Pada awal kemerdekaan lembaga perwakilan yang dianggap dapat mewakili demokrasi perwakilan adalah

A. Pendahuluan

Setelah perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonseia Tahun 1945 [ UUD 1945 ], lembaga perwakilan rakyat pada tingkat pusat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar. Sebelum perubahan lembaga perwakilan rakyat terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat [MPR] dan Dewan Perwakilan Rakyat [DPR], sedangkan setelah perubahan menjadi tiga lembaga; yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah [DPD]. Disamping itu baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945 dikenal juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] Provinsi maupun DPRD Kabupaten dan Kota.

Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan MPR merupakan lembaga tertinggi negara dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Perwakilan dalam MPR terdiri dari tiga pilar perwakilan yaitu perwakilan politik [political representation], yaitu para anggota DPR yang dipilih dalam pemilihan umum, perwakilan fungsional [functional representation], yang terdiri dari para utusan golongan dan perwakilan kedaerahan [regional representation] yaitu para utusan daerah. Karena itu, MPR diartikulasikan sebagai representasi dan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR sebagai lembaga perwaklilan rakyat tidak sama dengan yang dikenal di berbagai negara yang biasanya merupakan lembaga pembentuk undang-undang, akan tetapi hanya terbatas sebagai pembentuk UUD termasuk melakukan perubahan yaitu sebagai lembaga konstituante. Sedangkan lembaga perwakilan yang memiliki kewenangan membentuk undang-undang itu dalam ketatanegaraan Indonesia adalah DPR [walaupun tidak sepenuhnya karena dilakukan bersama Presiden].

Perubahan yang terjadi tidak saja pada jumlah lembaga perwakilan rakyat akan tetapi lebih jauh dari itu, yaitu perubahan pada susunan dan kedudukannya, kewenangannya serta mekanisme pengisian jabatannya. Perubahan ini membawa implikasi yang sangat luas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga negara yang lainnya dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya dalam ketatanegaraan Indonesia, maupun bagi perkembangan negara demokrasi modern. Walaupun sama-sama merupakan lembaga perwakilan rakyat, ketiga lembaga tersebut memiliki fungsi yang berbeda serta keterwakilan [representasi] yang berbeda pula. Dari uruaian tersebut di atas terdapat beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam makalah singkat ini yaitu : a] Perubahan-perubahan apa saja yang dilakukan terhadap sistem perwakilan dalam ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945, dari sisi kelembagaan, kedudukan dan kewenangan, mekanisme pengisian jabatan serta hubungannnya dengan lembaga negara yang lainnya dalam sistem ketatanegaan Indonesia. b] Sejauh mana perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi dan memberikan dukungan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia yang lebih demokratis setelah perubahan UUD 1945.

B. Kerangka Teori Sistem Ketatanegaraan

Sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antar lembaga-lembaga negara. Sistem pemerintahan negara mencakup folosofi yang menjadi dasar hubungan, pengaturan mengenai hubungan serta pembagian kewenangan dan fungsi antar lembaga negara serta institusi lainya yang terkait dengan gerak roda pemerintahan. Dengan demikian sistem pemerintahan mencakup lembaga-lembaga negara, kewenangan dan fungsi lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga-lembaga negara serta pelaksanaan berbagai fungsi dan kewenangan lembaga negara dalam proses penyelengaraan pemerintahan.

Suatu negara hanya akan hidup dan bergerak dinamis jika dijalankan oleh lembaga-lembaga negara sebagai pemegang kekuasaan negara. Sedangkan kekuasaan negara itu dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pada tingkat pusat maupun oleh lembaga negara pada tingkat loka/daerah. Kekuasaan negara dibagi kepada lembaga-lembaga negara yang menurut Miriam Budiardjo dapat dibagi dalam dua cara, yaitu; pertama; secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatannya dan dalam hal ini yang dimaksud adalah pembagian kekuasaan antara bebarapa tingkat pemerintahan. Pembagian kekuasaan ini nampak jelas dapat kita saksikan kalau kita bandingkan antara negara kesatuan, negara federal dan negara konfederasi. Kedua, secara horisontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif yang lebih dikenal dengan trias politica.

Pada abad pertengahan berkembang dua teori mengenai sumber kekuasaan pemerintah/raja. Pertama, kekuasaan datang dari atas yaitu dari Tuhan, seperti yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Karena itu kekuasaan Tuhan diwakili oleh Sri Paus. Seorang raja atau penguasa hanya dapat berkuasa kalau dilantik oleh Sri Paus atau wakilnya yang mendapat restu dari Sri Paus. Kedua, adalah teori yang mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan didelegasikan pada para pemimpin dan rajanya. Jadi menurut pendapat yang kedua ini raja secara simbolis mewakili rakyat dan dia berkewajiban melindungi hidup rakyatnya serta harta benda dan tanahnya. Karena itu lembaga perwakilan rakyat yang mendampingi raja hanyalah mendengar serta mengiyakan pendapat raja dan hal-hal yang akan dilakukannya, dan lembaga perwakilan rakyat atau dewan itu tidak berwenang membahasnya. Pada tingkat ini raja dapat menjadi penguasa absolut.

Karena itulah pemikiran yang mendasari pembagian kekuasaan negara adalah bahwa kekuasaan negara itu tidak diserahkan kepada satu badan akan tetapi dibagi dalam beberapa badan negara agar tidak terjadi penyahgunaan kekuasaan negara oleh satu badan itu yang dikenal dengan doktrin trias politica. Doktrin ini pertama kali dikemukakan oleh John Locke [1632] dan Montesquieu [1689] dan pada taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan [separation of power]. Menurut John Locke kekuasaan negara itu dibagi dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif yang masing-masing terpisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan didalamnya termasuk kekuasaan untuk mengadili dan kekuasaan federatif adalah kekuasaan dalam menjaga keamanan negara dalam hubungannya dengan negara lain. Sedangkan Montesqieu memasukkan kekuasaan mengadili termasuk dalam kekuasaan tersndiri yaitu kekuasaan yudikafif, sedangkan kekuasaan federatif dimasukkan dalam kekuasaan eksekutif.

Akan tetapi sekarang ini, doktrin trias politika sebagai pemisahan kekuasaan yang murni tidak lagi dapat dijalankan seperti yang dipikirkan oleh Montesqiueu. Tidak ada suatu negara pun yang menjalankan pemisahaan kekuasaan itu secara murni bahkan Amerika Serikat sekalipun yang dianggap sebagai negara yang paling mendekati prinsip trias politica itu. Hal in terjadi karena perkembangan negara-negara modern yang begitu sangat kompleks dengan prinsip negara kesejahteraan. Masing masing lembaga negara tidak bisa lagi secara kaku hanya pada bidangnya kekuasaannya saja. Pemerintah tidak terbatas hanya menjalankan undang-undang, tapi juga ikut membahas dan menentukan undang serta membuat berbagai peraturan pelaksanaannya, serta lembaga legislatif ikut mengawasi pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah dan dalam beberapa hal pelaksanaan undang-undang perlu mendapat persetujuan lembaga legislatif.

Demikian halnya di Indonesia sejal awal para perumus UUD 1945 pada tahun 1945 telah memperdebatkan prinsip trias politica ini, yang menurut Soekarno [Presiden Pertama RI] sudah kuno dan sudah kedaluwarsa, kolot, tidak mencukupi, tidak bisa menjamin keadilan sosial, karena itu tidak perlu diikuti. Karena itu sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945 tidak menganut prinsip trias politica. Memang dalam UUD 1945 dikenal lembaga eksekutif [Presiden], legislatif [ DPR ] dan yudikatif [Mahkamah Agung] sebagaimana halnya yang dikenal dalam trias politica, akan tetapi terdapat suatu lembaga negara yang memiki kekuasaan tertinggi yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat dan dianggap penjelamaan dari seluruh rakyat Indonesia, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat [MPR]. Lembaga inilah yang mengangkat Presiden, menetapkan garis-garis besar haluan negara dan Presiden adalah Mandataris MPR. Jadi posisi MPR tidak bisa ditempatkan dalam kerangka teori trias politica. Disamping itu fungsi legislatif bukanlah monopoli DPR, akan tetapi pembahasan dan persetujuan berasama anatara Presiden dan DPR, bahkan posisi DPR dalam UUD 1945, lebih berfungsi sebagai pengawas terhadap Presiden.

Moh. Mahfud mengemukakan bahwa dalam studi ilmu negara dan ilmu politik dieknal adanya tiga sistem pemerintahan negara, yaitu Presidental, Parlementer, dan Referendum.

a. Di dalam sistem Presidental dapat dicatat adanya prinsip-prinsip sebagai berikut :

– Kepala negara menjadi Kepala Pemerintahan

– Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen [DPR], Pemerintah dan Parlemen adalah sejajar.

– Menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden ,

– Eksekutif dan Legislatif sama-sama kuat.

b. Sistem Parlementer, menganut ciri-ciri sebagai berikut :

– Kepala Negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, karena ia lebih bersifat simbol nasional [pemersatu bangsa].

– Pemerintah dilakukan oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri,

– Kabinet bertanggung jawab kepada dan dapat dijatuhkan oleh Parlemen melalu mosi,

– [karena itu] kedudukan eksekutif [kabinet] lebih rendah dari [dan tergatung pada ] parlemen.

Sebagai imbangan dari lebih lemahnya kabinet ini, maka kabinet dapat meminta kepala Kepala Negara untuk membubarkan parlemen [DPR] dengan alasan-alasan yang sangat kuat karena parlemen dinilai tidak representatif. Tapi jika demikian yang terjadi maka dalam waktu yang relatif pendek kabinet harus menyelenggarakan pemilu untuk membentuk parlemen baru.

c. Sistem Referendum. Dalam sistem ini, lembaga eksekutif merupakan bagian darti lembaga legislatif. Jadi Lembaga Eksekutif adalah badan pekerja dari lembaga legislatif yang dibentuk oleh lembaga legislatif sebagai pelaksana tugas pemerintah. Kontrol terhadap lemabaga legislatif dalam sistem ini dilakukan langsuing oleh rakyat melalui lembaga referendum.

Pembuatan undang-undang di dalam sistem referendum ini diputuskan langsung oleh seluruh rakyat nelalui dua macam mekanisme, yaitu :

– Referendum ogligator, yaitu referendum untuk menentukan disetujui atau tidaknya oleh rakyat berlakunya suatu peraturan atau perundang-undangan baru. Referendum ini disebut referendum wajib.

– Referendum fakultatif, yaitu referendum untuk menentukan apakah suatu peraturan atau undang-undang yang sudah ada dapat terus diberlakukan ataukah harus dicabut. Referendum ini merupakan referendum tidak wajib.

C. Kerangka Teori Sistem Perwakilan Rakyat

Sepanjang sejarah yang tercatat, sistem perwakilan rakyat telah dikenal dan berkembang sejak masa Yunani Sebelum Masehi dan terus berkembang hingga sekarang ini. Pada masa Yunani, organisasi negara kota Yunani SM pada umumnya terdiri dari seorang raja atau penguasa sebagai kepala pemerintah, sebuah dewan penasihat penguasa, dan sebuah permusyawaratan rakyat. Di negara kota Sparta dewan penasihat itu dinamakan Gerousia dan badan permusyawaratan rakyat/polis disebut Apella yang di Athena disebut Ekklesia. Secara formal setiap warga negara kota Athena adalah anggota Ekklesia [artinya mereka yang dipanggil] atau lengkapnya Ekklesia tou dimou [permusyawaratan polis]. Setiap anggota Ekklesia berhak untuk didengar, serta ikut dalam pemungutan suara. Masalah yang dibicarakan mancakup semua masalah yang terkait dengan kehidupan rakyat, misalnya pengalokasian dana untuk bangunan umum, tempat-tempat ibadat, patung-patung, jalan jalan, kapal-kapal, masalah perang dan damai, perjanjian dengan negara lain, pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum, dan juga masalah pemilihan para pejabat, pengawasan dan penghukuman mereka, dan lain-lain.

