Model in vitro farmakokinetik obat setelah PEMBERIAN secara bolus intravena paracetamol

You're Reading a Free Preview
Pages 6 to 10 are not shown in this preview.

You're Reading a Free Preview
Pages 14 to 23 are not shown in this preview.

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA MODEL IN VITRO FARMAKOKINETIK OBAT SETELAH PEMBERIAN SECARA BOLUS INTRAVENA Rabu, 3 Mei 2017 Kelompok 2, Shift D Pukul 13.00 – 16.00 WIB Nama NPM Tugas 1. Ike Susanti 260110140130 Alat, Bahan, Prosedur 2. Aliya Azkia Zahra 260110140132 Data Pengamatan 3. Maulida Aguslestari 260110140133 Tujuan Prinsip 4. Kelvin Aldrin 260110140134 Pembahasan Fairuz Nabilah Sy. 260110140135 Pembahasan 6. Rasyida Indriasari 260110140136 Data Pengamatan 7. Ellena Maggyvin 260110140137 Editor, Simpulan 8. Safira Annissa 260110140138 Teori Dasar 9. Nadzir Rangga L. 260110140139 Pembahasan 5. LABORATORIUM BIOFARMASETIKA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2017 MODEL IN VITRO FARMAKOKINETIK OBAT SETELAH PEMBERIAN SECARA BOLUS INTRAVENA I. TUJUAN 1. Memahami proses in vivo dan perkembangan kadar obat dalam darah setelah pemberian obat secara bolus intravena. 2. Mampu memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala semilogarithma. 3. Mampu menentukan berbagai parameter farmakokinetika obat yang berkaitan dengan pemberian obat secara bolus intravena. II. PRINSIP 1. Kompartemen Pada model 1 kompartemen, obat menganggap tubuh seperti 1 ruang yang sama dimana obat secara cepat terdistribusi ke semua jaringan. Pada model 2 kompartemen, obat menganggap tubuh seperti 2 bagian:  Kompartemen sentral: organ2 dimana perfusi darahnya cepat (misalnya hati, ginjal)  Kompartemen perifer: organ2 dimana perfusi darahnya lambat (misalnya otot, lemak) (Tan, et.al. 2007) 2. Ekstrasellular dan intrasellular Cairan intraseluler adalah cairan yang berda di dalam sel di seluruh tubuh, sedangkan cairan akstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu : cairan intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairan intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem vaskuler, cairan intersitial adalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan cairan traseluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna ( Neal. 2006). 3. Intravena bolus Injeksi intravena (bolus) adalah pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam pembuluh darah vena atau melalui karet selang infuse dengan menggunakan spuit. Sedangkan pembuluh darah vena adalah pembuluh darah yang menghantarkan darah ke jantung. Injeksi intravena bertujuan untuk memperoleh reaksi obat yang cepat diabsorpsi dari pada dengan injeksi perenteral lain, menghindari terjadinya kerusakan jaringan serta memasukkan obat dalam jumlah yang lebih besar. (Ambarawati. 2009) III. REAKSI - IV. TEORI DASAR Obat yang diminum pasti melalui proses farmakokinetik. Farmakokinetik adalah sutu proses dimana bermula dari masuknya obat ke dalam tubuh hingga akhirnya dikeluarkan kembali dari tubuh. Proses farmakokinetik mencakup proses absorpsi, distribusi, bioransformasi/metabolisme,dan ekskresi obat. Untuk mencapai efek farmakologisnya, suatu obat berada di daerah tempat kerjanya dengan kadar yang sesuai. Untuk mencapai tempat kerja tersebut obat tersebut harus melewati berbagai membran sel tubuh (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi profil farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat di dalam tubuh. Antara lan adalah keturunan, jenis kelamin, umur, lingkungan, kondisi menopause, suhu, aliran darah, keadaan gizi, keadaan patologi, efek non spesifik, dan kehamilan (Sukamadjadja dkk, 2006) Kadar obat di dalam tubuh mempengaruhi bagaimana responnya terhadap tubuh sehingga tujuan terapi obat adalah bagaimana untuk mempertahankan kadar obat yang cukup pada daerah target kerja obat tersebut. Jika suatu obat digunakan sebagai pencegahan atau profilaksis misalnya profilaksis terhadap kekambuhan epilepsi, atau penggunaan obat yangresponnya sukar diukur, kadar obat di dalam darah dapat dijadikan alternatif parameter untuk memantau terapi (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004). Obat yang diberikan secara oral dan intravena proses farmakokinetiknya akan berbeda. Obat yang diberikan melalui rute per oral harus melewati dinding unsus untuk memasuki aliran darah. Proses masuknya obat ke aliran darah dengan melewati membran ini disebut proses absorpsi. Proses absorpsi ini dipengaruhi oleh banyak faktor, namun faktor kelarutan obat memiliki peran penting di sini. . Obat yang memiliki kelarutan tinggi dalam lemak dapat diabsorpsi dan terdistribusi dengan cepat ke seluruh cairan tubuh. Beberapa obat akan berikatan dengan protein plasma, kemudian terbentuklah keseimbangan antara obat terikat dan obat bebas. Obat yang terikat pada protein plasma hanya terdapat pada sistem vaskular dan tidak dapat menimbukan aksi farmakologis (Neal, 2006). Pada kasus obat yang diberikan secara intravena, obat langsung terdistribusi ke aliran darah tanpa mengalami proses absorpsi terlebih dahulu. Obat dengan rute ini digunakan jika dalam keadaan (Neal, 2006) :  Saat membutuhkan efek yang cepat  Untuk pemberian kontinu seperti infus  Untuk volume yang besar  Untuk obat-obatan yang menyebabkan kerusakan jaringan lokal jika diberikan dengan cara lain (misalnya pada obat yang bersifat sitotoksik) Di dalam proses farmakokinetik obat, dikenal istilah profil farmakokinetik fisiologi, yaitu distribusi senyawa tersebut dalam jaringan atau organ tertentu yang diterangkan berdasarkan model fisiologis. Penentuan profil farmakokinetis suatu obat penting karena dengan mengetahui profil farmakokinetisnya di dalam jaringan atau organ akan diperoleh banyak informasi yang bermanfaat terutama untuk terapi penyakit tertentu (Wijayanti, 2007). Selain berguna memprediksikan sifat ditribusi obat di dalam jaringan tubuh, data farmakokinetik juga berguna dalam aplikasi klinik yaitu diantaranya adalah untuk memilih drug of choice suatu penyakit, uji terapetik dan toksisitas obat, menentukan kebijakan manajemen terapi, serta untuk uji residu dalam produk makanan yang berasal dari hewan (Wijayanti, 2007). Dalam merancang penggambaran dinamika obat di dalam tubuh dikenal istilah moedl farmakokinetik. Dari model farmakokinetik dapat dikembangkan model matematika dengan persamaan differensial sehingga dapat menggambarkan dinamika obat di dalam tubuh. Namun, tubuh manusia terdiri dari jaringan-jaringan yang komplesk dan sulit untuk diubah menjadi suatu model/sistem. Dengan demikian ada suatu model yang lebih sederhana yang dapat merepresentatifkan model tubuh yang disebut model kompartemen. Model kompartemen ini dikenal dengan 2 macam, yaitu satu kompartemen dan dua kompartemen (Handari, 2006). Model satu kompartemen mengansumsikan tubuh berada dalam keadaan homogen dan obat terdistribusi cepat secara merata. Model dua kompartemen mengansumsikan tubuh terdiri atas satu komparemen pusat dimana pada kompartemen ini obat akan berdistribusi secara cepat dan sebuah kompartemen periferal, yaitu kompartemen dengan distribusi yang lebih lambat (Handari, 2006). Adapun parameter yang penting diketahui yang berhubungan dengan eliminasi obat adalah waktu paruh atau t ½ atau waktu yag dibutuhkan suatu obat agar dieliminasi dari tubuh menjadi separuh kadar awal. waktu paruh ini akan berbanding lurus terhadap durasi kerja suatu obat yaitu apabila waktu paruhnya panjang maka kerja obat akan semakin lama begitu juga sebaliknya. Waktu paruh ini dipengaruhi oleh konstanta kecepatan eliminasi (k el) dan volume distribusi (VD) dari obat tersebut (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004). Pemodelan farmakokinetik ini berguna untuk (Shargel, 2005) : 1) Memperkirakan kadar obat dalam darah 2) Menghitung dosis optimum bagi setiap pasien 3) Memprediksikan kemungkinan obat atau zat metabolisme akan terakumuluasi 4) Menghubungka konsentrasi obat dengan efek toksisitas dan efek farmakologinya 5) Mengevaluasi perbedaan konsentrasi antara formula yang berbeda 6) Mengetahui pengaruh perubahan fisiologi dan efek daroi penyakit terhadap absorpsi, distribusi, dan eliminasi suatu obat 7) Memprediksi interaksi obat yang mungkin terjadi V. ALAT DAN BAHAN 5.1.Alat 1. Beaker glass Fungsi : untuk menyimpan larutan 2. Buret Fungsi : untuk mengalirkan aquadest yang dianggap sebangai aliran darah 3. Hot plate Fungsi : untuk menjaga suhu larutan tetap berada pada suhu 370C 4. Labu Ukur Fungsi : untuk membuat larutan standar 5. Neraca analitik Fungsi : untuk menimbang zat secara teliti 6. Pipet ukur Fungsi : untuk memindahkan larutan 7. Pipet volum Fungsi : untuk memindahkan larutan 8. Spektrofotometer UV-VIS Fungsi : untuk mengukur absirbansi dari larutan 9. Syringe Fungsi : untuk mengambil cuplikan atau sampel 10. Wadah uji in vitro Fungsi : sebagai kompartemen. Larutan obat dimasukkan kedalam wadah yang dianggap sebagai tempat obat. 5.2.Bahan 1. CTM 2. Aquadest 3. Aqua pro injeksi (API) VI. PROSEDUR Pembuatan Kurva Baku 100 mg CTM ditimbang menggunakan neraca analitik. CTM dilarutkan dalam labu ukur 100 mL. Aquadest ditambahkan hingga tanda batas (1000ppm). Larutan stok 1000 ppm dipipet sebanyak 10 mL kemudian diencerkan dengan aquadest dalam labu ukur 100 mL (100 ppm). Larutan standar 100 ppm dipipet sebanyak 4, 5, 6, 7, 8 mL dan diencerkan masing-masing dengan aquadest dalam labu ukur 20 mL. Kemudian diukur menggunkan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm. Pembuatan Larutan Obat (10mg/mL) CTM ditimbang sebanyak 200 mg kemudian dilarutkan dengan API sebanyak 20 mL dalam labu ukur. Pengujian Model In vitro Wadah diisi dengan dengan 250 ml aquadest dan isi buret 50 mL dengan aquadest. Wadah ditempatkan di atas hot plate agar suhu air mencapai 37 ̊ C. Larutan obat dimasukkan kedalam wadah sebanyak 5 mL. Kran buret dan kran pada wadah diatur sehingga tetesan pada kran dan buret sama. Cuplikan diambil sebanyak 5 ml pada waktu 5, 10, 20, 30, 40 dan 60 menit setelah rangkaian alat dijalankan. Setiap kali cuplikan diambil, sejumlah air ditambahkan dengan volume yang sama dengan volume cuplikan. Cuplikan yang telah diambil diencerkan dengan cara 2 mL cuplikan diencerkan dalam labu ukur 20 mL. Kemudian larutan diukur dengan menggunkan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 260 nm. Data konsentrasi yang diperoleh kemudian diplotkan terhadap waktu pada kertas semilogaritmik. Harga Vd dan K, Cl dan T1/2 dihitung. VII. DATA PENGAMATAN & PERHITUNGAN 1. Pembuatan Kurva Baku CTM a. Pembuatan larutan stok CTM 100 ppm (100 μg/mL) V = 100 mL C (ppm) = 100 = Massa CTM = 10.000 µg = 10 mg dalam 100 mL aquades b. Pembuatan larutan CTM 40 ppm (40 μg/mL) V1 . N1 = V2 . N2 V1 x 100 ppm = 20 mL x 40 ppm V1 = 8 mL Jadi, sebanyak 8 mL CTM 100 ppm dipipet dan ditambahkan aquades hingga 20 mL. c. Pembuatan larutan CTM 35 ppm (35 μg/mL) V1 . N1 = V2 . N2 V1 x 100 ppm = 20 mL x 35 ppm V1 = 7 mL Jadi, sebanyak 7 mL CTM 100 ppm dipipet dan ditambahkan aquades hingga 20 mL. d. Pembuatan larutan CTM 30 ppm (30 μg/mL) V1 . N1 = V2 . N2 V1 x 100 ppm = 20 mL x 30 ppm V1 = 6 mL Jadi, sebanyak 7,5 mL CTM 100 ppm dipipet dan ditambahkan aquades hingga 20 mL. e. Pembuatan larutan CTM 25 ppm (25 μg/mL) V1 . N1 = V2 . N2 V1 x 100 ppm = 20 mL x 25 ppm V1 = 5 mL Jadi, sebanyak 5 mL CTM 100 ppm dipipet dan ditambahkan aquades hingga 20 mL. f. Pembuatan larutan CTM 20 ppm (20 μg/mL) V1 . N1 = V2 . N2 V1 x 100 ppm = 20 mL x 20 ppm V1 = 4 mL Jadi, sebanyak 4 mL CTM 100 ppm dipipet dan ditambahkan aquades hingga 20 Konsentrasi mL. Absorbansi Rata - rata 1 2 3 20 0,2795 0,2793 0,2781 0,278967 25 0,3487 0,3485 0,3475 0,348233 30 0,4256 0,4256 0,4241 0,4251 35 0,4856 0,4855 0,4838 0,484967 40 0,5534 0,5555 0,55222 0,553707 Tabel 1 Data Absorbansi Baku CTM KURVA BAKU CTM 0,6 y = 0,0137x + 0,0077 R² = 0,9987 Absorbansi 0,5 0,4 0,3 Series1 0,2 Linear (Series1) 0,1 0 0 10 20 30 Konsentrasi (20 ppm) 40 50 2. Data Sampel Tabel 2 Absorbansi sampel Absorbansi t (menit) Rata - 1 2 3 rata 5 0,362 0,3615 0,3622 0,3619 10 0,354 0,3525 0,354 0,3535 20 0,3222 0,321 0,321 0,3214 30 0,3215 0,3208 0,3218 0,3213 40 0,3329 0,3321 0,3323 0,3324 60 0,3017 0,3033 0,3033 0,3027 3. Perhitungan Kadar Sampel a. Kadar CTM dalam sampel pada t = 5 menit - Menghitung kadar CTM melalui kurva baku A = 0.3619 y = 0,0137x+0,00770 0.0137x = y-0,00770 x = 25,8540 µg/ml × faktor pengenceran x = 25,8540 µg/ml × 10 x = 258,54 µg - Menghitung % kadar CTM dalam sampel pada t = 5 menit % kadar = % kadar = 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙 258,54 µg 50000 µg × 100% × 100% % kadar = 0,52% % b. Kadar CTM dalam sampel pada t = 10 menit - Menghitung kadar CTM melalui kurva baku A = 0.3535 y = 0,0137x+0,0077 0.0137x = y-0,0077 x = µg/ml × faktor pengenceran x = 25,241 µg/ml × 10 x = 252,41 µg/ml - Menghitung % kadar CTM dalam sampel pada t = 10 menit % kadar = % kadar = 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙 252,41 µg 50000 µg × 100% × 100% % kadar = 0,50 % c. Kadar CTM dalam sampel pada t = 20 menit - Menghitung kadar CTM melalui kurva baku A = 0.3214 y = 0,0137x+0,0077 0.0137x = y-0,0077 x = 22,898 µg/ml × faktor pengenceran x = 22,898 µg/ml × 10 x = 228,98 µg/ml - Menghitung % kadar CTM dalam sampel pada t = 20 menit % kadar = 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙 × 100% 228,98 µg % kadar = 50000 µg × 100% % kadar = 0,46% % d. Kadar CTM dalam sampel pada t = 30 menit - Menghitung kadar CTM melalui kurva baku A = 0.3213 y = 0,0137x+0,0077. 0.0137x = y-0,0077 x = 22,89 µg/ml × faktor pengenceran x = 22,89 µg/ml × 10 x = 228,9 µg/ml - Menghitung % kadar CTM dalam sampel pada t = 30 menit % kadar = 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙 × 100% 228,9 µg % kadar = 50000 µg × 100% % kadar = 0,46% % e. Kadar CTM dalam sampel pada t = 40 menit - Menghitung kadar CTM melalui kurva baku A = 0,3324 y = 0,0137x+0,0077. 0.0137x = y-0,0077 x = 23,701 µg/ml × faktor pengenceran x = 23,701 µg/ml × 10 x = 237,01 µg/ml - Menghitung % kadar CTM dalam sampel pada t = 40 menit % kadar = 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙 × 100% 237,01 µg % kadar = 50000 µg × 100% % kadar = 0,47% % f. Kadar CTM dalam sampel pada t = 60 menit - Menghitung kadar CTM melalui kurva baku A = 0,3027 y = 0,0137x+0,0077 0.0137x = y-0,0077 x = 21,533 µg/ml × faktor pengenceran x = 21,533 µg/ml × 10 x = 215,33 µg/ml - Menghitung % kadar CTM dalam sampel pada t = 60 menit % kadar = 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑤𝑎𝑙 × 100% % kadar = 215,33 µg 50000 µg × 100% % kadar = 0,43 % Tabel 3 Kadar sampel Waktu Kadar %Kadar 5 258,54 10 252,41 20 228,98 30 228,9 40 237,01 60 215,33 0,52% 0,50% 0,46% 0,46% 0,47% 0,43% Axis Title Hundreds Kadar Pada Semilog 100 y = -0,6796x + 255,55 R² = 0,7411 1 Series1 Linear (Series1) 0,01 0 10 20 30 40 50 60 70 Axis Title SAMPEL (Dari grafik semilog) Diambil 2 titik yang melalui garis pada grafik di kertas semilog: Cp1 = 250 µg/mL Cp2 = 220 µg/mL t1 = 13 menit t2 = 51 menit  Menentukan k −k log Cp1 − log Cp2 = 2,303 t2 − t1 −k log 250 − log 220 = 2,303 51 − 13 −k 2,398 − 2,342 = 2,303 38 −k = 0,129 38 −k = 3,395 x 10-3 Maka nilai k adalah 𝟑, 𝟑𝟗𝟓x 10-3/menit = 0,204/jam  Menentukan Co  ditarik garis perpotongan pada sumbu y di kertas semilog Didapatkan Co = 260 µg/mL Sehingga: 1. Volume distribusi Vd = Dosis Co 50.000 µg = 260 µg/mL = 192,31 mL = 0,192 L 2. Cleareance Cl = Vd x k = 0,192 x 0,204 = 0,04 L/jam 3. Waktu paruh t1/2 = = 0,693 𝑘 0,693 𝟎,𝟐𝟎𝟒 = 3,4 jam 4. AUC (dari grafik *dilampirkan) I= 270+228,98 II= 2 g 𝑥 0,33 = 82,17 µ mL . 𝑗𝑎𝑚 228,98+228,38 g 𝑥 0,167 = 38,23 µ mL . 𝑗𝑎𝑚 2 III= IV= 228,9+237,01 2 232,01𝑥 2,55 2 g 𝑥 0,167 = 38,9 µ mL . 𝑗𝑎𝑚 g = 302,177 µ mL . 𝑗𝑎𝑚 g Total AUC = 461,567 µ mL . 𝑗𝑎𝑚 VIII. PEMBAHASAN Percobaan simulasi model in vitro farmakokinetik obat secara bolus intravena dilakukan dengan tujuan untuk memahami proses in vivo dan perkembangan kadar obat dalam darah setelah pemberian obat secara bolus intravena, mampu memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala semilogaritmik dan mampu menentukan berbagai parameter farmakokinetika obat yang berkaitan dengan pemberian obat secara bolus intravena. Percobaan ini menggunakan model farmakokinetik secara in vitro yang digunakan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan sekumpulan data yang diperoleh dari percobaan yang dilakukan. Dalam metode ini, suatu wadah digambarkan sebagai kompertemen tubuh dimana obat mengalami profil farmakokinetik dari distribusinya hingga eliminasi obat. Menurut Shargel (1988), digunakannya satu wadah sebagai ilustrasi model kompartemen satu terbuka. Model ini menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Secara garis besar obat dapat diberikan secara ekstravaskular (di luar pembuluh darah seperti oral, injeksi intramuscular, rektal, dsb) dan intravaskular (langsung masuk ke dalam pembuluh darah). Pada rute pemberian intravaskular, volume obat yang diberikan dapat diberikan sekaligus (bolus) misalnya injeksi intravena, atau secara kontinu dengan kecepatan yang konstan misalnya infus dan akan langsung mengalami fase distribusi. Selain itu, obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik tanpa mengalami absorbsi. Sebaliknya, rute pemberian ekstravaskular akan diabsorpsi masuk ke dalam pembuluh darah terlebih dahulu dan kemudian di distribusikan. Obat Intravena (IV) memasuki aliran darah secara langsung melalui vena, cara ini sesuai bila memerlukan efek yang cepat. Rute ini juga tepat untuk obat yang terlalu mengiritasi jaringan diberikan melalui rute lain. Jika jalur intravena sudah terpasang, jalur ini dipilih karena menghindari ketidak nyamanan yang ditimbulkan oleh penggunaan jalur parental lainnya. Obat diberikan secara intravena dengan menggunakan metode berikut ini: · Infus cairan IV bervolume besar · Infus intravena intermiten (piggyback setup) · Infus volume terkontrol · Dorongan intravena ( intravenous push, IVP) atau bolus · Saluran injeksi intermiten Pemberian secara bolus intravena berarti bahwa konsentrasi obat dalam darah pada waktu awal pemberian adalah yang tertinggi. Dan kemudian akan menurun seiring dengan bertambahnya waktu yang dikarenakan proses distribusi. Jika suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravena cepat (IV bolus), seluruh dosis obat akan segera masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu, laju absorpsi obat diberikan dalam perhitungan. Injeksi bolus intravena sendiri adalah pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam pembuluh darah vena atau melalui karet selang infuse dengan menggunakan spuit. Sedangkan pembuluh darah vena adalah pembuluh darah yang menghantarkan darah ke jantung. Injeksi intravena bertujuan untuk memperoleh reaksi obat yang cepat diabsorpsi dari pada dengan injeksi perenteral lain, menghindari terjadinya kerusakan jaringan serta memasukkan obat dalam jumlah yang lebih besar. Jika suatu obat diberikan dalam bentuk injeksi intravena cepat (iv bolus), seluruh dosis obat masuk tubuh dengan segera. Dalam hal ini tidak terjadi absorpsi obat, dimana obat akan didistribusikan bersama sistem sirkulasi sistemik dan secara cepat berkesetimbangan di dalam tubuh. Dalam model ini juga dianggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan. Tetapi, bukan berarti tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama pada berbagai waktu. Jumlah obat di dalam tubuh tidak dapat ditentukan secara langsung, melainkan dengan menentukan konsentrasi obat dalam plasma/darah setiap satuan waktu dan mengalikannya dengan volume distribusinya, yaitu volume dalam tubuh dimana obat tersebut melarut. Bolus IV umumnya digunakan ketika dibutuhkan kerja yang cepat dari obat, seperti dalam keadaan darurat, ketika obat-obatan tidak dapat dicairkan; seperti kebanyakan obat kemoterapi kanker, dan ketika tujuan terapi untuk mencapai tingkat kadar obat maksimum dalam aliran darah pasien. Bolus IV biasanya tidak digunakan untuk pasien yang mengalami penurunan kinerja jantung, penurunan pengeluaran urin, penurunan kinerja paru-paru, atau edema sistemik, hal ini dikarenakan pasien tersebut mengalami penurunan toleransi terhadap obat. Percobaan kali ini adalah menentukan parameter farmakokinetik dari obat dan juga menentukan kadar obat per interval waktu yang telah ditentukan.Pertama, CTM dibuat ke dalam bentuk injeksi intravena dengan konsentrasi 50 mg/ml. Sediaan dibuat dengan menimbang 50 mg zat aktif (CTM) dan melarutkannya ke dalam 50 ml aquadest. Profil zat aktif yang digunakan untuk dijadikan sediaan injeksi intravena juga harus diperhatikan, misalnya data kelarutan zat aktif, karena syarat dari sediaan injeksi, dimana zat aktif harus terdispersi secara molekular. Setelah sediaan disiapkan, alat-alat yang akan digunakan juga disiapkan. Alatalat yang digunakan antara lain buret, penangas, wadah penampung yang memiliki keran, dan juga vial untuk menampung sampel per interval waktu. Buret diisi dengan aquadest hingga penuh, dan ditempatkan diatas wadah penampung yang memiliki keran. Wadah penampung juga diisikan dengan aquades hingga 250 ml dan ditempatkan diatas penangas air hingga suhu mencapai 37° C dan kemudian sediaan dimasukkan seluruhnya. Sebelumnya, kecepatan keluarnya aquadest melalui keran dan buret diatur terlebih dahulu hingga kecepatannya sama. Wadah yang berisi aquadest dengan suhu 37°C menggambarkan kondisi darah ketika sediaan injeksi intravena diadministrasikan. Dimana saat diinjeksikan, konsentrasi obat adalah yang tertinggi. Keran pada wadah penampung kemudian dibuka, dan kecepatan pengeluarannya harus sama dengan buret. Hal ini menggambarkan sistem distribusi pada sistem peredaran darah. Setelah obat diadministrasikan, konsentrasi dalam darah akan berkurang per interval waktu, dan aquadest yg keluar dari buret dan masuk ke wadah penampung akan menggantikan volume aquadest yg keluar dari wadah penampung. Hal ini dilakukan karena sistem peredaran darah manusia adalah sistem peredaran darah tertutup sehingga volume cairan (darah) akan konstan, yang berubah adalah konsentrasi obat dalam darah. Sampling dilakukan pada menit ke 5, 10, 20, 30, 40, dan 60. Dan jumlah tetes dari buret dan keran wadah penampung juga dicatat per menit. Masing-masing sampel yang telah ditampung per interval waktu tersebut kemudian diukur kadar obat dalam cairan tersebut menggunakan spektrofotometri. Dan hasil pengukuran kadar tersebut akan di plotkan terhadap waktu untuk kemudian menentukan parameter farmakokinetik dari obat tersebut [C0, k, Vd (volume distribusi), Cl (Klirens), dan T1/2 (Waktu paruh)]. Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh konsentrasi CTM lebih banyak mengalami penurunan kadar sebanding dengan selang waktu pengambilan larutan. Namun terjadi peningkatan konsentrasi CTM pada waktu pengambilan cairan di menit ke-40. Pada pengambilan menit ke-5, konsentrasi yang didapat mencapai 258,54 µg/ml. Pada menit ke-10 konsentrasi menurun menjadi 252,41 µg/ml, pada menit ke20 konsentrasi kembali turun menjadi 228,98 µg/ml. Pada menit ke-30 konsentrasi turun menjadi 228,98 µg/ml, seedangkan pada menit ke-40 konsentrasi obat mengalami peningkatan menjadi 237,01 µg/ml. Dan pada menit ke-60 konsentrasi obat turun kembali menjadi 215,33 µg/ml. Dapat dilihat dari data yang didapat bahwa konsentrasi CTM pada model in vitro farmakokinetika ini tidak selalu berkurang seiring dengan bertambahnya waktu. Grafik semi log yang dihasilkan dari data ini juga tidak menghasilkan garis menurun, sehingga data dan grafik yang dihasilkan tidak sesuai dengan grafik pemberian bolus intravena yang datanya akan menghasilkan grafik menurun karena adanya proses eliminasi obat dalam tubuh. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada saat percobaan dilakukan, tidak digunakan pengaduk magnetik (magnetic stirrer). Pengaduk magnetik (magnetic stirrer) berguna untuk mengaduk cairan sehingga obat dapat terdispersi secara merata pada cairan. Karena tidak adanya pengadukan, menyebabkan kadar CTM dalam cairan menjadi tidak homogen sehingga pada menit ke 40 tidak didapatkan penurunan konsentrasi CTM. Berdasarkan percobaan pemberian obat dengan rute bolus intravena ini, dapat diketahui profil farmakokinetik dari obat yang diuji yaitu CTM. Parameter primer dari profil farmakokinetik CTM yaitu volume distribusi didapatkan sebesar 0,192 L dan klirens sebesar 0,04 L/jam. Berdasarkan parameter primer ini dapat ditentukan pula parameter sekundernya yaitu waktu paruh sebesar 3,4 jam. Kemudian dapat ditentukan AUC total dari sampel obat CTM yaitu sebesar 461,567 . AUC (Area Under Curve) merupakan luas wilayah di bawah kurva (grafik) yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailinilitas (BA) suatu obat. AUC juga dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan kecepatanan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu, kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Waldon, 2008). IX. SIMPULAN Model in vitro farmakokinetik yang digunakan untuk menguji parameter farmakokinetik obat dalam wadah yang digambarkan sebagai kompartemen darah dalam tubuh sebagai tempat obat didistribusi dan dieliminasi. Berdasarkan percobaan ini telah didapatkan plot kadar dan grafik dari pemberian bolus intravena di mana kadar obat mengalami penurunan walaupun terdapat peningkatan kadar obat pada menit ke-40. Parameter farmakokinetik juga dapat ditentukan antara lain volume distribusi sebesar 0,192 L, klirens sebesar 0,04 L/jam, waktu paruh sebesar 3,4 jam dan AUC total sebesar 461,567 X. . DAFTAR PUSTAKA Handari, B.D., Djajadisastra, J., Silaban, D.R. 2006. Pengembangan Perangkat Lunak Simulasi Komputer Sebagai Alat Bantu Dalam Analisis Farmakokinetik. Makara Sains, 10(1) : 13-18. Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Med.is. Jakarta : Erlangga. Shargel, L. and Yu, A. B. C. 1988. Biofarmaseutika dan Farmakokinetika Terapan, terjemahan Fasich & S. Sjamsiah. Surabaya : Universitas Airlangga Press. Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sukmadjaja. A. dkk. 2006. Pengembangan Aplikasi Komputer Pengolah Data Konsentrasi Obat Dalam Plasma Untuk Studi Pemodelan Parameter Farmakokinetik. Majalah Ilmu Kefarmasian, 3(3) : 143 – 152.

Tjay, T.K., Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan EfekEfek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta : Gramedia. Waldon, D.J. (2008). Pharmacokinetics and Drug Metabolism. Cambridge : Amgen, Inc., One Kendall Square, Building 1000, USA. Wijayanti, AD., Hakim, L., Widiyono, I. 2007. Profil Farmakokinetik Oksitetrasiklin Hidroklorid dalam Berbagai Jaringan Tikus Spragae Dawley. Jurnal Sains Veteran, 25 (2) : 68-74