Mbah Kholil menyusun kaidah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa disebut juga

Oleh: Iqbal Nurul Azhar

Kisah ini diambil dari buku Perca Caréta Dâri Madhurâ: Antologi Legenda Para Bhuju’ Madura dengan penulis: Iqbal Nurul Azhar dan Bagus Irawan, yang terbit di Kota Sidoarjo, 2019 dengan penerbit Balai Bahasa Jawa Timur, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ISBN: 978-602-8334-53-2.

Nama Kabupaten Bangkalan, tidak lepas dari nama seorang ulama Bangkalan yang begitu harum yaitu Kiai Kholil, atau Syaichona Mohammad Kholil atau tepatnya Kiai Haji Mohammad Kholil. Ia dikenal tidak hanya di nusantara, bahkan juga di tanah Arab. Tokoh ini adalah gurunya para kiai. Dari tangannya, telah lahir ratusan ulama yang beberapa diantaranya menjadi pemimpin nasional Indonesia.

Tokoh ini sengaja diangkat dalam buku ini karena dalam perspektif masyarakat Bangkalan, utamanya yang berada di pedesaan, tokoh ini adalah legenda yang mampu menciptakan banyak sekali kejadian-kejadian yang luar biasa yang penuh dengan hikmah. Seringkali tokoh ini diceritakan oleh para orang tua kepada anak-anak mereka sebagai pemacu semangat anak-anak tersebut untuk selalu rajin belajar dan meneladani sikap baik yang dimiliki tokoh ini.

Kiai Haji Mohammad Kholil atau yang kini lebih dikenal sebagai Mbah Kholil, lahir dari seorang ulama yang bernama Kiai Haji Abdul Latif dari Kampung Senenan Desa Kemayoran Bangkalan. Kiai Haji Abdul Latif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya.

Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayah Kholil mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Atas dasar inilah oleh ayahnya, Kholil kecil dididik agama Islam dengan sangat ketat. Saat Kholil masih kecil, ia telah menunjukkan bakat yang istimewa. Ia haus akan ilmu, terutama ilmu Fiqih dan Nahwu.

Ketika umurnya beranjak remaja, Kholil sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik [seribu bait ilmu Nahwu]. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqih dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

Di usia yang terbilang muda, Kholil kecil yang tumbuh menjadi seorang pemuda, belajar kepada Kiai Muhammad Noer di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Semasa mondok di Langitan, Kholil muda mendapat tempat yang baik di hati Kiai Muhammad Noer. Ini disebabkan selama ia mondok di tempat tersebut, ia beberapa kali menunjukkan kelebihannya sebagai seorang pemuda yang luar biasa.

Salah satu kelebihan Kholil muda selama mondok di Pesantren Langitan, yang sering diceritakan masyarakat, adalah kemampuan Kholil untuk melihat pikiran seseorang termasuk juga pikiran kiainya. Dikisahkan, Kholil muda seperti biasanya ikut  sholat jama’ah yang merupakan kewajiban para santri. Di tengah kekhusukan jama’ah sholat, tiba-tiba Kholil muda tertawa terbahak-bahak. Hal ini membuat santri-santri yang lain marah. Demikian juga dengan Kiai Muhammad Noer.

Selesai sholat, dengan kening berkerut, Kiai Muhammad Noer bertanya kepada Kholil muda perihal mengapa ia sampai tertawa terbahak-bahak sehingga mengganggu kekhusukan sholat berjemaah. Kholil muda menjawab dengan hormat bahwa sewaktu ia sholat, ia melihat Kiai Noer sholat sambil mengaduk-aduk nasi di bakul. Hal lucu ini yang membuat Kholil muda tertawa karena apa yang dikerjakan Kiai Noer dapat membatalkan sholat.

Kiai Muhammad Noer terkejut. Kholil benar, Santri ini dapat membaca apa yang terlintas di benaknya. Kiai Muhammad Noer duduk dengan tenang. Ia kemudian berkata secara jujur membenarkan Kholil muda bahwa tadi  sewaktu ia mengimami sholat, perut Kiai Muhammad Noer memang sedang lapar. Yang terbayang dalam pikiran Kiai Muhammad Noer saat itu hanya nasi.

Sejak kejadian itu kelebihan Kholil akhirnya menyebar. Bukan hanya terbatas di pesantren Langitan, tetapi juga sampai ke pesantren lain di sekitarnya. Karenanya, setiap kiai yang ditimba ilmunya oleh Kholil muda, maka para kiai itu selalu mengistimewakannya.

Dari Langitan, Kholil muda pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian ia pindah lagi ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini, ia belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.

Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Namun, untuk mendapatkan ilmu, Kholil muda rela menjalani perjalanan yang terbilang lumayan jauh setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Alquran. Ini dilakukannya secara rutin hingga ia dalam perjalanannya itu khatam berkali-kali.

Kemandirian Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Untuk mewujudkan impiannya kali ini, Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada mereka.

Untuk mendapatkan ongkos, ia menemukan jalan keluar dengan cara mondok di sebuah pesantren di Banyuwangi. Pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Selama nyantri di Banyuwangi ini,  Kholil muda bekerja sampingan menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Uang yang diperolehnya tersebut ia tabung. Sedangkan untuk makan, Kholil muda menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Kholil muda bisa makan gratis.

Pada saat Kholil muda berusia 24 tahun, ia memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Sebelum berangkat, Kholil muda menikah dengan Nyai Asyik. Setelah menikah, berangkatlah ia ke Mekkah. Ongkos pelayarannya ia ambilkan dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, Kholil berpuasa. Ini dilakukan selain untuk menghemat uang, namun juga untuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa serta agar perjalanannya selamat.

Di Mekkah, Kholil muda dibimbing oleh Syekh Nawawi Al-Bantani. Adapun guru-gurunya yang lain selama di Mekkah adalah Syekh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, serta Syekh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani.

Sebagai pemuda Madura, Kholil muda belajar pada para Syekh dari berbagai madzhab yang mengajar di Mekkah. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian ia lebih banyak mengaji kepada para Syekh yang bermadzhab Syafi’i.

Konon, selama di Mekkah, Kholil muda lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Bagi teman-teman Kholil yang lain seperti Nawawi Al-Bantani, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Muhammad Yasin Al-Fadani [nama-nama yang kemudian hari terkenal karena kealimannya sehingga diberi gelar Syekh], apa yang dilakukan Kholil muda sungguh mengherankan. Mereka tidak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap prihatin temannya itu. Kebiasaan memakan kulit semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran dari Syekh Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutan Kholil.

Kholil muda sewaktu belajar di Mekkah, seangkatan dengan Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Muhammad Dahlan [Tiga nama yang ketika kembali ke Indonesia menjadi tokoh besar pada masa itu dan bergelar Kiai Haji]. Ulama-ulama tersebut memiliki kebiasaan memanggil guru atau kiai kepada sesama rekannya. Kholil muda merupakan sahabat yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka dan karenanya dipanggil dengan nama Kiai Haji.

Kemuliaan Kholil muda diantara ulama-ulama yang ada di Mekkah bukanlah tanpa sebab. Selain karena ilmunya yang tinggi, konon, selama di Mekkah, Kholil muda mampu melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan ulama-ulama seangkatannya.

Dikisahkan pada suatu hari, para ulama Mekkah berkumpul di Masjidil Haram untuk berdiskusi tentang masalah dan hukum Islam yang sedang terjadi di Mekkah. Semua persoalan dibahas tanpa hambatan dan selalu mendapatkan solusi dan kesepakatan dari semua ulama tersebut. Akan tetapi, ketika topik diskusi beranjak pada masalah mengenai halal atau haramnya kepiting dan rajungan, maka pada waktu itu, ulama yang hadir memiliki pendapat yang berbeda sehingga tidak menemukan solusi.

Kholil muda pada waktu itu berada diantara peserta diskusi sambil mendengarkan dengan seksama jalannya diskusi. Melihat jalan buntu permasalahan yang dihadapi para peserta diskusi, Kholil muda minta izin untuk menawarkan solusi untuk masalah tersebut. Kholil mudapun dipersilahkan untuk naik ke atas mimbar oleh pimpinan diskusi.

Setelah tiba diatas mimbar, Kiai Kholil berkata, bahwa ketidaksepakatan peserta diskusi dalam menentukan hukum kepiting dan rajungan ini disebabkan karena peserta diskusi belum melihat secara pasti wujud kepiting dan rajungan. Semua ulama yg hadir dalam diskusi tersebut menyetujui pernyataan awal Kholil muda tersebut.

Setelah mengeluarkan pernyataan pembuka tersebut, Kholil muda kemudian menunjukkan kepiting dan rajungan yang masih basah, seakan ia baru saja mengambil dua binatang tersebut dari laut. Semua hadirin merasa terpana dan suasana menjadi gaduh karena keanehan tersebut. Mereka hanya bisa merasa heran dan bingung dari mana Kholil muda mendapatkan kepiting dan rajungan dengan sekejap saja.

Setelah kejadian tersebut, masalah label halal atau haramnya kepiting dan rajungan telah menemukan keputusan. Sejak saat kejadian itu pula, Kholil muda menjadi ulama yg disegani di antara ulama Masjidil Haram dan diantara sesama ulama dari Indonesia, ia diberi gelar Kiai.

Sewaktu berada di Mekkah, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kiai Haji Mohammad Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Konon saat menyalin kitab-kitab tersebut, Kiai Haji Mohammad Kholil bersama dengan Syekh Nawawi Al-Bantani, dan Syekh Shaleh As-Samarani memiliki ide untuk menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.Setelah Kiai Haji Mohammad Kholil kembali ke Indonesia, ia menjadi terkenal sebagai pakar nahwu, fiqih, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Bahkan ia pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang dapat memadukan fiqih dan tarekat dengan serasi. Ia juga dikenal sebagai al-Hafidz [orang yang hafal Al-Qur’an 30 Juz]. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiai Haji Mohammad Kholil kemudian mendirikan pondok-pesantren di Desa Jangkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan untuk belajar kepadanya dari desa-desa sekitarnya. Pesantren Jangkebuanpun makin besar.

Setelah putri Kiai Haji Mohammad Kholil yang bernama Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha; pesantren di Desa Jangkebuan itu kemudian diserahkan kepada Kiai Muntaha. Adapun Kiai Haji Mohammad Kholil, ia sendiri kemudian mendirikan pesantren lagi di daerah Demangan, sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, sekitar 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.

Di pesantrennya yang baru ini, Kiai Haji Mohammad Kholil juga cepat memperoleh santri. Santrinya kini bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Salah seorang dari santrinya yang terkenal dari Jombang bernama Hasyim Asy’ari atau Kiai Haji Hasyim Asy’ari. Ia kelak menjadi tokoh yang sangat di kenal dikenal di Indonesia sebagai seorang pendiri Nahdatul Ulama.

Selama mengasuh pondok pesantren, Kiai Haji Mohammad Kholil dikenal luas sebagai ahli tarekat. Selain itu, ia juga dikenal sebagai tokoh perlawanan terhadap penjajah di Madura. Dengan caranya sendiri Kiai Haji Mohammad Kholil melakukan perlawanan.

Perlawanan paling keras yang ia lakukan terhadap penjajah Belanda adalah dalam bidang pendidikan. Di bidang ini, Kiai Haji Mohammad Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng sekaligus pendiri Nahdatul Ulama.

Tidak hanya dalam bidang pendidikan, Kiai Haji Mohammad Kholil juga melakukan perlawaanan di bidang spiritual. Meskipun ia tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan lebih banyak berada di balik layar, namun ia tidak segan-segan mengisi kekuatan batin serta tenaga dalam bagi para pejuang kemerdekaan. Kiai Haji Mohammad Kholil pun juga tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.

Ketika pihak penjajah Belanda mengetahuinya, Kiai Haji Mohammad Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Haji Mohammad Kholil, justru malah membuat pusing pihak Belanda. Selalu saja ada kejadian-kejadian aneh yang tidak bisa mereka pahami seputar penahanan Kiai Haji Mohammad Kholil seperti pintu penjara yang tidak bisa dikunci yang memaksa mereka repot berjaga penuh supaya Kiai Haji Mohammad Kholil dan para tahanan yang lain tidak melarikan diri. Selain itu, ribuan orang datang yang datang untuk menjenguk dan memberi makanan kepada Kiai Haji Mohammad Kholil membuat mereka merasa kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus-menerus tiada henti. Dengan demikian, tenaga Belanda akhirnya terkuras karena bekerja lebih keras daripada biasanya.

Akhirnya, kompeni membuat larangan pada masyarakat untuk mengunjungi Kiai Haji Mohammad Kholil. Pelarangan itu ternyata tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap hari dan jumlahnya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Haji Mohammad Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Banyak diantara para penjenguknya itu  meminta ikut ditahan bersama Kiai Haji Mohammad Kholil. Ini tentu membuat otoritas penjajah Belanda kerepotan. Ini pula yang pada akhirnya membuat pihak Belanda menyerah dan merelakan Kiai Haji Mohammad Kholil untuk dibebaskan. Kompeni merasa khawatir, kalau dibiarkan berlarut-larut suasana gaduh ini, maka situasi ini akan semakin parah. Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni Belanda melepaskan Kiai Haji Mohammad Kholil begitu saja.

Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Haji Mohammad Kholil dari penjara, semua kegiatan ternyata berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara yang sebelumnya macet tidak dapat ditutup, kini sudah bisa ditutup kembali. Para pengunjung yang berjubel di sekitar penjara pun kembali pulang ke rumahnya masing-masing.

Keanehan-keanehan ini tentu saja menjadi catatan khusus bagi para opsir kompeni Belanda dan Sang Residen [jabatan klasik setingkat Bupati] Bangkalan. Mereka menjadi sadar bahwa Kiai Haji Mohammad Kholil bukanlah seorang biasa. 

Suatu ketika, Residen Belanda saat itu yang ditempatkan di Bangkalan mendapat suatu surat yang cukup mengejutkan dari pemerintah kolonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai Residen di Bangkalan. Padahal, jabatan itu masih diinginkan untuk beberapa waktu.

Residen ini sangat berbeda dengan residen Belanda lainnya. Hati nurani Residen ini tidak pernah menyetujui adanya penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, Residen Belanda yang bersimpati kepada rakyat Indonesia khususnya Bangkalan-Madura ini mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di Bangkalan. Sang residen yang paham akan kelebihan Kiai Haji Mohammad Kholil tanpa pikir panjang,  segera pergi menemui tokoh karismatik tersebut dengan harapan Kiai Haji Mohammad Kholil dapat membantu mewujudkan keinginannya itu.

Berangkatlah Sang Residen itu ke pesantren Kiai Haji Mohammad Kholil dengan ditemani beberapa koleganya. Sesampainya di kediaman Kiai Haji Mohammad Kholil, sang residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai Haji Mohammad Kholil tahu siapa yang dihadapinya itu, lalu menjawab dengan santai  dan mengucapkan selamat beberapa kali kepadanya. Residen Belanda ini merasa puas dengan jawaban Kiai Haji Mohammad Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.

Selang beberapa hari setelah kejadian itu, Sang Residen menerima surat dari pemerintah Belanda di Jakarta yang isinya pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian atas dirinya. Betapa senang hati Risiden tersebut menerima surat itu. Dengan demikian, dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.

Sejak peristiwa itu, Kiai Haji Mohammad Kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah Bangkalan. Bahkan Kiai Haji Mohammad Kholil diperkenankan menaiki dokar seenaknya melewati daerah terlarang di Keresidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya. Baik Residen maupun aparat Belanda semua menaruh hormat kepada Kiai Haji Mohammad Kholil. Seorang kiai yang dianggap memiliki pengetahuan yang luas biasa.

Sejak kisah dengan Residen Bangkalan dengan Kiai Haji Mohammad Kholil bocor ke publik, masyarakat luas makin mengenal Kiai Haji Mohammad Kholil sebagai seorang yang diberi kemuliaan yang dapat memprediksikan apa yang akan terjadi. Kisah-kisah tentang kelebihan yang lain dari Kiai Haji Mohammad Kholil  juga banyak beredar di masyarakat.

Dikisahkan pada suatu hari di bulan Syawal, Kiai Haji Mohammad Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya. Ia memerintahkan kepada mereka bahwa sejak hari itu mereka harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, karena sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok ini.

Mendengar titah kiai yang sangat dihormati mereka tersebut, para santri segera mempersiapkan diri. Waktu itu, sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus tidak seberapa tinggi bertubuh kuning langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Haji Mohammad Kholil, pemuda tersebut lantas mengucap salam dengan agak pelan dan sangat sopan.

Mendengar salam itu, bukan jawaban dari salam yang diterima, tetapi kiai malah berteriak memanggil santrinya dan berteriak “macan” pada pemuda yang baru masuk tersebut dan memerintahkan para santri untuk mengusirnya.

Mendengar teriakan Kiai Haji Mohammad Kholil, semua santri berhamburan keluar dari kamarnya masing-masing. Mereka datang sambil membawa apa saja yang ada seperti tongkat dan pacul untuk mengepung pemuda yang mulai nampak pucat. Tidak ada pilihan lagi bagi pemuda tersebut kecuali lari seribu langkah. Iapun kabur dari pondok tersebut.

Namun karena tekadnya ingin nyantri ke Kiai Haji Mohammad Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya pemuda yang di panggil “macan” oleh Kiai Haji Mohammad Kholil itu mencoba datang kembali. Kali inipun ia mengalami pengalaman yang sama dengan hari sebelumnya. Saat ia bermaksud memasuki pintu gerbang pesantren, ia langsung disambut dengan pengusiran ramai-ramai.

Pada hari ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena kelelahan, pemuda yang disertai rasa takut yang mencekam itu akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.

Secara tidak diduga, pada tengah malam, Kiai Haji Mohammad Kholil datang dan melihat pemuda itu tidur di tempat yang tidak semestinya. Kiai Haji Mohammad Kholil pun membangunkannya. Tentu saja pemuda itu dimarahi habis-habisan. Ia kemudian dibawa ke rumah Kiai Haji Mohammad Kholil.

Di rumah Kiai Haji Mohammad Kholil, pemuda itu  kemudian memohon dengan keras agar dapat dijadikan santri. Atas usaha kerasnya tersebut,  akhirnya pemuda itu resmi diterima sebagai santri dari Kiai Haji Mohammad Kholil.

Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak ia tumbuh menjadi seorang kiai yang sangat alim, jagoan berdebat dan pembaharu pemikiran. Kehadiran Kiai Haji Wahab Hasbullah dimana-mana selalu berwibawa dan disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan. Ini seperti yang disyaratkan Kiai Kholil ketika pertama kali Kiai Haji Mohammad Kholil bertemu dengannya.

Kiai Haji Mohammad Kholil meninggal di Martajasah, Bangkalan pada tahun 1925 pada umur antara 104 – 105 tahun dan dikuburkan juga di tempat tersebut. Ia adalah seorang ulama kharismatik dan dikenal sebagai Waliyullah. Seperti wali-wali yang lain, banyak sekali cerita akan karomah Kiai Haji Mohammad Kholil dikisahkan dari lisan ke lisan terutama di lingkungan masyarakat Madura. Makamnya sampai sekarang selalu ramai dikunjungi peziarah khususnya pada malam Jumat.

DAFTAR ISI BUKU
Perca Caréta Dâri Madhurâ: Antologi Legenda Para Bhuju’ Madura

Prakata Penulis … iiiKata Pengantar Rektor Universitas Trunojoyo Madura … viiKata Pengantar Kepala Balai Bahasa Jawa Timur … x

Daftar Isi … xii

LEGENDA PARA BHUJU’ DI KABUPATEN BANGKALAN … 1Legenda Bhuju’ Jharan Bananggher … 2Legenda Bhuju’ Banyusangkah … 7Legenda Tiga Serangkai Bhuju’ Berkoneng … 9Legenda Bhuju’ Sunan Cendana … 15Legenda Bhuju’ Batukolong/Tokolong … 19Legenda Bhuju’ Ghuwah … 23Legenda Bhuju’ Selase … 25Legenda Bhuju’ Mbo’ Raddah … 28Legenda Bhuju’ Dhuko … 31Legenda Bhuju’ Nyaih … 33Legenda Bhuju’ Balipoh … 35Legenda Bhuju’ Teguh … 43Legenda Bhuju’ Aér [Aéng] Mata … 47Legenda Bhuju’ Santreh … 52Legenda Bhuju’ Langgundi … 55Legenda Bhuju’ Hamim … 58Legenda Bhuju’ Mbah Kholil … 62Legenda Bhuju’ Sara … 72Legenda Bhuju’ Tong Sare … 75Legenda Bhuju’ Kramat Tikus … 80Legenda Bhuju’ Dabang … 84Legenda Bhuju’ Mancingan … 89Legenda Bhuju’ Sarembang … 95Legenda Bhuju’ Singarangsang … 101Legenda Bhuju’ Bikondang … 105Legenda Bhuju’ Sarmani … 109Legenda Bhuju’ Koros … 113Legenda Bhuju’ Ondem … 116Legenda Bhuju’ Etem … 120Legenda Bhuju’ Amin … 124Legenda Bhuju’ Kramat Serah … 126Legenda Bhuju’ Bening … 129Legenda Bhuju’ Bilu’ … 134Legenda Bhuju’ Kalaguna … 137

Legenda Bhuju’ Modhin … 140

LEGENDA PARA BHUJU’ DI KABUPATEN SAMPANG … 143Legenda Bhuju’ Nepa … 144Legenda Bhuju’ Aji Gunung Sekar … 157Legenda Bhuju’ Napo … 161Legenda Bhuju’ Aji Wongso … 167Legenda Bhuju’ Sappar … 171Legenda Bhuju’ Pangeran Mas … 176Legenda Bhuju’ Tib Mantoh … 179Legenda Bhuju’ Kiai Mohammad Toyyib … 183Legenda Bhuju’ Kiai Abdul Qohir … 187Legenda Bhuju’ Nyai Trebung … 192Legenda Bhuju’ Sayyid Abdullah-Ketapang … 194Legenda Bhuju’ Tahrir … 198Legenda Bhuju’ Asoran … 200Legenda Bhuju’ Pakah … 205

Legenda Bhuju’ Wirid … 213

LEGENDA PARA BHUJU’ DI KABUPATEN PAMEKASAN … 217Legenda Bhuju’ Moko … 218Legenda Bhuju’ Macan Alas … 225Legenda Bhuju’ Panabar … 230Legenda Bhuju’ Lembung-Kadur … 232Legenda Bhuju’ Kosambih … 234Legenda Bhuju’ Modin Teja … 240Legenda Bhuju’ Agung Raba … 243Legenda Bhuju’ Sanima … 250Legenda Bhuju’ Tase’ … 253Legenda Bhuju’ Hamsia … 256Legenda Bhuju’ Lendhu … 260Legenda Bhuju’ Kahuripan … 263

Legenda Bhuju’ Ghundil … 265

LEGENDA PARA BHUJU’ DI KABUPATEN SUMENEP … 269Legenda Bhuju’ Lembung-Sumenep … 270Legenda Bhindhara Saod … 273Legenda Bhuju’ Batu Ampar-Timur … 278Legenda Bhuju’ Panaongan … 280Legenda Bhuju’ Pangeran Katandur … 284Legenda Bhuju’ Kiai Khotib Paddusan … 288Legenda Bhuju’ Pongkeng … 290Legenda Bhuju’ Asta Gumu’ … 293Legenda Bhuju’ Aghung Dhamar … 298Legenda Bhuju’ Soghi … 302Legenda Bhuju’ Asta Karang Sabu … 305Legenda Bhuju’ Gung Panda’ … 308Legenda Bhuju’ Korseh … 311Legenda Bhuju’ Tamone … 314

Daftar Rujukan … 317

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề