Mengapa perempuan sering terjadi di jalur jalur perdagangan yang ramai

Dulu, Indonesia ditempati berbagai kerajaan Hindu-Buddha yang menyebarkan wilayah kekuasaannya. Tapi, munculnya kerajaan-kerajaan Islam merupakan salah satu faktor kejatuhan mereka. Bagaimana sebenarnya teori masuknya Islam ke Indonesia? Para ahli sejarah memiliki beberapa pandangan.

Islam pertama kali lahir di Mekkah, Arab Saudi. Ketika Islam menyebarkan agama dan kebudayaannya ke Indonesia, prosesnya cenderung berjalan dengan damai. Karena itu, raja hingga rakyat biasa menerimanya dengan hangat.

Teori masuknya Islam ke Indonesia yang pertama adalah lewat jalur perdagangan. Di abad ke-7 hingga abad ke-16, lalu lintas perdagangan melalui perairan Indonesia sangat ramai. Pedagang muslim dari Gujarat (India), Persia, dan Arab Saudi sering kali tidak hanya melakukan transaksi, tapi juga mengenalkan ajaran dan nilai-nilai Islam kepada warga setempat. Mereka diterima dengan mudah karena sebagai pedagang, mereka dapat bergaul dengan berbagai kalangan.

(Baca juga: Jatuh Bangunnya Kerajaan Islam di Indonesia)

Sebagian pedagang tersebut memutuskan untuk menetap dan mendirikan perkampungan yang tidak jauh dari pelabuhan atau tempat perdagangan. Adanya perkampungan tersebut meningkatkan interaksi antara pedagang dan masyarakat lokal sehingga ajaran Islam semakin diketahui dan dipahami oleh warga Indonesia.

Seiring waktu, semakin banyak pedagang muslim yang datang dan pengaruh agama Islam pun semakin besar di Indonesia. Karena itu, perdagangan merupakan metode penyebaran Islam yang paling terlihat sekaligus saluran pertama penyebaran Islam di Indonesia.

Selain perdagangan, Islam juga dipercaya disebarkan lewat perkawinan. Para saudagar yang merantau dan menetap di Indonesia menikah dengan penduduk lokal. Kedudukan mereka cukup dianggap terhormat di kalangan masyarakat, sehingga sebagian dari mereka ada yang menikahi putri pedagang, bangsawan, hingga anggota keluarga kerajaan.

Pernikahan membawa manfaat bagi penyebaran Islam karena pedagang tersebut mensyaratkan supaya calon istri mereka memeluk agama Islam terlebih dahulu. Anak-anak hasil pernikahan mereka pun menganut agama Islam seperti orang tuanya.

Perkawinan dengan kaum bangsawan atau raja memiliki dampak yang lebih besar bagi penyebaran Islam. Anggota-anggota istana lainnya semakin banyak pula yang memeluk agama Islam. Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha perlahan beralih menjadi bercorak Islam.

Pendidikan pun menjadi salah satu metode penyebaran Islam di Indonesia. Ulama serta mubaligh secara aktif menyebarkan ajaran Islam di Indonesia melalui pendidikan. Mereka mendirikan pondok-pondok pesantren di berbagai wilayah untuk mengajarkan Islam kepada warga. Setelah tamat, murid-murid pondok pesantren tersebut menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing.

Pesantren telah melahirkan banyak guru agama, kiai, serta ulama. Sebagian dari mereka yang telah lulus bahkan mendirikan pondok-pondok pesantren baru. Karena itu, pendidikan memainkan peran yang cukup besar dalam penyebaran Islam di Indonesia.

Teori masuknya Islam ke Indonesia yang terakhir adalah lewat seni budaya. Islam berkembang lewat berbagai bentuk seni budaya, seperti seni bangunan (masjid), seni pahat (ukir), seni tari, seni musik, hingga seni sastra.

Melalui seni budaya, para pendakwah seperti Wali Songo mampu mengajarkan Islam melalui pendekatan budaya agar dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat. Contoh-contoh pendekatan seni budaya yang dilakukan adalah Sunan Bonang yang menciptakan gending Durama dan kitab Gending Sunan Bonang. Selain itu, ada pula Sunan Giri yang dikenal sebagai pencipta gending Asmarandana dan Puncung. Salah satu Sunan yang menonjol di Wali Songo adalah Sunan Kalijaga. Dalam berdakwah, ia memanfaatkan media wayang untuk menyebarkan agama Islam di masyarakat.

Afkar Aristoteles Mukhaer Selasa, 31 Agustus 2021 | 20:00 WIB

Mengapa perempuan sering terjadi di jalur jalur perdagangan yang ramai

Prajurit Perempuan Mangkunagara dalam pagelaran 'Matah Ati'. Sebuah perpaduan antara rona anggun dan wibawa di medan laga. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Jalur rempah identik dengan pelayaran kapal dari arah barat menuju ke kawasan kepulauan rempah di dunia Timur, seperti anak benua India dan kepulauan Nusantara. Mengarungi lautan yang buas, terjangan badai dan ombak yang menggoncangkan kapal, membuat nuansa pelayaran adalah dunia laki-laki.

Pandangan seperti itulah yang memotivasi laki-laki Eropa menemukan jalur perdagangan rempah di samudera, dan mengabsenkan perempuan karena stereotip fisik dan role gender-nya untuk urusan dapur.

Susanto Zuhdi, guru besar sejarah Universitas Indonesia memaparkan, istilah 'menaklukkan lautan' hanyalah milik perspektif Eropa yang mengidentikkan laut sebagai maritim. Kata 'maritim' ini dalam pandangan Eropa adalah sesuatu yang harus dikuasai secara sepihak.

Berbeda dengan Nusantara dan Timur Tengah dengan istilah 'bahari' suatu hal yang jaya dan dan harus dijaga bersama. "Itu sebabnya, sebelum Eropa datang belum pernah ada konflik yang terjadi hanya karena perebutan dan pengkotak-kotakan areal laut," ujarnya dalam Simposium Internasional yang diselenggarakan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Senin (30/08/2021).

Perompakan di Selat Malaka merupakan sebuah sejarah panjang yang tak terselesaikan bagi para pemilik kapal dan pelaut yang melintasi Selat Malaka, jalur laut sepanjang 900 KM di Asia Tenggara ini. Dalam beberapa tahun terakhir, patroli laut oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura berhasil mengurangi perompakan, menurut Kantor Maritim Internasional (IMB).[1]

Mengapa perempuan sering terjadi di jalur jalur perdagangan yang ramai

Selat Malaka.

Lokasi geografis Selat Malaka menjadikannya rapuh terhadap praktik perompakan. Selat Malaka sejak lama merupakan sebuah jalur penting yang menghubungkan Tiongkok dan India, dan sering kali digunakan untuk tujuan perdagangan. Di era modern, Selat ini merupakan jalur antara Eropa, Terusan Suez, dan negara-negara penghasil minyak di Teluk Persia; serta pelabuhan-pelabuhan Asia Timur yang sibuk. Terdapat ribuan pulau kecil di selat sempit ini, selain itu selat ini juga menjadi muara banyak sungai. Dua hal ini menjadikan Selat Malaka tempat yang ideal bagi para perompak untuk bersembunyi dan menghindari penangkapan.

Menurut sejarah, menjadi perompak di Selat Malaka tidak hanya menguntungkan jika dilihat dari segi material, tetapi aksi perompakan juga merupakan alat politik yang penting. Para penguasa mengandalkan para perompak untuk mempertahankan kekuasaan. Salah satu contoh terjadi pada abad XIV di bawah pemerintahan seorang pangeran Palembang, Parameswara. Berkat bantuan segerombolan perompak yang terdiri dari suku Orang Laut yang setia kepadanya, Parameswara berhasil melarikan diri dari kejaran utusan kerajaan Majapahit dan akhirnya dia mendirikan Kesultanan Malaka.

  1. ^ "Watchdog hails improved security in Malacca Strait; Increased patrols and other measures have cut number of pirate attacks", The Straits Times, January 23, 2007.

  • Southeast Asia's modern-day pirates Diarsipkan 2010-11-22 di Wayback Machine.
  • 2004 vs. 2007 global piracy summary, The Economist, published 23 Apr 2008, accessed 2008-04-28.
  • Pirates mock Malacca Strait security Diarsipkan 2010-12-12 di Wayback Machine.
  • "Tribute and Trade", KoreanHistoryProject.org
  • ISEAS publications regarding piracy Diarsipkan 2007-10-25 di Wayback Machine.
  • National Geographic article on modern pirates in Malacca Straits Diarsipkan 2007-09-19 di Wayback Machine.
  • ReCAAP: Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery Diarsipkan 2010-05-05 di Wayback Machine.
 

Artikel bertopik umum ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

Jika Anda melihat halaman yang menggunakan templat {{stub}} ini, mohon gantikan dengan templat rintisan yang lebih spesifik.
  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Perompakan_di_Selat_Malaka&oldid=19208400"