Kerajaan Romawi mengambil alih organisasi kenegaraan dari Yunani itu. Pendiri negara kota Roma, Romulus, memilih seratus orang dari para kepala keluarga dari pengikutnya yang dinamakan Patres dan keturunannya disebut Patriciers [kaum ningrat], untuk menjadi dewan penasihat yang dinamakan Senes yang kemudian dinamakan Senat. Disamping Senes, masih ada dewan penasihat lain yang dinamakan Comitia, yang terdiri dari tiga jenis yaitu comitia, concilia, dan contiones. Dari ketiga Jenis Comitia ini Comitia-lah yang terpenting, karena putusan-putusan Comitia juga mempunyai kekuatan sebagai undang-undang dan dinamakan lex. Comitia dalam sejarah Romawi kemudian berturut-turut dinamakan Comitia Curiata, Comitia Centuriata, dan Comitia Tributa.

Sebelum tahun 500 SM, Senat bersama Comitia Curiata, memilih raja, mempertimbangkan hal-hal yang akan diajukan kepada raja, serta melakukan tugas-tugas keagamaan dan yudisial tertentu. Kemudian timbul badan-badan lain yaitu Concilium Plebis [perwakilan golongan rakyat biasa] dan Comitia Centuriata [perwakilan “komandan satuan-sertaus orang”] yang ikut serta dalam pembentukan undang-undang. Sampai sebelum tahun 287 SM, semua putusan kedua badan tadi memerlukan pengesahan Senat, sedangkan setelah itu, semua putusan plebs sepenuhnya mempunyai kekuatan undang-undang.

Pada masa pemerintahan Islam, khususnya setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW yaitu sejak masa Khalifar Umar ibn Khattab dikenal Asy Asyura atau Ahl Halli Wal Aqdi, yaitu musyawarah beberapa sahabat senior untuk menentukan kebijakan negara dan nuntuk mengangkat khalifah, walaupun dalam bentuk yang belum terlembagakan secara tersendiri. Sebelum masa Islam, di kota Mekkah telah dikenal apa yang disebut Darun Nadwah, yaitu perwakilan tokoh-tokoh masyarakat di kota Mekkah untuk merumuskan masalah negara dan kemasyarakatan. Pembentukan lembaga Majelis Asy Syura atau Ahl Halli Wal Aqdi yang pertama sekali dalam sejarah Islam yaitu pada masa pemerintah Bani Umayyah II di Spanyol yaitu pada masa Khalifah Al Hakam II [961-976 M]. Pada saat itu anggota dari Ahl Halli Wal Aqdi terdiri dari pembesar-pembesar negara dan sebagian lagi pemuka masyarakat, dan yang bertindak sebagai ketua adalah langsung oleh Khalifah. Kedudukan anggota Majelis Asy Syura ini adalah setingkat dengan pemerintah. Lembaga ini melakukan musyawarah dalam masalah-masalah hukum dan membantu khalifah menjalankan pemerintahan negara.

Pada awal kerajaan-kerajaan Anglo Saxon – yang paling terkenal adalah Raja Kent dan Wessex – raja hanya mengumumkan undang-undangnya dengan persetujuan Witans [ permusyawaratan orang-orang besar, orang awam, kaum rohaniawan dan golongan-golongan]. Dari lembaga Witans inilah kemudian berkembang dewan/badan penasihat bagi raja yang dikenal dengan curiae regis, concilia dan kemudian magna concilia. Para anggota dewan ini dilibatkan dalam masalah-masalah negara dengan maksud agar mereka terlibat juga dalam pelaksanaan putusan-putusan raja.

Di Inggeris pada awalnya badan ini dinamai magnum concilum, yang merupakan lembaga feodal yang terdiri dari kaum ningrat dan rohaniawan, yaitu suatu lembaga yang memberikan legitimasi bagi raja untuk memungut pajak kalau kas raja kosong. Karena hal ini terlalu sering dilakukan oleh raja maka pada 15 Juni 1215, para bangsawan dan rohaniawan memaksa raja untuk menandatangani Magna Charta, yaitu suatu piagam yang mengandung prinsip bahwa Raja terikat kepada hukum dan rakyat mempunyai hak untuk menciptakan mekanisme agar raja mematuhinya, kalau perlu melalui pemberontakan. Pada tahun 1254, keanggotaan magnum concilium mulai diperluas dengan ditambah wakil-wakil rakyat biasa [the commoners] dari distrik-distrik [countes] dan kota-kota. Badan inilah yang kemudian berkembang menjadi parlemen di Inggeris. Badan ini menyetujui permintaan raja akan tetapi setelah mereka mengeluarkan keluhan dan uneg-unegnya, dan inilah yang menjadi fungsi pertama dari parlemen.

Karena terjadi perebutan kekuasaan antara raja dan parlement yang selalu muncul selama lebih kurang 4 abad di Inggeris hingga terjadi perang saudara selama 1640-1648 menyebabkan dihabpuskannya jabatan raja. Tampuk kekuasaan dipegang oleh parlemen yang kemudian menimbulkan sistem diktatur. Walaupun kemudian tampuk kekuasaan dipegang kembali oleh raja namun parlemen telah berhasil mengeluarkan beberapa keputusan penting yang membatasi kekuasaan raja antara lain Habeas Corpus Act [1679] yang mencegah penangkapan/penahanan seseorang secara sewenang-weanng oleh penguasa. Kemudian pada tahun 1689 keluar Bill of Rights yang menutup kemungkinan peniadaan atau pengurangan kekuasaan parlemen oleh raja. Raja tidak mungkin lagi menarik pajak dari rakyat tanpa persetujuan parlemen dan raja tidak diperkenankan lagi menerbitkan peraturan-peraturan kecuali dalam rangka pelaksanaan undang-undang buatan parlemen. Pada tingkat terjadilah pembedaan antara kekuasaan membentuk undang-undang dan kekuasaan pemerintahan.

Sejak abad ke-14, para anggota parlemen Inggeris secara lambat laun memisahkan diri ke dalam dua kelompok yaitu kaum rohaniawan dan ningrat [the lords spiritual an temporal] di satu pihak dan sisanya yaitu para wakil dari kota dan pedesaan di lain pihak. Mengingat perbedaan sosial antara dua kelompok itu dianggap alamiah, terbagilah parlemen Inggeris dalam dua kamar yaitu kamar pertama : The House of Lords dan kemar kedua : The House of Commons. Kamar pertama ditempati oleh para anggota yang diangkat seumur hidup yaitu para kepala gereja dan kaum ningrat bahkan anggota dari kaum ningrat bisa diwariskan kepada keturunannya sepanjang masih memiliki keturunan laki-laki, sedangkan kamar yang kedua diisi oleh para anggota yang memperoleh kedudukannya melalui pemilihan umum. Pemisahan dua kamar ini pada perkembangan selanjutnya berhubungan erat dengan tata cara pengambilan putusan. Kamar yang pertama : The House of Lords menjaga terhadap kecerobohan atau keradikalan kamar yang kedua.

Perkembangan yang sama juga terjadi di Eropa daratan, walaupun sedikit berbeda dengan di Inggeris karena perkembangan lembaga perwakilan itu sering terputus oleh perang dan revolusi yang terus menerus. Akan tetapi dalam lembaga perwakilan itu selalu terwakili kelompok ningrat dan rohaniawan di satu pihank dan golongan rakyat biasa di pihak lain.

Berbeda dengan di Inggeris, di Amerika sebagai negara baru membentuk sistem pemerintahan khususnya lembaga perwakilan berdasarkan teori-teori yang berkembang pada saat itu berdasarkan pengalaman negara-negara Eropa dan Inggeris yang cukup lama. Parlemen di Amerika Serikat terbagi dalam dua kamar yaitu terdiri dari Senat, kamar pertama, dan House of Representatif [HoR], kamar kedua. Senat diisi oleh perwakilan negara-negara bagian yang dipilih satu kali dalam 4 tahun, sedangkan Houseof Representative dipilih setiap 2 tahun sekali yang mewakili daerah-daerah pemilihan secara proporsional di seluruh negara Amerika Serikat. Kedua kamar parlemen di Amerika ini sama-sama memiliki hak membahas dan menyetujui setiap undang-undang, walaupun dalam beberapa hal parlemen memiliki posisi yang lebih berwibawa daripada HoR antara lain karena memiliki kewenangan selaku pengadilan dalam hal untuk memberhentikan Predisen atau hakim federal. Setiap undang-undang diajukan dan di bahas oleh masing-masing kamar dan disetujui oleh kamar lainnya serta oleh Presiden dan Presiden memiliki hak veto dalam hal ia tidak setuju atas suatu rancangan undang-undang. Dalam hal yang demikian rancangan undang-undang itu diputuskan secara final oleh sidang Congress [gabungan Senat dan HoR], yang apabila disetujui oleh 2/3 anggota Congress rancangan undang-undang itu menjadi undang-undang dan veto Presiden gugur.

Konsep perwakilan rakyat ini terus berkembang dan memiliki beberapa corak yang berbeda sesuai dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara. Pada garis besarnya paling tidak ada dua konsep yang menonjol dalam pemikiran Barat mengenai sistem perwakilan, yaitu pertama; konsep yang terkait dengan hubungan antara lembaga perwakilan dengan pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut ada dua konsep yang berkembang yaitu, pertama; lembaga perwakilan dimaksudkan untuk mengekang dan mencegah tindakan sewenang-wenang raja terhadap rakyat. Jadi lembaga perwakilan rakyat sebagai sarana untuk membatasi kekuasaan raja terhadap rakyat, kedua; lembaga perwakilan rakyat dimasudkan untuk menggantikan sistem demokrasi langsung, sehingga melalui lembaga perwakilannya masyarakat dapat berpartisipasi dalam penentuan masalah-masalah kenegaraan.

Konsep kedua, terkait dengan hubungan lembaga perwakilan dengan rakyatnya, yang dalam hal ini berkembang dua konsep, yaitu pertama; wakil yang duduk dalam lembaga perwakilan tidak tergantung pada kehendak atau instruksi dari mereka yang memilihnya artinya para wakil itu bebas untuk bertindak dan mebuat kebijaksanaan nasional berdasarkan keyakinannya sendiri. Menurut konsep ini, para wakil terpilih bukanlah untuk membela/mengurus kepentingan para pemilihnya saja tetapi untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan. Inggeris dan Perancis, juga Jerman menganut konsep ini. Kedua; didasarkan pada teori kedaulatan rakyat yang mengajarkan bahwa para wakil dalam lembaga perwakilan hanya merupakan perantara saja [the people’s agents]. Karenya para wakil itu harus mengikuti instruksi para pemilihnya atau rakyat. Amerika Serikat termasuk penganut konsep yang kedua ini.

Dalam perkembangan modern sekarang ini lembaga perwakilan rakyat telah berkembang sedemikian rupa, sehingga memiliki fungsi yang cukup luas dan beragam dan tidak lagi terpaku pada fungsi legislagi seperti konsep Montesqieu. Menurut Robert A. Packenham, seperti dikutip Tambunan; fungsi-fungsi lembagaperwakilan rakyat yang ditelitinya di Afrika, Asia dan Amerika Selatan, adalah :

legitimation,

safety valve

recruitment, socialization, training

law making

interest articulation

“exit” fuction [penggantian pemerintah]

administrative oversight & patronage

arrange-running function

dacision making

mobilization

promote national integration and development of a national identity

representation & consensus building

election

channeling inter-group conflict

teaching

communication function.

LembagaPerwakilan Rakyat di Amerika Serikat memiliki fungsi, sebagai berikut :

representative

Legislatif

Administratif, misalnya dalam melakukan pengawasan terhadap administrasi pemerintahan serta pengangkatan pejabat-pejabat administratif pemerintahan,

Investigative, seperti pada saat persiapan pembuatan rancangan undang-undang atau penyelidikan atas kasus-kasus tertentu,

Judiciaf function, seperti impeachment terhadap Presiden maupun hakim federal

D. Struktur Ketatanegaraan Sebelum Perubahan UUD 1945

Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia telah telah dipergunakan tiga undang-undang dasar, yaitu, pertama; Undang-Undang Dasar 1945, periode pertama, [18 Agustus 1945 s/d 28 Oktober 1949], periode kedua [5 Juli 1959 s/d Oktober tahun 1999] dan periode ketiga [1999-sekarang], kedua; Konstitusi Republik Indonesia Serikat [ 27 Desember 1949 s/d 16 Agustus 1950], dan ketiga; Undang-Undang Dasar Sementara 1950 [17 Agustus 1950 s/d 4 Juli 1959]

Pada periode pertama, berlakunya UUD 1945 sangat singkat dengan menggunakan sistem pemerintahan berdasar undang-unang dasar tersebut. Namun tidak bisa berjalan baik karena masa revolusi dan perang kemerdekaan. Kabinet pertama yang terbentuk berdasar undang-undang dasar 1945 adalah kabinet kuasi Presidensiil yang dibentuk pada tanggal 2 Sptember 1945. Baru dua bulan kabinet terbentuk, keluarlah Maklumat Wakil Presiden Nonor X Tahun 1945, yaitu penyerahan kekuasaan legislatif dari MPR dan DPR kepada Komite Nasional Pusat [KNIP] sebelum MPR dan DPR terbentuk, dan pembentukan Badan Pekerja KNIP. Atas usul Badan Pekerja KNIP tanggal 11 November 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang berisi perubahan sistem pemerintahan menjadi sistem Parlementer.

Pada saat berlakunya Konstitusi RIS, dimana negara Indonesia berubah menjadi Negara Serikat, menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Demikian juga pada masa berlakunya UUDS 1950 juga menerapkan sistem pemerintahan parlementer, yaitu kabinet dipimpin oleh Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.

Setelah kembali pada UUD 1945 dengan Dektrit Presiden 5 Juli 1959, berlakulah kembali UUD 1945, yang dalam perkembangan praktek pemerintahan selanjutnya terjadi berbagai penyimpangan dari ketentuan undang-undang dasar antara lain dengan sistem demokrasi terpimpin pada masa Orde Lama dan menjadikan Presiden Soekarno sangat berkuasa dan menjadi Presiden seumur hidup. Pada masa Orde Baru Presiden Soeharto merubahnya menjadi demokrasi Pancasila namun pada akhirnya juga tidak berjalan dengan baik.

Untuk mengetahui sistem pemerintahan yang dinaut UUD 1945, perlu memperhatikan penjelasan UUD 1945 yang menguraikan secara singkat sistem penyelenggaraan kekuasaan negara yang dianut oleh undang-undang dasar tersebut. Dalam penjelasan itu diuraikan tentang sistem pemerintahan negara yang terdiri dari tujuh prinsip pokok, yaitu sebagai berikut :

Prinsip negara berdasar atas hukum [rechtsstaat] bukan atas kekuasaan belaka [machtstaat] dan prinsip sistem konstitusinal [berdasarkan atas konstitusi] tidak berdasar atas absolutisme. Prinsip selanjutnya adalah kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat [MPR]. Penjelasan UUD 1945 menerangkan bahwa kedaulatan dipegang oleh suatu badan, bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan negara, mengangkat Kepala Negara [Presiden] dan Wakil Presiden. Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah mandatris dari Majelis. Presiden tidak “neben” tetapi “untergeordnet” kepada Majelis. MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara [TAP MPR NO. III/1978], sedangkan lembaga negara yang lainnya adalah merupakan Lembaga Tinggi Negara dan Presiden memegang posisi sentral karena dialah mandataris MPR.

Prinsip selanjutnnya, Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara tertinggi di bawah Majelis. Penjelasan UUD 1945 menguraikan bahwa dibawah MPR, Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dalam menjalankan pemerintahan negara. Kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan Presiden [concentration of power and responsibility upon the presiden]. Presiden adalah mandataris MPR, dia tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Dengan posisi madataris itulah Presiden memiliki diskresi kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar. Disamping memegang kekuasaan eksekutif [executive power], Presiden juga sekaligus memegang kekuasaan legisltaf [legislative power]. Meskipun demikian ditegaskan bahwa kekuasaan Presiden sebagai kepala negara tidak tak terbatas. Presiden senantiasa dapat diawasi oleh DPR, dan Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Karena itu Presiden harus dapat bekerja bersama-sama dengan DPR, akan tetapi Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR.

Menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada DPR. Karena itu kedudukan menteri-menteri negara tidak tergantung DPR akan tetapi tergantung Presiden. Meskipun mereka adalah pembantu Presiden, tetapi Menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa, karena menteri-menteri itulah yang menjalankan kekuasaan pemerintah dalam praktek. Menteri-menteri negara memimpin departemen.

Lebih lanjut, penjelasan UUD 1945 menguarikan bahwa kedudukan DPR adalah kuat. Disamping Presiden adalan Dewan Perwakilan Rakyat. DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden. Setiap saat DPR dapat mengawasi Presiden, dan jika dalam pengawasan itu DPR menemukan bahwa Presiden telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau yang telah ditetapkan oleh MPR, maka MPR dapat diundang untuk mengadakan persidangan istimewa agar bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden.

Kewenangan DPR yang diatur dalam UUD 1945 sangat minim, yaitu memberi persetujuan atas undang-undang yang dibentuk Presiden [pasal 20 ayat 1 dan 2 jo pasal 5], memberi persetujuan atas PERPU [pasal 22], memberi persetujuan atas anggaran [pasal 23] dan persetujuan atas pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden. Kewenangan DPR untuk mengawasi pemerintah/Presiden dan kewenangan untuk meminta MPR mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungan jawab Presiden [fungsi kontrol] hanya diterangkan dalam penjelasan.

Disamping itu UUD 1945, juga mengintrodusir badan-badan negara yang lain seperti Dewan Pertimbangan Agung [DPA], dan Badan Pemeriksa Keuangan [BPK]. DPA hanya untuk memberi nasihat belaka kepada Presiden apakah diminta atau tidak diminta. DPA ini dijelaskan dalam pejelasan UUD adalah semacan “Council of State”. Sedangkan BPK adalah badan negara yang diberi tugas dan wewenang untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara, yaitu suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, tapi tidak pula berdiri di atas pemerintah.

Demikianlah sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan. Dalam sistem seperti ini MPR merupakan lembaga negara terpenting karena lembaga ini adalah penjelmaan seluruh rakyat. Setelah itu adalah Presiden, karena Presiden adalah “mandataris” MPR. Dengan demikian kelembagaan negara dalam sistem pemerintahan ini terstruktur, yaitu MPR memegang kekuasaan negara tertinggi sebagai sumber kekuasaan negara dan dibawahnya adalah Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di bawah MPR. Sistem seperti ini tidak menganut prinsip check and balances, dan tidak mengatur pembatasan yang tegas penyelenggaraan kekuasaan negara antara lembaga negara. Karena kelemahan inilah dalam praktek ketatanegaraan Indonesia banyak disalahgunakan dan ditafsirkan sesuai kehendak siapa yang memegang kekuasaan.

Dengan demikian sistem perwakilan rakyat dalam periode UUD 1945, sebelum perubahan khususnya MPR memiliki kewenangan yang sangat besar, yaitu sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat dan dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam sistem perwakilan itu sendiri terbagi dalam dua lembaga yaitu, pertama; MPR memiliki kewenangan sangat besar yang anggotanya terdiri anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan golongan , dan kedua; DPR, yang memiliki kewenangan hanya dalam bidang membahas dan menyetujui rancangan undang-undang, rancangan Anggaran Belanja Negara dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Posisi kedua lembaga perwakilan – MPR dan DPR – tidak seperti posisi parlemen dua kamar yang dikenal di negara-negara lain yaitu Senat dengan House di Amerika Serikat, akan tetapi suatu sistem yang bersifat multicameral.

E. Struktur Ketatanegaraan Setelah Perubahan UUD 1945

Ada beberapa prinsip sistem pemerintahan yang dianut setalah perubahan UUD 1945, yaitu pertama, prinsip negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang kekuasaannya dibatasi oleh hokum dan konstitusi. Negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia dan prinsip due process of law. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaran peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Prinsip negara hukum ini diperkuat oleh prinsip penghormatan dan jaminan terhadap hak asasi mansuia.

Kedua, sistem konstitusional yang berdasarkan pada sistem check and balances yaitu sistem yang saling mengimbangi antara lembaga-lembaga kekuasaan negara. Sistem ini memberikan pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara sesuai undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing. Atas dasar semangat itulah perubahan pasal 1 ayat 2, UUD 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari “Kedaulatan ditangan rakyat dan dalakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa kedautalan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang dasar yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar oleh lembaga-lembaga negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya dalam undang-undang dasar. Oleh karena itu kedaulatan rakyat, dilaksanakan oleh MPR, DPR, DPD, Presdiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, BPK dan lain-lain sesuai tugas dan wewenangnya yang diatur oleh UUD. Bahkan rakyat secara langsung dapat melaksanakan kedaulatannya untuk menentukan Presiden dan Wakil Presidennya melalui pemilihan umum.

Sistem ini tetap dalam frame sistem pemerintahan presidensial, bahkan mempertegas sistem presidensial itu, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, akan tetap bertanggung kepada rakyat dan senantiasa dalam pengawasan DPR dan DPD. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang jenisnya telah ditentukan dalam undang-undang dasar atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang dasar.

F. Sistem Perwakilan Rakyat Sesudah Perubahan UUD 1945

Perubahan UUD 1945 membawa perubahan yang cukup mendasar mengenai sistem perwakilan dalam ketatanegaraan Indonesia. Paling tidak ada tigak aspek mendasar mengenai lembaga perwakilan rakyat setelah perubahan UUD 1945, yaitu; mengenai struktur kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, fungsi dan kewenangannya serta pengisian anggota lembaga perwakilan.

Ada tiga lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. MPR memiliki fungsi yang sama sekali berbeda dengan DPR dan DPD, sedangkan DPR dan DPD sendiri memiliki fungsi yang hampir sama, hanya saja DPD memiliki fungsi dan peran yang sangat terbatas. Jika dilihat dari jumlah lembaga perwakilan rakyat maka sistem perwakilan yang dianut bukanlah sistem bikameral karena ada tiga lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan jika melihat hanya DPR dan DPD maka kedua lembaga perwakilan ini merupakan bentuk sistem bikameral akan tetapi bukan sistem bikameral yang murni [strong bicameral]. Keanggotaan DPR adalah representasi rakyat di seluruh Indonesia secara proporsional melalui partai politik [political representation] dan DPD sebagai representasi dari daerah [daerah provinsi] dari seluruh Indonesia [regional representation] memiliki posisi yang sama sebagaimana tercermin dalam jumlah anggota DPD yang sama banyaknya dari setiap provinsi.

Memperhatikan tugas dan kewenangan MPR dalam UUD 1945, sebagai lembaga perwakilan, MPR hanya memiliki tiga fungsi yang pokok yaitu; fungsi legislasi yaitu melakukan perubahan dan atau menetapkan undang-undang dasar, fungsi administratif, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden serta memilih/mengangkat Presiden atau Wakil Presiden dalam hal-hal tertentu, serta fungsi judikatif yaitu memutuskan untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang diusulkan oleh DPR. Dengan demikian dibanding dengan sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan dari MPR menjadi sangat terbatas dan limitatif . Walaupun demikian kewenangan MPR merubah dan menetapkan undang-undang dasar serta memberhentikan serta mengangkat dan memilih presiden atau wakil presiden dalam hal-hal tertentu menunjukkan adanya kwenangan besar yang dimiliki MPR. Hal ini adalah wajar karena MPR adalah gabungan dari seluruh anggota DPR dan DPD.

Sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat [1] UUD 1945 DPR memiliki kekuasaan membentuk undang-undang menunjukkan adanya semangat untuk memperkuat posisi DPR sebagai lembaga legislatif. Namun dalam kenyataannya kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang sama kuatnya dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah [Presiden] yaitu masing-masing memiliki lima puluh persen hak suara, karena setiap undang-undang harus memperoleh persetjuan bersama antara pemerintah dan DPR.

Disamping itu DPR memiliki fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi anggaran terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Disinilah keterlibatan DPR dalam administrasi pemerintahan, yaitu mengontrol agenda kerja dan program pemerintahan yang terkait dengan perencanaan dan penggunaan anggaran negara. Dalam melakukan fungsi pengawasan DPR diberikan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, serta hak yang dimiliki oleh setiap anggota DPR secara perorangan yaitu hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan perndapat serta hak imunitas.

Dewan Perwakilan Rakyat juga memeliki fungsi-funsi lainnya yang tersebar dalam UUD 1945 yaitu :

– Mengusulkan pemberhentian Presiden sebagai tindak lanjut hasil pengawasan; [pasal 7A]

– Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden dalam hal MPR tidak dapat melaksanakan sidang untuk itu; [pasal 9]

– Memberikan pertimbangan atas pengengkatan duta dan dalam hal menerima duta negara lain [pasal 13]

– Memberikan pertimbangan kepada Presiden atas pemberian Amnesti dan Abolisi; [Pasala 14 ayat 2]

– Memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; [pasal 11]

– Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan; Pasal 23F]

– Memberikan persetujuan atas pengangkatan anggota Komisi Yudisial; [pasal 24B ayat 3].

– Memberikan persetujuan atas pengangkatan Hakim Agung [Pasal 24A ayat 3];

– Mengajukan 3 dari 9 orang anggota hakim konstitusi; [pasal 24C ayat 3]

Dari berbagai fungsi DPR tersebut di atas tercermin adanya fungsi-administratif dari DPR sebagai lembaga perwakilan disamping fungsi legislasi.

Mekanisme pengisian anggota DPR dipilih seluruhnya melalui pemilihan umum melalui partai politik yaitu berdasarkan sistem perwakilan perorangan [peple representative]. Karena itu jumlah anggota DPR dari setiap dari adalah proporsional sesuai jumlah penduduknya, kecuali dalam hal-hal tertentu karena kondisi daerah yang sangat jarang penduduknya. Secara konseptual keterwakilan anggota DPR dalam lembaga menitik beratkan untuk menyuarakan kepentingan nasional dengan tidak mengabaikan daerah yang diwakilinya [konstituen].

Disamping DPR terdapat DPD sebagai lembaga perwakilan yang dimaksudkan untuk memberikan tempat bagi daerah-daerah menempatkan wakilnya dalam lembaga perwakilan tingkat nasional untuk mengakomodir dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan daerahnya sehingga memperkuat kesatuan nasional [national integration dan national identity]. Dengan demikian sistem perwakilan DPD adalah bersifat regional representative. DPD memiliki kewenangan terbatas dibanding dengan DPR. Keterwakilan anggota DPD, adalah berasal dari calon-calon perorangan dari setiap daerah provensi yang dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah tersebut. Hal ini dimkasudkan agar para anggota DPD fokus untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya, yaitu seluruh aspek yang terkait dengan daerah yang diwakilinya. Secara konseptual keterwakilan dari anggota DPD adalah merupakan agen dan penyambung lidah konstituennsya yang ada di daerah dalam tingkat nasional.

UUD 1945, memberikan kewenangan yang terbatas kepada DPD dalam bidang legislasi, anggaran serta pengawasan. Dalam bidang legislasi DPD hanya berwenang untuk mengajukan dan ikut membahas Rancangan Undang-undang [RUU] yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah [pasal 22D ayat 2 dan 2]. Walaupun disebutkan secara limitatif kewenangan DPD untuk mengajukan dan membahas RUU-RUU tersebut, namun kewenangan itu tidak terbatas pada lima macam RUU itu saja, tetapi lebih luas dari itu yaitu segala RUU yang ada kaitannya dengan kelima jenis substansi RUU yang telah disebutkan itu. Disamping itu, DPD juga berwenang memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama [pasal 22D ayat 2]. Keterlibatan DPD untuk memberikan pertimbangan dalam pembahasan RUU tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada DPD memberikan pandangan-pandangan dan pendapatnya atas RUU-RUU tersebut karena pasti berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah. Kewenangan bidang pengawasan yang diberikan kepada DPD hanya terbatas pada pengawasan atas undang-undang yang terkait dengan jenis undang-undang yang ikut dibahas dan atau diberikan pertimbangan oleh DPD dalam pembahasannya. Hal ini dilamaksudkan sebagai kesenimabungan kewenangan DPD untuk mengawasi pelaksanaan berbagai RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Selain itu DPD juga diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan atas pengangkatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Latar belakang pemberian kewenangan ini disebabkan karena BPK itu adalah mengawasi penggunaan uang dari UU APBN yang ikut diberikan pertimbangan oleh DPD dalam pembahasannya.

Dengan pertimbangan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan dimana para anggota DPD tidak seperti senator yang mewakili negara bagian dalam sistem negara federal akan tetapi mewakili bagian-bagian daerah Indonesia maka adalah tidak tepat menempatkan DPD dalam posisi yang sangat kuat seperti itu, toh DPR juga mewakili daerah-daerah pemilihan dari seluruh Indonesia. Pada sisi lain dari kajian studi banding sistem perwakilan di berbagai negara ternyata bahwa sistem perwakilan seperti ini adalah lazim dipergunakan bahkan sebagian besar sistem perwakilan itu menggunakan sistem dua kamar yang memiliki kewenangan yang tidak sama. Menempatkan wakil-wakil daerah dalam suatu lembaga perwakilan yang secara formal sederajat dengan lembaga perwakilan dan lembaga negara yang lain pada tingkat nasional dianggap cukup untuk kepentingan daerah dan kepentingan merperkuat kesatuan nasional kita [national integrity].

Dari uraian di atas nampak jelas bahwa sistem perawikan yang kita anut bukanlah sistem bikameral akan tetapi masih sitem unikameral karena terdiri dari tiga kamar yaitu, DPR, DPD dan MPR, dimana anggota MPR adalah terdiri dari dari anggota DPR dan anggota DPD [bukan terdiri dari DPR dan DPD]. Sedangkan dari sisi legislasi lebih tepat system perwakilan kita adalah system unicameral.

Memperhatikan sistem perwakilan rakyat yang dianut setelah perubahan UUD 1945, telah mengandung semangat demokrasi yang cukup kuat. Hal ini terbukti dengan adanya penegasan mekanisme rekrutmen anggota lembaga perwakilan yang seluruhnya dipilih melalui mekanisme yang sangat demokratis yaitu seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Demikian juga tercermin dalam upaya memperkuat posisi lembaga perwakilan [DPR dan DPD] dengan menegaskan fungsi-fungsi lembaga perwakilan dalam bidang legislasi dan anggaran yang lebih tegas. Disampiung itu pemberian hak-hak DPR dan DPD yang dijamin UUD untuk mengawasi Presiden/pemerintah serta keterlibatan lembaga perwakilan dalam penentuan kejabakan administrasi pemerintahan tertentu, menunjukkan bahwa fungsi lembaga perwakilan telah menembus masalah-masalah administratif bahkan pada beberapa fungsi yudikatif yaitu menuntut pemberhentian Presiden setlah melalui penyeldikan oleh DPR serta penentuan hakim agung dan hakim konstitusi. Tetapi pada sisi lain, kewenangan MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dikurangi yaitu hanya pada fungsi legislasi pada tataran perubahan dan penetapan undang-undang dasar dan fungsi administratif dalam pelantikan Presiden serta pemilihan Presiden atau wakil presiden dalam hal-hal tertentu.

Pada sisi lain dengan jaminan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang dasar memberikan hak-hak politik yang lebih nyata dan transparan kepada rakyat dalam melakukan akes terhadap pemerintahan baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan rakyat yang ada.

G. Kesimpulan

  1. Lembaga perwakilan rakyat setelah perubahan UUD 1945 terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dilihat dari struktur kelembagaan tiga lembaga perwakilan rakyat tersebut jelaslah bahwa sistem perwakilan yang dianut bukan sistem bikameral akan tetapi suatu sistem yang khas Indonesia yang bersifat multikameral. Akan tetapi jika hanya melihatnya dari dua lembaga perwakilan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga ini menunjukkan adanya sistem bikameral. Akan tetapi melihat fungsi dan kewenangan DPD yang sangat terbatas sistem perwakilan ini tidak menganut sistem bikameral murni [strong bicameralis].
  2. Dari sisi kewenangan sebagai lembaga perwakilan rakyat, terdapat reduksi kewenangan MPR dibanding dengan sebelum perubahan dan penguatan terhadap lemabaga DPR sebagai representasi ppolitik [politic representation] dan penguatan pada akomodasi keterwakilan daerah dengan dibentuknya DPD sebagai representasi daerah [regional representation].
  3. Posisi lembaga perwakilan secara keseluruhan ditempatkan pada posisinya sebagai lembaga yang cukup kuat dan independen, memiliki posisi strategis bagi jalannya sistem ketatanegaraan yang lebih baik dengan prinsip “check and balances”, serta memperkuat demokrasi sebagai salah satu asas hukum tatanegara.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Suatu Studi Sosio-Legal atas Konstitusi 1956 -1959, Cet. kedua, Grafiti, Jakarta, 2001.

Fuad Said, Ketatanegaraan Menurut Syari’at Islam, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 2001.

Janedri M. Gafar, Agung Djojosoekarto, at.al., Editor, Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Kerjasama Sekretariat Jenderal MPR dengan UNDP, 2003.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, 2004

———- Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Pertama, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Kusuma, RM. A.B., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan keduapuluh tujuh, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.

Moh.Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.

Moh. Kusnadi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1981.

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001.

Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Ketiga, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1952.

Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Semua Harus Terwakili, Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR dan Lembaga Kepresidenan Indonesia, Jakarta, 2000.

Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Hukum Tata Negara, Edisi Baru, CV. Rajawali, Jakarta, Cetakan Kedua,1984

Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, PT RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2005.

Tambunan, A.S.S., Hukum Tata Negara Perbandingan, Puporis Publishers, Jakarta, 2001

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề