Pada saat musim hujan tiba justru membuat nelayan mengurangi intensitas melaut karena

Musim kemarau di Indonesia terjadi pada saat (Mei sampai September). Pada saat itu, angin muson dari Benua Australia atau disebut angin timur yang bertekanan maksimun bergerak menuju Benua Asia yang bertekanan minimum melalui wilayah Indonesia. Karena Benua Australia sekitar 2/3 wilayahnya berupa gurun, maka udara yang bergerak tadi relatif sedikit uap air yang dikandungnya. Selain itu, udara tadi hanya melewati wilayah lautan yang sempit antara Australia dan Indonesia, sehingga sedikit pula uap yang dikandungnya. Pada saat itu, di Indonesia terjadi musim kemarau.

Pada musim hujan, petani Indonesia mulai menyiapkan lahannya untuk bercocok tanam. Jenis tanaman yang ditanam adalah yang membutuhkan air pada awal pertumbuhannya, contohnya padi. Sementara itu, nelayan Indonesia justru mengurangi frekuensi melaut karena biasanya pada saat tersebut sering terjadi cuaca buruk dan gelombang laut cukup besar, sehingga membahayakan mereka. Ikan juga lebih sulit ditangkap, sehingga terjadi kelangkaan pasokan ikan dan akibatnya harga ikan lebih mahal dari biasanya. Musim hujan tentu tidak banyak berpengaruh pada aktivitas masyarakat Indonesia yang pekerjaannya tidak berhubungan langsung dengan alam, misalnya pegawai atau karyawan.

Pada saat musim kemarau,

Sebagian petani terpaksa membiarkan lahannya tidak ditanami karena tidak adanya pasokan air. Sebagian lainnya, masih dapat bercocok tanam dengan mengandalkan air dari sungai atau dari saluran irigasi. Ada pula petani yang berupaya bercocok tanam walaupun tidak ada air yang cukup dengan memilih jenis tanaman atau varietas yang tidak memerlukan banyak air. Pada saat musim kemarau, nelayan dapat mencari ikan di laut tanpa banyak terganggu oleh cuaca yang buruk. Hasil tangkapan ikan juga biasanya lebih besar dibanding musim hujan, sehingga pasokan ikan juga cukup berlimpah.

Musim kemarau di Indonesia, pola angin muson yang bergerak menuju wilayah Indonesia pada saat angin barat dimanfaatkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia untuk melakukan perpindahan atau migrasi dari Asia ke berbagai wilayah di Indonesia. Perahu yang digunakan untuk melakukan migrasi tersebut masih sangat sederhana dan pada saat itu masih mengandalkan kekuatan angin, sehingga arah gerakannya mengikuti arah gerakan angin muson.

sebelum masehi terjadi gelombang perpindahan rumpun bangsa yang berbahasa Melayu-Austronesia (Melayu Kepulauan Selatan). Melayu-Austrononesia ialah suatu ras Mongoloid yang berasal dari daerah Yunan di Cina Selatan. Dari tempat itu mereka menyebar ke daerah-daerah hilir sungai besar di Teluk Tonkin. Pada sekitar 200 SM (Sebelum Masehi), mereka pindah menyebar ke daerah-daerah Semenanjung Malaya, Indonesia, Filipina, Formosa, pulau-pulau Lautan Teduh sampai ke Madagaskar. Kelompok migrasi dari Yunan ke Indonesia inilah yang dianggap sebagai asal mula nenek moyang bangsa Indonesia.

Keadaan iklim pada saat nenek moyang datang ke Indonesia tidak berbeda dengan keadaan iklim saat ini. Secara umum, keadaan curah hujan di Indonesia tergolong tinggi tetapi tidak merata. Ada wilayah yang sangat tinggi curah hujannya, tetapi ada yang sangat rendah. Jika kalian perhatikan peta sebaran curah hujan tampak wilayah Kepala Burung Papua Barat (sebelah barat Manokwari) memiliki curah hujan yang sangat tinggi. Curah hujan yang rendah tersebar di wilayah Nusa Tenggara dan Sulawesi Utara. Adapun sebaran curah hujan di Indonesia secara keseluruhan dapat dilihat pada peta sebaran hujan berikut ini.

Wawasan

Tahukah kalian tempat terkering di dunia? The Dry Valley (Antartika) dan Gurun Atacama di Chili merupakan tempat terkering di dunia. Dry Valley tidak pernah menerima hujan dalam 2 juta tahun terakhir. Gurun Atacama hanya menerma hujan 0,1 mm/tahun. Di beberapa tempat di Atacama tidak pernah merasakan hujan selama 400 tahun. Tempat terbasah di dunia Mawsynram di Meghalaya India (11.871 mm), dan Cherrapunji di India (11.777 mm). Sumber: https://associaziones.wordpress.com/ category/10-tempat-terekstrem-di-dunia/ dan kaskus. co.id

  • Pada musim angin baratan (kencang) sebagian besar nelayan tidak berani melaut. Seperti yang dirasakan para nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
  • Ketika cuaca buruk seperti yang terjadi minggu ini, sebagian nelayan lebih memilih untuk memperbaiki alat tangkap ikan dan kapalnya.
  • Sebagian lagi masih ada yang memberanikan diri untuk berangkat melaut. Hanya hasil tangkapannya menurun, dan waktu melaut diperpendek.
  • BMKG menghimbau agar nelayan menjaga diri karena masih adanya tinggi gelombang laut dan angin kencang pada saat melakukan aktifitas di laut.

Bagi nelayan, kegiatan mencari ikan di laut sangat tergantung pada cuaca. Jika cuaca mendukung, hampir setiap hari para nelayan ini berangkat melaut. Kecuali hari Jum’at yang biasa digunakan sebagai hari libur. Tapi jika cuaca buruk seperti musim angin barat sebagian dari mereka tidak berani melaut. Salah satunya seperti yang dirasakan oleh Rukin (49), nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Sore itu, angin bertiup kencang, suara deburan ombak keras menghantam batu yang tertata rapi. Batu-batu tersebut terpasang dibibir pantai untuk menanggulangi terjadinya abrasi. Bahkan, tak jarang ombak berwarna putih kecoklatan itu muntah sampai ke halaman pemukiman warga.

“Kalau cuaca manteng (angin kencang) begini ya tidak berani melaut. Apalagi perahu saya ini tergolong kecil dibanding dengan yang lain yang ada di TPI ini. Jadi ya harus sabar,” ujar lelaki berkulit sawo matang itu kepada Mongabay, Sabtu (29/02). Dibantu dua orang temannya dia tampak sibuk membetulkan tali untuk menarik jaring yang baru dibeli.

Saat cuaca buruk, Rukin sendiri lebih memilih untuk memperbaiki alat tangkap ikan. Bersama dua rekannya lelaki berkulit sawo matang itu sudah dua pekan ini tidak melaut.

baca : Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir

Pada saat musim hujan tiba justru membuat nelayan mengurangi intensitas melaut karena
Nelayan bermain catur ketika musim angin kencang di salah satu kedai kopi di sekitar (TPI) Palang, Tuban, Jatim, awal Maret 2020. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia
Pada saat musim hujan tiba justru membuat nelayan mengurangi intensitas melaut karena
Saat cuaca buruk awal Maret 2020, sebagian nelayan di Tuban, Jatim, memilih untuk memperbaiki kapal maupun alat tangkap mencari ikan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Tidak hanya Rukin, di TPI Palang yang tidak jauh dari jalur Pantai Utara Kabupaten Tuban ini, ratusan perahu nelayan bersandar dipinggir laut mengikuti alunan ombak yang datang silih berganti. Saat cuaca seperti ini nelayan banyak yang memilih untuk memperbaiki perahu.

Informasi yang didapat Rukin, bulan empat mendatang cuaca diperkirakan akan kembali normal. Namun berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya, perkiraan musim barat bisa saja molor karena kondisi cuaca sudah tidak menentu. Dia mengaku sekarang ini sulit membaca cuaca.

Pada saat musim hujan tiba justru membuat nelayan mengurangi intensitas melaut karena
Perahu yang terparkir karena cuaca buruk di kawasan Tempat Pelelangan Ikan Ngaglik, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jatim pada awal Maret 2020. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Ketergantungan pada Alam

Seorang nelayan di TPI Palang, Sutikno, mengatakan meskipun kondisi cuaca saat itu buruk, sebagian nelayan masih berani melaut. Itupun terpaksa karena untuk menghidupi keluarga. Hanya saja jangkauan melaut tidak jauh. Waktu mencari ikan diperpendek. Misalnya yang awalnya 6 hari menjadi 4 hari.

Kondisi itu berdampak kepada hasil tangkapan ikan. Saat cuaca normal, katanya, rata-rata kapal nelayan dengan 15 Gross Tonnage (GT) bisa membawa pulang 4 ton ikan. Sekarang ini turun menjadi 2 ton.

Saat cuaca mendukung, para nelayan terbagi dalam dua kelompok waktu untuk berangkat melaut, yaitu kelompok yang berangkat pagi hari sekitar jam 05.30 WIB, pulang sore sekitar pukul 14.30 dan kelompok sebaliknya, ada yang berangkat sore sekitar jam 17.00 WIB pulang pagi dini hari.

Menurut Sutikno, kenyataan ini membuat tingkat ketergantungan mereka kepada alam sangat tinggi. Umumnya, kehidupan nelayan lebih banyak bergantung pada alam. Ada masa mereka harus berhenti melaut, karena gelombang terlalu tinggi atau angin kencang.

“Persoalan akan muncul apabila kondisi yang tak ramah ini akan berlangsung terus-menerus dan cukup lama,” ujarnya sembari mengecat perahu. Padahal para nelayan harus tetap menghidupi keluarganya.

baca juga : Dimana Peran Negara Saat Cuaca Buruk Terjadi dan Nelayan Tak Bisa Melaut?

Pada saat musim hujan tiba justru membuat nelayan mengurangi intensitas melaut karena
Para pembeli ikan menunggu nelayan pulang melaut di TPI Ngaglik, Palang, Tuban, Jatim. Saat angin kencang, sebagian nelayan masih memberanikan diri berangkat melaut. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Waspadai Angin Kencang

Saat dihubungi pada Minggu (01/03/2020), Prakirawan Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Tuban, Putri Permatasani mengatakan, cuaca untuk area Tuban dan sekitarnya dalam satu minggu kedepan diperkirakan berpotensi curah hujan dengan intensitas lebat yang disertai petir dan angin kencang.

Penyebabnya, yaitu adanya beberapa daerah yang mengalami tekanan rendah di pesisir Australia Barat, bagian Utara, dan di Samudera Hindia selatan Jawa Timur. Hal itu mengakibatkan pembentukan pertemuan massa udara yang memanjang dari Perairan Selatan Jawa Timur hingga selatan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Selain itu, kondisi labilitas udara yang cukup kuat di beberapa wilayah Indonesia juga sangat mempengaruhi. “Kedua kondisi tersebut berkontribusi pada peningkatan konvektifitas skala lokal, termasuk di wilayah Jawa Timur,” ujar perempuan asal Surabaya ini.

Pada saat musim hujan tiba justru membuat nelayan mengurangi intensitas melaut karena
Ombak menghantam dinding batu untuk menanggulangi terjadinya abrasi di pantai Ngaglik, Palang, Tuban, Jatim. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Adapun untuk kecepatan angin kencang di wilayah Tuban, Lamongan, Gresik, dan sekitanya, rata-rata kekuatannya kurang dari 50 km/jam. Sementara tinggi gelombang antara 0,5 hingga 1,5 meter. Artinya, masih dalam kategori sedang. Meskipun begitu, BMKG menghimbau kepada warga agar mewaspadai adanya potensi angin kencang pada tanggal 1-7 Maret. Bagi nelayan, perlu menjaga diri adanya tinggi gelombang laut dan angin kencang pada saat melakukan aktifitas di laut.

Sebelum berangkat, sambungnya, nelayan perlu memantau kondisi cuaca melalui radio dari BMKG , untuk informasi gelombang disiarkan pada sore hari. Sedangkan prakiraan cuaca setiap pagi. Atau bisa juga mengakses sosial media BMKG.

“Angin kencang ini diperkirakan sampai awal bulan April mendatang, adapun wilayah lain di Jawa Timur juga terjadi di Kabupaten Pasuruan, Probolonggo, Situbondo, dan sekitarnya,” tambahnya.

Pada saat musim hujan tiba justru membuat nelayan mengurangi intensitas melaut karena
Muda-mudi bercengkrama di kawasan TPI Ngaglik, Palang, Tuban, Jatim dengan latar belakang langit mendung. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia