Mengapa Moh Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden RI pada tanggal 1 Desember 1956

Sumber foto: //bit.ly/3p685Vn/elshinta.com.

Elshinta.com - Lewat hasil sidang, DPR akhirnya menyepakti permintaan pengunduran diri Mohammad Hatta dari jabatan wakil presiden.

Terhitung 1 Desember 1956, Hatta resmi mundur dari jabatan yang diembaninya selama 11 tahun.

Tercatat bukan hanya sekali Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden.

Pada Senin 23 Juli 1956, Ketua DPR Sartono menerima kejutan karena mendapat surat pengunduran dari Hatta.

"Merdeka, dengan ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi," begitulah isi surat tertanggal 20 Juli 1956 tersebut.

Surat tertanggal 20 Juli 1956 itu, makin membuat Sartono terkaget-kaget, karena isinya permintaan mengundurkan diri Hatta.

Hubungannya dengan Presiden Sukarno yang mulai merenggang sejak Indonesia kembali ke negara kesatuan tahun 1950 menjadi alasan.

"Bagi saya yang sudah lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan," tulis Hatta dalam buku yang berjudul Demokrasi Kita.

Setelah meletakkan jabatannya, Hatta sibuk menulis sejumlah buku.

Hal ini menjadi angin segar bagi kalangan akademisi yang saat itu mesti melahap buku berbahasa asing.

"Dalam bulan ini juga beliau [Hatta] akan menyelesaikan karangan-karangannya mengenai pengetahuan ekonomi dan sosiologi, yang kemudian akan disusul dengan buku mengenai sejarah Indonesia. Bukankah kabar ini sangat menggembirakan? Sebab hanya sedikit sekali ekonom-ekonom kita yang mau membuang waktunya untuk mengarang buku-buku. Kebanyakan buku-buku yang harus kami pelajari tertulis dalam bahasa asing, yang sedikit banyak merupakan satu handicap," kata pembaca Star Weekly, Thio Kiem Lian. [Sumber: //bit.ly/3d4avy5]

Selasa, 05 April 2022 - 22:47 WIB

DPR minta Kemendagri tegur Apdesi

Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang meminta Kemendagri menegur Asosiasi Pemerintah Desa Selur...

TRIBUNMANADO.CO.ID - Meski bersama dengan Bung Karno dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, bukan berarti Bung Hatta tidak terlibat perbedaan pendapat dengan Bung Karno. 

Selama keduanya memimpin Republik Indonesia, ada beberapa hal yang kerap membuat kedua Bapak Proklamator ini bersilang pendapat. 

Ujungnya pada akhir tahun 1956, tepatnya tanggal 1 Desember, Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. 

Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks proklamasi. [[intisari]]

Walhasil, Republik Indonesia mengalami kekosongan Kursi Wapres. Dari masa Orde Lama Soekarno hingga tahun 1973 di masa Orde Baru Presiden Soeharto.

Wakil Presiden kembali muncul pada tanggal 24 Maret 1973, waktu itu dijabat oleh Wapres Hamengkubuwana IX

Adapun Alasan Hatta mengundurkan diri karena dia tidak ingin memasukkan unsur komunis dalam kabinet pada waktu itu.

Sebenarnya pernyataan untuk mengundurkan diri dari kursi Wakil Presiden sudah terlontar dari mulut Hatta sejak tahun 1955.

Di tahun 1955 itu, Mohammad Hatta menyatakan bahwa bila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden.

Alasannya, dalam negara yang mempunyai kabinet parlementer, Kepala Negara adalah sekadar simbol saja, sehingga Wakil Presiden tidak diperlukan lagi.

Dikutip dari wikipedia, tanggal 20 Juli 1956, Mohammad Hatta menulis sepucuk surat kepada Ketua DPR pada saat itu, Sartono yang isinya antara lain, "Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi."

Halaman selanjutnya arrow_forward

Sumber: Tribun Manado

Tak bisa dibantah, Sukarno dan Hatta memiliki ketidaksamaan pemikiran dalam mengelola negara. Buktinya, mereka berpisah karena perbedaan pandangan politik, bukan karena masalah pribadi. Hal itu pula agaknya yang membuat hubungan pribadi antara keduanya tak terganggu, meski tensi politik sedang tinggi.

Diceritakan, pada 1963 sang mantan wapres terkena serangan stroke. Mendengar kabar itu, Sukarno datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Ia pula yang mendesak agar Hatta mau berobat ke Swedia dengan biaya dari negara.

Hatta bersedia ke Swedia. Sukarno dan Hatta bertemu di Istana sebelum keberangkatan untuk berobat. Sebelum berpisah, Soekarno berujar ke sekretaris pribadi Hatta, I Wangsa Widjaja, "Wangsa, jaga baik-baik Bung Hatta."

Setelah pengobatan di Swedia, kondisi Hatta membaik. Setelah pulih, ia pun berkeliling ke sejumlah negara Eropa dan Amerika untuk berceramah. Tapi, di luar negeri Hatta menahan diri untuk tak mengkritik Sukarno secara frontal terkait perbedaan pandangan politik mereka.

Saat berada di Amerika Serikat, misalnya, ketika diminta bicara soal Sukarno, Hatta mengatakan, "Dalam banyak hal saya tidak setuju dengan Sukarno. Tetapi, ia Presiden Republik Indonesia, negeri yang kemerdekaannya saya perjuangkan selama bertahun-tahun. Benar atau salah, ia Presiden saya."

Hubungan ini pula yang kemudian sulit dipahami oleh anak-anak Sukarno dan Hatta. Diceritakan oleh Guntur Sukarno Putra, putra sulung Sukarno, di tahun 1970, ada peristiwa menarik terkait hubungan Sukarno dan Hatta.

Dalam bukunya berjudul Bung Karno, Bapakku, Kawanku dan Guruku, Guntur menuturkan bahwa ketika itu dia ingin menikahi sang kekasih yang tinggal di Bandung, Jawa Barat. Hal itu kemudian dia sampaikan kepada sang ayah yang tengah sakit dan menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso [sekarang Museum Satria Mandala].

Jawaban Sukarno sungguh membuat kaget Guntur. Karena tak bisa untuk menghadiri acara penting itu, Sukarno kemudian mengusulkan untuk meminta kesediaan Hatta menjadi wali nikah Guntur. Sang anak pun diyakinkan bahwa Hatta pasti akan bersedia.

Sejatinya, Hatta bukankah orang baru bagi Guntur. Sejak kecil, Hatta sudah pernah mengasuhnya. Ketika di Rengasdengklok, dua hari sebelum Proklamasi RI, Hatta dan Sukarno bergantian menggendong Guntur. Bahkan, dikabarkan Hatta sempat kena ompol Guntur.

Namun, tetap saja Guntur tak percaya dengan ucapan Sukarno, mengingat sejarah hubungan keduanya yang memburuk, sampai-sampai Hatta memutuskan untuk mundur dari posisi wakil presiden.

Namun, ucapan Sukarno terbukti. Saat Guntur menghubungi Hatta melalui telepon dan mengungkapkan maksudnya, tak terdengar keraguan. Hatta langsung mengiyakan.

Pertemuan terakhir keduanya terjadi pada 19 Juni 1970, dua hari sebelum Sukarno wafat. Ketika itu Hatta menjenguk sahabatnya yang tengah terbaring sakit itu. Namun, Sukarno tengah tidur lelap ketika Hatta memasuki kamar.

Awalnya Hatta sempat akan beranjak pulang. Tapi ketika ia hendak melangkah keluar, Sukarno terbangun dan akhirnya berbicara pada Hatta dengan suara yang tidak jelas dan air mata yang menetes.

"Hatta, kau ada di sini. Hoe gaat het met jou? [Apa kabar?]," tanya Sukarno.

Meutia, putri Hatta yang juga ada di ruangan itu menggambarkan reaksi ayahnya yang terus memijat tangan Sukarno sambil berkata, "Ya sudahlah. Kuatkan hatimu, tawakal saja pada Allah. Saya doakan agar lekas sembuh," ujar Hatta.

Selanjutnya, pertemuan itu hening dan tidak ada kata-kata apa pun selama 30 menit. Sambil menggenggam tangan Hatta, Sukarno menangis.

Dua hari kemudian, 21 Juni 1970, Sukarno wafat.

Banyak yang menilai hanya pribadi-pribadi terpilihlah yang bisa bersikap seperti Sukarno dan Hatta. Tentu tak mudah bagi Sukarno menerima kritikan pedas Hatta berulang kali. Sebaliknya, menyakitkan bagi Hatta melihat Sukarno yang dinilainya sudah melenceng dari acuan politik yang mereka yakini sejak awal.

"Sukarno mengenal Hatta. Hatta bisa saja menyerang dan mencaci maki dirinya karena kebijakan dan tingkah laku politiknya, tetapi dalam kehidupan pribadi, ikatan persaudaraan yang terbentuk selama perjuangan kemerdekaan di antara mereka sudah seperti saudara kandung," tulis Mavis Rose dalam Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta.

"Ruang pribadi mereka terjaga. Inilah uniknya, karena secara politik bermusuhan, tapi pribadi tidak," kata sejarawan, Taufik Abdullah tentang uniknya hubungan kedua Proklamator RI tersebut.

Tabik.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề