Mengapa perikatan disebut sebagai hubungan hukum

Dalam hukum perdata seringkali kita mendengar kata perikatan dan perjanjian. Meskipun keduanya sama-sama memiliki keterkaitan dan diatur dalam Buku ketiga KUH Perdata, perikatan dan perjanjian adalah dua hal berbeda. Prof Subekti dalam bukunya memberikan definisi perikatan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari definisi tersebut dapat terlihat bahwa perjanjian dapat menimbulkan perikatan tapi perikatan tidak hanya ada karena perjanjian melainkan juga hal lain, misalnya karena undang-undang. Jika ditelaah, perikatan menimbulkan suatu hubungan hukum yang dapat bersifat sepihak dan relatif. Hubungan hukum dalam perikatan disebut relatif karena hubungan tersebut hanya dapat dipertahankan dan dimintai pertanggungjawabannya terhadap orang-orang tertentu. Orang tertentu yang dimaksud adalah para pihak yang terikat karena persetujuan atau ketentuan undang-undang. Dalam perjanjian, hal yang terjadi adalah suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum kemudian menimbulkan hubungan hukum/perikatan. Namun, hubungan tersebut umumnya bersifat timbal balik karena dalam perjanjian masing-masing pihak memiliki hak dan kewajibannya masing-masing sehingga tidak hanya meletakkan hak disatu pihak atas prestasi yang menjadi kewajiban pihak lainnya. Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu atau ada objek yang diperjanjikan kedua belah pihak. Menurut pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang yang dapat diperdagangkan/barang tertentu yang dapat ditentukan jenisnya yang dapat menjadi pokok perjanjian. Dalam perikatan tidak ada ketentuan mengenai objek karena perikatan dapat dilakukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.Dalam perjanjian terdapat syarat sah dimana para pihak harus sepakat terlebih dahulu untuk mengikatkan dirinya. Artinya, harus ada kemauan dan kehendak dari masing-masing pihak. Hal tersebut berbeda untuk perikatan. Perikatan yang dilahirkan karena undang-undang dapat terjadi dengan sendirinya tanpa persetujuan dan kehendak dari para pihak untuk terikat satu sama lain.Perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak sehingga para pihak bebas menentukan apa saja ketentuan yang perlu ada di dalam perjanjian yang dibuat. Selama ketentuan yang ada didalamnya tidak bertentangan dengan hukum dan perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik, perjanjian tersebut sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dalam perikatan, salah satu ketentuan yang juga berlaku dan mengikat para pihak adalah hukum positif di Indonesia. Hal ini karena sumber perikatan berasal dari ketentuan undang-undang sehingga perikatan bahkan dapat terjadi dan ada serta mengikat para pihak sejak diundangkannya ketentuan tersebut terlepas dari apakah para pihak setuju atau tidak dengan undang-undang yang ada. Nah, Sobat KH itulah penjelasan mengenai perbedaan perikatan dan perjanjian. Pada hakikatnya, perjanjian merupakan bagian dari perikatan sehingga tidak ada banyak perbedaan antara keduanya. Namun dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perikatan memiliki makna dan pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan perjanjian.  Bagi Sobat KH yang membutuhkan bantuan dalam pembuatan perjanjian, Kontrak Hukum dapat membantu Sobat KH dalam melakukan penyusunan berbagai macam perjanjian yang dibutuhkan. Kontrak Hukum menyediakan berbagai jasa layanan hukum yang tentunya telah terjamin hasilnya. Sobat KH tidak perlu khawatir menggunakan layanan dari Kontrak Hukum karena selain dikerjakan oleh para ahli hukum, Kontrak Hukum telah terpercaya dalam menyelesaikan permasalahan hukum secara cepat, mudah, dan terjangkau. Jangan ragu dan segera hubungi Kontrak Hukum di 0821-2555-5332 apabila ingin bertanya dan berkonsultasi mengenai perjanjian ataupun masalah hukum lainnya.

Pengertian perikatan

Perikatan (verbintenis) adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu (kreditur) berhak atas suatu prestasi, dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu. Oleh karena itu, dalam setiap perikatan terdapat “hak” di satu pihak dan “kewajiban” di pihak yang lain (Riduan Syahreni, 2009: 194).

Perikatan dikatakan sebagai hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Lebih lanjut dikatakan bahwa pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.

Buku III KUH Perdata tentang Perikatan, tidak memberikan suatu rumusan dari perikatan itu sendiri, maka dari itu pemahaman per- ikatan senantiasa didasarkan atas doktrin (ilmu pengetahuan). Menurut Badrulzaman (1982: 1) Perikatan ialah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu.

Dalam hal ini Vollmar (dalam Badrulzaman, 1982: 1) menyatakan, ditinjau dari isinya bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debi- tur) harus melakukan sesuatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur, kalau perlu dengan bantuan hakim.

Dari rumusan di atas maka unsur-unsur dari suatu perikatan terdiri atas;

  • adanya hubungan hukum,
  • kekayaan, pihak-pihak, dan prestasi.

Adapun pentingnya menyoalkan unsur-unsur tersebut adalah untuk mempertegas bahwa hukum melekatkan “hak” pada satu pihak dan me- lekatkan “kewajiban” pada pihak yang lainnya dalam hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat. Apabila ada salah satu pihak yang melang- gar hubungan tadi maka hukum dapat memaksakan supaya hubungan itu dilaksanakan.

Untuk menilai suatu hubungan hukum itu perikatan atau bukan maka terdapat ukuran atau kriteria tertentu. Dahulu yang menjadi kri- teria hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, belakangan hal itu telah ditinggalkan karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang.

Untuk menilai suatu hubungan hukum itu perikatan atau bukan maka terdapat ukuran atau kriteria tertentu. Dahulu yang menjadi kri- teria hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, belakangan hal itu telah ditinggalkan karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang.

Terhadap yang disebutkan terakhir itu, bila pelanggarnya tidak diberi sanksi maka dirasa tidak ada keadilan dalam masyarakat itu, dan hal ini bertentangan dengan salah satu dari tujuan hukum, yakni mencapai keadilan. Jadi, hubungan hukum merupakan perikatan bila memuat kriteria dapat dinilai dengan uang dan atau adanya rasa keadilan.

Sumber : buku Hukum Perikatan by I Ketut Oka Setiawan

Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.

Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi. Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.

Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.

Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHPerdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :

  1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
  2. Perikatan yang timbul undang-undang.

Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)

  1. Perikatan terjadi karena undang-undang semata.

Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber-sumber perikatan.

  1. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
  2. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

Unsur-Unsur Perikatan

  1. Hubungan hukum (legal relationship)
  2. Pihak-pihak yaitu 2 atau lebih pihak (parties)
  3. Harta kekayaan (patrimonial)
  4. Prestasi (performance)

Ad. 1. Hubungan hukum

  • Hubungan yang diatur oleh hukum;
  • Hubungan yang di dalamnya terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di lain pihak;
  • Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, dapat dituntut pemenuhannya

Hubungan hukum dapat terjadi karena :

  1. Kehendak pihak-pihak (persetujuan/perjanjian)
  2. Sebagai perintah peraturan perUUan

Dasar hukum Pasal 1233 KUHPdt “tiap-iapt perikatan  dilahirkan karena persetujuan baik karena  UU”.

Contoh A berjanji menjual sepeda motor kepada B Akibat dari janji, A wajib menyerahkan sepeda miliknya kepada B dan berhak menuntut harganya sedangkan B wajib menyerahkan harga sepeda motor itu dan berhak untuk menuntut penyerahan sepeda.

Dalam contoh diatas apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban maka hukum “memaksakan” agar kewajiban-kewajiban tadi dipenuhi.

Perlu dicatat tidak semua hubungan hukum dapat disebut perikatan. Contoh kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan.

Artinya adalah setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang lingkup batasan hukum perikatan.

Ad. 2. Pihak-pihak (subjek perikatan)

  1. Debitur adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi atau Pihak yang memiliki utang (kewajiban)
  2. Kreditur adalah Pihak yang berhak menuntut pemenuhan suatu prestasi  atau pihak yang memiliki piutang (hak)

Pihak-pihak (debitur kreditur) tidak harus “orang” tapi juga dapat berbentuk “badan”, sepanjang ia cakap melakukan perbuatan hukum.

Pihak-pihak (debitur kreditur) dalam perikatan dapat diganti. Dalam hal penggantian debitur harus sepengatahuan dan persetujuan kreditur, untuk itu debitur harus dikenal oleh kreditur agar gampang menagihnya misalnya pengambilalihan hutang (schuldoverneming) sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak.

Seorang kreditur mungkin pula mengalihkan haknya atas prestasi kepada kreditur baru, hak mana adalah merupakan hak-hak pribadi yang kwalitatif (kwalitatiev persoonlijke recht), misalnya A menjual sebuah mobil kepada B, mobil mana telah diasuransikan kepada perusahaan asuransi. Dengan terjadinya peralihan hak milik dari A kepada B maka B sekaligus pada saat yang sama B mengambil alih juga hak asuransi yang telah melekat pada mobil tersebut. Perikatan yang demikian dinamakan perikatan kwalitatif dan hak yang terjadi dari perikatan demikian dinamakan hak kwalitatif.

Selanjutnya seorang debitur dapat terjadi karena perikatan kwalitatif sehingga kewajiban memenuhi prestasi dari debitur dinamakan kewajiban kwalitatif, misalnya seorang pemilik baru dari sebuah rumah yang oleh pemilik sebelumnya diikatkan dalam suatu perjanjian sewa menyewa, terikat untuk meneruskan perjanjian sewa menyewa.

Dalam suatu perjanjian orang tidak dapat secara umum mengatakan siapa yang berkedudukan sebagai kreditur/debitur seperti pada perjanjian timbal balik (contoh jual beli). Si penjual adalah kreditur terhadap uang harga barang yang diperjual belikan, tetapi ia berkedudukan sebagai debitur terhadap barang (objek prestasi) yang perjualbelikan. Demikian sebaliknya si pembeli berkedudukan sebagai debitur terhadap harga barang kreditur atas objek prestasi penjual yaitu barang yang diperjualbelikan.

Ad. 3. Harta kekayaan

Harta kekayaan sebagai kriteria dari adanya sebuah perikatan. Tentang harta kekayaan sebagai ukurannya  (kriteria) ada 2 pandangan yaitu :

  1. Pandangan klasik : Suatu hubungan dapat dikategorikan sebagai perikatan jika hubungan tersebut dapat dinilai dengan sejumlah uang
  2. Pandangan baru : Sekalipun suatu hubungan tidak dapat dinilai dengan sejumlah uang, tetapi jika masyarakat atau rasa keadilan menghendaki hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum akan meletakkan akibat hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan

Ad. 4. Prestasi (objek perikatan)

Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Prestasi merupakan objek perikatan. Dalam ilmu hukum kewajiban adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat kontraktual/perjanjian (perikatan). Hak dan kewajiban dapat timbul apabila terjadi hubungan antara 2 pihak yang berdasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian (perikatan). Jadi selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada beban kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya (prestasi).

Selanjutnya kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat adanya kontrak, melainkan dapat pula muncul dari peraturan hukum yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Kewajiban disini merupakan keharusan untuk mentaati hukum yang disebut wajib hukum (rechtsplicht) misalnya mempunyai sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor, dll

Bentuk-bentuk prestasi (Pasal 1234 KUHPerdata) :

  1. Memberikan sesuatu;
  2. Berbuat sesuatu;
  3. Tidak berbuat sesuatu

Memberikan sesuatu misalnya pemberian sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai (menyewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak. Berbuat sesuatu misalnya membangun rumah. Tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika menjual apotiknya, untuk tidak menjalankan usaha apotik dalam daerah yang sama. Ketiga prestasi diatas merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur.

Ketiga prestasi diatas mengandung 2 unsur penting :

  1. Berhubungan dengan persoalan tanggungjawab hukum atas pelaksanaan prestasi tsb oleh pihak yang berkewajiban (schuld).
  2. Berhubungan dengan pertanggungjawaban pemenuhan tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban utk memenuhi kewajiban tsb (Haftung)

Syarat-syarat prestasi :

  1. Tertentu atau setidaknya dapat ditentukan;
  2. Objeknya diperkenankan oleh hukum;
  3. Dimungkinkan untuk dilaksanakan

Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar utang sedangkan haftung adalah kewajiban debitur membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna pelunasan hutangnya apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar hutang tersebut.

Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak menagih hutang piutang tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, disamping hak menagih hutang (vorderingsrecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar hutangnya maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur sebesar piutangnya pada debitur itu (verhaalsrecht).

Azas-azas dalam hukum perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

  1. Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
  2. Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah :

  1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
  2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
  3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
  4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum

Wanprestasi dan Akibat-akibatnya

Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
  3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :

  1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)

Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni:

  1. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
  2. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
  3. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
  4. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian

Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.

Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.