Panduan hidroponik sayur di pot pdf
Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi beberapa berkas mengenai Hidroponik yang mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan terkait dengan hidroponik botol, hidroponik sederhana, hidroponik paralon, materi hidroponik, hidroponik cabe, jenis tanaman hidroponik, metode hidroponik, nutrisi hidroponik dan lain-lain:
Hidroponik adalah suatu istilah yang digunakan untuk bercocok tanam tanpa menggunakan tanah sebagai media tumbuhnya. Tanaman dapat di tanam dalam pot atau wadah lainnya dengan menggunakan air dan atau bahan-bahan porus lainnya, seperti kerikil, pecahan genting, pasir, pecahan batu ambang, dan lain sebagainya sebagai media tanamnya. Untuk memperoleh zat makanan atau unsur-unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, ke dalam air yang digunakan dilarutkan campuran pupuk organik. Campuran pupuk ini dapat diperoleh dari hasil ramuan sendiri garam-garam mineral dengan formulasi yang telah ditentukan atau menggunakan pupuk buatan yang sudah siap pakai. Bercocok tanam secara hidroponik dapat memberikan keuntungan, antara lain :
Sistem Hidroponik Bila kita melihat data dokumen perubahan cuaca dan lingkungan yang terjadi akan terlihat betapa kritisnya kondisi sistem produksi pangan dan ketersediaan pangan dunia. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah perlunya memperluas sistem produksi tanaman dalam lingkungan terkendali yang senantiasa dapat menyelamatkan sumber daya air. Pola cuca saat ini telah berubah, apa yang kita lihat saat ini adalah adanya musim hujan yang sangat ekstrim basah dan musim kering yang sangat ekstrim kering. Menurut dua ahli meteorologi Benard dan Goodavage, kita saat ini berada pada kondisi cuaca yang kritis dan diramalkan akan semakin memburuk, menurut mereka perubahan dalam pola jetstream akan mempengaruhi pola perubahan temperatur dan curah hujan dan akan mempengaruhi kondisi pertanian di seluruh dunia. Beberapa teori menyebutkan bahwa perubahan pola jetstream terjadi akibat perubahan cuaca dunia. Beberapa ilmuwan menyatakan bahwa hal tersebut berhubungan dengan tingginya karbondioksida dan gas lain yang terlepas ke udara akibat pembakaran minyak yang berasal dari fosil. Beberapa dari polutan ini menyebabkan meningkatnya suhu udara yang lebh dikenal dengan “Greenhouse Effect” (Efek rumah kaca). Sebagai solusi permasalahan yang begitu besar di atas, manusia secara kreatif telah mengembangkan berbagai teknologi untuk memproduksi tanaman sayuran, buah, dan tanaman hias tanpa menggunakan tanah dengan jumlah air yang sedikit. Tanaman juga dapat dibudidayakan di dalam lingkungan terkendali, sehingga secara efisien dapat memanfaatkan pupuk yang mahal harganya dan beberapa sumber daya yang terbatas ketersediaannya. Teknologi ini dikenal dengan nama Hidroponik. Pada budidaya tanaman dengan sistem hidroponik, pemberian air dan pupuk memungkinkan dilaksanakan secara bersamaan. Manajemen pemupukan (fertilization) dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan manajemen irigasi (irrigation) yang selanjutnya disebut fertigasi (fertilization and irrigation). Dalam sistem hidroponik, pengelolaan air dan hara difokuskan terhadap cara pemberian yang optimal sesuai dengan kebutuhan tanaman, umur tanaman dan kondisi lingkungan sehingga tercapai hasil yang maksimum. Di bagian ini akan dibahas aspek utama dalam budidaya tanaman tanpa tanah. Perkembangan Hidroponik Istilah hidroponik yang berasal dari bahasa Latin yang berarti hydro (air) dan ponos (kerja). Istilah hidroponik pertama kali dikemukakan oleh W.F. Gericke dari University of California pada awal tahun 1930-an, yang melakukan percobaan hara tanaman dalam skala komersial yang selanjutnya disebut nutrikultur atau hydroponics. Selanjutnya hidroponik didefinisikan secara ilmiah sebagai suatu cara budidaya tanaman tanpa menggunakan tanah, akan tetapi menggunakan media inert seperti gravel, pasir, peat, vermikulit, pumice atau sawdust, yang diberikan larutan hara yang mengandung semua elemen essensial yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman (Resh, 1998). Budidaya tanaman secara hidroponik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan budidaya secara konvensional, yaitu pertumbuhan tanaman dapat di kontrol, tanaman dapat berproduksi dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, tanaman jarang terserang hama penyakit karena terlindungi, pemberian air irigasi dan larutan hara lebih efisien dan efektif, dapat diusahakan terus menerus tanpa tergantung oleh musim, dan dapat diterapkan pada lahan yang sempit (Harris, 1988). Hidroponik, menurut Savage (1985), berdasarkan sistem irigasinya dikelompokkan menjadi: (1) Sistem terbuka di mana larutan hara tidak digunakan kembali, misalnya pada hidroponik dengan penggunaan irigasi tetes drip irrigation atau trickle irrigation, (2) Sistem tertutup, di mana larutan hara dimanfaatkan kembali dengan cara resirkulasi. Sedangkan berdasarkan penggunaan media atau substrat dapat dikelompokkan menjadi (1) Substrate System dan (2) BareRoot System. Substrate System Sand Culture Gravel Culture Rockwool Bag Culture Bare Root System Deep Flowing System Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST) Aeroponics Nutrient Film Tecnics (NFT) Mixed System Kultur Air Dalam sejarah perkembangan hidroponik, penelitian-penelitian pertama tentang hidroponik tercatat menggunakan sistem kultur air tanpa adanya substrat atau media tanam (Woodward, 1699). Teknik-teknik dasar kultur air modern telah dikembangkan oleh Sach dan Knopp pada tahun1860 (Hewitt dan Smith, 1975) dari beberapa hasil penemuan sebelumnya oleh Senebier tahun 1791 yang menyatakan bahwa akar tanaman akan mati bila terendam dalam air. Pada tahun 1804, De Sausser juga menyatakan bahwa di samping mengandung udara air juga mengandung CO2, campuran gas mengandung 20 % O2 (Hewit, 1966; Hewitt dan Smith, 1975). Aerasi adalah suatu hal yang essensial untuk aktivitas perakaran walaupun hal ini sangat beragam antar spesies tanaman. Pengambilan unsur mineral akan terjadi ketidakseimbangan bila kondisi oksigen di perakaran menurun, sebaliknya akan terangsang bila konsentrasi oksigen di zona perakaran meningkat. Akumulasi karbondioksida (CO2) di dalam larutan hara akan menghambat absorbsi sebagian besar unsur hara tersebut oleh tanaman, sedangkan kekurangan oksigen (O2) walaupun tidak akan menekan absorbsi air (dalam periode tertentu) akan tetapi tetap menekan pengambilan unsur hara dari larutan hara (Soffer, 1985). Selama lebih dari 300 tahun, kultur air merupakan suatu sistem yang paling sesuai untuk penelitian-penelitian hara dan metabolisme tanaman hingga saat ini. Beberapa hal yang menyebabkan hal di atas adalah sistem kultur air memiliki larutan hara yang homogen, adanya keseragaman seluruh sistem dalam mempengaruhi sistem perakaran, serta kemungkinan pengaturan kandungan unsur hara yang tepat. Keberhasilan sistem kultur air dipengaruhi oleh beberapa faktor yang langsung berhubungan dengan perakaran tanaman di antaranya adalah (1) aerasi di zona perakaran, (2) kondisi perakaran, dan (3) sistem penopang tanaman yang memungkinkan tanaman tumbuh tegak. Manipulasi aerasi di zona perakaran pada sistem kultur air menurut Resh (1998) dapat dilakukan dengan pemberian udara ke dalam larutan hara tanaman menggunakan pompa atau kompresor. Di samping itu peningkatan aerasi di zona perakaran dapat pula dilakukan dengan sirkulasi larutan hara antara bak tanam dengan reservoar hara. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen bagi perakaran menurut Hochmuth (1991) di dalam kultur air (NFT) paling sedikit 1/3-1/2 sistem perakaran seharusnya tidak terendam larutan hara. Hal ini merupakan kunci perakitan teknologi hidroponik sistem terapung di mana tidak lagi diperlukan adanya energi listrik untuk menjalankan pompa ataupun kompresor guna meresirkulasi ataupun meningkatkan aerasi larutan hara. Pengusahaan kultur air secara komersial untuk produksi tanaman sayuran telah dilakukan di beberapa negara antara lain Canada (Ingratta et al., 1985), Jepang (Takakura, 1985), Israel (Soffer, 1985), United Kingdom (Hurd, 1985), dan USA (Carpenter, 1985). Pengusahaan kultur air secara komersial di Jepang mencapai kurang lebih 2000 greenhouse atau sekitar 300 hektar. Unit kultur air sistem Jepang terdiri dari beberapa seri bak yang terbuat dari plastik yang berukuran lebar 0.8 m dan panjang 3 m dengan kedalaman 6-8 cm. Tanaman diselipkan dalam lubang pada sterofoam. Larutan hara dipompakan ke dalam bak selama 10 menit setiap jam, yang bertujuan untuk memelihara aerasi. Bak selalu penuh dengan larutan hara di mana akar tanaman terendam di dalamnya. Pipa aerasi dapat dipasang pada bak tanam untuk meningkatkan aerasi. Pipa aerasi ini mempunyai lubang berdiameter 2 mm pada setiap 4 cm panjang pipa (Resh 1998). Modifikasi kultur air sistem Jepang telah dilakukan oleh Dr. Merle Jensen dari Environmental Research Laboratory (ERL), Universitas Arizona, Tucson, USA dengan pengembangan prototipe Raceway, Raft atau Floating System untuk produksi selada antara tahun 1981-1982. Dalam percobaan ini dapat dihasilkan 4.5 juta head selada per hektar per tahun (Jensen dan Collins, 1985). Sistem kultur air ini terdiri dari bak tanam yang relatif lebih dalam 15-20 cm, dengan lebar 60 cm dan panjang 30 m. Volume larutan hara kurang lebih 3.5 m kubik atau setara dengan 3 600 liter. Hara didalam bak relatif statik dengan pergerakan hanya 2-3 liter per menit. Dalam penelitian ini juga telah diuji efektivitas penggunaan alat sterilisasi larutan hara dengan UV-sterilizer terhadap fungi patogenik maupun non patogenik yang berasosiasi dengan tanaman di dalam greenhouse. Produksi komersial sayuran daun untuk salad dalam sistem terapung (floating raft system) telah digunakan di Florida sejak awal tahun 1980-an (Resh, 1998). Sepuluh sampai 12 kali panen tanaman selada terutama bibb lettuce dihasilkan dalam greenhouse yang berpendingin. Dengan jarak tanaman yang rapat sistem ini dapat menghasilkan 1 juta per acre per tahun tanaman selada yang dapat dipasarkan. Masalah utama dari sistem komersial ini adalah tingginya modal awal untuk membangun sistem ini, dan biaya teknisi yang diperlukan untuk mengoperasikan sistem ini. Hal ini menyebabkan sistem terapung ini sulit diaplikasikan di tingkat petani. Teknologi hidroponik pasif, low-tech, dan non recirculating system telah dipelajari di Asian Vegetabel Research Center (AVRDC) di Taiwan dan di Universitas Hawaii (Kratky et al., 1988; Kratky, 1993, 1996). Penelitian hidroponik terapung untuk produksi tanaman sayuran didalam greenhouse di Florida menunjukkan hasil yang positif (Fedunak dan Tyson, 1997; Tyson et.al, 1998). Lima dari tujuh varietas komersial selada berhasil dibudidayakan menggunakan passive floating hydroponics di luar greenhouse, serta memenuhi persyaratan kualitas untuk dipasarkan (Tyson et al., 1999). Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST) merupakan sistem hidroponik tanpa substrat yang dikembangkan dari sistem kultur air. Teknologi ini dapat dioperasikan tanpa tergantung adanya energi listrik karena tidak memerlukan pompa untuk re-sirkulasi larutan hara. Hal ini menyebabkan THST menjadi lebih sederhana, mudah dioperasikan, dan murah, sehingga berpotensi untuk dikembangkan pada tingkat petani kecil. Studi pengembangan THST dilakukan untuk mengetahui jenis tanaman, disain panel, jenis dan volume media, umur bibit, sumber dan konsentrasi larutan hara, pupuk daun dan naungan, serta pemanfaatan kembali larutan hara yang optimal. Hasil studi menunjukkan bahwa jenis tanaman yang dapat dibudidayakan dengan THST adalah caisim (Tosakan), pakchoy (White tropical type), kailan (BBT 35), kangkung (Bangkok LP1), selada (Panorama,Grand Rapids, Red Lettuce, Minetto), dan seledri (Amigo). Program Pemupukan Hidroponik Larutan Hara Sebagian besar tanaman hijau memerlukan total 16 elemen kimia untuk mempertahankan hidupnya. Dari total elemen ini hanya 13 yang dapat diberikan sebagai pupuk lewat perakaran tanaman, sedangkan 3 yang lain (Oksigen, Karbon dan Hidrogen) dapat diambil dari udara dan air (Mengel dan Kirkby, 1987). Dalam budidaya tanaman terkendali yang menggunakan tanah sebagai media, hanya sebagian kecil dari 13 unsur hara yang perlu menjadi perhatian. Sebab unsur yang diperlukan dalam jumlah kecil (hara mikro) dapat disuplai oleh tanah. Sehingga sebagian besar budidaya tanaman dalam greenhouse yang secara tradisional menggunakan tanah sebagai media hanya diberikan unsur makro N,P,K saja untuk pemupukannya. Budidaya tanaman secara hidroponik memungkinkan petani mengontrol pertumbuhan tanaman, akan tetapi juga memerlukan kemampuan manajemen yang tepat untuk mencapai keberhasilan. Petani hidroponik tidak hanya harus memberikan 6 hara makro ( N, P, K, Ca, Mg, S) saja, akan tetapi harus juga memberikan 7 hara mikro (Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, B) untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Gerber, 1985). Konsentrasi Hara Menyediakan Tanaman
Memperoleh tanaman dari bibit yang telah tersedia
Menanam Tanaman
Mudah-mudahan berkas-berkas mengenai hidroponik ini bisa menjawab pencarian Anda terkait dengan ebook hidroponik, download ebook hidroponik pdf, ebook hidroponik gratis, ebook hidroponik pdf, dan lain-lain. Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas-berkas mengenai Hidroponik ini silahkan lihat atau unduh filenya pada link di bawah ini: |