Masuknya pengaruh Hindu dan Budha ke Indonesia menyebabkan terjadinya proses Akkulturasi budaya antara keduanya apakah yg dimaksud Akkulturasi?

tirto.id - Asimilasi adalah proses adaptasi dua kebudayaan yang melahirkan budaya baru, sedangkan akulturasi adalah proses adaptasi dengan tetap mempertahankan kebudayaan lama.

Persinggungan dari berbagai perbedaan yang ada menjadikan suatu ketertarikan untuk bisa melakukan proses adaptasi ke dalam berbagai bentuk kebudayaan. Hal tersebut didasarkan oleh kemajuan zaman dan juga kebutuhan dari masing-masing kelompok untuk bisa bertahan dan juga dapat terus berkembang.

Perbedaan Akulturasi dan Asimilasi

Proses akulturasi dan asimilasi merupakan suatu cara untuk tiap kelompok dapat mengembangkan dan juga mempertahankan kebudayaannya. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan pengembangan maupun pembaruan sistem dengan kelompok sosial lain.

Proses ini menurut Dr. Trina Harlow juga dianggap sebagai cara untuk mempertahankan budaya sendiri sekaligus belajar memahami keberadaan budaya lain. Namun, dari kedua proses tersebut terdapat berbagai perbedaan antara akulturasi dan asimilasi.

Akulturasi

Menurut sosiolog Gillin dan Raimy akulturasi adalah proses budaya dalam suatu masyarakat yang dimodifikasi dengan budaya lain. Terjadinya proses ini diakibatkan dari aktivitas kontak sosial dengan budaya lain yang berdampak pada munculnya proses akulturasi.

Secara lebih luas, akulturasi adalah proses adaptasi kebudayaan dengan tetap mempertahankan kebudayaan lama. Sehingga proses ini tidak berjalan secara tunggal, melainkan terjadi secara dinamis.

Baca juga: Contoh Asimilasi dan Akulturasi di Indonesia Beserta Penjelasannya

Sedangkan sosiolog Dr. Trina Harlow mencontohkan proses akulturasi seperti sebuah mangkuk salad. Ibaratnya di dalam mangkuk itu berisikan berbagai jenis bahan makanan yang masing-masing tetap independen tetapi bercampur dan meningkatkan posisi satu sama lain.

Terkait dengan prosesnya, terdapat berbagai perdebatan teori apakah proses ini dilakukan oleh individu ataupun kelompok. Menurut Devereux dan Loeb, akulturasi merupakan proses kelompok tanpa mengacu pada peran individu. Hal tersebut karena kelompok dijadikan sebagai kepentingan konstituen dalam suatu budaya.

Sedangkan menurut Dohrewen dan Smith mengatakan bahwa meskipun kelompok sebagai elemen penting dalam akulturasi, tetapi memiliki pengaruh terhadap peluang akulturasi individu.

Keseluruhan perdebatan tersebut ditegaskan kembali oleh Gillin dan Raimy, dan Eaton bahwa pada akhirnya akulturasi dapat terjadi pada keduanya, baik individu maupun kelompok.

Dalam analisis tingkat kelompok, akulturasi mungkin menunjukkan perubahan orientasi nilai dan juga adopsi nilai-nilai kelompok lain. Akan tetapi hal tersebut bukanlah kondisi utama yang diperlukan agar akulturasi bisa diciptakan. Melainkan hal tersebut diciptakan melalui nilai dan sikap yang dilakukan tanpa paksaan.

Contoh alkuturasi dalam bidang arsitektur atau bangunan antara lain, bangunan keraton yang merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Jawa, Eropa, Arab, dan China.

Asimilasi

Sedangkan menurut Raymond H. C. Teske, Jr.dan Bardin H. Nelson, akulturasi dan asimilasi merupakan suatu proses terpisah. Menurut mereka, asimilasi adalah suatu proses penggabungan dua kebudayaan berbeda menjadi suatu kebudayaan baru. Proses ini juga dapat diartikan sebagai suatu peleburan budaya dengan menghilangkan budaya asli menjadi suatu budaya baru yang lebih dominan.

Jika kita melihat perbedayaannya, akulturasi tidak membutuhkan penerimaan dari luar kelompok, sedangkan asimilasi memerlukan penerimaan karena merupakan suatu budaya baru atas peleburan dari dua kebudayaan lama. Kemudian, asimilasi juga membutuhkan orientasi positif terhadap luar kelompok. Secara lebih lanjut, juga membutuhkan adanya identifikasi dengan kelompok luar.

Contoh asimilasi dapat dilihat dalam penggunaan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari, misalnya anak muda yang kerap menggunakan kata "sorry" daripada "maaf".

Baca juga: Apa Itu Stratifikasi Sosial: Definisi, Penyebab, Teori di Sosiologi

Baca juga artikel terkait SOSIOLOGI atau tulisan menarik lainnya Muhammad Ibnu Azzulfa
[tirto.id - mia/agu]


Penulis: Muhammad Ibnu Azzulfa
Editor: Agung DH
Kontributor: Muhammad Ibnu Azzulfa

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

tirto.id - Dalam konten edukasi sejarah kali ini, kita akan mempelajari contoh akulturasi budaya masyarakat nusantara dengan ajaran Islam.

Sejarah perkembangan masuknya agama Islam di Indonesia tidak terlepas dari akulturasi dengan budaya lokal. Ajaran Islam disambut dengan ragam budaya di Nusantara, atau Jawa, yang sudah berakulturasi dengan budaya Hindu, Buddha, juga tradisi nenek moyang.

Advertising

Advertising

Definisi atau pengertian akulturasi menjadi penting untuk dipahami dalam konteks ini, berlanjut dengan proses awal masuknya ajaran Islam di Nusantara yang pada akhirnya menjadi agama terbesar yang dianut oleh penduduk Indonesia.

Hasil akulturasi Islam dengan budaya lokal di Nusantara yang telah ada sebelumnya kemudian menghasilkan sesuatu yang baru dan merupakan perpaduan dari ragam budaya yang berbeda tersebut.

Perkembangan Akulturasi Islam di Indonesia

Akulturasi dimaknai sebagai fenomena yang terjadi ketika kelompok kelompok individu dengan budaya berbeda terlibat dalam kontak yang terjadi secara langsung. Proses ini disertai perubahan terus-menerus, sejalan dengan pola-pola budaya asal atau dari kedua kelompok itu.

Penelitian Berry Jhon W. bertajuk "Acculturation: Living Successfully in Two Cultures" dalam International Journal of Intercultural Relations [2005] mendefinisikan akulturasi sebagai proses belajar dari sosok individu yang memasuki budaya baru yang berbeda dari budaya sebelumnya.

Baca juga:

Akulturasi sering pula dideskripsikan sebagai perubahan dan adaptasi. Perubahan akulturasi bisa jadi merupakan konsekuensi dari transmisi/persinggungan budaya yang terjadi secara langsung.

Penyebab perubahan ini bisa saja berkembang dari faktor nonkultural, seperti modifikasi lingkungan dan demografi yang dibawa melalui pergeseran budaya.

Proses perubahannya berbeda-beda, tergantung dari masa penyesuaian terhadap masuknya budaya asing, yang bisa saja merupakan adaptasi reaktif atas kecenderungan cara hidup tradisional yang sudah terbiasa dilakukan sebelumnya.

Di Nusantara, ajaran Islam mampu berkembang dan menyebar dengan cukup pesat yang kini merupakan agama dengan pemeluk terbesar di Indonesia.

Kehadiran Islam di Nusantara relatif bisa diterima oleh masyarakat berkat gaya syiar yang tetap menghargai budaya atau tradisi sebelumnya. Gaya dakwah seperti ini dirintis oleh para Walisongo sejak abad ke-15 Masehi.

Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab bahwa pada abad ke-17 M, ajaran Islam sudah menyebar ke berbagai wilayah di Nusantara, tulis Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo [2012].

Baca juga:

Contoh Akulturasi Budaya Masyarakat di Nusantara dengan Ajaran Islam di Indonesia

Beberapa contoh tradisi yang merupakan bentuk akulturasi Islam dengan budaya lokal di Nusantara, khususnya di Jawa antara lain tradisi kenduri atau kenduren untuk mendoakan arwah orang yang sudah meninggal dunia.

Kenduri ini sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha di Jawa. Sunan Ampel menyesuaikan tradisi ini agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.

Berikutnya ada beduk, peralatan untuk memberikan penanda waktu salat bagi umat Islam. Sebelumnya, beduk dipakai sebagai penanda waktu dalam peribadatan umat Buddha.

Baca juga:

Wayang juga merupakan salah satu bentuk akulturasi Islam dengan budaya lokal di Jawa. Wayang yang sudah dikenal sejak zaman pra-Islam di Jawa digunakan oleh para Walisongo untuk berdakwah agar mudah diterima oleh masyarakat.

Walisongo juga memanfaatkan gamelan untuk menarik minat warga agar menghadiri pengajian sebagai salah satu bentuk syiar Islam.

Beberapa contoh akulturasi lainnya adalah tradisi Sekaten di Yogyakarta dan Surakarta, arsitektur sejumlah masjid di Jawa yang merupakan perpaduan corak Hindu/Buddha dan Islam, tembang-tembang Jawa yang sedikit diubah untuk dakwah, dan lain sebagainya.

Bentuk-Bentuk Akulturasi Kebudayaan Islam di Indonesia

Indonesia banyak memiliki akulturasi kebudayaan Islam yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut terjadi karena sebelum Islam masuk sudah banyak terdapat kebudayaan suku asli, agama Hindu-Budha, dan lainnya.

Dikutip dari Jurnal Fikrah: Akulturasi Islam dan Budaya Jawa oleh Donny Khoirul Aziz [2013:266-273], Beberapa akulturasi kebudayaan Islam yang berkembang di Indonesia sebagai berikut:

1. Tradisi Bentuk Makam

Pada masa Hindu, masyarakat tidak memiliki tradisi memakamkan mayat. Masyarakat melakukan tradisi Hindu membakar mayar dan melarung abunya ke laut. Abu dari orang kaya akan disimpan dalam guci dan abu raja akan disimpan dalam sebuah candi.

2. Bentuk Nisan

Akulturasi budaya juga dapat dilihat dalam bentuk nisan. Bentuk nisan yang berkembang pada awalnya hanya berbentuk kapal terbalik [lurus] dari Persia. Kemudian, berkembang bentuk lain seperti teratai, keris, dan gunungan wayang yang dipengaruhi kebudayaan Jawa.

3. Arsitektur Bangunan Masjid

Banyak terdapat bangunan masjid di Indonesia seperti Masjid Agung Demak, Masjid Gede Mataram, Masjid Soko Tunggal Kebumen, dan lainnya. Beberapa arsitektur masjid yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha dan Barat sebagai berikut:

  • Bentuk atap masjid berbentuk kubah Ottoman style dan India style. Tedapat atas bersusun yang bentuknya semakin kecil ke atas serta bagian atas seperti mahkota. Atapnya berjumlah ganjil bilangan tiga atau lima.
  • Terdapat bedug sebagai penanda tibanya waktu salat.
  • Beberapa masjid seperti Masjid Agung Kudus memiliki atap tumpeng. Sedangkan, Masjid Agung Banten memiliki Menara berbentuk mercusuar.
  • Letak masjid bersifat strategis, yaitu terletak berdekatan dengan kraton, pasar, dan alun-alun.
4. Kesusasteraaan

Berkembang kesusastraan seperti hikayat dan syair. Di daerah Melayu karya sastra banyak ditulis menggunakan bahasa Arab. Sedangkan di Jawa menggunakan bahasa Jawa, walaupun beberapa kesusastraan menggunakan bahasa Arab terutama tentang soal keagamaan.

5. Seni Wayang

Berkembang seni kebudayaan berupa wayang yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh para Walisongo. Wayang merupakan bentuk samaran gambaran manusia supaya tidak melanggar aturan dalam Islam.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait AKULTURASI atau tulisan menarik lainnya Syamsul Dwi Maarif
[tirto.id - sym/isw]

Penulis: Syamsul Dwi Maarif Editor: Iswara N Raditya Kontributor: Syamsul Dwi Maarif

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề