank Kustodian dan hak pemegang unit penyertaan. Akta kontrak investasi kolektif yang dibuat oleh Manajer Investasi dengan Bank Kustodian tersebut mengikat pemodal yang bertujuan untuk melindungi kepentingannya. Berkenaan dengan itu Bapepam telah mengeluarkan peraturan nomor IV.B.2 tentang pedoman kontrak Reksa Dana berbentuk KIK.

Pengelolaan Reksa Dana

Dari definisi Reksa Dana di atas dapat disebutkan bahwa Reksa Dana merupakan suatu wadah investasi yang didesian terutama bagi para pemodal yang hanya mempunyai modal pengetahuan serta waktu yang terbatas. Para pemodal tinggal menanamkan dananya ke dalam Reksa Dana yang dipilihnya, selebihnya dana yang telah terhimpun secara kolektif tersebut oleh Manajer Investasi akan dikelola secara profesional dengan ditransaksikan terhadap berbagai portofolio efek yang sebelumnya telah melalui proses penganalisaan serta riset yang mendalam. Tugas Manajer Investasi selaku pengelola dana Reksa dan tertuang dalam Pasal 21 ayat [1] UUPM : “Pengelolaan Reksa Dana baik yang berbentuk Perseroan maupun yang berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, dilakukan oleh Manajer Investasi berdasarkan kontrak.”

Dalam Pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif [KIK] terdapat 2 lembaga yang memainkan peran utama yaitu Manajer Investasi dan Bank Kustodian. Manajer Investasi yang mengelola dana dengan menempatkan pada instrumen pasar modal atau pasar uang sebagaimana ditentuakan dalam Pasal 21​​ ayat [3] UUPM, sedangkan berdasarkan Pasal 26 ayat [2] UUPM Bank Kustodian menyimpan dan mengadministrasikan seluruh kekayaan Reksa Dana yang didasarkan pada kontrak antara Bank Kustodian dan Manajer Investasi. Terhadap kontrak pengelolaan Reksa Dana yang berbentuk Perseroan berdasarkan pasal 21 ayat [2] UUPM dilakukan atas dasar hubungan kontrak antara Direksi dengan Manajer Investasi. Sedangkan untuk penyimpanan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 ayat [1] UUPM didasarkan pada kontrak antara Direksi dengan Bank Kustodian.  ​​​​ 

Pertanggungjawaban Manajer Investasi

Untuk memahami sebagian dari Reksa Dana, perlu diamati Pertanggungjawaban Manajer Investasi, sebagaimana ditulis Paul F. Roye [Direktur pada​​ Division of Investment Management U. S. Securities and Exchange Commission] dalam tulisannya; “Speech by SEC Staff: Mutual Fund Management: Taking Responsibility, Maintaining Trust and Influencing Positive Change.

Pertama, Pertanggungjawaban Manajer Investasi berkaitan dengan dana. Dana tersebut yang merupakan kesatuan terpisah dengan pegawai, di mana pengoperasiannya adalah ​​ satu- satunya peertanggungjawaban oleh manajemen ​​ pihak luar itu sendiri dan Dewan Direksi. Lebih dari sekedar memilih saham untuk pendanaan, manajemen, bekerja dengan dana dari Dewan Direksi, menyediakan dana dengan arahan, hubungan baik dengan para investor, mendirikan struktur biaya pendanaan dan menjamin pengantaran jasa yang telah dijanjikan.​​ 

Pendanaan manajemen yang baik juga memerlukan pertanggungjawaban pada tingkat yang lebih tinggi, masuk kepada masalah yang pasti yang berhadapan dengan pendanaan dan industri sebagai keseluruhan. Telah dijumpai beberapa​​ contoh pendanaan manajemen dan​​ industri memerlukan pertanggungjawaban​​ dan mendirikan standard-standard dengan maksud untuk menyelesaikan masalah bagi keuntungan dari pendanaan investor.

Misalnya, pada tahun 1994 di Pasar Modal Amerika Serikat, industri dibentuk sebagai​​ Advisory Group​​ secara khusus pada penanaman modal secara pribadi pada klaim terhadap pendanaan manajemen yang memiliki jumlah grup manajer yang kecil telah memperdagangkan sekuritas untuk rekening pribadi mereka untuk mengatasi pengelolaan dana mereka Industri pada​​ Advisory Group​​ menyiapkan laporan yang ditujukan kepada conflict of interest, diasosiasikan dengan perdagangan pribadi melalui grup manager dan direkomendasikan sejumlah “praktisi terbaik” untuk diikutsertakan. Saat ini, pendanaan inustri secara luas direkomendasikan pada laporan​​ Advisory Group.​​ 

Pada tahun 1999, industri menciptakan​​ Advisory Group​​ khusus yang lain untuk direkomendasikan praktek terbaik untuk pendanaan direksi. Pada pertumbuhan industri yang cepat pada akhir 1990- an,​​ Commission​​ [SEC] dan pendanaan industri mengubah perhatian mereka kepada pendanaan sistem pemerintahan dan peranan direksi yang independen dengan maksud untuk mengusahakan kepastian bahwa direksi yang independen agar memiliki peralatan di tempat supaya mereka dapat menjadi pengawas yang efektif. Berdasarkan ini,​​ Advisory Group​​ mempermasalahkan draft laporan sejumlah pendanaan pada pemerintahan “Praktisi terbaik.” Lagi, pendanaan merangkul para praktisi terbaik pada​​ Advisory Group​​ yang telah direkomendasikan.​​ 

Data terbaru, AIMR mengajukan Perdagangan Manajemen untuk investasi perusahaan manajemen agar mempertimbangkan pada saat melaksanakan perdagangan sebagai wakil dari klien mereka. Ini merupakan usaha yang penting untuk membantu para penasihat dalam mengembangkan kerangka dasar yang konstruktif untuk pelaksanaan kebijaksanaan terbaik mereka dan prosedur- prosedurnya. Seperti yang anda tahu,​​ pelaksanaan terbaik merupakan tugas dari setiap manager keuangan kepada kliennya dan juga sebagai minat pada masalah terakhir yang substansial pada Komisi dan juga para stafnya.​​ 

Contoh lain yang dapat kita ambil pada pendanaan industri yang melaksanakan tanggungjawabnya sebagai perwakilan dari para investor terjadi setelah peristiwa 11 September. Menyusul dengan terjadinya kehancuran yang hebat setelah peristiwa 11 September, pendanaan industri bekerja sama dengan para regulator dan, yang terpenting, bekerja sama dengan satu sama lain dengan posibilitas untuk memutar kembali dana untuk mengoperasikan dengan gangguan yang minim kepada para investor. Penyebaran informasi ICI kepada para anggotanya dan mengkomunikasikan kepada kita dan membentuk respon pada peristiwa- peristiwa. Tim pendanaan manajemen bertanggungjawab terhadap bank- bank dengan staf ekstra untuk menghapuskan ketegangan dari para pemegang saham, dan kompetitor sebelumnya membuka pintunya dan pada beberapa kasus, sistem perdagangan mereka menyediakan ruang dan kemampuan teknis kepada perusahaan yang telah menderita kerugian yang signifikan pada​​ World Trade Center. Kepentingan, dedikasi, dan kemurahan hati pada pendanaan industri, pendanaan investor yang aman yang mengetahui bahwa simpanan mereka telah ditangani secara bertanggungjawab pada kebangkitan atas kerusakan yang besar dan ketidakpastian.​​ 

Sebagai hasil dari peristiwa 11 September , pendanaan manajemen saat ini memerlukan tanggungjawab pada beberapa area lainnya. Kunci dari suatu area merupakan perencanaan yang tiba- tiba. Bidang industri harus bangga terhadap seberapa baik dan seberapa cepat mereka merespon terhadap gangguan dan kerusakan. Bagaimanapun juga, saya tidak berpikir bahwa suatu perusahaan tidak menyadari beberapa perkembangan​​ yang dapat dibuat pada rencana-rencana yang mendadak sebagai suatu hasil dari kejadian sesungguhnya pada 11 September. Perencanaan yang mendadak tidak hanya penting bagi perusahaan anda, ini juga penting terhadap sekuritas dan keyakinan terhadap pendanaan investor anda. Secara konsekuen, seluruh pendanaan perusahaan seharusnya memiliki perencanaan yang bersifat mendadak untuk mempertahankan fungsi dari sebuah perusahaan demi kebangkitan alamiah atau bencana lainnya. Pada saat memimpin penelitian sebuah pendanaan, staf inspeksi kami akan memfokuskan pada prosedur perencanaan pendanaan yang tiba- tiba. Ada pula penyediaan jasa seperti misalnya jasa pemberian harga, agen- agen transfer, Peradilan, dan pendanaan administrasi yang mana pendanaan tersebut bergantung​​ pada fungsi pada basis sehari-hari. Secara kolektif, kita harus bekerja untuk dapat memastikan di mana kerapuhan mereka.kami akan menanyakan beberapa pertanyaan dan begitu pula dengan penyediaan jasa.​​ 

Pertumbuhan lainnya pada peristiwa 11 September adalah fokus pada usaha anti-​​ Money Laundering. Pada kebangkitan peristiwa tragedi 11 September dan jalan dari Undang- undang Patriot USA, pendataan dan penyediaan jasa memerlukan peranan aktivis dengan penghargaan kepada usaha pemerintah yaitu Anti-​​ Money Laundering. Berdasarkan hal ini, kami bekerja dengan​​ Treasury Department​​ untuk mengembangkan satu peraturan dengan mempertimbangkan pendirian kebijaksanaan dan prosedur Anti-​​ Money Laundering, yang mana harus ditempatkan pada 24 April. Pada tingkat minimum, peraturan itu akan membutuhkan orang terpilih, pelaksanaan training Anti-​​ Money Laundering​​ dan prosedur- prosedur itu nantinya akan diuji. Saya mengerti bahwa akan ada fokus tambahan pada penelitian Anti-​​ Money Laundering​​ nantinya di konferensi.​​ 

Akhirnya peristiwa 11 September sekali lagi menyoroti tentang estimasi dalam praktek- praktek. Estimasi pendanaan pada kewajiban- kewajiban termasuk memonitor efek dari perkiraan pada kejadian-kejadian yang signifikan. Peristiwa 11 September membuka mata kita semua atas kejadian alami yang tidak terduga sehingga memepengaruhi pasar kita sendiri, sebagaimana halnya dengan pasar luar negeri. Saya telah membicarakan keutamaan tentang kepercayaan pada pendanaan industri. Estimasi, sepertinya merupakan suatu area penting yang harus memberikan kenyamanan pada investor sehingga mereka dapat menaruh kepercayaan kepada​​ manager dan Dewan Direksi. Jika seorang investor tidak mempercayai dana yang ditanamkannya, seorang investor dapat saja merasa tidak yakin untuk menyerahkan keikutsertaannya atau simpanan lainnya kepada pendanaan. Para investor harus mengetahui bahwa harga yang mereka beli merupakan atau bagian dari keuntungan yang adil dan mengandung nilai yang akurat yang didapat dari laba pendanaan. Pendanaan industri menyadari kritikan alamiah terhadap perkiraan yang pantas. Pada tahun 1997, industri, melalui ICI, menerbitkan paper tentang estimasi dan likuiditas untuk keuntungan pendanaan. ICI belakangan ini diikuti dengan tambahan pada paper ini, lagi- lagi menyediakan kegunaan dan bimbingan praktis terhadap industri.​​ 

Sementara pendanaan industri secara umum telah bertanggungjawab dalam penilaian grup pendanaan, beberapa pelaksanaan penegakan mengindikasikan bahwa masih terdapat perkembangan-perkembangan yang harus dibuat. Saya pribadi mendorong kepada semua pendanaan manajer untuk mengevaluasi prosedur estimasi perusahaan mereka dengan melihat ke depan untuk memastikan bahwa prosedur- prosedur tersebut memiliki efek dalam membangun kepercayaan investor dalam persamaan estimasi pendanaan.​​ 

Dengan bertindak cepat dan penting, bertindak untuk keuntungan para investor, pendanaan industri telah mendukung reputasi mereka sebagai kesatuan dari industri.

Penutup

Pesatnya pertumbuhan Reksa Dana sekarang ini yang juga merupakan dorongan dari pihak Perbankan perlu ditindaklanjuti dengan pengaturan yang jelas, baik oleh Badan Pengawas Pasar Modal [BAPEPAM] maupun oleh Bank Indonesia. Oleh karena, dalam Reksa Dana yang dilakukan oleh pihak perbankan harus jelas dan investor mengetahuinya​​ bahwa​​ risiko​​ berinvestasi di Reksa Dana berbeda dengan Deposito. Oleh karena, berinvestasi di Reksa Dana tidak dijamin oleh pemerintah sebagaimana penjaminan pemerintah terhadap dana nasabah penyimpan dalam perbankan [Blanket Guarantee].​​ 

INDONESIA PASCA IMF :​​ 

PERLU MEMERANKAN HUKUM DALAM PEMULIHAN EKONOMI

Keluarnya TAP MPR No. VI Tahun 2002 pada ST MPR 2002 yang menentukan pemerintah mesti mengakhiri kontrak kerjasama dengan IMF, telah mengakhiri wacana masih perlukah IMF untuk meningkatkan daya tahan ekonomi Indonesia. Berkenaan dengan itu keluar pula Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama Dengan IMF, yang menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Kesehatan, Menteri Penndidikan Nasional, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, Sekretaris Negara, Jaksa Agung Republik Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian​​ Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Para Gubernur, Para Bupati/Walikota, untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :

  • Melaksanakan kebijakan ekonomi menjelang dan sesudah berakhirnya program kerjasama dengan​​ International Monetary Fund​​ [IMF] dengan sasaran pokok :​​ 

    • memelihara dan memantapkan stabilitas ekonomi makro,

    • melanjutkan restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan, dan

    • meningkatkan investasi, ekspor dan penciptaan lapangan kerja.

  • Dalam pencapaian sasaran pokok sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama, agar memperhatikan program-program sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Instruksi Presiden ini sebagai pedoman kebijakan ekonomi menjelang dan sesudah berakhirnya program kerjasama dengan IMF.

  • Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, dalam rangka pelaksanaan program-program sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama.

  • Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengkoordinasikan kegiatan yang dilaksanakan oleh para Menteri/Kepala Lembaga Non Departemen serta Jaksa Agung Republik Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai lingkup koordinasinya.

  • Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bertanggung jawab atas pemantauan pelaksanaan Instruksi Presiden ini dan melaporkan secara berkala kepada Presiden.

  • Untuk kelancaran pelaksanaan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam diktum kelima, Menteri Koordinator Bidang ​​ Perekonomian membentuk Tim Pemantauan.

  • Menteri Koordinator Bidang Perekonomian melakukan koordinasi dengan Gubernur Bank Indonesia dalam hal pelaksanaan Instruksi Presiden ini berkaitan dengan bidang tugas dan kewenangan Bank Indonesia.

  • Agar melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh tanggung jawab dan melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Presiden secara berkala.

Pemulihan Ekonomi

Krisis ekonomi Indonesia antara lain karena terjadinya​​ moral hazard​​ diberbagai sektor ekonomi dan politik.1​​ Di samping itu, terdapat pula pendapat bahwa penurunan ekonomi Indonesia disebabkan oleh hancurnya dunia perbankan di Indonesia.​​ Apabila diamati lebih mendalam, maka akar penyebab masalah [root of causes] dari krisis yang terjadi tersebut terdiri dari lima faktor.​​ Pertama, boom​​ investasi swasta pada tahun 1990an dan timbulnya​​ asset bubbles​​ yang dipicu oleh adanya anggapan kredit luar negeri murah yang sebagian besar dalam bentuk utang jangka pendek bank kepada lembaga keuangan dan perusahaan.​​ Kedua,​​ semakin membesarnya defisit transaksi berjalan yang terjadi berdasarkan rejim nilai tukar tetap atau hampir tetap.​​ Ketiga,​​ menurunnya produktivitas investasi yang dimanifestasikan dalam peningkatan yang cepat​​ incremental capital-output ratios​​ [ICOR], dan melemahnya daya saing produk ekspor.​​ Keempat,​​ lemah dan tidak memadainya peraturan sistem lembaga keuangan sehingga tidak dapat secara berhati-hati [prudent] menyerap pertumbuhan risiko kredit dan harga domestik yang cepat.​​ Kelima,​​ tidak transparannya praktik dan pengelolaan [practices and governance]​​ perusahaan.2Oleh karena itu dalam pemulihan ekonomi berkenaan dengan penyebab krisis ekonomi itu adalah menerapkan prinsip-prinsip​​ good corporate governance​​ dan​​ good governance.​​ Mengapa? Prinsip-prinsip ​​ good corporate governance,​​ seperti​​ fairness,​​ transparansi, pertanggung jawaban dan tanggung jawab tepat diterapkan untuk mengatasi munculnya pengelolaan yang salah dalam perusahaan. Sedangkan penerapan prinsip-prinsip​​ good governance​​ akan pula membuat pengelolaan pemerintah akan menganut prinsip moral.

Good Corporate Governance

Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms menguraikan istilah “pengelolaan perusahaan” ​​ [“corporate governance”] dari Ira M. Millstein, “The Evolution of Corporate Governance in the United States,” yang dibacakan di depan Forum Ekonomi Dunia, di Davos, Swiss pada tanggal 2 Februari 1998, dimana dikatakan bahwa istilah “pengelolaan perusahaan” memiliki banyak definisi. Istilah tersebut dapat mencakup segala hubungan perusahaan, yaitu hubungan antara modal, produk, jasa dan penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas.3

Istilah pengelolaan perusahaan juga dapat mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan untuk dapat dipertanggungjawabkan di depan para pemegang saham perusahaan publik, seperti juga audit juga kerja dari pasar untuk mengkontrol perusahaan. Istilah itu dapat juga mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu kepada keaktipan pemegang saham.4​​ 

Secara lebih sempit, istilah pengelolaan perusahaan dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dari dewan direksi. Adapun sebutan yang tepat untuk definisi ini adalah pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan antara manajer perusahaan dan pemegang saham, didasarkan pada suatu pandangan bahwa dewan direksi merupakan agen para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan untuk dikelola guna kepentingan perusahaan tersebut. Secara singkat, istilah pengelolaan perusahaan tersebut oleh Gregory dan Simms diuraikan dengan pandangan definisi luas dan terbatas. Secara terbatas, istilah tersebut berkenaan dengan hubungan antara manajer, direktur dan pemegang saham perusahaan. Istilah tadi juga dapat mencakup hubungan antara perusahaan itu sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat. Sedangkan, secara luas istilah pengelolaan perusahaan dapat meliputi kombinasi hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktik pribadi yang memungkinkan perusahaan menarik modal masuk, berkinerja secara efesien, menghasilkan keuntungan dan memenuhi ​​ harapan masyarakat secara umum dan sekaligus kewajiban hukum.5

Grup Penasehat Bisnis Sektor​​ Organization for Economic Coorperation and Development​​ [OECD] mengenai Pengelolaan Perusahaan membuat satu laporan mengenai prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan [corporate governance] dari pandangan sektor swasta dengan menitikberatkan pada “apa yang diperlukan oleh suatu pengelolaan untuk menarik modal.”Laporan tersebut diketuai​​ oleh, Ira M. Millstein [“Laporan Millstein”].6 ​​​​ Dalam Laporan Millstein itu disebutkan, intervensi pemerintah dalam masalah pengelolaan perusahaan adalah cara yang paling efektif dalam rangka menarik modal, jika intervensi tersebut terfokuskan pada empat bidang. Salah satu bidang diantara tiga bidang lainnya adalah bidang transparansi. Tiga bagian lainnya ​​ ialah,​​ Pertama, pemastian adanya perlindungan atas hak–hak pemilik saham minoritas dan​​ asing, dan pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya/bahan.​​ Kedua, pengklarifikasi peran dan tangung jawab pengelolaan serta usaha-usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham untuk diawasi ​​ oleh dewan direksi.​​ Ketiga, pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat dalah bidang “transparansi,”7​​ yang sekaligus menjadi salah satu prinsip OECD dalam pengelolaan perusahaan.8 ​​​​ Prinsip transparansi tersebut menyatakan, bahwa ​​ “kerangka pengelolaan perusahaan harus dapat memastikan bahwa pengungkapan informasi yang akuran atau tepat dilaksanakan berkaitan dengan materi yang menyangkut perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan dan kepemimpinan dari suatu perusahaan.”9

Berkaitan dengan prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan yang baik oleh OECD tersebut, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia dibuat Bapepam, juga menetapkan strategi pengembangan pasar modal. Salah satu strategi yang ditekankan, bahwa agar​​ good corporate governance​​ dapat dimengerti dan diterapkan dengan baik, maka perlu dicermati kajian yang dilakukan oleh OECD terhadap prinsip-prinsip utama​​ good corporate governance, termasuk prinsip keterbukaan.10​​ Upaya mencapai​​ good corporate governance​​ tersebut, juga sesuai dengan pernyataan Bapepam, bahwa salah satu penyebab rentannya perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap gejolak perekonomian adalah lemahnya penerapan​​ good corporate governance​​ dalam pengelolaan perusahaan.11

Fungsi Transparansi

Prinsip “transparansi” [selanjutnya disebut “keterbukaan”] penting untuk mencegah penipuan [fraud] atau KKN. Sangat baik untuk dipahami ungkapan yang pernah diungkapkan Barry A.K Rider: “sun light is the best disinfectant and electric light the policeman.” Dengan perkataan lain, Rider mengatakan bahwa “more disclosure will inevitably discourage wrongdoing and abuse.12​​ 

Selanjutnya, dia menyatakan bahwa dalam pasar keuangan pendapat tersebut tidak perlu lagi dibuktikan, tetapi lebih banyak tergantung informasi apa yang harus diungkapkan dan kepada siapa informasi itu disampaikan.13 ​​​​ Fungsi prinsip keterbukaan untuk mencegah penipuan tersebut adalah pendapat yang paling tua.14

Dengan demikian prinsip keterbukaan menjadi isu utama yang harus dikaji. Prinsip keterbukaan sekarang ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah merupakan sejarah yang panjang dalam kegiatan perusahaan atau dunia pasar modal.​​ 

Untuk lebih memahami pembenaran prinsip keterbukaan tersebut, dapat diikuti pengamatan Coffee tentang perlunya sistim keterbukaan wajib [mandatory disclosure system], dimana dengan teori yang lebih sederhana ia dapat menjelaskan bagaimana sistim keterbukaan difokuskan. Coffee, Jr mengatakan, bahwa ada dasar substansial untuk dipercaya bahwa ketidakefisienan yang lebih besar akan terjadi tanpa sistim​​ keterbukaan wajib, karena biaya sosial yang berlebih akan dikeluarkan investor untuk mengejar laba perusahaan.15​​ 

Pengamatan Coffee tentang perlunya mempertahankan sistim keterbukaan wajib tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerapan keterbukaan bagi perusahaan swasta maupun BUMN/BUMD. Gunanya untuk mengatur pemberian informasi mengenai keadaan keuangan dan informasi lainnya kepada investor atau​​ stakeholders.16 ​​​​ Dengan perkataan lain, tujuan yang ingin dicapai ketentuan penerapan keterbukaan itu adalah untuk menhasilkan dokumen yang menceritakan kepada investor atau​​ stakeholders,​​ mengenai berbagai hal yang seharusnya diketahui oleh mereka.​​ 

Dengan pemberian informasi berdasarkan prinsip keterbukaan itu, maka dapat diantisipasi terjadinya kemungkinan investor atau​​ stakeholders​​ tidak memperoleh informasi atau fakta materiel. Sebaliknya, informasi itu juga sangat berfungsi karena berisi fakta materiel, yang dapat dibuat sebagai bahan untuk memberantas KKN dalam perusahaan swasta maupun BUMN/BUMD. ​​ ​​ 

Standar Pemeriksaan Keuangan Perusahaan Publik

Kejadian yang menimpa beberapa perusahaan publik dan dunia akuntan di pasar modal Amerika Serikat, yang pada mulanya ​​ dipicu dengan indikasi​​ misrepresentation​​ dalam laporan keuangan, seperti yang terjadi pada kasus Erron Corporation, Xerox, WordCom dan Merc, perlu dicermati. Oleh karena, setelah kejadian-kejadian tersebut telah munculkan berbagai pendapat yang mengarah pada perlunya ditinjau kembali standar pemeriksaan keuangan oleh akuntan. Walaupun selama ini di pasar modal Amerika Serikat dianggap telah mempunyai standar yang ketat, namun tuntutan lebih memperketat standar tersebut telah menjadi wacana. Memang. masalah standar itu telah lama dibicarakan dalam pasar modal di Amerika Serikat, dimana disebutkan bahwa ​​ Akuntan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal tidak bebas bekerja tanpa suatu standar. Menurut Marc I Steinberg, para akuntan tetap dituntut bekerja dengan sangat hati-hati untuk melihat informasi yang diberikan emiten pada waktu due diligence sesuai dengan yang telah dalam “penelitian yang cukup” [“reasonable investigation”].​​ Standar reasonable investigation didasarkan pada standar berakal sehat dan bijaksana dalam mengurus harta milik pribadi [prudent man in the management of his own property]. Steinberg menyebutkan pula, bahwa standar​​ prudent man​​ tidak hanya didasarkan kepada investigasi yang wajar, tetapi juga kepada kepercayaan yang wajar.​​ 

Di Indonesia, standar pemeriksaan keuangan perusahaan di pasar modal sebagai dasar penerapan pertanggungjawaban akuntan yang melakukan pemeriksaan keuangan perusahaan masih belum cukup. Sedangkan permasalahan berkenaan dengan standar akuntansi tersebut paling perlu untuk mendapat perhatian. Penekanan terhadap permasalahan standar akuntansi itu sesuai dengan adanya pertanyaan yang berkembang pada sekitar pemberlakuan standar akuntansi bagi perusahaan yang akan go public.

Pernyataan Menyesatkan

Pernyataan menyesatkan, sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan prinsip keterbukaan. Sebab pada umumnya pelanggaran peraturan prinsip keterbukaan terdiri dari pernyataan menyesatkan yang disebabkan adanya​​ misrepresentation. ​​​​ Dalam pandangan hukum pasar modal pelanggaran peraturan prinsip keterbukaan tersebut dikategorikan sebagai penipuan [fraud].​​ 

​​  Pelanggaran prinsip keterbukaan, yaitu pernyataan menyesatkan dalam bentuk​​ misrepresentation,​​ dapat​​ terjadi apabila ada pernyataan yang secara jelas tidak sesuai dengan fakta. Artinya, pernyataan tersebut tidak benar sesuai dengan fakta dan terdapat suatu gambaran yang salah atau gambaran yang diterima oleh investor tersebut menciptakan suatu kondisi yang berlainan dengan keadaan yang sebenarnya, seperti perbuatan-perbuatan yang memberikan gambaran yang salah terhadap kualitas emiten, manajemen, potensi ekonominya, saham-saham yang ditawarkan atau fakta materiel. Oleh sebab itulah​​ misrepresentation​​ adakalanya disebut juga dengan​​ misstatement, yaitu suatu perbuatan yang membuat pernyataan yang salah, khususnya berkaitan dengan data internal yang dapat menyesatkan bagi investor. Selain itu, pernyataan menyesatkan juga dapat muncul karena adanya​​ omission,​​ yaitu perbuatan penghilangan informasi fakta materiel, baik dalam dokumen-dokumen maupun dalam perdagangan saham. Dengan demikian pelanggaran prinsip keterbukaan dalam bentuk “pernyataan menyesatkan” harus dipertanggungjawabkan secara hukum.​​ 

Dalam konteks dunia perbankan harus menetapkan empat prinsip umum​​ good corporate governance, yaitu prinsip keadilan [fairness],​​ keterbukaan [transparency],​​ tanggungjawab [accountability] dan pertanggungjawaban [responsibilty] dalam pengelolaan perbankan.​​ Berkaitan dengan prinsip-prinsip​​ good corporate governance,​​ maka bank ​​ sebagai jantung dan motor penggerak perekonomian suatu negara,17​​ harus mengupayakan pelaksanaannya dalam kegiatan bank. Hal ini mengingat pentingnya bank tersebut. William A. Lovett mengatakan: “Bank and financial institutions collect money and deposits from all elements of society and invest these funds in loans, securities and various other production assets.”18 ​​​​ 

Pentingnya bank, juga dapat Beberapa hal dari bisnis yang dianggap paling menarik dapat diamati antara lain, bahwa bisnis tersebut dimulai dan didanai oleh masyarakat atau badan-badan atau bisnis tersebut pada awalnya berkembang dengan pemberian kredit pemasok [supplier credit] dan diikuti dengan pendanaan dari bank.19

Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsi utama bank, yaitu untuk memobilasi dana masyarakat dan menyalurkan dana tersebut dalam bentuk kredit kepada penggunaan atau investasi yang efektif dan efisien, perlu didukung peraturan yang cukup yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip​​ good corporate governance.​​ 

Pembahasan ini perlu mengingat pengaturan antara industri perbankan dan kegiatan perbankan tidak dapat dipisahkan. Ingo Walter mengatakan, “…small changes in financial regulation can bring about trully massive changes in financial activity….”20​​ Selanjutnya, tujuan pengaturan industri perbankan untuk menjaga keamanan [safety] bank dan pengaturan pemberian kredit,21​​ agar dapat dipastikan bank dapat secara tepat dan cepat menjalurkan kredit-kreditnya kepada pihak yang sangat membutuhkan.

Masalah Pemberian Kredit

Bank di Indonesia pernah mengalami masalah-masalah yang menuju kehancuran. Masalah-masalah tersebut berasal dari faktor makro dan mikro. Masalah yang berasal dari faktor makro adalah bermula dari krisis ekonomi yang terjadi sejak semester kedua tahun 1997. Hal ini ditandai dengan krisis nilai tukar ditandai dengan anjloknya nilai rupiah terhadap US Dolar sebesar 109,6% pada Desember 1997 dibandingkan dengan nilai Rupiah pada Juli 1997.22​​ Masalah makro itu berkaitan dengan masalah mikro, yaitu munculnya krisis utang swasta yang mengakibatkan krisis perbankan. Sebab, menurut Laporan Tahunan 1997/1998 Bank Indonesia,​​ anjloknya nilai rupiah itu telah memperburuk kualitas perkreditan bank-bank. Kondisi itu dapat dilihat dari kondisi kredit setelah krisis melanda Indonesia, dimana jumlah kredit bermasalah meningkat 50% pada Juni 1998 dari total Rp. 625,5 triliun yang disalurkan. Jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan tahun 1996, yaitu 10% dari jumlah kredit yang disalurkan.23

Setidak-tidaknya kehancuran industri perbankan Indonesia disebabkan enam faktor.​​ Pertama,​​ penyaluran kredit yang terlalu ekspansif yang dipacu oleh pemasukan dana luar negeri yang bersifat rentan, oleh karena sifatnya jangka pendek.​​ Kedua,​​ pemberian kredit tanpa melalui proses analisa kredit yang sehat.​​ Ketiga,​​ konsentrasi kredit yang berlebihan kepada suatu kelompok usaha atau individu baik yang terkait dengan bank maupun tidak.​​ Empat, moral hazard​​ karena belum tegasnya mekanisme​​ exit policy ​​ ​​​​ dan berlarut-larutnya penyelesaian bank-bank bermasalah.​​ Lima,​​ campur tangan pemilik yang berlebihan dalam manajemen bank [bahkan tidak sedikit pemilik yang merangkap jabatan sebagai pengurus bank].​​ Keenam,​​ lemahnya aspek supervisi dan regulasi perbankan.24​​ 

Oleh karena itu, hancurnya bank erat kaitannya dengan pemberian kredit yang berisiko tinggi, yang pada gilirannya dapat berakibat pada keamanan dan kesehatan industri perbankan. Hal ini dapat diamati dari proses penyaluran kredit yang terjadi dengan praktik​​ mark-up,​​ sehingga pada gilirannya menghacurkan struktur kapital itu sendiri. Dalam temuan Booz-Allen & Hamillton menunjukkan bahwa​​ mark-up​​ dari dana pinjaman yang diminta [application of funds]​​ sampai 10 kali​​ operating cash flow​​ yang riil. Walaupun tidak di-mark-up,​​ perusahaan-perusahaan tersebut berusaha menutup kekurangan biaya untuk operasi dari pinjaman. Akibatnya, perusahaan akan rugi terus-menerus meminjam dana dari luar negeri, yang bahkan melampaui pendapatan operasionalnya sendiri, sehingga mengalami​​ deteriorating financial performance.25​​ ​​ 

Dalam konteks Indonesia, masalah pemberian kredit antara lain dapat diamati dari besarnya kredit yang disalurkan oleh bank kepada kelompok usaha sendiri. PT. Bank Dagang Nasional [BDNI] telah menyalurkan kredit kepada grup usahanya sebesar Rp. 24.4 Trilliun atau 90,7%. Sedangkan PT. Bank Danamon sebesar Rp. 12.9 Trilliun atau 43,8%. Selanjutnya, PT. Bank Modern sebesar Rp. 1.2 Trilliun atau 63,2% dari total kredit yang disalurkan.26​​ Masalah itu berfotensi terhadap pelanggaran Ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit [BMPK], yang menetapkan bahwa bank dilarang memberikan kredit lebih 20% dari modalnya kepada satu perusahaan atau suatu grup perusahaan. Apabila debitor adalah pihak terkait dengan bank maksimal kredit adalah 10% dari modal bank. Pelanggaran Ketentuan BMPK itu telah mulai sejak Oktober 1995. Misalnya Bank Anrico memberikan pinjaman kepada anak perusahaan sebesar 1.925% dari modalnya. Sedangkan Bank Jakarta menyalurkan kredit kepada perusahaan terkait lebih dari dua kali modalnya.27​​ Kasus yang sama, baru-baru ini terjadi pada bank-bank BUMN, dimana Badan Pemeriksa Keuangan [BPK] menemukan yang hampir dapat dipastikan bahwa terjadi penyimpangan penyaluran kredit di beberapa bank BUMN sebesar Rp. 189 Trilliun. Salah satu penyimpangannya meliputi pelanggaran BMPK.28 ​​ ​​ ​​​​ 

Masalah pemberian kredit lainnya, juga dapat diamati dari pemberian kredit kepada grup usaha sendiri itu, sering tidak diiringi dengan penyediaan jaminan yang cukup. Di Amerika Serikat, pemberian kredit yang tidak dijamin secara cukup dikategorikan sebagai penipuan [fraud]. Pengadilan dalam kasus FDIC v. WR. Grace &​​ Co, 877 Fed 2d 614 [7th​​ cir 1989] berpendapat, bahwa debitor dinyatakan telah melakukan penipuan, apabila tidak memberitahukan kepada kreditor bahwa jaminan yang diberikannya tidak cukup.29​​ 

Masalah-masalah pemberian kredit tersebut menjadi penyebab kegagalan bank dalam ​​ menjalankan fungsinya dan dari masalah-masalah itu antara lain dapat digambarkan Helen A. Garten, bahwa penyebab kegagalan berkaitan dengan kelalaian, penipuan dan penggelapan pengurus bank.30​​ Oleh karena itu, yang dikatakan Fred Galves, “the best way to rob a bank is own one,”31​​ dan masalah-masalah pemberian kredit, perlu diantisipasi dengan peraturan pelaksanaan perkreditan yang cukup berdasarkan prinsip-prinsip​​ good corporate governance.​​ ​​ 

Dengan demikian pengelolaan bank penting diformulasikan dengan prinsip-prinsip​​ good corporate governance, agar kualitas pengelolaan bank dapat mendorong jalannya fungsi utama bank tersebut, sekaligus untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Dalam konteks pelaksanaan perkreditan, diperlukan pendekatan peraturan yang mengatur pemecahan permasalahan perkreditan yang muncul dalam industri perbankan. Pemberian kredit harus didasarkan pada keadilan, keterbukaan, pertanggungjawaban dan tanggungjawab, agar sumber kredit stabil dan dapat dipercaya, sekaligus mencegah risiko yang berlebihan.

Dengan ini peraturan perkreditan ​​ harus menentukan jaminan yang cukup secara tegas ​​ dengan sanksi yang cukup, dimana pelaksanaan pemberian kredit dikelola dengan​​ prudential. ​​ Di ​​ samping ​​ itu, peraturan ​​ perkreditan ​​ itu ​​ harus ​​ menentukan ​​ secara cukup antisipasi terhadap kemungkinan praktik pemberian kredit ​​ yang ​​ merugikan, seperti penipuan. Selanjutnya peraturan ​​ perkreditan ​​ tersebut ​​ harus ​​ menentukan secara ​​ cukup ​​ bahwa ​​ setiap ​​ contractual ​​ relationship ​​ harus ​​ dapat ​​ dilaksanakan secara efektif.

Formulasi ​​ prinsip  ​​ ​​​​ keadilan  ​​​​ dalam  ​​​​ peraturan  ​​​​ perkreditan,  ​​​​ juga  ​​​​ harus ​​ melakukan  ​​​​ pendekatan  ​​​​ pada  ​​​​ prinsip  ​​​​ pengawasan,  ​​​​ dimana  ​​ ​​​​ direksi  ​​ ​​​​ direksi mempunyai peran yang cukup untuk mengawasi manajemen.32​​ Alasan dilakukan pengawasan itu berkaitan dengan upaya menjaga kepercayaan masyarakat. Pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistim perbankan penting diupayakan, oleh karena kepercayaan masyarakat merupakan faktor yang sangat krusial dalam bank sebagai industri jasa.

Untuk menjaga kepercayaan masyarakat dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan secara langsung maupun secara berkala terhadap kepatuhan bank pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkreditan dalam industri perbankan. Bank Indonesia [BI] Nomor: 1/6/PBI/1999 tentang Pengawasan Direktur Kepatuhan [Compliance Director] dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Bank Umum. Dalam peraturan itu disebutkan, bahwa Direktur Kepatuhan adalah anggota direksi bank atau anggota pimpinan kantor cabang bank asing yang ditugaskan untuk menerapkan langkah-langkah yang diperlukan, guna memastikan kepatuhan bank terhadap peraturan perundang-undangan lain yang berlaku dan perjanjian serta komitmen dengan BI. Selanjutnya, disebutkan bahwa Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank [SPFAIB] adalah ukuran mnimal yang harus dipatuhi oleh semua bank dalam melaksanakan fungsi audit intern.

Di samping itu, BI telah membuat peraturan BI Nomor: 2/1/PBI/2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatuhan [Fit and Proper Test], dimana disebutkan bahwa openiaian kemampuan dan kepatuhan adalah hasil proses evaluasi secara berkala atau setiap waktu, apabila dianggap perlu oleh BI terhadap integritas pemegang​​ saham pengendali serta integritas dan kompetensi dari pengurus dan pejabat eksekutif dalam mengelola kegiatan operasional bank.

Peraturan tersebut merupakan salah satu pemenuhan terhadap prinsip keadilan dalam​​ good corporate governance,​​ oleh karena melalui ketentuan itu diupayakan tegaknya prinsip berhati-hati [prudent] dalam mengelola bank. Kongres Amerika Serikat, tepatnya pada tahun 1991, telah mewajibkan seluruh lembaga perbankan federal untuk menetapkan ketentuan yang merumuskan standar​​ safety and soundness​​ dalam tiga bidang.​​ Pertama, ​​​​ operasi dan manajemen.​​ Kedua,​​ kualitas asset, pendapatan, dan penilaian saham.​​ Ketiga,​​ kompensasi karyawan.  ​​ ​​ ​​​​ 

Selanjutnya, perlu melihat prinsip keterbukaan dalam industri perbankanberkaitan dengan prinsip keadilan sebagaimana diuraikan di muka. Oleh karena jalannya prinsip keadilan harus didukung oleh keterbukaan keadaan finansial dalam pengawasan perusahaan. Gregory dan Simm mengatakan, bahwa kegagalan dewan komisaris dan pemegang saham pengendali dalam mempertanggungjawabkan pengawasan usaha dapat diamati dari faktor yang memunjukan dewan komisaris dan pemegang saham pengendali terlibat melakukan tindakan pemberian pinjaman yang didasarkan pada hubungan pertemanan, dibandingkan atas adanya suatu anlisis yang mendalam mengenai risiko. Hal ini bukan suatu yang mengejutkan, oleh karena mereka mendasarkan pendapat pada suatu adanya invstasi berlebihan yang bersifat non produktif dan kegiatan perusahaan yang bersifat spekulatif.​​ 33​​ 

Dengan demikian mendesak penerapan disiplin keuangan yang efektif dalam perusahaan. Hal ini penting, karena gagalnya perusahaan mengatasi risiko, salah satunya disebabkan minimnya standar atas keterbukaan.34​​ Dalam kaitannya dengan penerapan prinsip keterbukaan dalam bank, BI telah membuat Peraturan BI Nomor: 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank, dimana pertimbangan pembuatan peraturan tersebut adalah untuk menciptakan disiplin pasar [market disipline]. Peraturan itu diupayakan untuk meningkatkan tranparansi kondisi keuangan dan kinerja bank untuk memudahkan penilaian di antara sesama peserta pasar melalui publikasi laporan kepada masyarakat.

Peraturan transparansi tersebut masih perlu dikritisi, khusunya mengenai keterbukaan kinerja bank secara cukup. Misalnya, masalah keterbukaan yang berkaitan dengan anggota direksi dan komisaris serta manajer untuk mengungkapkan kepentingan yang bersifat substansial dalam pelaksanaan perkreditan atau hal-hal yang berhubungan dengan perusahaan.

Selanjutnya, perlu diatur dalam peraturan perkreditan mengenai keterbukaan perusahaan [debitor] secara tepat waktu dan akurat. Misalnya, keterbukaan debitor kepada kreditur dalam reorganisasi. Debitor yang berada dalam posisi diambang kepailitan harus mengungkapkan informasi kepada kreditur berbagai fakta dan informasi. Terdapat tiga tujuan dari keterbukaan tersebut.35

1. Keterbukaan itu berguna untuk memungkinkan kreditur untuk melakukan atau tidak melakukan pembayaran yang telah dilakukan kepada kreditur lainnya, kepada​​ insider​​ atau kepada teman-teman debitor.​​ 

2.Informasi itu memungkinkan kreditur mengambil sikap terhadap rencana atau usulan reorganisasi atau likuidasi.​​ 

  • Yang paling penting adalah keterbukaan tersebut memungkinkan kreditur melakukan tawar-menawar terhadap rencana dan keputusan akhir, apakah menyetujui atau menolak rencana tersebut.

Salah satu cara untuk menentukan standar dalam mengukur informasi yang cukup [adequate information] dalam keterbukaan tersebut adalah mengajukan pertanyaan kepada kreditur yang mempunyai hak suara, apa yang ingin diketahui kreditur.​​ 36

Sebagian besar keputusan kreditur untuk menerima atau menolak rencana bergantung kepada empat pertanyaan sebagai berikut.37

1. Apakah rencana​​ feasible​​ ?

2.Seberapa besar nilai [kalau ada] yang diberikan rencana tersebut kepada kreditur.

3.Apakah kreditur menerima bagiannya secara adil dari pembagian nilai yang tersedia.

  • Apakah bentuk pemberian nilai tersebut dapat diterima.

Kreditur membutuhkan keterbukaan dari informasi yang substansial untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tesrebut. Dengan demikian proses keterbukaan tersebut sangat krusial.38

Fungsi dari pernyataan keterbukaan yang disetujui oleh pengadilan adalah untuk menyediakan informasi yang cukup kepada kreditur sehingga mereka dapat memberikan penilaian tentang rencana itu.

Section​​ 1125 [a][1]​​ Bankruptcy Code​​ yang berlaku di Amerika Serikat mendefinisikan informasi yang cukup sebagai berikut:

“... information of a kind, and in sufficent detail, as far as is reasonably practicable in light of the nature and history of the debtor and the condition of debtor’s books and records, that would enable a hypothetical reasonable investor typical of holders of claims or interest of the relevant class to make an informed judment about the plan, but adequate information need not include such information about any other possible or proposed plan.”​​ 39

Kongres membiarkan adanya standar yang kabur dalam mengevaluasi apa yang dikatakan sebagai informasi yang cukup dan membiarkannya ditentukan secara​​ case-by-case​​ berdasarkan fakta dan situasi tertentu.

Beberapa pengadilan telah menjelaskan daftar keterbukaan yang secara khusus harus ada dalam suatu pernyataan keterbukaan.​​ In re​​ Scioto Valley Mortgage Co ,​​ 88 B.R. 168 [Bankr S.D. Ohio 1988] pengadilan mengadopsi ​​ 19 butir daftar jenis informasi yang dapat dipersyaratkan dalam suatu daftar keterbukaan tersebut, yaitu sebagai berikut:40

1.Keadaan atau situasi yang mendasari munculnya permohonan kepailitan.

2.Suatu diskripsi yang lengkap dari aset yang tersedia beserta nilainya.

3.Antisipasi ke depan dari debitor.

4.Sumber dari informasi yang terdapat di dalam Pernyataan Pendaftaran.

5. Suatu​​ disclaimer​​ secara khusus mengidentifikasikan bahwa tidak ada pernyataan informasi mengenai debitur atau jaminan yang diberikan di luar yang telah dinyatakan di dalam pernyataan keterbukaan.

6. Kondisi dan kinerja dari debitor pada saat debitor tersebut berada dalam kondisi​​ chapter​​ 11.

7.Informasi mengenai gugatan terhadap kekayaan.

8.Suatu analisis likuidasi yang menyatakan estimasi pendapatan yang akan diperoleh oleh kreditur.

9.Metode akuntansi dan penilaian yang digunakan dalam menyusun informasi keuangan yang terdapat pada pernyataan keterbukaan.

10. Informasi tentang manajemen dari debitur ke depan, termasuk besarnya kompensasi yang akan dibayar kepada setiap​​ insider, direktur dan atau pejabat-pejabat lainnya dari debitur.

11.Suatu ringkasan dan rencana dari reorganisasi.

12.Estimasi semua biaya administrasi termasuk biaya penasehat hukum dan akuntan.

13.Kolektivitas dari setiap rekening pendapatan.

14. Setiap informasi keuangan,​​ valuations, atau proyeksi​​ pro porma​​ yang relevan bagi kreditur dalam menentukan apakah menerima atau menolak rencana.

15.Informasi yang relevan tentang risiko yang akan dihadapi oleh kreditur.

16.Nilai aktual atau proyeksi dari nilai yang akan diterima dari transfer yang pasti akan diterima.

17. Keberadaan, kemungkinan, keberhasilan, litigasi​​ non-bankrupcy.

18.Konsekuensi perpajakan dari rencana.

  • Hubungan debitur dengan pihak terapiliasi.

Secara umum suatu pernyataan keterbukaan harus berisikan semua informasi yang berdampak terhadap keberhasilan atau kegagalan proposal rencana reorganisasi. Pernyataan keterbukaan tersebut harus berisi semua materi informasi yang berkaitan dengan risiko yang akan dihadapi oleh kreditur berdasarkan reorganisasi yang diusulkan. Sebaliknya pernyataan pendaftaran tidak boleh dibebani dengan informasi yang terlalu teknis dan informasi-informasi tambahan yang sangat banyak [overly technical and extremely numerous additions], dimana informasi tersebut hanya akan mengakibatkan berkurangnya pemahaman bagi kreditur tertentu.

Peraturan ​​ perkreditan ​​ harus ​​ menentukan antisipasi persoalan dalam bank yang ​​ dapat ​​ muncul ​​ karena ​​ adanya ​​ perbedaan  ​​​​ pendapat  ​​​​ kepentingan  ​​​​ antara Pemegang Saham dan Direksi. Di samping itu, ditentukan secara cukup ​​ dan ​​ jelas fungsi, hak, wewenang dan tanggungjawab ​​ masing-masing ​​ pengurus ​​ bank ​​ dalam pemberian kredit. Misalnya, apakah yang menjadi ukuran tanggung jawab pengurus bank atau direktur dalam masalah yang timbul dalam perkreditan atau bagaimanakah pengurus bank dianggap telah memenuhi kewajibannya menjalankan prinsip​​ duty of care. Apakah yang menjadi tolok ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian disebabkan oleh keputusan bisnis [business judment] yang tidak tepat untuk dapat menghindar dari pelanggaran​​ duty of care. ​​​​ 

Akhirnya, peraturan ​​ perkreditan ​​ harus  ​​​​ membuat  ​​​​ ketentuan  ​​​​ secara  ​​​​ cukup,  ​​​​ agar pengurus ​​ bank ​​ dan ​​ debitor ​​ selalu  ​​​​ patuh  ​​​​ terhadap ​​ ketentuan-ketentuan  ​​​​ yang berkaitan dengan pelaksanaan perkreditan, baik yang ​​ berkaitan ​​ dengan ​​ masalah antara ​​ lain ​​ perlindungan ​​ hak ​​ pekerja, ​​ perlindungan ​​ lingkungan ​​ hidup, ​​ maupun perlindungan konsumen.

Dengan demikian masalah-masalah pelaksanaan perkreditan dalam industri perbankan di Indonesia perlu diatasi, oleh karena masalah tersebut menjadi penghambat berjalannya fungsi bank, yang pada gilirannya membuat pemulihan ekonomi Indonesia terganggu. Dengan ini peraturan perkreditan yang cukup dengan muatan prinsip-prinsip​​ good corporate governance ​​ mendesak untuk diterapkan.

Good Governance

Tepatlah pendapat yang mengatakan bahwa pemerintah berperan penting dalam membangun, merawat dan menghormati sistem integritas nasional. Berdasarkan pendapat tersebut, pemerintah harus menjadi pemimpin yang berprinsip dan berpijak pada etika, dan melakukan pengawasan atas birokrasi yang bertanggung​​ jawab melaksanakan kebijaksanaan dan program. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah harus pula mengedepankan kemauan politik untuk menjaga tata kelola pemerintahannya selalu bersih [good governance].

 Dalam konteks itu, pemerintah memang harus mampu memberdayakan pegawai negeri. Sebab pegawai negeri sebagai penopang pemerintahan pada dasarnya memiliki tugas pokok yaitu melayani publik sesuai dengan prinsip-prinsip​​ good governance.​​ 

Untuk mengupayakan birokrasi pemerintah berlandaskan prinsip-prinsip​​ good governance​​ tersebut harus didukung dengan reformasi hukum nasional, dimana tujuannya untuk memberikan harapan kepada masyarakat, bahwa sistem pemerintahan akan lebih baik, transparan dan responsif terhadap peran publik atau masyarakat dalam pengambilan keputusan dan atau kebijakan. Hal ini sejalan dengan agenda pembangunan nasional, seperti diuraikan dalam UU 25 tahun 2000 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional [Propenas] yang merumuskan visi bangsa Indonesia masa depan dan dua belas misi yang menjadi sasaran pembangunan. Dalam visi yang berkenaan dengan hukum dapat diamati dalam misi kelima dari Propenas tersebut, dimana disebutkan bahwa: “terwujudnya sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran.” Kemudian yang terkait dengan itu dalam misi kesepuluh disebutkan bahwa “terwujudnya aparatur negara yang berfungsi melayani, profesional, berdaya guna, produktif, transparan, dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.”

Dalam pembahasan upaya mendorong birokrasi pemerintah berlandaskan prinsip-prinsip​​ good governance​​ ini akan ditekankan pada pihak eksekutif, seperti biro hukum untuk dapat memberikan sumbangan positif bagi perancangan peraturan, keterbukaan dalam proses kebijakan publik, dan perencanaan hukum sesuai kebutuhan yang dapat mendukung jalannya prinsip-prinsip​​ good governance.

Upaya Birokrasi Pemerintah Untuk Menerapkan Prinsip-Prinsip​​ Good Governance

Menurut Masyarakat Transparansi Indonesia [MTT] untuk memahami​​ good governance​​ terlebih dahulu dipahami apa yang menjadi prinsip-prinsip yang mendasari​​ good governance​​ tersebut. Oleh karena dengan bertitiktolak pada prinsip-prinsip tersebut akan didapatkan tolak ukur kinerja pemerintahan.41​​ Prinsip-prinsip​​ good governance​​ tersebut adalah sebagai berikut:42

  • Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

  • Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

  • Transparansi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

  • Peduli pada​​ stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.

  • Berorientasi pada konsensus: tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi​​ kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

  • Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.

  • Efektivitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

  • Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggung jawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.

  • Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.​​ 

Agar berjalan​​ good governance​​ semua prinsip-prinsip​​ Good Governance​​ harus diupayakan oleh Birokrasi Pemerintah. Oleh karena itu, kesembilan prinsip-prinsip tersebut harus menjadi pedoman Birokrasi dalam melaksanakan tugasnya untuk pelayanan publik.43

Peran Aparatur Biro Hukum Dalam​​ Good Governance

Aparatur Biro Hukum mempunyai peran yang strategis untuk mengupayakan prinsip-prinsip​​ good governance,​​ oleh karena menurut Keppres No. 188 tahun 1998 aparatur Biro Hukum diberikan penekanan bahwa biro tersebut harus mendapat porsi yang lebih signifikan dalam penyusunan peraturan perundangan. Ketentuan itu sekaligus menetapkan agar biro hukum harus terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan perundangan sejak penyusunan draft rancangan, hingga tahap sosialisasi.​​ 

Dengan ini harus pula ada peningkatan koordinasi antar biro hukum dan bagian hukum baik di tingkat pusat maupun daerah dalam sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum. Harus ada koordinasi yang baik dalam penyediaan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh karena itu aparatur Biro hukum harus dapat menjadi pintu informasi bagi masyarakat untuk menemukan informasi yang dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan upaya mencari bentuk yang bagaimana harus dilakukan aparatur Biro Hukum untuk dapat mendukung jalannya reformasi hukum.

Untuk itu, aparatur Biro hukum harus membuka akses masyarakat untuk melakukan pengawasan melalui mekanisme dengar pendapat umum, diskusi dan sebagainya. Dengan cara demikian masyarakat dapat melakukan kontrol. Sejalan dengan itu pula aparatur Biro hukum harus dapat berperan sebagai pintu masuk untuk menerima keluhan dari masyarakat. Gunanya, agar dalam pembuatan peraturan perundang-undangan apa yang menjadi keluhan masyarakat dapat ditampung dalam peraturan tersebut. Artinya, unsur​​ acomodation​​ dalam pembuatan hukum​​ dapat diwakili dengan penampungan aspirasi masyarakat. Apabila dilihat dari unsur​​ acomodation​​ terpenuhi, maka hukum itu harus mengakomodasi keseimbangan definisi dan status yang jelas bagi kepentingan individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.44

Untuk itu, perlu masyarakat dapat memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta mereka mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Oleh karena itu pula, hak atas informasi hukum bermakna strategis dalam mewujudkan negara yang demokratis. Dengan hak tersebut masyarakat dapat berperan serta dalam pembuatan keputusan publik dan melakukan kontrol terhadap pemerintahan.​​ 

Namun, apa yang muncul dalam kondisi sekarang ini, seperti kesulitan publik untuk mengakses informasi hukum masih mengemuka, tidak dapat dibantah. Hal ini tentunya tidak terlepas dari keadaan baik karena kendala unsur birokrasi dan unsur masyarakat maupun kendala yang bersifat teknis maupun yang terkait dengan kebijakan pemerintahan.​​ 

Dalam mengupayakan prinsip-prinsip​​ good governance​​ tersebut, kiranya apa yang menjadi pendapat yang berkembang sekarang ini perlu didukung agar prinsip-prinsip itu dapat berjalan dengan baik. Tentunya salah satunya adalah perlu dirumuskan dan dilakukan penguatan akses publik terhadap informasi hukum. Selanjutnya, perlu pula disadari bersama sebagaimana pendapat yang juga berkembang bahwa pemenuhan hak atas informasi tergantung kepada empat faktor.​​ Pertama,​​ jaminan dalam peraturan perundang-undangan.​​ Kedua,​​ budaya aparatur pemerintah atau pejabat publik.​​ Ketiga,​​ sarana.​​ Keempat,​​ budaya masyarakat.

Perlu diingat bahwa​​ good governance​​ akan bermakna bila prinsip-prinsipnya didukung berbagai kalangan yang terlibat. Seperti lembaga yang melibatkan kepentingan publik, misalnya, negara, sektor swasta, dan masyarakat madani. Oleh karena itu, pendekatan yang harus diambil dalam mengupayakan prinsip-prinsip​​ good governance​​ harus diramu dari pendekatan multi dan interdisipliner dan lintas sektoral.

Dalam konteks birokrasi, untuk mengupayakan prinsip-prinsip​​ good governance​​ tidak terlepas dari budaya birokrasi, yang memang ikut menentukan perilaku pejabat publik dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Oleh karena budaya birokrasi harus mencerminkan budaya yang profesional dan memiliki integritas yang kokoh.​​ 

Akhirnya, birokrasi pemerintah memang harus menyadari bahwa ia merupakan bagian pelayanan publik. Sebab itu merupakan salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Di sini perlu ditanamkan suatu kesadaran yang tinggi bahwa birokrasi pemerintah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Dalam melaksanakan fungsinya itu harus didasarkan pada kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas.

Korupsi Harus Dilawan Sebagai Sesuatu Yang Mendesak

Paparan Komite Hukum Nasional Republik Indonesia ​​ [KHN-RI] baru-baru ini menandaskan, predikat sebagai salah satu negara terkorup di dunia, menjadi kenyataan pahit yang tidak dapat lagi dihindarkan bagi Indonesia. Bayangkan saja besarnya jumlah uang yang dikorupsi di Indonesia sebagaimana diuraiankan Revrisond Baswir sangat menyayat hati. Menurutnya bisnis korupsi hampir menyamai volume anggaran pendapatan dan belanja negara [APBN], dimana APBN tahun ini sebesar Rp. 370,59 triliun. Ia mengasumsikan, penyimpangan rata-rata 33 persen, atau sekitar sepertiga pendapatan negara tidak masuk ke kas negara dan sepertiga belanja negara melenceng dari sasaran. Selanjutnya, sepertiga volume bisnis korupsi berkaitan dengan pengeluaran tunai yang langsung dari masyarakat [Kompas, 17/8].

Sementara itu menurut data yang ditemukan oleh​​ Asian Development Bank​​ dalam​​ Perceived Standard​​ mengemukakan bahwa Indonesia menempati urutan pertama dalam​​ cost competitiveness​​ bila dibandingkan dengan negara-negara di Asia. Sedangkan pada bidang-bidang lain seperti​​ quality of physical infrastructure, risk​​ of disruptive political change, perception of judicial system,​​ dan penerapan​​ Corporate Governance, Indonesia memiliki nilai jelek dan menempati urutan terakhir dibandingkan negara-negara di Asia. Penilaian ini didukung oleh pengamatan dari para investor terhadap kualitas penerapan​​ good corporate governance​​ di Asia yang dilakukan oleh McKinsey & Co., dimana Indonesia menempati urutan keenam setelah Jepang, Taiwan, Korea, Thailand dan Malaysia. Persepsi negatif terhadap Indonesia dimata luar negeri juga terletak pada tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme di kawasan Asia berdasarkan hasil survey​​ political and economic risk consultancy. Disamping itu pada survey​​ Corruption Persception Index​​ 2001 oleh​​ Transparancy International, ​​ Indonesia menduduki peringkat 88 dari 99 negara yang disurvey. Demikian pula berdasarkan data dari Kementerian Negara BUMN mengungkapkan hasil​​ Survey of Institutional Investor​​ Corporate Governance 1999 [PWC] ​​ bahwa Indonesia memiliki rangking 4,7 yang berkenaan dengan kualitas keterbukaan [disclosure and transparancy] diantara negara Asia Pasific. Dapat dibandingkan dengan rangking Singapura 3,0; Malaysia dan Philipina 4,2; Thailand 4,3 diikuti dengan India dan China masing-masing dengan rangking 4,4 dan 4,7 [semakin kecil rangking berarti semakin baik dan semakin besar rangking berarti semakin buruk].​​ 

Dua tahun yang lalu, tepatnya tahun 2001, MPR melalui Pasal 2 butir 1 TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 telah mengamanatkan kepada Presiden RI agar arah kebijakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme [KKN] dilakukan dengan mempercepat proses hukum terhadap aparatur penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek KKN. Namun, sebagaimana diindikasikan di muka, hingga saat ini dapat diamati bahwa pemberantasan korupsi belum menunjukkan arah perubahan dan hasil seperti yang diinginkan.

Memang, Indonesia telah memiliki berbagai peraturan perundang-undangan berkenaan dengan isu korupsi. Paling tidak, terdapat 12 Undang-Undang, 2 ​​ PERPU, 3 KEPPRES, 6 Peraturan Pemerintah, 1 Instruksi Presiden dan yang baru Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [KPTPK] yang disahkan 27 Desember 2002. Undang-Undang yang baru itu dimaksudkan untuk memperkuat inisiatif memberantas korupsi melalui sarana pembentukan KPTPK atau sering disebutkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] sebagaimana diamanatkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Walaupun dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 telah ditetapkan bahwa pembentukan KPK harus selesai dua tahun setelah diundangkan, namun sampai sekarang KPK itu belum terwujud.

Padahal, KPTPK bersama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana juga yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 itu diharapkan sebagai upaya​​ crash program​​ dalam pemberantasan korupsi. Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memerlukan kemauan politik yang nyata dan konsisten dari pemerintah, dimana perlu dorongan yang kuat dari pemerintah agar terjadi penegakan hukum di dalam pemberantasan korupsi secara terus-menerus. Oleh keadaan demikian, yang membuat munculnya berbagai pendapat bahwa sampai saat ini tidak terlihat jelas kemauan politik pemerintah dalam memberantas korupsi.  ​​​​ 

Dengan demikian mendesak sekarang ini adalah mewujudkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dibandingkan dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Thailand, dimana berdasarkan Kostitusi Thailand ​​ yang diamandemen tahun 1997 telah menentukan pada Makamah Agung [The Supreme Court] dibentuk​​ The Criminal Division for Holders of Political Positions.​​ Divisi itu dibentuk untuk mengadili para pemegang jabatan politik, seperti Perdana Menteri, Menteri, anggota​​ House​​ of Representatives,​​ Senator atau pemegang jabatan politik lainnya yang didakwa melakukan tindak pidana. Misalnya, pelanggaran yang berkenaan dengan adanya​​ indikasi kekayaan yang tidak wajar, melanggar​​ Criminal Code,​​ melakukan tindakan tidak terpuji/tidak jujur serta tindak pidana korupsi.

Apa yang telah dilaksanakan Thailand dengan restrukturisasi organisasi ternyata membawa perubahan yang cukup berhasil dalam upaya pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi. Indikator keberhasilan itu misalnya tampak dari hasil penilaian lembaga-lembaga swasta internasional yang cukup kredibel, seperti​​ Transparency International​​ [TI] yang berpusat di Jerman atau​​ Political and Economic Risk Consultancy​​ ​​ [PERC] yang berpusat di Hongkong, yang menilai Thailand dari tahun ke tahun kedua memperoleh penilaian yang semakin positif dalam melakukan upaya pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi.  ​​​​ 

Mengoperasionalkan Hukum

Pembicaraan hukum berkenaan dengan isu korupsi ini perlu disambut. Prof. H.L.A. Hart seorang ahli filsafat hukum dari Inggris dalam bukunya The​​ Concept of Law​​ mengatakan, bahwa pengkajian konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan.​​ 

Bila dibandingkan dengan konteks pembangunan ekonomi, maka apa yang diingatkan Leonard J. Theberge dalam tulisannya “Law and Economic Development,” perlu dipahami, dimana Theberge mengatakan bahwa setidak-tidaknya ada 3 faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi, yaitu​​ stability, predictabilty,​​ dan​​ fairness.​​ Faktor​​ stability ​​ dan​​ predictability​​ adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk dapat berfungsi. Faktor​​ stability​​ adalah potensi hukum yang menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan ​​ yang saling bersaing. Faktor​​ predictability​​ berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil, khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Sedangkan faktor​​ fairness​​ berfungsi menciptakan perlakuan yang sama dan standard pola tingkah laku Pemerintah untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.

Tanggung Jawab Moral

​​ Ratusan​​ tahun yang lalu Aristoles dalam bukunya​​ The Nicomachean ​​​​ Ethics​​ mengatakan, bahwa pelajaran tentang kebaikan hanya dapat diberikan kepada orang yang sudah tahu apa itu “baik”. Pendapat itu relevan dengan adanya pendapat yang mengatakan, bahwa ​​ kalau orang sama sekali tidak tahu apa itu adil, percuma kita menjelaskan kepadanya kewajiban untuk memperlakukan orang lain dengan adil.​​ 

Begitu pula dengan hal berkenaan dengan tanggung jawab, orang sudah mesti merasakan apa itu tanggung jawab, bahkan orang tersebut, mesti ingin menjadi manusia yang bertanggung jawab, baru masuk akal ia diberi pegertian tentang tanggung jawab tersebut. Oleh karena itu, ajaran yang berisi mengenai kewajiban manusia untuk bertanggung jawab hanya akan efektif pada seseorang apabila ia sudah bersedia bertanggung jawab.  ​​ ​​​​ 

Namun, perlu juga diingat bahwa masalah dasar pembangunan sebenarnya bukan hanya masalah etos kerja masyarakat, jajaran birokrat dan sebagainya, melainkan mutu kepemimpinan di semua tingkat kehidupan masyarakat. Bukan mutu masyarakat pada umumnya yang perlu diragukan, melainkan mutu para pemimpinnya yang ditantang. Kalau para pemimpin jujur, terbuka, rendah hati, adil, berdedikasi tinggi, bebas pamrih, bertanggung jawab, berorientasi pada prestasi dan pada pelayanan masyarakat, dapat dipercaya dan bersedia​​ untuk memimpin dan mendahului juga dalam berbuat kebajikan atau pengorbanan, maka etos kerja mereka yang dipimpin dengan sendirinya akan terangkat.​​ 

Dengan demikian mutu kepemimpinan untuk memberantas atau mencegah korupsime sekaligus untuk mewujudkan​​ good governance, penting diformulasikan dengan penegakan hukum atau peraturan perundang-undangan yang memuat prinsip-prinsip yang dapat mendukung pemerintahan tersebut, agar kualitas pengelolaannya dapat mendorong jalannya fungsi utama pemerintahan tersebut, sekaligus untuk menjaga kepercayaan masyarakat, dimana prinsip-prinsip tersebut harus berdasarkan pada keadilan, keterbukaan, pertanggungjawaban dan tanggungjawab.

Peraturan berkenaan dengan pengelolaan atau pemerintahan  ​​​​ harus menentukan jaminan yang cukup secara tegas ​​ dengan sanksi yang cukup, dimana pelaksanaan pemerintahan dikelola dengan adil. ​​ Di ​​ samping ​​ itu, tata pemerintahan ​​ itu ​​ harus ​​ menentukan ​​ secara cukup antisipasi terhadap kemungkinan praktik pemerintahan ​​ yang ​​ dapat merugikan. Selanjutnya peraturan ​​ tersebut harus ​​ menentukan secara ​​ cukup ​​ bahwa ​​ setiap ​​ kebijakan publiknya ​​​​ harus ​​ dapat ​​ dilaksanakan secara efektif.

Formulasi ​​ prinsip  ​​ ​​​​ keadilan  ​​​​ tersebut,  ​​​​ juga  ​​​​ harus ​​ melakukan  ​​​​ pendekatan  ​​​​ pada  ​​​​ prinsip  ​​​​ pengawasan,  ​​​​ dimana  ​​ ​​​​ kepemimpinanya mempunyai peran yang cukup untuk mengawasi pemerintahan. Alasan dilakukan pengawasan itu berkaitan dengan upaya menjaga kepercayaan masyarakat. Pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistim pemerintahan diupayakan, oleh karena kepercayaan masyarakat merupakan faktor yang sangat krusial dalam pemerintahan.​​ 

Alasan lainnya, tanpa pengawasan akan berfotensi membuat kekuasaan tidak terkontrol, akibatnya akan membuat kekuasaan menjadi korup. Oleh karena itu, perlu menciptakan struktur-struktur yang mengarahkan seluruh aparatur pemerintahan ke pola pekerjaan yang diharapkan masyarakat. Selanjutnya, perlu juga diadakan mekanisme-mekanisme kontrol terhadap setiap pelaksanaan kekuasaan.​​ 

Dalam rangka memberantas korupsi atau menciptakan​​ good governance,​​ harus dimunculkan peraturan yang mengatur antisipasi persoalan antara pemerintah dan​​ stakeholders​​ yang ​​ muncul ​​ karena ​​ adanya ​​ perbedaan  ​​​​ pendapat  ​​​​ kepentingan  ​​​​ antara Pemerintah dan​​ stakeholders. Di samping itu, ditentukan secara cukup ​​ dan ​​ jelas fungsi, hak, wewenang dan tanggungjawab ​​ masing-masing ​​ jajaran birokrat dalam pengelolaan atau pemerintahan.​​ 

Selanjutnya peraturan ​​ tersebut ​​ harus  ​​​​ membuat  ​​​​ ketentuan  ​​​​ secara  ​​​​ cukup,  ​​​​ agar pengelola atau pemerintahan selalu  ​​​​ patuh  ​​​​ terhadap ​​ ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan. Untuk itu, perlu diciptakan kondisi-kondisi sistematis yang menghukum kelakukan yang menyeleweng dari etos kerja yang diharapkan dan mengajari kelakuan yang sesuai.​​ 

Hukum, Aparatur Dan Budaya Hukum

Apa yang diingatkan oleh Randy E. Barnett dalam tulisannya “Why We Need Filosofy of Law,” bahwa hukum positif tidak cukup untuk mencapai keadilan. Dalam tulisan yang lain “Foreward: Can Justice and the Rule of Law Be Reconciled?” Barnett mengamati, bahwa ada pergerakan yang besar dari paradigma hukum positif ke paradigma hukum alam. Para pendukung pergerakan ini lebih cenderung memilih suatu pandangan yang melibatkan moralitas atas pertimbangan hukum.

Uraian di atas berkenaan dengan substansi hukum, yang merupakan salah satu dari sistim hukum. Penting, bahkan amat menentukan untuk mengkaji sistim hukum lainnya, yaitu struktur hukum atau aparatur hukum dan budaya hukum [legal culture]. Sebab, seperti dikatakan Lawrence W. Friedman, bahwa budaya hukum adalah unsur yang utama untuk dapatnya suatu sistim hukum berjalan. Yang dimaksud budaya hukum​​ adalah persepsi masyarakat terhadap hukum dan sistim hukum, pandangan nilai, idea dan pengharapan-pengharapan mereka terhadap hukum. Kita memerlukan budaya hukum yang secara serentak dapat mendukung jalannya pemerintahan yang baik atau mendukung institusi hukum, yang dapat difungsikan untuk pemulihan ekonomi dan dapat mendorong keadilan sosial. ​​ 

Dalam kontek itu, Friedman mengatakan, apabila “sistim hukum” diibaratkan untuk memproduksi suatu barang, maka kedudukan “substansi hukum” diibaratkan sebagai barang yang diproduksi, dan “struktur hukum” diibaratkan sebagai mesin-mesin pengelola barang. Sedangkan “budaya hukum” diibaratkan sebagai orang-orang yang menjalankan dan mematikan mesin tersebut, agar dapat menentukan baik buruknya hasil barang yang diproduksi.

Oleh karena itu, dalam rangka penegakan supremasi hukum berkenaan dengan pemberantasan KKN untuk menuju​​ good governance,​​ kiranya kita harus mengakui bahwa yang terpenting saat ini dilakukan adalah pelaksanaan keterbukaan aparatur negara terhadap masyarakat. Kalau kontrol dapat dijalankan, mutu kepemimpinan akan ditantang, bahkan terpaksa para pemimpin akan membuktikan diri. Selanjutnya, kalau pemimpin bermutu, perangkat dibawahnya pun akan bermutu.

 Upaya untuk mencapai taraf kualitas pranata hukum yang dapat memberantas KKN dan mewujudkan​​ good governance,​​ sekaligus membangunkan pranata hukum yang sedang tidur sebagaimana diungkapkan oleh Shakespeare. Siraman “air yang berisikan konsep-konsep moralitas dan peran serta masyarakat” dapat sebagai bahan ​​ dan gagasan pemikiran memperkaya pranata hukum untuk mengoperasionalkan hukum sebagai dasar penegakan supremasi hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kiranya dalam memberantas atau mencegah korupsi, ​​ kita harus mengakui bahwa yang terpenting saat ini dilakukan adalah pelaksanaan keterbukaan aparatur negara terhadap masyarakat. Kalau kontrol dapat dijalankan, mutu kepemimpinan akan ditantang, bahkan terpaksa para pemimpin akan membuktikan diri. Selanjutnya, kalau pemimpin bermutu, perangkat dibawahnya pun akan bermutu.

Penutup

Indonesia pasca IMF tersebut harus harus sudah mantap persiapannya untuk menghadapi pengaruh yang timbul terhadap perekonomian atau perdagangan Indonesia dalam semua aspek termasuk akibat gobalisai ekonomi, dimana hukum investasi atau perdagangan yang diperbaharui itu harus dapat berjalan efektif. ​​ Efektifnya hukum tersebut tersebut harus dapat disajikan secara operasional. Dalam konteks itu, perlu pula peningkatan kualitas sumber daya manusia pada bidang aparatur penegakan hukum. Perlunya hukum yang sudah mantap itu akan dapat berperan memulihkan ekonomi Indonesia. Artinya tanpa IMF program pemulihan harus tetap berjalan, tentunya dengan memerankan hukum sekaligus berperan mengatur pengawasan berkenaan pembangunan ekonomi Indonesia.​​ 

 Oleh karena itu hukum harus berperan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Telah banyak studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi yang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum. Dikatakan bahwa memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, crucial to the viability of new political systems”, and “an agent of social change”.45

Pada akhirnya, peran hukum dalam pemulihan ekonomi Indonesia pasca IMF harus dapat memajukan perekonomian. Artinya, hukum itu harus dapat pula mengatur ketentuan yang dapat menciptakan pasar keuangan yang diatur dengan baik.​​ 

Berdasarkan itu, Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama dengan IMF akan bermakna dan akan lebih beremakna lagi, bila dilaksanakan dengan penuh komitmen, konsisten dan penuh tanggung jawab serta berdisiplin sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Hal ini akan membantu menciptakan kepercayaan pihak asing pada Indonesia.​​ 

DAFTAR PUSTAKA

Bapepam,​​ Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, Jakarta: Bapepem, 1999.

Barry A.K. Rider, “Global Trens in Securities Regulation: The Changing Legal Climate”,​​ ickinson Journal of International Law,​​ [Spring, 1995].

David G. Epstein, Steve H. Nickles dan James J. White, ​​ Bankruptcy,​​ [St. Paul. Minn: West Publishing Co, 1993].​​ 

Erman Rajagukguk, “Peranan Hukum Di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,” disampaikan dalam rangka Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia [1950-2000], 5 Februari 2000.

Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan 20 Nopember 2001, hal. 4.​​ 

FDIC v. WR. Grace & Co, 877 Fed 2d 614 [7th​​ cir 1989], dalam Deborah A. de Mott, “Do You Have the Right to Remain Silent ? Duties of disclosure in Business Transaction,”​​ Deleware Journal of Corporation Law, ​​​​ [Vol. 19, 1994].

Fred Galves, “Might Does Not Make Right: The Call for Reform of the Federal Government’s D’Oench, Duhme and 12 U.S.C s 1823 [E] Superpowers in Failed Bank Litigation,” Minnesota Law Review, [June, 1996].

Gillian G. Carcia, “Protecting Bank Deposits, International Monetary Fund,”​​ Economic Issues,​​ [No. 9, 1997].​​ 

Helen A. Garten, “What Price Bank Failure,”​​ Ohio State Law Journal, [1989].

Holly J. Gregory, “Tanggapan Mengenai Pedoman Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance] dan Peraturan Mengenai Praktik di Pasar Negara Berkembang,” ​​ makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.

Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance]: Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance], kerjasama, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.

Horst Laubscher, Mengapa Pengelolaan Perusahaan Penting Bagi Indonesia, makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.

Ingo Walter,​​ High Performance Financial System: Bluptint for Development, [Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1993].

John Braithwaite dan Peter Drahos,​​ Global Business Regulation,​​ [New York: Cambridge University Press, 2000].

John C. Coffee, Jr, “Market Failure and the Economic Case for A Mandatory Disclosure System,”​​ Virginia Law Review,​​ [Vol. 79, 1984].

Jurnal Pasar Modal Indonesia, [No. 8/IX/Agustus 1998].

Koesnadi Hardjosoemantri, “Good Governance​​ Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia,” makalah disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003.​​ 

Kompas, 9 Maret 2002.

Laporan Millstein itu dimuat dalam Business Sector Advisory Group, “Report to the OECD on Corporate Governance: Improving Competiveness and Access to Capital in Global Markets [April 1998].​​ 

Lawrence M. Friedman,​​ Legal Cultur and the Welfare State: Law and Society-An Introduction, [Cambridge, Massachusetts, London: Harvard University Press, 1990].​​ 

Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”,​​ Journal of International Law and Policy,​​ [Vol. 9, 1980].

L. Michael Hager, “The Role of ​​ Lawyers in Developing Countries”, 58 ABA Journal [1972].

Mark S. Scarberry, Kenneth N. Klee, Grant W. Newton dan Steve H. Nickles,​​ Business Reorganitation In Bankruptcy,​​ [St. Paul, Minnesota: West Publishing Co, 1996].

Michel Bacman,​​ Asian Eclipse Exposing the Dark Side of Business in Asia,​​ [Singapore: John Wiley & Sons, 2001].

Nicholas A. Lash,​​ Banking Laws and Regulation: An Economic Perspective, [USA: Prentice Hall Inc, 1987]. ​​ 

Nicholas I. Georgakopoulus, “Why Should Disclosure Rules Zubsidize Informed Traders,”​​ International Review Law and Economic,”​​ [Vol. 16, 1996].

Privat Sector development Department-the Wold Bank, International Corporate Governance, 1998, dalam Sofyan A. Djalil.

Richard W. Jenning dan Harold Marsh, Jr,​​ Securities Regulation Cases and Materials,​​ [New York: The Foundation Press Inc, 1987].

The World Bank, “Indonesia In Crisis A Macroeconomic Update,” Washington, D.C. , [16 Juli 1998].​​ 

Warta Ekonomi, Nomor 15/TH.X/31 Agustus 1998.

Widigdo Sukarman, “Upaya Penyehatan Perbankan dan Sektor Rill,” Bisnis & Ekonomi Politik Quaterly Review of the Indonesia Economy, Vol. 3, Nomor 1 [Januari 1999], hal. 21. Lihat juga.​​ The Economist,​​ “A Survey of Banking in Emerging Market the Four to Fear,” [April, 12-18, 1997].

William A. Lovett,​​ Banking and Financial Institutional Law,​​ [USA: West Publishing, Co, 1997].

Zulkarnain Sitompul, “Perlindungan Dana Nasabah Bank​​ Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Di Indonesia”, Cetakan Pertama, ​​ Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2002.​​ 

​​ Disampaikan pada​​ “Diskusi Pembangunan Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi,”​​ di Fakultas Hukum USU Medan, tanggal 25 September 1999.

​​ Daniel ​​ S. Ehrenberg,​​ GATT Actibities 1991, “The Labor Link : Applying the International Trading System to Enforce Violation of Forced and Child Labor,” [20 Yale ​​ J. Int’l, 1995], hal. 391.

​​ Satjipto Rahardjo,​​ Hukum dan Perubahan Sosial, [Bandung : Alumni, 1983], hal. 221.

​​ Erman Rajagukguk, “Pembaharuan Hukum Indonesia Dalam Era Globalisasi : Suatu Pemikiran Untuk mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan,” dalam​​ Agenda Bangsa Pasca 50 Tahun Indonesia Merdeka, [Jakarta, CIDES, 1995], hal. IV.5.

​​ John Naisbit,​​ Global Pradox, [New York : William Morrow and Company, Inc. 1994], hal. 71.

​​ Quncy Wright,​​ Encyclopedia Americana,​​ [New Yoek : Americana Corporation, 1969], hal 44.

​​ Leonard ​​ J. Theberge, “Law and Economic Development,” ​​ Journal of International Law and Policy¸​​ [Vol. 9, 1980] : 232.

​​ J.D. Ny.​​ Hart, “The Role of Law in Economic Development,” ​​ dalam Erman Rajagukguk,​​ Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid ​​ 2, [Jakarta : Universitas Indonesia, 1995], hal. 365-367.

​​ Bandingkan, Burg’s dalam Leonard ​​ J. Therberge,​​ op.cit. dan ​​ J.D. N. Hart,​​ log.cit

​​ H.S. Kartadjoemana.​​ GATT dan WTO, [Jakarta : UI-Press, 1996]. hal. 77.

​​ John Braithwaite dan Peter Drahos,​​ Global Business Regulation.​​ New York. Cambridge University Press. 2000. hal. 24-45.

​​ Lawrence M. Friedman,​​ Legal Cultur and the Welfare State: Law and Society-An Introduction. Cambridge. Massachusetts. London. Harvard University Press. 1990. hal. 89.

​​ Quncy Wright,​​ Encyclopedia Americana.,​​ New York. Americana Corporation. 1969. hal.44

​​ Peter D. Sutherland, “Global Trade – The Next Challenge.” Pidato disampaikan pada​​ World Economic Forum.​​ Davos. tanggal 28 Januari 1994.

​​ Daniel S. Ehrenberg, “The Labor Link: Applying the International Trading System to Enforce Violation of Forced and Child Labor,”​​ Yale Journal International Law,​​ Vol. 20, 1995. hal. 391

​​ Satjipto Raharjo.​​ Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung. Alumni. 1983. hal. 221

​​ 

​​ H.S. Kartadjoemana.​​ GATT dan WTO. Jakarta. UI-Press. 1996. hal. 77.

​​ 

​​ Lihat. John Braithwaite dan Peter Drahos,​​ Global Business Regulation,​​ [New York: Cambridge University Press, 2000], hal. 24-23.

​​ Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara Ke-44, Medan 20 Nopember 2001, hal. 4.​​ 

​​ Satjipto Rahardjo,​​ Hukum dan Perubahan Sosial, [Bandung : Alumni, 1983], hal. 221.

​​ Bandingkan. H.S. Kartadjoemana.​​ GATT dan WTO, [Jakarta : UI-Press, 1996]. hal. 77.

​​ Disampaikan pada Semiloka Peran Masyarakat [Stakeholder] melalui lembaga pengawasan pengelolaan perusahaan dalam mendukung pelaksanaan​​ good corporate governance​​ di Sumatera Utara pada tanggal 30 April 2003.

​​ Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance]: Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance], kerjasama, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal.3-4.

​​ Laporan Millstein itu dimuat dalam Business Sector Advisory Group, “Report to the OECD on Corporate Governance: Improving Competiveness and Access to Capital in Global Markets [April 1998]. Diuraikan Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms,​​ Op. cit., hal.12.​​ 

​​ Holly J.Gregory dan Marshal E. Simms,​​ Op. cit., hal. 12-13.

​​ Bapepam,​​ Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, Jakarta: Bapepem, 1999, hal.17.

​​ Barry A.K. Rider, “Global Trens in Securities Regulation: The Changing Legal Climate,”​​ Dickinson Journal of International Law,​​ [Spring, 1995], hal. 120.​​ 

​​ Nicholas I. Georgakopoulus, “Why Should Disclosure Rules Zubsidize Informed Traders,”​​ International Review Law and Economic,”​​ [Vol. 16, 1996], hal.418.

​​ John C. Coffee, Jr, “Market Failure and the Economic Case for A Mandatory Disclosure System,”​​ Virginia Law Review,​​ [Vol. 79, 1984], hal. 721.

​​ Bandingkan. Richard W. Jenning dan Harold Marsh, Jr,​​ Securities Regulation Cases and Materials,​​ [New York: The Foundation Press Inc, 1987], hal. 63.

​​ Muladi, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kerugian Negara dalam Badan Usaha Milik Negara Berdasarkan Undang-Undang Korupsi di Indonesia,” makalah disampaikan dalam SeminarSehari Reposisi Keuangan Negara: Pengelolaan, Pertanggungjawaban, dan Pemeriksaan BUMN Menuju Good Governance,” Jakarta, tanggal 20 Februari 2003, hal. 4.

​​ Disampaikan pada “Seminar Hukum Perkreditan,” PT. Bank Rakyat Indonesia, Medan, tanggal 12-13 Maret 2002.

​​ Sofyan A. djalil, Good Corporate Governance,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal. 2.

hal. 3.

​​ Privat Sector development Department-the Wold Bank, International Corporate Governance, 1998, dalam Sofyan A. Djalil,​​ Loc. Cit.

​​ Lihat. Gillian G. Carcia, “Protecting Bank Deposits, International Monetary Fund,”​​ Economic Issues,​​ [No. 9, 1997], hal. 1.​​ 

​​ William A. Lovett,​​ Banking and Financial Institutional Law,​​ [USA: West Publishing, Co, 1997], hal. 1.

​​ Horst Laubscher, Mengapa Pengelolaan Perusahaan Penting Bagi Indonesia, makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal. 2.

​​ Ingo Walter,​​ High Performance Financial System: Bluptint for Development, [Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1993], hal. 52.

​​ Nicholas A. Lash,​​ Banking Laws and Regulation: An Economic Perspective, [USA: Prentice Hall Inc, 1987], hal. 8. ​​ 

​​ The World Bank, “Indonesia In Crisis A Macroeconomic Update,” Washington, D.C. , [16 Juli 1998], hal. 1dan 4.​​ 

​​ Jurnal Pasar Modal Indonesia, [No. 8/IX/Agustus 1998], hal. 34.

​​ Widigdo Sukarman, “Upaya Penyehatan Perbankan dan Sektor Rill,” Bisnis & Ekonomi Politik Quaterly Review of the Indonesia Economy, Vol. 3, Nomor 1 [Januari 1999], hal. 21. Lihat juga.​​ The Economist,​​ “A Survey of Banking in Emerging Market the Four to Fear,” [April, 12-18, 1997], hal. 9-12.

​​ Sofyan A. Djalil,​​ Op. Cit,​​ hal. 2.

​​ Warta Ekonomi, [No. 15/TH.X/31 Agustus 1998], hal. 18.

​​ Lihat. Michel Bacman,​​ Asian Eclipse Exposing the Dark Side of Business in Asia,​​ [Singapore: John Wiley & Sons, 2001], hal. 65.

​​ Kompas, 9 Maret 2002, hal. 13.

​​ FDIC v. WR. Grace & Co, 877 Fed 2d 614 [7th​​ cir 1989], dalam Deborah A. de Mott, “Do You Have the Right to Remain Silent ? Duties of disclosure in Business Transaction,”​​ Deleware Journal of Corporation Law, ​​​​ [Vol. 19, 1994], hal. 74.

​​ Lihat. Helen A. Garten, “What Price Bank Failure,”​​ Ohio State Law Journal, [1989], hal. 1164.

​​ Fred Galves, “Might Does Not Make Right: The Call for Reform of the Federal Government’s D’Oench, Duhme and 12 U.S.C s 1823 [E] Superpowers in Failed Bank Litigation,” Minnesota Law Review, [June, 1996], hal. 1323.

​​ Holly J. Gregory dan Marsha E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance]: Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal. 1.

​​ Ira M. Milltein, dalam Holly J. Gregory dan Marsha E. Simms,​​ Op. Cit,​​ hal.3.

​​ Bandingkan. Holly J. Gregory, “Tanggapan Mengenai Pedoman Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance] dan Peraturan Mengenai Praktik di Pasar Negara Berkembang,” ​​ makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal. 8.

​​ Holly J. Gregory dan Marsha E. Simms,​​ Op. Cit,​​ hal. 2.

​​ Holly J. Gregory,​​ Op. cit,​​ hal. 3.

​​ David G. Epstein, Steve H. Nickles dan James J. White, ​​ Bankruptcy,​​ [St. Paul. Minn: West Publishing Co, 1993], ​​ hal. 819.​​ 

​​ Mark S. Scarberry, Kenneth N. Klee, Grant W. Newton dan Steve H. Nickles,​​ Business Reorganitation In Bankruptcy,​​ [St. Paul, Minnesota: West Publishing Co, 1996], hal. 789.

​​ Ibid,​​ hal. 801-802.​​ 

​​ Disampaikan pada Seminar “Bedah Pasal 103 Huruf A Undang-Undang Nomor 10/1995 Tentang Kepabeanan” Kerjasama Kantor Wilayah I Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ​​ Medan dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara​​ , tanggal 5 Juni 2003, Medan.

​​ Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan menyatakan, bahwa “Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh Orang dalam rangka Kewajiban Pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam undang-undang ini.” Selanjutnya, Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 itu menyatakan, bahwa “orang adalah perseorangan atau badan hukum.”

​​ Lihat. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Penjelasannya

​​ Pasal 3 ayat [1] dan [2] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

​​ Pasal 4 ayat [1] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

​​ Henry Campbell Black,​​ Black‘ s Law Dictionary,​​ [ST. Paull, Minn: West Publishing Co, 1990],​​ ​​ hal. 600

​​ Uniform Customs and Practice for Documentary Credits​​ [UCP] 500

​​ Ramlan Ginting,​​ Letter of Credit Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis,​​ [Jakarta: Salemba Empat, 2000], hal. 115.

​​ Bandingkan. Raj ​​ Bhala,​​ International Trade Law: Theory and Practice, [New York: LEXIS Publishing, 2001]

​​ Wirjono Prodjodikoro,​​ Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia,​​ [Jakarta-Bandung: P.T. Eresco, 1967], hal. 182.

​​ Henry Campbell Black,​​ Op. Cit,​​ hal. 1001.

​​ Bandingkan. Pasal 263 ayat [1] K.U.H.P menyatakan: “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian [kewajiban] atau pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah ​​ surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.” R. Soesilo,​​ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [K.U.H.P] Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,​​ [Bogor: Politeia, 1996], hal. 195.

​​ Henry Campbell Black,​​ Op. Cit,​​ hal. 1001.

​​ Jack E. Karns dan Frederick P. Schadler, “Requaring Basic Disclosure of Preliminary Management Buyout Negotiations: Re-defining Rule 10b-5 Materiality After​​ RJB Nabisco,”​​ Memphis State University Law Review,​​ [Vol. 19, 1989], hal. 328

​​ In re Glenfed, Inc, Sec, Litig, 42 F. 3d 1541 [9th​​ Cir, 1994].

​​ Chiarella v. United States,​​ 445 U.S. 222 [1980]

​​ Ernst & Ernst v. Hochfelder,​​ ​​ 425 U.S. 185 [1976].

​​ Shafiro v. UJB Financial Corp,​​ 946 F. 2d. 272 [3rd​​ Cir. 1992].

​​ Peil v. Speider, 806 F.2d. 1154 [3rd​​ Cir. 1986].

​​ Cooke v. Manufactured Homes,​​ 998 F.2d. 1265 [4th​​ Cir. 1993].

​​ Clive M. Schmitthoff, “Export Trade: Confirmed Documentary Credit; Issue Illegal but Confirmation Legal,”​​ The Journal of Business Law,​​ [September 1980], ​​ hal. 442.

​​ Raj Bhala, 1, International Trade Law Theory and Practice,[​​ New York: LEXIS Publishing, 2001], ​​ ​​ hal. 331.

​​ United States v. Ury,​​ 106 F.2d 28 [2nd​​ Cir. 1939]

​​ United States v. Murray,​​ 621 F. 2d. 1163. [1st​​ Cir. 1980]

​​ Anheuser-Busch Brewing Association v United States,​​ 207 U.S. 556 [1908]

​​ Raj Bhala,​​ Op. cit,​​ hal. 340.

​​ D. Schapffmeister,​​ Kekhawatiran Masa Kini [Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan Dalam Teori dan Praktik], [Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994], hal. 412.

​​ Bandingkan. Robert Cooter dan Thomas Ulen,​​ Law and Economic,​​ [New York: Addison Wesley Longman, 1999], hal. 435.

​​ Disampaikan pada “Lokakarya Pengadilan Pajak” kerjasama Program antara Yayasan ​​ Lembaga Kajian Pembangunan Indonesia [YALKINDO] dengan Kantor Pengadilan Pajak Indonesia, Medan, tanggal 14 Oktober 2002.

​​ The World Bank Annual​​ ​​ Report​​ 2002.

​​ Mary Ann Glendon, “The Sources of Law in A Changing Legal Order,”​​ Creighton Law Review,​​ [Vol. 17, 1984], hal. 633.

​​ Azhari,​​ Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya,​​ [Jakarta: UI-Press, 1995], hal. 104.

​​ Thomas W. Dunfee, Janice R. Bellace, David B. Cohen dan Arnold J. Rosoff,​​ Business and Its Legal Environment,​​ [New JerseyPrentice-Hall, Inc], hal. 28.​​ 

​​ Pasal 4 ayat [1] UUPP menyebutkan, bahwa sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain.

​​ Henry Campbell Black,​​ Black’s Law Dictionary, [ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990], hal. 1467.​​ 

​​ Thomas W. Dunfee, Janice R. Bellace, David B. Cohen dan Arnold J. Rosoff,​​ Loc. cit.​​ 

​​ Henry Campbell Black,​​ Loc. Cit.​​ 

​​ Henry Campbelll Black,​​ Op. cit,​​ hal. 472-473.

​​ United States v. Chiarella, 588 F.2d 1358, 1373 [1978]

​​ United States v. Carpenter,​​ 791 F.2d 1024, 1036 [2nd​​ Cir. 1986].

​​ Thomas W. Dunfee, Janice R. Bellace, David B. Cohen dan Arnold J. Rosoff,​​ Op. cit. hal, 40.

​​ Henry Campbell Black,​​ Op. cit,​​ hal, 1406.

​​ Thomas W. Dunfee, Janice R. Bellace, David B. Cohen dan Arnold J. Rosoff,​​ Op. cit. hal, 41.

​​ Charles Himawan, “Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum,” Pidato Pengukuhan pada Upacara Penerimaan Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap Pada FakultasHukum Universitas Indonesia, Jakarta, tanggal 24 April 1991, ​​ hal. 19-20.

​​ Charles Himawan,​​ Op. cit,​​ hal. 20.​​ 

​​ Ketetapan-Ketetapan MPR RI. 1993​​ [Surabaya : Penerbit Bina Pustaka Tama] hal. 41.

​​ Bruce Chopman dan John Quinn, “Efficiency, Liberty and Equality : Three ethical justification for Regulatory Reform”, Osgoode Hall Law Journal [Vol. 20 No. 3] : 512-513. Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law and Policy, [Vol. 9, 1980] : 232.

​​ Pasuk Phongpaichit,​​ The New of Japanese Investment In Asean. [Singapore : Institut of Southeast Asian Studies, 1990] hal. 45

​​ Keterkaitan antara perusahaan besar dan kecil melalui praktik sistem​​ sub-contracting​​ diawali dari REPELITA III, yang diprakarsai oleh BUMN. Dalam hal ini perusahaan besar membantu pemasok [pengusaha kecil] untuk memberikan bantuan teknik, suplai bahan baku produksi dan pemasaran. Selanjutnya praktik sistem​​ sub-contracting​​ tersebut diperluas ke sektor dunia usaha swasta. Upaya ke arah praktik sistem​​ sub-contracting​​ dalam sektor dunia usaha swasta ini direalisasikan dengan kebijaksanaan pemerintah diantaranya melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984. Dalam undang-undang ini dihimbau agar perusahaan besar membantu meningkatkan keterkaitan dengan pengusaha kecil dan membantu usaha kecil untuk pemasaran, rekayasa, suplai bahan baku dan dukungan modal dan hal-hal teknis lainnya.

​​ Hal Hill,​​ Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia [Foreign Investment and Industrialization in Indonesia]​​ Diterjemahkan oleh Burhanuddin Abdullah, [jakarta : LP3ES, 1990], hal.198. Lihat Erman Rajagukguk, “ Hubungan Penjual dan Pemasok Dalam Upaya Mengembangkan Industri : Suatu tinjauan Hukum”. Makalah disampaikan pada Seminar Perundang-undangan, Jakarta, 18-19 Juli 1980, hal.5.​​ 

​​ Media Indonesia, 13 Maret 1997, hal.3, kolom 1

​​ Charles Himawan,​​ The Foreign Investment Process in Indonesia, [Singapore : Gunung Agung, 1980], hal.10.

 ​​​​ Monte Palmer,​​ Dilemmas of Political Development, [Itasca, Illinois : F.E. Peacoek Publisher Inc., 1982], hal.30.

​​ Charles Himawan, Op. cit, hal.23.

​​ Thomas I. Emerson, “Law as A Force Social Progress”, 18 Conecticut Law Review I [1985] : 1. Bandingkan Randy E. Bernett, “Formord : Why We Need Legal Philosophy”, 8 Harvard Journal of Law and Public Policy 1, hal.5. “Pendapat aliran Neo Rousseauians menyatakan negara mungkin penting untuk melindungi pribadi-pribadi satu dari yang lainnya. Aliran Neo Rousseauians menekankan peranan negara sebagai sumber-sumber mutlak dari hal-hal kemasyarakatan [kepentingan umum]”. Bandingkan juga Richard B. Mc Kenzie dan Gordon Tullockm,​​ Modern Political Economy.​​ [Tokyo : Mc. Graw-Hill Kogakusha, 1978], hal. 343. “Hukum adalah produk pemerintah. Hukum menetapkan batas-batas perilaku individu, tipe dan ruang lingkup pemerintah dan arti serta hak-hak negara dan pemilikan individu. Pada umumnya efek komulatif dari arus hukum yang dihasilkan oleh perundang-undangan akan menentukan tipe masyarakat yang akan diperoleh”. ​​ 

​​ Erman Rajagugkguk,​​ Op.cit., hal.8.

​​ Richard A. Posner,​​ Economic Analysis of Law.​​ [Boston, Toronto : Little Brown and Company, 1977], hal. 189.

 ​​​​ Michael B. Metzger, J.D., Jane P. Mallor, J.D.A. James Barnes, J.D., a.l.,​​ Business Law and​​ The Regulatory Environment,​​ Illinois : Irwin, 1986], hal.130.  ​​ ​​​​ 

 ​​​​ Wolfgang Friedmann,​​ Legal Theory. [London L Stevens & Sons, 1953], hal.3.​​ 

 ​​​​ H.L.A. Hart, The Concept of Law [Oxford University Press, 1988], hal.167.

 ​​​​ Kalven and Hans Zeizel dalam Robert S. Summers, Law : Its Nature, Functions and Limits, [Englewood Cliffs, N.J. : Prentice Hall Inc, 1972], hal.2.​​ 

 ​​ ​​​​ Randy E. Barnett, Op.cit. hal.2.

 ​​​​ Lawrence M. Friedmann,​​ Law and Society, [New Jersey : Prentice-Hall, 1977], hal.7 dan Freidmann, American Law, [New York : W.W.Norton &Company, 1984], hal.10.

​​ Lawrence M. Friedmann,​​ The Republic of Choice Law, Authority and Culture, [Massachussetts : Harvad University Press, 1990], hal.95.

​​ Jhon Rawls dalam Howard Davies dan David Holdcroft,​​ Jurisprudence : Texts and Commentary, [London : Butter – Worth & Co Ltd, 1991], hal. 283.

 ​​ ​​​​ Wolfgang Friedmann, Op.cit., hal. 9-10.

 ​​ ​​​​ Phillipe Nonet dan Philip Zelznick,​​ Law and Sociaty in Transsition : Toward Responsive Law, [New York : Harper Colophon Books, 1978], hal. 73.

​​ Paul ​​ A. Pantler ​​ and ​​ Robert ​​ P. O’Quinn, ​​ “Recent ​​ Empirical ​​ Evidence ​​ on ​​ Mergers ​​ and ​​ Acquisitions”. ​​ The ​​ Antitrust ​​ Bulletin. ​​​​ Winter ​​ 1993, ​​ h. 742-743.  ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​ ​​​​ 

​​ Paul ​​ T. ​​ Denis, ​​ “Advances ​​ of ​​ the ​​ 1992 ​​ Horizontal ​​ Merger ​​ Guidelines ​​ in ​​ the ​​ Analysis ​​ of ​​ Competitive ​​ Effects. ​​ “The ​​ Antitrust ​​ Bulletin ​​​​ Fall ​​ 1993, ​​ h. ​​ 480-487.​​ 

 ​​​​ Joseph ​​ Evan ​​ Calio, ​​ “New ​​ Appraisals ​​ of ​​ Old ​​ Problems ​​ : ​​ Reflections ​​ on ​​ the ​​ Delaware ​​ Appraisal ​​ Proceeding, ​​ “American ​​ Business ​​ Law ​​ Journal ​​​​ Vol. ​​ 32 ​​ [1994], ​​ h. 2-3.

​​ Lihat ​​ antara ​​ lain ​​ Marc ​​ R. ​​ Lisker ​​ “No ​​ Dale ​​ Bancorporation ​​ V. ​​ Clarke ​​ : ​​ The ​​ Eighth ​​ Circuit’s ​​ Ruling ​​ on ​​ Freezeout ​​ Mergers ​​ Sends ​​ a ​​ chill ​​ to ​​ Minority ​​ Shareholders. ​​ “Northwestern ​​ University ​​​​ Law ​​ Review. ​​ ​​​​ 

​​ Disampaikan pada “Lokakarya Mengenai Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan,” kerjasama antara Dirjen Pembinaan BUMN, Jakarta Stock Exchange, Pascasarjana USU, Fakultas Hukum UI dan University of South Carolina. Medan 7 Desember 2001.

 ​​​​ William H. Beaver, “The Nature of ​​ Mandated Disclosure,” dalam Richard A. Posner dan Kenneth E. Scott, ed,​​ Economic of Corporation Law and Securities Regulation,​​ [Boston, Toronto: Little, Brown & Company, 1980], hal. 317.

​​ Di samping untuk meningkatkan keterbukaan, juga adalah untuk meningkatkan infrastruktur pasar, kliring dan penyelesaian transaksi, jenis instrumen yang diperdagangkan, pelayanan terhadap nasabah dan teknologi. Bapepam,​​ Cetak Biru Pasar Modal Indonesia,​​ [Jakarta: Bapepam, 1999], hal. 8.

​​ FRB adalah dewan pimpinan​​ Federal Reserve System.​​ Ketujuh anggotanya, dengan persetujuan Senat, diangkat oleh Presiden Amerika Serikat untuk masa bakti 14 tahun. Dewan menetapkan kebijakan​​ Federal Reserve System​​ mengenai masalah-masalah kunci seperti persyaratan cadangan dan peraturan perbankan lainnya, menetapkan tarif diskonto, mengetatkan atau melonggarkan tersedianya kredit dalam perekonomian, dan mengatur pembelian sekuritas atas marjin. John Downes dan Jordan Elliot Goodman,​​ Op. cit, hal. 182.​​ Federal Reserve System​​ adalah sistem yang didirikan berdasarkan​​ Federal Reserve Act​​ tahun 1913 untuk mengatur sistem moneter dan perbankan Amerika serikat.​​ Federal Reserve System​​ terdiri atas 12​​ Federal Reserve Banks Regional, 24 cabang, dan semua bank nasional dan negara bagian yang menjadi bagian dari sistem. Bank-bank nasional menjadi pemegang saham dari​​ Federal Reserve Bank​​ di wilayah masing-masing. Fungsi utama dari​​ Federal Reserve System​​ adalah untuk mengatur pasokan uang nasional, menetapkan persyaratan cadangan bagi bank-bank anggota, mengawasi pencetakan uang di percetakan uang, bertindak sebagai lembaga kliring untuk transfer dana di seluruh sistem perbankan, dan meneliti bank-bank anggota untuk memastikan bahwa mereka menaati berbagai peraturan​​ Federal Reserve System. Walaupun para anggota dari dewan pimpinan sistem diangkat oleh Presiden Amerika Serikat dan dikonfirmasikan melalui Senat,​​ Federal Reserve System​​ dianggap sebagai satuan kerja yang mandiri, yang diharapkan membuat keputusan yang bebas dari pengaruh politik. Para Gubernur diangkat untuk masa jabatan 14 tahun yang semakin memperkuat kemandirian mereka. John Downes dan Jordan Elliot Goodman,​​ Dictionary of Finance and Investment Terns,​​ diterjemahkan oleh Soesanto Budhidarmo, [Jakarta: PT. Gramedia, 1996], ​​ hal. 182.

 ​​​​ E.S. Gayed,​​ Challenge of A Generation Beyond the Crash of 87, [New York : Institute of Finance New York, 1989], hal. 34.

​​ Bandingkan. Peter ​​ S. Rose,​​ Money and Capital Market The Financial System in an Increasingly Global Economy, ​​ [Illinois, Boston : Dowjones - Irwin, 1989], hal. 4.

​​ Hancurnya pasar modal Amerika Serikat pada tahun 1929 juga​​ mempengaruhi bursa efek di Hindia Belanda. Apalagi resesi ekonomi dunia ini disusul Perang Dunia II tahun 1939 serta masuknya Indonesia dalam era penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan membuat bursa tidak berfungsi. Sumantoro,​​ Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar Modal di Indonesia, [Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988], hal. 40. Untuk mengaktifkan bursa, pada 1 September 1951 dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 13 Tentang Bursa dan kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Bursa No. 15 Tahun 1952. Jasso Winarto [ed],​​ Pasar Modal Indonesia Retrospeksi Lima Tahun Swastanisasi BEJ,​​ [Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1977], hal. 12.Undang-Undang Darurat ini belum mengatur prinsip keterbukaan dan belum memadai sebagai rambu perlindungan investor atau pemegang saham. Untuk keperluan ini dan untuk mengembangkan pasar modal, maka dibutuhkan suatu Undang-Undang yang dapat mendukung pasar modal, yang kemudian direalisasikan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal [UUPM]. Dengan UUPM ini diharapkan dapat dilaksanakan guna berperannya pasar modal secara strategis dalam pembangunan ekonomi. Selanjutnya Undang-Undang Pasar Modal sebagai hukum yang diharapkan menciptakan keteraturan mekanisme pasar modal, harus mengandung​​ stability​​ [stabilitas],​​ predictability​​ [kepastian] dan ​​ fairness​​ [keadilan]. Hal ini dapat dibandingkan dengan studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan pembangunan sebagaimana dikutip Leonard J. Theberge dalam tulisannya​​ “Law and Economic Development.”​​ Burg’s menyebutkan bahwa terdapat 5 [lima] unsur yang harus dikembangkan dalam kualitas hukum supaya membuat pembangunan lebih baik, yaitu​​ stability,​​ predictability,​​ fairness, education​​ dan​​ the special development abilities of the lawyer.​​ Menurut Burg’s unsur kualitas​​ stability​​ dan​​ predictabilty​​ merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development,”​​ Journal of International Law and Policy​​ [Vol. 9, 1980], hal. 232.

 ​​​​ Ernst & Ernst v. Hochfelder,​​ 425 U.S. [1976]

​​ Keputusan Ketua Bapepam Nomor KEP-38/PM/1996 dan Peraturan Nomor VIII.G.2 tentang Laporan Tahunan. Lihat juga. Keputusan Ketua Bapepam Nomor KEP-22/PM/1998 dan Peraturan Nomor II.H.7 mengenai Pedoman tentang Pemeriksaan Atas Dugaan Adanya Laporan Keuangan yang Mengandung Informasi yang Tidak Benar atau Menyesatkan.

 ​​​​ In Re Glenfed, Inc. Securities Litigation, 11 F. 3d 843 [9th Cir. 1993].

​​ 11 F. 3d 843, 844 [9th Cir. 1993]

 ​​​​ 11 F. 3d 843, 844 [9th. 1993]

 ​​​​ 11 F. 3d 843, 844 [9th Cir. 1993]

​​ Howard Good v. Zenith Electronics Corp, 751 F. Supp. 1320 [N.D. III. 1990].

​​ 751 F. Supp. 1320, 1321 ​​ [N.D. III. 1990].

​​ 751 F. Supp. 1320, 1321 ​​ [N.D. III. 1990].

​​ Dalam menentukan unsur-unsur pernyataan tersebut pengadilan menunjuk​​ Schlifke v. Seafirst Corp. 866 F. 2d 935, 943 [7th Cir. 1989], dimana fakta material menyangkut unsur tersebut. Juri menemukan bahwa tergugat membuat pernyataan yang salah atau​​ misleading​​ dalam​​ press release​​ perusahaan tertanggal 25 April. Selanjutnya, tergugat yang memberikan proyeksi pendapatan bisa juga melanggar​​ Section​​ 10[b] dimana dia “mengabaikan [fakta] secara serius yang mengurangi akurasi peramalan.”​​ Marx v. Computer Sciences Corp. 507 F.2d 485, 490 [9th Cir. 1974].​​ Howard Good v. Zenith Electronics Corp, 751 F. Supp. 1320, 1322 ​​ [N.D. III. 1990].

​​ D&N Financial, Corp. v. RCM Partners Ltd, 735 F. Supp. 1242 [D. Del. 1990].

​​ 735 F. Supp. 1242, 1243-44, [D. Del. 1990].

 ​​​​ Cione v. Gorr, 843 F. Supp. 1199 [N.D. Ohio 1994].

 ​​​​ 843 F. Supp. 1199, 1200 [N.D. Ohio 1994].

 ​​​​ 843 F. Supp. 1199, 1200 [N.D. Ohio 1994].

 ​​​​ 843 F. Supp. 1199, 1201 [N.D. Ohio 1994].

 ​​​​ 843 F. Supp. 1199, 1201 [N.D. Ohio 1994].

​​ David G. Epstein, Steve H. Nickles dan James J. White, ​​ Bankruptcy,​​ [St. Paul. Minn: West Publishing Co, 1993], ​​ hal. 819.​​ 

​​ Mark S. Scarberry, Kenneth N. Klee, Grant W. Newton dan Steve H. Nickles,​​ Business Reorganitation In Bankruptcy,​​ [St. Paul, Minnesota: West Publishing Co, 1996], hal. 789.

 ​​​​ Ibib,​​ hal. 800-801.

​​ Ibid,​​ hal. 801-802.​​ 

​​ Disajikan dalam​​ Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Konsultan Hukum Dalam Rangka Penyelesaian Perselisihan Perdagangan​​ oleh Fakultas Hukum USU & Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kanwil Sumatera Utara, Medan, tanggal 29 September 1999.

​​ Daniel ​​ S. Ehrenberg,​​ GATT Activities 1991, “The Labor Link : Applying the International Trading System to Enforce Violation of Forced and Child Labor,” [20 Yale J. Int’l, 1995], hal. 391.

​​ H.S. Kartadjoemana,​​ GAT dan WTO​​ [Jakarta : UI - Press, 1996], hal. 77.

​​ Bank Indonesia,​​ Schedule of Commitments Indonesia : Sub-Sektor Perbankan, [Jakarta : Enquiry Point Urusan Hukum dan Kesekretariatan Bank Indonesia, 1996], hal. 1-8.

​​ Erman Rajagukguk,​​ Hukum Bisnis,​​ Diktat Kuliah Program Pascasarjana Master Of Business Administration, [Jakarta : Universitas Pancasila, 1993], hal. 257-278.​​ 

​​ Disampaikan pada Seminar Nasional dan Diskusi Sehari Pengelolaan Portofolio Investasi “Mencermati Pengelolaan Portofolio Investasi yang Efesien, Aman, Menguntungkan dan Bertangungjawab”, pada Lembaga Pengembangan Sektor Publik [LPSP] Bhakti Nusa, tanggal , 15 Oktober 2003, Jakarta.

​​ Disampaikan pada Diskusi dengan Tema “Indonesia Pasca IMF”, Ikatan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan 20 Oktober 2003.

​​ Erman Rajagukguk, “Peranan Hukum Di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,” disampaikan dalam rangka Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia [1950-2000], 5 Februari 2000, hal. 6.

​​ Zulkarnain Sitompul, “Perlindungan Dana Nasabah Bank​​ Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Di Indonesia”, Cetakan Pertama, ​​ Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 3-4.​​ 

​​ Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance]: Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance], kerjasama, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal.3-4.

​​ Laporan Millstein itu dimuat dalam Business Sector Advisory Group, “Report to the OECD on Corporate Governance: Improving Competiveness and Access to Capital in Global Markets [April 1998]. Diuraikan Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms,​​ Op. cit., hal.12.​​ 

​​ Holly J.Gregory dan Marshal E. Simms,​​ Op. cit., hal. 12-13.

​​ Bapepam,​​ Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, Jakarta: Bapepem, 1999, hal.17.

​​ Barry A.K. Rider, “Global Trens in Securities Regulation: The Changing Legal Climate,”​​ Dickinson Journal of International Law,​​ [Spring, 1995], hal. 120.​​ 

​​ Nicholas I. Georgakopoulus, “Why Should Disclosure Rules Zubsidize Informed Traders,”​​ International Review Law and Economic,”​​ [Vol. 16, 1996], hal.418.

​​ John C. Coffee, Jr, “Market Failure and the Econjomic Case for A Mandatory Disclosure System,”​​ Virginia Law Review,​​ [Vol. 79, 1984], hal. 721.

​​ Bandingkan. Richard W. Jenning dan Harold Marsh, Jr,​​ Securities Regulation Cases and Materials,​​ [New York: The Foundation Press Inc, 1987], hal. 63.

​​ Lihat. Gillian G. Carcia, “Protecting Bank Deposits, International Monetary Fund,”​​ Economic Issues,​​ [No. 9, 1997], hal. 1.​​ 

​​ William A. Lovett,​​ Banking and Financial Institutional Law,​​ [USA: West Publishing, Co, 1997], hal. 1.

​​ Horst Laubscher, Mengapa Pengelolaan Perusahaan Penting Bagi Indonesia, makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal. 2.

​​ Ingo Walter,​​ High Performance Financial System: Bluptint for Development, [Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1993], hal. 52.

​​ Nicholas A. Lash,​​ Banking Laws and Regulation: An Economic Perspective, [USA: Prentice Hall Inc, 1987], hal. 8. ​​ 

​​ The World Bank, “Indonesia In Crisis A Macroeconomic Update,” Washington, D.C. , [16 Juli 1998], hal. 1dan 4.​​ 

​​ Jurnal Pasar Modal Indonesia, [No. 8/IX/Agustus 1998], hal. 34.

​​ Widigdo Sukarman, “Upaya Penyehatan Perbankan dan Sektor Rill,” Bisnis & Ekonomi Politik Quaterly Review of the Indonesia Economy, Vol. 3, Nomor 1 [Januari 1999], hal. 21. Lihat juga.​​ The Economist,​​ “A Survey of Banking in Emerging Market the Four to Fear,” [April, 12-18, 1997], hal. 9-12.

​​ Sofyan A. Djalil,​​ Op. Cit,​​ hal. 2.

​​ Warta Ekonomi, [No. 15/TH.X/31 Agustus 1998], hal. 18.

​​ Lihat. Michel Bacman,​​ Asian Eclipse Exposing the Dark Side of Business in Asia,​​ [Singapore: John Wiley & Sons, 2001], hal. 65.

​​ Kompas, 9 Maret 2002, hal. 13.

​​ FDIC v. WR. Grace & Co, 877 Fed 2d 614 [7th​​ cir 1989], dalam Deborah A. de Mott, “Do You Have the Right to Remain Silent ? Duties of disclosure in Business Transaction,”​​ Deleware Journal of Corporation Law, ​​​​ [Vol. 19, 1994], hal. 74.

​​ Lihat. Helen A. Garten, “What Price Bank Failure,”​​ Ohio State Law Journal, [1989], hal. 1164.

​​ Fred Galves, “Might Does Not Make Right: The Call for Reform of the Federal Government’s D’Oench, Duhme and 12 U.S.C s 1823 [E] Superpowers in Failed Bank Litigation,” Minnesota Law Review, [June, 1996], hal. 1323.

​​ Bandingkan. Holly J. Gregory, “Tanggapan Mengenai Pedoman Pengelolaan Perusahaan [Corporate Governance] dan Peraturan Mengenai Praktik di Pasar Negara Berkembang,” ​​ makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal. 8.

​​ Holly J. Gregory dan Marsha E. Simms,​​ Op. Cit,​​ hal. 2.

​​ Holly J. Gregory,​​ Op. cit,​​ hal. 3.

​​  David G. Epstein, Steve H. Nickles dan James J. White, ​​ Bankruptcy,​​ [St. Paul. Minn: West Publishing Co, 1993], ​​ hal. 819.​​ 

​​  Mark S. Scarberry, Kenneth N. Klee, Grant W. Newton dan Steve H. Nickles,​​ Business Reorganitation In Bankruptcy,​​ [St. Paul, Minnesota: West Publishing Co, 1996], hal. 789.

​​ Ibid,​​ hal. 801-802.​​ 

​​ Koesnadi Hardjasoemantri, “Good Governance​​ Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia,” makalah disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003, hal. 2003.​​ 

​​ Lihat. Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”,​​ Journal of International Law and Policy,​​ [Vol. 9, 1980], hal. 232.

​​ Erman Rajagukguk,​​ Op. Cit,​​ hal. 1. Lihat juga. L. Michael Hager, “The Role of ​​ Lawyers in Developing Countries”, 58 ABA Journal [1972], hal. 33.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề