Mengapa badan legislatif indonesia tidak bisa disebut menganut sistem unikameral

Written by Siti Nurbaya Bakar Friday, 12 October 2012 15:21

Pada Mei 2012 yang lalu, DPD RI mendeklarasikan nama populernya sebagai Senat, sehingga sebutannya kemudian� menjadi Senat DPD RI, dan anggota DPD sehari-hari disebut atau menyebut dirinya Senator.� Dalam proses� itu, beriringan juga dengan adanya kekhawatiran dari beberapa pihak karena anggapan bahwa keberadaan Senator berarti merupakan implikasi dari sistem bikameral. Dan kalau bikameral, maka seolah-olah akan mengguncang NKRI. Padahal tidak ada kaitan antara sistem bikameral dengan sistem federal yang dianggap akan merusak NKRI tersebut. Sangat dipahami juga bahwa sebutan bikameral untuk sistem parlemen Indonesia, tidak pernah secara formal dituliskan, dalam bentuk dasar hukum apapun. Yang berkembang itu hanya interpretasi akademik saja, atau bahkan politik pragmatis saja, baik untuk "menyudutkan" atau sebaliknya, untuk suatu "kebanggaan" terkiat dnegan DPD. Dua-duanya tidak benar. Karena, yang benar ialah bahwa tidak pernah ada secara formal sebutan bikameral untuk sistem parlemen Indonesia, dnegan adnaya DPD RI,� apalgi kita juga punya MPR RI , sebagai kamar lain didalam sistem parlemen kita. Sistem bikameral pada hakikatnya mengidealkan adanya dua� lembaga dalam lembaga perwakilan Doktrin ini berasal dari pandangan Aristoteles dan Polybius yang mengargumentasikan bahwa pemerintahan yang baik adalah gabungan antara prinsip demokrasi dan oligarki, kemudian Jeremy Bentham, yang pertama kali mengeluarkan istilah bikameral tersebut. James Madison, mempercayai perlunya ada kamar kedua yang berisi orang-orang yang lebih independen. Kamar ini berfungsi sebagai kamar penyeimbang sehingga dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan kamar lain. Secara teori, house merepresentasikan rakyat kebanyakan atau �common people�, sedangkan �senate� merepresentasikan orang-orang yang lebih mapan sebagai pelaksana checks and balances terhadap tekanan yang mungkin terjadi dari tekanan opini publik.Model bikameral sangat diidealkan oleh negara-negara yang ingin memaksimalkan proses legislasi yang kuat, sehingga berbagai kepentingan masyarakat bahkan kepentingan berbagai kelompok dapat terepresentasikan. Tidak menjadi persoalan negara tersebut berciri federal ataupun berciri negara kesatuan. Banyak negara kesatuan menggunakan sistem bikameral sebagai model parlemennya. Negara-negara kesatuan menerapkan sistem bikameral karena menguatnya tuntutan desentralisasi, terutama bila negara tersebut memiliki wilayah luas, dengan jumlah penduduk besar yang disertai keragaman sosial budaya.� Sejumlah negara kesatuan --termasuk sejumlah negara besar dan mapan berdemokrasi, serta sejumlah negara tetangga-- menerapkan parlemen bikameral, misalnya Inggris, Belanda, Jepang, Prancis, Afrika Selatan, Aljazair, Afghanistan, Bolivia, Kamboja, Mesir, Mauritania, Myanmar, Filipina, Oman, Maroko, Thailand, Tunisia, Tajikistan, Kazakhstan, Mauritania, Yordania, Filipina , Spanyol, Kolombia, Italia dan lain-lain. Bahkan ada yang menerapkan bikameralisme murni [strong bicameralism] --menurut kategorisasi Giovanni Sartori-- seperti Aljazair.Terkait dengan hal ini, perlu ditinjau hasil penelitian International IDEA mengenai sistem bikameral di 54 negara yang dianggap sebagai negara demokratis. Beberapa kesimpulan yang diperoleh, antara lain: Sebanyak 32 negara memilih bikameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral; Dari 32 negara penganut bikameral terbagi seimbang dalam hal kuat dan lunaknya, yaitu 16 negara menganut bikameral kuat dan 16 negara menganut bikameral lunak; Semua negara federal memiliki dua majelis; Negara-negara kesatuan terbagi seimbang, sebagian memilih sistem unikameral dan sebagian lainnya bikameral [dari sampel yang diteliti, 22 negara memilih sistem unikameral dan 20 negara memilih sistem bikameral, selebihnya tidak diperoleh datanya]; Hampir semua negara dengan jumlah penduduk besar memiliki dua majelis [Bangladesh adalah pengecualian dari kelompok ini], demikian pula sebagian besar negara yang memiliki wilayah luas memiliki dua majelis [Mozambique merupakan pengecualian dari sampel ini].Kesimpulan lain penelitian International IDEA tersebut adalah: Dari 11 negara federal, terdapat 8 negara yang menerapkan sistem bikameral kuat. Contoh negara AS, Argentina, Australia, dan Brasil; Dari 41 negara kesatuan, terdapat 7 negara yang menerapkan sistem bikameral kuat. Contoh negara Belanda, Cile, Filipina, Italia, dan Jepang; Dari 10 negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil, terdapat 8 negara yang menganut sistem bikameral kuat. Contoh negara AS, Filipina, dan negara-negara Amerika Selatan; Dari 40 negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, terdapat 8 negara yang menganut sistem bikameral kuat. Contoh Australia, Belanda, Belgia, Italia, Jepang, Jerman, dan Swiss.Dalam sistem bikameral yang lunak [soft bicameralism], majelis yang satu memiliki kedudukan lebih tinggi dan kewenangan lebih besar dibanding majelis lainnya. Biasanya yang lebih kuat disebut Majelis Rendah [Lower House] sedangkan majelis yang lebih rendah disebut Majelis Tinggi [Upper House atau Senate]. Majelis Tinggi mempunyai kekuasaan legislatif yang terbatas. Sebagai contoh, pengajuan RUU oleh sebuah majelis [yang lebih rendah] hanya dapat dilakukan melalui �pintu� majelis lainnya [yang lebih kuat], dan pengesampingan atau penolakan RUU yang diajukan sebuah majelis oleh majelis lainnya yang lebih berkuasa. Kesimpulan penelitian International IDEA adalah: Dari 11 negara federal, terdapat 3 negara yang menerapkan sistem bikameral lunak, yaitu Kanada, Austria, dan India; Dari 41 negara kesatuan, terdapat 12 negara yang menerapkan sistem bikameral lunak. Contoh Afrika Selatan, Barbados, Botswana, Ceko, Spanyol, Inggris, Jamaika, dan Namibia; Dari 10 negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil, tidak ada yang menganut sistem bikameral lunak; Dari 40 negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, terdapat 14 negara yang menganut sistem bikameral lunak. Contoh Thailand, Polandia, Kanada, Jamaika, India, Austria, Barbados, dan Afrika Selatan; Dari 40 negara yang menganut sistem pemerintahan semi-presidensiil [mempunyai Presiden dengan kekuasaan riil dan massa jabatan tetap dan juga mempunyai Perdana Menteri yang memimpin pemerintahan yang didasarkan mayoritas di legislatif], terdapat 2 negara yang menganut sistem bikameral lunak, yaitu Trinidad dan Tobago serta Namibia. Penelisikan Republika atas daftar negara federal dan daftar lembaga legislatif, dari 25 negara berbentuk federal yang berada di muka bumi, sepertiga di antaranya justru menerapkan parlemen unikameral, yaitu Austria, Irak, Uni Emirat Arab, Nepal, Comoros, Venezuela, Mikronesia, dan Saint Kitts and Nevis.

Arend Lijphart, dalam� Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries menemukan bahwa sebanyak 13 negara kesatuan yang demokratis, menerapkan sistem bikameral.� Jadi pilihan sistem dan teori dari berbagai negara juga beragam, tidak bisa saling diperbanding satu dengan lainnya, sebagaimana terlihat dari tabel berikut:

SISTEM POLITIK/KETATANEGARAAN

JUMLAH NEGARA PENGANUT UNICAMERAL

JUMLAH NEGARA PENGANUT BICAMERAL

Negara pada umumnya [196]

120

76

Negara Demokrasi [54]

22

32

Kesatuan

22

20

Federal [25]

8

17

Penduduk Besar

Hanya Bangladesh

Semua

Wilayah Luas

Hanya Mozambique

Semua

Parlementer [40]

32

8

Presidensial [10]

2

8


Dari gambaran itu, beberapa hal dapat menjadi kesimpulan yaitu: Pertama, Pernyataan ��� bahwa ��� model bikameral merupakan model yang berciri negara federal kurang tepat. ��� Beberapa negara kesatuan menggunakan bikameral sebagai model parlemennya. ��� Kedua, Model��� bikameral juga tidak terbatas pada suatu model pemerintahan tertentu. Ia ��� dapat ��� berpasangan dengan model pemerintahan presidensial maupun model perlementer. ��� Namun ��� setiap persandingan tersebut memiliki konsekwensi dan derajat perbedaan dari ��� praktek masing-masing negara. Ketiga, Model bikameral terlihat lebih mampu menggagas ��� fungsi ��� ideal lembaga parlemen yakni fungsi legislasi, pengawasan, budget, representasi dan ��� rekrutmen jabatan publik. Hal tersebut terlihat melalui minimnya friksi ketatanegaraan di ��� beberapa negara yang menganut model bikameral yang diramu dalam sistem ��� pemerintahannya.

Untuk Indonesia dengan rentang kendali yang luas dan spektrum� yang sangat lebar dari Sabang sampai Merauke, serta� ��� dengan cakupan wilayah laut yang secara keseluruhan akan meliput luas wilayah Idnonesia, tidak kurang 5,8 juta ��� Km2,�� maka seharusnya keberadaan DPD RI sebagai Senat DPD RI� sangat lah penting untuk bahu membahu bersama DPR RI menjaga negara dan daerah-daerah serta rakyat Indonesia.� Jadi jangan diartikan ��� atau diinterpretasikan begitu jauh bahwa Indonesia�� akan menjadi seperti Amerika Serikat. Kultur� Indonesia tidak ��� memungkinkan untuk Indonesia menjadi Amerika Serikat.� Meksipun, pada berbagai diskusi para pengamat dan pakar kita sering mengambil referensi sistem politik Amerika Serikat.� Bangsa Indonesia� punya basis kultur yang sangat jauh berbeda dan mungkin bertolak belakang dengan� basis kultur bangsa� Amerika yang individualis dan berpandanngan pada ukuran-ukuran� materialistik.� Jelas ini berbeda dengan� kultur orang Indonesia yang� berciri komunal, kinship, kekerabatan�� dan tolerans serta "penuh kasih".� Pengembangan sistem ketatanegaraan kita yang sudah didera oleh tuntutan kemajuan demokrasi, kiranya jangan dicampur adukkan dengan kekhawatiran-��� kekhawatiran yang berlebihan. Itu tidak perlu. Kita bisa menjaganya bersama-sama kemana arah demokrasi Indonesia� ini akan melaju. Asalkan, dengan satu syarat,� patrikan jiwa berkarakter Indonesia dalam setiap pelaksanaan tugas kita� di masing-masing tempat tugas. GOD BLESS INDONESIA.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề