Mengapa judicial review disebut anti-mayoritas

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 37/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTIM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONALDAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-10-2021

Pendahuluan

Bahwa pada hari Kamis tanggal 28 Oktober 2021, pukul 10.33 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistim Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasionaldan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU 2/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Pembahasan

Bahwa terhadap pengujian norma Lampiran yang terdapat dalam Judul, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (1) huruf g, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, Pasal 23 ayat (1) huruf a, Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 29 UU 2/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: Dalam Pengujian Formil [3.16] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil yang pada pokoknya para Pemohon mendalilkan bahwa dengan tidak dilibatkannya DPD dalam pembahasan UU 2/2020 yang substansinya berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah daerah telah mereduksi nilai-nilai rule of law dengan demikian kekuasaan DPD dikurangi untuk ikut membahas dan memberikan pertimbangan terhadap isu daerah tidak diapliklasikan secara maksimal dan pengambilan keputusan melalui rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat dan telah mereduksi esensi pelaksanaan mandat rakyat yang dititipkan kepada para wakilnya di DPR dan juga mereduksi nilai-nilai demokrasi, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.16.1] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013 Sub-paragraf [3.18.1] Mahkamah telah memberikan tafsir konstitusional atas Pasal 22D UUD 1945 yang mengatur kewenangan konstusional DPD. Mengenai kewenangan DPD dalam mengajukan RUU, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: “…DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Mahkamah menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945;” Sementara itu, mengenai kewenangan DPD ikut membahas RUU dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan yang sama pada Sub-paragraf [3.18.2] antara lain sebagai berikut: “…Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan. Konstruksi UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara…” Namun demikian, dalam putusan yang sama juga pada Sub-paragraf [3.18.3] Mahkamah antara lain telah mempertimbangkan bahwa DPD tidak memberikan persetujuan sebagai berikut: “…Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut memberi persetujuan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, DPD tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang;” Merujuk pertimbangan Mahkamah terhadap ketentuan Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, menurut Mahkamah, UU 2/2020 merupakan undang-undang yang berasal dari Perpu. Berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, dari aspek pengusulan sebuah RUU, DPD hanya diberikan kewenangan legislasi sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, yakni berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sementara itu, dari aspek pembahasan, DPD berwenang mengikuti pembahasan terhadap RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang pajak, pendidikan, dan agama. Sekalipun sebagian substansi UU 2/2020 mengandung materi yang berkaitan langsung dengan kebijakan anggaran/keuangan negara, namun dikarenakan UU a quo berasal dari Perpu Nomor 1/2020 sehingga secara konstitusional proses penetapan Perpu menjadi undang-undang tunduk kepada norma Pasal 22 UUD 1945. Dalam hal ini Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Latar belakang Presiden mengeluarkan Perpu ini didasarkan pada fakta adanya pandemi Covid-19. Hal demikian tertuang dalam konsideran “Menimbang” yang diuraikan dengan lebih rinci dalam bagian Penjelasan Perpu 1/2020 sebagai berikut: “Pada tahun 2020 ini, dunia mengalami bencana pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9). Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID19) membawa risiko bagi kesehatan masyarakat dan bahkan telah merenggut korban jiwa bagi yang terinfeksi di berbagai belahan penjuru dunia, termasuk Indonesia. Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) juga secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa implikasi besar bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi hanya l,5 % (satu koma lima persen) atau bahkan lebih rendah dari itu. Perkembangan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) juga berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian di Indonesia. Salah satu implikasinya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah, tergantung kepada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi. Terganggunya aktivitas ekonomi akan berimplikasi kepada perubahan dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020 baik sisi Pendapatan Negara, sisi Belanja Negara, maupun sisi Pembiayaan. Potensi perubahan APBN Tahun Anggaran 2020 berasal dari terganggunya aktivitas ekonomi atau pun sebaliknya. Gangguan aktivitas ekonomi akan banyak berpotensi mengganggu APBN Tahun Anggaran 2020 dari sisi Pendapatan Negara. Respon kebijakan keuangan negara dan fiskal dibutuhkan untuk menghadapi risiko pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), antara lain berupa peningkatan belanja untuk mitigasi risiko kesehatan, melindungi masyarakat dan menjaga aktivitas usaha. Tekanan pada sektor keuangan akan mempengaruhi APBN Tahun Anggaran 2020 terutama sisi Pembiayaan. Implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik karena langkah-langkah penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang berisiko pada ketidakstabilan makroekonomi dan system keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah maupun koordinasi kebijakan dalam KSSK, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan. Penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (ertraordinary) di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud. Bahwa setelah mencermati bagian Penjelasan Perpu 1/2020, Mahkamah perlu mengaitkan dengan syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010, yaitu: a) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; b) Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan c) kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Sehingga, menurut Mahkamah Perpu a quo telah memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum. [3.16.2] Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang pada pokoknya mendalilkan pengambilan keputusan melalui rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat, menurut Mahkamah Pandemi Covid-19 merupakan pandemi global yang telah ditetapkan World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020. Tidak hanya WHO, di Indonesia, pandemi Covid-19 telah ditetapkan oleh Presiden sebagai bencana nasional non-alam yang memicu munculnya kedaruratan Kesehatan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Dampak pandemi Covid-19 ini berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan termasuk ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan dan tidak hanya pada aspek kesehatan saja sebagaimana tertuang pada Penjelasan Perpu 1/2020. Adanya perubahan pola interaksi antar-manusia yang harus menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak baik secara fisik maupun secara sosial (physical and social distancing), menghindari kerumunan, membatasi pergerakan orang, memakai masker, mencuci tangan guna mencegah penularan. Kondisi ini menuntut penanganan secara cepat dan tepat, salah satunya dengan membuat berbagai regulasi. Namun, proses pembentukan undang-undang mengalami berbagai macam kendala disebabkan adanya pembatasan pergerakan masyarakat melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Begitu pula dalam berbagai penyelenggaraan negara pun mengalami permasalahan serupa. Oleh karena itu, kinerja legislasi dalam rangka membuat regulasi yang dibutuhkan masyarakat maupun demi efektivitas jalannya proses dan program pemerintahan tidak boleh terhambat. Dengan demikian menurut Mahkamah, pertemuan yang dilakukan secara virtual oleh DPR dan Presiden dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi saat ini dalam membuat regulasi yang dibutuhkan adalah sebuah kebutuhan dan suatu terobosan untuk tetap menghadirkan negara dalam kehidupan masyarakat terutama dalam masa pandemi. Terlebih lagi, di masa pandemi Covid-19 yang secara faktual telah menimbulkan krisis kesehatan, kemanusiaan, dan perlunya segera dilakukan penyelamatan ekonomi serta keuangan dengan berorientasi pada keselamatan rakyat. Sebab, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto). Bahwa dalam menyikapi pandemi Covid-19 dan untuk tetap dapat menjalankan tugas dalam penyusunan legislasi, tindakan yang dilakukan DPR dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada 2 April 2020 adalah bagian dari upaya mengantisipasi penyebaran Covid-19. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: “Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.” Oleh karena itu, berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran II, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan dengan metode hybrid, yakni metode gabungan rapat virtual dengan rapat fisik yang dilakukan secara bersamaan. Rapat Paripurna DPR pada 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Namun demikian, menurut Mahkamah, pembentukan undang-undang di masa pandemi harus tetap memerhatikan asas keterbukaan. Berdasarkan Penjelasan ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 yang dimaksud dengan asas keterbukaan sebagai berikut. “Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” Berdasarkan hal di atas, salah satu inti dari asas keterbukaan ini adalah akses masyarakat terhadap parlemen (access to parliament). Di masa pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal 2020 hingga saat ini di mana mobilitas, kegiatan, acara baik itu Rapat Dengar Pendapat (RDP), seminar, diskusi terbatas (Focus Group Dicsussion) dan jaring aspirasi publik serba terbatas, tetapi di sisi lain kerja legislasi oleh lembaga perwakilan rakyat tak boleh terhambat. Banyak RUU yang harus diselesaikan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan oleh DPR untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha. Oleh karena itu, partisipasi publik tidak dapat dilakukan secara langsung (tatap muka) karena keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan kondisi pandemi, sehingga partisipasi publik secara konvensional tidak relevan dipersoalkan dalam masa pandemi Covid-19. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas menurut Mahkamah terkait dengan pengujian formil yang diajukan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum. Dalam Pengujian Materiil [3.18] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap pengujian materiil sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam Paragraf [3.11] di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut: [3.18.1] Bahwa setelah Mahkamah mencermati dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan Judul dan norma Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (1) huruf g, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, dan Pasal 23 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dilepaskan dari kekhawatiran para Pemohon yang pada pokoknya, antara lain sebagai berikut (selengkapnya termuat dalam Duduk Perkara): 1. Bahwa berkaitan dengan Judul dan Pasal 1 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan UU a quo ditujukan tidak hanya untuk menangani pandemi Covid-19 tetapi juga untuk krisis ekonomi dan sistem keuangan di luar yang berkaitan dengan pandemi Covid-19. 2. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya penetapan defisit anggaran yang dilakukan sepihak oleh Pemerintah karena tidak melibatkan DPR dan pertimbangan DPD sehingga dapat menimbulkan penyalahgunaan. 3. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya ketidakpastian penggunaan dana abadi pendidikan. 4. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf f juncto Pasal 16 ayat (1) huruf c dan Pasal 19 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai a) tidak adanya persetujuan DPR dalam penerbitan surat utang negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); b) BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana; c) penggunaan dana pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI ialah untuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara. 5. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf g Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya keleluasaan pemerintah untuk menetapkan sumber-sumber pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 beserta dampaknya terhadap multiaspek secara unilateral. 6. Bahwa berkaitan dengan Pasal 3 ayat (2) Lampiran UU/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya kewenangan luas pemerintah untuk melakukan refocusing anggaran yang mereduksi pelaksanaan otonomi daerah. 7. Bahwa berkaitan dengan Pasal 4 ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pemberian insentif pajak yang diiringi dengan PHK yang berimplikasi terhadap menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. 8. Bahwa berkaitan dengan Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 menurut para Pemohon pengaturan perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) tidak secara langsung bertautan dengan penanganan pandemi Covid-19. 9. Bahwa berkaitan dengan Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditujukan pada ruang lingkup yang sangat luas dan tidak terbatas untuk penanganan pandemi Covid-19 serta membuka jalan mengubah ketentuan pembebasan bea masuk atas barang impor berdasarkan tujuan pemakaiannya. 10. Bahwa berkaitan dengan Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai tidak adanya akun rekening khusus berpotensi adanya penyimpangan anggaran penanganan pandemi Covid-19. 11. Bahwa berkaitan dengan Pasal 23 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pemberian kewenangan yang besar kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk merestrukturisasi Lembaga jasa keuangan yang berpotensi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya secara tepat di tengah pandemi Covid-19 atau dengan kata lain OJK dapat memaksa bank bermasalah untuk direstrukturisasi dan memaksa bank yang sehat untuk bergabung, melebur, mengambil alih, berintegrasi dengan bank bermasalah. Bahwa berkaitan hal-hal sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tersebut di atas, setelah dicermati dengan saksama dalil-dalil para Pemohon dimaksud telah ternyata saling berkaitan erat dan bertumpu pada argumen khusus yaitu adanya kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan penggunaan keuangan negara dalam penanggulangan pandemi Covid 19. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sesungguhnya pilihan kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam norma-norma yang dilakukan pengujian tersebut di atas oleh para Pemohon adalah pilihan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah karena adanya keterdesakan keadaan atau kondisi darurat. Dalam hal ini, kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tidak bisa tidak harus bersentuhan dengan soal keuangan atau anggaran, termasuk dalam hal ini kemungkinan-kemungkinan adanya asumsi penyalahgunaan keuangan negara dimaksud. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memahami pilihan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut karena pemerintah memang memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tentunya memerlukan beban anggaran yang tidak bisa diprediksi sebagaimana layaknya beban anggaran negara dalam keadaan normal. Dengan demikian, Mahkamah tidak serta-merta juga menegasikan adanya kekhawatiran-kekhawatiran semua pihak, termasuk dalam hal ini para Pemohon, adanya gangguan stabilitas keuangan yang dipergunakan untuk fokus pada penanganan pandemi Covid-19. sehingga, terkait dengan persoalan perluasan judul yang dikhawatirkan oleh para Pemohon dengan sendirinya telah terjawab dengan adanya penegasan a quo dari Mahkamah. Namun demikian, dalam keadaaan yang dilema seperti saat ini Mahkamah menegaskan tidak ada persoalan konstitusionalitas berkaitan dengan norma-norma yang dipersoalkan para Pemohon tersebut di atas sepanjang hal tersebut hanya berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas pasal-pasal tersebut di atas tidak beralasan menurut hukum. [3.18.2] Bahwa terlepas dari adanya kekhawatiran para Pemohon dan asumsi-asumsi lain berkenaan dengan persoalan penggunaan anggaran tersebut di atas, justru yang menjadi persoalan krusial adalah tidak adanya pembatasan waktu berlakunya UU 2/2020 yang berasal dari Perpu 1/2020 yang hanya difokuskan untuk menangani pandemi Covid-19. Berkaitan dengan hal demikian, menurut Mahkamah kekhawatiran-kekhawatiran di atas juga akan terjawab dengan sendirinya setelah Mahkamah menilai konstitusionalitas norma Pasal 29 Lampiran UU 2/2020. Oleh karena itu, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 29 a quo sebagai berikut: [3.18.3] Bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prinsip jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena pasal a quo sebagai penutup tidak memberikan jangka waktu keberlakuan undang-undang a quo kendati diterbitkan untuk menyelesaikan persoalan di masa darurat kesehatan masyarakat. Oleh karena pasal a quo tidak memiliki batas waktu yang jelas perihal keberlakuan Perpu tersebut yang kemudian menjadi UU 2/2020 sehingga menurut para Pemohon akan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan oleh Pemerintah khususnya dalam pengelolaan keuangan negara yang akuntabel untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan yang difokuskan untuk pandemi Covid-19. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah dalam batas penalaran yang wajar, kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi secara global memang memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia. Sebagai salah satu negara yang juga terdampak adanya pandemi Covid-19, Pemerintah berupaya untuk mengantisipasinya dengan berbagai langkah, salah satunya adalah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi dampak terhadap perekonomian nasional. Namun demikian, oleh karena langkah antisipatif yang dilakukan Pemerintah berkaitan erat dengan penggunaan keuangan negara maka harus dilakukan kontrol yang kuat yang salah satunya adalah dengan pembatasan waktu berlakunya UU a quo. Terlebih lagi hal demikian apabila dikaitkan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum yang demokratis sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sekalipun terhadap Perpu terdapat karakteristik khusus namun bukan berarti substansi UU yang berasal dari Perpu dapat mengabaikan prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, materi UU a quo bukan hanya harus memenuhi prinsip keadilan namun juga harus memenuhi prinsip kepastian, termasuk prinsip kepastian dalam pemberlakuannya. Bahwa terlepas dari adanya persetujuan DPR terhadap Perpu a quo, tidak adanya pemuatan batas waktu yang tegas dalam UU a quo memberikan dampak yang cukup signifikan tentang batas waktu keberlakukan keadaan darurat yang merupakan substansi utama karena karakteristik yang dimiliki oleh UU yang berasal dari Perpu dimaksudkan untuk mengatasi kedaruratan akibat pandemi Covid-19. Terlebih substansi dalam Lampiran UU a quo sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 UU 2/2020 yang menganulir beberapa norma pasal berbagai undang-undang, yaitu: 1. Pasal 11 ayat (2), Pasal 17B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang. 2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang; 3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang; 6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; 8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan; dan 12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Bahwa oleh karena itu, apabila tidak dilakukan pembatasan waktu pemberlakuan UU 2/2020, maka sejumlah norma dalam berbagai undang-undang yang dianulir tersebut akan kehilangan keberlakuannya secara permanen. Bahkan ketika pandemi Covid-19 telah berakhir, dengan tidak adanya batasan waktu tersebut norma-norma yang dianulir oleh Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tetap saja tidak berlaku karena masih digunakan untuk kepentingan yang lain yaitu dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Hal demikian menimbulkan ketidakpastian akan batas waktu kondisi kegentingan yang memaksa. Terlebih, pemberlakuan undang-undang a quo berkaitan erat dengan penggunaan keuangan negara yang sangat memengaruhi perekonomian negara yang berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 seharusnya mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Bahwa hal utama yang juga harus ditekankan dalam hal keadaan darurat adalah batasan waktu yang jelas tentang kapan situasi darurat pandemi Covid-19 akan berakhir. Secara konseptual, state of emergency dan law in time of crisis harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan sebagai upaya untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa keadaan darurat akan ada ujungnya sehingga hal tersebut pastinya akan menimbulkan adanya kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Mahkamah dalam putusan ini harus menegaskan pembatasan waktu pemberlakuan UU a quo secara tegas dan pasti agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan dalam UU ini yang hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19 sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi karena pandemi tersebut. Oleh karena itu, UU ini hanya berlaku selama status pandemi Covid-19 belum diumumkan berakhir oleh Presiden dan paling lama hingga akhir tahun ke-2 sejak UU 2/2020 diundangkan. Namun demikian, dalam hal pandemi diperkirakan akan berlangsung lebih lama, sebelum memasuki tahun ke-3, berkaitan dengan pengalokasian anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Pembatasan demikian perlu dilakukan karena UU a quo telah memberikan pembatasan perihal skema defisit anggaran sampai tahun 2022. Oleh karena itu, pembatasan dua tahun paling lambat Presiden mengumumkan secara resmi berakhirnya pandemi adalah sesuai dengan jangka waktu perkiraan deficit anggaran tersebut di atas. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas telah ternyata Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD”. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. [3.19] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip pengelolaan keuangan negara, kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kewenangan kekuasaan kehakiman, prinsip persamaan di mata hukum (equality before the law), dan prinsip jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena pasal-pasal a quo memberikan imunitas bagi penyelenggara negara agar terbebas dari tuntutan hukum dalam melaksanakan ketentuan Perpu a quo. Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: (1). Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. (2). Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3). Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. [3.19.1] Bahwa Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 selengkapnya menyatakan: Bahwa dari ketentuan tersebut terdapat 3 (tiga) persoalan konstitusionalitas berkaitan dengan norma yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut yakni, (1) bukan merupakan kerugian negara, (2) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan (3) bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. [3.19.2] Bahwa berkenaan dengan konstitusionalitas frasa “bukan kerugian negara” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, oleh karena terhadap hal tersebut berkaitan erat dengan keuangan negara, maka tidak dapat dilepaskan dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang menentukan salah satu unsur esensial yang harus dipenuhi dalam membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi adalah terpenuhinya unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Kerugian keuangan negara atau perekonomian negara terjadi karena adanya penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam perspektif Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 apabila dicermati dengan saksama tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara baik terhdap biaya yang dipergunakan untuk penanganan pandemi Covid-19 yang dikeluarkan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan oleh Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara, termasuk kebijakan keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis. Dengan demikian, secara a contrario meskipun penggunaan biaya dari keuangan negara untuk kepentingan penanganan pandemi Covid-19 dilakukan tidak dengan iktikad baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka terhadap pelaku yang melakukan penyalahgunaan kewenangan dimaksud tidak dapat dilakukan tuntutan pidana sebab telah terkunci dengan adanya frasa “bukan merupakan kerugian negara” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020. Hal demikian tidak sejalan dengan ketentuan norma Pasal 27 ayat (2) UU a quo yang membuka kemungkinan dapat dituntutnya baik secara pidana maupun perdata terhadap Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, Anggota Sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya jika dalam melaksanakan tugasnya tidak dengan iktikad baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebab, ketentuan yang membuka kemungkinan dapat dituntutnya baik secara pidana maupun perdata dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 harus terpenuhi unsur yang esensial yaitu adanya “kerugian negara”, yang ditimbulkan karena adanya penggunaan keuangan negara yang dilandaskan pada iktikad tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bahwa keadaan sebagaimana diuraikan tersebut di atas berakibat hukum ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU 2/2020 tidak dapat diberlakukan atau diterapkan terhadap siapapun yang melakukan penyalahgunaan kewenangan berkaitan dengan keuangan negara apabila frasa “bukan merupakan kerugian negara” tetap dipertahankan sekalipun penyalahgunaan kewenangan tersebut benar-benar didasarkan pada iktikad yang tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, kepada pelaku penyalahgunaan kewenangan terhadap keuangan negara dalam UU a quo sudah tertutup kemungkinan dibukanya untuk dilakukan penuntutan baik secara pidana dan/atau perdata. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, untuk dapat dilakukan tuntutan baik pidana maupun perdata, harus terpenuhi unsur fundamental adanya “kerugian negara” (vide Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor) dan unsur “kerugian” dalam perbuatan melawan hukum (vide Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga berpotensi memberikan hak imunitas bagi pihak-pihak yang telah disebutkan secara spesifik dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan impunitas dalam penegakan hukum. Menurut Mahkamah, apabila melihat konstruksi Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang secara spesifik mengatur perihal bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan penanggulangan krisis akibat pandemi Covid-19 merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dan “bukan merupakan kerugian negara”, maka hal utama yang menjadi patokan adalah terkait dengan hak imunitas yang dikhususkan bagi pejabat pengambil kebijakan dalam hal penanggulangan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana apabila dalam hal melaksanakan tugas tersebut didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Munculnya kata “biaya” dan frasa “bukan merupakan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang tidak dibarengi dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan pada akhirnya telah menyebabkan Pasal a quo menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum. Menurut Mahkamah penempatan frasa “bukan merupakan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dapat dipastikan bertentangan dengan prinsip due process of law untuk mendapatkan perlindungan yang sama (equal protection). Pembedaan demikian tentunya telah mengingkari hak semua orang, oleh karena suatu undang-undang yang meniadakan hak bagi beberapa orang untuk dikecualikan tetapi memberikan hak demikian kepada orang lain tanpa pengecualian maka keadaan demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap equal protection. Oleh karena itu, demi kepastian hukum norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa “bukan merupakan kerugian negara” tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip kepastian dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 beralasan menurut hukum untuk sebagian. [3.19.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait inkonstitusional norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan, oleh karena telah dinyatakan inkonstitusionalnya frasa “bukan merupakan kerugian negara” secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, maka dengan demikian sudah tidak terdapat lagi adanya persoalan inkonstitusionalitas antara norma Pasal 27 ayat (1) dengan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sehingga, tidak terdapat lagi persoalan inkonstitusionalitas terhadap norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sebab, tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan iktikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah menjamin kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.19.4] Bahwa selanjutnya perihal dalil para Pemohon terkait dengan konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil a quo Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 tidak dapat dilepaskan dari adanya ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yang selengkapnya menyatakan: “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan merujuk ketentuan Pasal 49 UU PTUN tersebut di atas, maka sesungguhnya dalam keadaan pandemi Covid-19 seperti yang terjadi saat ini merupakan bagian dari keadaan yang dikecualikan untuk tidak dapat dijadikan sebagai objek gugatan terhadap Keputusan Badan Tata Usaha Negara kepada Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, setelah dicermati dengan saksama telah ternyata UU 2/2020 tidak hanya berkaitan dengan pandemi Covid-19 tetapi juga berkaitan dengan berbagai macam ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan (vide Judul UU 2/2020). Oleh karena itu, terhadap keadaan di luar pandemi Covid-19 dan begitu pula terhadap keputusan Badan Tata Usaha Negara yang didasarkan pada iktikad yang tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, menurut Mahkamah hal demikian seharusnya tetap dapat dikontrol dan dapat dijadikan objek gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Terlebih lagi, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014) objek gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara tidak hanya keputusan tetapi juga tindakan administrasi pemerintahan (vide Pasal 75 dan Penjelasan Umum UU 30/2014). Dengan demikian, apabila fungsi kontrol tersebut tidak diberikan maka hal demikian berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan (abuse of power) dan ketidakpastian hukum. Sebab, sesungguhnya yang mempunyai kewenangan untuk menilai keputusan dan/atau tindakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum adalah Hakim Pengadilan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan dan/atau tindakan diterbitkan dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan hakim harus menyatakan bahwa objek keputusan Badan Tata Usaha Negara dan/atau tindakan administrasi pemerintahan bukan merupakan objek gugatan. Namun, dalam hal yang terjadi secara faktual adalah sebaliknya, maka keputusan badan tata usaha negara dan/atau tindakan pemerintahan tersebut jika terbukti adanya penyalahgunaan wewenang harus dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”, sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. [3.20] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum pada Paragraf [3.18] sampai dengan Paragraf [3.19] tersebut di atas, menurut Mahkamah ketentuan norma Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini. [3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian dan dalil permohonan para Pemohon selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karenanya dianggap tidak relevan sehingga haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Penutup

1. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan permohonan Para Pemohon ditolak seluruhnya dalam pengujian formil dan mengabulkan sebagian dalam pengujian materiil UU 2/2020 mengandung arti bahwa ketentuan a quo secara formil tidak bertentangan dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan dan selain yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi materi UU 2/2020 tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. 2. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 29 UU 2/2020, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut: a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka. b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 2/2020 3. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 2/2020 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 2/2020.


Page 2

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 72/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-09-2021

Pendahuluan

Bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 2021, pukul 09.59 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Virtual Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya disebut UU 24/2011) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Pembahasan

Bahwa terhadap pengujian Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa menurut para Pemohon, PT TASPEN (Persero) dengan BPJS Ketenagakerjaan memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya baik dalam kerangka peserta maupun program yang dilaksanakan. Peserta program PT TASPEN (Persero) adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pejabat Negara (peserta yang bekerja pada Penyelenggara Negara), sedangkan peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara (privat sector). Pengaturan jaminan dan perlindungan bagi ASN diatur khusus, hal ini merupakan wujud dari politik hukum pembentuk undang-undang yang menghendaki agar ASN diberikan manfaat dan layanan program jaminan dan perlindungan yang lebih baik dan dikelola secara khusus oleh PT TASPEN (Persero); 2. Bahwa menurut para Pemohon, legalitas PT TASPEN (Persero) untuk menyelenggarakan jaminan dan perlindungan bagi ASN dan Pejabat Negara diperkuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-XV/2017 tertanggal 31 Januari 2018, juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 32 P/HUM/2016 tertanggal 8 Juni 2017 terkait Uji Materi Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian; Bahwa menurut para Pemohon, Program Tabungan Hari Tua dan Program Pembayaran Pensiun merupakan kesinambungan penghasilan hari tua sebagai hak dan penghargaan atas pengabdian ASN, serta pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya berkelanjutan serta jaminan atas kehidupan yang layak sesuai dengan tugas, tanggung jawab dan kewajiban; 3. Bahwa menurut para Pemohon, ASN dan Pejabat Negara dalam struktur Pemerintahan Indonesia memiliki karakteristik yang khusus bila disandingkan dengan pekerja swasta. Terdapat hal mendasar yang membedakan status ASN, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun dengan pekerja swasta antara lain yakni bahwa ASN, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun merupakan unsur aparatur negara serta memiliki fungsi/tugas antara lain: melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah, pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, perekat kesatuan bangsa, setia dan mempertahankan Ideologi Pancasila dan UUD 1945 serta pemerintahan yang sah; 4. Bahwa menurut para Pemohon, kebijakan/politik hukum pemerintah menganut keterpisahan manajemen tata kelola jaminan sosial antara pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara dengan pekerja yang bekerja selain pada penyelenggara negara dimaksudkan karena ASN, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun merupakan pegawai pemerintah yang memiliki special character serta untuk menghindari timbulnya risiko finansial yang sangat fundamental, yang akan mengganggu ketenangan, semangat, daya kreativitas dan loyalitas ASN dan Pejabat Negara dalam mengemban amanah sebagai abdi negara termasuk menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI yang pada gilirannya akan menimbulkan penurunan peran negara dalam memberikan layanan dan kesejahteraan pada masyarakat; 5. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan doktrin hukum bahwa setiap perubahan undang-undang harus menguntungkan “subjek” yang diatur, yaitu dalam hal ini para Pemohon sebagai peserta “Program Tabungan Hari Tua dan Program Pembayaran Pensiun” yang diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero); 6. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 melanggar asas “keadilan, ketertiban dan kepastian hukum” dalam membentuk perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini karena Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 memangkas “program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun” tanpa terlebih dahulu menghilangkan peraturan yang menjadi payung bagi “program” tersebut. Menurut para Pemohon, seharusnya peraturan baru yang akan menghilangkan suatu ketentuan dalam suatu peraturan yang telah terbit terlebih dahulu, harus secara ekspilisit menyatakan “aturan” dimaksud tidak berlaku atau dicabut daya berlakunya. Menurut para Pemohon, pembuatan suatu peraturan baru harus memperhatikan peraturan yang terbit lebih dahulu bilamana peraturan baru tersebut akan mengatur norma yang bersinggungan dengan norma yang juga diatur dalam peraturan sebelumnya; 7. Bahwa berdasarkan uraian dali-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara), serta mengajukan tiga orang ahli bernama Dr. Maruarar Siahaan S.H., Dr. Dian Puji Simatupang S.H., M.H., dan Wawan Hafid Syaifudin M.Si., M.Act.Sc., ASAI., yang didengarkan keterangannya pada persidangan Mahkamah tanggal 27 Januari 2020 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan yang dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 27 Januari 2020 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 5 Februari 2020, pada pokoknya menerangkan bahwa konsep pengalihan program jaminan hari tua dan pensiun ASN yang diselenggarakan PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan berangkat dari prinsip kegotongroyongan sebagaimana diatur Pasal 4 UU SJSN. Pengalihan dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan justru menjamin terpenuhinya hak atas jaminan sosial, namun memang perlu jangka waktu untuk transformasi dari PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan agar dapat memenuhi 7 prinsip yang pada pokoknya tidak boleh merugikan karyawan 4 (empat) BUMN yang dilebur dan tidak boleh merugikan peserta lama yang mengikuti program 4 (empat) BUMN yang dilebur; [3.10] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan tertulis yang diterima dan dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 16 Januari 2020, kemudian menyampaikan tambahan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Februari 2020, yang pada pokoknya menerangkan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak ada hubungan kausalitas antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 dan permohonan para Pemohon tidak jelas. Dalam pokok permohonan Presiden menerangkan bahwa transformasi PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI ke dalam BPJS Ketenagakerjaan merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang untuk melaksanakan jaminan penyelenggaraan sosial nasional secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Menurut Presiden ketentuan yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon tetap menjamin hak-hak kepesertaan jaminan termasuk ASN, pensiunan Pejabat Negara/Pensiunan PNS/Pensiunan Janda/duda sebagaimana dijamin oleh ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945. Untuk mendukung keterangannya, Presiden menyampaikan dokumen pendukung yang diberi tanda bukti T-1 sampai dengan bukti T-4 serta mengajukan seorang ahli bernama Dr. Indra Budi Sumantoro, S.Pd., M.M., yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 17 Februari 2020 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, PT Dana Tabungan Asuransi Pegawai Negeri [selanjutnya disebut PT TASPEN (Persero)] telah ditetapkan oleh Mahkamah sebagai Pihak Terkait. Selanjutnya Pihak Terkait memberikan keterangan tertulis yang dibacakan dalam persidangan tanggal 5 Februari 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal 12 Februari 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 17 Februari 2020. Pihak Terkait PT TASPEN (Persero) pada pokoknya menerangkan bahwa tidak ada program yang sesuai yang dapat dialihkan karena jaminan yang diberikan bukan jaminan dasar sebagaimana diatur dalam UU SJSN. Selain itu, kedudukan PNS dan Pejabat Negara memiliki karakteristik khusus sebagai abdi negara yang pembayaran pensiunnya dibiayai oleh APBN, sehingga jaminan sosial bagi PNS dan Pejabat Negara tetap diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) sebagaimana dijelaskan PT TASPEN (Persero) dalam roadmap yang disusun berdasarkan amanat Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011. Pengalihan program PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan yang diamanatkan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 UU 24/2011 menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para Peserta, karena tidak dapat dipastikan dengan adanya pengalihan tersebut para Peserta tidak akan mengalami penurunan layanan dan manfaat dan tidak dapat dipastikan dengan adanya pengalihan itu para Peserta akan mendapatkan layanan dan manfaat yang lebih baik dari pelayanan prima yang selama ini diberikan PT TASPEN (Persero). Untuk mendukung keterangannya Pihak Terkait PT TASPEN (Persero) mengajukan keterangan tertulis dua orang ahli bernama Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra S.H., M.Sc. dan Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh S.H., M.H., namun keterangan tertulis diterima Kepaniteraan pada 12 Agustus 2020 di mana telah melewati batas waktu penyampaian kesimpulan para pihak yang ditentukan dalam persidangan Mahkamah, yaitu tanggal 25 Februari 2020, pukul 10.30 WIB sehingga keterangannya tidak dapat dipertimbangkan [3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Mahkamah telah menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) sebagai Pihak Terkait, yang telah menyampaikan keterangan tertulis dan didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 5 Februari 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal 17 Februari 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 Februari 2020, yang pada pokoknya menerangkan bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Pengaturan kelembagaan dan mekanisme BPJS sebagai lembaga pengelola jaminan sosial nasional merupakan open legal policy pembentuk undang-undang. SJSN disepakati dalam suatu badan hukum publik dalam hal ini adalah BPJS Ketenagakerjaan yang diharapkan menyempurnakan sistem dan mampu memberikan perbaikan layanan dibandingkan penyelenggara terdahulu; [3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama dalil-dalil permohonan para Pemohon dan bukti-bukti serta ahli-ahli yang diajukan para Pemohon; keterangan DPR; keterangan dan tambahan keterangan Presiden serta bukti-bukti pendukung keterangan Presiden, serta ahli yang diajukan oleh Presiden; keterangan dan tambahan keterangan Pihak Terkait PT TASPEN (Persero), serta dokumen pendukung keterangan Pihak Terkait PT TASPEN (Persero); keterangan dan tambahan keterangan Pihak Terkait BPJS Ketenagakerjaan, pokok permasalahan dan sekaligus pertanyaan utama yang harus dipertimbangkan Mahkamah, yaitu: benarkah pengalihan PT TASPEN (Persero) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan UUD 1945. [3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permasalahan dan sekaligus pertanyaan utama tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Bahwa Alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan salah satu tujuan negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut mencerminkan Indonesia sebagai sebuah negara kesejahteraan. Tidak hanya dalam Pembukaan, posisi Indonesia sebagai negara kesejahteraan kian diperjelas dalam Bab XIV yang berjudul “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Perwujudan dan konsekuensi menganut paham negara kesejahteraan dimaksud, negara bertanggungjawab dalam urusan kesejahteraan seluruh rakyatnya, termasuk mengembangkan jaminan sosial bagi rakyatnya. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Lebih lanjut, terhadap jaminan sosial dimaksud, Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Secara lebih konkret, amanat UUD 1945 tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosisial Nasional (UU 40/2004); Bahwa secara substansial, UU 40/2004 memaknai jaminan sosial sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak [Pasal 1 angka 1 UU 40/2004]. Sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Umum UU 40/2004, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan untuk memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program SJSN, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal- hal yang dapat mengakibatkan hilang/berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Dalam mewujudkan hal ini, penyelenggaraannya harus mendasarkan pada prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta [vide Pasal 4 UU 40/2004]. Salah satu prinsip yang menonjol dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah prinsip kegotongroyongan yang dimaknai sebagai prinsip kebersaamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya; Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2004, konsep dan prinsip jaminan sosial ini diwujudkan ke dalam bentuk Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Selanjutnya, Pasal 5 ayat (3) UU 40/2004 merinci BPJS terdiri dari: a) Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja; b) Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan d) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES). Jika diperlukan, sesuai dengan Pasal 5 ayat (4) UU 40/2004, dapat dibentuk lembaga baru dengan undang-undang. Namun demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005, bertanggal 31 Agustus 2005, dalam putusan a quo Mahkamah menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 40/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan alasan bahwa pembentukan BPJS harus dilakukan dengan undang-undang, sehingga Mahkamah menegaskan pentingnya dibentuk undang-undang yang mengatur Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) secara rinci; Bahwa terlepas dari fakta norma Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 40/2004 telah dinyatakan Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, konstruksi pilihan kebijakan pembentuk undang-undang terkait desain kelembagaan penyelenggara sistem jaminan sosial dalam undang-undang a quo sama sekali tidak berubah, yaitu tetap menggunakan format lembaga majemuk, bukan lembaga tunggal. Terlebih lagi, BPJS dimaksud tidak hanya dapat dibentuk di tingkat pusat, melainkan juga dapat dibentuk di daerah. Khusus BPJS tingkat pusat, pembentukannya dilakukan dengan undang-undang. Kesempatan untuk membentuk banyak lembaga dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial juga secara tegas dapat dipahami dari Penjelasan Umum UU 40/2004 yang menyatakan: Dalam Undang-Undang ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib pekerja. Program-program jaminan sosial tersebut diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Undang-Undang ini adalah transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial. Bahwa berdasarkan Penjelasan Umum tersebut dapat dipahami BPJS yang dimaksud dalam UU 40/2004 merupakan transformasi dari BPJS yang ada dan sedang berjalan. Transformasi dimaksud adalah perubahan status perusahaan (Persero) menjadi badan hukum penyelenggara program jaminan sosial. Dalam hal ini, transformasi tersebut sama sekali tidak menghendaki semua lembaga yang telah eksis dilebur menjadi satu badan hukum, melainkan masing-masing badan tetap menjalankan tugas dan fungsinya seperti biasa sesuai dengan amanat Ketentuan Peralihan yang termaktub dalam Pasal 52 UU 40/2004. Bahkan, apabila dibaca dan didalami lebih saksama, inkonstitusionalitas Pasal 5 ayat (3) UU 40/2004 tidaklah sepenuhnya karena substansinya bertentangan dengan UUD 1945, namun karena substansi Pasal 5 ayat (3) UU 40/2004 telah terkandung dan tertampung di dalam norma Pasal 52 UU 40/2004. Bagi Mahkamah, apabila kedua norma tersebut [yaitu Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 52 UU 40/2004] dipertahankan keberadaannya akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005, hlm. 270-271). Bahwa perkembangan berikutnya, perintah Pasal 5 ayat (1) UU 40/2004 untuk membentuk undang-undang yang mengatur tentang BPJS diejawantahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU 24/2011), namun konsep BPJS yang diatur dalam UU 24/2011 berbeda dengan konsep BPJS yang diatur dalam UU 40/2004 sebelum dibatalkan oleh Mahkamah. Dalam hal ini, jika Pasal 5 ayat (3) UU SJSN sebelum dibatalkan Mahkamah membagi BPJS ke dalam empat bentuk BPJS dan bahkan terbuka untuk menambah lainnya, namun UU 24/2011 hanya membagi BPJS ke dalam dua badan saja, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan [vide Pasal 5 ayat (2) UU 24/2011]. Bahwa dalam pembahasan yang dilakukan antara pemerintah dengan DPR sangat mungkin terjadi pergeseran yang berujung pada perubahan konsep sebagaimana konsep kelembagaan BPJS a quo. Namun demikian, yang menjadi persoalan utama yang dipermasalahkan oleh para Pemohon adalah konstitusionalitas pengalihan penyelenggaraan program jaminan hari tua dan program pensiun yang selama ini diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan di mana pengalihan demikian tidak terlepas dari pembentukan BPJS yang hanya terdiri dari dua badan saja yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan; [3.15] Menimbang bahwa lebih lanjut sebelum menjawab pokok permasalahan dan sekaligus pertanyaan utama, Mahkamah pun terlebih dahulu perlu mengaitkannya dengan putusan-putusan Mahkamah terdahulu yang relevan dengan SJSN, yaitu: dalam Putusan Mahkamah Konstiusi Nomor 007/PUU- III/2005, bertanggal 31 Agustus 2005; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XII2014, bertanggal 7 Desember 2015; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-XIV/2016, bertanggal 23 Mei 2017; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/ PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari 2018. Bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005, pada intinya menegaskan, peluang pemerintah daerah untuk membentuk BPJS daerah tidak boleh ditutup dan pengaturan ihwal pembentukan BPJS di tingkat pusat harus dilakukan dengan undang-undang. Artinya, berkenaan dengan BPJS di tingkat pusat harus dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur pembentukan BPJS. Dalam putusan a quo, meskipun Mahkamah membatalkan ketentuan Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 40/2004, namun Mahkamah tidak menilai salah substansi yang diatur dalam pasal-pasal yang dibatalkan tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, terkait dengan konsep BPJS yang terdiri dari empat badan, yaitu Persero Jamsostek; Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: “Sementara itu, dikatakan terdapat rumusan yang saling bertentangan serta berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena pada ayat (1) dinyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang, sementara pada ayat (3) dikatakan bahwa Persero JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal tidak semua badan-badan tersebut dibentuk dengan undang-undang. Seandainya pembentuk undang-undang bermaksud menyatakan bahwa selama belum terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan-badan sebagaimana disebutkan pada ayat (3) di atas diberi hak untuk bertindak sebagai badan penyelenggara jaminan sosial, maka hal itu sudah cukup tertampung dalam Ketentuan Peralihan pada Pasal 52 UU SJSN. Atau, jika dengan rumusan dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN di atas pembentuk undang- undang bermaksud menyatakan bahwa badan penyelenggara jaminan sosial harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang – yang maksudnya adalah UU SJSN a quo – maka penggunaan kata “dengan” dalam ayat (1) tersebut tidak memungkinkan untuk diberi tafsir demikian. Karena makna frasa “dengan undang-undang” berbeda dengan frasa “dalam undang- undang”. Frasa “dengan undang-undang” menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan setiap badan penyelenggara jaminan sosial harus dengan undang-undang, sedangkan frasa “dalam undang-undang” menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial harus memenuhi ketentuan undang-undang. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4), makin memperkuat kesimpulan bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud menyatakan, badan penyelenggara jaminan sosial harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri.” Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VIII/2010, Mahkamah mempertimbangkan, UUD 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud, namun harus memenuhi kriteria konstitusional, yaitu harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah lebih jauh mempertimbangkan: “[3.14.3] Bahwa kendatipun UUD 1945 telah secara tegas mewajibkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial, tetapi UUD 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud. UUD 1945, dalam hal ini Pasal 34 ayat (2), hanya menentukan kriteria konstitusional -yang sekaligus merupakan tujuan dari sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan oleh negara, yaitu bahwa sistem dimaksud harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, sistem apa pun yang dipilih dalam pengembangan jaminan sosial tersebut harus dianggap konstitusional, dalam arti sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat dan dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XII/2014 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-XIV/2016, terkait dengan anggapan terjadi monopoli penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS dan adanya perlakuan diskriminatif berupa sanksi administratif bagi pemberi kerja selain penyelenggara negara, serta anggapan bahwa negara sewenang-wenang memungut upah dari pekerja sebagai iuran BPJS, Mahkamah pada pokoknya berpendapat bahwa baik UU 40/2004 maupun UU 24/2011 juga memberikan kesempatan bagi pihak swasta yang bergerak dalam usaha penyelenggaraan jaminan sosial untuk memberikan pelayanan kesehatan. Selain itu, Putusan a quo juga menegaskan sifat nirlaba bukan komersial dari BPJS sebagai berikut: “bahwa baik UU SJSN maupun UU BPJS juga memberikan kesempatan yang sama bagi pihak swasta yang bergerak dalam usaha penyelenggaraan jaminan sosial untuk memberikan pelayanan kesehatan baik untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) yang layak maupun lebih bagi masyarakat yang membutuhkannya. Menurut Mahkamah, kata “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 juga mencakup peran serta pemerintah, pemerintah daerah (Pemda) dan pihak swasta untuk turut serta mengambangkan sistem jaminan sosial dengan cara menyediakan fasilitas kesehatan untuk masyarakat, ...” Bahwa setelah dua putusan di atas, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-XV/2017, yang pada pokoknya mempersoalkan mengenai pendelegasian pengaturan mengenai BPJS pada Peraturan Pemerintah. Dalam putusan a quo Mahkamah menegaskan, berdasarkan UU 12/2011, pendelegasian kewenangan dari suatu undang-undang kepada Peraturan Pemerintah bukan sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Putusan a quo Mahkamah juga menegaskan, iuran yang dipungut dari ASN tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena UUD 1945 telah mengatur pungutan yang bersifat memaksa harus diatur dengan undang-undang [vide Pasal 23A UUD 1945], sehingga pengaturan iuran yang memaksa ASN untuk membayar yang diatur dalam UU 24/2011 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun demikian, dalam putusan tersebut Mahkamah sama sekali tidak menegaskan pendiriannya perihal konstitusionalitas ketentuan peralihan, khususnya mengenai pengalihan program jaminan hari tua dan program pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan. Bahwa berdasarkan putusan-putusan Mahkamah terdahulu terkait jaminan sosial, Mahkamah belum menilai mengenai pengalihan program jaminan hari tua dan program pensiun dari PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan. Putusan-putusan terdahulu hanya menegaskan amanat konstitusi bahwa jaminan sosial harus bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Semangat ini yang oleh UU 24/2011 diusung melalui asas kegotongroyongan dalam program jaminan sosial yang menaungi sehingga seluruh masyarakat diharapkan dapat menerima manfaat dari realisasi amanat UUD 1945. [3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan desain kelembagaan BPJS, sesuai dengan Pasal 1 angka 6 UU 40/2004, “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial”. Definisi demikian menghendaki lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial bukanlah satu badan hukum saja, melainkan bisa dua, tiga, empat atau lebih. Hanya saja, badan-badan dimaksud mesti dibentuk dengan undang-undang sesuai ketentuan Pasal 5 UU 40/2004. Adapun badan-badan (persero) yang telah ada dan berjalan dalam melaksanakan program jaminan sosial, mesti menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU 40/2004, baik dari bentuk hukum pembentukannya maupun kedudukan, tugas dan fungsinya masing-masing dalam menyelenggarakan jaminan sosial tanpa kehilangan entitasnya sebagai badan hukum. Kebijakan terkait desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial dimaksud juga sejalan dengan realitas beragamnya pekerjaan atau profesi yang dapat dipilih oleh setiap orang sesuai dengan kebebasannya untuk memilih pekerjaan. Setiap jenis pekerjaan memiliki karakteristik tersendiri baik dari aspek latar belakang, tujuan atau orientasi maupun risiko yang akan ditanggung. Oleh karena itu, jaminan sosial terhadap pekerjaan atau profesi dimaksud juga harus disesuaikan dengan kelompok profesi/pekerjaan yang dimiliki setiap warga negara. Dalam kerangka inilah sesungguhnya UU 40/2004 memilih badan hukum penyelenggara jaminan sosial bukan merupakan lembaga/badan tunggal, melainkan jamak, bisa: dua, tiga, empat atau lebih. [3.17] Menimbang bahwa secara faktual pada saat dibentuknya UU 24/2011, seluruh persero yang bergerak dalam penyelenggaraan jaminan sosial dilebur menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam konteks ini, PT. TASPEN (Persero) yang bergerak di bidang tabungan hari tua dan dana pensiun juga diamanatkan untuk dilebur atau dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan sesuai Pasal 57 dan Pasal 65 UU 24/2011. Dalam batas penalaran yang wajar, pengalihan dimaksud dipastikan menyebabkan hilangnya entitas PT TASPEN (Persero) dan berganti menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal ini, kebijakan mengalihkan dengan cara meleburnya dengan persero lainnya menjadi satu BJPS Ketenagakerjaan justru berlawanan atau tidak sejalan dengan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang saat membentuk UU 40/2004. Sebab, peralihan tersebut justru berimplikasi pada penerapan konsep lembaga tunggal dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi dan UU 40/2004 bukan memilih model lembaga atau desain kelembagaan tunggal, tetapi mengikuti konsep banyak lembaga atau lembaga majemuk. Pilihan kebijakan dengan lembaga tunggal tidak sejalan dengan konsep transformasi badan penyelenggara jaminan sosial sebagaimana termaktub dalam UU 40/2004. Oleh karena itu, konsep peralihan kelembagaan PT TASPEN (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan yang menyebabkan hilangnya entitas persero menyebabkan ketidakpastian hukum dalam transformasi beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada sebelumnya sesuai dengan karakter dan kekhususannya masing-masing. [3.18] Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah perlu mempertimbangkan ihwal hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin secara tegas dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Begitu pula, memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan sesuai dengan usaha pengembangan diri setiap orang merupakan hak yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, in casu Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini, pada saat seseorang telah memilih untuk bekerja pada pekerjaan atau profesi tertentu, maka segala hak, kewajiban dan risiko dari pilihan pekerjaan tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh orang yang menjalankan pekerjaan dimaksud. Dikaitkan dengan mandat negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial (Pasal 34 ayat (2) UUD 1945), maka sistem dimaksud juga harus mempertimbangkan keberagaman pekerjaan dan profesi yang dijalankan oleh rakyat dalam memilih pekerjaan. Dalam arti, sistem jaminan sosial harus dijalankan dengan mengakomodasi seluruh bentuk realitas sosial dan pekerjaan yang dimiliki seluruh rakyat. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan sistem jaminan sosial yang telah berjalan sejauh ini, kelembagaan yang beragam sesuai dengan karakter masing-masing pekerjaan yang dipilih warga negara lebih memberikan jaminan bagi pemenuhan hak pensiun dan hari tua dari orang yang bekerja. Dalam hal, desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial yang berjalan telah memenuhi standar jaminan sosial bagi orang-orang yang memilih pekerjaan, lalu mengubahnya dengan melikuidasi dan menggabungkan lembaga- lembaga menjadi satu badan justru akan menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang telah memilih untuk mengikuti program jaminan hari tua dan dana pensiun pada lembaga/badan yang telah berjalan. Bahwa sejalan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah perlu menegaskan, sekalipun UU 40/2004 mengharuskan badan/lembaga yang bergerak di bidang penyelenggaraan jaminan sosial bertransformasi menjadi badan penyelenggara jaminan sosial, namun tidak berarti badan tersebut dihapuskan dengan model atau cara menggabungkannya dengan persero lainnya yang memiliki karakter berbeda. Transformasi cukup hanya dengan melakukan perubahan terhadap bentuk hukum badan hukum dimaksud serta melakukan penyesuaian terhadap kedudukan badan hukum tersebut, yang semula sebagai persero menjadi badan hukum penyelenggara jaminan sosial, dengan memperkuat regulasi yang mengamanatkan kewajiban penyelenggara jaminan sosial untuk diatur dengan undang-undang [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/2004]. Pada saat pembentuk undang-undang mengalihkan persero dengan cara menggabungkannya dengan persero lain yang berbeda karakter, hal demikian potensial merugikan hak-hak peserta program tabungan hari tua dan pembayaran pensiun yang telah dilakukan oleh persero sebelum dialihkan. Kerugian atau potensi kerugian dimaksud disebabkan karena ketika dilakukan penggabungan, akan sangat mungkin terjadi penyeragaman standar layanan dan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian bagi semua peserta. Penyeragaman dimaksud akan menempatkan semua peserta dalam posisi yang sama padahal masing-masing mereka berangkat dari pekerjaan dengan karakter dan risiko kerja yang berbeda-beda. Dengan demikian, sekalipun pilihan melakukan transformasi dari PT TASPEN (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan dimaksud merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun transformasi harus dilakukan secara konsisten dengan konsep banyak lembaga sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas jaminan sosial warga negara yang tergabung dalam PT TASPEN (Persero) sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. [3.19] Menimbang bahwa berkenaan prinsip kegotongroyongan, menurut Mahkamah prinsip dimaksud merupakan nilai luhur bangsa Indonesia yang menjadi salah satu esensi jiwa Pancasila terutama sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam menjalankan prinsip kegotongroyongan setiap orang atau individu berpartisipasi aktif untuk terlibat dalam memberi nilai tambah kepada individu lain di lingkungannya. Apabila diletakkan dalam konteks jaminan sosial, UU 24/2011 mendefinisikan prinsip kegotongroyongan sebagai prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya [vide Penjelasan Pasal 4 huruf a UU 24/2011]. Sejauh yang bisa dipahami Mahkamah, prinsip kegotongroyongan inilah yang menjadi salah satu latar belakang pengalihan program jaminan hari tua dan program pensiun yang diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang menghendaki jaminan sosial dapat dinikmati secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang tidak mampu -- yang menerima bantuan iuran-- maupun yang mampu dengan iuran yang terjangkau, sehingga semua pihak bergotongroyong dan berkontribusi dalam BPJS; Bahwa berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah perlu mempertimbangkan, apakah penerapan prinsip gotong royong dengan mengalihkan program jaminan hari tua dan program pembayaran pensiun ASN yang selama ini diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) menjadi dialihkan kepada BPJS Ketenagakerjaan, untuk selanjutnya dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan prinsip kegotongroyongan ini dapat memenuhi nilai keadilan yang merupakan inti dari kegotongroyongan itu sendiri. Bahwa untuk menjawab hal di atas, Mahkamah perlu mempertimbangkan program jaminan hari tua dan program pembayaran pensiun sebagai sebuah konsep yang selama ini telah berjalan untuk menjamin kesejahteraan hari tua PNS. Dalam hal ini, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (UU 11/1969) menyatakan, pensiun pegawai dan pensiun janda/duda diberikan jaminan hari tua dan sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai negeri selama bertahun-tahun bekerja dalam dinas pemerintah. Jadi untuk memeroleh hak atas dana pensiun dan jaminan hari tua maka ASN harus memenuhi syarat, yaitu telah mencapai usia pensiun, masa kerja yang cukup untuk pensiun dan diberhentikan dengan hormat. Bahwa tanpa bermaksud menilai legalitasnya, perihal jaminan sosial bagi Pegawai Negeri secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20/2013 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri dan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi ASN. Dalam hal ini, Pasal 1 angka 1 PP 20/2013 menyatakan asuransi sosial Pegawai Negeri Sipil terdiri atas program pensiun dan tabungan hari tua. Semua PNS, kecuali PNS di lingkungan Departemen Pertahanan-Keamanan, adalah peserta Asuransi Sosial PNS [vide Pasal 2 ayat (1) PP 25/1981]. Kepesertaan PNS dalam asuransi sosial dimulai pada tanggal pengangkatannya sebagai calon PNS, dan peserta wajib membayar iuran setiap bulan sebesar 8 (delapan) persen dari penghasilan sebulan tanpa tunjangan pangan, di mana 4¾ (empat tiga perempat) persen untuk pensiun dan 3¼ (tiga seperempat) persen untuk tabungan hari tua. Setelah ditambahkan dengan iuran dari pemerintah, akumulasi iuran inilah yang kemudian digunakan oleh pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pensiun PNS. Dengan demikian, program jaminan hari tua dan pembayaran pensiun merupakan akumulasi dari iuran ASN selama masa kerjanya ditambah dengan iuran pemerintah, yang dinikmati pada masa pensiun setelah sekian lama mengabdi sebagai PNS. Selama ini dalam pembayaran pensiun dan jaminan hari tua PNS diselenggarakan secara segmented oleh PT TASPEN (Persero). Pelayanan secara segmented dilakukan karena PNS memiliki karakteristik yang berbeda cukup mendasar, misalnya dengan anggota TNI dan Polri, meski keduanya merupakan abdi negara; Bahwa apabila diletakkan dalam konteks permohonan a quo dan tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami oleh para Pemohon, desain BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program dana pensiun dan program jaminan hari tua dari seluruh lapisan masyarakat sebagai perwujudan prinsip kegotongroyongan tidaklah bisa dijadikan sebagai dasar pembenar. Ihwal ini, meski BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sama-sama memungut iuran kepada pesertanya untuk pendanaan yang akan dinikmati oleh pesertanya, namun tidaklah bisa dipandang sebagai konsep yang sama dengan iuran PNS. Untuk itulah menurut Mahkamah, menjadi tidak adil jika pensiunan PNS yang selalu mengiur tiap bulan dengan harapan dapat menikmati tabungan yang sudah dikumpulkannya pada masa tuanya nanti harus berbagi kepada orang lain atas nama kegotongroyongan. Meskipun Mahkamah sangat mendukung prinsip kegotongroyongan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, namun dalam konteks program jaminan hari tua dan pembayaran pensiun, tidak tepat bilamana prinsip kegotongroyongan yang dilakukan dengan cara membagi tabungan yang telah dipersiapkan PNS untuk masa tuanya. [3.20] Menimbang bahwa bilamana dikaitkan dengan desain kelembagaan, apakah untuk memenuhi prinsip gotong royong dimaksud, semua persero penyelenggaraan jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan mesti digabung menjadi satu badan atau lembaga. Apabila tidak digabung, apakah prinsip gotong royong tidak bisa dipenuhi. Ihwal ini, menurut Mahkamah, desain kelembagaan, apakah kelembagaan tunggal ataupun kelembagaan majemuk, tidak selalu berkaitan dengan terpenuhi atau tidak terpenuhinya prinsip gotong royong. Prinsip ini mungkin saja tidak akan terlaksana sekalipun pilihan desain kelembagaannya adalah kelembagaan tunggal. Sebaliknya, prinsip ini pun juga sangat mungkin dipenuhi jika pilihannya adalah kelembagaan majemuk. Pelaksanaan prinsip tersebut sangat bergantung pada desain sistem jaminan sosial nasional. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat mengatur badan-badan yang melaksanakan jaminan sosial terkoneksi secara baik, sehingga prinsip gotong royong tetap bisa dilaksanakan. Misalnya, undang-undang dapat mengatur bagi badan-badan yang melaksanakan jaminan sosial yang dalam pengelolaan aset memiliki keuntungan, dapat saja diwajibkan untuk menyumbangkan sejumlah tertentu kepada badan pelaksana lainnya. Atau, oleh karena pengelolaan badan yang melaksanakan jaminan sosial berada di bawah BUMN, deviden yang diserahkan pada negara setiap tahunnya dapat diserahkan kepada badan pengelola jaminan sosial lainnya. Oleh karena itu, untuk memenuhi prinsip gotong royong, pembentuk undang- undang sesungguhnya tidak harus menjadikan semua persero penyelenggara jaminan sosial bidang ketenagakerjaan ditransformasi menjadi satu badan. Bagaimanapun, dengan tetap mempertahankan eksistensi masing-masing persero dan mentransformasikan menjadi badan-badan penyelenggara jaminan sosial, prinsip gotong-royong tetap dapat dipenuhi secara baik. Oleh karena itu, desain transformasi PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan mengandung ketidakpastian baik karena tidak konsistennya pilihan desain kelembagaan yang diambil ataupun karena tidak adanya kepastian terkait nasib peserta yang ada di dalamnya, khususnya skema yang seharusnya mencerminkan adanya jaminan dan potensi terkuranginya nilai manfaat bagi para Pesertanya. [3.21] Menimbang bahwa dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai pengalihan PT TASPEN (Persero) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan hak setiap orang atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan amanat bagi negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum. [3.22] Menimbang bahwa oleh karena terdapat sejumlah pasal lain dalam UU 24/2011 yang berhubungan erat dengan norma Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah, maka sebagai konsekuensi yuridisnya pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan Mahkamah a quo. [3.23] Menimbang bahwa dengan telah ditegaskannya pendirian Mahkamah bahwa ketentuan norma Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 inkonstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, maka terhadap hal- hal lain dari permohonan para Pemohon yang dipandang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Penutup

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019 yang menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya terhadap pengujian pada Pasal 57 huruf f dan Penjelasan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 mengandung arti bahwa ketentuan pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.


Page 3

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 11-12-2019

Pendahuluan

Bahwa pada hari Rabu tanggal 11 Desember 2019, pukul 11.02 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 10/2016) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Pembahasan

Bahwa terhadap pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: Dalam Provisi [3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang memohon agar Mahkamah mempercepat proses pemeriksaan dan menjadikan permohonan ini sebagai perkara yang diprioritaskan untuk diputus segera mengingat permohonan ini terkait langsung dengan proses pencalonan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020, di mana proses penyerahan syarat dukungan bagi calon perseorangan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, sebagai proses awal dari tahapan pencalonan pemilihan kepala daerah, akan dimulai pada 11 Desember 2019 berdasarkan Lampiran Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020. Terhadap permohonan Provisi a quo, oleh karena pokok permohonan para Pemohon memiliki keterkaitan erat dengan tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 yang secara faktual tahapan yang berkaitan dengan pencalonan kepala daerah yang akan segera dimulai sehingga semua pihak dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, khususnya mereka yang akan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah Tahun 2020, maka terlepas dari dikabulkan atau tidaknya permohonan a quo, demi kepastian hukum bagi masyarakat, penting bagi Mahkamah untuk memberikan prioritas dengan mempercepat putusan perkara a quo dan tidak terdapat penyimpangan terhadap hukum acara dalam tahapan proses penyelesaian perkara pengujian undang-undang, permohonan dalam provisi para Pemohon agar perkara a quo diprioritaskan untuk diputus beralasan menurut hukum. Dalam Pokok Permohonan [3.12.1] Bahwa terhadap norma undang-undang yang esensi materi/muatannya sebagian memuat klausul atau frasa sebagaimana yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yaitu frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dan sebagian dari frasa tersebut yakni sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah pernah diuji dan diputus oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016. Bahkan sebelum berlakunya UU 10/2016 norma serupa pernah pula diputus oleh Mahkamah, norma dimaksud adalah norma yang terkandung dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 yang menyatakan, “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Berkenaan dengan substansi norma dimaksud, Mahkamah telah berkali-kali menegaskan pendiriannya, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUUV/2007 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-X/2012. Inti pendapat Mahkamah dalam putusan-putusannya tersebut adalah bahwa norma Undang-Undang yang materi/muatannya seperti yang termuat dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Syarat yang dimaksud Mahkamah ialah: (1) berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; (3) kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; (4) bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Dari semua putusan tersebut, pendirian Mahkamah sangat fundamental karena adanya keinginan untuk memberlakukan syarat yang ketat bagi calon kepala daerah, sebab seorang calon kepala daerah harus mempunyai karakter dan kompetensi yang mencukupi, sifat kepribadian dan integritas, kejujuran, responsibilitas, kepekaan sosial, spiritualitas, nilai-nilai dalam kehidupan, respek terhadap orang lain dan lain-lain. Oleh karena itu, pada hakikatnya, apabila dikaitkan dengan syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” maka tujuan yang hendak dicapai adalah agar kepala daerah memiliki integritas dan kejujuran. Tujuan demikianlah yang hendak dicapai oleh Putusan-Putusan Mahkamah sebelumnya khususnya dalam memaknai syarat yang berkaitan dengan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang merupakan persyaratan yang satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga baik pertimbangan hukum maupun amar dalam putusan-putusan sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas. Dengan demikian, dalam hal terdapat bagian-bagian tertentu dari Putusan-Putusan tersebut di atas yang tidak bersesuaian dengan bagian yang lain maka harus dikembalikan kepada semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas. Oleh karena keempat syarat tersebut diperlukan untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas maka semua syarat itu harus dipenuhi secara kumulatif dalam proses penentuan kepala daerah. [3.12.2] Bahwa namun demikian penting untuk ditegaskan pertimbangan hukum Mahkamah yang menyatakan pendiriannya tersebut sebagaimana termuat dalam Paragraf [3.12.1] yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, sesungguhnya merupakan penegasan terhadap pendirian Mahkamah dalam putusan sebelumnya. Dalam putusan tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan: “[3.18] … Mahkamah juga perlu mempertimbangkan Putusan Nomor 14- 17/PUU-V/2007 tentang peniadaan norma hukum yang memuat persyaratan a quo tidak dapat digeneralisasi untuk semua jabatan publik, melainkan hanya untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), karena terkait dengan pemilihan umum (Pemilu) dalam hal mana secara universal dianut prinsip bahwa peniadaan hak pilih itu hanya karena pertimbangan ketidakcakapan misalnya karena faktor usia (masih di bawah usia yang dibolehkan oleh Undang-Undang Pemilu) dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (vide Putusan Nomor 11-17/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004)...; Bahwa untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials), Mahkamah dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 14-17/PUUV/2007 menyatakan, “hal tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala resiko pilihannya”. Oleh karena itu, agar rakyat dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya, perlu ada ketentuan bahwa bagi calon yang pernah menjadi terpidana karena tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih harus menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya yang demikian dan tidak menutup-nutupi atau menyembunyikan latar belakang dirinya. Selain itu, agar tidak mengurangi kepercayaan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 14- 17/PUU-V/2007 juga perlu dipersyaratkan bahwa yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang dan telah melalui proses adaptasi kembali ke masyarakat sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun setelah yang bersangkutan menjalani pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dipilihnya jangka waktu 5 (lima) tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selain itu juga bersesuaian dengan bunyi frasa “diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”; ... dst” … Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum yang berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang tercantum dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 merupakan norma hukum yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Norma hukum tersebut adalah inkonstitusional apabila tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 2. Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 3. Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; 4. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang; Sementara itu, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, Mahkamah menegaskan, yang sekaligus “mengingatkan” nature Mahkamah sebagai negative legislator, dengan menyatakan, antara lain: “… Bahwa persyaratan calon kepala daerah yang telah diberikan tafsir baru oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, adalah semata-mata persyaratan administratif. Oleh karena itu, sejak tanggal 24 Maret 2009, rezim hukum Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 sebagaimana bunyi dan makna teks aslinya berakhir, dan sebagai gantinya maka sejak saat itulah di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia berlaku tafsir baru atas Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 juncto Putusan Mahkamah Nomor 4/PUUVII/2009 tanggal 24 Maret 2009 …” Berdasarkan putusan-putusan di atas, norma yang terkandung dalam pasal-pasal berbagai Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan menentukan 4 syarat bagi mantan narapidana untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. [3.12.3] Bahwa sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015, bertanggal 9 Juli 2015, Mahkamah pada pokoknya menyatakan: [3.11.6] … Kata “dikecualikan” dalam syarat ketiga dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, mempunyai arti bahwa seseorang yang terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka syarat kedua dan keempat dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, menjadi tidak diperlukan lagi karena yang bersangkutan telah secara berani mengakui tentang status dirinya yang merupakan mantan narapidana. Dengan demikian maka ketika seseorang mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, dan walikota atau mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan (elected officials). Pada akhirnya, masyarakat yang memiliki kedaulatan lah yang akan menentukan pilihannya, namun apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka berlaku syarat kedua putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; [3.11.7] Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai Pasal 7 huruf g UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional) sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana; Kemudian Paragraf [3.9] halaman 180 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016, bertanggal 19 Juli 2017, pada pokoknya menyatakan: [3.9] ... Apabila Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 diperbandingkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/ PUU-V/2007 sesungguhnya terdapat semangat yang sama dalam kedua putusan tersebut dalam kaitannya dengan pengisian jabatan publik yang dipilih, di mana kedua putusan itu menekankan bahwa untuk jabatan publik yang dipilih tidak bisa begitu saja diberlakukan syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Bedanya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 lebih menegaskan bahwa untuk jabatan publik yang dipilih syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” tidak berlaku lagi jika seorang mantan terpidana telah melewati jangka waktu lima tahun sejak yang bersangkutan selesai menjalani pidananya atau ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana dan sepanjang yang bersangkutan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dalam pengujian Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pada intinya kedua norma yang dimohonkan pengujian tersebut memuat norma yang berisi persyaratan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” bagi seseorang yang mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 tidak berbeda dengan substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Adapun terhadap Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Mahkamah menyatakan bahwa norma Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Jika Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 di atas diperbandingkan dengan putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, terlihat adanya sedikit perubahan atau pergeseran dalam pendirian Mahkamah. Terlepas dari adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga orang Hakim Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIII/2015 tersebut, yang sudah diterima sebagai praktik yang berlaku umum dalam dunia peradilan saat ini, terjadinya perubahan dalam pendirian Mahkamah tersebut adalah wajar sepanjang alasan yang mendasari (ratio decidendi) diambilnya putusan dimaksud dijelaskan dalam pertimbangan hukum putusan yang bersangkutan. Bahkan, di negara-negara yang menganut prinsip stare decisis pun, yang pada dasarnya sangat ketat berpegang pada putusan sebelumnya (atau putusan pengadilan yang lebih tinggi) seperti yang terjadi di Mahkamah Agung Amerika Serikat, perubahan pendirian demikian sering terjadi sepanjang terdapat alasan yang kuat yang mendasari terjadinya perubahan demikian... Selanjutnya pada halaman 184 menyatakan: 4. ... Mahkamah sesungguhnya telah secara tegas menyatakan bahwa sepanjang berkenaan dengan jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials), pembebanan syarat yang substansinya sebagaimana termuat dalam rumusan kalimat atau frasa “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” adalah bertentangan dengan Konstitusi jika persyaratan demikian diberlakukan begitu saja tanpa pembatasan kepada mantan terpidana, dalam hal ini tanpa mempertimbangkan bahwa seorang mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan publik itu telah menyatakan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Putusan Mahkamah demikian telah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan dan tidak keluar dari semangat yang terkandung dalam Pasal 28J UUD 1945, sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan pada angka 1 di atas. Dengan mempelajari secara saksama pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan-putusannya sebagaimana disebutkan pada angka 3 di atas, Mahkamah menegaskan bahwa, dalam masyarakat yang demokratis, pembatasan terhadap hak asasi manusia adalah dibenarkan dan konstitusional. Pembatasan demikian juga berlaku dalam menentukan persyaratan bagi pengisian jabatan-jabatan publik. Mahkamah juga menegaskan pentingnya suatu standar moral tertentu dalam pengisian jabatan-jabatan publik tersebut dan pada saat yang sama Mahkamah menegaskan pula bahwa syarat “tidak pernah dijatuhi pidana dengan ancaman pidana tertentu” adalah suatu standar moral yang penting dan diperlukan dalam proses atau mekanisme pengisian jabatan-jabatan publik itu, namun Mahkamah juga menegaskan bahwa persyaratan demikian tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai ketentuan umum yang diberlakukan bagi seluruh jabatan publik mengingat adanya perbedaan sifat atau karakter dari jabatan-jabatan publik tersebut. Oleh sebab itu, sejalan dengan prinsip akuntabilitas peradilan yang mengharuskan hakim atau pengadilan menjelaskan alasan diambilnya suatu putusan, Mahkamah telah dengan cermat menjelaskan alasan-alasan dimaksud sebelum tiba pada penjatuhan putusannya sebagaimana dituangkan dalam amar putusan yang bersangkutan; 5. Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, in casu Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, adalah berkenaan dengan pengisian jabatan publik yang dipilih. Norma Undang-Undang a quo berbunyi, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Berbeda dengan rumusan dalam norma UndangUndang sebelumnya yang telah dimohonkan pengujian dan diputus oleh Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas, norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak memuat ancaman pidana minimum yang dijadikan sebagai pijakan, sehingga secara tekstual norma Undang-Undang a quo mencakup semua jenis tindak pidana, baik pelanggaran maupun kejahatan, dan semua jenis pidana, baik pidana pokok (mulai dari pidana denda, pidana percobaan, pidana kurungan, pidana penjara) maupun pidana tambahan. Dengan kata lain, dalam konteks KUHP, frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” mencakup baik tindak pidana yang diatur dalam Buku I maupun Buku II KUHP dan semua jenis pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP dan tindak pidana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP, sepanjang sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Jika benar demikian maksud pembentuk undang-undang, dengan bertolak dari putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, hal itu tentu tidak dapat dibenarkan secara konstitusional. 6. Bahwa, memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan pada angka 5 di atas, serta dengan mempertimbangkan bahwa norma Undang-Undang a quo adalah berkenaan dengan syarat bagi jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, persoalan yang timbul kemudian adalah: apabila frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka secara a contrario berarti tidak ada pembatasan sama sekali sehingga setiap orang boleh mencalonkan diri sebagai gubernur, wakil gubenur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota meskipun orang yang bersangkutan terbukti sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penalaran demikian tentu saja sama sekali tidak dapat diterima dan sekaligus akan bertentangan dengan pertimbangan Mahkamah sebagaimana ditegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya bagaimanapun standar moral tertentu dibutuhkan dalam pengisian jabatan-jabatan publik yang klasifikasinya bermacam-macam. Selain itu, akibat lebih jauh jika penalaran demikian diikuti, maka frasa berikutnya dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut yang menyatakan, “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” menjadi tidak ada maknanya. Memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan di atas, karena telah terang bahwa menentukan norma yang berlaku umum berupa syarat “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” bagi pengisian jabatan publik, lebih-lebih untuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan, tidak dapat dibenarkan secara konstitusional, sementara di lain pihak syarat yang mencerminkan standar moral tertentu tetap dibutuhkan untuk pengisian jabatan-jabatan publik, termasuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan maka pertanyaannya kemudian, bagaimana Mahkamah harus menafsirkan norma Undang-Undang yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada itu guna menilai konstitusionalitasnya sedemikian rupa sehingga, di satu pihak, Mahkamah tetap melaksanakan fungsinya sebagai pengawal konstitusi yang harus melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan, di pihak lain, tanpa melampaui batasbatas jati dirinya sebagaimana termaktub dalam kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dalam melaksanakan fungsi itu. Dalam kasus a quo, tidak terdapat jalan lain kecuali mendasarkan pendapatnya pada pertimbangan Mahkamah dalam putusan sebelumnya terhadap norma Undang-Undang yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang sendiri, dalam hal ini Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Dengan dasar pemikiran dan pertimbangan demikian, Mahkamah berkeyakinan bahwa frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali karena melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa” sedangkan frasa “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut tetap berlaku. Bahwa terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 Mahkamah dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” dalam norma Undang-Undang a quo tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”. Sehingga Pasal a quo selengkapnya adalah “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”; 3. ...; Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 telah bergeser dari rumusan yang bersifat kumulatif menjadi rumusan yang bersifat alternatif. Pergeseran demikian mengakibatkan longgarnya syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas sebagaimana yang telah ditegaskan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 dan putusan-putusan sebelumnya yang bersifat kumulatif. Sebab apabila syaratsyarat tersebut bersifat alternatif maka dapat dipastikan pilihan yang akan dilakukan oleh mantan terpidana adalah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Demikian halnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 yang pada pokoknya hanya memberikan pengecualian terhadap tindak pidana yang bersifat kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana karena alasan perbedaan pandangan politik. Bahwa apabila dirujuk kembali putusan Mahkamah yang menghilangkan syarat kumulatif sebagaimana termaktub dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 yang menjadikannya sebagai syarat alternatif sehingga persyaratannya menjadi longgar adalah dengan pertimbangan untuk mengembalikan kepada masyarakat sebagai pemilih yang memiliki kedaulatan untuk menentukan pilihannya. Namun setelah dicermati secara saksama fakta empirik yang terjadi telah ternyata pula bahwa upaya mengembalikan kepada kedaulatan pemilih tidak sepenuhnya dapat menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegitas. Sejumlah fakta empirik membuktikan di antara kepala daerah yang terpilih yang pernah menjalani masa pidana menjadi calon kepala daerah hanya dengan mengambil alternatif mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana telah ternyata mengulangi kembali melakukan tindak pidana. Dengan kata lain, orang yang bersangkutan telah ternyata menjadi pelaku kejahatan berulang (recidivist). Jika berpegang pada prinsip kedaulatan pemilih maka tidak ada halangan apa pun bagi orang yang bersangkutan untuk mencalonkan diri kembali sebagai calon pejabat publik yang dipilih di kemudian hari setelah yang bersangkutan selesai menjalani pidananya sepanjang yang bersangkutan bersedia untuk secara terbuka mengumumkan kepada publik bahwa dirinya adalah mantan narapidana. Sebab, proposisi dasarnya adalah orang yang bersangkutan telah selesai menjalani pidananya dan telah menerima pembinaan di lembaga pemasyarakatan sehingga memiliki hak konstitusional untuk dipilih atau untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Namun, dalam hal ini, pertanyaan konstitusional yang muncul adalah: apakah atas nama demokrasi (in casu kedaulatan pemilih) keadaan demikian dapat diterima? Terhadap pertanyaan tersebut Mahkamah berpendapat, keadaan demikian tidak dapat diberi toleransi bahkan dalam demokrasi yang paling liberal sekalipun. Sebab, demokrasi bukan semata-mata berbicara tentang perlindungan hak-hak individual tetapi juga ditopang oleh nilainilai dan moralitas, di antaranya nilai kepantasan (propriety), kesalehan (piousness), kewajaran (fairness), kemasukakalan (reasonableness), dan keadilan (justice). Antara lain karena merasa telah mencederai nilai-nilai inilah, di banyak negara yang mengusung demokrasi liberal pun, seorang pejabat publik memilih mengundurkan diri meskipun yang bersangkutan menduduki jabatan itu berdasarkan suara rakyat dan meskipun yang bersangkutan belum tentu bersalah secara hukum, bahkan belum diajukan tuntutan hukum apa pun terhadapnya. Bahwa dengan merujuk fakta-fakta hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan kembali bagi calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana untuk diberi waktu yang dipandang cukup guna melakukan penyesuaian (adaptasi) di tengah masyarakat untuk membuktikan bahwa setelah selesai menjalani masa pidananya orang yang bersangkutan benar-benar telah mengubah dirinya menjadi baik dan teruji sehingga ada keyakinan dari pemilih bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatan yang pernah dipidanakan kepadanya termasuk juga perbuatan-perbuatan lain yang dapat merusak hakikat pemimpin bersih, jujur, dan berintegritas. Pemberian tenggang waktu demikian juga sekaligus memberikan kesempatan lebih lama kepada masyarakat untuk menilai apakah orang yang bersangkutan telah dipandang cukup menunjukkan kesungguhannya untuk berpegang pada nilai-nilai demokrasi yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, “pernyataan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” semata-mata tidaklah memadai lagi. [3.13] Menimbang bahwa dengan merujuk pada uraian pertimbangan sebagaimana dikemukakan di atas, oleh karena fakta empirik menunjukkan bahwa calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup beradaptasi dan membuktikan diri dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji, bahkan mengulang kembali tindak pidana yang sama (in casu tindak pidana korupsi), sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas maka demi melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih dan berintegritas sehingga mampu memberi pelayanan publik yang baik serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan kembali keempat syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 dalam pencalonan kepala daerah yang saat ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Selain karena alasan di atas, langkah demikian juga dipandang penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan kepala daerah itu sendiri, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara dalam berpartisipasi di dalam pemerintahan. Sementara itu, berkenaan dengan syarat lainnya yaitu syarat bukan terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa, sebagaimana pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016, bertanggal 19 Juli 2017, Mahkamah berpendapat masih tetap relevan untuk dipertahankan. Secara konstitusional, karena hak politik bukanlah merupakan hak asasi yang tidak dapat dibatasi (non-derogable rights), sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, pembatasan dengan memberikan tenggang waktu bagi mereka yang pernah dipidana bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi, in casu UUD 1945. Lagi pula, titik tolak meletakkan konstitutionalitas pembatasan terhadap hak-hak asasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 adalah nilai-nilai yang diusung dalam suatu masyarakat yang demokratis yang, antara lain, mencakup nilai-nilai kepantasan (propriety), kesalehan (piousness), kewajaran (fairness), kemasukakalan (reasonableness), dan keadilan (justice) sebagaimana diuraikan di atas. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, sepanjang berkenaan dengan syarat menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, ternyata terdapat dua kepentingan konstitusional yang keduanya berkait langsung dengan kebutuhan untuk membangun demokrasi yang sehat, yaitu kepentingan orangperseorangan warga negara yang hak konstitusionalnya untuk dipilih dalam suatu jabatan publik (dalam hal ini untuk mencalonkan diri sebagai kepada daerah atau wakil kepala daerah) dijamin oleh Konstitusi dan kepentingan masyarakat secara kolektif untuk mendapatkan calon pemimpin yang berintegritas (dalam hal ini calon kepala daerah atau wakil kepala daerah) yang diharapkan mampu menjamin pemenuhan hak konstitusionalnya atas pelayanan publik yang baik serta kesejahteraan, sebagaimana dijanjikan oleh demokrasi, juga dilindungi oleh Konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama bertolak dari gagasan perlindungan hak konstitusional, yaitu apakah Mahkamah akan mengutamakan pemenuhan hak konstitusional perseorangan warga negara atau pemenuhan hak konstitusional masyarakat secara kolektif. Dalam hal ini, Mahkamah memilih yang disebutkan terakhir. Seluruh pertimbangan Mahkamah di atas sesungguhnya telah menjelaskan secara gamblang mengapa pilihan itu yang diambil oleh Mahkamah. Sebab, hakikat demokrasi sesungguhnya tidaklah semata-mata terletak pada pemenuhan kondisi “siapa yang memeroleh suara terbanyak rakyat dialah yang berhak memerintah” melainkan lebih pada tujuan akhir yang hendak diwujudkan yaitu hadirnya pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat sehingga memungkinkan hadirnya kesejahteraan. Oleh karena itu, dalam proses berdemokrasi, sebelum tiba pada persoalan “siapa yang memeroleh suara terbanyak rakyat dialah yang berhak memerintah,” secara inheren, terdapat esensi penting yang terlebih dahulu harus diselesaikan yaitu “siapa yang memenuhi kualifikasi atau persyaratan sehingga layak untuk dikontestasikan guna mendapatkan dukungan suara terbanyak rakyat.” Dalam konteks inilah rule of law berperan penting dalam mencegah demokrasi agar tidak bertumbuh menjadi mobocracy atau ochlocracy – sebagaimana sejak masa Yunani Purba telah dikhawatirkan, di antaranya oleh Polybius. Berdasarkan argumentasi itulah maka, sepanjang berkenaan dengan syarat mantan terpidana jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, tak terhindarkan bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali syarat kumulatif yang pernah dipertimbangkan dalam beberapa putusan Mahkamah sebelumnya sebagaimana telah diuraikan di atas. [3.15] Menimbang bahwa, sementara itu, berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai masa tunggu, sebagaimana telah Mahkamah uraikan dalam pertimbangan hukum sebelumnya bahwa terhadap masa tunggu tersebut haruslah diberlakukan kembali terhadap mantan narapidana yang akan mengajukan diri sebagai calon kepala daerah sebagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Demikian juga terhadap lamanya tenggat waktu Mahkamah juga tetap konsisten dengan merujuk pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu bagi calon kepala daerah yang telah selesai menjalani masa pidana diharuskan menunggu waktu selama 5 (lima) tahun untuk dapat mengajukan diri menjadi calon kepala daerah kecuali terhadap calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa. Bahwa adapun argumentasi Mahkamah untuk memberlakukan waktu tunggu sebagaimana tersebut di atas penting bagi Mahkamah untuk mengutip kembali pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUUVII/2009 yang pada pokoknya adalah, “... Dipilihnya jangka waktu 5 (lima) tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.” Dengan demikian argumentasi Mahkamah tersebut sekaligus sebagai bentuk penegasan bahwa Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang memohon masa tunggu 10 (sepuluh) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, konstitusionalitas norma yang mengatur persyaratan calon kepala daerah sepanjang berkenaan dengan mantan narapidana harus didasarkan pada putusan a quo dan karenanya permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Penutup

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut: 1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka. 2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 10/2016. 2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 10/2016 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 10/2016.


Page 4

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-03-2019

Pendahuluan

Bahwa pada hari Kamis, tanggal 28 Maret 2019, Pukul 12.54 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Pembahasan

Bahwa terhadap pengujian Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4) dan ayat (9), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan dua kerangka pikir sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya terhadap lima pokok persoalan yang terdapat dalam lima rumusan norma UU Pemilu, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya dalam putusan ini, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1. Perihal Syarat Memiliki KTP elektronik (KTP-el). Bahwa perihal syarat memiliki KTP-el bagi pemilih, Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu menyatakan: Penduduk yang telah memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat memilih di TPS/TPSLN dengan menggunakan kartu tanda penduduk elektronik. Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah apakah penerapan syarat memiliki KTP-el sebagai syarat menggunakan hak memilih bagi warga negara yang belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu sesuai dengan Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu telah merugikan hak konstitusional para Pemohon sehingga harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Terhadap persoalan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Dalam Putusan Mahkamah Nomor 011-017/PUU-I/2003 secara tegas dinyatakan bahwa pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak pilih merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Pertimbangan mana didasarkan atas alasan bahwa hak pilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional. Terkait hal itu, Mahkamah menyatakan sebagai berikut: Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara (Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, hlm. 35). Bahwa hal tersebut ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Nomor 102/PUU-VII/2009 yang pada pokoknya menyatakan, sebagai hak konstitusional warga negara, hak untuk memilih tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan haknya. Dalam Putusan a quo Mahkamah menyatakan: Menimbang bahwa hak-hak warga negara untuk memilih sebagaimana diuraikan di atas telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara (constitutional rights of citizen), sehingga oleh karenanya hak konstitusional tersebut di atas tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya (Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, hlm. 15). Bahwa penegasan Mahkamah ihwal hak pilih merupakan hak konstitusional warga negara sehingga tidak boleh dibatasi, disimpangi, ditiadakan, dan dihapus dalam putusan-putusan a quo tidak bermakna dan tidak dapat dimaknai Mahkamah berpendirian bahwa untuk pelaksanaan hak pilih sama sekali tidak boleh diatur syarat-syarat tersebut sebagai bentuk pembatasan hak pilih. Penegasan dalam putusan-putusan a quo dimaksudkan agar segala kebijakan hukum yang ditujukan untuk memberi batasan tertentu terhadap hak pilih harus ditetapkan secara proporsional atau tidak berlebihan. Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan Mahkamah sebagaimana dikutip di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk mempersoalkan apalagi meniadakan segala pembatasan yang telah ditentukan, sepanjang pembatasan tersebut proporsional dan tidak berlebihan. Bahwa sehubungan dengan alasan a quo, pertanyaannya kemudian ialah apakah penerapan syarat penggunaan KTP-el sebagai syarat administratif untuk menggunakan hak memilih bagi pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih merupakan pembatasan yang proporsional atau berlebihan, sehingga harus dinyatakan telah merugikan hak pilih dan karenanya bertentangan dengan UUD 1945. Jawaban atas pertanyaan tersebut berkorelasi dengan alasan-alasan hukum yang telah dinukilkan Mahkamah dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, sehingga alasan-alasan dimaksud perlu dipertimbangkan kembali dalam menilai pokok permohonan terkait penggunaan KTP-el sebagai syarat menggunakan hak memilih sesuai UU Pemilu dalam permohonan a quo. Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 merupakan landasan hukum pertama yang digunakan sebagai dasar penggunaan KTP, Paspor, atau identitas lain sebagai syarat menggunakan hak memilih bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT. Hal itu dapat dibaca dalam pertimbangan hukum Mahkamah sebagai berikut: [3.20] Menimbang bahwa ketentuan yang mengharuskan seorang warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) lebih merupakan prosedur administratif dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yaitu hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat diperlukan adanya solusi untuk melengkapi DPT yang sudah ada sehingga penggunaan hak pilih warga negara tidak terhalangi; [3.21] Menimbang bahwa pembenahan DPT melalui pemutakhiran data akan sangat sulit dilakukan oleh KPU mengingat waktunya yang sudah sempit, sedangkan penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk menggunakan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT merupakan alternatif yang paling aman untuk melindungi hak pilih setiap warga negara. (Putusan Nomor 102/PUUVII/2009, hlm. 16) Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, keberadaan KTP, Paspor, atau identitas lain untuk menggunakan hak memilih adalah solusi terhadap masalah tidak terdaftarnya pemilih dalam DPT. Pada saat yang sama, penggunaan KTP, Paspor, atau identitas lain adalah cara untuk menyelamatkan hak memilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT. Ditentukannya KTP, Paspor, atau identitas lain adalah karena merupakan alternatif paling aman untuk melindungi hak memilih setiap warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT. Lebih jauh, penggunaan KTP untuk memilih itu pun dengan pembatasanpembatasan yang secara eksplisit dinyatakan dalam Putusan tersebut, yaitu sebagai berikut: [3.23] Menimbang bahwa sebelum memberikan Putusan tentang konstitusionalitas pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, agar di satu pihak tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara dan di lain pihak tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Mahkamah perlu memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan pedoman sebagai berikut: 1. Warga Negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri; 2. Bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya; 3. Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya. Khusus untuk yang menggunakan paspor di Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) harus mendapat persetujuan dan penunjukkan tempat pemberian suara dari PPLN setempat; 4. Bagi Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; 5. Bagi Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS LN setempat. (Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, hlm. 17) Berdasarkan pertimbangan di atas, sekalipun Mahkamah membuka ruang digunakannya KTP untuk memilih, namun tetap dengan persyaratan yang ketat seperti harus disertai dengan KK, memilih di TPS sesuai dengan alamat yang tertera pada KTP, mendaftarkan diri kepada KPPS, dan dilakukan satu jam sebelum selesai pemungutan suara. Dengan syarat-syarat dimaksud Mahkamah tetap memosisikan bahwa akuntabilitas setiap pemilih yang memberikan suara dalam pemilu tetap harus dijaga. Artinya, segala peluang terjadinya kecurangan akibat longgarnya syarat bagi seseorang untuk dapat menggunakan hak memilihnya harus ditutupi sedemikian rupa sehingga langkah menyelamatkan suara pemilih tetap dalam kerangka tidak mengabaikan aspek kehati-hatian terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan yang dapat mengganggu terlaksananya pemilu yang jujur dan adil. Bahwa selanjutnya putusan Mahkamah dimaksud ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang dengan mengatur bahwa bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak memilihnya dengan menggunakan KTP-el. Dalam kaitan ini, menurut Pemohon, semestinya identitas yang dapat digunakan untuk menggunakan hak memilih tidak hanya KTP-el, melainkan juga KTP non-elektronik, surat keterangan, akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah atau alat identitas lainnya yang dapat membuktikan yang bersangkutan mempunyai hak memilih, seperti Kartu Pemilih yang diterbitkan oleh KPU. Dengan kata lain, dalam konteks ini, para Pemohon pada pokoknya meminta agar dilakukan perluasan terhadap jenis kartu indentitas yang dapat digunakan dalam menggunakan hak memilih. Terkait pokok permohonan para Pemohon yang meminta agar identitas selain KTP-el juga dapat digunakan oleh warga negara yang tidak memiliki KTP-el Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Pertama, konstruksi hukum pemilu ihwal syarat administratif penggunaan hak memilih maupun hak dipilih adalah terdaftar sebagai pemilih. Konstruksi demikian dapat dibaca dalam ketentuan Pasal 169 huruf l, Pasal 182 huruf i dan Pasal 240 ayat (1) huruf i UU Pemilu yang mengatur bahwa untuk dapat menjadi peserta pemilu pasangan calon Presiden/Wakil Presiden, calon anggota DPD dan calon anggota DPR/DPRD seseorang harus terdaftar sebagai pemilih. Demikian pula dengan konstruksi syarat untuk dapat memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 199 UU Pemilu yang menyatakan bahwa untuk dapat menggunakan hak memilih, seorang warga negara harus terdaftar sebagai pemilih. Berdasarkan konstruksi syarat penggunaan hak pilih dimaksud, terdaftar sebagai pemilih dapat dikategorikan sebagai syarat primer bagi warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya. Dalam rangka memenuhi syarat harus terdaftar sebagai pemilih bagi warga negara sebagaimana dikehendaki oleh UU Pemilu, KPU melaksanakan pemutakhiran data pemilih serta menyusun dan menetapkan daftar pemilih. Proses pemutakhiran dan penetapan daftar pemilih merupakan sebuah upaya untuk menjamin agar setiap warga negara yang memiliki hak pilih terdaftar sehingga dapat menggunakan hak pilihnya. Bahwa oleh karena dalam proses pemutakhiran data pemilih dimaksud ada kemungkinan tidak masuk atau tidak terdaftarnya warga negara yang memiliki hak pilih dalam DPT, UU Pemilu menyediakan klausul jalan keluar yaitu bahwa sekalipun seorang warga negara tidak terdaftar dalam DPT, tetapi tetap dapat memilih menggunakan KTP-el dengan syarat-syarat tersebut. Oleh karena penggunaan KTP-el sebagai identitas pemilih merupakan syarat alternatif dalam penggunaan hak memilih maka identitas selain KTP-el tidak dapat disamakan dengan KTP-el. KTP-el ditempatkan sebagai batas minimum identitas warga negara yang memiliki hak pilih untuk dapat menggunakan haknya. Adapun identitas lainnya tidak dapat disamakan dengan KTP-el sebagai identitas resmi penduduk yang diakui dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia. Kedua, KTP-el sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan didefinisikan sebagai Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana. Dengan demikian, KTP-el diposisikan sebagai identitas resmi setiap penduduk. Sebagai identitas resmi, UU Administrasi Kependudukan mewajibkan kepada setiap penduduk yang telah berumur 17 tahun untuk memiliki KTP-el. Bahkan sesuai dengan Pasal 63 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan, setiap peduduk yang memiliki KTP-el juga wajib untuk membawanya pada saat bepergian. Bahwa keberadaan KTP-el sebagai identitas resmi yang wajib dimiliki dan dibawa serta oleh setiap pemiliknya ketika bepergian dalam UU Administrasi Kependudukan juga sejalan dengan konstruksi legal menjadikan KTP-el sebagai syarat alternatif penggunaan hak memilih dalam UU Pemilu. Sebagai identitas resmi, KTP-el dijadikan standar adminstratif minimal dalam menggunakan hak memilih. Ketiga, dalam konteks bahwa pemilu yang jujur dan adil juga bergantung pada akuntabilitas syarat administratif yang diterapkan dalam penggunaan hak pilih maka KTP-el merupakan identitas resmi yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam arti, KTP-el-lah yang secara tegas dinyatakan dalam UU Pemilu sebagai identitas resmi. Adapun identitas lainnya tidak dapat diposisikan setara dengan KTP-el sehingga keberadaannya juga tidak sama. Oleh karena itu, agar identitas yang dapat digunakan pemilih untuk menggunakan hak memilihnya betul-betul dapat dipertanggungjawabkan serta sangat kecil peluang untuk menyalahgunakannya, menempatkan KTP-el sebagai bukti identitas dapat memilih dalam pemilu sudah tepat dan proporsional. Bahwa sekalipun demikian, pada faktanya proses penyelenggaraan urusan kependudukan oleh pemerintah daerah masih terus berlangsung, sehingga belum semua warga negara yang memiliki hak pilih memiliki KTP-el. Kondisi demikian dapat merugikan hak memilih warga negara yang sejatinya bukanlah disebabkan oleh faktor kesalahan atau kelalaiannya sebagai warga negara. Jika syarat memiliki KTP-el tetap diberlakukan bagi warga negara yang sedang menyelesaikan urusan data kependudukan maka hak memilih mereka tidak terlindungi. Agar hak memilih warga negara dimaksud tetap dapat dilindungi dan dilayani dalam Pemilu, dapat diberlakukan syarat dokumen berupa surat keterangan perekaman KTP-el yang diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil. Jadi, bukan surat keterangan yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh pihak lain. Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah tetap pada keyakinan bahwa syarat minimal bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya adalah memiliki KTP-el sesuai dengan UU Administrasi Kependudukan. Dalam hal KTP-el belum dimiliki, sementara yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk memiliki hak pilih maka sebelum KTP-el diperoleh, yang bersangkutan dapat memakai atau menggunakan surat keterangan perekaman KTP-el dari dinas urusan kependudukan dan catatan sipil instansi terkait sebagai pengganti KTP-el. Dengan pendirian demikian bukan berarti Mahkamah telah mengubah pendiriannya sebagaimana ditegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya. Putusan Mahkamah sebelumnya yang memperbolehkan warga negara menggunakan sejumlah tanda pengenal diri untuk memilih (bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT) adalah ketika data kependudukan belum terintegrasi dengan data kepemiluan sehingga terdapat potensi di mana warga negara tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Sementara itu, pada saat ini, integrasi data dimaksud telah dilakukan sehingga alasan untuk menggunakan identitas lain di luar KTP-el menjadi kehilangan dasar pijakan untuk tetap mempertahankannya dalam konteks penggunaan hak pilih. Sebab, apabila pandangan demikian tidak disesuaikan dengan perkembangan pengintegrasian data kependudukan dan data kepemiluan maka akan berakibat terganggunya validitas data kependudukan yang sekaligus data kepemiluan yang pada akhirnya bermuara pada legitimasi pemilu. Berdasarkan pertimbangan di atas, sebagian dalil para Pemohon terkait Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu beralasan secara hukum sepanjang istilah “kartu tanda penduduk elektronik” juga diartikan mencakup “surat keterangan perekaman KTP-el yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil (Disdukcapil)”. Dengan demikian, Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Penduduk yang telah memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat memilih di TPS/TPSLN dengan menggunakan kartu tanda penduduk elektronik atau surat keterangan perekaman KTP-el yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil (Disdukcapil) atau instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu”. Sehubungan dengan pertimbangan hukum Mahkamah di atas, penting bagi Mahkamah mengingatkan pemerintah untuk mempercepat proses perekaman KTP-el bagi warga negara yang belum melakukan perekaman, lebih-lebih yang telah memiliki hak pilih, agar dapat direalisasikan sebelum hari pemungutan suara. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil permohonan a quo yaitu berkenaan dengan Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak mempunyai KTP elektronik, dapat menggunakan kartu identitas lainnya, yaitu KTP non-elektronik, surat keterangan, akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah, atau alat identitas lainnya yang dapat membuktikan yang bersangkutan mempunyai hak memilih, seperti Kartu Pemilih yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum” adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. 2. Perihal Hak Memilih bagi Pemilih yang Pindah Memilih. Bahwa perihal hak memilih bagi pemilih yang menggunakan haknya untuk memilih di TPS/TPSLN lain, Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu menyatakan: Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menggunakan haknya untuk memilih: a. calon anggota DPR apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya; b. calon anggota DPD apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi; c. Pasangan Calon apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi; d. calon anggota DPRD Pronvinsi pindah memilih ke kebupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya; dan e. calon anggota DPRD Kabupaten/Kota pindah memilih ke kecamatan lain dalam satu kabupaten/kota dan daerah pemilihannya. Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu di atas dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah apakah pembatasan hak memilih hanya untuk calon sesuai daerah pemilih di mana pemilih terdaftar bagi pemilih yang pindah memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu telah menyebabkan hilangnya hak pemilih yang pindah memilih untuk menggunakan haknya memilih calon anggota legislatif, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dalam kaitan ini, para Pemohon mendalilkan bahwa pembatasan terhadap calon/peserta pemilu yang dapat dipilih bagi pemilih yang pindah memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu merupakan norma yang menyebabkan hilangnya hak pemilih untuk memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Lebih jauh juga didalilkan para Pemohon bahwa dalam Pemilu Tahun 2014, pemilih yang pindah memilih tetap dapat memilih anggota legislatif. Bahwa terhadap permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 19/PUU-XVII/2019 yang telah diucapkan sebelumnya yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut: [3.14.4] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 karena para Pemohon yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya di tempat asalnya sehingga tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya untuk semua jenis pemilihan (memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD) melainkan hanya untuk memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Sebelum Mahkamah mempertimbangkan dalil para Pemohon tersebut, terlebih dahulu dikemukakan ketentuan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu yang menyatakan: Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menggunakan haknya untuk memilih: a. calon anggota DPR apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya; b. calon anggota DPD apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi; c. Pasangan Calon apabila pindah memilih ke provinsi lain atau pindah memilih ke suatu negara; d. calon anggota DPRD Provinsi pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya; dan e. calon anggota DPRD Kabupaten/Kota pindah memilih ke kecamatan lain dalam satu kabupaten/kota dan daerah pemilihannya. Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu tersebut dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah apakah pembatasan hak memilih hanya untuk calon sesuai daerah pemilih di mana pemilih terdaftar bagi pemilih yang pindah memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu telah menyebabkan hilangnya hak pemilih yang pindah memilih untuk menggunakan haknya memilih calon anggota legislatif, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dalam kaitan ini, para Pemohon mendalilkan bahwa pembatasan terhadap calon/peserta pemilu yang dapat dipilih bagi pemilih yang pindah memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu merupakan norma yang menyebabkan hilangnya hak pemilih untuk memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Lebih jauh juga didalilkan bahwa dalam Pemilu Tahun 2014, pemilih yang pindah memilih tetap dapat memilih calon anggota legislatif. Terhadap dalil a quo Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan yang tertuang dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu adalah diberlakukan terhadap “Pemilih dengan kondisi tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348 ayat (3) UU Pemilu. Adapun yang dimaksud dengan “Pemilih dengan kondisi tertentu”, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 348 ayat (3) UU Pemilu, adalah pemilih yang sedang bersekolah dan/atau bekerja di luar domisilinya, sedang sakit, dan pemilih yang sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan. Sementara itu, pembatasan hak untuk memilih terhadap calon/peserta pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu merupakan konsekuensi logis dari ada dan ditetapkannya daerah pemilihan. Dalam hal ini, daerah pemilihan tidak hanya menentukan batas wilayah pemilihan bagi peserta pemilu, melainkan juga batas pemilihan bagi pemilih. Artinya, daerah pemilihan merupakan batas penggunaan hak pilih, baik hak memilih maupun hak untuk dipilih. Dalam konteks itu, pengaturan pembatasan hak untuk memilih terdahap peserta pemilu pada level tertentu berdasarkan daerah pemilihan merupakan sebuah kebijakan hukum yang sangat logis dan tidak berkelebihan. Ihwal regulasi pemilu yang berlaku sebelumnya tidak terdapat pengaturan yang demikian tidak dapat dijadikan patokan untuk menilai perubahan dan/atau perkembangan regulasi. Sepanjang perubahan aturan masih dalam batas-batas yang ditujukan untuk menjaga keadilan dan proporsionalitas prosedur pemilu maka hal itu tidak dapat dianggap sebagai sebuah pembatasan yang tidak sesuai dengan UUD 1945, khususnya menyangkut hak konstitusional yang berkait dengan hak pilih. Lebih jauh Mahkamah akan mempertimbangkan hal tersebut sebagai berikut: Pertama, sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, pemilu secara teknis dipahami sebagai mekanisme konversi suara rakyat menjadi kursi di lembaga perwakilan. Suara rakyat yang dikonversi adalah suara rakyat yang memilih wakil-wakilnya dalam pemilu. Proses konversi suara rakyat menjadi kursi dikanalisasi melalui pelaksanaan pemilu berbasis daerah pemilihan. Kanalisasi tersebut tidak saja bermakna bahwa proses pemilihan dilakukan berbasis daerah pemilihan, melainkan juga dimaksudkan bahwa daerah pemilihan merupakan wilayah representatif sehingga wakil rakyat terpilih bertanggung jawab kepada konstituen di daerah pemilihan di mana mereka terpilih. Artinya, suara rakyat yang dikonversi menjadi kursi anggota lembaga perwakilan (baik DPR, DPD, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota) berkonsekuensi terhadap munculnya model pertanggungjawaban anggota lembaga perwakilan rakyat berbasis daerah pemilihan. Jadi, dengan adanya daerah pemilihan, pertanggungjawaban masing-masing anggota lembaga perwakilan yang terpilih menjadi jelas, baik secara kewilayahan maupun kepada rakyat/pemilih yang memberikan mandat dalam pemilu. Sebagai basis pemilihan dan juga pertanggungjawaban wakil rakyat terpilih, daerah pemilihan juga merupakan basis hubungan wakil dengan yang diwakilinya. Daerah pemilihan merupakan daerah di mana dua subjek dalam sistem perwakilan saling berinteraksi. Agar interaksi antara wakil dan yang diwakili sebagai subjek dalam satu daerah pemilihan maka wakil rakyat yang dipilih haruslah orang yang bisa dimintakan pertanggungjawaban oleh rakyat/pemilih. Pada saat yang sama, rakyat yang memilih juga adalah orang yang dapat meminta pertanggungjawaban wakilnya. Tentu yang dimaksud dengan pertanggungjawaban dalam hal ini adalah pertanggungjawaban politik. Dalam posisi demikian, hanya orangorang yang dipilih dan pemilih yang terdaftar dan memilih di satu daerah pemilihanlah yang dapat terkoneksi dalam hubungan wakil dan yang diwakili. Oleh karena itu, membatasi hak pemilih untuk memilih calon/peserta pemilu berbasis tempat di mana ia terdaftar sebagai pemilih tetap merupakan kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan desain sistem pemilu yang jujur dan adil serta, pada saat yang sama, sekaligus akuntabel. Kedua, pembatasan hak untuk memilih calon/peserta pemilu sesuai dengan tingkatan sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu berlaku berbasis skala pindah memilih. Dalam arti, hak memilih yang tidak dapat digunakan adalah hak untuk memilih calon di daerah pemilihan yang ditinggalkan. Namun, apabila pindah memilih masih dalam daerah pemilihan yang sama maka seorang pemilih tetap memiliki hak memilih calon/peserta pemilu dimaksud. Kerangka hukum demikian tidak dapat dinilai sebagai penghilangan hak memilih anggota legislatif sebagaimana didalilkan para Pemohon. Sebab, hak memilih calon/peserta pemilu bagi pemilih yang tidak berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan pada dasarnya memang tidak ada. Artinya, ketika pemilih sudah keluar dari daerah pemilihannya maka hak memilihnya tidak lagi valid untuk digunakan. Justru ketika hak memilih tetap diberikan kepada pemilih yang basis representasinya bukan di daerah pemilihan yang bersangkutan maka konsep batas wilayah pemilihan dan pertanggungjawaban wakil terpilih akan menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, yang diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu pada prinsipnya adalah untuk menjaga kemurnian sistem pemilihan berbasis daerah pemilihan dan sekaligus juga untuk menjaga kejelasan sistem pertanggungjawaban wakil rakyat terpilih kepada pemilih yang memang berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon a quo yang menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah di atas, ternyata Mahkamah telah menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karenanya, pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan di atas mutatis-mutandis berlaku pula terhadap dalil permohonan para Pemohon a quo. Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 3. Perihal Batas Waktu Pendaftaran Pemilih Pindah Memilih Bahwa perihal batas waktu pendaftaran pemilih untuk menggunakan haknya untuk memilih di TPS/TPSLN lain, Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu menyatakan: Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) dapat dilengkapi daftar pemilih tambahan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara. Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah dikemukan di atas, adalah apakah pembatasan jangka waktu pendaftaran pemilih ke dalam DPTb paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu menyebabkan terhambat, terhalanginya hak sebagian pemilih yang pindah memilih karena terjadinya keadaan tertentu, sehingga harus dinyatakan konstitusional bersyarat. Dalam kaitan ini para Pemohon mendalilkan bahwa pembatasan waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara bagi pemilih untuk terdaftar dalam DPTb karena alasan adanya keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu berpotensi menghambat, menghalangi, dan mempersulit dilaksanakannya hak memilih, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap dalil dimaksud, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa dalam batas-batas tertentu, pembatasan jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara untuk pemilih yang pindah memilih karena alasan tertentu agar dapat didaftarkan dalam DPTb dapat dikualifikasi sebagai kebijakan hukum yang rasional. Rasional dalam arti bahwa dengan pembatasan jangka waktu dimaksud, penyelenggara pemilu memiliki kesempatan untuk mempersiapkan kebutuhan logistik pemilu guna melayani hak memilih pemilih yang pindah memilih. Tanpa adanya pengaturan jangka waktu dimaksud, ketika jumlah pemilih yang pindah memilih terjadi dalam jumlah besar dan menumpuk pada daerah tertentu, maka hak pilih pemilih dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Dalam konteks itu, penentuan jangka waktu dimaksud juga dapat dinilai sebagai rekayasa hukum agar pemilih yang pindah memilih betul-betul dapat dilayani hak pilihnya. Dengan demikian, untuk konteks bagaimana penyelenggara pemilu dapat melayani hak pilih warga negara yang pindah memilih maka kebijakan pembatasan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara merupakan kebijakan hukum yang tidak secara umum dapat dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa walaupun demikian, pembatasan waktu tersebut masih mengandung potensi tidak terlayaninya hak memilih warga negara yang mengalami keadaan tertentu di luar kemampuan dan kemauan yang bersangkutan. Dalam hal ini, tidak ada yang dapat memperkirakan kapan seseorang akan mengalami sakit, bermasalah secara hukum sehingga ditahan atau ditimpa bencana alam. Hal demikian dapat saja menimpa pemilih justru dalam waktu yang berdekatan dengan hari pemungutan suara, sehingga ia harus pindah memilih. Bahwa kebutuhan akan perlunya jangka waktu mempersiapkan layanan terhadap pemilih yang pindah memilih dan upaya memenuhi hak memilih warga negara yang mengalami kondisi atau keadaan tertentu (sakit, menjadi tahanan, tertimpa bencana alam, atau menjalankan tugas pada saat pemungutan suara) yang mengharuskannya pindah memilih merupakan dua hal yang sama-sama penting, yang satu tidak boleh menegasikan yang lain. Dalam arti, alasan melayani hak memilih warga negara tetap harus dalam kerangka memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara untuk mempersiapkan segala perlengkapan pemungutan suara. Pada saat yang sama, alasan memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara tidak boleh mengabaikan hak pilih warga negara yang mengalami keadaan tertentu. Oleh karena itu, agar upaya memenuhi hak memilih dan kebutuhan ketersediaan waktu yang cukup bagi penyelenggara pemilu haruslah ditentukan batasnya secara proporsional sehingga prinsip penyelenggaraan pemilu secara jujur dan adil dalam rangka memenuhi hak pilih warga negara tetap dapat dipenuhi. Bahwa berdasarkan alasan tersebut, batas waktu agar pemilih dapat didaftarkan dalam DPTb paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara tetap harus dipertahankan karena dengan rentang waktu itulah diperkirakan penyelenggara pemilu dapat memenuhi kebutuhan logistik pemilu. Hanya saja, pembatasan waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara tersebut harus dikecualikan bagi pemilih yang terdaftar sebagai pemilih yang pindah memilih karena alasan terjadinya keadaan tertentu, yaitu sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara maka pemilih dimaksud dapat melakukan pindah memilih dan didaftarkan dalam DPTb paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pemungutan suara. Artinya, hanya bagi pemilih-pemilih yang mengalami keadaan tertentu demikianlah yang dapat melakukan pindah memilih dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pemungutan suara. Adapun bagi pemilih yang tidak memiliki keadaan tertentu dimaksud, ketentuan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara tetap berlaku. Bahwa pemilahan batas waktu demikian perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya pindah memilih dalam jumlah besar karena alasan pekerjaan atau alasan lain mendekati hari pemungutan suara sehingga tidak tersedia lagi waktu yang cukup bagi penyelenggara untuk menyediakan tambahan logistik pemilu. Dalam batas penalaran yang wajar, ketersediaan waktu demikian penting jadi dasar pertimbangan karena dengan waktu yang terbatas akan menghadirkan kondisi lain yaitu potensi tidak terpenuhinya hak memilih secara baik karena tidak tersedianya waktu yang cukup untuk memenuhi tambahan logistik pemilu oleh penyelenggara. Bilamana kondisi demikian terjadi, hasil pemilu potensial untuk dipersoalkan dan penyelenggara pemilu akan dengan mudah dinilai tidak menyelenggarakan pemilu secara profesional. Oleh karena itu, guna menghindari terjadinya masalah dalam proses pemungutan suara akibat tidak mencukupinya surat suara dan logistik lainnya, pengecualian terhadap keberlakuan batas waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara hanya dapat diterapkan bagi pemilih yang mengalami keadaan tertentu sebagaimana telah dijelaskan di atas. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon terkait dengan konstitusionalitas Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu sepanjang ditujukan untuk melindungi hak memilih pemilih yang mengalami keadaan tertentu adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian, namun tidak dengan mengubah batas waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari menjadi 3 (tiga) hari menjelang hari pemungutan suara, melainkan dengan menerapkan pengecualian terhadap pemilih yang mengalami keadaan tertentu. Dengan demikian, batas waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu tidak berlaku bagi pemilih dalam keadaan tertentu yaitu pemilih yang mengalami sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan karena melakukan tindak pidana, atau menjalankan tugas pada saat pemungutan suara. Demi, di satu pihak, tetap terpenuhinya hak konstitusional pemilih dalam keadaan tertentu untuk melaksanakan hak pilihnya, dan di lain pihak, penyelenggara memiliki cukup waktu untuk menjamin ketersediaan logistik terkait dengan pemenuhan hak dimaksud, maka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pemungutan suara adalah batas waktu yang rasional untuk ditetapkan sebagai batas waktu paling lambat bagi pemilih yang demikian untuk dapat didaftarkan dalam DPTb. 4. Perihal Pembentukan TPS Tambahan. Bahwa perihal Pembentukan TPS Tambahan, Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu menyatakan: TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang disabilitas, tidak menggabungkan desa, dan memperhatikan aspek geografis serta menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah apakah pembatasan pembentukan TPS berbasis DPT sebagaimana diatur dalam Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu menyebabkan sejumlah pemilih terhambat untuk menggunakan hak pilihnya, sehingga harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Dalam hal ini para Pemohon mendalilkan, pembentukan TPS yang didasarkan pada DPT telah menyebabkan sejumlah pemilih terhambat menggunakan hak pilihnya, khususnya pemilih yang pindah memilih karena keadaan tertentu. Ketika kondisi pemilih yang pindah memilih terkonsentrasi dalam jumlah besar di lokasi-lokasi tertentu maka ketentuan pembatasan pembentukan TPS berbasis DPT akan menyebabkan pemilih tidak dapat menyalurkan hak pilihnya akibat keterbatasan ketersediaan surat suara pada TPS sesuai dengan DPT. Berdasarkan alasan dimaksud, para Pemohon meminta agar ketentuan Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal jumlah Pemilih DPTb pada suatu tempat melebihi jumlah maksimal Pemilih di TPS yang ditetapkan oleh KPU, dapat dibentuk TPS berbasis Pemilih DPTb.” Terhadap dalil para Pemohon dimaksud Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa harus dipahami, konstruksi norma Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu bukanlah mengatur tentang basis pembentukan TPS, sebagaimana dipahami dan didalilkan oleh para Pemohon, melainkan terkait dengan syarat lokasi pembentukan TPS. Dalam hal ini, pembentukan TPS harus ditentukan lokasinya pada tempat yang mudah dijangkau oleh pemilih, tidak menggabungkan desa, memperhatikan aspek geografis dan menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Jadi, penekanannya justru terletak pada frasa “menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia” yang tiada lain adalah tiga dari enam asas penting dalam pemilu yang secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Maksud sesungguhnya yang dikehendaki oleh frasa “menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia” adalah lokasi yang dipilih untuk membentuk TPS. Dalam arti, TPS tidak boleh ditempatkan pada lokasi yang tidak memberikan jaminan kepada pemilih untuk dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Bahwa oleh karena konstruksi norma Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu adalah terkait syarat lokasi TPS maka norma a quo tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi pembentukan TPS tambahan yang ditujukan untuk mengakomodasi pemilih yang pindah memilih yang terkonsentrasi di daerah tertentu yang potensial tidak dapat menggunakan hak memilihnya. Dengan dasar pertimbangan demikian permohonan para Pemohon agar frasa “menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia” dimaknai menjadi “dalam hal jumlah Pemilih DPTb pada suatu tempat melebihi jumlah maksimal Pemilih di TPS yang ditetapkan oleh KPU, dapat dibentuk TPS berbasis Pemilih DPTb” adalah tidak relevan. Dalam batas penalaran yang wajar, memaknai frasa dimaksud selain yang tertera dalam teks norma tersebut potensial mengancam asas “langsung”, “bebas’, dan “rahasia” yang merupakan tiga dari enam asas mendasar dalam pelaksanaan hak pilih sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Karena itu, apabila frasa dimaksud ditafsirkan sebagaimana dimohonkan para Pemohon, penafsiran demikian justru akan menjadi bertentangan dengan jiwa atau semangat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Bahwa sekalipun demikian, Mahkamah memahami dan dapat menangkap semangat yang dimaksudkan oleh para Pemohon perihal perlunya dibuka ruang bagi KPU untuk membentuk TPS tambahan dalam rangka melayani dan memenuhi hak memilih pemilih yang pindah memilih. Namun, terkait hal dimaksud harus dipahami bahwa konstruksi norma yang mengatur perihal daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan dalam hubungannya dengan norma pembentukan TPS dalam UU Pemilu sesungguhnya telah memberi ruang bagi KPU untuk membentuk TPS tambahan sesuai dengan data pemilih dalam DPT dan DPTb. Bahwa terkait dengan pendapat Mahkamah tersebut dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut: Pasal 210 ayat (2) UU Pemilu membuka kesempatan bagi pemilih yang terdaftar dalam DPT yang mengalami keadaan tertentu untuk pindah memilih ke TPS/TPSLN lain. Kesempatan pindah memilih dimaksud tentunya akan berkonsekuensi terhadap terjadinya pergeseran jumlah pemilih dari satu tempat ke tempat lain. Pergeseran mana dapat terjadi secara berimbang antar daerah pemilihan karena pemilih yang keluar dan masuk dalam satu TPS dalam jumlah yang sebanding. Sebaliknya, pergeseran pemilih juga dapat terjadi secara terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, di mana perpindahan pemilih dari dan ke TPS di satu daerah tertentu tidak berimbang sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan pemilih yang jumlahnya dapat melebihi kapasitas maksimal pemilih di TPS. Dalam kondisi demikian dapat dipastikan pemilih yang pindah memilih yang kebetulan terkonsentrasi di daerah tertentu tidak akan dapat menggunakan hak memilihnya. Hal itu dapat terjadi dalam beberapa bentuk seperti selisih batas maksimal jumlah pemilih di TPS lebih kecil dibandingkan jumlah pemilih yang terdapat dalam DPTb; atau ketersediaan kesempatan memilih di sejumlah TPS di satu daerah sangat kecil karena jumlah pemilih di TPS-TPS yang ada mencapai jumlah maksimal pemilih sebanyak 300 orang sesuai dengan Pasal 11 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Pengitungan Suara Dalam Pemilu. Kondisi-kondisi demikian dipastikan akan menyebabkan pemilih yang terdaftar dalam DPTb tidak akan dapat memilih kecuali jika KPU membentuk TPS tambahan. Dalam hal data DPTb yang dimiliki KPU menunjukkan bahwa hak memilih hanya dapat dipenuhi dengan membentuk TPS tambahan maka KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bertanggungjawab terhadap pemenuhan hak memilih warga negara dapat membentuk TPS tambahan. Bahwa sesuai dengan konstruksi norma yang mengatur data pemilih dalam UU Pemilu, dapat dipahami bahwa DPTb sesungguhnya bukanlah data pemilih baru. Sebab DPTb adalah data pemilih dalam DPT yang karena keadaan tertentu harus pindah memilih ke TPS lain. Dengan demikian, DPTb sesungguhnya adalah data pemilih yang menjadi bagian tidak terpisah dari DPT. Oleh karena itu, ketika TPS dibentuk berdasarkan data pemilih dalam DPT, hal itu bermakna bahwa data DPTb juga menjadi bagian dari basis data yang dapat dijadikan dasar pembentukan TPS. Dengan demikian, apabila data pemilih dalam DPT dan DPTb memang membutuhkan penambahan TPS maka sesuai dengan wewenang KPU untuk mengatur jumlah, lokasi, bentuk dan tata letak TPS sebagaimana diatur dalam Pasal 350 ayat (5) UU Pemilu, KPU dapat membentuk TPS tambahan sesuai dengan data DPTb. Bahwa sekalipun Mahkamah telah menegaskan bahwa KPU dapat membentuk TPS tambahan sebagai konsekuensi dibukanya kesempatan pindah memilih bagi warga negara melalui UU Pemilu, namun pembentukan TPS tambahan tetap harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kebutuhan nyata pemenuhan dan pelayanan hak memilih warga negara dan mempertimbangkan jumlah pemilih dalam DPTb. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia” agar dimaknai menjadi “dalam hal jumlah Pemilih DPTb pada suatu tempat melebihi jumlah maksimal Pemilih di TPS yang ditetapkan oleh KPU, dapat dibentuk TPS berbasis Pemilih DPTb” adalah tidak beralasan menurut hukum. 5. Perihal Batas Waktu Penghitungan Suara Bahwa perihal batas waktu penghitungan suara pada hari pemungutan suara, Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu menyatakan: Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara. Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah apakah batas waktu penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu berpotensi menyebabkan munculnya persoalan hukum yang dapat mengganggu keabsahan Pemilu, sehingga harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Dalam kaitan ini para Pemohon mendalilkan ihwal batas waktu penghitungan suara harus selesai pada hari pemungutan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu berpotensi tidak terpenuhi dalam penyelenggaraan pemilu serentak sehingga dapat menimbulkan masalah dan komplikasi hukum yang dapat menyebabkan dipersoalkannya keabsahan Pemilu 2019. Terhadap dalil tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertama karena untuk pertama kalinya, pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilu anggota legislatif (yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Salah satu konsekuensi keserentakan pemilu dimaksud adalah bertambahnya jenis surat dan kotak suara. Jika pada Pemilu 2014, in casu pemilu anggota legislatif, terdapat empat kotak suara maka pada Pemilu 2019, yang menggabungkan penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilu anggota legislatif, terdapat lima kotak suara. Penyelenggaraan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, akan menimbulkan beban tambahan dalam penyelenggaraan termasuk memerlukan waktu lebih lama. Apalagi, jumlah partai politik peserta Pemilu 2019 lebih banyak dari Pemilu 2014. Terkait dengan hal itu, Pasal 350 ayat (1) UU Pemilu mengantisipasi dengan cara membatasi bahwa pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 orang. Bahkan, setelah melalui simulasi, sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, KPU mengatur bahwa jumlah pemilih untuk setiap TPS paling banyak 300 orang. Bahwa sekalipun jumlah pemilih untuk setiap TPS telah ditetapkan paling banyak 300 orang, namun dengan banyaknya jumlah peserta pemilu, yang terdiri dari dua pasangan calon presiden, 16 (enam belas) partai politik nasional dan khusus Aceh ditambah dengan 4 (empat) partai politik lokal peserta pemilu dengan tiga tingkat pemilihan, dan perorangan calon anggota DPD, serta kompleksnya formulir-formulir yang harus diisi dalam penyelesaian proses penghitungan suara, potensi tidak selesainya proses penghitungan suara pada hari pemungutan suara sangat terbuka. Belum lagi jika faktor kapasitas dan kapabilitas aparat penyelenggara pemilu, khususnya di tingkat TPS, turut dipertimbangkan. Oleh karena itu, dalam hal potensi yang tak dikehendaki tersebut benar-benar terjadi, sementara UU Pemilu menentukan pembatasan waktu yang sangat singkat dalam menghitung suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara, maka keabsahan hasil pemilu akan menjadi terbuka untuk dipersoalkan. Bahwa untuk mengatasi potensi masalah tersebut maka ketentuan pembatasan waktu penghitungan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu harus dibuka namun dengan tetap memerhatikan potensi kecurangan yang mungkin terjadi. Potensi kecurangan mana akan terbuka jika proses penghitungan suara yang tidak selesai pada hari pemungutan suara lalu dilanjutkan pada hari berikutnya dengan disertai jeda waktu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, perpanjangan jangka waktu penghitungan suara hanya dapat dilakukan sepanjang proses penghitungan dilakukan secara tidak terputus hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN. Perpanjangan hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN, yaitu pukul 24.00 waktu setempat, merupakan waktu yang masuk akal, jika waktu tersebut diperpanjang lebih lama lagi justru akan dapat menimbulkan masalah lain di tingkat KPPS. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat, sebagian dalil para Pemohon sepanjang menyangkut pembatasan waktu penghitungan suara di TPS/TPSLN sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu cukup beralasan. Hanya saja, untuk mengurangi segala kemungkinan risiko, terutama risiko kecurangan, lama perpanjangan waktu penghitungan suara cukup diberikan paling lama 12 (dua belas) jam. Dengan waktu tersebut, dalam batas penalaran yang wajar, sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan potensi tidak selesainya proses penghitungan suara di TPS/TPSLN pada hari pemungutan suara. Sehubungan dengan itu, maka Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara dan dalam hal penghitungan suara belum selesai dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara.” Dengan dimaknainya Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu sebagaimana dinyatakan di atas maka semua norma yang memuat batas waktu yang terkait atau terdampak dengan penambahan waktu 12 (dua belas) jam tersebut harus pula disesuaikan dengan penambahan waktu dimaksud. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon I, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, dan Pemohon VII beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Penutup

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut: 1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XVII/2019 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka. 2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XVII/2019 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilu. 2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemilu yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilu.


Page 5

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-07-2018

Pendahuluan

1. Bahwa pada hari Senin, tanggal 23 Juli 2018, Pukul 13.25 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI. 2. Bahwa permohonan pengujian materiil UU Pemilu terhadap UUD Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Erik Fitriadi, S.H., Miftah Farid, A. Wahab Suneth, S.H., Iwan Setiyono, S.P., Akbar Khadafi, S. Pd., Turki, S.H., Mu’ammar dan Habloel Mawadi, S.H., M.H. (selanjutnya disebut Para Pemohon), yang diwakili oleh kuasa hukum para Pemohon yang terdiri dari Dr. Heru Widodo, S.H., M. Hum., Damrah Mamang, S.H., M.H., KPPA, Ferry Firman Nurwahyu, S.H., R. Ahmad Waluya Muharram, S.H., Irfan Nadira Nasution, S.H., Arifudin, S.H., M.H., M. Fahruddin, S.H., M.H., dan Andy Ryza Fardiansyah, S.H. yang kesemuanya advokat dan konsultan hukum dalam Lembaga Bantuan Hukum Syarikat Islam. 3. Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 21 ayat (1) huruf k, Pasal 44 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, Pasal 52 ayat (1), Pasal 117 ayat (1) huruf b, huruf m, dan huruf o, Pasal 286 ayat (2), Pasal 468 ayat (2), dan Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu, yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 7 Tahun 2017 “Jumlah anggota: c. KPU Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang” Pasal 21 ayat (1) huruf k UU No. 7 Tahun 2017 “Syarat untuk menjadi calon anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota adalah: k. Bersedia mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum apabila telah terpilih menjadi anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, yang dibuktikan dengan surat pernyataan” Pasal 44 ayat (1) huruf b UU No. 7 Tahun 2017 “Rapat pleno KPU Kabupaten/Kota sah dalam hal: b. Jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota berjumlah 3 (tiga) orang. Dihadiri oleh seluruh anggota KPU Kabupaten/Kota yang dibuktikan dengan daftar hadir” Pasal 44 ayat (2) huruf b UU No. 7 Tahun 2017 “Keputusan rapat pleno KPU Kabupaten/Kota sah dalam hal: b. Jumlah KPU Kabupaten/Kota berjumlah 3 (tiga) orang, yang disetujui oleh seluruh anggota KPU Kabupaten/Kota yang hadir” Pasal 52 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 “Anggota PPK sebanyak 3 (tiga) orang berasal dari tokoh masyarakat yang memenuhi syarat berdasarkan undang-undang ini” Pasal 117 ayat (1) huruf b, huruf m dan huruf o UU No. 7 Tahun 2017 “Syarat untuk menjadi calon anggota Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa, serta Pengawas TPS adalah: b. Pada saat pendaftaran berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun untuk calon anggota Bawaslu, berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk calon anggota Bawaslu Provinsi, berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, dan berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS; m. Bersedia bekerja penuh waktu yang dibuktikan dengan surat pernyataan; dan o. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara Pemilu” Pasal 286 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 “Pasangan calon serta calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan rekomendasi Bawaslu dapat dikenai sanksi administratif pembatalan sebagai pasangan calon serta calon anggota DPR, DPD, DPR Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota oleh KPU” Pasal 468 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 “Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya permohonan” Pasal 557 ayat (1) huruf b UU No. 7 Tahun 2017 “Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh terdiri atas: b. Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawas dan Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan Bawaslu” 4. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 21 ayat (1) huruf k, Pasal 44 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, Pasal 52 ayat (1), Pasal 117 ayat (1) huruf b, huruf m, dan huruf o, Pasal 286 ayat (2), Pasal 468 ayat (2), dan Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu yang dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (5), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 karena telah berpotensi merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon.

Pembahasan

1. Mahkamah memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: a. Konstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) huruf c dan Penjelasan beserta lampirannya, Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b, serta Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu - Paragraf [3.10.1] Hlm. 86 s.d. 97 1) Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) huruf c dan Penjelasan beserta lampirannya, Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b, serta Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] angka 1, paragraf [3.7] angka 3 dan paragraf [3.7] angka 4 yang memiliki persamaan masalah terkait frasa “3 (tiga) orang”, Mahkamah secara bersama-sama akan mempertimbangkan masalah tersebut sebagai berikut: 2) Bahwa sebagaimana disinggung pada bagian ringkasan Duduk Perkara, masalah pokok yang harus dijawab terkait permohonan ini adalah: Apakah pengurangan jumlah anggota KPU kabupaten/kota dan jumlah anggota PPK yang dalam Undang-Undang sebelumnya ditetapkan berjumlah 5 (lima) orang menjadi 3 (tiga) atau 5 (lima) orang dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu bagaimana kehendak sesungguhnya konstitusi (UUD 1945) terhadap institusi penyelenggara Pemilu. Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sesuai sifat mandiri yang ditegaskan dalam ketentuan tersebut, lembaga penyelenggara Pemilu haruslah sebuah institusi yang bebas dari intervensi kepentingan politik. Pada saat yang sama, orang-orang yang bertindak sebagai penyelenggara bukan bagian dari kontestan pemilihan umum serta dapat melaksanakan tugas secara independen. Bahwa kemandirian atau independensi penyelenggara Pemilu juga ditopang oleh aspek imparsialitas dan profesionalitas orang-orang yang diangkat sebagai penyelenggara Pemilu. Dua aspek tersebut akan sangat menentukan bagaimana kemandirian lembaga penyelenggara pemilu dijaga dan ditegakkan. Pada saat yang sama, keduanya juga sangat menentukan bagaimana Pemilu yang jujur dan adil dapat diwujudkan. Bahwa secara konseptual, profesionalitas merupakan salah satu dari 11 prinsip Pemilu berkeadilan yang dirumuskan oleh The United Nations Democracy Fund (UNDEF), di mana prinsip profesionalitas diartikan bahwa penyelenggaraan Pemilu mensyaratkan pengetahuan teknis bagi penyelenggara Pemilu yang mumpuni dan memiliki kompetensi untuk menjelaskan proses atau tahapan Pemilu. Artinya, untuk menjadi penyelenggara, seseorang haruslah memiliki pengetahuan dan kompetensi yang memadai. Selain itu, beban kerja yang seimbang juga menjadi bagian penting agar kerja-kerja profesional penyelenggara dapat dilakukan secara optimal terutama untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Dalam pengertian demikian, betapapun bagusnya pengetahuan dan kompetensi dari penyelenggara Pemilu namun bilamana dibebani dengan pekerjaan secara tidak seimbang atau beban yang berlebihan (overload), penyelenggara Pemilu akan sulit untuk bekerja secara profesional. Bagaimanapun, sesuatu yang dapat mengurangi profesionalitas penyelenggara secara langsung juga akan berpengaruh terhadap terwujud atau tidaknya Pemilu yang adil dan jujur sebagaimana dikehendaki ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Bahwa dari tiga kelompok besar beban KPU, yaitu membentuk regulasi teknis penyelenggaraan, melaksanakan tahapan Pemilu, serta menjaga dan mensupervisi penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional mulai dari tingkat pusat hingga tingkat TPS diperlukan keseimbangan beban kerja. Dari ketiga kelompok besar tersebut, dua fokus kerja yang disebut terakhir membutuhkan jumlah sumber daya manusia yang seimbang dan rasional. Sebab, untuk melaksanakan tahapan dan mengendalikan penyelenggara (termasuk panitia ad-hoc di level kecamatan sampai ke tingkat TPS) tidak hanya membutuhkan penyelenggara yang mumpuni secara pemahaman, melainkan juga secara kuantitatif diperlukan jumlah yang mencukupi untuk melaksanakan dan memastikan semua tahapan Pemilu berjalan secara baik sesuai ketentuan yang berlaku. Andaipun kapasitas penyelenggaranya baik, namun memiliki keterbatasan untuk menjangkau semua aspek penting, mulai dari memastikan jumlah pemilih yang memiliki hak pilih sampai memastikan suara pemilih dihitung dan direkap dengan baik, disebabkan oleh keterbatasan jumlah penyelenggara tentunya akan mempengaruhi pencapaian standar kejujuran dan keadilan Pemilu dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, meskipun jumlah penyelenggara Pemilu pada masing-masing tingkatan merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun ketika keputusan pembentuk undang-undang berpotensi menyebabkan terjadinya ancaman kerentanan terhadap pencapaian kehendak UUD 1945, maka pertanyaannya kemudian apakah hal demikian dapat dikualifikasi sebagai kebijakan yang bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa sehubungan dengan itu, jawaban atas pertanyaan hukum di atas Mahkamah berpendapat sebagai berikut: a) Bahwa secara historis, aspek penetapan jumlah penyelenggara Pemilu, khususnya jumlah anggota KPU kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 10 UU Pemilu sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon, salah satunya dapat dilacak dengan merujuk dari aspek sejarah penentuan jumlah anggota lembaga penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota; b) Bahwa untuk pertama kali, KPU sebagai lembaga yang mandiri sebagaimana amanat Pasal 22E UUD 1945 dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2003). Dalam UU 12/2003 tersebut diatur bahwa jumlah anggota KPU sebanyak 11 (sebelas) orang, anggota KPU Provinsi 5 (lima) orang, dan jumlah anggota KPU kabupaten/kota 5 (lima) orang. Jumlah tersebut ditetapkan setelah sebelumnya dalam draft RUU 12/2003 yang diusulkan oleh pemerintah jumlah anggota KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota adalah sebanyak 5 (lima) sampai 9 (sembilan) orang. Seperti terpapar di dalam Persandingan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) fraksi- fraksi DPR terhadap RUU 12/2003, pemerintah mengusulkan anggota KPU terdiri atas 11 anggota [Pasal 66], anggota Panitia Pemilu Provinsi sekurang- kurangnya lima orang dan sebanyak-banyaknya tujuh orang [Pasal 75], anggota Panitia Pemilu kabupaten/kota sekurang-kurangnya tujuh orang dan sebanyak-banyaknya sembilan orang [Pasal 78]; c) Bahwa berdasarkan fakta di atas, untuk mewujudkan pelaksanaan Pemilu secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, jumlah yang tertera dalam draf Persandingan DIM RUU Pemilu pertama setelah perubahan UUD 1945 tersebut dapat dipahami, pertama, pembentuk undang-undang awalnya menginginkan anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota dalam jumlah tertentu, yaitu antara lima sampai dengan tujuh orang untuk anggota KPU provinsi dan tujuh sampai sembilan orang untuk kabupaten/kota; kedua, jumlah anggota KPU kabupaten/kota jauh lebih banyak dibandingkan jumlah anggota KPU Provinsi. Dalam batas penalaran yang wajar, jumlah tersebut diusulkan sesuai dengan beban kerja penyelenggaraan Pemilu pada setiap tingkatan, di mana KPU lebih banyak berperan pada aspek regulasi dan pengendalian, KPU Provinsi lebih pada aspek koordinasi dan supervisi, dan posisi KPU kabupaten/kota sebagai pelaksana sekaligus pengendali terhadap penyelenggaraan tahapan Pemilu di kabupaten/kota termasuk pengendali panitia/penyelenggara ad hoc yang berada di level di bawah kabupaten/kota. Dengan demikian, dari aspek tanggung jawab, KPU dan KPU Provinsi tentu lebih besar, namun dari aspek beban kerja penyelenggaraan, KPU kabupaten/kota jauh lebih berat. Oleh karena itu, menjadi logis apabila pemerintah dalam draft yang diajukan mengusulkan bahwa jumlah anggota KPU kabupaten/kota lebih banyak dibandingkan jumlah anggota KPU Provinsi; d) Bahwa apabila pada akhirnya pembentuk undang-undang menyepakati anggota KPU Provinsi dan kabupaten/kota dalam UU 12/2003 masing-masing berjumlah lima orang, kesepakatan tersebut didasarkan atas pertimbangan beban anggaran yang ditimbulkan jikalau jumlah anggota KPU provinsi ditetapkan tujuh orang dan anggota KPU kabupaten/kota tujuh sampai sembilan orang. Pertimbangan tersebut juga menjadi dasar pemikiran pembentuk undang-undang sehingga UU 12/2003 mengadopsi bahwa KPU berjumlah 11 orang, KPU Provinsi berjumlah lima orang, dan KPU kabupaten/kota berjumlah lima orang. e) Bahwa berdasarkan pada pengalaman penyelenggaraan tiga pemilu (Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014), yaitu ketika anggota KPU kabupaten/kota berjumlah 5 (lima) orang, pemilu dilaksanakan dengan baik dan tidak terkendala oleh masalah tidak memadainya jumlah anggota KPU di kabupaten/kota. Artinya, dengan jumlah penyelenggara pemilu di masing- masing tingkatan yang telah ditetapkan sebelumnya, jumlah penyelenggara pemilu di setiap tingkatan yang diatur oleh undang-undang dinilai cukup mampu menopang berjalannya pemilu yang jujur dan adil. Dengan jumlah tersebut, potensi malpraktik yang disebabkan oleh penyelenggara dapat diminimalisir, karenanya kebijakan mengurangi jumlah anggota KPU kabupaten/kota yang ada dalam UU Pemilu saat ini menjadi pertanyaan karena dapat mengancam prinsip penyelenggaraan Pemilu sebagaimana dikehendaki Pasal 22E UUD 1945. Bagaimanapun, mengurangi jumlah penyelenggara, terutama di kabupaten/kota, potensial untuk menimbulkan kerentanan terselenggaranya pemilu secara jujur dan adil. Bahkan bila dikaitkan dengan bertambahnya beban penyelenggara Pemilu khususnya di kabupaten/kota ke bawah yaitu dengan perubahan desain penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden yang dilaksanakan serentak tentu saja memberikan beban lebih besar bagi penyelenggara di kabupaten/kota ke bawah. Dalam batas penalaran yang wajar maka menjadi pertanyaan mengapa ketika desain pelaksanaan Pemilu dilaksanakan secara serentak yang konsekuensinya akan menimbulkan beban kerja yang lebih besar justru jumlah penyelenggara Pemilu di kabupaten/kota dikurangi. f) Bahwa lebih jauh, KPU merupakan lembaga negara mandiri yang tunduk pada prinsip profesional sehingga penentuan komposisi keanggotaannya pun harusnya didasarkan pada ukuran-ukuran profesionalitas, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas. Artinya, hanya alasan untuk bekerja dan berjalan secara profesional yang mestinya jadi landasan utama untuk menentukan jumlah keanggotaan lembaga tersebut. Dalam konteks itu, meski aspek ketersediaan anggaran juga harus dipertimbangkan, namun pertimbangan tersebut hanya dapat dibenarkan dan dapat diterima nalar konstitusionalnya selama pertimbangan anggaran tidak berpotensi mengancam asas-asas Pemilu yang ditentukan dalam konstitusi, in casu asas jujur dan adil dalam Pasal 22E UUD 1945; g) Bahwa sejalan dengan pertimbangan tersebut, penentuan jumlah atau komposisi keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu yang semata-mata didasarkan kepada aspek menggabungkan (kumulasi) antara faktor jumlah penduduk dan faktor luas wilayah sebagaimana digunakan dalam UU Pemilu adalah kurang tepat. Sebab, lembaga penyelenggara Pemilu merupakan lembaga profesional, bukan lembaga representasi politik yang pada umumnya menjadikan aspek jumlah penduduk dan luas wilayah sebagai pertimbangan utama dalam penentuan komposisinya. Kalaupun pembentuk undang-undang menjadikan jumlah penduduk dan luas wilayah sebagai dasar pertimbangan, hal tersebut tidak boleh mengesampingkan aspek kemampuan lembaga penyelenggara untuk tetap bekerja secara profesional. Sebab, sebagaimana amanat pasal 22E ayat (1) UUD 1945, hanya dengan lembaga penyelenggara yang bekerja secara profesional Pemilu yang jujur dan adil dapat dilaksanakan; h) Bahwa selain pertimbangan profesionalitas, penentuan jumlah anggota KPU kabupaten/kota harus pula mempertimbangkan dengan cermat dan saksama rancang-bangun manajemen penyelenggaraan Pemilu (election management) yang rasional, terukur dan menjamin pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat. Bagaimanapun dalam menyelenggarakan pemilu, election management dimaksudkan untuk memastikan setiap tahapan Pemilu dilaksanakan secara profesional, memfasilitasi hak politik setiap pemilih dengan adil, serta melindungi pemenuhan prinsip daulat rakyat sebagai tujuan utama dari pelaksanaan pemilu. Manajemen Pemilu yang rasional dan terukur menjadi keniscayaan untuk dapat dipastikan terwujud dalam setiap tahapan pelaksanaan pemilu yang ruang lingkupnya yang dimulai dari: 1) pendaftaran pemilih; 2) pencalonan; 3) kampanye; 4) pemungutan dan penghitungan suara; 5) rekapitulasi hasil penghitungan suara; 6) penetapan hasil Pemilu; 7) sengketa hasil Pemilu; dan 8) pelantikan pemerintahan/pejabat hasil Pemilu. i) Bahwa dengan semua tahapan dan pelaksanaan semua tahapan pemilu tersebut, penyelenggara yang berstatus permanen di tingkat kabupaten/ kota jelas menjadi level paling banyak memerlukan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan tahapan tersebut. Artinya, selain alasan kemampuan personal penyelenggara, dibutuhkan pula jumlah penyelenggara yang memadai. Dalam konteks ini, jumlah anggota KPU kabupaten/kota sangat menentukan apakah manajemen Pemilu dapat dilaksanakan secara rasional dan terukur. j) Bahwa meskipun soal penentuan jumlah personal penyelenggara Pemilu merupakan legal policy pembentuk Undang-Undang di mana Mahkamah pada dasarnya berpendapat bahwa terhadap persoalan demikian tidak dapat dinilai konstitusionalitasnya, namun sejak awal Mahkamah telah menegaskan dan ditekankan kembali dalam setiap putusannya yang menyangkut legal policy bahwa sesuatu yang sifatnya legal policy hanya dapat dibenarkan sepanjang tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable sehingga dalam masalah a quo, kebijakan pembentuk undang-undang mengurangi jumlah anggota KPU kabupaten/ kota di beberapa kabupaten dan kota menjadi 3 (tiga) orang sebagaimana dipertimbangkan sebelumnya nyata- nyata melanggar salah satu prinsip yang membenarkan adanya legal policy, yaitu prinsip rasionalitas. Oleh karena itu, tidak ada keraguan sedikitpun bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa mengurangi jumlah anggota KPU kabupaten/kota di beberapa kabupaten dan kota menjadi berjumlah 3 (tiga) orang di tengah pertambahan beban penyelenggara pemilu, lebih-lebih dengan penyelenggaraan pemilu legisatif dan pemilu presiden dan wakil presiden serentak tahun 2019, adalah sesuatu yang irasional. Bahwa berdasarkan atas pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, dalil para Pemohon sepanjang ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu tidak dimaknai sebagai 5 (lima) orang adalah beralasan menurut hukum. 3) Bahwa berkaitan dengan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu yang didalilkan oleh para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan Lampiran angka 176 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), “Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh; dan penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud”. Dengan memperhatikan fungsi Penjelasan tersebut dan dikarenakan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota sepanjang frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu tidak dimaknai sebagai 5 (lima) orang, maka Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c menjadi kehilangan relevansinya. Dalam batas penalaran yang wajar, ketika norma yang menjadi dasar untuk dirumuskannya suatu penjelasan telah dinilai inkonstitusional, maka penjelasannya pun menjadi inkonstitusional. Bahwa berdasarkan atas pertimbangan tersebut, Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu yang menjelaskan dasar perhitungan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota 3 (tiga) orang atau 5 (lima) orang secara bersyarat hanya dapat dinilai konstitusional sepanjang dimaknai 5 (lima) orang. Dengan demikian, dalil para Pemohon bahwa Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum. 4) Bahwa berkenaan dengan konstitusionalitas Lampiran I khusus mengenai “Jumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota”, terlebih dahulu Mahkamah mengemukakan eksistensi “Penjelasan” dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Merujuk Lampiran angka 192 UU 12/2011, “Dalam hal peraturan perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya, Angka 193 menyatakan, “Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa”. Bahwa apabila dibaca secara komprehensif UU Pemilu, terutama yang terkait dengan Lampiran I, secara substansial Lampiran I tersebut terkait langsung dengan ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Pemilu yang menyatakan, “Jumlah anggota KPU Provinsi dan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini”. Dalam batas penalaran yang wajar, bilamana para Pemohon tidak mempersoalkan norma yang menjadi dasar keberadaan dari Lampiran, maka menjadi tidak beralasan secara hukum menilai konstitusionalitas Lampiran I UU Pemilu. 5) Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 3, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa apabila dibaca dan ditelaah secara saksama norma dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b UU Pemilu, kedua norma ini dirumuskan berkenaan dengan kuorum kehadiran dan kuorum sahnya pengambilan keputusan bagi anggota KPU Kabupaten/Kota yang berjumlah 3 (tiga) orang. Disebabkan oleh jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota sepanjang frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu telah dimaknai sebagai 5 (lima) orang, maka persyaratan kuorum kehadiran dan kuorum sahnya pengambilan keputusan bagi anggota KPU Kabupaten/Kota yang berjumlah 3 (tiga) orang dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b UU Pemilu menjadi kehilangan relevansinya. Dengan demikian, permohonan para Pemohon ihwal inkonstitusionalitas Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b UU Pemilu adalah beralasan menurut hukum. 6) Bahwa berkenaan dengan pengujian Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu yang pada pokoknya mengatur jumlah anggota PPK sebanyak 3 (tiga) orang, di mana dalam UU sebelumnya jumlahnya sebanyak 5 (lima) orang, terhadap perubahan ini Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: a) Bahwa pertimbangan terkait profesionalitas penyelenggaraan Pemilu di tingkat kabupaten/kota dan kebutuhan manajemen Pemilu sebagaimana diuraikan di atas juga menjadi pertimbangan tidak terpisah dalam menilai kebijakan pengurangan jumlah anggota PPK dalam UU Pemilu; b) Bahwa pada pokoknya, tugas dan wewenang PPK adalah berhubungan dengan pelaksanaan tahapan Pemilu di tingkat kecamatan dan berkewajiban membantu KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam menyeleng garakan pemilu. Berdasarkan pada tugas, kewenangan, dan kewajiban yang dibebankan UU Pemilu kepada PPK, terdapat beberapa tugas, kewenangan, dan kewajiban yang berkaitan erat dan langsung dengan pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat melalui proses pemilihan umum, memfasilitasi hak pilih warga negara, serta menjamin profesionalitas pelaksanaan Pemilu sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; c) Bahwa terkait dengan tugas, terdapat norma Pasal 53 ayat (1) huruf b UU Pemilu yang berkaitan dengan jaminan hak politik warga negara untuk bisa terdaftar dan difasilitasi dalam daftar pemilih sebagai tugas penting dari PPK. Kemudian terdapat pula tugas lain yang berkaitan dengan pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat, di mana suara pemilih harus dapat dipastikan dan dijamin benar-benar diperuntukkan kepada calon peserta Pemilu yang telah dipilihnya melalui proses rekapitulasi suara hasil penghitungan. Lebih jauh, Pasal 53 ayat (1) UU Pemilu menugaskan PPK melaksanakan sosialisasi kepada pemilih terkait dengan penyelenggaraan Pemilu; d) Bahwa dalam melaksanakan tugasnya, PPK diberi kewenangan oleh Undang-Undang a quo untuk mengumpulkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya. Penghitungan suara di TPS dilaksanakan melalui proses rekapitulasi hasil secara berjenjang di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Apabila pada Pemilu 2014 rekapitulasi suara setelah selesai di TPS dilakukan di tingkat kelurahan/desa oleh PPS, maka untuk Pemilu 2019 langsung melompat ke tingkat kecamatan oleh PPK. Hal inilah yang membuat beban PPK menjadi bertambah secara signifikan. Kewenangan tersebut jelas-jelas berkaitan dengan jaminan terhadap pemenuhan kedaulatan rakyat dalam menentukan pilihan politiknya. Sejalan dengan itu, PPK pun dibebani kewajiban lain, yaitu untuk membantu KPU Kabupaten/Kota dalam proses pemutakhiran daftar pemilih yang merupakan bagian dari jaminan perlindungan hak dasar/politik warga negara di dalam sebuah proses penyelenggaraan pemilihan umum. Berdasarkan hal tersebut, berkenaan dengan tugas, kewenangan, dan kewajiban PPK sebagai struktur penyelenggara Pemilu di tingkat kecamatan harus dilaksanakan berlandaskan pada asas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yang pelaksanaannya mesti dalam sebuah management election yang rasional dan terukur; e) Bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon yang berkaitan dengan jumlah anggota PPK dalam Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu, di mana anggota PPK berjumlah tiga orang, tidak menunjukkan rumusan norma yang mengarah kepada election management yang rasional dan terukur apabila dibandingkan dengan tugas, kewenangan dan kewajiban yang dibebankan Undang-Undang a quo kepada PPK. Padahal, election management yang rasional dan terukur merupakan perwujudan dalam upaya pemenuhan asas Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; f) Bahwa apabila dikaji lebih jauh, berdasarkan penghitungan dalam Berita Acara KPU Nomor 112/PL.02.1BA/01/KPU/VII/2018 tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) Dalam Negeri, bertanggal 12 Juli 2018, terdapat 7.201 kecamatan, 83.370 desa/kelurahan, dan 801.838 tempat pemungutan suara (TPS) untuk pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019. Dengan melihat jumlah kecamatan, desa/kelurahan dan jumlah TPS untuk pelaksanaan Pemilu 2019, pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden yang diselenggarakan secara bersamaan, jelas menambah bobot tugas dan kerja penyelenggara Pemilu di tingkat kecamatan. Dengan bentangan fakta tersebut, pengurangan jumlah PPK dari Pemilu 2014 berjumlah lima orang menjadi tiga orang dalam Undang-Undang a quo dapat dikualifikasi sebagai rumusan yang tidak rasional dan tidak terukur. Perumusan norma yang tidak rasional dan tidak terukur ini jelas akan berdampak terhadap pemenuhan asas Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang wajib untuk dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu, termasuk penyelenggara Pemilu di tingkat kecamatan; g) Bahwa selain alasan hukum di atas, pengurangan jumlah anggota PPK dalam UU Pemilu juga menyebabkan ketidakpastian hukum dalam hubungannya dengan ketentuan jumlah anggota PPK yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10/2016). Di mana, dalam Pasal 16 ayat (1) UU 10/2016 diatur bahwa anggota PPK sebanyak 5 (lima) orang. Sekalipun rezim hukum Pemilu dan Pilkada dianggap berbeda, namun penyelenggara Pilkada yang diberi tugas oleh UU 10/2016 untuk melaksanakan Pilkada adalah penyelenggara Pemilu yang dibentuk sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Oleh karena itu, struktur penyelenggara Pemilu dan Pilkada seharusnya tetap sama meskipun melaksanakan mandat dari dua undang-undang yang berbeda. Selain perbedaan pengaturan mengenai komposisi anggota PPK antara UU Pemilu dan UU 10/2016 dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan tugas-tugas PPK, rasionalitas apakah yang dapat membenarkan bahwa pemilihan kepala daerah yang lebih sederhana diselenggarakan oleh PPK dengan jumlah anggota adalah 5 (lima) orang, sementara untuk Pemilu serentak tahun 2019 yang jauh lebih kompleks jumlah anggota PPK hanya 3 (tiga) orang. h) Bahwa atas dasar pertimbangan profesionalitas penyelenggaraan Pemilu di tingkat kecamatan dan rasionalitas manajemen Pemilu serta dihubungkan dengan kepastian hukum komposisi keanggotaan PPK, maka pengurangan jumlah anggota PPK menjadi 3 (tiga) dalam UU Pemilu merupakan kebijakan yang bertentangan dengan semangat penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dimandatkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945; i) Sama halnya dengan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota, pengurangan jumlah anggota PPK yang tugasnya justru semakin berat jika dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dan Pemilihan Kepala Daerah, sehingga pengurangan jumlah anggota PPK menjadi 3 (tiga) orang adalah bertentangan dengan prinsip rasionalitas dalam perumusan legal policy. Berdasarkan atas seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, dalil para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum. b. Konstitusionalitas Pasal 21 ayat (1) hurf k UU Pemilu – Paragraf [3.10.2] Hlm. 97 s.d. 98 Bahwa menimbang dalil para Pemohon ikhwal inkonstitusionalitas Pasal 21 ayat (1) huruf k UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 2, Mahkamah mempertimbangkan bahwa telah ternyata terdapat inkonsistensi antara posita dan petitum para Pemohon. Dalam posita halaman 24 angka 27 para Pemohon menyatakan agar Mahkamah memberikan penafsiran terkait norma a quo yaitu harus dimaknai “mundur dari kepengurusan harian organisasi sosial kemasyarakatan”, namun pada bagian Petitum angka 3 memohon agar Pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga menjadi tidak jelas apa yang sesungguhnya diinginkan oleh para Pemohon untuk diputuskan oleh Mahkamah. Oleh karena terdapat perbedaan antara posita dan petitum demikian, maka Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon adalah kabur. c. Konstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf b UU Pemilu – Paragraf [3.10.2] Hlm. 98 s.d. 100 Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf b UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 5, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1) Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 117 ayat (1) huruf b UU Pemilu pada paragraf [3.5] angka 1, para Pemohon dalam petitum angka 5, menyatakan Pasal 117 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, frasa “30 (tiga puluh) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “25 (dua puluh lima) tahun”, dan frasa “25 (dua puluh lima) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “17 (tujuh belas) tahun”; 2) Bahwa setelah Mahkamah mencermati uraian posita para Pemohon terkait Pasal 117 ayat (1) huruf b UU Pemilu (hal. 29 angka 46 sampai dengan hal. 31 angka 50) sama sekali tidak ditemukan mengenai argumentasi mengenai frasa “… 30 (tiga puluh) tahun untuk calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, …” namun para Pemohon di dalam petitumnya memohon agar frasa “30 (tiga puluh) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “25 (dua puluh lima) tahun”. Terkait dengan permohonan a quo, oleh karena para Pemohon tidak menguraikan argumentasi yang dijadikan alasan untuk dilakukan perubahan usia anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dari 30 (tiga puluh) tahun menjadi 25 (dua puluh lima) tahun, sehingga menurut Mahkamah hal tersebut merupakan permohonan yang tidak ada dasarnya untuk dipertimbangkan, oleh karena itu permohonan para Pemohon a quo haruslah dinyatakan kabur. Berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait frasa 25 (dua puluh lima) tahun, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: 1) Bahwa dalam beberapa putusannya, Mahkamah pada pokoknya menyatakan bahwa penentuan usia merupakan kebijakan hukum yang terbuka (legal policy) yang mengandung konsekuensi bahwa untuk melakukan perubahan hukum, khususnya terhadap penentuan batas usia, akan dibutuhkan proses legislative review yang cukup panjang; Putusan Mahkamah Nomor 49/PUU-IX/2011 pada paragraf [3.11] angka 3 pada pokoknya menegaskan: Bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskrimintatif. Dalam kaitan dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Artinya, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007 dan putusan Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Oktober 2010 pada intinya telah mempertimbangkan bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang- Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. 2) Bahwa dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan frasa a quo diskriminatif karena membedakan usia Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS dengan usia PPK, PPS, dan KPPS, yang didasari landasan bahwa secara struktural penyelenggara Pemilu, baik Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS dengan anggota PPK, PPS, dan KPPS mempunyai tingkatan yang sederajat, maka sebagaimana telah berkalil-kali ditegaskan oleh Mahkamah, peraturan dikatakan bersifat diskriminatif adalah apabila peraturan itu membuat perlakuan yang berbeda semata-mata didasarkan atas ras, etnis, agama, status ekonomi maupun status sosial lainnya sebagaimana dimaksud oleh pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga pengaturan yang berbeda semata-mata tidaklah serta-merta dapat dikatakan diskriminatif. Bahwa dengan demikian, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum; d. Konstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf m UU Pemilu – Paragraf [3.10.4] Hlm. 100 Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf m UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 6, Mahkamah mempertimbangkan bahwa telah ternyata dalil para Pemohon ini pun terdapat inkonsistensi antara posita dan petitum, di mana dalam posita halaman 32 angka 52 para Pemohon menyatakan agar Mahkamah memberikan penafsiran terkait frasa “syarat bekerja penuh waktu” yaitu dapat dikecualikan untuk Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS, namun pada petitum angka 3 memohon agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga tidak jelas pula apa yang dimohonkan oleh para Pemohon. Dengan demikian Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon adalah kabur; e. Konstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf o UU Pemilu – Paragraf [3.10.5] Hlm. 100 Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf o UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 7, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalil para Pemohon terkait Pasal 117 ayat (1) huruf o UU Pemilu, terdapat inkonsistensi pula antara posita dan petitum para Pemohon, di mana dalam posita halaman 32 angka 54 para Pemohon menyatakan agar Mahkamah menyatakan Pasal 117 ayat (1) huruf o UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak pada tingkatan penyelenggara pemilu yang sama”, namun pada petitum angka 3 memohon agar Pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena terdapat perbedaan antara posita dan petitum demikian, maka Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon adalah kabur; f. Konstitusionalitas Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu – Paragraf [3.10.6] Hlm. 100 s.d. 102 Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 8, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa para Pemohon mendalilkan pula Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu bertentangan UUD 1945 dengan argumentasi, pasangan calon serta calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang terbukti melakukan pelanggaran tidak diiringi dengan instrumen hukum yang tegas dan jelas. Sebab, mereka yang terbukti melakukan pelanggaran itu hanya dapat direkomendasikan oleh Bawaslu untuk dapat dikenakan sanksi administratif atau tidak, sehingga mereka yang terbukti melanggar itu belum tentu dihukum. Menurut para Pemohon, segala proses yang dilakukan oleh Bawaslu untuk menangani pelanggaran demikian, jika dihubungkan dengan Pasal 461 UU Pemilu, selayaknya produk hukumnya adalah putusan, bukan rekomendasi. Menurut para Pemohon, hal ini juga berimplikasi terhadap Pasal 463 ayat (1) UU Pemilu sehingga frasa “merekomendasikan” dalam Pasal a quo harus dimaknai bahwa Bawaslu mengeluarkan produk hukum berupa putusan, bukan rekomendasi. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat, para Pemohon telah keliru memahami konstruksi pengertian norma yang termuat dalam Pasal 286 ayat (2) UU dimaksud. Dengan membaca secara saksama norma dalam Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu a quo, pengertian yang sesungguhnya terkandung di dalamnya adalah penegasan perihal pembagian kewenangan antara Bawaslu dan KPU sebagai sesama penyelenggara Pemilu. Bawaslu, pada dasarnya, didirikan adalah untuk mengawasi pelaksanaan kewenangan KPU agar tidak sewenang-wenang, termasuk dalam menjatuhkan sanksi terhadap mereka yang disebut dalam Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu tersebut. Secara a contrario, norma a quo mengandung pengertian bahwa meskipun kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap mereka yang melakukan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1) UU Pemilu ada di tangan KPU, namun kewenangan demikian hanya dapat dilaksanakan setelah ada rekomendasi dari Bawaslu. Dengan kata lain, walaupun misalnya KPU sebagai penyelenggara Pemilu mengetahui adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1) UU Pemilu, jika menurut Bawaslu pelanggaran demikian dinyatakan tidak terbukti (sehingga tidak dikeluarkan rekomendasi untuk menjatuhkan sanksi administratif) maka KPU tidak boleh menjatuhkan sanksi adminstratif dimaksud. Mengapa bentuknya rekomendasi, hal itu dikarenakan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif dalam kaitan ini bukan berada di tangan Bawaslu sendiri melainkan di tangan KPU. Berbeda halnya jika kewenangan demikian melekat dalam kewenangan Bawaslu. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, argumentasi para Pemohon mengenai pertentangan Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. g. Konstitusionalitas Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu – Paragraf [3.10.7] Hlm. 102 s.d. 104 Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 9, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1) Bahwa isu konstitusionalitas Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu yang dipermasalahkan oleh para Pemohon adalah adanya frasa “hari” yang menurut para Pemohon tanpa memiliki penjelasan lebih lanjut dapat membuka peluang frasa tersebut menjadi multitafsir dan jauh dari nilai kepastian. Hal tersebut berdampak pada terganggunya proses mediasi dan adjudikasi yang secara substansi prosesnya diawali dengan menerima dan melakukan pengkajian terhadap permohonan penyelesaian sengketa yang kemudian dilakukan mediasi/musyawarah mufakat dengan mempertemukan pihak yang bersengketa dan apabila tidak berhasil untuk dilakukan perdamaian, maka dilanjutkan dengan proses adjudikasi, sehingga dengan tenggang waktu yang lebih terbatas apabila hanya dimaknai sebagai hari kalender dibandingkan apabila dimaknai sebagai hari kerja, maka hal tersebut jelas mempengaruhi optimalisasi penyelesaian sengketa oleh Bawaslu. Terhadap argumentasi para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, bahwa proses penyelesaian sengketa yang menjadi bagian dari kewenangan Bawaslu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu tidak bisa dipisahkan dari adanya keputusan KPU terhadap adanya sengketa proses Pemilu yang meliputi sengketa yang terjadi antar Peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota (vide Pasal 466 UU Pemilu) dan juga tidak dapat dipisahkan dengan adanya upaya hukum terhadap para pihak yang tidak dapat menerima hasil penyelesaian sengketa proses Pemilu yang diputuskan oleh Bawaslu, yaitu dalam hal penyelesaian sengketa proses Pemilu berkaitan dengan penetapan daftar calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta Pasangan calon yang dilakukan oleh Bawaslu yang tidak diterima oleh para pihak, maka para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara [vide Pasal 469 ayat (2) UU Pemilu], sehingga dengan mempertautkan ketentuan Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu dengan Pasal 466 UU Pemilu serta Pasal 469 ayat (2) UU Pemilu, maka akan diperoleh korelasi yang kuat, bahwa tahapan penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan satu kesatuan yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan sejak dari KPU, Bawaslu, dan Pengadilan Tata Usaha Negara; 2) Bahwa dengan adanya fakta tersebut di atas, maka apabila ditelaah lebih jauh memang ada perbedaan perlakuan ketika memberikan waktu penyelesaian sengketa proses Pemilu tersebut baik kepada KPU dan Bawaslu maupun Pengadilan Tata Usaha Negara, baik tenggang waktu mengajukan permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu yang diajukan pemohon atas adanya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu maupun proses mengajukan upaya hukum pada Pengadilan Tata Usaha Negara termasuk tenggang waktu proses persidangan yang semua tenggang waktunya secara tegas diberikan dengan hitungan hari kerja dan hal tersebut berbeda dengan tenggang waktu yang diberikan kepada Bawaslu tanpa ditegaskan dengan hari kerja. Bahkan Mahkamah tidak menemukan alasan pembentuk undang-undang yang dapat dijadikan argumentasi untuk memperlakukan hal tersebut berbeda, padahal penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan satu rangkaian yang saling berkorelasi karena merupakan tahapan yang boleh dikatakan secara berjenjang merupakan proses upaya hukum yang menjadi hak para pihak yang bersengketa sejak di KPU, Bawaslu, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Terlebih menurut Mahkamah ada perbedaan waktu yang cukup signifikan antara tenggang waktu hari kalender dengan tenggang waktu hari kerja, di mana untuk hari kerja tidak dihitung termasuk hari libur dan hal ini berbeda dengan tenggang waktu hari kalender yang lebih sedikit karena hari libur termasuk bagian yang dihitung, maka dengan pemaknaan “hari” sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu menjadi hari kerja hal tersebut akan semakin menambah tenggang waktu secara akumulatif dan akan semakin menambah kesempatan bagi Bawaslu untuk dapat menyelesaikan sengketa proses Pemilu yang diajukan secara komprehensif dan lebih optimal. 3) Bahwa dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, maka untuk memberikan kepastian hukum dan dengan memahami secara substansial bahwa proses penyelesaian sengketa proses Pemilu pada Bawaslu memerlukan tahapan menerima permohonan dan melakukan pengkajian, kemudian tahapan selanjutnya adalah mempertemukan para pihak untuk dilakukan proses mediasi untuk diperoleh musyawarah mufakat (perdamaian) dan tahapan selanjutnya adalah dilakukan proses adjudikasi apabila perdamaian tidak tercapai, di mana keseluruhan proses tahapan tersebut memerlukan waktu yang dipandang cukup agar diperoleh hasil keputusan yang optimal dan dengan pertimbangan yang utama adalah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas, oleh karena itu Mahkamah dapat menerima dalil para Pemohon bahwa makna frasa “hari” dalam Pasal 468 ayat UU Pemilu harus dimaknai sebagai hari kerja dan terhadap hal a quo menurut Mahkamah permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. h. Konstitusionalitas Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu – Paragraf [3.10.8] Hlm. 104 s.d. 110 Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 10, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1) Bahwa para Pemohon tidak secara spesifik memberikan argumentasi ihwal pertentangan norma dalam Undang-Undang a quo dengan UUD 1945. Para Pemohon hanya mendalilkan bahwa norma dalam Undang-Undang tersebut cenderung mengesankan adanya deferensiasi kedudukan antara Pengawas Pemilu di Aceh dengan Pengawas Pemilu di daerah lain, padahal menurut para Pemohon Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota memiliki sifat “tetap”, yaitu Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota adalah satu kesatuan yang tetap dan setiap jenjangnya memiliki kedudukan yang setara. Dengan demikian, menurut para Pemohon, norma dalam Pasal Undang-Undang a quo memerlukan penafsiran dari Mahkamah untuk menegaskan adanya persamaan kedudukan dan status Pengawas Pemilu di Aceh dengan Pengawas Pemilu di daerah lain mengingat Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota adalah lembaga pengawas Pemilu yang bersifat tetap; 2) Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, selain tidak adanya argumentasi spesifik yang mendasarinya dan dikaitkan dengan norma dalam UUD 1945, Mahkamah perlu menegaskan bahwa Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu telah pernah dimohonkan pengujian dan telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 61/PUU-XV/2017, yang amarnya menyatakan: Mengadili, 1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk sebagian. 2. Menyatakan Pasal 557 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3. Menyatakan Permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 571 huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) tidak dapat diterima. 4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. 5. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Dalam pertimbangan hukum Putusan tersebut, Mahkamah antara lain mempertimbangkan: [3.11] Menimbang bahwa Pasal 557 ayat (1) huruf a dan huruf b UU Pemilu yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya adalah berkait dengan Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh (in casu Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh, Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh, dan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota) sedangkan yang digunakan sebagai landasan argumentasi oleh para Pemohon adalah Undang-Undang yang berkaitan dengan keistimewaan atau kekhususan Aceh yang diturunkan dari Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, maka isu atau persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah: apakah Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh (in casu Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh, Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh, dan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota) merupakan bagian dari kekhususan atau keistimewaan Aceh sehingga penilaian terhadap konstitusionalitas norma yang mengaturnya harus dikaitkan dengan konteks kekhususan atau keistimewaan tersebut? Terhadap isu atau persoalan konstitusional tersebut, dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut: a) Bahwa perihal dimungkinkannya suatu daerah diberi status khusus atau istimewa bukan lagi merupakan isu konstitusional yang menjadi perdebatan. Hal itu bahkan sudah diakui dan dipraktikkan atau diimplementasikan sebelum dilakukan perubahan terhadap Pasal 18 UUD 1945. Saat ini, Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 mempertegas hal itu dengan menyatakan, ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Norma Konstitusi dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 itu merupakan rekognisi atau pengakuan negara terhadap satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa yang dengan sendirinya sekaligus menjadi landasan Konstitusional bagi diundangkannya suatu undang-undang yang memberikan status khusus atau istimewa kepada suatu daerah. Kekhususan atau keistimewaan yang disebut dalam norma Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 merupakan dua hal yang bersifat alternatif sehingga kekhususan suatu satuan pemerintahan adalah sekaligus keistimewaannya; b) Bahwa dalam konteks Permohonan a quo, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (UU Keistimewaan Aceh) mendefinisikan keistimewaan sebagai kewenangan khusus berkenaan dengan penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Dengan demikian, keistimewaan Pemerintahan Aceh sebagaimana diatur dalam UU Keistimewaan Aceh adalah juga kekhususan bagi Pemerintahan Aceh sendiri. Lingkup keistimewaan Pemerintahan Aceh adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Keistimewaan Aceh, yang menyatakan: (1) Keistimewaan merupakan pengakuan bangsa Indonesia yang diberikan kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan; (2) Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi: a. penyelenggaraan kehidupan beragama; b. penyelenggaraan kehidupan adat; c. penyelenggaraan pendidikan; dan d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Oleh karena lingkup keistimewaan atau kekhususan pemerintahan Aceh telah diatur secara jelas maka hal-hal yang di luar itu tidak dapat ditempatkan sebagai keistimewaan atau kekhususan Aceh. c) Bahwa, namun demikian, selain UU Keistimewaan Aceh, saat ini bagi Aceh juga berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang mengatur berbagai hal berkait dengan pemerintahan Aceh. UUPA tidak mencabut UU Keistimewaan Aceh tetapi justru menjadikan UU Keistimewaan Aceh sebagai salah satu dasar hukum (vide Konsiderans “Mengingat” angka 3 UUPA). UUPA hanya mencabut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (vide Pasal 272 UUPA). Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah semua hal yang diatur dalam UUPA juga merupakan kekhususan pemerintahan Aceh? Dalam kaitan ini haruslah diingat bahwa dibentuknya UUPA adalah sebagai respons terhadap pergolakan yang terjadi di Aceh di mana dalam Undang-Undang ini diatur hal ikhwal bagaimana pemerintahan Aceh dilaksanakan dalam kerangka bahwa Aceh sebagai provinsi yang bersifat khusus atau istimewa. Dengan kata lain, UUPA adalah mengatur pelaksanaan kekhususan atau keistimewaan Aceh sebagaimana diatur dalam UU Keistimewaan Aceh. Oleh karena itu, berarti tidak semua hal yang diatur dalam UUPA berarti sekaligus merupakan kekhususan Aceh. Dengan demikian, sangat mungkin apa yang ada dalam UUPA juga diterapkan dalam Undang-Undang yang berkenaan atau berkait dengan pemerintahan daerah yang secara umum juga berlaku di provinsi lain, atau sebaliknya. Misalnya, berkenaan dengan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah yang mula-mula diterapkan dalam UUPA kemudian dijadikan rujukan dalam mengadopsi calon perseorangan dalam pencalonan kepala daerah di daerah lain, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah, di mana hal itu sebelumnya telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. d) Bahwa kendatipun tidak semua hal yang diatur dalam UUPA merupakan kekhususan bagi Aceh, sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas, namun UUPA itu sendiri merupakan Undang-Undang yang bersifat khusus. “Khusus” di sini bukan dalam pengertian bahwa ia (UUPA) lebih khusus dibandingkan dengan Undang-Undang lain yang mengatur materi muatan yang berhimpitan dengan materi muatan yang diatur dalam UUPA melainkan “khusus” dalam pengertian bahwa UUPA tersebut hanya berlaku secara khusus untuk daerah Aceh. Berkait dengan hal itu, dalam konteks Permohonan a quo timbul pertanyaan, apakah Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat istimewa atau khusus bagi Aceh? Terhadap pertanyaan tersebut Mahkamah berpendapat bahwa hal itu dapat ditelaah dari dua pendekatan. Pertama, sesuai dengan UU Keistimewaan Aceh, meskipun KIP dan Panwaslih merupakan lembaga yang dibentuk sesuai dengan UUPA, keberadaan lembaga-lembaga tersebut bukanlah bagian dari lembaga yang menjalankan keistimewaan Aceh sebagaimana diatur dalam UU Keistimewaan Aceh. Kedua, KIP sebagai penyelenggara Pemilu dan Pilkada di Aceh memiliki nama sendiri yang berbeda dari penyelenggara Pemilu di daerah lain, demikian pula dengan komposisi keanggotaan KIP (yang juga berbeda dengan komposisi keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota di daerah lain), termasuk prosedur atau tata cara pengisian keanggotaannya. Namun, sekalipun terdapat perbedaan nama dan komposisi keanggotaan KIP sebagaimana diatur dalam UUPA, hal itu bukanlah merupakan bagian dari keistimewaan Aceh itu sendiri. Hanya saja, ketika pertama kali dibentuk sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 (yang kini telah dinyatakan tidak berlaku oleh UUPA) KIP memang satu-satunya lembaga penyelenggara pemilihan yang ada di daerah, khususnya Aceh. KIP merupakan lembaga independen penyelenggara Pemilu di daerah yang bertugas untuk menyelenggarakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Aceh sebagai pemilihan kepala daerah secara langsung pertama dibandingkan dengan provinsi lainnya. Setelah KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri terbentuk menurut Pasal 22E UUD 1945 (setelah perubahan UUD 1945), KIP ditempatkan sebagai bagian dari KPU di mana KIP diberi kewenangan sesuai dengan UUPA untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada di Aceh. Hal ini pun telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 angka 12 UUPA yang berbunyi, “Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota”. Kewenangan demikian sama dengan kewenangan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota di provinsi dan kabupaten/kota lainnya sesuai dengan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu maupun UU Pilkada. Dalam konteks demikian, yaitu dalam kaitan dengan kewenangan yang dimilikinya, KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota pada dasarnya sama dengan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota lainnya di Indonesia. Sementara itu, dalam konteks nama lembaga dan komposisi keanggotaannya serta prosedur pengisian anggotanya, KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota memang berbeda dengan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Demikian pula halnya dengan Panitia Pengawasan Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawasan Pemilihan Kabupaten/Kota yang dalam konteks nama dan komposisi keanggotaannya berbeda dengan Bawaslu Provinsi dan (kini) Bawaslu Kabupaten/Kota di daerah lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, jika dikatakan KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota tidak memiliki hubungan hierarkis dengan KPU maka akan timbul problem konstitusional sebab KIP Aceh, demikian pula KIP kabupaten/kota, adalah juga bertindak sebagai penyelenggara pemilihan umum (baik pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden maupun pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD), sehingga timbul pertanyaan: dari mana kewenangan tersebut diperoleh? Kewenangan demikian hanya mungkin dimiliki oleh KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota apabila mereka dikonstruksikan secara konstitusional sebagai bagian dari KPU. Sebab, berdasarkan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, hanya KPU yang memiliki kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan umum. Dari rumusan Pasal 1 angka 12 UUPA tersebut telah terang bahwa UUPA sendiri telah menegaskan bahwa KIP Aceh, KIP kabupaten/kota adalah bagian dari KPU. Adanya frasa “yang diberi wewenang oleh Undang- Undang ini untuk menyelenggarakan ...” bukanlah berarti UUPA yang memberi kewenangan kepada KIP Aceh, KIP kabupaten/kota untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden dan seterusnya itu, melainkan karena merujuk kepada sejarah keberadaannya yang mendahului keberadaan KPU sehingga dengan penegasan melalui frasa tersebut tidak terdapat pertanyaan perihal dari mana kewenangan KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota untuk menjadi penyelenggaran Pemilu nasional yaitu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD baik pada tingkat provinsi (di Aceh disebut DPRA) maupun pada tingkat kabupaten/kota (di Aceh disebut DPRK). Dengan kata lain, melalui rumusan dalam Pasal 1 angkat 12 UUPA tersebut, pembentuk Undang-Undang di satu pihak memberikan landasan konstitusional bagi kewenangan KIP Aceh, demikian pula KIP kabupaten/kota, untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari penyelenggara Pemilu nasional (yakni KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri), di lain pihak tidak melupakan konteks historis kelahiran dan keberadaan KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota. Dalam konteks demikian, karena secara historis KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota lahir mula-mula adalah sebagai lembaga independen dengan tugas menyelenggarakan pemilihan kepada daerah secara langsung di Aceh maka beberapa aspek yang melekat dengan konteks kesejarahan itu harus tetap dihormati dan diberi tempat, yaitu dalam hal ini aspek-aspek yang berkenaan dengan nama dan komposisi keanggotaannya, serta prosedur pengisiannya. Artinya, jika hal-hal yang menyangkut nama dan komposisi keanggotaan serta prosedur pengisian keanggotaan KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota ini hendak dilakukan perubahan, dan hal itu sesuai dengan hubungan hierarkis penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, perubahan itu memerlukan pelibatan dalam bentuk konsultasi dan pertimbangan DPRA. Bagaimanapun tidak boleh dilupakan bahwa KIP Aceh dan Panwaslih Aceh merupakan lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan amanat UUPA yang merupakan turunan dari Kesepakatan Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Kesepakatan yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk Undang-Undang tersebut, in casu UUPA, harus dihormati, lebih-lebih oleh pembentuk Undang-Undang. Dalam konteks ini, apabila pembentuk Undang-Undang hendak mengubah ketentuan yang diatur dalam UUPA maka hal itu mengacu kepada UUPA. Secara konstitusional, hal ini merupakan konsekuensi dari diberikannya status khusus atau istimewa kepada Aceh berdasarkan acuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Adapun terkait dengan prosedur pembentukan suatu Undang- Undang yang berkait dengan Pemerintahan Aceh atau perubahan terhadap materi muatan UUPA tertuang dalam Pasal 8 ayat (2) UUPA yang menyatakan, “Rencana pembentukan Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA” dan Pasal 269 ayat (3) UUPA yang menyatakan, “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”. Dengan demikian, oleh karena UUPA adalah Undang-Undang yang berlaku khusus bagi daerah istimewa maka apa yang diatur di dalamnya tidak serta- merta dapat diubah sebagaimana hal demikian dapat dilakukan dalam pembentukan atau perubahan Undang-Undang lainnya. Proses pembentukan Undang-Undang yang berhubungan dengan pemerintahan Aceh maupun rencana perubahan UUPA yang ada saat ini melalui prosedur konsultasi dan pertimbangan dari DPRA. Jika prosedur demikian tidak ditempuh maka norma Undang-Undang yang substansinya berhubungan langsung dengan kekhususan atau keistimewaan yang diatur dalam UUPA maupun yang mengubah ketentuan UUPA akan berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum bagi pemerintahan Aceh maupun rakyat Aceh secara keseluruhan – yang berarti dengan sendirinya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. e) Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK, terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Dalam kaitan dengan permohonan a quo, para Pemohon sama sekali tidak menyebutkan adanya dasar pengujian yang berbeda dimaksud. Dengan kata lain, syarat untuk menguji kembali materi muatan norma yang terkandung dalam Pasal 557 ayat (1) UU Pemilu tidak terpenuhi. Oleh karena itu, sepanjang berkenaan dengan Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu, tidak terdapat alasan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan lebih jauh substansi permohonan para Pemohon. [3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagia 2. Bahwa dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut: 1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 2) Frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “5 (lima) orang”; 3) Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4) Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 5) Frasa “3 (tiga) orang” dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “5 (lima) orang”; 6) Kata “hari” dalam Pasal 468 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “hari kerja”; 7) Menyatakan permohonan para Pemohon terhadap Pasal 21 ayat (1) huruf k, Pasal 117 ayat (1) huruf b sepanjang frasa “30 (tiga puluh) tahun”, Pasal 117 ayat (1) huruf m, Pasal 117 ayat (1) huruf o, dan Pasal 557 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) tidak dapat diterima; 8) Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya; 9) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Penutup

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self-executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemilu yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilu.


Page 6

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MENJADI UNDANG-UNDANG. / 26-04-2018

Pendahuluan

1. Bahwa pada hari Kamis, tanggal 26 April 2018, Pukul 15.21 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU KUP) dalam Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI. 2. Bahwa permohonan pengujian UU KUP dalam Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017 diajukan oleh Petrus Bala Pattyona, SH., MH., CLA., dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu Mehbob, SH., MH., CN., Julius Albert Hidelilo, SH., MH., dkk. 3. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 32 ayat (3) huruf a UU KUP yang berketentuan sebagai berikut: “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.” 4. Bahwa Pasal a quo UU KUP dianggap Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya mengatur Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 (selanjutnya disebut PMK 229) tanggal 18 Desember 2014. Pemohon beranggapan akibat dari terbitnya PMK 229 yang merujuk kepada ketentuan Pasal 32 ayat (3) huruf a UU KUP mengakibatkan Pemohon selaku kuasa hukum telah ditolak untuk memberikan bantuan hukum kepada Wajib Pajak dan telah menimbulkan kerugian konstitusional dan kerugian materiil yaitu tidak dapat menjalankan pekerjaan selaku Kuasa dari Wajib Pajak.

Pembahasan

1. Bahwa dalam Putusan Nomor 63/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap pengujian Pasal 32 ayat (3) huruf a UU KUP sebagai berikut: a. Bahwa jika dibaca rasionalitas dan konteks keseluruhan dalil Pemohon, Mahkamah memahami bahwa substansi yang sesungguhnya dipersoalkan oleh Pemohon adalah masalah pendelegasian kewenangan oleh undang-undang, in casu Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Peraturan Menteri, sehingga persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, apakah pendelegasian kewenangan demikian bertentangan dengan UUD 1945, khususnya sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011). Terhadap persoalan konstitusional tersebut Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut: 1. Bahwa dalam menjalankan pemerintahan negara, diperlukan pemerintahan yang berdaulat dan memiliki kewenangan secara hukum. Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan adalah diturunkan dari kewenangan tersebut. Sumber kewenangan dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar; 2. Bahwa, sebagaimana disinggung pada angka 1 di atas, salah satu sumber kewenangan adalah diperoleh dari pendelegasian kewenangan perundang- undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid), yaitu pendelegasian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pendelegasian demikian dibutuhkan karena walaupun dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diharapkan dapat dirumuskan ketentuan-ketentuan yang dapat langsung menyelesaikan permasalahan, namun demikian acapkali diperlukan adanya pelimpahan (pendelegasian) peraturan perundang-undangan. Hal itu disebabkan peraturan yang lebih tinggi biasanya hanya mengatur ketentuan yang sangat umum (garis besar) sehingga pengaturan yang lebih konkret didelegasikan kepada peraturan yang lebih rendah secara berjenjang sesuai hierarkinya. Pendelegasian suatu peraturan perundang-undangan pada dasarnya dilakukan secara berjenjang sesuai dengan hierarki yang berlaku, misalnya dari Undang-Undang ke Peraturan Pemerintah atau dari Peraturan Pemerintah. ke Peraturan Presiden. Pendelegasian Undang-Undang ke Peraturan Menteri seharusnya tidak terjadi dalam sistem pemerintahan Presidensial oleh karena pendelegasian tersebut meloncati dua peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang secara konstitusional seharusnya didelegasikan ke Peraturan Pemerintah sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya”. Namun, masalah pendelegasian tersebut diatur secara agak berbeda dalam UU 12/2011 yang berlaku saat ini, sebagaimana tertuang dalam Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011. Pedoman angka 211 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan, “Pendelegasian kewenangan mengatur dari undang- undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif”. Dengan demikian, terlepas dari persoalan apakah secara doktriner dalam sistem pemerintahan Presidensial dapat dibenarkan adanya pendelegasian kewenangan mengatur langsung dari Undang-Undang kepada Peraturan Menteri, menurut hukum positif yang berlaku pada saat ini (in casu UU 12/2011) pendelegasian kewenangan demikian dimungkinkan sepanjang hal itu berkenaan dengan pengaturan yang bersifat teknis-administratif. Dengan kata lain, secara a contrario, pendelegasian kewenangan dari Undang-Undang langsung kepada Peraturan Menteri tidak dibenarkan jika materi muatannya berkenaan dengan hal-hal yang menurut hierarki peraturan perundang-undangan bukan merupakan materi muatan Peraturan Menteri; 3. Bahwa substansi yang diatur dalam UU 12/2011 terkait dengan pendelegasian kewenangan merupakan bagian dari sistem peraturan perundang-undangan Indonesia yang harus selalu menjadi acuan. Kepatuhan terhadap sistem peraturan perundang-undang dimaksud merupakan bagian dari upaya untuk memastikan bahwa setiap norma yang dibentuk memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara yang dikenai aturan dimaksud. Dalam konteks ini, untuk menilai keabsahan pendelegasian wewenang dari undang-undang kepada peraturan perundang-undangan lainnya, maka sistem pendelegasian kewenangan yang terdapat dalam UU 12/2011 tidak dapat dikesampingkan, dalam arti tidak dipertimbangkan sepanjang norma yang relevan yang termuat di dalamnya tidak dimohonkan pengujian; 4. Bahwa pada saat yang sama, pembatasan delegasi kewenangan dari undang- undang kepada menteri juga berhubungan dengan materi muatan undang- undang ditentukan secara eksplisit dalam UU 12/2011. Dalam kaitan ini, terhadap hal-hal yang terkait dengan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan UUD 1945 yang merupakan pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan atau pencabutan hak-hak tertentu dari warga negara harus diatur dalam undang-undang. Karena itu, hanya hal-hal yang bersifat teknis- administratif dari pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan, pencabutan, atau perluasan hak itu saja yang dapat didelegasikan pengaturannya kepada menteri atau pejabat setingkat menteri. Dalam arti demikian, hal-hal yang bersifat pembatasan hak dan kewajiban yang belum diatur dalam undang-undang tidak dapat didelegasikan melalui sebuah Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana atau peraturan teknis. 5. Bahwa dalam kaitannya dengan delegasi kewenangan dari UU KUP kepada menteri dalam permohonan a quo, keberadaan norma tersebut berhubungan dengan sejarah dan semangat perumusan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 6/1983). Melalui ketentuan tersebut, pembentuk undang-undang sesungguhnya membuka ruang bagi setiap orang atau badan hukum Wajib Pajak untuk dikuasakan oleh seorang kuasa dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Pada saat pertama kali dirumuskan dan dimuat dalam UU 6/1983, dalam Pasal 32 ayat (3) dinyatakan bahwa Orang atau Badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam penjelasan ketentuan tersebut diterangkan bahwa norma dimaksud adalah untuk memberikan kelonggaran dari kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan orang lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Sesuai dengan ketentuan itu, hadirnya seorang kuasa dalam rangka membantu wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban diperkenankan. Pada saat yang sama, Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang a quo secara implisit juga mengakui hak seseorang untuk menunjuk seorang kuasa guna membantunya menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Hanya saja, orang yang bertindak sebagai kuasa tersebut disyaratkan haruslah orang yang memahami masalah perpajakan. Pada saat UU 6/1983 diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 9/1994), norma Pasal 32 ayat (3) UU 9/1994 juga ikut diubah, namun substansi yang dimuat di dalamnya tetap sama dengan substansi yang terdapat dalam UU 6/1983, di mana hak dan kesempatan Wajib Pajak untuk didampingi kuasanya tetap diakui. Penambahan ayat dalam Pasal 32 terjadi saat berlakunya Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyisipkan satu ayat diantara ayat (3) dan ayat (4), yakni ayat (3a) yang menyatakan, “Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3a) hanya menyatakan cukup jelas. Rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan. 6. Bahwa ketika UU 6/1983 diubah untuk ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan. Norma tersebut berbunyi, “Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP diterangkan kembali mengenai bentuk bantuan yang dapat diberikan dan siapa yang dimaksud dengan kuasa. Di mana, orang yang dapat menjadi kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan adalah setiap orang yang memahami masalah perpajakan. Undang-Undang a quo hanya sebatas mengatur syarat umum dari seorang kuasa Wajib Pajak, yaitu orang yang memahami masalah perpajakan. Dalam hal ini, Undang-Undang tidak mengatur lebih jauh kriteria orang yang dapat bertindak sebagai kuasa. Undang-undang juga tidak mengatur apa standar pemahaman masalah perpajakan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak. Undang-undang juga tidak mengatur bagaimana seorang kuasa menjalankan hak dan kewajibannya sebagai kuasa. Lebih jauh, Undang-undang juga tidak mengatur status kuasa Wajib Pajak sebagai profesi yang mandiri dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Pengaturan persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa tersebut, dalam UU KUP diadopsi satu norma baru berupa delegasi pengaturan terkait persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa kepada Peraturan Menteri. Hal itu dimuat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dengan rumusan berbunyi, “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” yang menjadi objek permohonan dalam perkara a quo. Masalahnya, apakah pendelegasian tersebut telah memenuhi syarat bentuk hukum dan substansi kewenangan yang didelegasikan dapat dikatakan bersesuaian dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat bergantung pada maksud dengan kata “persyaratan” dan frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa”. 7. Bahwa dalam keterangannya, pemerintah mengemukakan, salah satu alasan sosiologis pengaturan terkait Kuasa Wajib Pajak adalah karena faktor sulitnya melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan baik jika tidak melibatkan penasehat atau konsultan perpajakan. Hal itu terjadi karena hampir sebagian besar Wajib Pajak sulit memahami seluruh peraturan perpajakan dengan tepat karena dinamis dan rumitnya peraturan perpajakan. Atas dasar itu, diperlukan seorang penasehat perpajakan/orang yang memahami masalah perpajakan menjadi Kuasa Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Dalam konteks ini, keberadaan konsultan pajak sebagai kuasa menjadi penting bagi kepentingan publik pembayar pajak. Lebih jauh, dalam keterangannya, Pemerintah dan DPR menjelaskan pengaturan mengenai persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan ketentuan bersifat teknis sehingga didelegasikan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan. Pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan: apakah dapat diterima bahwa persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan hal yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya dapat didelegasikan kepada sebuah peraturan pelaksana, in casu Peraturan Menteri. 8. Bahwa dari keterangan Pemerintah dan DPR dimaksud dapat dipahami pada satu sisi pengakuan terhadap hak Wajib Pajak untuk didampingi oleh seorang kuasa merupakan perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak (tax payer), sedangkan di sisi lain, persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa diposisikan sebagai hal yang bersifat teknis administratif. Apabila ditelaah lebih jauh, sesungguhnya telah terdapat contradictio in terminis dari penjelasan tersebut, terutama dengan memosisikan pengaturan terkait persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa sebagai sesuatu yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya didelegasikan kepada Menteri. Dalam hal ini, apabila pengaturan tentang persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak, semestinya materi pengaturannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada Menteri. Sebab, Menteri merupakan pihak yang melaksanakan Undang- Undang Perpajakan yang dalam praktik sangat mungkin “berhadapan” dengan Wajib Pajak dan/atau Kuasa Wajib Pajak. Bagaimana mungkin kepentingan hukum Wajib Pajak akan dapat terlindungi bilamana Kuasa Wajib Pajak diatur dan dibatasi melalui Peraturan Menteri yang tidak menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban Penerima Kuasa Wajib Pajak secara bebas dan mandiri. 9. Bahwa selanjutnya, dibentuknya UU KUP memang merupakan perintah UUD 1945, di mana dalam Pasal 23A UUD 1945 dinyatakan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dalam konteks itu, UU KUP mengatur hal-hal yang bersifat memaksa bagi warga negara yang memenuhi syarat, dalam hal ini pajak. Pajak merupakan kewajiban yang mesti dibayarkan oleh warga negara, di mana apabila tidak dipenuhi, maka sanksi hukum dapat dikenakan kepada yang bersangkutan. Sekalipun pajak merupakan sesuatu yang bersifat memaksa, di mana negara melalui Kementerian Keuangan dapat memaksa agar warga negara yang memenuhi kewajibannya, namun sifat memaksa pajak tidak serta-merta menghilangkan hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum, kejelasan proses pemungutan pajak, dan hak untuk dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami perpajakan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai Wajib Pajak. Hak untuk didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan merupakan salah satu sarana bagi Wajib Pajak untuk dapat melaksanakan kewajiban dan hak perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terhindar dari potensi penyalahgunaan wewenang. Hak tersebut akan betul-betul dapat dilindungi apabila orang atau pihak yang menjadi kuasa untuk mewakili atau mendampingi Wajib Pajak adalah orang yang bebas dan mandiri dalam menjalankan profesinya sebagai Kuasa Wajib Pajak, bukan orang yang berada di bawah tekanan atau dalam posisi tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai kuasa. 10. Bahwa oleh karena kewajiban membayar pajak tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk dapat dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan, maka pengaturan mengenai Kuasa Wajib Pajak haruslah dapat menjamin bahwa yang bertindak sebagai kuasa adalah orang yang memahami perpajakan dan dapat menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak. Demi untuk menjamin agar hak dan kewajiban Wajib Pajak terlaksana secara baik dan dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasa yang menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak, maka hal-hal yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak tidak dapat diposisikan hanya sekedar hal yang bersifat teknis administratif. Persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Terlaksana atau tidaknya hak dan kewajiban sesuai aturan serta adanya kepastian hukum yang adil bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya akan sangat bergantung pada bagaimana pengaturan terkait dengan hak Wajib Pajak untuk dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasanya. Oleh karena itu, hal tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat teknis administratif, melainkan lebih bersifat substantif karena berhubungan dengan pembatasan hak seseorang dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sehingga seharusnya materi tersebut diatur dalam undang- undang. Dalam hal ini, Undang-Undang harus mengatur secara jelas mengenai persyaratan bagi orang yang akan bertindak sebagai Kuasa Wajib Pajak, baik syarat administratif maupun syarat kompetensi. Pada saat yang sama, undang-undang juga harus mengatur dan menjamin bahwa Kuasa Wajib Pajak harus dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara bebas dan mandiri. Pengaturan tersebut akan menjadi instrumen hukum untuk melindungi dan menjamin bahwa hak dan kewajiban Wajib Pajak dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhindar dari kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang dan ketidakpastian hukum. b. Bahwa pertimbangan Mahkamah yang bertumpu pada UU 12/2011, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.10] di atas, adalah dikarenakan undang-undang itulah yang memuat pengaturan lebih lanjut tentang pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan dan tidak menjadi objek permohonan a quo. Sehingga, sesuai dengan prinsip presumption of constitutionality yang berlaku dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang dan prinsip bahwa hakim atau pengadilan adalah zittende magistratur, maka UU 12/2011 khususnya Lampiran II Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 harus dianggap konstitusional sampai terbukti bertentangan dengan UUD 1945 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijatuhkan atas dasar adanya permohonan untuk itu. Prinsip zittende magistratur menghalangi Mahkamah untuk secara aktif menguji konstitusionalitas suatu undang-undang jika undang-undang yang bersangkutan tidak dimohonkan pengujian. Namun demikian, prinsip zittende magistratur tidak menghalangi Mahkamah untuk mengesampingkan keberlakuan suatu Undang-Undang apabila ternyata norma undang-undang yang bersangkutan telah ternyata menghalangi kewenangan Mahkamah dalam menjalankan fungsi constitutional review-nya. Pengesampingan demikian dibenarkan berdasarkan doktrin hukum tata negara dan tidak bertentangan dengan ajaran pemisahan kekuasaan, sebab Mahkamah tidak menguji konstitusionalitas norma undang- undang yang tidak dimohonkan pengujiannya, melainkan Mahkamah hanya memutuskan untuk tidak menerapkannya. Artinya, norma Undang-Undang tersebut, baik teks maupun isi atau materi muatannya, tetap ada dan berlaku selama belum ada permohonan yang menguji konstitusionalitasnya dan belum ada Putusan Mahkamah berkenaan dengan hal itu. Hal ini pernah dipraktikkan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004. c. Bahwa kendatipun Pemohon tidak memohonkan pengujian UU 12/2011 (terutama dalam hal ini Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011) dan kendatipun titik berat Permohonan Pemohon adalah terletak pada substansi pendelegasian dari undang-undang kepada Peraturan Menteri, in casu PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa, sesuai dengan sistem Pemerintahan Presidensial yang dianut oleh UUD 1945, pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah secara doktriner tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang secara konstitusional seharusnya menjadi substansi materi muatan dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan tingkatan atau hierarkinya. Dengan demikian, dalam konteks Permohonan a quo, sesuai dengan pertimbangan pada sub-paragraf [3.10.2] di atas, tanpa perlu mengesampingkan keberlakuan Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011 dan tanpa harus menilai kasus konkret yang dialami Pemohon khususnya berkenaan dengan pemberlakuan PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa memang terdapat kebutuhan untuk mengatur lebih tegas pendelegasian wewenang teknis-administratif “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Menteri Keuangan. Sesuai dengan sifatnya sebagai delegasi yang bersifat teknis-administratif maka, di satu pihak, pengaturan demikian tidak boleh mengandung materi muatan yang merugikan hak wajib pajak dalam memberi kuasa kepada pihak manapun yang dinilainya mampu memperjuangkan hak- haknya sebagai wajib pajak dan menurut undang-undang absah untuk menerima kuasa demikian serta, di lain pihak, tidak menghambat atau mengurangi kewenangan negara untuk memungut pajak yang diturunkan dari UUD 1945. Pendelegasian kewenangan mengatur hal-hal yang bersifat teknis-administratif bukan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih (over capacity of power) kepada Menteri Keuangan melainkan hanya untuk mengatur lebih lanjut mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa”. Artinya, pengaturan itu tidak boleh berisikan materi muatan yang seharusnya merupakan materi muatan peraturan yang lebih tinggi, lebih-lebih materi muatan undang-undang. Oleh karena itu, ada atau tidak ada kasus konkret sebagaimana dialami Pemohon, pendelegasian kewenangan mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya dapat dinyatakan konstitusional jika materi muatannya semata-mata bersifat teknis-administratif. d. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah ternyata bahwa dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas materi muatan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian, yaitu sepanjang frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis- administratif, yaitu sepanjang tidak membatasi hak konstitusional warga negara dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban. 2. Bahwa dalam Amar Putusan MK dalam Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan: 1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. 2) Menyatakan frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara. 3) Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. 4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut: 1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 63/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka. 2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 63/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU KUP.

Penutup

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU KUP yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU KUP.


Page 7

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 61/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM / 11-01-2018

Pendahuluan

1. Bahwa pada Kamis, tanggal 11 Januari 2018, Pukul 14.10 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilihan Umum) dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 Perihal Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh. 2. Bahwa Permohonan Pengujian UU Pemilihan Umum dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 diajukan oleh Kautsar dan Samsul Bahri pada tanggal 22 Agustus 2017 yang menguji Pasal 557 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 557 ayat (2) dan Pasal 571 huruf d dan dalam Perkara Nomor 66/PUU-XV/2017 diajukan oleh Tgk. H. Muharuddin, S.Sos. pada tanggal 28 Agustus 2017 yang menguji Pasal 557 dan Pasal 571 huruf d yang dianggap para Pemohon bertentangan dengan Pasal 18, Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya mengatur mengenai Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh yang merupakan bagian dari kelembagaan penyelenggaraan Pemilu secara nasional dan bagian dari kekhususan atau keistimewaan Aceh dalam UU Pemerintahan Aceh, serta pelibatan DPRA dalam bentuk konsultasi dan pertimbangan pada proses pembentukan atau perubahan UU Pemilihan Umum oleh pembentuk undang-undang. 3. Bahwa pada Kamis, tanggal 5 Oktober 2017, Pukul 11.00 WIB dan Selasa, tanggal 14 November 2017, Pukul 15.00 WIB, dalam Agenda Sidang Pleno Mendengarkan Keterangan DPR, Tim Kuasa DPR yang diwakili oleh H. Arsul Sani S.H., M.Si dan Ir. H. M. Lukman Edy, M.Si., telah memberikan dan menyampaikan Keterangan DPR kepada Mahkamah terhadap Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017. 4. Bahwa dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017, perwakilan DPR dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Pembahasan

1. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017 Bahwa dalam Putusan Nomor 61/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap Pengujian Pasal 557 ayat (2) UU Pemilihan Umum sebagai berikut: a. bahwa meskipun tidak secara nyata disebutkan adanya pencabutan terhadap Pasal 56 UU Pemerintahan Aceh yang mengatur, klausul Pasal 557 ayat (2) UU Pemilihan Umum dengan sendirinya telah mencabut pasal yang berkenaan dengan Pemilihan Umum berlakunya Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum telah mengubah substansi UU Pemerintahan Aceh yang berkenaan dengan kelembagaan penyelenggaraan pemilu di Aceh; b. bahwa sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh, meskipun KIP dan Panwaslih merupakan lembaga yang dibentuk sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh, keberadaan lembaga-lembaga tersebut bukanlah bagian bagian dari lembaga yang menjalankan keistimewaan Aceh. Kemudian KIP sebagai penyelenggara Pemilu dan Pilkada di Aceh memiliki nama sendiri yang berbeda dengan dari penyelenggara Pemilu di daerah lain, demikian pula dengan keanggotaan KIP, termasuk prosedur atau tata cara pengisian keanggotaannya. Namun sekalipun terdapat perbedaan, hal itu bukanlah bagian dari keistimewaan Aceh itu sendiri. Berdasarkan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan hanya KPU yang memiliki kewenangan sebagai penyelenggara Pemilu, maka dapat dikonstruksikan secara konstutional bahwa KIP sebagai bagian dari KPU. Setelah KPU, KIP ditempatkan sebagai bagian dari KPU dimana KIP diberi kewenangan sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada di Aceh. Dalam konteks demikian, KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota pada dasarnya sama dengan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia, demikian pula halnya dengan Panwaslih yang pada dasarnya sama dengan Bawaslu; c. bahwa Pasal 1 angka 12 UU Pemerintahan Aceh telah menegaskan bahwa KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota adalah bagian dari KPU. Oleh karena itu kewenangan KIP bukan diberikan oleh UU Pemerintahan Aceh, melainkan merujuk kepada konteks sejarah keberadaan KPU dan kelahiran serta keberadaan KIP aceh dan KIP Kabupaten/Kota; dan d. bahwa jika hal-hal yang menyangkut nama dan komposisi keanggotaan serta prosedur pengisian keanggotaan KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota hendak dilakukan perubahan hendak dilakukan perubahan, dan hal itu sesuai dengan hierarkis penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, perubahan itu memerlukan pelibatan dalam bentuk konsultasi dan pertimbangan DPRA. Dalam hal ini, apabila pembentuk undang-undang hendak mengubah ketentuan yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, maka hal itu mengacu kepada UU Pemerintahan Aceh yaitu Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269. Jika prosedur demikan tidak ditempuh, maka norma undang-undang yang substansinya berhubungan langsung dengan kekhususan atau keistimewaan yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh maupun yang mengubah ketentuan UU Pemerintahan Aceh akan berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum bagi pemerintahan Aceh maupun rakyat Aceh secara keseluruhan, yang berarti dengan sendirinya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 Bahwa dalam Amar Putusan MK Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan: 1) Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk sebagian. 2) Menyatakan Pasal 557 ayat (2) UU Pemilihan Umum yang berbunyi “Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan Undang-Undang ini” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3) Menyatakan Permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum tidak dapat diterima. 4) Menolak Permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. 5) Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 2. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan MK Nomor 66/PUU-XV/2017 Bahwa dalam Putusan MK Nomor 66/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap Pengujian Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum sebagai berikut: a. bahwa berlakunya Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum telah mengubah substansi UU Pemerintahan Aceh yang berkenaan dengan kelembagaan penyelenggaraan pemilu di Aceh dimana MK telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017; b. bahwa meskipun kelembagaan penyelenggaraan Pemilu di Aceh bukan merupakan bagian dari kekhususan dan keistimewaan Aceh, namun konteks historis dari keberadaannya harus tetap dihormati. Oleh karena itu apabila hendak dilakukan perubahan berkenaan dengan nama maupun komposisi keanggotannya, maka proses atau tata caranya memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 UU Pemerintahan Aceh; c. bahwa kelembagaan penyelenggaraan Pemilu di Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari kelembagaan penyelenggaraan Pemilu secara nasional. Oleh karena itu, perubahan terhadapnya di masa yang akan datang sangat mungkin dilakukan apabila terdapat kebutuhan untuk itu. Namun perubahan itu pun dilakukan sesuai dengan proses dan tata cara dalam UU Pemerintahan Aceh; dan d. bahwa MK tidak memperoleh cukup bukti yang dapat menyakinkan bahwa proses perumusan norma Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum telah dilakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA sesuai prosedur pembentukan dan perubahan UU Pemerintahan Aceh berdasarkan Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 UU Pemerintahan Aceh. Sehingga Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa dalam Amar Putusan MK dalam Perkara Nomor 66/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan: 1) Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian. 2) Menyatakan Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum yang berbunyi “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: d. Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dicabut dan dinyatakan tidak berlaku” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3) Menyatakan Permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 557 UU Pemilihan Umum tidak dapat diterima. 4) Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. 3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut: 1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka. 2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilihan Umum.

Penutup

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi seluruh pihak) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemilihan Umum yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilihan Umum.

Mengapa judicial review disebut anti-mayoritas