Mengapa salah satu agenda reformasi Indonesia 1998 adalah otonomi daerah yang seluas-luasnya sebab?

Mengapa salah satu agenda reformasi Indonesia 1998 adalah otonomi daerah yang seluas-luasnya sebab?
Judul : Reformasi Kebijakan Publik Perspektif Makro dan Mikro
Penulis : Hayat, dkk.
Penerbit : Prenada Media Group
Cetakan : 2018
Tebal : 344 halaman
Peresensi : Viki Anggraeni Ayu V.
Mahasiswa dari Universitas Islam Malang.

Reformasi Kebijakan Publik dalam kata reformasi dapat kita pahami memiliki arti sebuah perubahan dimana perubahan yang dimaksud yaitu sebuah perubahan yang membawa suatu kondisi menjadi lebih baik. Reformasi kebijakan publik sendiri lebih berorientasi pada kebijakan, sistem dan tatanan pemerintah. Suatu perubahan yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat yang mencakup khalayak luas, perubahan yang diharapkan mampu untuk mencapai tujuan bersama dan nantinya perubahan itu dapat kita lihat apakah berdampak baik atau malah sebaliknya. Seperti halnya dapat kita flashback tentang Sejarah Indonesia terkait bergulirnya Reformasi pada tahun 1998 yang telah menimbulkan sebuah perubahan besar pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sebuah peristiwa sejarah yang fundamental bagi perjalanan bangsa Indonesia karena pada masa itu sebuah perubahan besar tejadi dari beralihnya Masa Orde Baru ke Masa Reformasi hingga saat ini, yang akhirnya melahirkan sebuah amanat reformasi 1998 yaitu Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam amandemen tersebut terdapat pasal-pasal krusial yang salah satunya adalah pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi tentang beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah dan menjadi payung hukum dalam implementasi otonomi daerah dan juga tentang pelaksanaan desntralisasi di Indonesia, beberapa perubahan yang terjadi pada peristiwa tersebut dinamakan sebagai reformasi birokrasi. Reformasi Kebijakan pada dasarnya menganut sistem desentralisasi dimana semua kegiatan pemerintahan atas tugas dan wewenangnya dibagi antara pusat dan daerah, sistem ini menyeimbangkan antara urusan pusat dan daerah yang memiliki porsinya masing-masing. Pada masa orde baru otonomi daerah diseragamkan dengan semua daerah yang menyebabkan sebuah pemerintah daerah tidak dapat berkembang dikarenakan keseragaman yang tidak cocok dengan ciri-ciri negara Indonesia yang memiliki banyak perbedaan yang disebut “Bhineka Tunggal Ika”. Karena semua jenis urusan dilimpahkan kepada daerah dan diimplementasikan seragam, akibatnya daerah tidak berdaya dan tidak berkembang dalam melaksanakan otonomi yang sifatnya semu dan simetris. Pada masa orde baru melalui UU no. 5 tahun 1979 tentang desa, pada peraturan tersebut desa tidak memiliki otonomi untuk diberdayakan dan dikembangkan guna menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Namun, pada periode UU no. 22 tahun 1999 dan UU no. 32 tahun 2004, posisi desa sudah dibenahi oleh pemerintah dengan mengeluarkan PP no. 76 tahun 2001 yang kemudian digantikan dengan PP no. 72 tahun 2005. Dengan demikian pada pemerintahan yang baru dibuatlah Undang-Undang khusus yang mengatur tentang desa, yaitu UU No. 6 Tahun 2014. Dengan peraturannya yang baru ini membuat desa lebih berkembang dan berdaya dalam mejalankan pemerintahan dan pembangunan karena desa memiliki otonomi sendiri melalui pemberian bantuan dana desa melalui Alokasi Dana Desa oleh pemerintah pusat yang diharapkan dapat memicu pembangunan yang cepat dan merata diseluruah tanah air. Pemerintahan desa umumnya meliputi kelurahan, rukun warga hingga rukun tetangga. Kecamatan menjadi pemerintahan pusat yang mengkoordinator desa-desa yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan adanya pemerintahan desa, pembangunan dirasa lebih cepat dan merata berkat bantuan dana desa, dan hal tersebut memudahkan pemerintah dalam memonitor dan mengatur daerah. Pembangunan desa pun hendaknya tidak hanya menjadikan desa sebagai objek pembanguan tetapi sekaligus menjadikan desa sebagai subjek pembanguan yang mantap, artinya subjek pembangunan adalah desa secara keseluruhan meliputi potensi manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), dan teknologinya, serta mencakup segala aspek kehidupan dan penghidupan yang ada di pedesaan (Rozaki, 2005:7). Sehingga menjadikan desa memiliki klasifikasi desa swasembada, yaitu desa yang berkembang dimana taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya meningkat. Swasembada desa tentunya penting sekali ditunjang oleh sumber daya manusia yang mumpuni oleh sebab itu perlu dilakukan kegiatan-kegiatan yang merubah pola pikir masyarakat setempat agar lebih berkembang dan inovatif. Kegiatan perubahan ini biasa disebut juga pemberdayaan, yaitu kegiatan yang dilakukan atas pemberkuasaan maksudnya kegiatan yang dilakukan atas kemauan sesorang yang memiliki kekuasaan yang terlepas dari keinginan dan minat mereka. Memang pemberdayaan ini bersifat sedikit memaksa namun pemaksaan untuk hal yang positif, karena dalam kegiatan pemberdayaan ini masyarakat memperoleh ilmu-ilmu tentang bagaimana cara mengelola sumber daya yang berpotensi disekitarnya. Dengan adanya kegiatan pemberdayaan ini diharapkan mampu merealisasikan strategi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kegiatan pemberdayaan melibatkan tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta dan warga desa. Otonomi daerah memang dapat membawa perubahan positif dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur urusan daerahnya sendiri. Tentunya sistem desentralisasi inilah yang sangat diimpikan oleh daerah-daerah di Indonesia karena pada masa orde lama dan orde baru tidak ada yang namanya otonomi daerah, semua urusan terpusat dengan menganut sistem sentralisasi dan itu yang membuat daerah merasa tertinggal karena pemerintahan pusat sibuk dengan urusan negara dan tidak peduli dengan urusan daerah. Dengan adanya otonomi daerah ini banyak dampak positif yang didapat namun juga ada dampak negatifnya yaitu salah satunya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Berdasarkan data Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) sejak tahun 2005 hingga sekarang, jumlah bupati/walikota/gubernur yang terjerat korupsi mencapai 297 kepala daerah. Data berbeda tetapi dengan substansi yang sama dilansir oleh Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mencatat dalam rentang kurun 10 tahun terakhir atau dari tahun 2004-2013, ada 42 kepala daerah yang terjerat kasus hukum. Angka itu terdiri dari gubernur 8 orang, walikota 10 orang, wakil walikota 1 orang, bupati 22 orang, dan wakil bupati 1 orang (Eputar Indonesia, 2 Agustus 2013,4). Desentralisasi yang merupakan amanah UU No. 22 tahun 1999 bagaimana telah diubah dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, yang mengubahn pandangan kita tentang bagaimana keefektifan serta efisiennya kegiatan pemerintah daerah dengan adanya Otonomi Daerah namun malah melahirkan para koruptor dikalangan daerah. Korupsi yang awalnya dilakukan oleh para pejabat yang ada dipusat karena pada saat itu semua urusan negara dan semua urusan pemerintah dijalankan oleh pusat dengan menganut sistem Sentralisasi atau terpusat. Jadi apakah kegiatan pemerintahan daerah dengan adanya Otonomi Daerah dapat dinilai positif atau malah sebaliknya ? jawabannya terdapat pada buku Reformsi Kebijakan Publlik Perspektif Makro dan Mikro dengan berbagai macam teori dari para ahli dibidang administrasi publik, kebijakan publik dan birokrasi. Buku ini juga dilengkapi dengan contoh implementasi dari beberapa teori terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dimana ini membantu menemukan titik permasalahan yang dapat dijadikan bahan evaluasi untuk diterapkan pada kebijakan selanjutnya. Buku ini juga dapat menjadi referensi bagi para akademisi, tenaga pengajar maupun mahasiswa untuk bisa diterpkan pada sektor publik.

————- *** ————–

Tahun 2018, memasuki 20 tahun usia Reformasi. Pada moment bersejarah ini berbagai elemen masyarakat dan organisasi buruh, petani, bantuan hukum, aktivis HAM, jaringan solidaritas untuk korban pelanggaran HAM, lingkungan hidup, jurnalis, organisasi perempuan hingga organisasi LGBTIQ-memberikan catatan refleksi 20 tahun perjalanan Reformasi. Catatan Refleksi 20 Tahun Reformasi merupakan rangkuman dari berbagai laporan yang disusun oleh Panitia Bersama 20 Tahun Reformasi.

Catatan refleksi ini menjadi penting karena mengingat lahirnya Reformasi 1998 tidak terlepas dari perjuangan rakyat yang menolak situasi dan sistem otoriter dibawah kendali Soeharto dan kroni-kroninya telah menyeret bangsa Indonesia kedalam situasi demokrasi dan hak asasi manusia paling buruk yang dampaknya masih dirasakan hingga saat ini.

Oleh karena itu menjadi penting mengingatkan publik dan mendesak negara agar tidak abai terhadap agenda-agenda Reformasi. Setidaknya ada 6 [enam] Agenda Reformasi yang harus dijalankan oleh pemerintahan di era Reformasi, antara lain; [1] Adili Soeharto dan kroni-kroningnya; [2] Amandemen UUD 1945; [3] Hapuskan Dwi Fungsi ABRI; [4] Hapuskan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; [5] Otonomi Daerah seluas-luasnya; [6] Tegakkan Supremasi Hukum.

Kilas Balik Reformasi
Soeharto mengawali rezim Orde Baru dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia [HAM] berat yakni peristiwa 1965/66. Peristiwa 1965/66 adalah salah satu luka sejarah bangsa Indonesia yang sampai saat ini belum terselesaikan. Para korban yang pernah dipenjara serta disiksa tanpa mendapatkan peradilan yang adil. Kondisi serupa juga dialami oleh para korban pelanggaran HAM berat lainnya, seperti korban Tragedi 1998, penculikan para aktivis pro-demokrasi, penembakan mahasiswa Trisakti, dan kekerasan 13-15 Mei 1998, korban kasus Timor-Timur, Operasi Militer di Aceh dan Papua, Tanjung Priok, penembakan misterius, Talangsari, 27 Juli, pembunuhan aktivis buruh Marsinah, pemerkosaan terhadap perempuan tahun 1998, dan sebagainya.

Orde Baru adalah orde dimana Korupsi, Kolusi & Nepotisme [KKN] mendapat ruang seluas-luasnya; pejabat negara baik di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif diisi oleh kroni-kroni Soeharto [isteri, anak, menantu, saudara dan orang-orang pilihannya] yang menunjukan besarnya KKN pada masa ini. Pembangunan menjadi ladang korupsi. Pada tahun 1996 – 1998 kondisi ekonomi memburuk, harga sembilan bahan makanan pokok tinggi dan langka, bunga bank tinggi, dan nilai dollar AS menembus angka lebih dari Rp 15.000,-.

Kondisi-kondisi di atas memicu aktivis pro-demokrasi, mahasiswa, dan kelompok perempuan berdemonstrasi menuntut turunnya Soeharto dari jabatan presiden dan dari hari ke hari gelombang demonstrasi semakin membesar. Meskipun demikian Sidang Umum MPRRI, yang keanggotaannya adalah hasil Pemilu 1997, pada bulan Maret tahun 1998 memutuskan mengangkat kembali Soeharto menjadi presiden.

Tahun 1998-1999 situasi di Jakarta seperti perang. Para demonstran tidak hanya menuntut turunnya Soeharto dari jabatan presiden tetapi juga menuntut adanya perubahan sistem pemerintahan yang demokratis. Aparat keamanan ABRI [TNI/Polri] yang dipersenjatai dengan alat-alat berat untuk perang disiapkan untuk menghadapi langsung para demonstran. Banyak korban berjatuhan, para aktivis diculik, sebagian kembali sebagian hilang tanpa jejak  pun masyarakat sipil banyak yang menjadi korban baik yang luka-luka maupun meninggal dunia.

Gelombang demonstrasi terus meninggi, kerusuhan dan penjarahan menjulur ke penjuru juga pelosok Indonesia, perempuan banyak menjadi korban perkosaan sepanjang kerusuhan hingga akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden dan menunjuk Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya. Para mahasiswa masih terus berjuang/berdemonstrasi untuk mengawal pelaksanaan 6 agenda reformasi.

Refleksi 20 Tahun Reformasi
Setelah Soeharto mundur dari kursi Presiden pada 21 Mei 1998, BJ. Habibie naik jabatan menjadi Presiden. Dalam masa transisi ini, terjadi kasus Tragedi Semanggi II dimana 4 orang mahasiswa harus kembali meregang nyawa. Pada tahun 1999 mahasiswa dan aktivis pro-demokrasi berdemonstrasi menolak Rancangan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya [RUU PKB] karena melegitimasi aparat melakukan tindak kekerasan terhadap masyarakat sipil. Pada 24 September 1999 RUU PKB disahkan oleh DPR RI.

Terjadinya pergantian Presiden setelah tahun 1998 belum mampu memberikan jawaban pelaksanaan 6 Amanat Reformasi sesuai dengan kehendak rakyat. KKN, Pelanggaran HAM, militerisme masih terjadi. Bahkan, intoleransi, radikalisme, dan terorisme kian tumbuh dalam periode 2000 s.d. 2018. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Abepura, Wasior-Wamena, pembunuhan Theys Hiyo Eluay, pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, penerapan Darurat Militer di Aceh, dan kasus-kasus lainnya yang tidak tersuarakan.

Oktober 1999 Abdurrahman Wahid [Gus Dur] menggantikan BJ Habibie. Terdapat banyak kebijakan yang pro-rakyat yang dilahirkan dari pemerintahan Gus Dur yang singkat antara lain keseriusan Gus Dur dalam pemberantasan korupsi dengan  membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya. Gus Dur juga membuat keputusan yang berani yakni mengembalikan ABRI/TNI ke barak, dwifungsi ABRI tak lagi diberlakukan. Polisi tidak lagi berada dalam satu tempat yang sama dengan TNI.

Penghapusan dwifungsi ABRI memiliki makna menghilangkan militer dari seluruh bagian sipil. Sayangnya, watak militerisme belum hilang 100%. Masih ada saja usaha militer untuk kembali menunjukan kekuasaannya. Bahkan, watak militerisme masuk ke dalam masyarakat sipil yang mengusahakan kembalinya militer dalam struktur pemerintahan maupun undang-undang. Beberapa usaha mendorong militer yang sudah dilakukan seperti Tentara Manunggal Masuk Desa, program Bela Negara yang diusahakan masuk dalam sekolah dan perguruan tinggi, turunnya militer dalam pengamanan kawasan industri, MOU Polisi dan TNI untuk pengamanan, rencana digunakannya TNI untuk memberantas terorisme lewat Revisi UU Terorisme dan dibenarkannya penggunaan kekuatan TNI dalam penggusuran oleh Mahkamah Konstitusi. Bukan hanya itu, militer kini kembali memasuki ranah sipil lainnya seperti olah raga. PSSI dipimpin oleh TNI aktif pada saat terpilih, bahkan TNI sempat membentuk PS TNI yang berisi anggota TNI aktif sebagai pemain. Pencitraan TNI yang seolah mau bersatu dengan masyarakat sipil tidak menghilangkan watak militerisme. Lihat saja, beberapa kali suporter PS TNI yang terdiri dari perwira aktif terlibat kerusuhan antar suporter pada saat pertandingan.

Penegakan supremasi hukum pasca 20 tahun reformasi belum dapat dikatakan sesuai dengan harapan. Ada beberapa capaian penegakan supremasi hukum yang didapat dalam 20 tahun reformasi. Capaian tersebut seperti adanya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun  1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan Hak Asasi Manusia, diratifikasinya berbagai instrumen HAM termasuk Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, terbentuknya beberapa lembaga seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Lembaga Perlindungan Saksi, dan Korban, serta Ombudsman RI. Hal ini menjadi angin segar untuk penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Hal ini menunjukan adanya keinginan untuk menjadikan hukum dan Hak Asasi Manusia [HAM] sebagai dasar atas pengambilan keputusan di Indonesia.

Dalam aspek hak asasi manusia, janji untuk penuntasan pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah secara serius dilakukan. Baru ada pengadilan HAM Adhoc terkait Kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura dengan hasil yang diluar nalar keadilan. Sisanya kasus-kasus pelanggaran HAM mandek di Kejaksaan Agung. Aksi Kamisan yang diikuti oleh para penyintas atau korban pelanggaran HAM sudah memasuki aksi ke-539 kali. Janji penuntasan pelanggaran HAM masa lalu diingkari dengan mengangkat beberapa orang yang diduga kuat melanggar HAM oleh pemerintahan saat ini.

Di sisi lain potensi pelanggaran HAM dan pelemahan supremasi hukum makin meningkat. Beberapa faktor antara lain dikeluarkannya Perppu Ormas, UU MD3, dan RKUHP yang isinya tidak berdasarkan HAM dan keadilan. Selain itu, pasal penodaan agama masih dipertahankan dan menyasar siapapun, kriminalisasi atas tindakan aktivisme dan kebebasan berekspresi masih terjadi, penyiksan [torture] masih menjadi budaya kepolisian sementara Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang mengatur ganti rugi terhadap korban salah tangkap tidak berjalan efektif, kegiatan menyatakan pendapat dan berkumpul semakin dipersulit oleh kepolisian, SARA menjadi komoditas politik di setiap pilkada bahkan pilpres, ujaran kebencian menguat antar kelompok dan kepada kelompok minoritas. Penggusuran paksa dan perampasan tanah masyarakat adat masih menjadi cara pemerintah dalam pembangunan tanpa mengindahkan hukum dan HAM. Pembangkangan terhadap hukum masih terjadi seperti kasus Petani Kendeng, Ujian Nasional, Privatisasi Air, dan beberapa kasus penggusuran paksa yang terjadi.

Hingga saat ini, pemerintah masih menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998. Hingga saat ini pula, tidak ada proses hukum yang berjalan untuk menengakkan keadilan yang sesungguhnya bagi korban pelanggaran HAM terkait perkosaan Mei 1998. Pengakuan adalah hal pertama yang dituntut perempuan korban dan keluarganya. Dari sinilah pemenuhan hak korban dan keluarganya baru dapat dipenuhi. Meski investigasi dan upaya pengungkapan fakta kekerasan seksual Mei 1998 telah diupayakan, salah satunya oleh Komnas Perempuan sebuah lembaga negara yang didirikan berdasarkan surat keputusan presiden BJ Habibie setelah kelompok perempuan mendesak agar negara mengambil sikap atas kasus perkosaan massal pada Mei 98. Negara masih belum menjalankan komitmennya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Mei 1998 termasuk  dalam kasus perkosaan massal terhadap perempuan di waktu itu.

Dalam aspek perburuhan, terdapat beberapa hal yang masih harus dilakukan. Pertama, memperjuangkan kebebasan berserikat [buruh] melalui UU 21/2000. Secara normatif hak berserikat dilindungi, namun secara praktik, banyak bermunculan kasus pemberangusan serikat yang menimpa pengurus maupun anggota yang aktif mengkritisi kebijakan perusahaan, baik lewat jalan PHK maupun kriminalisasi. Buruh dipecah oleh pembentukan serikat yang diinisiasi oleh perusahaan untuk mendukung perusahaan dan menghancurkan serikat buruh kritis. Kedua, memperjuangkan politik upah layak yang mandek. Sempat terjadi perbaikan dengan penambahan komponen Kebutuhan Hidup Layak [KHL] dari 46 komponen, menjadi 60 pada komponen, namun demikian dengan adanya Peraturan Pemerintah No 78/2015, justru menggerus capaian tersebut. Ketiga, memperjuangkan penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Kerja kontrak hingga kini tetap dilegalkan bahkan diperparah dengan adanya sistem outsourcing.  Keempat, pembentukan desk pidana perburuhan sebagai salah satu alternatif perjuangan hak buruh. Pembentukan desk pidana perburuhan terhambat oleh sistem di kepolisian yang masih menganggap kasus perburuhan diselesaikan lewat jalur penyelesaian hubungan industrial, walau dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan beberapa UU lainnya mengatur hukuman pidana perburuhan. Kelima, perbaikan sistem pengawasan Ketenagakerjaan. Pengawas ketenagakerjaan punya peran penting untuk memastikan hak-hak normatif buruh terpenuhi. Namun, kinerja pengawas saat ini dianggap tidak ada kekuatannya untuk menindak perusahaan-perusahaan nakal pelanggar hak-hak buruh. Keenam, perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, pekerja migran, pekerja rumahan, pekerja industri kreatif dan media, wartawan, dan pelaut. Diperlukan adanya perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan buruh agar buruh dari seluruh sektor dapat terlindungi hak-haknya, termasuk hak normatif maupun K3.

Pada persoalan Sumber Daya Alam [SDA] era reformasi yakni desentralisasi melalui terbitnya Undang-Undang Otonomi Daerah, izin usaha pertambangan yang dikeluarkan per daerah meningkat tajam. Tujuan dari desentralisasi sebenarnya untuk memberikan daerah wewenang untuk membangun daerah masing-masing sesuai dengan daya dukung wilayah. Akan tetapi, desentralisasi justru ditunggangi untuk kepentingan-kepentingan beberapa kelompok saja seperti kepala daerah dan pengusaha-pengusaha lahan skala besar. Reformasi juga melanjutkan pembangunan-pembangunan sebelumnya di Era Suharto, pembangunan pasca reformasi tidak memperhatikan keselamatan rakyat dan lingkungan. Pembangunan Era Suharto, seperti Waduk Kedung Ombo yang menenggelamkan lebih dari 20 desa yang berada di sekitar pembangunan waduk seluas 5.900 hektar dan merampas lahan serta ruang hidup lebih dari 30.000 jiwa. Nyatanya, fenomena perampasan lahan, pengusiran masyarakat dan eksploitasi SDA masih terjadi hingga sekarang.

Praktik penggusuran tempat tinggal yang dianggap ilegal oleh negara meskipun warga sudah menempati tempat tinggal puluhan tahun, praktik penggurusan pedagang kaki lima yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Negara melakukan praktik penggusuran umumnya apabila hendak melakukan pembangunan-pembangunan yang menguntungkan pihak pemodal seperti pembangunan bandar udara, pembangunan daerah hunian ekslusif maupun area bisnis dengan menggusur nelayan dalam melakukan reklamasi teluk-teluk laut. Penggusuran-penggusuran kerap kali dilakukan dengan cara-cara kekerasan dan menghilangkan nyawa warganegara. Selain penggusuran, terdapat 37 proyek reklamasi yang ambisius antara lain reklamasi teluk Jakarta, teluk Benoa Bali, pantai Losari Makassar, yang merupakan  pelanggaran terhadap konstitusi, peraturan perundang-undangan, maupun prosedur formal.

Situasi HAM di Papua terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang tak kunjung selesai. Seiring menguatnya tuntutan hak menentukan nasib sendiri [self-determination], warga sipil rentan menjadi korban berbagai bentuk pelanggaran HAM, seperti represi atas kebebasan berekpresi dan berkumpul, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan dan bentuk pelanggaran lainnya. Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi mengabaikan tuntutan warga akan keadilan. Selain itu, pendekatan keamanan masih terus dipertahankan pemerintah. Sehingga alih-alih memulihkan rasa keadilan bagi masyarakat di sana, pendekatan keamanan tersebut justru menyapu permasalahan mendasar yang terjadi di Papua. Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua menjadi terus memburuk, bahkan pelakunya pun menjadi semakin kebal, seiring dengan ketatnya pembatasan hak atas informasi yang masuk maupun keluar Papua. Di sisi lain, endemi ini juga bertransformasi menjadi epidemi kelaparan, kemiskinan, gizi buruk, hingga kematian massal seperti yang terjadi di Semanage, Yahukimo-Papua, hari ini.

Perampasan lahan yang dilakukan oleh negara juga menjadi kasus pelanggaran HAM berat yang tak kunjung usai dan terus dilakukan oleh negara. Misalkan; Perampasan lahan di Mesuji, Lampung yang banyak mengorbankan nyawa warga, perampasan lahan di pegunungan Kendeng demi pendirian pabrik semen, perampasan lahan di Kulon Progo untuk proyek pembangunan Bandar udara adalah salah sedikit contoh dari perampasan lahan menggunakan kekerasan dengan tangan aparat keamanan termasuk militer. Praktik-praktik perampasan lahan, penggusuran, reklamasi adalah praktik yang sarat dengan keluarnya izin-izin pertambangan baru, izin-izin pendirian sentra bisnis dan areal perkembangan bisnis lainnya.

Sementara itu, negara tidak juga menunjukkan keseriusannya dalam upaya pemberantasan kasus korupsi. Di tingkat global, penilaian atas upaya pemberantasan korupsi selalu menempati urutan sebagai negara terkorup. Hasil survei Corruption Perception Index [CPI] 20 tahun yang lalu [1998] menempati urutan ke-80 dari 85 negara yang disurvei dengan skor 2.0. Sepuluh tahun kemudian [2008],, penilaian CPI atas kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia hanya bergeser sedikit menjadi 2.6 dengan menempati posisi ke-126 dari 180 negara yang disurvei.  Skor Corruption Perception Index [CPI] Indonesia tahun 2017 ini adalah 37 dan berada diperingkat 96 dari 180 negara yang disurvei. Hal berarti skor CPI  Indonesia berada pada poin yang sama dengan tahun lalu, tahun 2016. Skor CPI berada pada rentang 0-100. 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan bersih dari korupsi. CPI Indonesia tahun 2017 berada di skor 37. Angka ini sama dengan perolehan skor tahun 2016. Hal ini menunjukkan stagnasi upaya berbagai pihak, khususnya Pemerintah, kalangan politisi dan pebisnis, dalam usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pengebirian atas hak kebebasan berekspresi dan berpendapat juga dilakukan oleh negara dengan membuat peraturan berupa perundang-undangan tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [UU ITE]. Southeast Asia Freedom of Expression Network [SAFEnet] merilis data banyaknya aktivis yang dijerat dengan UU ITE; aktivis antikorupsi, aktivis lingkungan, dan jurnalis merupakan tiga kelompok yang paling rentan dipidanakan dengan UU ini dan setidaknya terdapat 35 orang aktivis yang dijerat dengan pasal karet UU ITE sejak tahun 2008, 28 aduan di antaranya terjadi pada tahun 2014 sampai sekarang.

Pengebirian kebebasan berpendapat dan berekspresi menyumbang pada buntunya proses demokratisasi kita. Ditambah lagi dengan Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Undang-Undang MD3] pada tanggal 12 Febuari 2018 yang telah resmi diundangkan pada tanggal 15 Maret 2018, meski Presiden mengelak turut serta mengesahkan juga menyumbang kemunduran proses demokratisasi di era reformasi ini. UU MD3 memberikan ruang bagi para wakil rakyat di DPR RI menjadi kebal terhadap hokum, tak dapat dikritik dan direndahkan martabatnya.

Pelanggaran HAM atas warganegara dengan orientasi seksual & identitas gender lainnya yang biasa dikenal dengan Lesbian, Gay, Biseksual & Transgender [LGBT] juga meningkat. Pembubaran training pada februari 2016 oleh sepasukan polisi, pembubaran pentas seni dan olahraga pada januari 2017 di Sulawesi Selatan oleh polisi, penutupan paksa salon-salon waria di Banda Aceh.  Pernyataan inkonsitusional yang dilakukan oleh aparatur negara menyasar kelompok LGBT yang menambah kerentanan kelompok tersebut. Data dan angka menunjjukan bahwa 2014-2018 adalah tahun yang paling berat bagi pelanggaran HAM bagi kelompok LGBT.

Dalam hal penanganan terorisme, negara justru merespon dengan kebijakan yang tidak mengedepankan HAM melainkan tindakan kekerasan dan menekan kebebasan sipil, padahal membuka ruang demokrasi yang luas dan kebebasan sipil adalah langkah penting untuk mencegah terorisme. Pemerintah justru mengumumkan diaktifkannya kembali Komando Operasi Khusus Gabungan TNI [Koopsusgab TNI] untuk mengatasi tindakan terorisme, kebijakan yang tidak memiliki payung hukum terlebih UU TNI memberikan batasan keterlibatan TNI di luar urusan pertahanan.

Perspektif pemidanaan dan pelanggaran HAM yang kental yang dijadikan landasan dalam hukum pidana dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana [RKUHP]. Hukum Pidana seharusnya berazas ultimum remedium bukan justru mengedepankan pemidanaan. Rancangan ini terdapat banyak sekali persoalan mulai dari menghidupkan kembali pasal-pasal tentang penghinaan presiden yang kerap digunakan oleh orde baru untuk menarget para aktivis yakni pasal-pasal penghinaan kepala negara dan pemeintahan. Pasal-pasal kodifikasi UU Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang berpotensi membonsai kewenangan lembaga independen negara ;KPK untuk menegakkan upaya pemberantasan korupsi sebagaimana kewenangannya  yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor. Tidak hanya itu, RKUHP juga berpotensi melanggar hak privat kehidupan warga negara dimana terdapat banyak sekali pasal yang akan mengatur ranah pribadi kehidupan warganegara.

Kesimpulan Bila ditinjau satu persatu, pelaksanaan 6 agenda reformasi gagal dilaksanakan dengan sempurna. Watak orde baru masih terus menghantui para pejabat negara. Sebagai contoh, misalnya: 1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya. Pengadilan tidak berhasil mengadili mantan Presiden Soeharto hingga tuntas, terganjal oleh adanya pernyataan sakit permanen, kemudian meninggal dunia. Sementara untuk para pelaku yang lainnya hingga kini masih menikmati impunitas. 2. Berantas KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Tindak pidana korupsi masih juga merajalela, bahkan melanda generasi muda pemegang kekuasaan di berbagai tingkat. 3. Tegakkan supremasi hukum. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas karena adanya jual beli perkara di lembaga penegak hukum. Dan, berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM menggantung selama belasan tahun di Kejaksaan Agung lantaran takut untuk menindaklanjuti. 4. Cabut Dwifungsi ABRI. Munculnya berbagai MoU antara TNI dengan berbagai instansi terkait berbagai hal yang tidak terkait dengan pertahanan. Nota Kesepahaman antara Kepolisian dan TNI nomor B/2/I/2018 dan nomor Kerma/2/1/2018 mengukuhkan kembalinya TNI sebagai pelaksana tugas di berbagai lembaga negara melalui MoU sebagai jembatannya. 5. Laksanakan otonomi daerah seluas-luasnya. Ternyata memunculkan raja-raja kecil di daerah dimana tidak sedikit yang tertangkap tangan oleh KPK.

6. Amandemen UUD 1945. Telah dilakukan sebanyak 4 kali, tetapi tidak memberikan jaminan bagi terwujudnya reformasi di berbagai bidang. Kemudian justru muncul gerakan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli.