Muslimah sedang membaca qs Al Fatihah ayat 1 7 setiap akhir ayat harus membaca sesuai hukum bacaan

Pada tulisan sebelumnya, dibahas mengenai seluk-beluk bacaan Al Fatihah dalam shalat. Kali ini akan dibahas mengenai bacaan Al-Qur’an setelah Al-Fatihah.

Hukum Bacaan Al-Qur’an Setelah Al-Fatihah

Para sahabat ijma [sepakat] bahwa disunnahkan membaca Al-Qur’an setelah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama di semua shalat. Ibnu Sirin mengatakan,

لا اعلمهم يختلفون في هذا

“saya tidak mengetahui mereka [para sahabat] berbeda pendapat dalam masalah ini” [dinukil dari Sifat Shalat Nabi, 101].

Diantara dalilnya adalah sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam dari sahabat Abu Qatadah,

انَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ، وَسُورَتَيْنِ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ وَيُسْمِعُ الآيَةَ أَحْيَانًا، وَكَانَ يَقْرَأُ فِي العَصْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ

“Nabi shallallahu’alaihi wasallam membaca Al-Fatihah di dua rakaat pertama shalat zhuhur dan juga membaca dua surat yang panjang pada rakaat pertama dan pendek pada rakaat kedua dan terkadang hanya satu ayat. Beliau membaca Al-Fatihah di dua rakaat pertama shalat ashar dan juga membaca dua surat dengan surat yang panjang pada rakaat pertama. Beliau juga biasanya memperpanjang bacaan surat di rakaat pertama shalat subuh dan memperpendeknya di rakaat kedua” [HR Al-Bukhari 759, Muslim 451].

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai bacaan Al-Qur’an pada rakaat ketiga atau keempat. Jumhur ulama berpendapat tidak disunnahkan membaca  Al-Qur’an pada rakaat ketiga atau keempat, namun amalan ini tidak terlarang sebagaimana dilakukan oleh para salaf.

Surat-Surat Yang Jadi Kebiasaan Nabi

Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan, “Disyariatkan bagi imam, demikian juga munfarid [orang yang shalat sendirian], dalam kebanyakan yang ia lakukan dalam shalat shubuh membaca surat yang thiwal mufashal, dalam shalat maghrib membaca yang qisar mufashal, dan shalat yang lainnya membaca yang wasath mufashal” [Sifat Shalat Nabi, 103].

Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah,

ما رأَيْتُ أحَدًا أشبَهَ صلاةً برسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم مِن فلانٍ – كان بالمدينةِ – قال سُلَيمانُ : فصلَّيْتُ أنا وراءَه فكان يُطيلُ في الأُولَيَيْنِ مِن الظُّهرِ ويُخفِّفُ الأُخْريَيْنِ ويُخفِّفُ العصرَ ويقرَأُ في الأُولَيَيْنِ مِن المغرِبِ بقِصارِ المُفصَّلِ وفي العِشاءِ بوسَطِ المُفصَّلِ وفي الصُّبحِ بطِوالِ المُفصَّلِ

“Tidak pernah aku melihat orang yang shalatnya lebih mirip dengan shalat rasulullah shallallahu’alaihi wasallam selain Fulan [ketika itu di Madinah]. Sulaiman berkata, ‘maka aku pun shalat di belakangnya, ia memperpanjang dua rakaat pertama dalam shalat zhuhur dan memperpendek sisanya. Ia juga memperpendek bacaan shalat ashar, dan pada shalat maghrib membaca surat-surat qishar mufashal, dan pada shalat Isya membaca yang wasath mufashal, dan pada shalat subuh membaca thiwal mufashal‘” [HR. Ibnu Hibban 1837, dishahihkan Al Albani dalam Sifat Shalat Nabi].

Para ulama berbeda pendapat mengenai istilah qisar mufashal, wasath mufashal, dan thiwal mufashal. Namun di antara pendapat yang bagus adalah yang diungkapkan oleh Ibnu Ma’in, yang dirajihkan oleh As Suyuthi dalam Al Itqan Fi Ulumil Qur’an [1/222]:

فَطِوَالُهُ إِلَى عَمَّ وَأَوْسَاطُهُ مِنْهَا إِلَى الضُّحَى وَمِنْهَا إِلَى آخِرِ الْقُرْآنِ قِصَارُهُ

“thiwal mufashal adalah [Qaf] hingga ‘Amma [yatasaa’aluun], wasath mufashal adalah dari ‘Amma hingga Ad-Dhuha, dan dari Ad-Dhuha hingga akhir adalah qisar mufashal”. Namun di luar kaidah ini, ada beberapa surat yang biasa dibaca oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam shalat-shalatnya, sehingga dianjurkan juga untuk mencontoh beliau dalam hal ini.

Shalat Maghrib

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah membaca surat At-Thur, Al-A’raf, dan Al-Mursalat ketika shalat maghrib. Dari Jubair bin Math’am, ia berkata,

سمعتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يقرأُ بالطورِ في المغربِ

“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membaca surat At-Thuur pada shalat maghrib” [HR. Muslim 463].

Dari Marwan bin Hakam, ia berkata,

أنَّ زيدَ بنَ ثابتٍ قالَ : ما لي أراكَ تقرأُ في المغربِ بقصارِ السُّورِ ؟ قد رأيتُ رسولَ اللهِ يقرأُ فيها بأطول الطُّوليينِ ! قلتُ : يا أبا عبدِ اللهِ ، ما أطولُ الطُّوليينِ؟ قالَ : الأعراف

“Zaid bin Tsabit bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau membaca surat yang pendek-pendek ketika shalat maghrib? Aku pernah melihat rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membaca surat yang paling panjang’. Marwan berkata, ‘wahai Abu Abdillah, apa yang engkau maksud surat yang paling panjang?’. Ia menjawab, Al A’raf” [HR. An Nasa-i 989, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i].

Dari Ibnu Abbas, ia berkata,

إن أم الفضل سمعته ، وهو يقرأ : { والمرسلات عرفا } . فقالت : يابني ، والله لقد ذكرتني بقراءتك هذه السورة ، أنها لآخر ما سمعت من رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ بها في المغرب

“Bahwa Ummul Fadhl mendengarnya membaca surat wal mursalaati ‘urfaa. Kemudian Ummul Fadhl berkata, ‘wahai anakku, demi Allah engkau telah mengingatkan aku dengan bacaan surat ini bahwa ini adalah surat yang dibaca ketika shalat maghrib terakhir yang dilakukan rasulullah shallallahu’alaihi wasallam‘” [HR. Al Bukhari 763, Muslim 462].

Shalat Shubuh

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah membaca surat Qaaf dan At-Takwir dalam shalat shubuh. Dari Quthbah bin Malik, ia berkata,

أنه صلى مع النبيِّ صلى الله عليه وسلم الصبحَ . فقرأ في أولِ ركعةٍ: والنخلُ باسقاتٍ لها طلعٌ نضيدٌ. وربما قال: ق

“Ia pernah shalat shubuh bersama bersama nabi shallallahu’alaihi wasallam. Beliau pada rakaat pertama membaca ayat baasiqaatin lahaa thal’un nadhiid [surat Qaaf ayat 10]” [HR. Muslim 457].

‘Amr bin Harits berkata,

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ

“aku mendengar nabi shallallahu’alaihi wasallam pada shalat shubuh membaca idzas syamsu kuwwirat [surat At Takwir]” [HR. An Nasa-i dalam Ash Shughra 941, dengan sanad hasan].

Shalat Isya

Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menyatakan, “Dimakruhkan memperpanjang bacaan surat pada shalat Isya’ sebagaimana larangan nabi shallallahu’alaihi wasallam terhadap Muadz” [Sifat Shalat Nabi, 104]. Karena yang dianjurkan ketika shalat Isya adalah surat-surat wasath mufashal sebagaimana telah dijelaskan.

أنَّ مُعاذَ بنَ جبلٍ رضي الله عنه كان يُصلِّي معَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، ثم يأتي قَومَه فيُصلِّي بهمُ الصلاةَ، فقَرأ بهمُ البقرةَ، قال : فتجوَّز رجلٌ فصلَّى صلاةً خفيفةً، فبلَغ ذلك مُعاذًا فقال : إنه منافقٌ، فبلَغ ذلك الرجلَُ، فأَتَى النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقال : يا رسولَ اللهِ، إنا قومٌ نعمَل بأيدينا، ونَسقي بنَواضِحنا، وإن مُعاذًا صلَّى بنا البارِحةَ، فقرَأ البقرةَ، فتجوَّزتُ، فزعَم أني منافقٌ، فقال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : [ يا مُعاذُ، أفتَّانٌ أنت – ثلاثًا – اقرَأْ : { وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا} . و{ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى } . ونحوَها ]

“Mu’adz bin Jabal radhiallahu’anhu pernah shalat bersama nabi shallallahu’alaihi wasallam. Kemudian ia kembali kepada kaumnya dan shalat bersama mereka menjadi imam. Kemudian ia membaca surat Al-Baqarah. Kemudian seorang lelaki mangkir dari shalat dan ia shalat sendiri dengan shalat yang ringan. Hal ini terdengar oleh Mu’adz, sehingga ia pun berkata, ‘ia munafik‘. Perkataan Muadz ini pun terdengar oleh si lelaki tersebut. Maka ketika datang nabi shallallahu’alaihi wasallam ia bertanya, ‘wahai rasulullah, siang hari saya bekerja dengan tangan saya dan mengairi ladang dengan unta-unta saya. Kemarin Muadz shalat mengimami kami dan membaca Al Baqarah, sehingga saya mangkir dari shalat. Dan ia mengatakan saya munafik‘. Lalu nabi shallallahu’alaihi wasallam pun bersabda, ‘wahai Muadz, apakah engkau ingin menjadi pembuat fitnah?’ Sebanyak 3x. Bacalah was syamsi wad dhuhaaha [Asy Syams] dan sabbihisma rabbikal a’laa [Al A’laa] atau semisalnya’” [HR. Al Bukhari 6106, Muslim 465].

Surat Asy-Syams dan Al-A’laa termasuk wasath mufashal.

Shalat Zhuhur dan Ashar

Dari Abu Sa’id Al Khudri,

كنا نحزرُ قيامَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في الظهرِ والعصرِ . فحزرنا قيامَه في الركعتين الأوليين من الظهر قدرَ قراءةِ الم تنزيل – السجدة . وحزرنا قيامَه في الأخريين قدرَ النصفِ من ذلك وحزرنا قيامه في الركعتين الأوليين من العصرِ على قدرِ قيامِه في الأخريين من الظهرِ وفي الأخريين من العصرِ على النصفِ من ذلك . ولم يذكر أبو بكرٍ في روايته : الم تنزيل . وقال : قدر ثلاثين آيةً

“Kami mengira-ngira panjang shalat rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ketika shalat zhuhur dan ashar. Kami mengira-ngira dua rakaat pertama beliau pada shalat zhuhur yaitu sekadar bacaan surat Alif laam miim tanzil [As Sajdah]. Dan kami mengira-ngira dua rakaat terakhir beliau sekitar setengah dari itu. Dan kami mengira-ngira dua rakaat pertama beliau pada shalat ashar itu seperti dua rakaat akhir beliau pada shalat zhuhur. Dan dua rakaat terakhir beliau pada shalat ashar itu sekitar setengahnya dari itu.  Dalam riwayat Abu Bakar tidak disebutkan Alif laam miim tanzil, namun ia berkata: “sekitar 30 ayat” [HR. Muslim 452].

Memperpendek Bacaan Dalam Keadaan Safar

Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi mengatakan, “anjuran surat-surat pada setiap shalat di atas dikecualikan dalam keadaan safar. Dalam keadaan safar, tidak perlu mengkhususkan diri dengan surat tertentu, bahkan yang disyariatkan adalah memperingan bacaan. Terdapat riwayat shahih [valid] dari nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau membaca mu’awwidzatain [qul a’udzubirabbinnas dan qul a’udzu birabbil falaq] dalam shalat shubuh, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dari ‘Uqbah bin Amir dan dishahihkan oleh Abu Hatim.

Terdapat riwayat shahih [valid] juga yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Ma’rur bin Suwaid dari ‘Umar bahwa ketika ‘Umar sedang safar berhaji, beliau shalat shubuh dengan membaca li iila fi quraisy.

Terdapat riwayat shahih [valid] juga dari Amr bin Maimun, bahwa ketika shalat dalam safar ia membaca qul yaa ayyuhal kafirun dan qul huwallahu ahad” [Sifat Shalat Nabi, 105].

Dan syaikh menyebutkan lagi beberapa atsar [perkataan sahabat nabi] serupa dari para sahabat.

Anjuran Menyesuaikan Kondisi Makmum

Dianjurkan bagi imam untuk menyesuaikan diri dengan kondisi makmum, jika terdapat orang yang lemah, orang sakit, atau anak-anak, dianjurkan untuk memperingan shalat.

إذا أمَّ أحدُكم الناسَ فليخفِّفْ . فإن فيهم الصغيرَ والكبيرَ والضعيفَ والمريضَ . فإذا صلَّى وحده فليصلِّ كيف شاء

“Jika salah seorang dari kalian menjadi imam bagi suatu kaum, maka permudahlah shalatnya. Karena di antara mereka ada anak kecil, orang tua, orang lemah dan orang sakit. Jika kalian shalat sendirian maka silakan shalat sebagaimana kalian mau” [HR. Al Bukhari 90, Muslim 467].

Imam At-Tirmidzi setelah membawakan hadits ini dalam Sunan-nya beliau mengatakan, “ini adalah pendapat mayoritas ulama, mereka berpendapat hendaknya imam tidak memperpanjang shalat karena khawatir menimbulkan kesulitan bagi orang yang lemah, orang tua, dan orang yang sakit”.

Ketika menjelaskan hadits ini dalam Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri membawakan perkataan Ibnu ‘Abdil Barr yang bagus, beliau berkata, “Setiap imam dianjurkan memperingan shalatnya, ini adalah perkara yang disepakati para ulama. Dan yang dimaksud memperingan adalah mengurangi kesempurnaannya. Adapun jika sampai ada kekurangan dalam shalat, maka tidak boleh. Karena rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melarang orang yang shalatnya seperti burung gagak mematuk. Rasulullah juga pernah melihat orang yang shalatnya tidak sempurna rukuknya. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘ulangilah shalatmu! Karena engkau belum shalat‘. Kemudian beliau bersabda, ‘Allah tidak melihat kepada orang yang tidak meluruskan punggung ketika rukuk dan sujud‘”. Ibnu Abdil Barr juga mengatakan, “Saya tidak mengetahui khilaf [perbedaaan] di antara para ulama mengenai dianjurkannya memperingan shalat bagi siapa saja yang menjadi imam untuk kaummnya, selama memenuhi syarat yang kami jelaskan, yaitu tetap sempurna rukun shalatnya. Diriwayatkan dari Umar bin Khathab bahwa beliau berkata,”

لا تبغضوا الله إلى عباده ، يطول أحدكم في صلاته حتى يشق على من خلفه

“Allah tidak murka kepada para hamba-Nya jika mereka memanjangkan shalat mereka, kecuali jika itu mempersulit orang yang dibelakangnya [makmum]”.

Mengulang Surat / Ayat Yang Sama

Mengulang bacaan atau surat yang sama pada rakaat yang berbeda

Misalnya pada rakaat pertama membaca surat Adh-Dhuha, lalu pada rakaat kedua juga membaca surat Adh-Dhuha. Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi menjelaskan, “Bukan termasuk sunnah mengulang bacaan Al-Qur’an yang sama di kedua rakaat, bahkan yang lebih utama adalah membaca bacaan yang berbeda antara rakaat pertama dan kedua. Dan terkadang dianjurkan pada rakaat kedua lebih pendek dari rakaat pertama”. [Sifat Shalat Nabi, 103].

Mengulang bacaan atau surat yang sama pada satu rakaat

Misalnya pada rakaat  pertama membaca surat Al-Insyirah sebanyak dua kali. Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi menjelaskan, “Mengulang bacaan yang sama pada satu rakaat adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah, tidak pernah dilakukan oleh nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak pula oleh salah seorang dari sahabatnya. Dan Al-Qur’an itu tidak turun dengan cara berulang-ulang untuk ayat yang sama. Tidak ada bagian dari Al-Qur’an itu yang sia-sia. Telah diisyaratkan bahwa perbuatan ini menyelisihi sunnah oleh imam Asy- Syathibi dalam kitab Al-I’tisham” [Sifat Shalat Nabi, 109-110].

Mengulang ayat yang sama pada satu rakaat

Tidak terdapat hadits yang shahih [valid] dari nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau pernah mengulang ayat yang sama dalam satu rakaat, namun terdapat atsar [perbuatan sahabat nabi] yang menyatakan bahwa amalan ini dilakukan oleh sebagian sahabat nabi.

Memisah Bacaan Surat Dalam Dua Rakaat

Contoh memisah bacaan misalnya seseorang membaca surat An-Naba ayat 1–30 pada rakaat pertama, lalu pada rakaat kedua ia lanjutkan ayat 31–40. Ini berarti ia memisahkan bacaan surat An-Naba’ menjadi dua rakaat.

Yang sesuai sunnah adalah membaca satu surat atau satu bacaan untuk satu rakaat, tidak memisahkan satu surat atau satu bacaan menjadi dua rakaat. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لِكُلِّ سورةٌ حظُّها منَ الركوعِ والسجودِ

“setiap surat itu kadarnya seperti panjang rukuk dan sujud” [HR. Al-Baihaqi 3/10, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al Jami’, 5165].

dalam riwayat lain,

لكلِّ سورةٍ ركعةٌ

“setiap surat itu untuk satu raka’at”.

Inilah yang diamalkan oleh rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan tidak ada riwayat yang shahih [valid] yang mengabarkan bahwa beliau shallallahu’alaihi wasallam pernah memisah bacaan surat dalam dua rakaat. Yang demikian juga merupakan amalan yang diutamakan para salaf ridwanullah ‘alaihim ajma’in. Namun demikian, memang benar ada sebagian salaf yang pernah membagi bacaan surat dalam dua rakaat. Namun ini hanya pada kesempatan yang sedikit saja dan bukan dijadikan hal yang utama ataupun rutinitas.

Demikian semoga bermanfaat

**

Rujukan utama: Sifatu Shalatin Nabi, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Sadar Diri Dalam Islam, Arti Baiat, Ciri Ciri Binatang Halal Dan Haram, Mengapa Kita Hidup

Tags: Al-QuranfikihfiqihShalatsifat shalat nabi

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề