Nama perangkat gamelan pusaka yang melambangkan turunnya wahyu adalah

Liputan6.com, Cirebon - Gamelan merupakan alat musik tradisional Cirebon yang masih lestari. Dari sejumlah gamelan warisan Cirebon, tidak semuanya dapat dibunyikan kapan saja. Seperti gamelan yang ada di Keraton Kacirebonan. Salah satu gamelan sakral ini hanya boleh dibunyikan saat masyarakat Cirebon dilanda kesedihan saja. Gamelan denggung namanya.

"Kesedihan itu seperti musim paceklik, kekeringan panjang, wabah penyakit dan peristiwa alam lain yang berdampak pada masyarakat di Cirebon maupun Indonesia," kata Ketua Rumah Budaya Pesambangan Jati Cirebon, Jabar, Bambang, Rabu 10 Agustus 2016.

Dia menjelaskan, gamelan denggung berasal dari kata mandeng sing agung. Artinya, dalam semua kehidupan, hanya memandang dan memohon kepada sang pencipta, yakni Allah SWT, bukan kepada yang lain. Menurut Bambang, gamelan ini mengajarkan manusia untuk mengamalkan ilmu tauhid.

Bambang mencontohkan, saat zaman nenek moyang Cirebon mengalami kekeringan panjang, paceklik, hingga tidak ada air. Saat itu, Keraton Kacirebonan mengumpulkan masyarakat dengan membunyikan gamelan denggung. Setelah berkumpul di lapangan, masyarakat melaksanakann salat istisqo atau salat meminta hujan.

"Atas karunia Allah dan doa yang tulus dari masyarakat maka doa mereka dikabulkan dan hujan pun turun," tutur Bambang.

Dia menegaskan, sejauh ini, masyarakat memandang gamelan denggung merupakan alat musik tradisional yang berfungsi sebagai media untuk mendatangkan hujan. Namun, kata dia, pada hakikatnya alat musik ini merupakan suatu gamelan yang penuh makna simbolik dalam menghadapi persoalan di ruang sosial, yakni haris mandeng sing agung. "Mohon maaf kami di sini gamelan ini jadi inspirasi bagi gamelan Sunda yang namanya degung. Gamelan ini ditabuh bukan oleh sembarang orang. Yang menabuh harus orang-orang yang bersih seperti Sunan Gunung Jati salah satunya," ujar Bambang.Menurut dia, suara gamelan ini juga bisa bermanfaat untuk terapi kesehatan.

"Di dunia internasional sudah ada namanya music therapy. Kenapa tidak gamelan kita jadi musik therapy, musik gamelan denggung sudah membuktikan ternyata bule asal Amerika juga bisa tersentuh jiwanya, terpanggil hatinya mendengar suara musik gamelan ini," ucap Bambang.

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

33 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

Foto: Edzan Raharjo/detikcom

Yogyakarta - Dua gamelan pusaka keraton Yogyakarta telah dibawa ke Masjid Besar Kauman untuk dibunyikan selama 7 hari berturut-turut. Dua gamelan, Kiai Guntur Madu dan Kiai Nogo Wilogo telah ditempat di Pagongan Lor dan Pagongan Kidul di halaman Masjid Besar Kauman.Gamelan setiap hari dibunyikan secara bergantian. Puluhan warga berdatangan untuk menikmati suara gamelan yang ditabuh para abdi dalem. Gamelan dibunyikan pada pagi, siang dan malam selama 7 hari sampai Maulid Nabi Muhammad SAW. Gamelan ini dulunya adalah sebagia media yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam.Gamelan itu ditabuh oleh 17 abdi dalem setiap dibunyikan. Gamelan dibunyikan bergantian, Kiai Nogo Wilogo yang berada di Pagongan lor sekitar 2 jam dibunyikan. Setelah itu berganti Kiai Guntur Madu yang berada di Pagongan kidul.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selama kurun waktu sepekan ini, ada 16 gendhing baku Sekaten yang akan terus menerus dimainkan. Untuk gendhing baku malam hari meliputi Gendhing Rambu, Rangkung, Andong-andong, Lung Gadhung Pel yang semuanya memiliki Laras Pelog Pathet Lima. Selain itu ada pula Gendhing Yahume, Burung Putih, Raja Pulang, Lenggang Rambon, Supiyatun, Ngajatun maupun Salatun. Saat gamelan dibunyikan di sekitar halaman masjid dipenuhi pedagang nasi gurih dan daun sirih untuk menginang. Makna makan nasi gurih saat mendengarkan alunan gamelan itu bahwa ajaran Islam masuk ke hati sanubari dengan rasa gurih yang nikmat. Demikian pula dengan mengunyah daun sirih berarti ajaran Islam itu benar dan bisa merasuk kepada masyarakat.Selain nasi gurih dan sirih, ada juga pedagang endog abang atau telur berwarna merah dan cemeti atau pecut. Cemeti atau pecut ini mengandung makna untuk pengendalian diri manusia dari hawa nafsu.

warga mendengarkan gamelan sekaten Foto: Edzan Raharjo/detikcom

Salah satu warga yang nampak begitu menikmati alunan gamelan, Ngatiyem [72] mengaku suara gamelan tersebut jika didengarkan membuatnya tenteram. Setiap tahun, ia pasti datang untuk mendengar gamelan pusaka ditabuh."Dirungoke marai tentrem teng ati. Pendak tahun kulo mriki. Nek mboten niku gelo. Niki kulo ken ngterke anake, la pun tuo sakniki kulo [didengarkan itu bikin tenteram di hati, setiap tahun kesini untuk melihat. Kalau tidak kesini rasanya kecewa. Tadi saya suruh anter anak saya, karena sekarang sudah tua]," kata Ngatiyem di halaman Masjid Besar Kauman Yogyakarta.Abdi dalem konco inggil, Krido Mardowo, Keraton Yogyakarta, Darjo Siogo [76] yang sudah 25 tahun mengabdi mengungkapkan pada zaman dulu yang datang untuk mendengarkan gamelang jumlahnya jauh banyak. Dulu suaranya yang merdu bisa terdengar sampai jauh. Karena dulu belum seramai sekarang yang banyak suara-suara lain.

"Dulu banyak, untuk mendengarkan gamelan, suaranya merdu itu sampai jauh terdengar," kata Darjo Siogo. [bgs/bgs]

Tradisi sekaten Yogyakarta. ©2015 Merdeka.com/arie sunaryo

JATENG | 19 Oktober 2021 09:35 Reporter : Shani Rasyid

Merdeka.com - Pada tiap menjelang Hari Maulid Nabi Muhammad SAW, acara Sekaten selalu digelar di Alun-Alun Utara Yogyakarta. Saat acara itu digelar, area Alun-Alun Utara akan dipadati pedagang dan pengunjung.

Selain itu di sana juga ada Pasar Malam dengan berbagai wahana permainan dan sirkus. Hanya saja selama masa pandemi ini, perayaan itu tak lagi digelar dalam rangka mencegah penularan COVID-19.

Di balik kemeriahannya, acara Sekaten memiliki nilai filosofis. Sudah ada sejak era Wali Songo, upacara Sekaten dulunya diadakan sebagai sarana penyebaran agama Islam. Dilestarikan oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta, upacara itu masih dijalankan hingga sekarang sampai pada puncak acara yaitu Upacara Garebeg Mulud.

Lantas apa makna filosofis yang terkandung dalam acara itu? berikut selengkapnya:

2 dari 4 halaman

©2014 merdeka.com/kresna

Dikutip dari Jogjaprov.go.id, upacara Sekaten diadakan selama 7 hari dari tanggal 5 hingga tanggal 11 Mulud atau Rabiul Awal. Adapun tahapannya mulai dari Gamelan Sekaten yang mulai dibunyikan mulai jam 16.00 hingga jam 23.00 pada tanggal 5 Rabiul Awal.

Selanjutnya gamelan itu dipindah ke pagongan di halaman Masjid Besar pada tanggal 5 Rabiul Awal mulai jam 23.00. Pada hari-hari berikutnya, gamelan dibunyikan pada waktu malam dan siang hari, kecuali pada waktu salat dan Jumat.

Setelah itu tahap selanjutnya adalah hadirnya Sri Sultan beserta para pengiringnya ke serambi Masjid Besar untuk mendengarkan pembacaan riwayat kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan pada 11 Rabiul Awal mulai jam 20.00 hingga 23.00. Tahap terakhir adalah dikembalikannya lagi Gamelan Sekaten dari halaman Masjid Besar ke keraton yang merupakan pertanda akhir upacara sekaten. Tahapan ini diadakan pada 11 Rabiul Awal mulai pukul 23.00

3 dari 4 halaman

©2014 merdeka.com/kresna

Penyelenggaraan upacara Sekaten mengandung suatu ajaran yang diwujudkan dalam bentuk simbol dan lambang yang terkandung makna di dalamnya. Sebagai contoh, pada tahap gamelan pusaka pertama kali dibunyikan, diselenggarakan upacara udhik-udhik, yaitu penyebaran kepingan uang logam oleh Sri Sultan. Pemberian kepingan uang logam oleh raja ini merupakan lambang dari pemberian anugerah berwujud harta dan berkat wujud tuah kekeramatan.

Selain itu, setiap bagian perangkat Gamelan Pusaka Sekaten memiliki namanya sendiri. Gunturmadu, salah satu nama perangkat, melambangkan turunnya wahyu. Nagawilaga, mengandung makna kemenangan perang yang abadi.

Yaumi, salah satu judul gending sekaten, mengandung makna hari Maulid Nabi Muhammad SAW. Salatun, judul salah satu gending sekaten, mengandung makna berdoa menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

Sementara itu Dhindang Sabinah, judul salah satu gending sekaten, mengandung makna untuk mengenang jasa para mubaligh yang menyiarkan agama Islam.

Ngajatun, salah satu gending sekaten, mengandung makna kemauan hati untuk masuk Islam. Dan Supiyatun, salah satu gending sekaten, mengandung makna kemauan kuat untuk mencapai kesucian hati.

4 dari 4 halaman

©2015 Merdeka.com/arie sunaryo

Selain itu, dalam upacara Sekaten terdapat pula upacara Garebeg Mulud yang masih satu rangkaian. Dalam upacara ini terdapat rangkaian upacara berupa gladi resik, numplak wajik, dan garebeg mulud. Upacara gladi resik diadakan dari tanggal 1 hingga 8 Bulan Mulud. Upacara ini dilaksanakan oleh para prajurit Keraton sebagai persiapan upacara garebeg Mulud.

Setelah itu rangkaian selanjutnya adalah Upacara Numplak Wajik yang menjadi petanda permulaan pembuatan gunungan secara resmi. Upacara ini diadakan empat hari menjelang penyelenggaraan upacara garebeg, yaitu pada tanggal 8 Bulan Mulud.

Sedangkan tahapan terakhir adalah upacara Garebeg Mulud. Inti dari upacara ini adalah mengantarkan gunungan secara beramai-ramai dari kompleks Keraton menuju Masjid Besar. Ada enam gunungan yang dibawa yaitu Gunungan Kakung, Gunungan Putri, Gunungan Gepak, Gunungan Dharat, Gunungan Pawuhan, dan Gunungan Picisan.

Dilansir dari Jogjaprov.go.id, gunungan dalam upacara Sekaten melambangkan lingkungan hidup atau alam dan seisinya, kesuburan, kemakmuran, dan kehidupan. Gunungan Kakung melambangkan pribadi baginda raja, Gunungan Putri melambangkan pribadi permaisuri raja, Gunungan Dharat melambangkan para pangeran, Gunungan Gepak melambangkan putri baginda raja, serta Gunungan Pawuhan melambangkan cucu raja.

[mdk/shr]

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề