Pandu gelombang dan pemercepat partikel

1 PERAMBATAN CAHAYA PADA PANDU GELOMBANG MAKRO BERBENTUK TRAPESIUM Disusun oleh : DWI SETIAWAN M SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Fisika FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Januari, 2011 i

2 HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini dibimbing oleh : Pembimbing I Pembimbing II Ahmad Marzuki, S.Si., Ph.D. Drs. Hery Purwanto, M.Sc. NIP NIP Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi pada : Hari : Senin Tanggal : 3 Januari 201 Anggota Tim Penguji : 1. Drs. Cari, M.A., M.Sc., Ph.D. (...) NIP Disahkan oleh: Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta Ketua Jurusan Fisika Drs. Harjana, M.Si., Ph.D. NIP commit to user ii

3 PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Perambatan Cahaya Pada Pandu Gelombang Makro Berbentuk Trapesium Oleh : Dwi Setiawan M Saya dengan ini menyatakan bahwa isi intelektual skripsi ini adalah hasil kerja saya dan sepengetahuan saya, hingga saat ini skripsi ini tidak berisi materi yang telah dipublikasikan dan ditulis oleh orang lain, atau materi yang telah diajukan untuk mendapatkan gelar di Universitas Sebelas Maret Surakarta maupun di lingkungan perguruan tinggi lainnya, kecuali yang telah dituliskan dalam daftar pustaka skripsi ini. Semua bantuan dari berbagai pihak baik fisik maupun psikis, telah saya cantumkan dalam bagian ucapan terimakasih skripsi ini. Surakarta, Januari 2011 Penulis Dwi Setiawan iii

4 PERAMBATAN CAHAYA PADA PANDU GELOMBANG MAKRO BERBENTUK TRAPESIUM DWI SETIAWAN Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret ABSTRAK Tulisan ini berisi kajian tentang perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk trapesium. Penelitian dibagi menjadi dua tahap. Tahap yang pertama adalah tahap pengkajian perambatan cahaya secara matematis. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mencari kaitan antara panjang kolektor, kemiringan kolektor, lebar kolektor dan indeks bias kolektor terhadap numerical aperture (NA). Dari kajian kajian ini diperoleh bahwa persamaan umum pemantulan ke-i pada kolektor surya berbentuk trapesium adalah dengan adalah sudut puncak kolektor, dan adalah sudut yang terbentuk oleh sisi kolektor terhadap garis yang tegak lurus sumbu kolektor. Selain itu juga diperoleh persamaan umum untuk menghitung panjang kolektor minimum yang diperlukan agar sinar datang dengan sudut datang tertentu i ) dapat merambat didalam kolektor tanpa melewati sudut kritis c ) adalah untuk n genap (n=2,4,6,...) dan untuk m ganjil (m=3,5,7,...). Dengan persamaan dan X dapat diperoleh NA secara matematis. Setelah kajian secara matematik dilakukan, tahap berikutnya adalah menguji hasil tersebut secara eksperimen. Sampel untuk eksperimen ini dibuat dari PMMA (polymethyl methacrylate). Pada tahap eksperimen penelitian ini dibagi menjadi lima tahap yaitu pengukuran absorbasi PMMA, pengukuran reflektansi PMMA, pengukuran indeks bias PMMA, pengukuran NA secara eksperimen, dan membandingkan NA hasil eksperimen dengan hasil perhitungan secara teori. Pada eksperimen yang pertama diperoleh kurva absorbansi dari Pada eksperimen yang kedua diperoleh kurva reflektansi PMMA untuk mode gelombang Tranverse Electric (TE) dan Tranverse Magnetic (TM). Pada eksperimen yang ketiga diperoleh indeks bias PMMA. Pada eksperimen yang keempat diperoleh NA kolektor untuk setiap variasi panjang kolektor dengan variasi sudut kemiringan kolektor 83, 85 dan 87. Variasi panjang yang digunakan adalah 5,25cm, 6cm, 6,5cm dan 7cm. Dari hasil eksperimen diperoleh hasil NA yang hampir sama dengan hasil perhitungan matematis Kata kunci : kolektor surya, absorbansi, reflektansi, indeks bias, NA. iv

5 PROPAGATION OF THE LIGHT ON MACROWAVEGUIDE TRAPEZIFORM DWI SETIAWAN Physics Department, Mathematic and Science Faculty, Sebelas Maret University ABSTRACT This research is content study about propagation of the light on macrowaves trapeziform. This research divided become two phases. The first phase is study about propagation of the light on mathematics. This phase aim to get relations between collector lenght, collector skewness, collector wide, and refraction index collector on numerical aperture (NA). The result of this research show that the general formula of reflection for-i on solar collector organized as trapeziform is is top angle collector, and is angle formed by collector side to perpendicular line of collector axis. In the other side, general formula for calculating minimum collector length in order to the light come with certain incidence angle i ) creeping on collector without across critis angle for even n (n=2,4,6,...), and be got mathematical NA. for odd m (m=3,5,7,...). By using formula dan X can After this research had done on mathematics, the next phase examined the result in a experiment. The sample for this experiment is made of PMMA. The phase this experiment divided become five phases. There are measuring PMMA absorbance, measuring PMMA reflectance, measuring PMMA refraction index, ce until ent can be got PMMA reflectance curve for wave mode TE and TM. Where as for the third experiment can be got PMMA refraction index, and for the fourth experiment can be got collector NA for every collector length variation with collector skewness angle variation 83, 85 and 87. Length variation that used is 5,25cm, 6cm, 6,5cm and 7cm. The result of this research is obtained result NA which much the same to with result of mathematical calculation. Keyword : Solar collector, Absorbance, Reflectance, Rrefraction Index, NA. v

6 MOTTO I can be what I wanna (Penulis) Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadic, namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistic yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan. (Harun Yahya) vi

7 PERSEMBAHAN Karya ini kupersembahkan dengan rasa syukurku kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, serta ucapan terimakasih kepada : Ayah dan Ibu, yang telah memberikan cinta dan pengorbanannya selama ini yang tidak mungkin dapat aku membalasnya. Adikku. Almamaterku Universitas Sebelas Maret, tempat menimba semua pengalaman dan ilmu. Fisika FMIPA Angkatan Pembaca yang budiman. vii

8 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan laporan skripsi dengan judul Perambatan Cahaya Pada Pandu Gelombang Makro Berbentuk Trapesium. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penulisan laporan penelitian ini, penulis mengalami berbagai macam kendala karena keterbatasan kemampuan penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan laporan skripsi ini tidak bisa lepas dari bantuan berbagai pihak. Dengan rasa tulus ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluarga tercinta : Bapak dan Ibu. Terima kasih untuk semua kasih sayang, pengorbanan, semangat yang telah diberikan sehingga penulis bisa seperti sekarang ini. 2. Drs. Harjana, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Ahmad Marzuki, S.Si, Ph.D dan Drs. Hery Purwanto, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II yang selalu membimbing, memotivasi dan mengarahkan penulis dalam mengerjakan skripsi. 4. Drs. Eng. Budi Purnama selaku pembimbing akademik yang banyak memberikan, arahan, rancangan dalam proses belajar.. 5. Bapak dan Ibu dosen serta staff di Jurusan Fisika FMIPA UNS. 6. Keluarga besar UPT Laboratorium Pusat FMIPA UNS, yang banyak membantu dalam proses pengerjaan skripsi dan memberikan kemudahan dalam pemakaian alat percobaan. 7. Team Optik 2010 : Dewan, Nanang, dan Mas Wawan terima kasih untuk motivasi, semangat dan bantuan yang diberikan selama mengerjakan skripsi. 8. Teman-teman fisika angkatan 2006 (OG) viii

9 9. Adik tingkat angkatan teruslah berjuang 10. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas kebaikan dan bantuan yang telah kalian berikan. Semoga laporan penelitian ini dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Surakarta, Januari 2011 Penulis ix

10 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii ABSTRAK... iv ABSTRACT... v MOTTO... vi HALAMAN PERSEMBAHAN... vii KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Batasan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Sistematika Penulisan... 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Pemantulan Teratur Pada Cermin Datar Hukum Snellius Pemantulan Internal Total Pemantulan Oleh Cermin Berputar Pandu Gelombang Tingkat Numerik (Numerical Aperture (NA)) Gelombang Elektromagnetik Polarisasi Cahaya x

11 2.9. Polarisasi karena Pemantulan dan Pembiasan Reflektansi Dan Transmitansi Absorbansi PMMA (Polymethyl Metacrylate) BAB III. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Tempat Penelitian Waktu Penelitian Alat dan Bahan Alat Penelitian Bahan Penelitian Prosedur Penelitian Kajian Matematis Pembuatan Program dengan Borland Delphi Persiapan alat dan bahan Pengukuran Absorbansi Pengukuran Reflektansi Pengukuran Indeks Bias Pengukuran Numerical Aperture (NA) BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kajian Matematis Penurunan Persamaan Pemantulan ke-i Penurunan Persamaan Panjang Kolektor Pembuatan Program Kajian Eksperimen Pembuatan Sampel Pengukuran Absorbansi PMMA Pengukuran Reflektansi PMMA Pengukuran Indeks Bias PMMA Pengukuran NA (Numerical Aperture) xi

12 BAB V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Lampiran I Lampiran II xii

13 DAFTAR GAMBAR Gambar Pemantulan pada cermin datar... 6 Gambar Sinar datang dari medium rapat ke medium renggang... 7 Gambar Jalannya sinar saat melewati dua medium berbeda dengan sudut datang berbeda... 8 Gambar Pemantulan oleh cermin yang dirotasi sebesar... 8 Gambar Bound rays dan unbound rays pada fiber optik... 9 Gambar Pemantulan sempurna pada fiber optik yang menyebabkan bound rays Gambar Sudut penerimaan pada fiber optik Gambar Kapasitas cahaya pada serat optik Gambar Spektrum gelombang elektromagnetik Gambar Gelombang elektromagnetik yang merambat pada arah x Gambar Gejala polarisasi Gambar Polarisasi karena pemantulan dan pembiasan Gambar Polarisasi mode TE dan mode TM Gambar 3.1. Alat-alat yang digunakan untuk penelitian kajian perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk segitiga a. Sumber sinar laser merah b. Photo Receiver c. Power meter d. Meja putar berkala derajat e. Sampel segitiga f. Sumber sinar laser hijau g. Alat polish h. Polish dengan grit 100, 1000, 2400 dan Gambar 3.2. Diagram alir penelitian perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk segitiga Gambar 3.3. Meja putar berskala derajat untuk mengukur reflektansi Gambar 3.4. Skema pengambilan commit data reflektansi to user sampel xiii

14 Gambar 3.5. Skema pengukuran NA sampel Gambar Skema jalannya sinar didalam kolektor surya Gambar Penyederhanaan sampel dengan menghilangkan persegi AKLM Gambar Penyederhanaan sampel dengan menganggap garis cermin Gambar Skema pemantulan pada setengah sampel Gambar Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula Gambar Skema pemantulan sinar pada setengah sampel untuk mencari panjang sampel minimum Gambar Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula untuk mencari Gambar Flowchart program Gambar Tampilan program untuk menghitung NA Sampel Gambar (a). Spektrum cahaya matahari Gambar (b). Grafik Absorbansi PMMA Gambar Grafik Reflektansi PMMA Gambar Grafik Reflektansi PMMA mode TM dari xiv

15 DAFTAR TABEL Tabel Tabel perencanaan awal sampel dan hasil pengukuran Tabel Tabel NA untuk masing-masing sampel xv

16 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I. Kajian Matematis Script program untuk menghitung NA dengan Borland Delphi Lampiran II. Kajian Eksperimen Data Absorbansi PMMA Data Reflektansi PMMA Data Reflektansi TM PMMA Sudut xvi

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah energi merupakan masalah yang sangat sensitif saat ini. Kenaikan harga BBM menimbulkan dampak yang sangat luas di masyarakat karena bahan bakar ini merupakan kebutuhan dasar manusia sehingga ketersediaannya sangat diperlukan. Ketergantungan masyarakat terhadap minyak bumi sangatlah besar, baik untuk kebutuhan rumah tangga, transportasi, industri maupun sebagai sumber energi lainnya, sehingga terus dicari dan diburu kendati harganya selalu melambung tinggi. Kebutuhan masyarakat akan energi minyak bumi jika dibandingkan dengan kebutuhan akan energi dari sumber yang lain menempati proporsi terbesar sebagai sumber energi penduduk, yakni mencapai 54,4%, disusul gas bumi 26,5%. Konsekuensinya beban anggaran yang memberatkan negara karena biaya subsidi harus terus diluncurkan untuk mempertahankan harga jual yang terjangkau oleh konsumen. Pencabutan subsidi BBM walaupun diimbangi dana kompensasi, sampai saat ini masih sangat terasa dampaknya di masyarakat. Pemberian subsidi langsung tunai (SLT) pada masyarakat ternyata belum bisa menyelesaikan masalah, bahkan banyak terjadi ketidakpuasan di masyarakat (Atmojo, 2006). Cadangan minyak bumi Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 9 miliar barel dengan tingkat produksi mencapai 500 juta barel per tahun. Jika tidak ditemukan cadangan baru, maka minyak bumi kita akan habis 18 tahun lagi. Adapun kondisi cadangan gas alam kita diperkirakan mencapai 182 triliun kaki kubik dengan ektraksi 3 triliun kaki kubik per tahun atau masih tersisa sekitar 61 tahun mendatang. Untuk mengatasi masalah BBM tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah diversifikasi energi (Atmojo, 2006). Salah satu solusi yang dilirik sekelompok peneliti untuk mencari solusi alternatif mengatasi krisis energi yang terjadi di Indonesia adalah pemanfaatan energi matahari. Pemanfaatan sumber energi matahari sebagai sumber energi terbarukan diperkirakan akan memberikan prospek yang lebih baik untuk 1

18 2 menggantikan sumber energi fosil di masa mendatang dikarenakan letak strategis wilayah Indonesia yang memungkinkan energi matahari dapat diterima sepanjang tahun secara kontinyu dalam jumlah yang cukup besar dan energi matahari ini juga tidak menimbulkan polusi (Priyadi, 2008). Pada beberapa tahun terakhir teknologi hybrid kolektor sel surya mulai banyak dikaji oleh para peneliti. Kajian teknologi hybrid kolektor sel surya merupakan penggabungan teknologi kolektor surya dan teknologi sel surya. Sel surya merupakan elemen aktif (semikonduktor) yang memanfaatkan efek fotovoltaik untuk merubah energi matahari menjadi energi listrik. Energi thermal yang dihasilkan dari kolektor surya diubah menjadi energi listrik dan disimpan dalam sel surya untuk dapat digunakan sewaktu-waktu dan pada berbagai aplikasi (Priyadi, 2008). Untuk dapat mengoptimalkan energi yang dihasilkan, maka diperlukan suatu teknologi kolektor surya. Energi matahari yang diterima oleh kolektor surya tidak dapat langsung dikonversikan menjadi energi listrik, tetapi untuk mengkonversikan energi matahari menjadi energi listrik digunakan alat lain yang disebut sel surya (solar cell). Posisi teknologi kolektor surya saat ini masih menggunakan kolektor yang berbentuk parabola (Khalsa dan Andrade, 2008). Bentuk kolektor seperti ini masih mempunyai kelemahan yaitu memerlukan lintasan (tracker) untuk mengikuti gerak semu matahari (Sarker, dkk., Tudorache dan Kreindler, 2010). Untuk mengatasi masalah ini dilakukan penelitian suatu kolektor yang dibuat dari PMMA (polymethyl methacrylate) dengan bentuk menyerupai kerucut. Sehingga cahaya yang masuk dari sisi atas yang lebar, dapat difokuskan pada sisi bawah yang menciut. Pola perambatan cahaya dalam kolektor ini berbeda dengan yang terjadi dalam fiber optik. Prinsip pemantulan cahaya pada waveguide berbentuk silinder (fiber optic) mempunyai kemanfaatan yang sangat besar dalam dunia modern (Kown, dkk., 2006; Xu, dkk., 2008; Li, dkk., 2010). Dalam bentuk taperpun, fiber optic mempunyai banyak aplikasi (Minkovich, dkk., 2006; Gravina, dkk., 2009). Solar trapper merupakan aplikasi lain divais commit optic to user yang prinsip kerjanya sama dengan

19 3 fiber taper yaitu cahaya dipantulkan secara berulang dalam fiber sebelum akhirnya lolos kembali ke athmosfer. Dalam penelitian divais optic yang berupa kolektor surya ini akan dikembangkan. Fungsi yang diharapkan adalah kemampuan dari divais tersebut sebagai pengumpul cahaya (kolektor surya). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendesain model kolektor surya dari PMMA berbentuk trapesium sehingga dapat digunakan untuk pengumpulan energi matahari. Untuk mencapai tujuan ini maka penelitian ini dilakukan dengan meliputi kegiatan untuk menentukan indeks bias PMMA, menentukan koefisien absorbansi dan reflektansi dari PMMA, menentukan dan membandingkan nilai numerical aperture (NA) dari pendekatan secara matematis dengan eksperimen Perumusan Masalah Pola perambatan cahaya dalam kolektor surya bebentuk trapesium berbeda dengan yang terjadi dalam fiber optik. Pada fiber optik, kedua sisi bidang pantulnya sejajar, sehingga dapat dengan mudah dihitung NAnya. Berbeda pada kolektor berbentuk trapesium pada penelitian ini, dimana kedua sisi bidang pantulnya tidak sejajar. Dalam kolektor berbentuk trapesium ini cahaya masuk dari sisi atas yang lebar difokuskan pada sisi bawah yang menciut, sehingga akan diperoleh masalah yang lebih komplek. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan kolektor surya. Permasalahanpermasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Mengukur besaran-besaran yang berkaitan dengan NA (indeks bias, panjang kolektor, lebar kolektor, dan sudut kemiringan kolektor), 2. Berapakah koefisien absorbsi dan reflektansi PMMA, 3. Berapakah nilai numerical aperture (NA) PMMA, dan 4. Bagaimana perbandingan NA dari hasil eksperimen dengan pendekatan secara matematis.

20 Batasan Masalah Permasalahan pada penelitian ini dibatasi pada: 1. Pajang gelombang sinar yang digunakan dalam penelitian ini adalah laser hijau dengan 2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah PMMA. 3. Pola perambatan yang diteliti adalah pola perambatan 2 dimensi. 4. Bentuk kolektor surya yang digunakan adalah bentuk trapesium dengan kemiringan ±83, ±85, dan ±87 dengan variasi panjang 5,25cm, 6cm, 6,5cm, dan 7cm Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menentukan persamaan matematis untuk menghitung NA pada kolektor surya berbentuk trapesium. 2. Menentukan koefisien absorbansi dan reflektansi dari PMMA. 3. Menentukan indeks bias PMMA. 4. Menentukan dan membandingkan nilai NA dari pendekatan secara matematis dengan eksperimen Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Dapat memberikan informasi mengenai indeks bias, koefisien absorbsi dan refleksi dari PMMA. 2. Dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah energi yang dikumpulkan oleh sel surya. 3. Dapat digunakan untuk mendesain model kolektor bentuk kerucut yang dapat mengumpulkan cahaya secara optimal.

21 Sistematika Penulisan Laporan skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: BAB I Pendahuluan. BAB II Tinjauan Pustaka BAB III Metode Penelitian BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan BAB V Simpulan dan saran Pada Bab I dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan skripsi. Bab II tentang dasar teori. Bab ini berisi teori dasar dari penelitian yang dilakukan. Bab III berisi metode penelitian yang meliputi waktu, tempat dan pelaksanaan penelitian, alat dan bahan yang diperlukan, serta langkahlangkah dalam penelitian. Bab IV berisi tentang hasil penelitian dan analisa/pembahasan yang dibahas dengan acuan dasar teori yang berkaitan dengan penelitian. Bab V berisi simpulan dari pembahasan di bab sebelumnya dan saransaran untuk pengembangan lebih lanjut dari skripsi ini.

22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantulan Teratur Pada Cermin Datar Pada permukaan benda yang rata seperti cermin datar, cahaya dipantulkan membentuk suatu pola yang teratur. Sinar-sinar sejajar yang datang pada permukaan cermin dipantulkan sebagai sinar-sinar sejajar pula (Gambar 2.1). Akibatnya cermin dapat membentuk bayangan benda. Pemantulan semacam ini disebut pemantulan teratur. Sinar datang Sinar pantul Bidang pantul Gambar Pemantulan pada cermin datar 2.2. Hukum Snellius Kecepatan cahaya pada jenis material yang berbeda akan berbeda pula. Besar kecilnya kecepatan cahaya dalam medium ini ditentukan oleh indeks bias dari masing-masing material. Perbandingan antara kecepatan cahaya di udara dengan kecepatan cahaya di medium tertentu disebut indeks bias. Indeks bias dapat ditulis dalam persamaan: (2.1) Dengan adalah indeks bias medium, adalah kecapatan cahaya diudara, dan adalah kecepatan cahaya didalam medium. Hukum dasar tentang pemantulan yaitu sinar datang, sinar pantul, dan garis normal terletak pada satu bidang datar, besar. Sudut sinar datang (yang 1 )) nilainya sama dengan sudut sinar 6

23 7 1 )). Hukum ini disebut dengan hukum refleksi. Secara matematis dinyatakan dengan: (2.2) Hukum dasar tentang pembiasan yang dikemukakan oleh Willebrord Snellius, yaitu sinar datang, sinar bias, dan garis normal terletak pada satu bidang datar. Indeks bias medium pertama dikalikan dengan sinus sudut datang sama dengan indeks bias medium kedua dikalikan dengan sinus sudut bias. Hukum ini disebut dengan hukum refraksi atau hukum Snellius. Secara matematis dinyatakan dengan: (2.3) Dengan adalah indeks bias medium pertama, adalah indeks bias medium kedua, adalah sudut datang, dan adalah sudut bias. Mengacu pada hukum Snellius, jika sinar datang dari medium rapat dengan membentuk sudut menuju mendium renggang maka sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal membentuk sudut (Gambar 2.2). Sinar datang Garis Normal Sinar bias Gambar Sinar datang dari medium rapat ke medium renggang 2.3. Pemantulan Internal Total Sesuai dengan hukum Snellius, apabila sinar datang dari medium rapat ke medium renggang, maka sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal. Semakin besar sudut datangnya, maka sudut bias juga akan semakin besar, hingga sampai pada sudut datang tertentu (sinar datang nomor 4 pada Gambar 2.3) sinar yang

24 8 dibiaskan akan membentuk sudut terhadap normal. Sudut datang pada keadaan seperti ini disebut dengan sudut kritis. n 2 < n 1 2 n n Gambar Jalannya sinar saat melewati dua medium berbeda dengan sudut datang berbeda Sudut kritis hanya terjadi jika sinar datang dari medium rapat ke medium yang lebih renggang. Besarnya sudut kritis dinyatakan sebagai berikut: (2.4) Apabila sudut datang sinar datang dari medium rapat ke medium renggang diperbesar melebihi sudut kritis, maka sinar akan dipantulkan seluruhnya ke medium yang sama (medium rapat). Peristiwa seperti ini disebut pemantulan internal total (Total Internal Reflection)(Rambe,2003). Pada penelitian ini persamaan (2.4) akan digunakan sebagai acuan yaitu apabila sudut pantul lebih kecil dari sudut kritisnya maka sinar akan dibiaskan keluar kolektor Pemantulan Pada Cermin Yang Diputar 2 Gambar Pemantulan oleh cermin yang dirotasi sebesar Gambar 2.4 merupakan pola pemantulan yang terjadi pada cermin yang diputar. Sebuah cermin datar, dengan sudut sinar datang adalah. Sebelum cermin dirotasi sudut datang sama commit dengan to user sudut pantul yaitu. Jika cermin

25 9 dirotasi sebesar terhadap normal, dengan demikian sudut garis normal juga akan bergeser sebesar. Dengan sinar datang yang tetap sama seperti saat sebelum dirotasi, maka sudut datang akan menjadi dan sudut sinar pantul akan menjadi. Perbedaan akhir antara sudut pantul saat sebelum cermin dirotasi dengan setelah cermin dirotasi adalah. Jadi, untuk sinar datang tetap, jika cermin dirotasi sebesar, maka sudut pantul akan bergeser sejauh yang searah dengan pergeseran cermin Pandu Gelombang Pandu gelombang adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk mengarahkan atau memandu perambatan radiasi elektromagnetik sepanjang lintasan tertentu. Gelombang elektromagnetik bisa saja merambat di udara, seperti gelombang radio, tetapi untuk tujuan-tujuan tertentu gelombang perlu dipandu untuk meminimalisasikan loss wave dari suatu pemancar ke receiver. Contoh dari pandu gelombang ini adalah pandu gelombang pada fiber optik. Konsep perambatan cahaya pada fiber optik ini dapat ditinjau secara optik geometri. Dalam tinjauan ini terdapat dua tipe sinar dapat merambat sepanjang fiber optik, yaitu sinar meridian dan sinar skew. Sinar meredian merupakan sinar yang merambat memotong sumbu fiber optik, sedangkan sinar skew merupakan sinar yang merambat tidak melalui sumbu fiber optik. Sinar-sinar meridian dibedakan menjadi bound dan unbound ray (Gambar 2.5). Unbound rays Selimut (Cladding) (n 2 ) Bound rays Inti (Core) (n 1 ) Selimut (Cladding) (n 2 ) Sinar datang Gambar Bound rays dan unbound rays pada fiber optik (Palais, 2002) Konsep pandu gelombang optik ini didasarkan pada hukum Snellius untuk perambatan cahaya pada media transparan. Pemandu gelombang optik dibentuk dari dua lapisan utama, yaitu core commit (inti) dan to user cladding (selimut). Indeks bias core

26 10 harus lebih besar dari indeks bias cladding. Dengan menerapkan konsep sudut kritis seperti pada persamaan (2.4) yang dapat ditulis ulang: (2.4) Maka pada Gambar 2.5 terlihat unbound rays dibiaskan keluar dari inti, sedangkan bound rays dipantulkan dan merambat sepanjang inti dengan menganggap bahwa permukaan batas antara inti dan kulit sempurna. Secara umum sinar-sinar meredian mengikuti hukum pemantulan dan pembiasan. Bound rays di dalam fiber optik disebabkan oleh pemantulan sempurna, dimana agar peristiwa tersebut dapat terjadi maka sinar yang memasuki fiber optik harus memotong perbatasan core-cladding dengan sudut lebih besar dari sudut kritis, sehingga sinar dapat merambat sepanjang fiber optik dengan lintasan zigzag, seperti pada Gambar 2.6. Selimut (Cladding) (n 2 ) Inti (Core) (n 1 ) Gelombang Datang Selimut (Cladding) (n 2 ) Gambar Pemantulan sempurna pada fiber optik yang menyebabkan bound rays (Palais, 2002) Sudut adalah sudut maksimum sinar yang memasuki serat agar sinar dapat tetap merambat sepanjang serat (dipandu), sudut ini disebut sudut tangkap (acceptance angle) Tingkat Numerik (Numerical Aperture (NA)) Numerical Aperture merupakan parameter yang merepresentasikan sudut penerimaan maksimum dimana berkas cahaya masih bisa diterima danmerambat didalam inti fiber (Gambar 2.7). Sudut penerimaan ini dapat beraneka macam tergantung kepada karakteristik indeks bias inti dan selubung serat optik.

27 11 n 1 > n 2 Kerucut penerimaan nn 0 0 n 2 Pembungkus (Cladding) n sudut kritis max ) sudut datang 4% 96% Inti Fiber (Fiber Core) Reflektansi Gambar Sudut penerimaan pada fiber optik Jika sudut datang berkas cahaya lebih besar dari NA atau sudut kritis maka berkas tidak akan dipantulkan kembali ke dalam serat melainkan akan menembus cladding dan akan keluar dari serat. Semakin besar NA maka semakin banyak kapasitas cahaya yang diterima oleh serat (Gambar 2.8). NA Kecil NA Besar Gambar Kapasitas cahaya pada serat optik Dengan memperhatikan gambar 2.7 dan dengan menggunakan hukum Snellis maka diperoleh hubungan: (2.5) karena, maka persamaan (2.5) menjadi (2.6) dengan menggunakan relasi trigonometri, maka persamaan (2.6) dapat dinyatakan dalam bentuk: (2.7) dengan sehingga commit to user (2.8)

28 12 maka (2.9) Hubungan antara sudut penerimaan dan indeks bias ketiga media (core, cladding, udara) dinyatakan dengan Numerical Aperture (Supadi dkk, 2006). jika indeks bias udara (2.10) (2.11) Dengan NA adalah Numerical Aperture, n1adalah Indeks bias cladding, n2 adalah Indeks bias core. Sudut adalah sudut maksimum sinar yang memasuki serat optik agar sinar dapat tetap merambat sepanjang serat optik (dipandu) Gelombang Elektromagnetik Gelombang Elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat walau tidak ada medium. Gelombang elektromagnetik meliputi cahaya tampak, gelombang radio, sinar-x, sinar gamma, ultraviolet, infra merah, dan mikro gelombang. Gambar 2.9 menunjukkan spektrum gelombang elektromagnetik dengan berbagai interval frekuensi dan panjang gelombang. Cahaya tampak (Visible Light) adalah spektrum gelombang elektromagnetik yang dapat dideteksi oleh mata manusia. Panjang gelombang terpendek dalam spektrum tampak ini bersesuaian dengan cahaya violet/ungu dan yang terpanjang bersesuaian dengan cahaya merah. Gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang lebih kecil dari spektrum cahaya tampak disebut sinar ultra violet, dan gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang lebih besar dari cahaya tampak disebut gelombang infra merah. Energi elektromagnetik dipancarkan atau dilepaskan, oleh semua masa di alam semesta pada level yang berbeda-beda. Semakin tinggi level energi dalam suatu sumber energi, semakin rendah panjang gelombang dari energi yang dihasilkan, dan semakin tinggi frekuensinya. Perbedaan karakteristik energi gelombang digunakan untuk mengelompokkan energi elektromagnetik.

29 13 Gambar Spektrum gelombang elektromagnetik (Serway, 2004) Gelombang EM yang merambat sebagai gelombang planar memiliki sifatsifat sebagai berikut (Viridi, 2010): 1. Perubahan medan listrik dan medan magnetik terjadi pada saat yang bersamaan, sehingga kedua medan memiliki harga maksimum dan minimum pada saat yang sama dan pada tempat yang sama. 2. Gelombang elektromagnetik merupakan gelombang transversal yang arah medan listrik dan medan magnetik saling tegak lurus dan keduanya tegak lurus terhadap arah rambat gelombang (Gambar 2.10). 3. Gelombang elektromagnetik mengalami peristiwa pemantulan, pembiasan, interferensi, dan difraksi. Juga mengalami peristiwa polarisasi karena termasuk gelombang transversal.

30 14 4. Cepat rambat gelombang elektromagnetik hanya bergantung pada sifat-sifat listrik dan magnetik medium yang ditempuhnya. Gambar Gelombang elektromagnetik yang merambat pada arah x (Pedrotti, 1993) Susunan semua bentuk gelombang elektromagnetik berdasarkan panjang gelombang dan frekuensinya disebut spektrum elektromagnetik. Gelombang EM merambat dalam vakum dengan laju. Hubungan antara frekuensi dan panjang gelombang, secara matematis adalah: (2.12) Dengan adalah kecepatan cahaya, adalah frekuensi gelombang, dan adalah panjang gelombang. Di mana di dalam vakum, Dengan Energi gelombang elektromagnetik terbagi sama dalam bentuk medan magnetik dan medan listrik. Solusi terbaik dari gelombang bidang elektromagnetik yang berjalan sinusoidal, dimana amplitud E dan B berubah terhadap x dan t sesuai dengan persamaan: (2.13) (2.14)

31 Polarisasi Cahaya Polarsasi adalah peristiwa terserapnya sebagian atau seluruh arah getar gelombang. Gejala polarisasi hanya dapat dialami oleh gelombang transversal saja, sedangkan gelombang longitudinal tidak mengalami gejala polarisasi.gejala polarisasi dapat digambarkan dengan gelombang yang terjadi pada tali yang dilewatkan pada celah. Apabila tali digetarkan searah dengan celah maka gelombang pada tali dapat melewati celah tersebut (Gambar 2.11(a)). Sebaliknya jika tali digetarkan dengan arah tegak lurus celah maka gelombang pada tali tidak bisa melewati celah tersebut tersebut (Gambar 2.11(b)). Gambar Gejala polarisasi Bila dalam gelombang EM, medan listrik hanya berosilasi pada satu sumbu saja (sebagai konsekuensinyamedan magnetik juga hanya berosilasi pada satu sumbu saja) maka polarisasi jenis ini dinamakan polarisasi linier. Terdapat pula polarisasi berbentuk lingkaran di mana arah medan listrik dan medan magnetik berosilasi tidak hanya pada satu sumbu tetapi pada bidang yang tegak lurus arah penjaran dan membentuk bola seperti lingkaran. Jenis polarisasi yang paling umum adalah polarisasi acak, di mana pada suatu waktu tidak dapat ditentukan ke mana arah osilasi medan listrik atau magnetiknya (Viridi, 2010) Polarisasi karena Pemantulan dan Pembiasan Peristiwa pemantulan dan pembiasan dapat menyebabkan terjadinya polarisasi (Gambar 2.12). Ketika cahaya jatuh pada bidang batas antara dua medium dengan membentuk sudut datang terhadap garis normal, sebagian sinar akan dipantulkan dengan sudut pantul ( = ) dan sebagian lagi akan dibiaskan dengan sudut bias. Jika sinar bias dan sudut pantul membentuk sudut

32 16 90 yang secara matematis, maka sinar pantul terpolarisasi linier. Sudut datang yang menghasilkan sinar pantul terpolarisasi disebut sudut polarisasi atau sudut Brewster (. Garis Normal Sinar datang Sinar pantul Oleh karena Maka Gambar Polarisasi karena pemantulan dan pembiasan Hukum Snellius untuk menyatakan pembiasan adalah: Sehingga hukum Snellius diatas menjadi: Sinar bias (2.15) Persamaan (2.15) disebut dengan hukum Brewster. Dalam penelitiaaan ini persamaan (2.15) akan digunakan untuk mencari indek bias PMMA dengan mengunakan metode reflektansi Reflektansi Dan Transmitansi Pada proses pemantulan dan pembiasan, cahaya dapat terpolarisasi sebagian atau seluruhnya oleh refleksi. Perbandingan intensitas cahaya yang dipantulkan dengan cahaya yang datang disebut reflektansi (R), sedangkan perbandingan intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan cahaya datang disebut

33 17 transmitansi (T). Fresnel menyelidiki dan merumuskan suatu persamaan koefisien refleksi dan koefisien transmisi yang dihasilkan oleh pemantulan dan pembiasan (Pedrotti, 1993). Jenis polarisasi dengan medan listrik tegak lurus bidang datang dan medan magnet sejajar bidang datang disebut transverse electric (TE).Sebaliknya jika medan listrik sejajar bidang datang maka jenis polarisasi ini disebut transverse magnetic (TM). Polarisasi TE yaitu polarisasi dimana vektor medan listrik berada pada bidang yang tegak lurus arah perambatan gelombang.polarisasi TM yaitu polarisasi dimana vektor medan magnetik berada pada bidang yang tegak lurus arah perambatan gelombang (Gambar 2.13). TE Arah rambat gelombang TM Arah rambat gelombang Gambar Polarisasi mode TE dan mode TM Transmitansi dari bahan dapat dicari dengan membandingkan intensitas sinar laser setelah melalui bahan dengan intensitas sinar laser sebelum mengenai bahan. (2.16) Transmitansi juga dapat dikaitkan dengan koefisien absorbansi suatu bahan. Keterkaitan antara koefisien absorbsi dan transmitansi digambarkan oleh persamaan (2.17): (2.17) Dimana adalah Transmitansi, adalah koefisien absorbsi, dan adalah ketebalan bahan Sedangkan Reflektansi (R) didefinisikan sebagai perbandingan antara intensitaspemantulan dengan intensitas sumber yang dapat ditulis: (2.18)

34 18 Pada penelitian ini persamaan (2.18) akan digunakan untuk menghitung Reflektansi PMMA untuk mode TE dan TM. Untuk metode kedua dengan menggunakan sudut datang dan sudut bias didapatkan nilai koefisien refleksi (r) dan koefisien tansmisi(t) sebagai berikut: (2.19) (2.20) (2.21) (2.22) Sedangkan untuk nilai koefisien refleksi (r) dan koefisien tansmisi(t) sebagai fungsi sudut datang dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut: (2.23) (2.24) (2.25) (2.26) Dimana adalah sudut gelombang datang, dan adalah indeks bias relatif.sampai di persamaan koefisien refleksi dan transmitansi diatas sehingga dapat di ambil suatu komentar bahwa pada penelitian ini tidak menggunakan selinder dengan dinding dalam cermin karena tiap pantulan energi akan hilang sebesar Absorbansi Absorbsi cahaya oleh suatu molekul merupakan bentuk interaksi antara gelombang cahaya/foton dengan atom/molekul. Absorbsi terjadi saat foton masuk

35 19 bertumbukan langsung dengan atom-atom pada material dan menyerap energinya pada elektron atom. Foton mengalami perlambatan dan akhirnya berhenti, sehingga pancaran sinar yang keluar dari material berkurang dibandingkan saat masuk material. Abrobsi hanya terjadi ketika selisih kedua tingkat energi elektron tersebut bersesuaian dengan energi cahaya datang. (2.27) Absorbansi menyatakan banyaknya cahaya yang diserap oleh bahan dari total cahaya yang dilewatkan pada bahan tersebut. Absorbansi merupakan logaritma kebalikan dari transmitansi, sehingga dalam persamaan matematis dapat dituliskan: (2.28) Dimana adalah Absorbansi, adalah Transmitansi, adalah Intensitas cahaya keluar, dan adalah Intensitas cahaya masuk. Persamaan (2.28) juga dapat dituliskan: (2.29) Dengan mensubtitusikan persamaan (2.17) ke persamaan (2.28) besarnya intensitas cahaya setelah melewati bahan dapat dituliskan : (2.30) Dari persamaan (2.30) dapat diturunkan persamaan yang menyatakan koefisien absorbsi suatu bahan yang dihubungkan dengan transmitansi, yaitu: (2.31) Dimana adalah koefisien absorbsi, dan adalah ketebalan bahan, dan adalah Transmitansi. Dengan mensubtitusikan persaman (2.17) ke persamaan (2.29) sehingga diperoleh hubungan antara Absorbansi, koefisien absorbsi, dan ketebalan bahan yang dituliskan dengan persamaan: (2.32) Dimana adalah koefisien absorbsi, dan adalah ketebalan bahan, dan adalah Absorbansi.

36 PMMA (Polymethyl Metacrylate) Polymethyl metacrylate atau yang biasa dikenal dengan acrylic adalah polimer yang mengkilap dengan struktur teratur. PMMA dibentuk melalui polimerisasi dari monomer methyl metacrylate (MMA) yang direaksikan dengan benzoil perosida (BPO). MMA adalah cairan bening dan substansi transparansi yang tinggi sedangkan BPO bebentuk serbuk. PMMA mempunyai kerapatan 1.19 g/cm 3, dan mempunyai serapan air yang sangat rendah, indeks biasnya diantara 1,49 1,51. PMMA adalah satu dari jenis termoplastik yang paling keras dan juga memiliki daya tahan kekerasan yang sangat tinggi. PMMA murni bening dan tidak berwarna, memiliki Mn (molecule number average) sebesar , Mw (molecule weight average) sebesar , Tg (glass transition temperature) sebesar 1140 C (Puspita, 2010). Karakteristik utama material PMMA adalah warnanya yang bening transparan. Tidak hanya transparan, PMMA juga sedikit sekali menyerap sinar yang melalui material tersebut. Disinilah letak perbedaan optis yang utama antara kaca dan acrylic. Walaupun bening, kaca menyerap sinar yang masuk sehingga semakin tebal kaca tersebut maka semakin sedikit sinar yang melewatinya. Sehingga dapat disimpulkan semakin tebal kaca maka sifat transparannya semakin berkuarang. Sedangkan pada acrylic, penyerapan sinar yang terjadi demikian kecil sehingga walaupun ketebalannya bertambah, sifat transparasinya tidak banyak berpengaruh. Perbedaan yang lain antara kaca dan acrylic adalah: 1. Kaca lebih bersifat getas dibanding acrylic. Acrylic lebih bersifat elastis, sehingga secara teknis dapat bertahan pada hentakan tekanan dinamik air. 2. Kaca akan berlumut, sedangkan acrylic tidak. 3. Acrylic memiliki daya tahan terhadap cuaca yang sangat tinggi. Sinar matahari tidak mudah mengubah acrylic menjadi kuning, atau membuatnya hancur.

37 21 PMMA memiliki banyak manfaat. Pemanfaatan PMMA dibidang optik, antara lain PMMA banyak digunakan sebagai POF (platic optical fiber), sebagai bahan dasar lensa-lensa, sebagai solar konsentrator, sebagai bahan lapisan tipis. Dalam pemanfaatannya sebagai POF, PMMA digunakan sebagai bahan core (inti) fiber optik.

38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Sub Laboratorium Optik Jurusan Fisika Fakultas MIPA Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, mulai bulan September 2010 sampai dengan Desember Alat dan Bahan Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain (Gambar 3.1) : 1. Power Meter Model 1815-C 2. Large Area Visible Photo Receiver Model Sinar laser He-Ne merah (632 nm) 4. Sinar laser hijau (532 nm) 5. Spektrophotometer UV-VIS-NIR 6. Meja Putar berskala derajat 7. Alat Polish 8. Polish dengan grit 100, 1000, 2400 dan Gergaji 10. Wadah sampel Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain : 1. Polymethyl metacrylate (Acrylic) 2. Air kran/pam 22

39 23 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) Gambar 3.1. Alat-alat yang digunakan untuk penelitian kajian perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk trapesium (a) Sumber sinar laser merah, (b) Photo Receiver, (c) Powermeter, (d) Meja putar berkala derajat, (e) Sampel trapesium, (f) Sumber sinar laser hijau, (g) Alat polish, dan (h) Polish dengan grit 100, 1000, 2400 dan 4000

40 Prosedur Penelitian Seperti telah disebut di bagian pendahuluan, kerja dalam penelitian ini ditujukan untuk membuat kolektor surya dengan bentuk trapesium. Dengan melihat pola perambatan cahaya pada fiber optik, pada kolektor surya ini ada hubungan antara sudut kemiringan kolektor dengan sudut penerimaan (NA). Untuk mencapai tujuan di atas kegiatan penelitian ini di bagi menjadi dua tahap yaitu kajian secara matematis dan kajian secara eksperimen. Gambar 3.2 adalah diagram alir dari kegiatan penelitian ini. Pengkajian secara matematis Pembuatan Program dengan Borland Delphi 7.0 Pembuatan sampel Pengukuran absorbansi Pengukuran reflektansi Pengukutan indeks bias Perhitungan dan Pengukuran NA masing-masing sampel Gambar 3.2. Diagram alir penelitian perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk trapesium Keterangan secara mendetil dari masing-masing langkah adalah sebagai berikut: Kajian Matematis Kajian matematis dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari keterkaitan antara kemiringan kolektor dengan NA. Pada tahapan ini dicari persamaan untuk menentukan besarnya sudut pada pemantulan ke-i i ). Sudutsudut tersebut dihubungkan dengan sudut datang sinar saat sebelum memasuki model kolektor. Pada tahap commit kajian to user matematis ini juga dicari persamaan

41 25 i ) juga mempengaruhi panjang kolektor surya (x) yang dibutuhkan agar semua sinar dapat dipantulkan. Dengan menggunakan persamaan besar sudut pada pemantuan ke-i dan persamaan panjang kolektor surya (x) dapat diperoleh NA secara matematis Pembuatan Program dengan Borland Delphi 7.0 Pada tahapan ini dibuat program untuk menghitung NA dengan menggunakan persamaan-persamaan matematis yang diperoleh pada tahapan kajian matematis. Pembuatan program ini ditujukan untuk mempermudah perhitungan NA secara matematis. Software pembuat program yang digunakan pada penelitian ini adalah Borland Delphi Persiapan alat dan bahan Pada tahap ini dilakukan persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam eksperimen. Bahan yang dibutuhkan diantaranya Polymethyl metacrylate atau yang biasa dikenal dengan acrylic. Alat yang digunakan dalam penelitian ini ada beberapa macam, yaitu photo receiver sebagai sensor cahaya, powermeter sebagai alat pengukur intensitas cahaya, spectrophotometer UV-VIS-NIR sebagai alat pengukur absorbansi, meja putar berskala derajat sebagai alat pengukur reflektansi, indeks bias, dan NA masing-masing sampel. Pada penelitian ini digunakan model eksperimen berbentuk trapesium. Model trapesium ini akan divariasi pada sudut kakinya (sudut kemiringan), dan akan divariasi pada ketinggian/panjang trapesium. Sehingga akan diperoleh beberapa sampel dengan variasi sudut kemiringan dan panjang trapesium. Model trapesium dibuat dari bahan acrylic dengan ketebalan yang diproduksi oleh PT. Astari Niagara Internasional. Acrylic dipotong dengan bentuk trapesium dengan variasi sudut kemiringan 83, 85, dan 87 masingmasing dengan variasi ketinggian 5,25cm, 6cm, 6,5cm dan 7cm. Karena dalam proses pemotongan menggunakan gergaji yang menghasilkan potongan yang kasar, maka harus dihaluskan dengan cara dipolish. Proses polish dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai dari grid 100, 1000, 2400 dan diakhiri dengan grid 4000.

42 26 Dikarenakan jika langsung ke grid tinggi, maka akan dibutuhkan waktu yang lama. Proses polish diawali dengan meletakan kertas polish ke alat polish dengan perekat berupa magnet. Pada proses polish ini di gunakan air sebagai media pelarut untuk menghilangkan dan membuang kotoran bekas polish dari sampel sehingga proses polish menjadi lebih cepat dan lebih baik Pengukuran Absorbansi Pengukuran absorbansi pada penelitian ini dengan menggunakan 1 buah sampel trapesium. Alat yang digunakan untuk mengukur transmitansi adalah Ultra Violet Visible Spectroscopy Double Beam Shimadzu 1061 PC (Spektrophotometer UV-VIS-NIR). Dari pengukuran ini dapat diketahui seberapa besar cahaya yang diserap oleh sampel. Panjang gelombang yang digunakan pada pengukuran absorbansi ini adalah 200nm-1000nm. Data yang diperoleh dari pengukuran menggunakan alat UV-VIS-NIR Spectrophometer adalah data absorbansi. Data absorbansi ini masih di pengaruhi oleh ketebalan. Untuk memperoleh koefisien absorbansi yang tidak berpengaruh pada ketebalan maka data absorbansi yang masih dipengaruhi oleh ketebalan dibagi dengan ketebalan sampel yang digunakan pada saat pengukuran, seperti pada persamaan (2.32) pada tinjauan pustaka. (2.32) Dengan tebal sampel yang digunakan pada pengukuran absorbansi pada penelitian ini adalah 4,75mm. Kemudian data yang didapat dibuat grafik hubungan antara koefisien absorbsi dengan panjang gelombang dengan menggunakan software Origin Pro Pengukuran Reflektansi Pengukuran reflektansi pada penelitian ini dengan menggunakan satu buah sampel trapesium. Sebagai landasan terdapat suatu meja putar berskala derajat yang akan digunakan untuk memvariasi sudut (Gambar 3.3).

43 27 Gambar 3.3. Meja putar berskala derajat untuk mengukur reflektansi Pada penelitian ini, proses pengukuran nilai reflektansi PMMA adalah dengan melewatkan sinar dari leser laser He-Ne 632nm terlebih dahulu ke polarisator, kemudian diarahkan sampel PMMA. Dari sampel PMMA ini selanjutnya sinar akan dipantulkan kembali oleh sampel PMMA kemudian diukur intensitas sinar pantulnya dengan menggunakan powermeter. Pengambilan data intensitas dilakukan terhadap variasi sudut datang. Variasi sudut datang yang digunakan adalah dari 1 dan 90 dengan perubahan pergeseran sudut sebesar 1. Untuk hasil yang lebih akurat, maka posisi lampu laser dibuat tetap. Skema proses pengambilan data digambarkan seperti pada Gambar 3.4. Sampel Photoreceiver Polarisator Laser He-Ne Powermeter Gambar 3.4. Skema pengambilan data reflektansi sampel

44 28 Nilai reflektansi akan diperoleh dengan membandingkan intensitas sinar pantul dengan intensitas sumber, seperti yang telah disebutkan dalam tinjauan pustaka pada persamaan (2.18) : (2.18) Pengukuran reflektansi dilakukan pada mode TE dan mode TM. Data antara sudut sinar datang dan intensitas sinar pantul ini dimasukkan dalam grafik. Pembuatan grafik dilakukan dengan menggunakan Software Origin Pro Pengukuran Indeks Bias Pengukuran Indeks bias dapat dilakukan dengan menggunakan reflektansi mode TM. Untuk mendapatkan indeks bias yang lebih teliti dilakukan pengukuran ulang reflektansi pada rentang sudut dengan ketelitian 0,167. Data reflektansi ini dibuat grafik dengan menggunakan software Origin Pro 8. Indeks bias ditunjukkan oleh nilai tangen dari sudut datang sinar laser yang memberikan nilai intensitas terkecil. Indeks bias dihitung dengan menggunakan persamaan sudut Brewster yang secara matematis dapat dituliskan: (2.15) Dimana p adalah sudut datang sinar laser yang memberikan nilai intensitas terkecil, n 2 adalah indeks bias sampel, dan n 1 adalah indeks bias udara (n 1 =1). Pada penelitian ini akan dicari indeks bias PMMA dengan cara mencari nilai p. Setelah p didapatkan, maka dapat digunakan persamaan (2.15) untuk menghitung indeks bias PMMA Pengukuran Numerical Aperture (NA) Numerical Aperture merupakan parameter yang merepresentasikan sudut penerimaan maksimum dimana berkas cahaya masih bisa diterima dan merambat didalam kolektor surya. Secara matematis, besar sudut penerimaan (NA) sampel trapesium dapat dihitung dalam kaitannya dengan indek bias bahan, panjang sampel, lebar sampel, sudut kemiringan sampel.

45 29 Laser NA Kanan Sampel NA Kiri Laser Gambar 3.5. Skema pengukuran NA sampel Gambar 3.5 adalah skema pengambilan data NA sampel. Dalam penelitian ini langkah untuk menentukan NA adalah dengan cara meletakkan sampel diatas meja putar berskala derajat, kemudian menyinari masing masing sampel dengan laser dan dicari sudut maksimum dimana sinar masih merambat dalam didalam sampel hingga keluar dari ujung sisi yang lain. Laser yang digunakan pada penelitian ini adalah laser - nm). Pengambilan data NA dilakukan pada 3 titik untuk setiap sampel, yaitu pada pusat sampel dan dua titik yang lain adalah seperempat dari lebar kolektor yang berada disebelah kiri dan kanan pusat kolektor. Penggunaan dua laser ini dimaksudkan agar dapat mewakili spektrum cahaya yang sampai ke bumi yang dipancarkan oleh matahari. Data NA untuk setiap laser dari masing-masing sampel dimasukkan kedalam tabel dan dibandingkan dengan NA hasil perhitungan secara matematis.

46 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, tahapan yang pertama yaitu kajian matematis sedangkan tahap yang kedua yaitu eksperimen. Kajian matematis dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari keterkaitan antara kemiringan kolektor dengan NA. Sedangkan pada tahap eksperimen terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: menentukan karakteristik absorbansi dan reflektansi PMMA, menentukan indeks bias PMMA, dan menentukan besarnya NA untuk setiap model kolektor surya, kemudian membandingkan besar NA dari perhitungan matematis dan hasil eksperimen Kajian Matematis Pada tahapan kajian matematis dicari persamaan untuk menentukan besarnya sudut pada pemantulan ke-i i ). Sudut-sudut tersebut dihubungkan dengan sudut datang i ) sinar saat sebelum memasuki model kolektor. Selain itu, juga dicari persamaan untuk panjang model kolektor surya (h). Besarnya sudut datang i ) juga mempengaruhi panjang kolektor surya (h) yang dibutuhkan agar semua sinar dapat dipantulkan. S K A N L M B C Gambar Skema jalannya commit to sinar user didalam kolektor surya 30

47 31 Gambar 4.1. menjelaskan tentang jalannya sinar saat didalam kolektor surya. Dari gambar 4.1. jika dilakukan penurunan persamaan besar sudut pantul ke-i atau panjang kolektor akan menemui masalah yang cukup komplek. Maka untuk mempermudah penurunan persamaan akan dilakukan beberapa tahapan: 1. Tahapan yang pertama adalah menghilangkan terlebih dahulu persegi AKLM. Karena KL//AM maka: (4.1) S A M B C Gambar Penyederhanaan sampel dengan menghilangkan persegi AKLM 2. Tahapan yang kedua adalah menggangap dan serta garis S adalah garis sumbu tengah kolektor yang menerangkan bahwa kolektor surya berbentuk simetris sehingga kolektor dapat dibagi menjadi dua bagian yang sama. Dengan menganggap garis S sebagai cermin dan dengan menggambil sampel sebelah kiri maka akan diperoleh (gambar 4.3): S A O B C Gambar Penyederhanaan sampel dengan menganggap garis S cermin

48 32 Dengan memperhatikan gambar 4.1 dan karena KL//AM maka: (4.2) Penurunan Persamaan Pemantulan ke-i O Gambar Skema pemantulan pada setengah sampel Dengan memperhatikan dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180, maka: (4.3) Sehingga diperoleh: (4.4) Karena B 1 dan B 2 membentuk sudut siku-siku, maka: (4.5) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.4), ke persamaan (4.5) diperoleh: (4.6)

49 33 Dengan memperhatikan jumlah sudut dalam segitiga adalah 180, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka: (4.7) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.6) ke persamaan (4.7) diperoleh: (4.8) Karena C 1 dan C 2 membentuk sudut siku-siku, maka: (4.9) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8) ke persamaan (4.9) diperoleh: (4.10) Dengan memperhatikan dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka: (4.11) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.4) dan persamaan (4.10) ke persamaan (4.11), diperoleh: (4.12) Karena D 1 dan D 2 membentuk sudut siku-siku, maka: (4.13) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.12) ke persamaan (4.13) diperoleh: (4.14) Dengan memperhatikan dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka: (4.15) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8) dan persamaan (4.14) ke persamaan (4.15) diperoleh: (4.16) Karena E 1 dan E 2 membentuk sudut siku-siku, maka: (4.17) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.16) ke persamaan (4.17) diperoleh: commit to user (4.18)

50 34 Dengan memperhatikan dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka: (4.19) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.12) dan persamaan (4.18) ke persamaan (4.19) diperoleh: (4.20) Karena F 1 dan F 2 membentuk sudut siku-siku, maka: (4.21) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.20) ke persamaan (4.21) diperoleh: (4.22) Dengan memperhatikan EFG dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka: (4.23) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.16) dan persamaan (4.22) ke persamaan (4.23) diperoleh: (4.24) Karena G 1 dan G 2 membentuk sudut siku-siku, maka: (4.25) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.24) ke persamaan (4.25) diperoleh: (4.26) Dengan memperhatikan FGH dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka: (4.27) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.20) dan persamaan (4.26) ke persamaan (4.27) diperoleh: (4.28) Karena H 1 dan H 2 membentuk sudut siku-siku, maka: (4.29) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.28) ke persamaan (4.29) diperoleh: (4.30)

51 35 Dengan memperhatikan GHI dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka: (4.31) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.24) dan persamaan (4.30) ke persamaan (4.31) diperoleh: (4.32) Karena I 1 dan I 2 membentuk sudut siku-siku, maka: (4.33) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.32) ke persamaan (4.33) diperoleh: (4.34) Dengan memperhatikan gambar 4.4 dengan dikaitkan dengan gambar 4.2 maka pemantulan sebenarnya hanya terjadi pada C, E, G, dan I. Sementara B, D, F, dan H merupakan sudut pemantulan yang terjadi karena menganggap sumbu S sebagai cermin. Jadi B, D, F, dan H tidak akan terbentuk pada saat sinar memasuki kolektor. Maka yang akan diambil sebagai sampel persamaan dalam proses penurunan bersar sudut pantul ke-n hanya C, E, G, dan I. Dari perhitungan diperoleh : (4.10) Pemantulan ke 1 (4.18) Pemantulan ke 2 (4.26) Pemantulan ke 3 (4.34) Pemantulan ke 4 Dari persamaan (4.10), (4.18), (4.26), dan (4.34) terdapat keterkaitan antara persamaan yang satu dengan persamaan lainnya. Keterkaitan itu memenuhi hubungan persamaan: (4.35) Dengan, dan i menunjukkan besar sudut pantul ke-i. Persamaan i pada persamaan (4.35) adalah persamaan untuk menentukan besar sudut pantul ke-i.

52 36 Dengan mengembalikan bentuk kolektor kebentuk semula dengan melepaskan cermin dan mengembalikan persegi AKLM maka dan dapat dihubungkan dengan sudut datang i dan sudut bias r. K N L A M Gambar Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula Dengan menggunakan hukum Snellius tentang pembiasan, maka dari Gambar 4.5 diperoleh: (4.36) Karena dan r membentuk sudut 90, maka: (4.37) Dengan memperhatikan dan mengingat persamaan sinus dalam segitiga diperoleh: (4.38) Dengan memperhatikan dan mengingat hukum pemantulan maka: (4.39) Sehingga (4.40) Dengan memsubtitusikan persamaan (4.40) ke persamaan (4.2), diperoleh: (4.41) Dari beberapa perhitungan diatas dan dengan menuliskan kembali persamaan untuk menentukan besar sudut pantul ke-i, maka: (4.35) commit to user

53 37 Dengan (4.40) (4.41) (4.36) Dengan adalah persamaan untuk menentukan besar sudut pantul ke-i, adalah sudut kemiringan kolektor surya, dan i r adalah sudut sinar bias, adalah sudut yang terbentuk oleh sinar terhadap garis yang tegak ut yang dibentuk oleh sinar terhadap sisi kolektor Penurunan Persamaan Panjang Kolektor O a b c d e f Gambar Skema pemantulan sinar pada setengah sampel untuk mencari panjang commit sampel to user minimum

54 38 Dengan memperhatikan Gambar 4.6, maka sebelum melangkah ke proses penurunan, terlebih dahulu harus mengingat fungsi sinus dalam trigonometri. Salah satu fungsi sinus yang sering dipakai dalam proses penurunan persamaan: n dan cosinus, maka: (4.42) (4.43), maka: (4.44) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8) dan persamaan (4.43) ke persamaan (4.44) diperoleh: (4.45) Dengan memperhatikan dan mengingat fungsi cosinus, maka: (4.46) (4.47) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.4), persamaan (4.12) dan persamaan (4.45) ke persamaan (4.47) diperoleh: (4.48) Dengan memperhatikan DCC' dan mengingat fungsi cosinus, maka: (4.49) Dengan (4.50) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8), persamaan (4.16) dan persamaan (4.48) ke persamaan (4.50) diperoleh: commit to user (4.51)

55 39 Dengan memperhatikan DEE' dan mengingat fungsi cosinus, maka: (4.52) Kerena besaran panjang tidak mungkin bernilai negatif, maka tanda negatif diabaikan, sehingga persamaan (4.46) menjadi: (4.53) Dengan memperhatikan (4.54) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.12), persamaan (4.20) dan persamaan (4.51) ke persamaan (4.54) diperoleh: (4.55) Kerena besaran panjang tidak mungkin bernilai negatif, maka tanda negatif diabaikan, sehingga persamaan (4.55) menjadi: (4.56) Dengan memperhatikan FEE' dan mengingat fungsi cosinus, maka: (4.57) Dengan (4.58) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.16), persamaan (4.24) dan persamaan (4.56) ke persamaan (4.58) diperoleh: (4.59) Kerena besaran panjang tidak mungkin bernilai negatif, maka tanda negatif diabaikan, sehingga persamaan (4.59) menjadi: (4.60) Dengan memperhatikan FGG' dan mengingat fungsi cosinus, maka: commit to user (4.61)

56 40 Dari beberapa perhitungan diatas,persamaan (4.42), persamaan (4.46), persamaan (4.49), persamaan (4.53), persamaan (4.57), persamaan (4.61) secara berurutan dapat ditulis ulang : Dari persamaan (4.46), (4.53), dan (4.57) terdapat keterkaitan antara persamaan yang satu dengan persamaan lainnya. Keterkaitan itu memenuhi hubungan persamaan: (4.62) Dengan X n adalah jarak vertikal dari sudut pantul ke-(n-1) hingga berpotongan dengan garis S yang berfungsi sebagai sumbu kolektor, dan n adalah Dan dari persamaan (4.49) dan (4.57) juga terdapat keterkaitan dan antara persamaan yang satu dengan persamaan lainnya. Keterkaitan itu memenuhi hubungan persamaan: (4.63) Dengan X m adalah jarak vertikal dari perpotongan sinar terhadap garis S yang berfungsi sebagai sumbu kolekor hingga sudut pantul ke-(m-2), dan m Dengan memperhatikan gambar 4.5 diperoleh bahwa untuk setiap i. Dengan demikian dapat

57 41 sebanyak 2i. Secara matematis hasil ini dapat dituliskan (4.64) Dengan mengembalikan bentuk kolektor ke bentuk semula dengan melepaskan cermin S dan mengembalikan persegi AKLM maka dapat dicari panjang awal yang dibutuhkan (X 0 ) dari saat sinar masuk kolektor hingga saat sinar dipantulkan pertama kali oleh kolektor. Dari Gambar 4.7. hal yang harus diperhatikan adalah nilai Z 0. Jika sinar mengenai sisi sebelah kanan dari garis S (garis tengah kolektor) maka Z 0 bernilai positif. Sebaliknya jika sinar mengenai sisi sebelah kiri dari garis S maka Z 0 bernilai negatif. Gambar Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula untuk mencari X 0 Dengan memperhatikan (Gambar 4.7) dan mengingat persamaan sinus, maka: (4.65)

58 42 Dengan y adalah jarak yang ditempuh sinar mulai saat memasuki kolektor hingga terpantul oleh sisi kolektor, r 0 adalah setengah dari lebar kolektor bagian atas atau jarak dari tepi kolektor bagian atas dengan sumbu kolektor S, dan Z 0 adalah jarak jatuh sinar pada kolektor bagian atas dengan sumbu kolektor S. Dengan memperhatikan dan mengingat fungsi cosinus, maka: (4.66) Dengan X 0 adalah jarak tegak lurus dari tempat jatuhnya sinar saat sinar mulai memasuki kolektor. Nilai Z 0 disini menyesuaikan posisi saat sinar jatuh pada kolektor bagian atas hingga memasukan kolektor. Z 0 akan bernilai positif jika sinar datang jatuh di sebelah kanan sumbu S, dan Z 0 akan bernilai negatif jika sinar datang jatuh di sebelah kiri sumbu S. Sehingga saat sinat datang jatuh disebalah kanan sumbu S akan mengakibatkan panjang X 0 yang lebih besar dibanding dengan saat sinar datang jatuh di sebelah kiri sumbu S. Dengan memperhatikan dan mengingat fungsi tangen, maka: (4.67) Dengan Z 1 adalah bilangan yang merepresentasikan jarak tegak lurus horizontal atas sisi kolektor terdekat, dan adalah sudut kemiringan kolektor. Dengan memperhatikan Gambar 4.7, maka dan dengan mensubtitusikan dari persamaan (4.67) maka diperoleh: (4.68) Dengan r adalah jarak tegak lurus dari sumbu S, dan adalah sudut kemiringan kolektor Pembuatan Program Pembuatan program pada penelitian ini menggunakan software Borland Delphi 7.0. Pembuatan program ditujukan untuk mempermudah proses perhitungan besar sudut pantul ke-i commit dan to panjang user kolektor X secara matemetis.

59 43 Pembuatan program ini didasarkan pada persamaan-persamaan yang diperoleh pada kajian matematis yaitu pada subbab dan subbab Besar sudut pantul ke-i dan panjang kolektor X akan digunakan untuk perhitungan NA secara matematis. Proses penghitungan NA secara matematis didasarkan pada persyaratan yaitu Pemantulan akan terjadi sepanjang kolektor surya dengan syarat sudut pantul ke-i ( i ) lebih besar dari sudut kritisnya c ). Jika i bernilai c c ) dan besar sudut pemantulan ke-i ( i ) dinyatakan sebagai berikut: (2.4) dan (4.35) Selain sudut kemiringan dan panjang kolektor surya dan terdapat faktor lain yang mempengaruhi NA suatu kolektor surya. Faktor tersebut adalah indeks bias material inti, indeks bias material selimut, lebar atas kolektor, dan jarak jatuh sinar dari pusat kolektor. Ketika sinar jatuh pada sisi kiri kolektor maka jarak jatuh sinar dari pusat kolektor akan bernilai negatif. Sebaliknya jika cahaya jatuh pada sisi kanan kolektor maka jarak jatuh sinar dari pusat kolektor bernilai positif. Faktor-faktor yang mempengaruhi NA kolektor surya berbentuk trapesium tersebut akan menjadi masukkan-masukkan pada program. Sehingga akan diperoleh hasil akhir berupa NA dengan arah putar kiri dan kanan. Untuk mengefisienkan penggunaan waktu maka dalam program ditambahkan sebuah masukkan yaitu akurasi perhitungan yang menyatakan keakuratan data yang diperoleh. Semakin kecil akurasi yang dimasukkan maka ketelitian hasil NA yang diperoleh akan semakin teliti sebaliknya semakin besar akurasi yang dimasukkan maka ketelitian hasil NA yang diperoleh akan semakin buruk. Jika akurasi yang dimasukkan kecil maka proses perhitungan NA akan menghabiskan waktu lebih lama tetapi akan memperoleh hasil NA yang lebih akurat. Untuk mempermudah pembuatan program maka di buat flowchart seperti pada gambar 4.8. Pada gambar 4.9 merupakan gambar yang memperlihatkan tampilan program untuk menghitung commit NA. to user

60 44 Start Masukkan: Panjang kolektor dan akurasi perhitungan Indeks bias medium 1 dan Indeks bias medium 2 Sudut kemiringan kolektor dan Lebar atas kolektor Jarak jatuh sinar dari pusat kolektor (dikiri pusat (-) dan dikanan pusat (+)) Dengan hitung Tidak Ya Ya genap Tidak Tidak Ya Tidak Keluaran: Ya Finish Gambar Flowchart program

61 45 Gambar Tampilan program untuk menghitung NA Sampel 4.2. Kajian Eksperimen Pembuatan Sampel Kolektor surya yang dibuat dalam penelitian ini mempunyai bentuk dasar yang dalam 2 dimensi berbentuk trapesium sama kaki. Corong dua dimensi dipilih karena kesederhanaan dalam cara pengujian sudut penerimaannya. Tabel 4.1 adalah perbandingan antara sampel hasil perencanaan dengan sampel jadi. Sampel Tabel Tabel Perencanaan awal sampel dan hasil penghitungan ulang Kemiringan Sudut Lebar Atas Kolektor Panjang Kolektor Perencanaan Awal Hasil Pengukuran Perencanaan Awal Hasil Pengukuran Perencanaan Awal Hasil Pengukuran A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3 commit to user

62 46 Dari tabel 4.1 terdapat perbedaan dimensi sampel antara pada saat perencanaan dengan hasil jadi sampel. Perbedaan tersebut dikarenakan sangat sulit membuat sampel dengan desain sama persis dengan pada saat perencanaan awal. Masalahnya adalah keadaan kekasaran permukaan sampel yang kadang untuk meratakannya harus melebihi ukuran yang direncanakan Pengukuran Absorbansi PMMA Kejadian yang mungkin ketika cahaya merambat dalam materi dua diantaranya adalah sebagaian cahaya akan diserap dan sebagian yang lain akan diteruskan. Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui seberapa besar bagian cahaya yang diserab dan diteruskan oleh kolektor surya. 16 (a) (Abs/t).ln(10) Panjang Gelombang (b) Gambar (a). Spektrum cahaya matahari (Pedrotti, 1993), (b). Grafik commit Absorbansi to user PMMA