Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer pdf

Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi I Pengurus Besar Ikatan Dokter Indon PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Editor: Tim editor PB IDI Hak Cipta © 2017 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (indonesian medica association) Alamat Telepon Email Website

: Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 29 Menteng, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10350 : (021) 3150679 : [email protected] : idionline.org

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun cetak termasuk memfotokopi, merekam maupun menggunakan teknik lainnya tanpa seizin tertulis dari penerbit. Cetakan II, 2017 ISBN : UK ANGGOTA IKATAN DOKTER INDONESIA TIDAK DIPE Kata Sambutan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Assalamualaikum Wr Wb, Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena buku yang berisi panduan untuk menjadi pedoman dokter untuk melakukan praktik dapat diterbitkan. Buku berjudul “Panduan Keterampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer” memuat berbagai jenis keterampilan klinis untuk dilaksanakan oleh seluruh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer dalam upaya kesembuhan pasien dengan menghadirkan pelayanan kedokteran terbaik. Dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, dokter berkewajiban mengikuti standar pelayanan kedokteran. Oleh karena itu diperlukan panduan bagi dokter untuk melakukan praktik tersebut. PB IDI memandang perlu untuk menyusun panduan yang merupakan standar playanan dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Penyusunan Buku ini merupakan kerjasama Kementerian Kesehatan RI bersama Pengurus Besar IDI dengan melibatkan pihak pihak yang terkait dengan substansi ketrampilan klinis sesuai dengan keahliannya. Penyusunan buku ini mempertimbangkan acuan yang sebelumnya sudah ada, sehingga sejalan dengan pedoman yang telah diterbitkan oleh masing-masing perhimpunan. Dengan penerbitan buku ini diharapkan maka setiap dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer wajib menjadikan panduan ini sebagai acuan dalam memberikan pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Mengingat pesatnya perkembangan dunia kedokteran, kami mengharapkan seluruh pihak dapat bersama sama senantiasa dapat memperbaharui buku panduan ini mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. Waasalamualaikum Wr Wb, Ketua Umum, Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA i PENGURUS BESAR

IKATAN DOKTER INDONESIA Jl. Dr. G.S.S.Y. Ratulangie No. 29 Jakarta 10350 Telp. 021-3150679 - 3900277 Fax. 3900473 Email : (PB IDI) : [email protected], (MKKI) : [email protected], (MKEK) : [email protected]; (MPPK) : [email protected] Website : www.idionline.org

Masa Bakti : 2012 - 2015 Ketua Umum : Dr. Zaenal Abidin, MH SURAT KEPUTUSAN PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA NO. 1530/PB/A.4/12/2014 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN PRIMER PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) : Dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) : Prof. Dr. Errol U. Hutagalung, Sp.B, Sp.OT (K) Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) : Dr. Pranawa, Sp.PD-KGH Menimbang : 1. Bahwa dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, dokter berkewajiban mengikuti standar pelayanan kedokteran. 2. Bahwa diperlukan panduan bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer dalam melakukan praktik klinis. 3. Bahwa Ikatan Dokter Indonesia telah menyelesaikan penyusunan panduan praktik klinis yang merupakan standar pelayanan dalam meningkatkan mutu kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer. 4. Bahwa panduan sebagaimana tersebut pada butir 3 diatas perlu ditetapkan dengan Surat Keputusan. Mengingat : 1. Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 3. Anggaran Dasar IDI Bab III Pasal 7 dan 8 4. Anggaran Rumah Tangga IDI pasal 21 dan 23 5. Ketetapan Muktamar Dokter Indonesia XXVIII No. 16/MDI XXVIII/11/2012 tanggal 23 November 2012 6. Surat Keputusan PB IDI No. 317/PB/A.4/2013 tanggal 15 April 2013. Wakil Ketua Umum / Ketua Terpilih : Prof. Dr. I. Oetama Marsis,Sp.OG Ketua Purna : Dr. Prijo Sidipratomo,Sp.Rad Sekretaris Jenderal : Dr. Daeng M Faqih,MH Bendahara Umum : Dr. Dyah A Waluyo MEMUTUSKAN : Menetapkan Pertama : Mengesahkan Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Pelayanan Primer Kedua : Dengan disahkannya panduan ini maka setiap dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer wajib menjadikan panduan ini sebagai acuan dalam memberikan pelayanan kedokteran kepada masyarakat ketiga : Panduan ini senantiasa dapat diperbaharui mengikuti perkembangan ilmu kedokteran keempat : Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapannya akan diperbaiki sesuai keperluannya. Ditetapkan : di Jakarta Pada tanggal : 8 Desember 2014 Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, Dr. Zaenal Abidin, MH NPA. IDI : 42.557 Dr. Daeng M Faqih, MH NPA. IDI : 44.016 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015 TENTANG PANDUAN KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelayanan kedokteran di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama harus dilakukan sesuai dengan standar prosedur operasional yang disusun dalam bentuk panduan praktik klinis oleh fasilitas pelayanan kesehatan; b. bahwa untuk memberikan acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam menyusun standar prosedur operasional perlu mengesahkan panduan praktis klinis yang disusun oleh organisasi profesi; c. bahwa pengaturan panduan praktik klinis yang telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum dan ilmu kedokteran; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607); 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medik; PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA iii 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1438/Menkes/Per/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 464); 7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 671); 8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 122); 9. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 342); MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TANTANG PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA. KESATU : Mengesahkan dan memberlakukan Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat Pertama. KEDUA : Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama, yang selanjutnya disebut PPK Dokter merupakan pedoman bagi dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama baik milik Pemerintah maupun masyarakat yang berorientasi kepada kendali mutu dan kendali biaya, KETIGA : Pandauan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. KEEMPAT : Dalam melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan PPK Dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA, diperlukan keterampilan klinis sesuai dengan Panduan Keterampilan Klinis bagi dokter sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. KELIMA : PPK Dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA dan Pandaun Keterampilan Klinis bagi dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPAT harus dijadikan acuan dalam penyusunan standar prosedur operasional di setiap fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. KEENAM : Kepatuhan terhadap PPK Dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETIGA dan Panduan Keterampilan Klinis bagi dokter sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPAT bertujuan memberikan pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik. KETUJUH : Modifikasi terhadap pelaksanaan PPK Dokter dapat dilakukan oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama hanya berdasarkan keadaan tertentu untuk kepentingan pasien. KEDELAPAN : Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUH meliputi keadaan khusus pasien, kedaruratan, keterbatasan sumber daya, dan perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi berbasis bukti (evidance based). KESEMBILAN : Penatalaksanaan pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus menggunakan obat yang tercantum dalam Formularium Nasional. KESEPULUH : Meneteri Kesehatan, Gubernur, dan Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan PPK Dokter dengan melibatkan organisasi profesi. KESEBELAS : Pada saat Keputusan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. KEDUABELAS : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA ttd NILA FARID MOELOEK PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA v Catatan Penting 1. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dokter Pelayanan Primer ini memuat penatalaksanaan untuk dilaksanakan oleh seluruh dokter pelayanan primer serta pemberian pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik di fasilitas pelayanan kesehatan primer tetapi tidak menjamin keberhasilan upaya atau kesembuhan pasien. 2. Panduan ini disusun berdasarkan data klinis untuk kasus individu berdasarkan referensi terbaru yang ditemukan tim penyusun, dan dapat berubah seiring kemajuan pengetahuan ilmiah. 3. Kepatuhan terhadap panduan ini tidak menjamin kesembuhan dalam setiap kasus. Setiap dokter bertanggung jawab terhadap pengelolaan pasiennya, berdasarkan data klinis pasien, pilihan diagnostik, dan pengobatan yang tersedia. 4. Modifikasi terhadap panduan ini hanya dapat dilakukan oleh dokter atas dasar keadaan yang memaksa untuk kepentingan pasien, antara lain keadaaan khusus pasien, kedaruratan, dan keterbatasan sumber daya. Modifikasi tersebut harus tercantum dalam rekam medis. 5. Dokter pelayanan primer wajib merujuk pasien ke fasilitas pelayanan lain yang memiliki sarana prasarana yang dibutuhkan bila sarana prasarana yang dibutuhkan tidak tersedia, meskipun penyakit yang ditangani masuk dalam kategori penyakit tingkat kemampuan 4. 6. PPK Dokter Pelayanan Primer tidak memuat seluruh teori tentang penyakit, sehingga sangat disarankan setiap dokter untuk mempelajari penyakit tersebut dengan menggunakan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. 7. Walaupun tidak menjadi standar pelayanan, skrining terhadap risiko penyakit merupakan tugas dokter pelayanan primer. Tim Penyusun Pengarah Ment eri Keseh atan Repub lik Indon esia Direkt ur Jende ral Bina Upaya Keseh atan Direkt ur Jende ral Bina Upaya Keseh atan Dasar Pengarah IDI Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Prof. Dr. I Oetama Marsis, SpOG Pr of. Dr . H as bu lla h Th ab ra ny , M P H. D R. P H Dr . Da en g M Fa qi h, M .H PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA vii Tim Editor F i k a E k a y a n t i I k a H a r i y a n i J o k o H e n d a r t o M a h e s a P a r a n a d i p a A n d i A l viii f i a n Z a i n u d d i n D a e n g M F a q i h D h a n a s a r i V i d i a w a t i T r i s n a D y a h A W a l u y PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA o H e r q u t a n t o Narasum ber Amir Syarif – Kolegi um Dokte r Prime r Indon esia A r i e H a m z a h S u b d i t P e n g e n d a l i a n D M & P M , Kemenkes RI Armein Sjuhary Rowi - Dinkes Kota Bogor Aryono Hendarto – Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia Diatri Nari Lastri - PP PERDOSSI Di na n Ba gj a N ug ra ha Di nk es Ka b. G ar ut Dj at mi ko Di nk es Ka b u pa te n Gr o b og an Ek a Gi na nj ar P B P A P DI Eka Sulistiany - Subdit Tuberkulosis Ditjen P2PL, Kemenkes RI Esty Handayani PKM- Teluk Tiram Banjarmasin Fikry Hamdan Yasin - PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA ix K o l e g i u m I l m u K e s e h a t a n T H T K L I n d o n e s i a G e r a l d M a r i o S e m e n D i r e k x torat Bina Kesehatan Jiwa, Kemenkes RI Hadiyah Melanie - Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemenkes RI Hanny Nilasari - PP PERDOSKI Hariadi Wisnu Wardana - Subdit AIDS & PMS, Kemenkes RI Eni Gustina Direktorat Bina Kesehatan Anak,Kemenkes RI Ilham Oetama Marsis-PB IDI Kiki Lukman – Kolegium Ilmu Bedah Indonesia Lily Banonah Rivai - Subdit Pengendalian PJPD, Dit PPTM, Kemenkes RI M.Sidik – Perdami Muhammad Amin – Kolegium Pulmonologi Indonesia Nurdadi Saleh - PB POGI Syahri al M Hutau ruk PP PERH ATI-KL Syams ulhadi – Kolegi um Psikiat ri Indon esia Syams unaha r - IDI Caban g Kota Bogor Sylviana Andinisaric Subdit Pengendalian DM & PM, Kemenkes RI Tjut Nurul Alam Jacoeb - PP PERDOSKI Widia Tri Susanti - PKM Taman Bacaan Palembang Wiwiek Wibawa – PKM Godong I Grobogan Wiwien Heru Wiyono - Kolegium Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Worowijat Subdit Pengendalian Malaria Ditjen P2PL, Kemenkes RI Yetti Armagustini - Dinkes Kota Palembang PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA Yoan Hotni da Naomi Subdit Penge ndalia n Penya kit Jantu ng & Pemb uluh Darah, Keme nkes f i a n Z a i n u d d i n Tim Kontribut or A l f i i N u r H a r a h a p A l f u u N u r H a r a h a p A n d i A l PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA xi Tim Penyusun Balqis Darwis Hartono Dhanasari Vidiawati Trisna Duta Liana Dwiana Ocviyanti Eka Laksmi Exsenveny Lalopua Fika Ekayanti Hani Nilasari Ira Susanti Haryoso Joko Hendarto Oktarina Prasenohadi Retno Asti Werdhani Simon Salim Susi Oktowati Trisna Ulul Albab Wahyudi Istiono Imelda Datau Judilherry Justam Monika Saraswati Sitepu Novana Perdana Putri R. Prihandjojo Andri Putranto Siti Pariani Slamet Budiarto Tim Penunjang Adi Pamungkas Dien Kuswardani Era Renjana Ernawati Octavia Esty Wahyuningsih Heti Yuriani Husin Maulachelah I.G.A.M Bramantha Yogeswara Inten Lestari Leslie Nur Rahmani Mina Febriani Mohammad Sulaeman Nia Kurniawati Raisa Resmitasari Rizky Rahayuningsih Uud Cahyono Syrojuddin Hadi Imron Tim Revisi 2014 Andi Alfian Zainuddin Apriani Oendari Asturi Putri Adi Pamungkas Bulkis Natsir Darwis Hartono Ika Hariyani Joko Hendarto Monika Saraswati Sitepu Novana Perdana Putri Salinah Kata Pengantar Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas Rahmat-Nya Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi 1 dikeluarkan oleh IDI dapat yang dicetak dan disebarluaskan kepada seluruh anggotanya. Buku ini telah direvisi, yang awalnya terdiri dari 155 daftar penyakit pada PMK no 5 tahun 2014, menjadi 177 penyakit pada KMK HK.02.02/ Menkes/514/2015. Penyusunan buku ini diawali dari rapat yang diselenggarakan oleh Subdit Bina Pelayanan Kedokteran Keluarga, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI pada bulan Mei 2014 bersama dengan pengurus PB IDI. Buku ini adalah bagian pertama dari 4 rangkaian tema yang ingin disusun bersama, yaitu: 1. 2. 3. 4. Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Buku Panduan Penatalaksanaan Klinis dengan Pendekatan Simptom di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Buku Panduan Keterampilan Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Buku Pedoman Pelayanan bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Keempat tema ini merupakan acuan standar bagi pelayanan kesehatan dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Buku Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer ini disusun berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, di mana dari 736 daftar penyakit terdapat 144 penyakit dengan tingkat kemampuan 4 yaitu lulusan dokter harus mampu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas, 261 penyakit (164 penyakit tingkat kemampuan 3A dan 97 penyakit tingkat kemampuan 3B) dengan tingkat kemampuan 3 yaitu lulusan dokter harus mampu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk pada kasus gawat darurat maupun bukan gawat darurat, 261 penyakit dengan tingkat kemampuan 2 yaitu lulusan dokter harus mampu mendiagnosis dan merujuk serta 70 penyakit dengan tingkat kemampuan 1 yaitu lulusan dokter harus mampu mengenali dan menjelaskan selanjutnya menentukan rujukan yang tepat. Selain daftar penyakit tersebut, terdapat 275 keterampilan klinik yang juga harus dikuasai oleh lulusan program studi dokter. Dalam buku panduan ini, memuat 177 daftar penyakit. Daftar tersebut terdiri dari beberapa penggabungan penjabaran penyakit, yang sebenarnya di dalam SKDI mewakili 193 daftar penyakit, terdiri dari 135 penyakit dengan tingkat kemampuan 4A, 34 penyakit dengan tingkat kemampuan 3B, 21 penyakit dengan kemampuan 3B dan 3 penyakit dengan tingkat kemampuan 2. Pemilihan penyakit berdasarkan prevalensi cukup tinggi, mempunyai risiko tinggi dan membutuhkan pembiayaan tinggi serta usulan dari perhimpunan dokter spesialis. Dalam penyusunannya, dikoordinir oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia yang melibatkan dua perhimpunan dokter pelayanan primer (PDPP) yaitu Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) dan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). Dalam proses review tim penyusun melibatkan perhimpunan dokter spesialis yang terkait dengan daftar penyakit. Buku ini dipandang perlu untuk memandu para praktisi kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer terutama dokter dalam menjalankan praktik kedokteran yang baik agar mampu melayani masyarakat sesuai prosedur. Selain itu, diharapkan terciptanya kendali mutu dan kendali biaya sehingga efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kesehatan dapat dicapai yang berujung pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Dalam penerapan buku ini, diharapkan peran serta aktif seluruh pemangku kebijakan kesehatan yang terdiri dari Kementerian Kesehatan RI sebagai regulator hingga organisasi profesi dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk membina dan mengawasi guna mewujudkan mutu pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi seluruh pihak yang berperan aktif dalam penyusunan buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga buku ini dapat bermanfaat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Tim Penulis PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA ix Daftar isi A. B. C. D. E. BAB I : PENDAHULUAN1 Latar Belakang Tujuan Sasaran Ruang Lingkup Cara Memahami Panduan Praktik Klinis BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH & PENYAKIT7 A. KELOMPOK UMUM 1. Tuberkulosis (TB) Paru 2. TB dengan HIV 3. Morbili 4. Varisela 5. Malaria 6. Leptospirosis 7. Filariasis 8. Infeksi pada Umbilikus 9. Kandidiasis Mulut 10. Lepra 11. Keracunan Makanan 12. Alergi Makanan 13. Syok 14. Reaksi Anafilaktik 15. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH DAN SISTEM IMUN 1. Anemia Defisiensi Besi 2. HIV/AIDS tanpa Komplikasi 3. Lupus Eritematosus Sistemik 4. Limfadenitis C. DIGESTIVE 1. Ulkus Mulut (Aftosa, Herpes 2. Refluks Gastroesofageal 3. Gastritis 4. Intoleransi Makanan 5. Malabsorbsi Makanan 6. Demam Tifoid 7. Gastroenteritis (Kolera dan Giardiasis) 8. Disentri Basiler dan Disentri Amuba 9. Perdarahan Gastrointestinal 10. Hemoroid Grade 1-2 11. Hepatitis A 1 3 3 4 4 7 7 15 17 19 21 23 25 29 30 31 37 39 40 44 47 52 52 54 58 62 64 64 67 69 70 71 73 78 85 87 90 92 DAFTAR ISI 12. Hepatitis B 13. Kolesistisis 14. Apendisitis Akut 15. Peritonitis 16. Parotitis 17. Askariasis (Infeksi Cacing Gelang) 18. Ankilostomiasis (Infeksi Cacing Tambang) 19. Skistosomiasis 20. Taeniasis 21. Strongiloidasis D. MATA 1. Mata Kering/Dry Eye 2. Buta Senja 3. Hordeolum 4. Konjungtivitis 5. Blefaritis 6. Perdarahan Subkonjungtiva 7. Benda Asing di Konjungtiva 8. Astigmatisme 9. Hipermetropia 10. Miopia Ringan 11. Presbiopia 12. Katarak pada Pasien Dewasa 13. Glaukoma Akut 14. Glaukoma Kronis 15. Trikiasis 16. Episkleritis 17. Trauma Kimia Mata 18. Laserasi Kelopak Mata 19. Hifema 20. Retinopati Diabetik E. TELINGA 1. Otitis Eksterna 2. Otitis Media Akut 3. Otitis Media Supuratif Kronik 4. Benda Asing di Telinga 5. Serumen Prop F. KARDIOVASKULER 1. Angina Pektoris Stabil 2. Infark Miokard xiv 94 96 97 100 101 103 105 107 110 111 114 114 116 117 118 120 121 123 124 125 126 127 129 130 132 133 135 137 138 140 141 143 143 145 147 149 150 152 152 155 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA G. H. I. J. 3. Takikardia 4. Gagal Jantung Akut dan Kronik 5. Cardiorespiratory Arrest 6. Hipertensi Esensial MUSKULOSKELETAL 1. Fraktur Terbuka 2. Fraktur Tertutup 3. Polimialgia Reumatik 4. Artritis Reumatoid 5. Artritis, Osteoartritis 6. Vulnus 7. Lipoma NEUROLOGI 1. Tension Headache 2. Migren 3. Vertigo 4. Tetanus 5. Rabies 6. Malaria Serebral 7. Epilepsi 8. Transient Ischemic Attack (TIA) 9. Stroke 10. Bell’s Palsy 11. Status Epileptikus 12. Delirium 13. Kejang Demam 14. Tetanus Neonatorum PSIKIATRI 1. Gangguan Somatoform 2. Demensia 3. Insomnia 4. Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi 5. Gangguan Psikotik RESPIRASI 1. Influenza 2. Faringitis Akut 3. Laringitis Akut 4. Tonsilitis Akut 5. Bronkitis Akut 6. Asma Bronkial (Asma Stabil) 157 159 161 162 166 166 168 169 170 174 175 178 179 179 182 185 190 194 197 199 204 207 210 215 216 218 221 224 224 228 230 231 234 237 237 239 242 245 248 251 DAFTAR ISI 7. Status Asmatikus (Asma Akut Berat) 8. Pneumonia Aspirasi 9. Pneumonia, Bronkopneumonia 10. Pneumotoraks 11. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) 12. Epistaksis 13. Benda Asing di Hidung 14. Furunkel pada Hidung 15. Rinitis Akut 16. Rinitis Vasomotor 17. Rinitis Alergik 18. Sinusitis (Rinosinusitis) K. KULIT 1. Miliaria 2. Veruka Vulgaris 3. Herpes Zoster 4. Herpes Simpleks 5. Moluskum Kontagiosum 6. Reaksi Gigitan Serangga 7. Skabies 8. Pedikulosis Kapitis 9. Pedikulosis Pubis 10. Dermatofitosis 11. Pitiriasis Versikolor/Tinea Versikolor 12. Pioderma 13. Erisipelas 14. Dermatitis Seboroik 15. Dermatitis Atopik 16. Dermatitis Numularis 17. Liken Simpleks Kronik (Neurodermatitis Sirkumsripta) 18. Dermatitis Kontak Alergik 19. Dermatitis Kontak Iritan 20. Napkin Eczema (Dermatitis Popok) 21. Dermatitis Perioral 22. Pitiriasis Rosea 23. Eritrasma 24. Skrofuloderma 25. Hidradenitis Supuratif 26. Akne Vulgaris Ringan 27. Urtikaria xiv 258 261 262 268 269 273 276 278 279 282 284 286 291 291 293 294 296 299 300 302 304 306 308 310 312 314 316 318 321 323 325 327 330 332 334 335 337 338 341 344 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 28. Exanthematous Drug Eruption 29. Fixed Drug Eruption 30. Cutaneus Larva Migrans 31. Luka Bakar Derajat I dan II 32. Ulkus pada Tungkai 33. Sindrom Stevens-Johnson L METABOLIK ENDOKRIN DAN NUTRISI 1. Obesitas 2. Tirotoksikosis 3. Diabetes Mellitus Tipe 2 4. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik 5. Hipoglikemia 6. Hiperurisemia-Gout Arthritis 7. Dislipidemia 8. Malnutrisi Energi Protein (MEP) M. GINJAL DAN SALURAN KEMIH 1. Infeksi Saluran Kemih 2. Pielonefritis Tanpa Komplikasi 3. Fimosis 4. Parafimosis N. KESEHATAN WANITA 1. Kehamilan Normal 2. Hiperemesis Gravidarum (Mual dan Muntah pada Kehamilan) 3. Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan 4. Pre-Eklampsia 5. Eklampsi 6. Abortus 7. Ketuban Pecah Dini (KPD) 8. Persalinan Lama 9. Perdarahan Post Partum/Perdarahan Pascasalin 10. Ruptur Perineum Tingkat 1-2 11. Mastitis 12. Inverted Nipple 13. Cracked Nipple O. PENYAKIT KELAMIN 1. Fluor Albus/Vaginal Discharge Non Gonore 2. Sifilis 3. Gonore 4. Vaginitis 5. Vulvitis 347 348 350 352 354 357 360 360 362 364 358 370 372 374 377 380 380 382 385 386 388 388 393 396 398 401 403 407 409 412 417 422 424 426 428 428 431 436 438 440 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Terwujudnya kondisi kesehatan masyarakat yang baik adalah tugas dan tanggung jawab dari negara sebagai bentuk amanah Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pelaksanaannya negara berkewajiban menjaga mutu pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh fasilitas kesehatan serta tenaga kesehatan yang berkualitas. Untuk mewujudkan tenaga kesehatan yang berkualitas, negara sangat membutuhkan peran organisasi profesi tenaga kesehatan yang memiliki peran menjaga kompetensi anggotanya. Bagi tenaga kesehatan dokter, Ikatan Dokter Indonesia yang mendapat amanah untuk menyusun standar profesi bagi seluruh anggotanya, dimulai dari standar etik (Kode Etik Kedokteran Indonesia – KODEKI), standar kompetensi yang merupakan standar minimal yang harus dikuasasi oleh setiap dokter ketika selesai menempuh pendidikan kedokteran, kemudian disusul oleh Standar Pelayanan Kedokteran yang harus dikuasai ketika berada di lokasi pelayanannya, terdiri atas Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur Operasional. Standar Pelayanan Kedokteran merupakan implementasi dalam praktek yang mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang telah diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Dalam rangka penjaminan mutu pelayanan, dokter wajib mengikuti kegiatan Pendidikan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) dalam naungan IDI. Tingkat kemampuan dokter dalam pengelolaan penyakit di dalam SKDI dikelompokan menjadi 4 tingkatan, yakni : tingkat kemampuan 1, tingkat kemampuan 2, tingkat kemampuan 3A, tingkat kemampuan 3B, dan tingkat kemampuan 4A serta tingkat kemampuan 4B Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 1 Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentuka n rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindakla njuti sesudah kembali dari rujukan. akukan penatalaksanaan awal, dan merujuk Tingkat Kemampuan 3A : Bukan gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Ting kat Ke ma mp uan 3 : me ndia gno sis, mel 2 PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA BAB I : PENDAHULUAN Tingkat Kemampuan 3B : Gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Tingkat Kemampuan 4 : mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara m mandiri dan tuntas. Tingkat Kemampuan 4A : Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter Tingkat Kemampuan 4B : Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/ atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, dari 736 daftar penyakit terdapat 144 penyakit yang harus dikuasai penuh oleh para lulusan karena diharapkan dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Selain itu terdapat 275 keterampilan klinik yang juga harus dikuasai oleh lulusan program studi dokter. Selain 144 dari 726 penyakit, terdapat 261 penyakit yang harus dikuasai lulusan untuk dapat mendiagnosisnya sebelum kemudian merujuknya, baik merujuk dalam keadaaan gawat darurat maupun bukan gawat darurat. Kondisi saat ini, kasus rujukan ke pelayanan kesehatan sekunder untuk kasus-kasus yang seharusnya dapat dituntaskan di fasilitas pelayanan tingkat pertama masih cukup tinggi. Berbagai faktor yang mempengaruhi diantaranya kompetensi dokter, pembiayaan, dan sarana prasarana yang belum mendukung. Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar penyakit dengan kasus terbanyak di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010 termasuk dalam kriteria 4A. Dengan menekankan pada tingkat kemampuan 4, maka dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat melaksanakan diagnosis dan menatalaksana penyakit dengan tuntas. Namun bila pada pasien telah terjadi komplikasi, adanya penyakit kronis lain yang sulit dan pasien dengan daya tahan tubuh menurun, yang seluruhnya membutuhkan penanganan lebih lanjut, maka dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama secara cepat dan tepat harus membuat pertimbangan dan memutuskan dilakukannya rujukan. Melihat kondisi ini, diperlukan adanya panduan bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang merupakan bagian dari standar pelayanan kedokteran. Panduan ini selanjutnya menjadi acuan bagi seluruh dokter di fasilitas pelayanan tingkat pertama dalam menerapkan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat. Panduan ini diharapkan dapat membantu dokter untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan sekaligus menurunkan angka rujukan dengan cara : 1. 2. 3. 4. Memberi pelayanan sesuai bukti sahih terkini yang cocok dengan kondisi pasien, keluarga dan masyarakatnya Menyediakan fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan standar pelayanan Meningkatkan mawas diri untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan profesional sesuai dengan kebutuhan pasien dan lingkungan Mempertajam kemampuan sebagai gate keeper pelayanan kedokteran dengan menapis penyakit dalam tahap dini untuk dapat melakukan penatalaksanaan secara cepat dan tepat sebagaimana mestinya layanan tingkat pertama Panduan Praktik Klinis (PPK) bagi Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama ini memuat penatalaksanaan penyakit untuk dilaksanakan oleh seluruh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Penyusunan panduan ini berdasarkan data klinis untuk kasus individu yang mengacu pada referensi terbaru yang ditemukan tim penyusun, dan dapat berubah seiring kemajuan pengetahuan ilmiah. Panduan ini tidak memuat seluruh teori tentang penyakit, maka sangat disarankan setiap dokter untuk mempelajari penyakit tersebut dengan menggunakan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Kepatuhan terhadap panduan ini tidak menjamin kesembuhan dalam setiap kasus, tetapi merupakan pemberian pelayanan kesehatan dengan upaya terbaik. Setiap dokter bertanggung jawab terhadap pengelolaan pasiennya, berdasarkan data klinis pasien, pilihan diagnostik dan pengobatan yang tersedia. Dokter harus merujuk pasien ke fasilitas pelayanan lain yang memiliki sarana prasarana yang dibutuhkan, bila sarana prasarana yang dibutuhkan tidak tersedia, meskipun penyakit yang ditangani masuk dalam kategori penyakit dengan tingkat kemampuan dokter menangani dengan tuntas dan mandiri (tingkat kemampuan 4). Penilaian terhadap ketepatan rujukan harus dinilai kasus per kasus, dan tidak dapat didasarkan hanya pada kode diagnosa penyakit. Walaupun tidak dicantumkan dalam panduan ini, skrining terhadap risiko penyakit merupakan tugas dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. B. TUJUAN Dengan menggunakan panduan ini diharapkan, dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat 1. 2. 3. mewujudkan pelayanan kedokteran yang sadar mutu sadar biaya yang dibutuhkan oleh masyarakat. memiliki pedoman baku minimum dengan mengutamakan upaya maksimal sesuai kompetensi dan fasilitas yang ada memiliki tolok ukur dalam melaksanakan jaminan mutu pelayanan C. SASARAN Sasaran buku Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama ini adalah seluruh dokter yang memberikan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Fasilitas pelayanan kesehatan tidak terbatas pada fasilitas milik pemerintah, tetapi juga fasilitas pelayanan swasta. PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 3 D. RUANG LINGKUP PPK ini meliputi pedoman penatalaksanaan terhadap penyakit yang dijumpai di layanan tingkat pertama. Jenis penyakit mengacu pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Penyakit dalam Pedoman ini adalah penyakit dengan tingkat kemampuan dokter 4A, 3B dan 3A terpilih, dimana dokter diharapkan mampu mendiagnosis, memberikan penatalaksanaan dan rujukan yang sesuai. Beberapa penyakit yang merupakan kemampuan 2, dimasukkan dalam pedoman ini dengan pertimbangan prevalensinya yang cukup tinggi di Indonesia. Pemilihan penyakit pada PPK ini berdasarkan kriteria: 1. 2. 3. Penyakit yang prevalensinya cukup tinggi Penyakit dengan risiko tinggi Penyakit yang membutuhkan pembiayaan tinggi Dalam penerapan PPK ini, diharapkan peran serta aktif seluruh pemangku kebijakan kesehatan untuk membina dan mengawasi penerapan standar pelayanan yang baik guna mewujudkan mutu pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Adapun stakeholder kesehatan yang berperan dalam penerapan standar pelayanan ini adalah : 1. Kementerian Kesehatan, sebagai regulator di sektor kesehatan. Mengeluarkan kebijakan nasional dan peraturan terkait guna mendukung penerapan pelayanan sesuai standar. Selain dari itu, dengan upaya pemerataan fasilitas dan kualitas pelayanan diharapkan standar ini dapat diterapkan di seluruh Indonesia. 2. Ikatan Dokter Indonesia, sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter. Termasuk di dalamnya peranan IDI Cabang dan IDI Wilayah, serta perhimpunan dokter layanan primer dan spesialis terkait. Pembinaan dan pengawasan dalam aspek profesi termasuk di dalamnya standar etik menjadi ujung tombak penerapan standar yang terbaik. E. 3. Dinas Kesehatan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sebagai penanggungjawab urusan kesehatan pada tingkat daerah. 4. Organisasi profesi kesehatan lainnya seperti Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) serta organisasi profesi kesehatan lainnya. Keberadaan tenaga kesehatan lain sangat mendukung terwujudnya pelayanan kesehatan terpadu. 5. Sinergi seluruh pemangku kebijakan kesehatan menjadi kunci keberhasilan penerapan standar pelayanan medik dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. CARA MEMAHAMI PANDUAN PRAKTIK KLINIS Panduan ini memuat pengelolaan penyakit mulai dari penjelasan hingga penatalaksanaan penyakit tersebut. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dokter di Fasilitas Pelayanan Tingkat Pertama disusun berdasarkan pedoman yang berlaku secara global yang dirumuskan oleh organisasi profesi dan di sahkan oleh Menteri Kesehatan. 1) Judul Penyakit Judul penyakit berdasarkan daftar penyakit terpilih di SKDI 2012, namun beberapa penyakit dengan karakterisitik yang hampir sama dikelompokkan menjadi satu judul penyakit. Pada setiap judul penyakit dilengkapi : 1. Kode penyakit a. b. 2. Kode International Classification of Primary Care (ICPC), menggunakan kode ICPC2 untuk diagnosis. Kode International Classification of Diseases (ICD), menggunakan kode ICD-10 versi 10. Penggunaan kode penyakit untuk pencatatan dan pelaporan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama mengacu pada ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Tingkat kemampuan dokter dalam penatalaksanaan penyakit berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2) Masalah Kesehatan Masalah kesehatan berisi pengertian singkat serta prevalensi penyakit di Indonesia. Substansi dari bagian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan awal serta gambaran kondisi yang mengarah kepada penegakan diagnosis penyakit tersebut. 3) Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Anamnesis berisi keluhan utama maupun keluhan penyerta yang sering disampaikan oleh pasien atau keluarga pasien. Penelusuran riwayat penyakit yang diderita saat ini, penyakit lainnya yang merupakan faktor risiko, riwayat keluarga, riwayat sosial, dan riwayat alergi menjadi informasi lainnya pada bagian ini. Pada beberapa penyakit, bagian ini memuat informasi spesifik yang harus diperoleh dokter dari pasien atau keluarga pasien untuk menguatkan diagnosis penyakit. 4) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective) Bagian ini berisi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang spesifik, mengarah kepada diagnosis penyakit (pathognomonis). Meskipun tidak memuat rangkaian pemeriksaan fisik lainnya, pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh tetap harus dilakukan oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk memastikan diagnosis serta menyingkirkan diagnosis banding. 5) Penegakan Diagnosis (Assesment) Bagian ini berisi diagnosis yang sebagian besar dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Beberapa penyakit membutuhkan hasil pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis atau karena telah menjadi standar algoritma penegakkan diagnosis. Selain itu, bagian ini juga memuat klasifikasi penyakit, diagnosis banding, dan komplikasi penyakit. 6) Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Bagian ini berisi sistematika rencana penatalaksanaan berorientasi pada pasien (patient centered) yang terbagi atas dua bagian yaitu penatalaksanaan non farmakologi dan farmakologi. Selain itu, bagian ini juga berisi edukasi dan konseling terhadap pasien dan keluarga (family focus), aspek komunitas lainnya (community oriented) serta kapan dokter perlu merujuk pasien (kriteria rujukan). Dokter akan merujuk pasien apabila memenuhi salah satu dari kriteria “TACC” (Time-AgeComplication-Comorbidity) berikut : 1. 2. 3. 4. 5. Time: jika perjalanan penyakit dapat digolongkan kepada kondisi kronis atau melewati Golden Time Standard. Age: jika usia pasien masuk dalam kategori yang dikhawatirkan meningkatkan risiko komplikasi serta risiko kondisi penyakit lebih berat. Complication: jika komplikasi yang ditemui dapat memperberat kondisi pasien. Comorbidity: jika terdapat keluhan atau gejala penyakit lain yang memperberat kondisi pasien. Selain empat kriteria di atas, kondisi fasilitas pelayanan juga dapat menjadi dasar bagi dokter untuk melakukan rujukan demi menjamin keberlangsungan penatalaksanaan dengan persetujuan pasien. 7) Peralatan Bagian ini berisi komponen fasilitas pendukung spesifik dalam penegakan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit tersebut. Penyediaan peralatan tersebut merupakan kewajiban fasilitas pelayanan kesehatan disamping peralatan medik wajib untuk pemeriksaan umum tanda vital. 8) Prognosis Kategori prognosis sebagai berikut : 1. 2. 3. Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan. Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau fungsi manusia dalam melakukan tugasnya. Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh total sehingga dapat beraktivitas seperti biasa. Prognosis digolongkan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sanam: sembuh Bonam: baik Malam: buruk/jelek Dubia: tidak tentu/ragu-ragu Dubia ad sanam: tidak tentu/ragu-ragu, cenderung sembuh/baik Dubia ad malam: tidak tentu/ragu-ragu, cenderung memburuk/jelek Untuk penentuan prognosis sangat ditentukan dengan kondisi pasien saat diagnosis ditegakkan. BAB II DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT A. KELOMPOK UMUM 1. TUBERKULOSIS (TB) PARU No ICPC-2 : A70 Tuberkulosis No ICD-10 : A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologically and histologically confirmed Tingkat Kemampuan 4A a. Tuberkulosis (TB) Paru pada Dewasa Masalah Kesehatan Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Indonesia merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar dari 22 negara di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu TB Resisten Obat (Multi Drug Resistance/ MDR). Hasil Anamnesis (Subjective) Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang disertai: 1. 2. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis) dan/atau Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat malam dan mudah lelah). Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Pemeriksaan Fisik Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali menemukan kelainan. Pada auskultasi terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/ suara napas melemah di apex paru, tandatanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah: limfositosis/ meningkat, Hb turun. monositosis, LED 2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA) ataukultur kuman dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagisewaktu. 3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. 4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik. Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul). Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Pasti TB Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak). Kriteria Diagnosis Berdasarkan International Tuberkulosis Care (ISTC 2014) PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA Standards for 7 BAB II : DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT Standar Diagnosis 1. 2. 3. 4. 5. Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus waspada terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB dengan melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada mereka dengan gejala TB. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama ≥ 2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB. Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu mengeluarkan dahak, harus diperiksa mikroskopis spesimen apusan sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin, salah satu diantaranya adalah spesimen pagi. Pasien dengan risiko resistensi obat, risiko HIV atau sakit parah sebaiknya melakukan pemeriksan Xpert MTB/RIF* sebagai uji diagnostik awal. Uji serologi darah dan interferon-gamma release assay sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis TB aktif. Semua pasien yang diduga tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan uji mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat. Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif pada pasien dengan gejala klinis yang mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan antituberkulosis setelah pemeriksaan kultur. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Tujuan pengobatan : 1. Menyembuhkan, mengembalikan kualitas 2. 3. 4. 5. hidup dan produktivitas pasien. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan. Mencegah kekambuhan TB. Mengurangi penularan TB kepada orang lain. Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya Prinsip-prinsip terapi : 1. Obat AntiTuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi. 2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan. 3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong. 4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat. 5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama. 6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai, diperlukan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient centered approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat. 7. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan. 8. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan efek samping harus tercatat dan tersimpan. Tabel 1.1 Dosis obat antituberkulosis KDT/FDC Berat Badan Fase Intensif Fase Lanjutan Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu 30-37 2 2 2 2 2 38-54 3 3 3 3 3 55-70 4 4 4 4 4 >71 5 5 5 5 5 Tabel 1.2 Dosis obat TB berdasarkan berat badan (BB) Rekomendasi dosis dalam mg/kgBB Obat Harian 3x/minggu INH 5(4-6) max 300mg/hr 10(8-12) max 900 mg/dosis Rifampicin 10 (8-12) max 600 mg/hr 10 (8-12) max 600 mg/dosis Pirzinamid 25 (20-30) max 1600 mg/hr 35 (30-40) max 2400 mg/dosis Etambutol 15 (15-20) max 1600 mg/hr 30 (25-35) max 2400 mg/dosis Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan rifampisin dan isoniazid 1. a. Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol. a. Pada tahap awal pasien mendapat pasien yang terdiri dari 4 jenis obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol), diminum setiap hari dan diawasi secara langsung untuk menjamin kepatuhan minum obat dan mencegah terjadinya kekebalan obat. b. Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya penularan menurun dalam kurun waktu 2 minggu. c. 2. Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi BTA negatif (konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal. Setelah terjadi konversi pengobatan dilanujtkan dengan tahap lanjut. Tahap lanjutan menggunakan panduan obat Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat (rifampisin dan isoniazid), namun dalam jangka waktu yg lebih lama (minimal 4 bulan). b. Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu (obat program) atau tiap hari (obat non program). c. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Artinya pengobatan tahap awal selama 2 bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu. Jadi lama pengobatan seluruhnya 6 bulan. PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 9 2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh, gagal pengobatan, putus berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari. Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu. Jadi lama pengobatan 8 bulan. 3. Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis menjadi kurang baik. Kriteria hasil pengobatan : 1. Sembuh : pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up), hasilnya negatif pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya. 2. Pengobatan lengkap : pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya. 3. Meninggal : pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. 4. Putus berobat (default) : pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 5. Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau selama pengobatan. 6. Pindah (transfer out) : pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. OAT sisipan : HRZE Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum konversi) pada akhir pengobatan tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, maka diberikan pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan HRZE. Konseling dan Edukasi 1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit tuberkulosis 2. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur. 3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan Kriteria Rujukan 1. 2. 3. 4. 5. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah pengobatan dalam jangka waktu tertentu Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ meragukan) Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu tertentu TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid) Suspek TB – MDR harus dirujuk ke pusat rujukan TB-MDR. Referensi 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Tuberkulosis PDPI Jakarta 2011 (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011) 2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011) 3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan DOkter Indonesia. Jakarta. 2012. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012) Peralatan 1. 2. 3. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin. Radiologi Uji Gen Xpert-Rif Mtb jika fasilitas tersedia Prognosis 4. 5. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International standards for tuberkulosis tare (ISTC), 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance The Hague 2014. (Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2014) a. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L.et al.Mycobacterial disease: Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of internal medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009: hal. 1006 1020. (Braunwald, et al., 2009) c. b. Tuberkulosis (TB) Paru pada Anak b. BB tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik ATAU Hasil Anamnesis (Subjective) Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks. Gejala sistemik/umum TB pada anak: 1. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive). 2. Masalah Berat Badan (BB): BB tidak naik dengan adekuat. 3. Demam lama (≥ 2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain lain). Demam umumnya tidak tinggi (subfebris) dan dapat disertai keringat malam. 4. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.. 5. Batuk lama atau persisten ≥ 3 minggu, batuk bersifat non- remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan penyebab batuk lain telah disingkirkan 6. Keringat malam dapat terjadi, namun keringat malam saja apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak Masalah Kesehatan Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. World Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS. Pada wanita, kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas. Jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998−2002) adalah 1086 penyandang TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0% hingga 14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12−60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi 2 minggu) dan batuk (> 3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas Gambaran foto toraks mengarah ke TB berupa : pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/ lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma. Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2 minggu) saat imunisasi BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit untuk evaluasi lebih lanjut. Tabel 1.3 Sistem Skoring TB Anak kriteria 0 Kontak TB Tidak jelas Uji Tuberkulin (Mantoux) (-) 1 2 3 Laporan keluarga, BTA (-) atau BTA tidak jelas/tidak Tahu BTA (+) (+) (≥10mm, atau ≥5mm pd keadaan immunocomp Romised Berat badan/ keadaan gizi BB/TB < 90% atau BB/U < 80% Demam yang tidak diketahui penyebabnya > 2 minggu Batuk kronik > 3 minggu Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguina >1 cm, Lebih dari 1 KGB, tidak nyeri Pembengkakan tulang/ sendi panggul lutut, falang Ada pembengkakan Klinis gizi buruk atau BB/TB 6 sebagai entry point) Beri OAT 2 bulan terapi Ada perbaikan klinis Terapi TB Tidak ada perbaikan klinis Terapi TB diteruskan sambil mencari penyebabnya Untuk RS fasilitas terbatas, rujuk ke RS dengan fasilitas lebih lengkap Tabel 1.4 OAT Kombinasi Dosis Tepat (KDT) pada anak (sesuai rekomendasi IDAI) Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari 3KDT Anak RHZ (75/50/150) 4 bulan tiap hari 2KDT Anak RH (75/50) 05-Sep 1 tablet 1 tablet Okt-14 2 tablet 2 tablet 15-19 3 tablet 3 tablet 20-32 4 tablet 4 tablet Keterangan: 1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk ke rumah sakit 2. Anak dengan BB >33 kg, harus dirujuk ke rumah sakit. 3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah. 4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum. Sumber Penularan Dan Case Finding TB Anak Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Kriteria Rujukan 1. 2. 3. Peralatan 1. Evaluasi Hasil Pengobatan Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan BB yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain- lain. Apabila respons pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam. Tidak ada perbaikan klinis dalam 2 bulan pengobatan. Terjadi efek samping obat yang berat. Putus obat yaitu bila berhenti menjalani pengobatan selama >2 minggu. 2. 3. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin. Mantoux test (uji tuberkulin). Radiologi. Referensi Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis tuberculosis pada anak. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p. 170-87. 2.TB DENGAN HIV TB: No. ICPC-2 No. ICD-10 : A70 Tuberkulosis : A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologiccaly and histologically confirmed HIV: No. ICPC-2: B90 HIV-infection/AIDS No. ICD-10: Z21 Asymptomatic human immunodeficiency virus (HIV) infection status Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan menemukan kelainan. TB meningkatkan progresivitas HIV karena penderita TB dan HIV sering mempunyai kadar jumlah virus HIV yang tinggi. Pada keadaan koinfeksi terjadi penurunan imunitas lebih cepat dan pertahanan hidup lebih singkat walaupun pengobatan TB berhasil. Penderita TB/HIV mempunyai kemungkinan hidup lebih singkat dibandingkan penderita HIV yang tidak pernah kena TB. Obat antivirus HIV (ART) menurunkan tingkat kematian pada pasien TB/ HIV Hasil Anamnesis (Subjective) Berat badan turun drastis Sariawan/Stomatitis berulang Sarkoma Kaposi Riwayat perilaku risiko tinggi seperti a. Pengguna NAPZA suntikan b. Homoseksual c. Waria d. Pekerja seks e. Pramuria panti pijat Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) 1. 2. 3. 4. Batuk tidak merupakan gejala utama pada pasien TB dengan HIV. Pasien diindikasikan untuk pemeriksaan HIV jika: 1. 2. 3. 4. Pemeriksaan Penunjang dan Penunjang Pemeriksaan Fisik Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali 5. 6. Pemeriksaan darah lengkap dapat dijumpai limfositosis/monositosis, LED meningkat, Hb turun. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/ BTA) atau kultur kuman dari spesimen sputum/ dahak sewaktu-pagisewaktu. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik. Pemeriksaan kadar CD4. Uji anti-HIV Penegakan Diagnostik (Assessment) Pada daerah dengan angka prevalensi HIV yang tinggi pada populasi dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh pasien TB sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko terpajan HIV. Tabel 1.5 Gambaran TB-HIV Infeksi dini (CD4 > 200/mm3) Infeksi lanjut (CD4 < 200/mm3) Dahak mikroskopis Sering positif Sering negatif TB ekstra paru Jarang umum/banyak Mikrobakterimia Tidak ada Ada Tuberkulin Positif Negatif Foto toraks Reaktivasi TB, kavitas di puncak Tipikal primer TB milier/ interstasial Adenopati hilus/mediastinum Tidak ada Ada Efusi pleura Tidak ada Ada Diagnosis Banding 6. Setiap 1. 2. 3. profilaksis kotrimoksasol dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT. 7. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/ AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit. 8. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril. 9. Desensitisasi obat (INH/Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan efek toksik yang serius pada hati. 10. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain dipikirkan terdapatnya malabsorbsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum. Kriptokokosis Pneumocystic carinii pneumonia (PCP) Aspergillosis Komplikasi 1. 2. 3. 4. 5. Limfadenopati Efusi pleura Penyakit perikardial TB Milier Meningitis TB Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. 3. 4. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat. Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan pemberian ARV dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Perlu diperhatikan, pemberian secara bersamaan membuat pasien menelan obat dalam jumlah yang banyak sehingga dapat terjadi ketidakpatuhan, komplikasi, efek samping, interaksi obat dan Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome. penderita TB-HIV harus diberikan Konseling dan Edukasi Konseling dilakukan pada pasien yang dicurigai HIV dengan merujuk pasien ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing). Kriteria Rujukan 1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah pengobatan dalam jangka waktu tertentu 2. 3. 4. 5. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ meragukan) Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu tertentu TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid) Suspek TB–MDR harus dirujuk ke pusat rujukan TB–MDR . Peralatan 1. 2. 3. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin Mantoux test Radiologi Prognosis Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis menjadi kurang baik. Referensi 1. 2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011. Panduan Tata laksana Tuberkuloasis ISTC dengan strategi DOTS unutk Praktek Dokter Swasta (DPS), oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia Jakarta 2012. 3.MORBILI No. ICPC-2: A71 Measles. No. ICD-10: B05.9 Measles without complication (Measles NOS). Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Measles. Nama lain dari penyakit ini adalah rubeola atau campak. Morbili merupakan penyakit yang sangat infeksius dan menular lewat udara melalui aktivitas bernafas, batuk, atau bersin. Pada bayi dan balita, morbili dapat menimbulkan komplikasi yang fatal, seperti pneumonia dan ensefalitis. Salah satu strategi menekan mortalitas dan morbiditas penyakit morbili adalah dengan vaksinasi. Namun, berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, ternyata cakupan imunisasi campak pada anak-anak usia di bawah 6 tahun di Indonesia masih relatif lebih rendah(72,8%) dibandingkan negara- negara lain di Asia Tenggara yang sudah mencapai 84%. Pada tahun 2010, Indonesia merupakan negara dengan tingkat insiden tertinggi ketiga di Asia Tenggara. World Health Organization melaporkan sebanyak 6300 kasus terkonfirmasi Morbili di Indonesia sepanjang tahun 2013. Dengan demikian, hingga kini, morbili masih menjadi masalah kesehatan yang krusial di Indonesia. Peran dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sangat penting dalam mencegah, mendiagnosis, menatalaksana, dan menekan mortalitas morbili. Hasil Anamnesis (Subjective) 1. 2. 3. 4. Gejala prodromal berupa demam, malaise, gejala respirasi atas (pilek, batuk), dan konjungtivitis. Pada demam hari keempat, biasanya muncul lesi makula dan papula eritem, yang dimulai pada kepala daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara sentrifugal ke bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki pada hari ketiga. Masa inkubasi 10-15 hari. Belum mendapat imunisasi campak Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) 1. Demam, konjungtivitis, limfadenopati 2. 3. 4. general. Pada orofaring ditemukan koplik spot sebelum munculnya eksantem. Gejala eksantem berupa lesi makula dan papula eritem, dimulai pada kepala pada daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara sentrifugal dan ke bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki Pada hari ketiga, lesi ini perlahanlahan menghilang dengan urutan sesuai urutan muncul, dengan warna sisa coklat kekuningan atau deskuamasi ringan. Eksantem hilang dalam 4-6 hari. Gambar 1.1 Morbili d. Mononukleosis infeksiosa e. Infeksi Mycoplasma pneumoniae Komplikasi Komplikasi lebih umum terjadi pada anak dengan gizi buruk, anak yang belum mendapat imunisasi, dan anak dengan imunodefisiensi dan leukemia. Komplikasi berupa otitis media, pneumonia, ensefalitis, trombositopenia. Pada anak HIV yang tidak diimunisasi, pneumonia yang fatal dapat terjadi tanpa munculnya lesi kulit. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. 3. Pemeriksaan Penunjang Pada umumnya tidak diperlukan. Pada pemeriksaan sitologi dapat ditemukan sel datia berinti banyak pada sekret. Pada kasus tertentu, mungkin diperlukan pemeriksaan serologi IgM anti-Rubella untuk mengkonfirmasi diagnosis. Penegakan Diagnosis (Assessment) 1. Diagnosis umumnya dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 2. Diagnosis banding: a. Erupsi obat b. Eksantem virus yang lain (rubella, eksantem subitum), c. Scarlet fever Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis. Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan antipiretik. Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik. Suplementasi vitamin A diberikan pada: a. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/ hari PO diberi 2 dosis. b. b. Usia 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis. c. Usia di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis. d. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai usia, dilanjutkan dosis ketiga sesuai usia yang diberikan 2-4 minggu kemudian. Konseling dan Edukasi Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit yang menular. Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif. Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari diare/ emesis. Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan. Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan penderita. Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan imun, bayi usia 6 bulan -1 tahun, bayi usia kurang dari 6 bulan yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil. Referensi 1. Kriteria Rujukan Perawatan di rumah sakit untuk campak dengan komplikasi (superinfeksi bakteri, pneumonia, dehidrasi, croup, ensefalitis) 2. Peralatan Tidak diperlukan peralatan khusus menegakkan diagnosis morbili. untuk Prognosis 3. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th Ed. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007. (Djuanda, et al., 2007) James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Saunders Elsevier. Canada.2000. (James, et al., 2000) Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Pedoman Pelayanan Medik. 2011. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, 2011) Prognosis pada umumnya baik karena penyakit ini merupakan penyakit self-limiting disease. 4.VARISELA No. ICPC-2: A72 Chickenpox No. ICD-10 : B01.9 Varicella without complication (Varicella NOS) Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Pemeriksaan Infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Masa inkubasi 14-21 hari. Penularan melalui udara (air-borne) dan kontak langsung. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian disusul timbulnya lesi kulit berupa papul eritem yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Biasanya disertai rasa gatal. Anak-anak. Riwayat kontak dengan penderita varisela. Keadaan imunodefisiensi. Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) Tanda Patognomonis Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan menjadi keruh dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikelvesikel baru yang menimbulkan gambaran polimorfik khas untuk varisela. Penyebaran terjadi secara sentrifugal, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas atas. Gambar 1.2 Varisela Faktor Risiko 1. 2. 3. Fisik dan Penunjang Pemeriksaan Penunjang Konseling dan Edukasi Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis dengan menemukan sel Edukasi bahwa varisella merupakan penyakit yang self-limiting pada anak yang imunokompeten. Komplikasi yang ringan dapat berupa infeksi bakteri sekunder. Oleh karena itu, pasien sebaiknya menjaga kebersihan tubuh. Penderita sebaiknya dikarantina untuk mencegah penularan. Tzanck yaitu sel datia berinti banyak. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria Rujukan Diagnosis Banding 1. 2. 1. 2. 3. 4. Peralatan Variola Herpes simpleks disseminata Coxsackievirus Rickettsialpox Terdapat gangguan imunitas Mengalami komplikasi yang berat seperti pneumonia, ensefalitis, dan hepatitis. Lup Komplikasi Prognosis Pneumonia, ensefalitis, hepatitis, terutama terjadi pada pasien dengan gangguan imun. Varisela pada kehamilan berisiko untuk menyebabkan infeksi intrauterin pada janin, menyebabkan sindrom varisela kongenital. Prognosis pada pasien dengan imunokompeten adalah bonam, sedangkan pada pasien dengan imunokompromais, prognosis menjadi dubia ad bonam. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Referensi Penatalaksanaan 1. Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak mengakibatkan pecahnya vesikel. Selain itu, dilakukan pemberian nutrisi TKTP, istirahat dan mencegah kontak dengan orang lain. 2. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan indikasi. Aspirin dihindari karena dapat menyebabkan Reye’s syndrome. 3. Losio kalamin dapat diberikan untuk mengurangi gatal. 4. Pengobatan antivirus oral, antara lain: a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak- anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis maksimal 800 mg), atau b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari. Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan pada 24 jam pertama setelah timbul lesi. 2. 3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. 5.MALARIA No. ICPC-2: A73 Malaria No. ICD-10: B54 Unspecified malaria Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa. Hasil Anamnesis (Subjective) • • 2. 3. 4. Keluhan 5. Demam hilang timbul, pada saat demam hilang disertai dengan menggigil, berkeringat, dapat disertai dengan sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nafsu makan menurun, sakit perut, mual muntah, dan diare. 6. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan hapusan darah tebal dan tipis ditemukan parasit Plasmodium. 2. Rapid Diagnostic Test untuk malaria (RDT). Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. Riwayat menderita malaria sebelumnya. Tinggal di daerah yang endemis malaria. Pernah berkunjung 1-4 minggu di daerah endemik malaria. Riwayat mendapat transfusi darah. Nadi teraba cepat dan lemah. Pada kondisi tertentu bisa ditemukan penurunan kesadaran. Kepala : Konjungtiva anemis, sklera ikterik, bibir sianosis, dan pada malaria serebral dapat ditemukan kaku kuduk. Toraks : Terlihat pernapasan cepat. Abdomen : Teraba pembesaran hepar dan limpa, dapat juga ditemukan asites. Ginjal : Dapat ditemukan urin berwarna coklat kehitaman, oligouri atau anuria. Ekstermitas : Akral teraba dingin merupakan tanda-tanda menuju syok. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Pemeriksaan Fisik Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (Trias Malaria: panas – menggigil – berkeringat), pemeriksaan fisik, dan ditemukannya parasit plasmodium pada pemeriksaan mikroskopis hapusan darah tebal/tipis. 1. Klasifikasi Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Tanda Patognomonis a. Pada periode demam: • Kulit terlihat memerah, teraba panas, suhu tubuh meningkat dapat sampai di atas 400C dan kulit kering. • Pasien dapat juga terlihat pucat. • Nadi teraba cepat • Pernapasan cepat (takipneu) b. Pada periode dingin dan berkeringat: • Kulit teraba dingin dan berkeringat. 1. 2. 3. 4. 5. Malaria falsiparum, ditemukan Plasmodium falsiparum. Malaria vivaks ditemukan Plasmodium vivax. Malaria ovale, ditemukan Plasmodium ovale. Malaria malariae, ditemukan Plasmodium malariae. Malaria knowlesi, ditemukan Plasmodium knowlesi. Diagnosis Banding Penatalaksanaan Diberikan lagi regimen DHP yang sama tetapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari. b. Dugaan relaps pada malaria vivax adalah apabila pemberian Primakiun dosis 0,25 mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit kembali dengan parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan. Pengobatan Malaria falsiparum Pengobatan Malaria malariae 1. Lini pertama: dengan Fixed Dose Combination (FDC) yang terdiri dari Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) tiap tablet mengandung 40 mg Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin. Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) sampai dengan 59 kg diberikan DHP per oral 3 tablet satu kali per hari selama 3 hari dan Primakuin 2 tablet sekali sehari satu kali pemberian, sedangkan untuk BB > 60 kg diberikan 4 tablet DHP satu kali sehari selama 3 hari dan Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali pemberian. Dosis DHA = 2-4 mg/kgBB (dosis tunggal), Piperakuin = 16-32 mg/kgBB (dosis tunggal), Primakuin = 0,75 mg/kgBB (dosis tunggal). Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan Primakuin. 1. 2. 3. 4. Demam Dengue Demam Tifoid Leptospirosis Infeksi virus akut lainnya Penatalaksanaan komprehensif (Plan) 2. Lini kedua (pengobatan malaria falsiparum yang tidak respon terhadap pengobatan DHP): Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin. Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), Doksisiklin = 3,5 mg/kgBB per hari ( dewasa, 2x/hari selama7 hari), 2,2 mg/kgBB/hari ( 8-14 tahun, 2x/hari selama 7 hari), T etrasiklin = 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hari selama 7 hari). Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale 1. 2. 3. Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP), diberikan peroral satu kali per hari selama 3 hari, pr im aku i n = 0,2 5 mg/kgBB/hari (selama 14 hari). Lini kedua (pengobatan malaria vivax yang tidak respon terhadap pengobatan DHP): Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg/ kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), Primakuin = 0,25 mg/kgBB (selama 14 hari). Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh): a. Pengobatan infeksi campuran antara Malaria falsiparum dengan Malaria vivax/ Malaria ovale dengan DHP. Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan DHP 1 kali per hari selama 3 hari, serta DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta Primakuin dosis 0,25 mg/kgBB selama 14 hari. Pengobatan malaria pada ibu hamil 1. 2. 3. Trimester pertama: Kina tablet 3 x 10mg/ kg BB + Klindamycin 10mg/kgBB selama 7 hari. Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP tablet selama 3 hari. Pencegahan / profilaksis digunakan Doksisiklin 1 kapsul 100 mg/hari diminum 2 hari sebelum pergi hingga 4 minggu setelah keluar/pulang dari daerah endemis. Pengobatan di atas diberikan berdasarkan berat badan penderita. Komplikasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Malaria serebral. Anemia berat. Gagal ginjal akut. Edema paru atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Hipoglikemia. Gagal sirkulasi atau syok. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskular. 8. Kejang berulang >2 kali per 24 jam pendidngan pada hipertermia. 9. Asidemia (pH darah 5 Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi (mati rasa dan/ atau kelemahan otot, di daerah yang dipersarafi saraf yang bersangkutan) Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf Kerokan jaringan kulit BTA negatif BTA positif Tabel 1.7 Tanda lain klasifikasi lepra PB MB Distribusi Unilateral atua bilateral asimetris Bilateral simetris Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap Batas bercak Tegas Kurang tegas Mati rasa pada bercak Jelas Kurang jelas Deformias Proses terjadi lebih cepat Terjadi pada tahap lanjut Ciri khas - Maradosis, hidung pelanam wajah singa (facies leonina), ginekomastia pada pria Bercak putih 1. 2. 3. Vitiligo Pitiriasis versikolor Pitiriasis alba Nodul 1. 2. 3. Neurofibromatosis Sarkoma Kaposi Veruka vulgaris Komplikasi 1. 2. 3. 4. Gambar 1.6 : Alur diagnosis dan klasifikasi kusta Diagnosis Banding Bercak eritema 1. 2. 3. Psoriasis Tinea circinata Dermatitis seboroik Arthritis. Sepsis Amiloid sekunder Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan yang sangat kronis. Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas seluler (tipe 1/reversal) atau hipersentitivitas humoral (tipe 2/ eritema nodosum leprosum/ENL). Tabel 1.8 Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan tipe 2 Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2 Pasien dengan bercak multipel dan diseminata, mengenai area tubuh yang luas serta keterlibatan saraf multiple Obat MDT, kecuali Lampren Bercak luas pada wajah dan lesi dekat mata, berisiko terjadinya lagoftalmos karena reaksi BI > 4+ Saat puerpurium (karena peningkatan CMI). Paling tinggi 6 bulan pertama setelah melahirkan/ masa menyusui Kehamilan awal (karena stress mental), trisemester ke-3, dan puerpurium (karena stress fisik), setiap masa kehamilan (karena infeksi penyerta) Infeksi penyerta: Hepatitis B dan C Infeksi penyerta: streptokokus, virus, cacing, filarial, malaria Neuritis atau riwayat nyeri saraf Stres fisik dan mental Lain-lain seperti trauma, operasi, imunisasi protektif, tes Mantoux positif kuat, minum kalium hidroksida Tabel 1. 9 Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2 kusta No Gejala Tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2 1 Tipe kusta Dpat terjadi pada kusta tipe MB maupun PB Hanya terjadi pada kusta tipe PB 2 Waktu timbulnya Biasanya segera setelah pengobatan Biasanya setelah pengobatan yang lama, umumnya minimal 6 bulan 3 Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan (sub-febris) atau tanpa demam Ringan sampai berat disertai kelemahan umum dan demam yang tinggi 4 Peradagan di kulit Bercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), bengkak, berkilat, hangat. Kadang-kadang hanya pada sebagian lesi. Dapat timbul bercak baru Timbul nodus kemerahan lunak nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodus dapat pecah. 5 Saraf Sering terjadi, umumnya berupa nyeri saraf dan atau gangguan fungsi saraf . silent neuritis (+) Dapat terjadi 6 Udem pada ekstrimitas (+) (-) 7 Peradangan pada organ lain Hampir tidak ada Terjadi pada testis, sendi, ginjal, kelenjar getah bening dll Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. 3. 4. 5. Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat ini, serta mengenai pengobatan dan pentingnya kepatuhan untuk eliminasi penyakit. Kebersihan diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi hingga selesai terapi dilaksanakan. Terapi menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) pada: a. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT. b. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini: - Relaps - Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB) - Pindahan (pindah masuk) - Ganti klasifikasi/tipe Terapi pada pasien PB: a. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg) dan 1 tablet Dapson/DDS 100 mg. b. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet Dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan. c. Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± 6 blister). d. Pada anak 10-15 tahun, dosis Rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg. 6. Terapi pada Pasien MB: a. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg), 3 tablet Lampren (klofazimin) @ 100 mg (300 mg) dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg. b. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet lampren 50 mg dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan. c. Pasien minum obat selama 12-18 bulan (± 12 blister). d. Pada anak 10-15 tahun, dosis Rifampisin 450 mg, Lampren 150 mg dan DDS 50 mg untuk dosis bulanannya, sedangkan dosis harian untuk Lampren 50 mg diselang 1 hari. 7. Dosis MDT pada anak 3 (ada nodul atau infiltrat), maka perlu dilakukan pengamatan semiaktif. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 1218 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium. Default Jika pasien PB tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang bersangkutan dinyatakan default. Pasien defaulter tidak diobati kembali bila tidak terdapat tanda- tanda klinis aktif. Namun jika memiliki tanda-tanda klinis aktif (eritema dari lesi lama di kulit/ ada lesi baru/ ada pembesaran saraf yang baru). Bila setelah terapi kembali pada defaulter ternyata berhenti setelah lebih dari 3 bulan, maka dinyatakan default kedua. Bila default lebih dari 2 kali, perlu dilakukan tindakan dan penanganan khusus. Kriteria Rujukan 1. 2. Terdapat efek samping obat yang serius. Reaksi kusta dengan kondisi: a. ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi, neuritis. b. Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis. c. Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak lambung berat. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan BTA Referensi 1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012. Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012) 2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (Djuanda, et al., 2007) Prognosis Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam pada fungsi ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi, demikian pula untuk kejadian berulangnya. 11. KERACUNAN MAKANAN No. ICPC-2: A86Toxic Effect Non Medical Substance No. ICD-10: T.62.2 Other Ingested (parts of plant(s)) Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Keracunan makanan merupakan suatu kondisi gangguan pencernaan yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan zat patogen dan atau bahan kimia, misalnya Norovirus, Salmonella, Clostridium perfringens, Campylobacter, dan Staphylococcus aureus. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. 2. 3. 4. Diare akut. Pada keracunan makanan biasanya berlangsung kurang dari 2 minggu. Darah atau lendir pada tinja; menunjukkan invasi mukosa usus atau kolon. Nyeri perut. Nyeri kram otot perut; menunjukkan hilangnya elektrolit yang mendasari, seperti pada kolera yang berat. Kembung. 2. Konsumsi daging/unggas yang kurang matang dapat dicurigai untuk Salmonella spp, Campylobacter spp, toksin Shiga E coli, dan Clostridium perfringens. 3. Konsumsi makanan laut mentah dapat dicurigai untuk Norwalk- like virus, Vibrio spp, atau hepatitis A. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective ) Pemeriksaan Fisik Patognomonis Pemeriksaan fisik harus difokuskan untuk menilai keparahan dehidrasi. 1. Diare, dehidrasi, dengan tanda–tanda tekanan darah turun, nadi cepat, mulut kering, penurunan keringat, dan penurunan output urin. 2. Nyeri tekan perut, bising usus meningkat atau melemah. Faktor Risiko Pemeriksaan Penunjang 1. 1. Riwayat makan/minum di tempat yang tidak higienis Lakukan pemeriksaan mikroskopis dari feses untuk telur cacing dan parasit. 2. Pewarnaan Gram, Koch dan metilen biru Loeffler untuk membantu membedakan penyakit invasifdari penyakitnon-invasif. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Kriteria Rujukan 1. Gejala keracunan tidak berhenti setelah 3 hari ditangani dengan adekuat. 2. Pasien mengalami perburukan. Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder dengan spesialis penyakit dalam atau spesialis anak. Diagnosis Banding Peralatan 1. Intoleransi 2. Diare spesifik seperti disentri, kolera dan lain-lain. 1. 2. 3. Komplikasi : Dehidrasi berat Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Karena sebagian besar kasus gastroenteritis akut adalah self- limiting, pengobatan khusus tidak diperlukan. Dari beberapa studi didapatkan bahwa hanya 10% kasus membutuhkan terapi antibiotik. Tujuan utamanya adalah rehidrasi yang cukup dan suplemen elektrolit. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian cairan rehidrasi oral (oralit) atau larutan intravena (misalnya, larutan natrium klorida isotonik, larutan Ringer Laktat). Rehidrasi oral dicapai dengan pemberian cairan yang mengandung natrium dan glukosa. Obat absorben (misalnya, kaopectate, aluminium hidroksida) membantu memadatkan feses diberikan bila diare tidak segera berhenti. 2. Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari, etiologi spesifik harus ditentukan dengan melakukan kultur tinja. Untuk itu harus segera dirujuk. 3. Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk menjaga kebersihan diri. Konseling dan Edukasi Edukasi kepada keluarga untuk turut menjaga higiene keluarga dan pasien. Cairan rehidrasi (NaCl 0,9%, RL, oralit ) Infus set Antibiotik bila diperlukan Prognosis Prognosis umumnya bila pasien mengalami komplikasi adalah bonam. tidak Referensi 1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 2. Panduan Puskesmas untuk keracunan makanan. Depkes: Jakarta. 2007 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007) 12. ALERGI MAKANAN No. ICPC-2: A92 Allergy/ allergic reaction NOS No. ICD-10: L27.2 Dermatitis due to ingested food Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Makanan dapat menimbulkan beraneka ragam gejala yang ditimbulkan reaksi imun terhadap alergen asal makanan. Reaksi tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi atau non alergi. Reaksi alergi makanan terjadi bila alergen makanan menembus sawar gastro intestinal yang memacu reaksi IgE. Gejala dapat timbul dalam beberapa menit sampai beberapa jam, dapat terbatas pada satu atau beberapa organ, kulit, saluran napas dan cerna, lokal dan sistemik. Alergen makanan yang sering menimbulkan alergi pada anak adalah susu,telur, kacang tanah, soya, terigu, dan ikan laut. Sedangkan yang sering menimbulkan alergi pada orang dewasa adalah kacang tanah, ikan laut, udang, kepiting, kerang, dan telur. Alergi makanan tidak berlangsung seumur hidup terutama pada anak. Gejala dapat hilang, namun dapat kambuh pada keadaan tertentu seperti infeksi virus, nutrisi yang tidak seimbang atau cedera muskulus gastrointestinal. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 5. Hipersensitivitas susu sapi pada bayi menyebabkan occult bleeding atau frank colitis. Faktor Risiko 1. Terdapat riwayat alergi di keluarga Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada kulit dan mukosa serta paru. Pemeriksaan Penunjang: Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik Diagnosis Banding 1. Intoksikasi makanan Komplikasi 1. Reaksi alergi berat Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Pada kulit: eksim dan urtikaria. 2. Pada saluran pernapasan: rinitis dan asma. Penatalaksanaan 3. Keluhan pada saluran pencernaan: gejala gastrointestinal non spesifik dan berkisar dari edema, pruritus bibir, mukosa pipi, mukosa faring, muntah, kram, distensi,dan diare. Medika mentosa 4. Diare kronis dan malabsorbsi terjadi akibat reaksi hipersensitivitas lambat non Ig-Emediated seperti pada enteropati protein makanan dan penyakit seliak Riwayat reaksi alergi berat atau anafilaksis: 1. 2. Hindari makanan penyebab Jangan lakukan uji kulit atau uji provokasi makanan Rencana Tindak Lanjut 1. Edukasi pasien untuk kepatuhan diet pasien 2. 3. 4. Menghindari makanan yang bersifat alergen secara sengaja mapun tidak sengaja (perlu konsultasi dengan ahli gizi) Perhatikan label makanan Menyusui bayi sampai usia 6 bulan menimbulkan efek protektif terhadap alergi makanan Kriteria Rujukan Pasien dirujuk apabila pemeriksaan uji kulit, uji provokasi dan eliminasi makanan terjadi reaksi anafilaksis. Prognosis Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam bila medikamentosa disertai dengan perubahan gaya hidup. Referensi 1. 2. Peralatan - 3. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010; 125: 116-25. (Sichere & Sampson, 2010) Prawirohartono, E.P. Makanan Sebagai Penyebab Alergi dalam Alergi Makanan.Ed. Djuffrie. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. 2001. (Prawirohartono, 2001) Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter pada Alergi. Jakarta: Dian Rakyat. 2003. (Davies, 2003) 13. SYOK No. ICPC-2: K99 Cardiovascular disease other No. ICD-10: R57.9 Shock, unspecified Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Syok merupakan salah satu sindroma kegawatan yang memerlukan penanganan intensif dan agresif. Syok adalah suatu sindroma multifaktorial yang menuju hipoperfusi jaringan lokal atau sistemis dan mengakibatkan hipoksia sel dan disfungsimultipel organ. Kegagalan perfusi jaringan dan hantaran nutrisi dan oksigen sistemik yang tidak adekuat tak mampu memenuhi kebutuhan metabolisme sel. Karakteristik kondisi ini, yaitu: 1) ketergantungan suplai oksigen, 2) kekurangan oksigen, 3) Asidosis jaringan sehingga terjadi metabolisme anaerob dan berakhir dengan kegagalan fungsi organ vital dan kematian. Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, penyebab dan karakteristik pola hemodinamik yang ditimbulkan, yaitu: 1. Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh 2. 3. hilangnya sirkulasi volume intravaskuler sebesar >20-25% sebagai akibat dari perdarahan akut, dehidrasi, kehilangan cairan pada ruang ketiga atau akibat sekunder dilatasi arteri dan vena. Syok Kardiogenik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh adanya kerusakan primer fungsi atau kapasitas pompa jantung untuk mencukupi volume jantung semenit, berkaitan dengan terganggunya preload, afterload, kontraktilitas, frekuensi ataupun ritme jantung. Penyebab terbanyak adalah infark miokard akut, keracunan obat, infeksi/ inflamasi, gangguan mekanik. Syok Distributif yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh menurunnya tonus vaskuler mengakibatkan vasodilatasi arterial, penumpukan vena dan redistribusi aliran darah. Penyebab dari kondisi tersebut terutama komponen vasoaktif pada syok anafilaksis; bakteria dan 4. 5. toksinnya pada septik syok sebagai mediator dari SIRS; hilangnya tonus vaskuler pada syok neurogenik. Syok Obstruktif yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen berkaitan dengan terganggunya mekanisme aliran balik darah oleh karena meningkatnya tekanan intratorakal atau terganggunya aliran keluar arterial jantung (emboli pulmoner, emboli udara, diseksi aorta, hipertensi pulmoner, tamponade perikardial, perikarditis konstriktif) ataupun keduanya oleh karena obstruksi mekanis. Syok Endokrin, disebabkan oleh hipotiroidisme, hipertiroidisme dengan kolaps kardiak dan insufisiensi adrenal. Pengobatannya dengan tunjangan kardiovaskular sambil mengobati penyebabnya. Insufisiensi adrenal mungkin kontributor terjadinya syok pada pasien sakit gawat. Pasien yang tidak respon pada pengobatan harus tes untuk insufisiensi adrenal. Syok obstruktif, tampak hampir sama dengan syok kardiogenik dan hipovolemik. Faktor Risiko: Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Keadaan umum: 1. 2. 3. 4. 5. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan lemas atau dapat tidak sadarkan diri. 6. Gejala klinis juga tergantung etiologi penyebabnya, yang sering terjadi adalah tromboemboli paru, tamponade jantung, obstruksi arterioventrikuler, tension pneumotoraks. Untuk identifikasi penyebab, perlu ditanyakan faktor predisposisi seperti karena infark miokard antara lain: umur, diabetes melitus, riwayat angina, gagal jantung kongestif, infark anterior. Tanda awal iskemi jantung akut yaitu nyeri dada, sesak nafas, diaforesis, gelisah dan ketakutan, nausea dan vomiting dan gangguan sirkulasi lanjut menimbulkan berbagai disfungsi endorgan. Riwayat trauma untuk syok karena perdarahan atau syok neurogenik pada trauma servikal atau high thoracic spinal cord injury. Demam dan riwayat infeksi untuk syok septik. Gejala klinis yang timbul setelah kontak dengan antigen pada syok anafilaktik. 7. 8. 9. Hipotensi dan penyempitan tekanan denyutan (adalah tanda hilangnya cairan yang berat dan syok). Hipertermi, normotermi, atau hipotermi dapat terjadi pada syok. Hipotermia adalah tanda dari hipovolemia berat dan syok septik. Detak jantung naik, frekuensi nafas naik, kesadaran turun. Produksi urin turun. Produksi urin merupakan penunjuk awal hipovolemia dan respon ginjal terhadap syok. Gambaran klinis syok kardiogenik tampak sama dengan gejala klinis syok hipovolemik, ditambah dengan adanya disritmia, bising jantung, gallop. Gejala klinis syok septik tak dapat dilepaskan dari keadaan sepsis sendiri berupa sindroma reaksi inflamasi sistemik (SIRS) dimana terdapat dua gejala atau lebih: a. Temperatur > 380C atau < 360C. b. Heart rate > 90x/mnt. c. Frekuensi nafas > 20x/mn atau PaCO2 < 4,3 kPa. d. Leukosit >12.000 sel/mm atau 10% bentuk imatur. Efek klinis syok anafilaktik mengenai sistem pernafasan dan sistem sirkulasi, yaitu: Terjadi edema hipofaring dan laring, konstriksi bronkus dan bronkiolus, disertai hipersekresi mukus, dimana semua keadaan ini menyebabkan spasme dan obstruksi jalan nafas akut. Syok neurogenik ditandai dengan hipotensi disertai bradikardi. Gangguan neurologis: paralisis flasid, refleks ekstremitas hilang dan priapismus. Syok obstruktif, tampak hampir sama dengan syok kardiogenik dan hipovolemik. Gejala klinis juga tergantung etiologi penyebabnya, yang sering terjadi adalah tromboemboli paru, tamponade jantung, obstruksi arterioventrikuler, tension pneumothorax. Gejala ini akan berlanjut sebagai tanda-tanda akut kor pulmonal dan payah jantung kanan: pulsasi vena jugularis, gallop, bising pulmonal, aritmia. Karakteristik manifestasi klinis tamponade jantung: suara jantung menjauh, pulsus altemans, JVP selama inspirasi. Sedangkan emboli pulmonal: disritmia jantung, gagal jantung kongesti. Diagnosis awal etiologi syok adalah esensial, kemudian terapi selanjutnya tergantung etiologinya. 5. Syok Hipovolemik: Pemeriksaan Penunjang 1. 2. Pulse oxymetri EKG 1. Infus cepat kristaloid untuk ekspansi volume intravaskuler melalui kanula vena besar (dapat lebih satu tempat) atau melalui vena sentral. 2. Pada perdarahan maka dapat diberikan 34 kali dari jumlah perdarahan. Setelah pemberian 3 liter disusul dengan transfusi darah. Secara bersamaan sumber perdarahan harus dikontrol. 3. Resusitasi tidak komplit sampai serum laktat kembali normal. Pasien syok hipovolemik berat dengan resusitasi cairan akan terjadi penumpukan cairan di rongga ketiga. 4. Vasokonstriksi jarang diperlukan pada syok hipovolemik murni. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Diagnosis Banding:Komplikasi Kerusakan otak, koma,kematian. Syok Obstruktif: Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Pengenalan dan restorasi yang cepat dari perfusi adalah kunci pencegahan disfungsi organ multipel dan kematian. 2. Pada semua bentuk syok, manajemen jalan nafas dan pernafasan untuk memastikan oksigenasi pasien baik, kemudian restorasi cepat dengan infus cairan. 3. Pilihan pertama adalah kristaloid (Ringer laktat/Ringer asetat) disusul darah pada syok perdarahan. Keadaan hipovolemi diatasi dengan cairan koloid atau kristaloid sekaligus memperbaiki keadaan asidosis. 4. Pengobatan syok sebelumnya didahului dengan penegakan diagnosis etiologi. Tindakan invasif seperti intubasi endotrakeal dan cricothyroidotomy atau tracheostomy dapat dilakukan hanya untuklife saving oleh dokter yang kompeten. 1. Penyebab syok obstruktif harus diidentifikasi dan segera dihilangkan. 2. Pericardiocentesis atau untuk tamponade jantung. pericardiotomi 3. Dekompressi jarum atau pipa thoracostomy atau keduanya pada tension pneumothorax. 4. Dukungan ventilasi dan jantung, mungkin trombolisis, dan mungkin prosedur radiologi intervensional untuk emboli paru. 5. Abdominal compartment syndrome diatasi dengan laparotomi dekompresif. Syok Kardiogenik: 1. Optimalkan pra-beban dengan infus cairan. 2. Optimalkan kontraktilitas jantung dengan inotropik sesuai keperluan, seimbangkan kebutuhan oksigen jantung. Selain itu, dapat dipakai dobutamin atau obat vasoaktif lain. 3. Sesuaikan pasca-beban untuk memaksimalkan CO. Dapat dipakai vasokonstriktor bila pasien hipotensi dengan SVR rendah. Pasien syok kardiogenik mungkin membutuhkan vasodilatasi untuk menurunkan SVR, tahanan pada aliran darah dari jantung yang lemah. Obat yang dapat dipakai adalah nitroprusside dan nitroglycerin. 4. Diberikan diuretik dekompensasi. bila jantung 5. PACdianjurkan dipasang untuk penunjuk terapi. 6. Penyakit jantung yang mendasari harus diidentifikasi dan diobati. Syok Distributif: 1. Pada SIRS dan sepsis, bila terjadi syok ini karena toksin atau mediator penyebab vasodilatasi. Pengobatan berupa resusitasi cairan segera dan setelah kondisi cairan terkoreksi, dapat diberikan vasopresor untuk mencapai MAP optimal. Sering terjadi vasopresor dimulai sebelum pra-beban adekuat tercapai. Perfusi jaringan dan oksigenasi sel tidak akan optimal kecuali bila ada perbaikan pra-beban. sehingga dapat ditambahkan dopamin dan efedrin. Agen antimuskarinikatropin dan glikopirolat juga dapat untuk mengatasi bradikardi. 3. Terapi definitif adalah stabilisasi Medulla spinalis yang terkena. Rencana Tindak Lanjut Mencari penyebab syok dan mencatatnya di rekam medis serta memberitahukan kepada pasien dan keluarga untuk tindakan lebih lanjut yang diperlukan. Konseling dan Edukasi Keluarga perlu diberitahukan mengenai kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada pasien dan pencegahan terjadinya kondisi serupa. Kriteria Rujukan Setelah kegawatan pasien ditangani, pasien dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder. Peralatan 1. 2. 3. 4. 5. Infus set Oksigen NaCl 0,9% Senter EKG Prognosis Prognosis suatu syok amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan pengelolaannya sehingga pada umumnya adalah dubia ad bonam. 2. Obat yang dapat dipakai adalah dopamin, norepinefrin dan vasopresin. Referensi 3. Dianjurkan pemasangan PAC. 1. 4. Pengobatan kausal dari sepsis. Syok Neurogenik: 1. 2. Setelah mengamankan jalan nafas dan resusitasi cairan, guna meningkatkantonus vaskuler dan mencegah bradikardi diberikan epinefrin. Epinefrin berguna meningkatkan tonus vaskuler tetapi akan memperberat bradikardi, 2. 3. Karyadi, W. Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu-1. Surabaya: FK Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000. (Karyadi, et al.,2000) Rahardjo, E. Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu-1.Surabaya: FK Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000. Suryohudoyo, P. Update on Shock, Pertemuan Ilmiah Terpadu-1.Surabaya: FK Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000. 14. REAKSI ANAFILAKTIK No. ICPC-2: A92 Allergy/allergic reaction NOS No. ICD-10: T78.2 Anaphylactic shock, unspecified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas generalisata atau sistemik yang beronset cepat, serius, dan mengancam. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Untuk itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik. Insidens syok anafilaktik 40–60% adalah akibat gigitan serangga, 20– 40% akibat zat kontras radiografi, dan 10–20%akibat pemberian obat penisilin. Data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik masih sangat kurang. Anafilaksis yang fatal hanya kirakira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat pertahun. Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti penisilin dan bahan zat radiologis. Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita. Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan sesak napas. Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Manifestasi dari gangguan gastrointestinal berupa perut kram,mual,muntah sampai diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi. Faktor Risiko: Riwayat Alergi Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Pemeriksaan Fisik Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy Organization telah membuat beberapa kriteria di mana reaksi anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila: 1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga 2. 3. beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan kemerahan, pembengkakan bibir/lidah/ uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini: a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme, stridor, penurunan arus puncak ekspirasi/APE, hipoksemia). b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkontinensia). Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa menit hingga beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin (likely allergen), yaitu: a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit b. Gangguan respirasi c. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ target d. Gejala gastrointestinal yang persisten (misal: nyeri kram abdomen, muntah) Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit atau jam) setelah terpapar alergen yang telah diketahui (known allergen), sesuai kriteria berikut: a. Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau terjadi penurunan > 30% dari tekanan darah sistolik semula. b. Dewasa: Tekanan darah sistolik 30% dari tekanan darah sistolik semula. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Diagnosis Banding 1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis a. Serangan asma akut b. Sinkop c. Gangguan cemas / serangan panik d. Urtikaria akut generalisata e. Aspirasi benda asing f. Kelainan kardiovaskuler akut (infark miokard, emboli paru) g. Kelainan neurologis akut (kejang, stroke) Sindrom flush a. Perimenopause b. Sindrom karsinoid c. Epilepsi otonomik d. Karsinoma tiroid meduler Sindrom pasca-prandial a. Scombroidosis, yaitu keracunan histamin dari ikan, misalnya tuna, yang disimpan pada suhu tinggi. b. Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah atau sayur yang mengandung protein tanaman yang bereaksi silang dengan alergen di udara c. Monosodium glutamat atau Chinese restaurant syndrome d. Sulfit e. Keracunan makanan Syok jenis lain a. Hipovolemik b. Kardiogenik c. Distributif d. Septik Kelainan non-organik a. Disfungsi pita suara b. Hiperventilasi c. Episode psikosomatis Peningkatan histamin endogen a. Mastositosis / kelainan klonal sel mast. b. Leukemia basofilil Lainnya a. Angioedema non-alergik, misal: angioedema herediter tipe I, II, atau III, angioedema terkait ACE-inhibitor) b. Systemic capillary leak syndrome c. Red man syndrome akibat vancomycin d. Respon paradoksikal pada feokromositoma Komplikasi 1. 2. Koma Kematian Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal 2. 3. 4. 5. 6. dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat. Pemberian Oksigen 3–5 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan yang sangat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan. Pemasangan infus, cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahanlahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5–20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat 7. 8. 9. digunakan deksametason 5–10 mg IV atau hidrokortison 100–250 mg IV. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya di setiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obatobat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis (Lihat Penjelasan 1) Rencana Tindak Lanjut Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis serta memberitahukan kepada pasien dan keluarga. Konseling dan Edukasi Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun bentuknya terutama obatobat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum,penisillin, anestesi lokal, dll) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik. Penderita yang tergolong risiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakitpenyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikkan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih aman. Kriteria Rujukan Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan tidak terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder. Peralatan 1. 2. 3. 4. Infus set Oksigen Adrenalin ampul, aminofilin ampul, difenhidramin vial, deksametason ampul NaCl 0,9% Prognosis 2. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute allergic reactions. In:International edition Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen. Stapczynski. 5thEd. New York: McGrraw-Hill. 2000: p. 242-6. 3. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan dalam Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu. Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya. 2000. Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad bonam. Referensi 1. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al.Anaphylactic Reactions. In:Text Book of Critical care. Eds: Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, R.William, C.Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia: WB Saunders Company. 2000: p. 246-56. 15. DEMAM DENGUE DAN DEMAM BERDARAH DENGUE No. ICPC-2: A77 Viral disease other/NOS No. ICD-10: A90 Dengue fever A91 Dengue haemorrhagic fever Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Tingkat insiden penyakit DBD Indonesia merupakan yang tertinggi diantara negara-negara Asia Tenggara. Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 103.649 penderita dengan angka kematian mencapai 754 orang. Keterlibatan dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sangat dibutuhkan untuk menekan tingkat kejadian maupun mortalitas DBD. Hasil Anamnesis (Subjective) 5. 6. 7. Faktor Risiko 1. 2. Keluhan 1. 2. 3. 4. Demam tinggi, mendadak, terus menerus selama 2 – 7 hari. Manifestasi perdarahan, seperti: bintikbintik merah di kulit, mimisan, gusi berdarah, muntah berdarah, atau buang air besar berdarah. Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital. Gejala gastrointestinal, seperti: mual, muntah, nyeri perut (biasanya di ulu hati atau di bawah tulang iga) Kadang disertai juga dengan gejala lokal, seperti: nyeri menelan, batuk, pilek. Pada kondisi syok, anak merasa lemah, gelisah, atau mengalami penurunan kesadaran. Pada bayi, demam yang tinggi dapat menimbulkan kejang. 3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik, misalnya: timbunan sampah, timbunan barang bekas, genangan air yang seringkali disertai di tempat tinggal pasien sehari-hari. Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada genangan air di tempat tinggal pasien sehari-hari. Adanya penderita demam berdarah dengue (DBD) di sekitar pasien. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonik untuk demam dengue 1. Suhu > 37,5 derajat celcius 2. Ptekie, ekimosis, purpura 3. 4. Perdarahan mukosa Rumple Leed (+) Tanda Patognomonis untuk demam berdarah dengue 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Suhu > 37,5 derajat celcius Ptekie, ekimosis, purpura Perdarahan mukosa Rumple Leed (+) Hepatomegali Splenomegali Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda- tanda efusi pleura dan asites. Hematemesis atau melena 5. 6. Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda dan gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan. Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue 1. 2. Pemeriksaan Penunjang : 3. 1. 4. Darah perifer lengkap, yang menunjukkan: a. Trombositopenia (≤ 100.000/µL). b. Kebocoran plasma yang ditandai dengan: • peningkatan hematokrit (Ht) ≥ 20% dari nilai standar data • populasi menurut umur • Ditemukan adanya efusi pleura, asites • Hipoalbuminemia, hipoproteinemia c. Leukopenia < 4000/μL. 2. Serologi Dengue, yaitu IgM dan IgG antiDengue, yang titernya dapat terdeteksi setelah hari ke-5 demam. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis Klinis Demam Dengue 1. 2. 3. 4. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik. Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa uji tourniquet positif. Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital. Adanya kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah. Leukopenia < 4.000/mm3 Trombositopenia < 100.000/mm3 Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus (kontinua) Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa uji Tourniquette yang positif Sakit kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital Adanya kasus demam berdarah dengue baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah a. Hepatomegali b. Adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu: • Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari data populasi menurut umur • Ditemukan adanya efusi pleura, asites • Hipoalbuminemia, hipoproteinemia c. Trombositopenia 40 kg : 3 ml/kgBB/jam Bila anak tidak dapat minum, berikan cairan infus kristaloid isotonik sesuai kebutuhan untuk dehidrasi sedang sesuai dengan dosis yang telah dijelaskan di atas. Lakukan pemantauan: tanda vital dan diuresis setiap jam, laboratorium (DPL) per 4-6 jam. a. Bila terjadi penurunan hematokrit dan perbaikan klinis, turunkan jumlah cairan secara bertahap sampai keadaan klinis stabil. b. Bila terjadi perburukan klinis, lakukan penatalaksanaan DBD dengan syok. Bila anak demam, berikan antipiretik (Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali) per oral. Hindari Ibuprofen dan Asetosal. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi. menit. Jika setelah pemberian cairan inisial tidak terjadi perbaikan klinis, ulangi pemberian infus larutan kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian larutan koloid 10-20 ml/kgBB/jam (maksimal 30 ml/kgBB/24 jam). f. Jika nilai Ht dan Hb menurun namun tidak terjadi perbaikan klinis, pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi. Berikan transfusi darah bila fasilitas tersedia dan larutan koloid. Segera rujuk. g. Jika terdapat perbaikan klinis, kurangi jumlah cairan hingga 10 ml/kgBB/ jam dalam 2-4 jam. Secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis dan laboratorium. h. Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam. Hindari pemberian cairan secara berlebihan. 3. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi. Rencana Tindak Lanjut e. Demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok 1. 2. 3. Pemantauan klinis (tanda vital, perfusi perifer, diuresis) dilakukan setiap satu jam. Pemantauan laboratorium (Ht, Hb, trombosit) dilakukan setiap 4-6 jam, minimal 1 kali setiap hari. Pemantauan cairan yang masuk dan keluar. Demam berdarah dengue (DBD) dengan syok Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama merujuk pasien ke RS jika kondisi pasien stabil. Demam berdarah dengue (DBD) dengan syok Persyaratan perawatan di rumah 1. 1. 2. Kondisi ini merupakan gawat darurat dan mengharuskan rujukan segera ke RS. Penatalaksanaan awal: a. Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung atau sungkup muka. b. Pasang akses intravena sambil melakukan pungsi vena untuk pemeriksaan DPL. c. Berikan infus larutan kristaloid (RL atau RA) 20 ml/kg secepatnya. d. Lakukan pemantauan klinis (tanda vital, perfusi perifer, dan diuresis) setiap 30 2. Persyaratan untuk pasien dan keluarga a. DBD non-syok (tanpa kegagalan sirkulasi). b. Bila anak dapat minum dengan adekuat. c. Bila keluarga mampu melakukan perawatan di rumah dengan adekuat. Persyaratan untuk tenaga kesehatan a. Adanya 1 dokter dan perawat tetap yang bertanggung jawab penuh terhadap tatalaksana pasien. b. Semua kegiatan tatalaksana dapat dilaksanakan dengan baik di rumah. c. Dokter dan/atau perawat mem-follow up pasien setiap 6-8 jam dan setiap hari, sesuai kondisi klinis. d. Dokter dan/atau perawat dapat berkomunikasi seara lancar dengan keluarga pasien sepanjang masa tatalaksana. Kriteria Rujukan 1. 2. 3. DBD dengan syok (terdapat kegagalan sirkulasi). Bila anak tidak dapat minum dengan adekuat, asupan sulit, walaupun tidak ada kegagalan sirkulasi. Bila keluarga tidak mampu melakukan perawatan di rumah dengan adekuat, walaupun DBD tanpa syok. Konseling dan Edukasi Penjelasan mengenai diagnosis, komplikasi, prognosis, dan rencana tata laksana. b. penjelasan mengenai tanda-tanda bahaya (warning signs) yang perlu diwaspadai dan kapan harus segera ke layanan kesehatan. c. Penjelasan mengenai jumlah cairan yang dibutuhkan oleh anak. d. Penjelasan mengenai diet nutrisi yang perlu diberikan. e. Penjelasan mengenai cara minum obat. f. Penjelasan mengenai faktor risiko dan caracara pencegahan yang berkaitan dengan perbaikan higiene personal, perbaikan sanitasi lingkungan, terutama metode 4M plus seminggu sekali, yang terdiri atas: 1) Menguras wadah air, seperti bak mandi, tempayan, ember, vas bunga, tempat minum burung, dan penampung air kulkas agar telur dan jentik Aedes aegypti mati. 2) Menutup rapat semua wadah air agar nyamuk Aedes aegypti tidak dapat masuk dan bertelur. 3) Mengubur atau memusnahkan semua barang bekas yang dapat menampung air hujan agar tidak menjadi sarang dan tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti. 4) Memantau semua wadah air yang dapat menjadi tempat nyamuk Aedes aegypti berkembang biak. 5) Tidak menggantung baju, menghindari gigitan nyamuk, membubuhkan bubuk abate, dan memelihara ikan. Peralatan 1. 2. 3. 4. 5. Poliklinik set (termometer, tensimeter, senter) Infus set Cairan kristaloid (RL/RA) dan koloid Lembar observasi / follow up Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin Prognosis Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia ad bonam, karena hal ini tergantung dari derajat beratnya penyakit. Referensi 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Tata laksana Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7. 3. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever: diagnosis, treatment, prevention and control. 2nd Edition. Geneva. 1997 4. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. 1 ed. Jakarta: World Health Organization Country Office for Indonesia. 5. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Diagnosis dan tata laksana infeksi virus dengue pada anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2014 a. B. DARAH, PEMBENTUKAN DARAH DAN SISTEM IMUN 1. ANEMIA DEFISIENSI BESI No. ICPC-2 No. ICD-10 : B80 Iron Deficiency Anaemia : 280 Iron Deficiency Anemias Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup ke jaringan perifer. Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia. Diperkirakan >30% penduduk dunia menderita anemia dan sebagian besar di daerah tropis. Oleh karena itu anemia seringkali tidak mendapat perhatian oleh para dokter di klinik. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. 2. Pemeriksaan Penunjang 1. Pasien datang ke dokter dengan keluhan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Lemah Lesu Letih Lelah Penglihatan berkunang-kunang Pusing Telinga berdenging Penurunan konsentrasi Sesak nafas Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. 5. 6. Ibu hamil Remaja putri Status gizi kurang Faktor ekonomi kurang Infeksi kronik Vegetarian Gejala umum Pucat dapat terlihat pada: konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di bawah kuku. Gejala anemia defisiensi besi a. Disfagia b. Atrofi papil lidah c. Stomatitis angularis d. Koilonikia 2. Pemeriksaan darah: hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), leukosit, trombosit, jumlah eritrosit, morfologi darah tepi (apusan darah tepi), MCV, MCH, MCHC, feses rutin, dan urin rutin. Pemeriksaan Khusus (dilakukan di layanan sekunder) :Serum iron, TIBC, saturasi transferin, dan feritin serum. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Anemia adalah suatu sindrom yang dapat disebabkan oleh penyakit dasar sehingga penting menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan darah dengan kriteria Hb darah kurang dari kadar Hb normal. Nilai rujukan kadar hemoglobin normal menurut WHO: 1. 2. 3. Laki-laki: >13 g/dL Perempuan: >12 g/dL Perempuan hamil: >11 g/dL Diagnosis Banding 1. 2. 3. 4. Anemia defisiensi vitamin B12 Anemia aplastik Anemia hemolitik Anemia pada penyakit kronik 4. 10% dari berat badan dasar. 4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya. 4. 5. 6. 7. Penjaja seks laki-laki atau perempuan Pengguna NAPZA suntik Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki dan transgender Hubungan seksual yang berisiko atau tidak aman Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS) Pernah mendapatkan transfusi darah Pembuatan tato dan atau alat medis/alat simpleks dan parut bekas 3. Pembesaran kelenjar getah bening 4. Mulut: kandidiasis oral, leukoplakia, keilitis angularis 5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat infeksi paru 6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau massa 7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra 8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis Faktor Risiko 1. 2. 3. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering dan dermatitis seboroik oral hairy Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium a. Hitung jenis leukosit : Limfopenia dan CD4 hitung 150 kali per menit pada keadaan SVT dan VT Takipnea Hipotensi Sering disertai gelisah hingga penurunan kesadaran pada kondisi yang tidak stabil Pemeriksaan Penunjang EKG 1. SVT: kompleks QRS sempit (< 0,12ms) 2. dengan frekuensi > 150 kali per menit. Gelombang P bisa ada atau terkubur dalam kompleks QRS. VT: terdapat kompleks QRS lebar (>0,12ms), tiga kali atau lebih secara berurutan. Frekuensi nadi biasanya > 150 kali per menit Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Diagnosis Banding: Komplikasi Dapat menyebabkan kematian Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Tata Laksana Takikardia Tidak Stabil Keadaan ini merupakan keadaan yang mengancam jiwa terutama bila disertai hemodinamik yang tidak stabil. Bila hemodinamik tidak stabil (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) dengan nadi melemah, apalagi disertai penurunan kesadaran bahkan pasien menjadi tidak responsif harus dilakukan kardioversi baik dengan obat maupun elektrik. Kondisi ini harus segera dirujuk dengan terpasang infus dan resusitasi jantung paru bila tidak responsif. Oksigen diberikan dengan sungkup O2 10-15 liter per menit. Pada kondisi stabil, SVT dapat diatasi dengan dilakukan vagal manuver (memijat arteri karotis atau bola mata selama 10-15 menit). Bila tidak respon, dilanjutkan dengan pemberian adenosin 6 mg bolus cepat. Bila tidak respon boleh diulang dengan 12 mg sebanyak dua kali. Bila tidak respon atau adenosin tidak tersedia, segera rujuk ke layanan sekunder. Pada VT, segera rujuk dengan terpasang infus dan oksigen O2 nasal 4 liter per menit. Takikardia Stabil Tatalaksana tergantung penyebab, bila sinus takikardia, istirahatkan pasien, dan berikan oksigen, evaluasi penyebab (kardiak atau ekstrakardiak seperti nyeri, masalah paru, cemas) bila tidak ada perubahan maka dapat dirujuk. Konseling dan Edukasi Edukasi kepada keluarga bahwa keadaan ini dapat mengancam jiwa dan perlu dilakukan rujukan karena membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Kriteria Rujukan Segera rujuk setelah pertolongan pertama dengan pemasangan infus dan oksigen. Peralatan 1. 2. EKG Bag valve mask Prognosis Prognosis dalam kondisi ini umumnya dubia, tergantung dari penatalaksanaan selanjutnya. Referensi 1. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI, 2009 4. GAGAL JANTUNG AKUT DAN KRONIK No. ICPC-2: K77 Heart failure No. ICD-10: I50.9 Heart failure, unspecified Tingkat Kemampuan Gagal jantung akut 3B Gagal jantung kronik 3A Masalah Kesehatan Gagal jantung (akut dan kronik) merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan penurunan kualitas hidup, tingginya rehospitalisasi karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan angka kematian. Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas meningkat seiring dengan meningkatnya usia yaitu berkisar 0,7% (40-45 tahun), 1,3% (55-64 tahun), dan 8,4% (75 tahun ke atas). Lebih dari 40% pasien kasus gagal jantung memiliki fraksi ejeksi lebih dari 50%. Pada usia 40 tahun, risiko terjadinya gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan 20,3% pada perempuan. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kardiomegali Gangguan bunyi jantung (gallop) Ronki pada pemeriksaan paru Hepatomegali Asites Edema perifer Pemeriksaan Penunjang 1. 2. 3. X Ray thoraks untuk menilai kardiomegali dan melihat gambaran edema paru EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi, perubahan gelombang T, dan gambaran abnormal lain). Darah perifer lengkap Hasil Anamnesis (Subjective) Penegakan Diagnostik (Assessment) Keluhan Diagnosis Klinis 1. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham yaitu minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. 2. 3. Sesak pada saat beraktifitas (dyspneu d’effort) Gangguan napas pada perubahan posisi (ortopneu) Sesak napas malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu) Keluhan tambahan: lemas, mual, muntah dan gangguan mental pada orangtua Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Hipertensi Dislipidemia Obesitas Merokok Diabetes melitus Riwayat gangguan jantung sebelumnya Riwayat infark miokard Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Pemeriksaan Fisik: 1. 2. Peningkatan tekanan vena jugular Frekuensi pernapasan meningkat Kriteria Mayor: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Sesak napas tiba-tiba pada malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu) Distensi vena-vena leher Peningkatan tekanan vena jugularis Ronki basah basal Kardiomegali Edema paru akut Gallop (S3) Refluks hepatojugular positif Kriteria Minor: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Edema ekstremitas Batuk malam Dyspneu d’effort (sesak ketika beraktifitas) Hepatomegali Efusi pleura Penurunan kapasitas vital paru sepertiga dari normal Takikardi >120 kali per menit Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi 1. 1. 2. 3. 4. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma, pneumonia, infeksi paru berat (ARDS), emboli paru Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik Sirosis hepatik Diabetes ketoasidosis 2. Komplikasi 3. 1. Syok kardiogenik 2. Gangguan keseimbangan elektrolit 4. Penatalaksanaan Komprehensif 5. (Plan) Penatalaksanaan 1. Modifikasi gaya hidup a. Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter (ringan), maksimal 1 liter (berat) b. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol 2. Aktivitas fisik a. Pada kondisi akut berat: tirah baring b. Pada kondisi sedang atau ringan:batasi beban kerja sampai 60% hingga 80% dari denyut nadi maksimal (220/umur) 3. Penatalaksanaan farmakologi Pada gagal jantung akut: a. Terapi oksigen 2-4 liter per menit b. Pemasangan iv line untuk akses dilanjutkan dengan pemberian furosemid injeksi 20 s/d 40 mg bolus dapat diulang tiap jam sampai dosis maksimal 600 mg/hari. c. Segera rujuk. Pada gagal jantung kronik: a. Diuretik: diutamakan loop diuretic (furosemid) bila perlu dapat dikombinasikan Thiazid, bila dalam 24 jam tidak ada respon rujuk ke layanan sekunder. b. ACE Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensine II receptor blocker (ARB) mulai dari dosis terkecil dan titrasi dosis sampai tercapai dosis yang efektif dalam beberapa minggu. Bila pengobatan sudah mencapai dosis maksimal dan target tidak tercapai segera dirujuk. c. Digoksin diberikan bila ditemukan takikardi untuk menjaga denyut nadi tidak terlalu cepat. Edukasi tentang penyebab dan faktor risiko penyakit gagal jantung kronik misalnya tidak terkontrolnya tekanan darah, kadar lemak atau kadar gula darah. Pasien dan keluarga perlu diberitahu tandatanda kegawatan kardiovaskular dan pentingnya untuk kontrol kembali setelah pengobatan di rumah sakit. Patuh dalam pengobatan yang telah direncanakan. Menjaga lingkungan sekitar kondusif untuk pasien beraktivitas dan berinteraksi. Melakukan konferensi keluarga untuk mengidentifikasi faktor- faktor pendukung dan penghambat penatalaksanaan pasien, serta menyepakati bersama peran keluarga pada masalah kesehatan pasien. Kriteria Rujukan 1. 2. Pasien dengan gagal jantung harus dirujuk ke fasilitas peayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis jantung atau spesialis penyakit dalam untuk perawatan maupun pemeriksaan lanjutan seperti ekokardiografi. Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis mengalami perburukan dalam waktu cepat harus segera dirujuk layanan sekunder atau layanan tertier terdekat untuk dilakukan penanganan lebih lanjut. Peralatan 1. 2. 3. EKG Radiologi (X ray thoraks) Laboratorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap Prognosis Tergantung dari berat ringannya penyakit, komorbid dan respon pengobatan. Referensi 1. 2. 3. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 2009. Usatine, R.P. The Color Atlas Of Family Medicine. 2009. (Usatine, et al., 2008) Rakel, R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family Medicine.2011. (RE & Rakel, 2011) 5. CARDIORESPIRATORY ARREST No. ICPC-2 No. ICD-10 : K80 cardiac arrhytmia NOS : R09.2 Respiratory arrest/ Cardiorespiratory failure Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Cardiorespiratory Arrest (CRA) adalah kondisi kegawatdaruratan karena berhentinya aktivitas jantung paru secara mendadak yang mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh malfungsi mekanik jantung paru atau elektrik jantung. Kondisi yang mendadak dan berat ini mengakibatkan kerusakan organ. tablet atau overdosis obat, trombosis koroner, dan thrombosis pulmoner), tersedak, tenggelam, gagal jantung akut, emboli paru, atau keracunan karbon monoksida. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Henti jantung adalah konsekuensi dari aktivitas otot jantung yang tidak terkoordinasi. Dengan EKG, ditunjukkan dalam bentuk Ventricular Fibrillation (VF). Satu menit dalam keadaan persisten VF, aliran darah koroner menurun hingga tidak ada sama sekali. Dalam 4 menit, aliran darah katoris tidak ada sehingga menimbulkan kerusakan neurologi secara permanen. Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan: Jenis henti jantung Gambaran EKG biasanya menunjukkan gambaran VF (Ventricular Fibrillation). Selain itu dapat pula terjadi asistol, yang survival ratenya lebih rendah daripada VF. 1. 2. 3. 4. Pulseless Electrical Activity (PEA) Takikardia Ventrikel Fibrilasi Ventrikel Asistole 1. 2. 3. Pasien tidak sadar Tidak ada nafas Tidak teraba denyut nadi di arteri-arteri besar (karotis dan femoralis). Pemeriksaan Penunjang EKG Penegakan Diagnostik (Assessment) Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis Keluhan Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik sedangkan anamnesis berguna untuk mengidentifikasi penyebabnya. Pasien dibawa karena pingsan mendadak dengan henti jantung dan paru. Sebelumnya, dapat ditandai dengan fase prodromal berupa nyeri dada, sesak, berdebar dan lemah. Hal yang perlu ditanyakan kepada keluarga pasien adalah untuk mencari penyebab terjadinya CRA antara lain oleh: 1. 2. 5 H (hipovolemia, hipoksia, hidrogen ion atau asidosis, hiper atau hipokalemia dan hipotermia) 5 T (tension pneumothorax, tamponade, Diagnosis Banding: - Komplikasi Konsekuensi dari kondisi ini adalah hipoksia ensefalopati, kerusakan neurologi permanen dan kematian. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Melakukan resusitasi jantung paru pada 2. pasien, sesegera mungkin tanpa menunggu anamnesis dan EKG. Pasang oksigen dan IV line Konseling dan Edukasi Memberitahu keluarga mengenai kondisi pasien dan tindak lanjut dari tindakan yang telah dilakukan, serta meminta keluarga untuk tetap tenang pada kondisi tersebut. Peralatan 1. 2. 3. Elektrokardiografi (EKG) Tabung oksigen Bag valve mask Prognosis Prognosis umumnya dubia ad malam, tergantung pada waktu dilakukannya penanganan medis. Rencana Tindak Lanjut Referensi Monitor selalu kondisi pasien hingga dirujuk ke spesialis. 1. Kriteria rujukan Setelah sirkulasi spontan kembali (Return of Spontaneous Circulation/ROSC) pasien dirujuk ke layanan sekunder untuk tatalaksana lebih lanjut. 2. 3. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric Rescucitation in Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital. 4Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006) 2. O’Rouke. Walsh. Fuster. Hurst’s The Heart Manual of Cardiology. 12th Ed.McGraw Hill. 2009. Sudoyo, W. Aaru, B.S. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2007. 6. HIPERTENSI ESENSIAL No ICPC-2 No ICD-10 : K86 Hypertension uncomplicated : I10 Essential (primary) hypertension Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyababnya. Hipertensi menjadi masalah karena meningkatnya prevalensi, masih banyak pasien yang belum mendapat pengobatan, maupun yang telah mendapat terapi tetapi target tekanan darah belum tercapai serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Mulai dari tidak bergejala sampai dengan bergejala. Keluhan hipertensi antara lain: 1. 2. Sakit atau nyeri kepala Gelisah 3. 4. 5. 6. 7. Jantung berdebar-debar Pusing Leher kaku Penglihatan kabur Rasa sakit di dada Keluhan tidak spesifik antara lain tidak nyaman kepala, mudah lelah dan impotensi. Faktor Risiko Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi: 1. 2. 3. Umur Jenis kelamin Riwayat hipertensi dan kardiovaskular dalam keluarga. penyakit Faktor risiko yang dapat dimodifikasi: 1. Riwayat pola makan (konsumsi garam berlebihan) 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Konsumsi alkohol berlebihan Aktivitas fisik kurang Kebiasaan merokok Obesitas Dislipidemia Diabetus Melitus Psikososial dan stres Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Peningkatan tekanan darah dapat dikontrol dengan perubahan gaya hidup dan terapi farmakologis. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Tabel 6.2 Modifikasi gaya hidup untuk hipertensi Pemeriksaan Fisik 1. 2. 3. Pasien tampak sehat, dapat terlihat sakit ringan-berat bila terjadi komplikasi hipertensi ke organ lain. Tekanan darah meningkat sesuai kriteria JNC VII. Pada pasien dengan hipertensi, wajib diperiksa status neurologis dan pemeriksaan fisik jantung (tekanan vena jugular, batas jantung, dan ronki). Pemeriksaan Penunjang 1. 2. 3. 4. Laboratorium : Urinalisis (proteinuria), tes gula darah, profil lipid, ureum, kreatinin X raythoraks EKG Funduskopi Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tabel 6.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan Joint National Committee VII (JNC VII) Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik Normal 180) Peralatan 1. 2. 3. Laboratorium untuk melakukan pemeriksaan urinalisis dan glukosa EKG Radiologi (X ray thoraks) Prognosis Prognosis umumnya bonam apabila terkontrol. Referensi 1. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku Pedoman Pengendalian Hipertensi. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013) G. MUSKULOSKELETAL 1. FRAKTUR TERBUKA No. ICPC-2 No. ICD-10 : L76 fracture other : T14 fracture of unspecified body Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan c. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur terbuka adalah suatu fraktur yang terdapathubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri dan dapat menimbulkan komplikasi infeksi. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Adanya patah tulang terbuka setelah terjadinya trauma Nyeri Sulit digerakkan Deformitas Bengkak Perubahan warna Gangguan sensibilitas Kelemahan otot 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi, berupa: Foto polos dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis klinis Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Klasifikasi Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga kelompok: 1. Faktor Risiko: Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. 2. Inspeksi (look) Adanya luka terbuka pada kulit yang dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus, misalnya oleh peluru atau trauma langsung dengan fraktur yang terpapar dengan dunia luar. Palpasi (feel) a. Robekan kulit yang terpapar dunia luar b. Nyeri tekan Terabanya jaringan tulang yang menonjol keluar d. Adanya deformitas e. Panjang anggota gerak berkurang dibandingkan sisi yang sehat Gerak (move) Umumnya tidak dapat digerakkan 2. 3. Grade I a. Fraktur terbuka dengan luka kulit kurang dari 1 cm dan bersih b. Kerusakan jaringan minimal, frakturnya simple atau oblique dan sedikit kominutif . Grade II a. Fraktur terbuka dengan luka robek lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan jaringan lunak, b. Flap kontusio avulsi yang luas serta fraktur kominutif sedang dan kontaminasi sedang. Grade III Fraktur terbuka segmental atau kerusakan jaringan lunak yang luas atau amputasi traumatic, derajad kontaminasi yang berat dan trauma dengan kecepatan tinggi. 4. Fraktur grade III dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Grade IIIa: Fraktur segmental atau sangat kominutif penutupan tulang dengan jaringan lunak cukup adekuat. b. Grade IIIb: Trauma sangat berat atau kehilangan jaringan lunak yang cukup luas, terkelupasnya daerah periosteum dan tulang tampak terbuka,serta adanya kontaminasi yang cukup berat. c. Grade IIIc: Fraktur dengan kerusakan pembuluh darah. 5. Diagnosis Banding: - Pemberian antibiotika: merupakan cara efektif mencegah terjadinya infeksi pada fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan sebaiknya dengan dosis yang besar. Untuk fraktur terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan cephalosporin, dan dikombinasi dengan golongan aminoglikosida. Pencegahan tetanus: semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian tetanus toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin. Komplikasi Kriteria Rujukan Perdarahan, syok septik sampai kematian, septikemia, toksemia oleh karena infeksi piogenik, tetanus, gangrene, perdarahan sekunder, osteomielitis kronik, delayed union, nonunion dan malunion, kekakuan sendi, komplikasi lain oleh karena perawatan yang lama Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil dengan tetap mengawasi tanda vital. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam, tergantung pada kecepatan dan ketepatan tindakan yang dilakukan. Prinsip penanganan fraktur terbuka 1. 2. 3. 4. Semua fraktur terbuka dikelola secara emergensi dengan metode ATLS Lakukan irigasi luka Lakukan imobilisasi fraktur Pasang cairan dan berikan antibiotika intra vena yang sesuai dan adekuat kemudian segera rujuk kelayanan sekunder. Penatalaksanaan 1. 2. 3. Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan cara irigasi dengan NaCl fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat. Balut luka untuk menghentikan perdarahan, pada fraktur dengan tulang menonjol keluarsedapat mungkin dihindari memasukkan komponen tulang tersebut kembali kedalam luka. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna. Peralatan Bidai, set bedah minor Prognosis Referensi 1. 2. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture. E-medicine. Medscape. Update 21 May. 2011. (Schaller & Calhoun, 2011) Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi 3. Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334. (Chairuddin, 2007) 2. FRAKTUR TERTUTUP No. ICPC-2 No. ICD-10 : L76 fracture other : T14 fracture of unspecified body Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak berhubungan dengan lingkungan luar. Diagnosis Klinis Hasil Anamnesis (Subjective) Komplikasi Keluhan Compartemen syndrome 1. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Adanya riwayat trauma (terjatuh, kecelakaan, dll) Nyeri Sulit digerakkan Deformitas Bengkak Perubahan warna Gangguan sensibilitas Kelemahan otot Faktor Risiko: Osteoporosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Diagnosis Banding : - Prinsip penatalaksanaan dilakukan dengan: 1. 2. Semua fraktur dikelola secara emergensi dengan metode ATLS Lakukan stabilisasi fraktur dengan bidai, waspadai adanya tandatanda compartemen syndrome seperti edema, kulit yang mengkilat dan adanya nyeri tekan. Rujuk segera kelayanan sekunder Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) 3. Pemeriksaan Fisik Kriteria Rujukan 1. Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil dengan tetap mengawasi tanda vital. 2. 3. Inspeksi (look) Adanya deformitas dari jaringan tulang, namun tidak menembus kulit. Anggota tubuh tdak dapat digerakkan. Palpasi (feel) a. Teraba deformitas tulang jika dibandingkan dengan sisi yang sehat. b. Nyeri tekan. c. Bengkak. d. Perbedaan panjang anggota gerak yang sakitdibandingkan dengan sisi yang sehat. Gerak (move) Umumnya tidak dapat digerakkan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi berupa foto polos dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral. Peralatan 1. 2. Bidai Jarum kecil Prognosis Prognosis umumnya bonam, namun quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam. Hal ini bergantung kepada kecepatan dan ketepatan tindakan yang dilakukan. Referensi 1. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Tertutup. Edisi 3. Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2007. Hal:327-332. 3. POLIMIALGIA REUMATIK No. ICPC-2 No. ICD-10 : L99 Musculosceletal disease other : M53.3 Polymyalgia rheumatica Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan Gejala umumsebagai berikut: Poly Myalgia Rheumatica (PMR) adalah suatu sindrom klinis dengan etiologi yang tidak diketahui yang mempengaruhi individu usia lanjut. Hal ini ditandai dengan myalgia proksimal dari pinggul dan gelang bahu dengan kekakuan pagi hari yang berlangsung selama lebih dari 1 jam. 1. 2. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pada sekitar 50 % pasien berada dalam kesehatan yang baik sebelum onset penyakit yang tiba-tiba. Pada kebanyakan pasien, gejala muncul pertama kali pada bahu. Sisanya, pinggul atau leher yang terlibat saat onset. Gejala terjadi mungkin pada satu sisi tetapi biasanya menjadi bilateral dalam beberapa minggu. Gejala-gejala termasuk nyeri dan kekakuan bahu dan pinggul. Kekakuan mungkin begitu parah sehingga pasien mungkin mengalami kesulitan bangkit dari kursi, berbalik di tempat tidur, atau mengangkat tangan mereka di atas bahu tinggi. Kekakuan setelah periode istirahat (fenomena gel) serta kekakuan pada pagi hari lebih dari 1 jam biasanya terjadi. Pasien juga mungkin menggambarkan sendi distal bengkak atau yang lebih jarang berupa edema tungkai. Carpal tunnel syndrome dapat terjadi pada beberapa pasien. Faktor Risiko: Hasil pemeriksaan fisik sederhana (Objective) dan penunjang Penampilan lelah Pembengkakan ekstremitas distal dengan pitting edema. Temuan muskuloskeletal sebagai berikut: 1. Kekuatan otot normal, tidak ada atrofi otot 2. Nyeri pada bahu dan pinggul dengan gerakan 3. Sinovitis transien pada lutut, pergelangan tangan, dan sendi sterno klavikula. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan satu set kriteria diagnostik berikut, yaitu: 1. Usia onset 50 tahun atau lebih tua 2. Laju endap darah ≥ 40 mm / jam 3. Nyeri bertahan selama ≥ 1 bulan dan melibatkan 2 dari daerah berikut: leher, bahu, dan korset panggul 4. Tidak adanya penyakit lain dapat menyebabkan gejala muskuloskeletal 5. Kekakuan pagi berlangsung ≥ 1 jam 6. Respon cepat terhadap prednison (≤ 20 mg) Diagnosis Banding Amiloidosis, AA (Inflammatory), Depresi, Fibromialgia, Giant Cell Arteritis, Hipotiroidism, Multipel mieloma, Osteoartritis, Sindroma paraneoplastik, Artritis reumatoid. Komplikasi : - Pemeriksaan Fisik Patognomonis Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Tanda-tanda dan gejala polymyalgia rheumatic tidak spesifik, dan temuan obyektif pada pemeriksaan fisik sering kurang. Penatalaksanaan 1. 2. 3. Prednison dengan dosis 10-15 mg peroral setiap hari, biasanya menghasilkan perbaikan klinis dalam beberapa hari. ESR biasanya kembali ke normal selama pengobatan awal, tetapi keputusan terapi berikutnya harus berdasarkan status ESR dan klinis. Terapi glukokortikoid dapat diturunkan secara bertahap dengan dosis pemeliharaan 5-10 mg peroral setiap hari tetapi harus dilanjutkan selama minimal 1 tahun untuk meminimalkan risiko kambuh. Konsultasi dan Edukasi Edukasi keluarga bahwa penyakit ini mungkin menimbulkan gangguan dalam aktivitas penderita, sehingga sangatlah penting. dukungan keluarga Kriteria Rujukan Setelah ditegakkan dugaan diagnosis, pasien dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder. Peralatan Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah Prognosis Prognosis adalah dubia ad bonam, tergantung dari ada/tidaknya komplikasi. Referensi 1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. 2009. 4. ARTRITIS REUMATOID No. ICPC-2 No. ICD-10 : L99 Musculosceletal disease other : M53.3 Polymyalgia rheumatica Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan Penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Gejala sinovitis pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan pada pagi hari > 1 jam. Hasil Anamnesis (Subjective) Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis), kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis), hematologi (anemia). Keluhan Faktor Risiko Gejala pada awal onset 1. 2. 3. 4. 5. Gejala prodromal: lelah (malaise), anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah yang berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala spesifik pada banyak sendi (poliartrikular) secara simetris, dapat mengenai seluruh sendi terutama sendi PIP (proximal interphalangeal), sendi MCP (metacarpophalangeal) atau MTP (metatarsophalangeal), pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki. Sendi DIP (distal interphalangeal) umumnya tidak terkena. Wanita, Faktor genetik. Hormon seks. Infeksi Merokok Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Manifestasi artikular: Bengkak/efusi sendi, nyeri tekan sendi, sendi teraba hangat, deformotas (swan neck, boutonniere, deviasi ulnar) Manifestasi ekstraartikular: 1. Kulit: terdapat nodul rheumatoid pada daerah yg banyak menerima penekanan, vaskulitis. 2. Soft tissue rheumatism, seperti carpal tunnel syndrome atau frozen shoulder. 3. Mata dapat ditemukan keratokonjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjorgen, episkleritis/ skleritis. Konjungtiva tampak anemia akibat penyakit kronik. 4. Sistem respiratorik dapat ditemukan adanya radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis interstitial, efusi pleura, atau fibrosis paru luas. 5. Sistem kardiovaskuler dapat ditemukan perikarditis konstriktif, disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortritis, kardiomiopati. Gambar 6.2 Radiologi tangan pada Artritis Rheumatoid Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis RA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis. Kriteria Diagnosis Berdasarkan ACR-EULAR 2010: Pemeriksaan Penunjang Dibuat skor dari beberapa poin dibawah ini : Pemeriksaan laju endap darah (LED) 1. Pemeriksaan di pelayanan kesehatan sekunder atau rujukan horizontal: 1. Faktor reumatoid (RF) serum. 2. Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-articular dan erosi pada bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat penyempitan celah sendi, osteoporosis difus, erosi meluas sampai daerah subkondral. 3. ACPA (anti-cyclic citrullinated peptide antibody) / anti-CCP 4. CRP 5. Analisis cairan sendi 6. Biopsi sinovium/ nodul rheumatoid Jumlah sendi yang terlibat a. 1 sendi besar b. 2-10 sendi besar c. 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) d. 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) e. >10 sendi dengan minimal 1 sendi kecil 0 1 2 3 5 Sendi DIP, MTP I, carpometacarpal I tidak termasuk dalam kriteria yang dimaksud sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, ibu jari, dan pergelangan tangan yang dimaksud sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha, dan pergelangan kaki. 2. Acute phase reactants : LED dan CRP LED atau CRP naik : 1 3. RF atau anti CCP a. RF dan anti CRP (-) 0 b. RF atau anti CRP naik < 3 batas atas 2 normal (BAN) c. RF atau CRP naik > 3 BAN 3 4. Durasi a. Lebih dari 6 Minggu b. Kurang dari 6 Minggu 1 0 Skor 6 atau lebih dapat dibuat diagnosis RA yang dikonfirmasi oleh bukti pencitraan akan adanya sinovitis. Sendi interfalang distal, sendi karpometakarpal I, dan sendi metatarsofalangeal I tidak dimasukkan dalam pemeriksaan. Kategori distribusi sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yang terlibat, ditempatkan ke dalam kategori tertinggi berdasarkan pola keterlibatan sendi. Tabel 6.4 Sistem penilaian klasifikasi kriteria RA (American College of Rheumatology/ European League Against Rheumatism, 2010) 5. Sendi-sendi besar merujuk pada bahu, siku, pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. 6. Sendi-sendi kecil merujuk pada sendi metakarpofalangeal, sendi interfalang proksimal, sendi metatarsophalangeal IIV, sendi interfalang ibujari, dan pergelangan tangan. 7. Dalam kategori ini, minimal 1 dari sendi yg terlibat harus sendi kecil; sendi lainnya dapat berupa kombinasi dari sendi besar dan sendi kecil tambahan, seperti sendi lainnya yang tidak terdaftar secara spesifik dimanapun (misal temporomandibular, akromioklavikular, sternoklavikular dan lainlain). 8. Negatif merujuk pada nilai IU yg ≤ batas atas nilai normal (BAN) laboratorium dan assay; positif rendah merujuk pada nilai IU yang ≥ BAN tetapi ≤ 3x BAN laboratorium dan assay; positif tinggi merujuk pada nilai IU yg > 3x BAN laboratorium dan assay. Ketika RF hanya dapat dinilai sebagai positif atau negatif, hasil positif harus dinilai sebagai positif rendah untuk RA. ACPA = anti- citrullinated protein antibody. 9. Normal/tidak normal ditentukan oleh standar laboratorium setempat. CRP (Creactive protein); LED (Laju Endap Darah). Catatan: 1. 2. 3. 4. Kriteria tersebutditujukan untuk klasifikasi pasien baru. Sebagai tambahan, pasien dengan penyakit erosif tipikal RA dengan riwayat yang sesuai dengan kriteria 2010 ini harus diklasifikasikan ke dalam RA. Pasien dengan penyakit lama, termasuk yang tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan), yang berdasarkan data retrospektif yang dimiliki memenuhi kriteria 2010 ini harus diklasifikasikan ke dalam RA. Diagnosis banding bervariasi diantara pasien dengan manifestasi yang berbeda, tetapi boleh memasukkan kondisi seperti SLE, artritis psoriatic, dan gout. Jika diagnosis banding masih belum jelas, hubungi ahli reumatologi. Walaupun pasien dengan skor < 6 dari tidak diklasifikasikan ke dalam RA, status mereka dapat dinilai ulang dan kriteria ini bisa dipenuhi secara kumulatif seiring waktu. Keterlibatan sendi merujuk pada sendi yang bengkak atau nyeri pada pemeriksaan, 10. Durasi gejala merujuk pada laporan dari pasien mengenai durasi gejala dan tanda sinovitis (misal nyeri, bengkak, dan nyeri pada penekanan) dari sendi yang secara klinis terlibat pada saat pemeriksaan, tanpa memandang status pengobatan. Diagnosis Banding penatalaksanaan selanjutnya. Penyebab arthritis lainnya, Spondiloartropati seronegatif, Lupus eritematosus istemik, Sindrom Sjogren Referensi 1. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In: Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA: McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92. 2. Daud, R. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1184-91. 3. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Dalam. Jakarta: RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007 Komplikasi 1. Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnar) 2. Sindrom terowongan karpal (TCS) 3. Sindrom Felty (gabungan gejala RA, splenomegali, leukopenia, dan ulkus pada tungkai; juga sering disertai limfadenopati dan trombositopenia) Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Pasien diberikan informasi untuk memproteksi sendi, terutama pada stadium akut dengan menggunakan decker. 2. Pemberian obat anti inflamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50- 100 mg 2x/hari, meloksikam 7,5–15 mg/hari, celecoxib 200400 mg/sehari. 3. Pemberian golongan steroid, seperti: prednison atau metil prednisolon dosis rendah (sebagai bridging therapy). 4. Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis. Kriteria rujukan 1. Tidak membaik dengan pemberian obat anti inflamasi dan steroid dosis rendah. 2. RA dengan komplikasi. 3. Rujukan pembedahan jika terjadi deformitas. Peralatan Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah. Prognosis Prognosis adalah dubia ad bonam, sangat tergantung dari perjalanan penyakit dan 5. ARTRITIS, OSTEOARTRITIS No. ICPC-2: L91 Osteoarthrosis other No. ICD-10: M19.9 Osteoarthrosis other Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan Penegakan Diagnosis (Assessment) Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Pasien sering datang berobat pada saat sudah ada deformitas sendi yang bersifat permanen. Diagnosis Klinis Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Banding Keluhan Artritis Gout, Rhematoid Artritis 1. 2. 3. 4. 5. 6. Komplikasi Nyeri sendi Hambatan gerakan sendi Kaku pagi Krepitasi Pembesaran sendi Perubahan gaya berjalan Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan radiografi. Deformitas permanen Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Faktor Risiko 1. 1. 2. 3. 4. 2. Usia > 60 tahun Wanita, usia >50 tahun atau menopouse Kegemukan/ obesitas Pekerja berat dengen penggunaan satu sendi terus menerus Hasil Pemeriksaan Fisik sederhana (Objective) dan 3. penunjang Pemeriksaan Fisik Tanda Patognomonis 1. 2. 3. 4. 5. 6. Hambatan gerak Krepitasi Pembengkakan sendi yang seringkali asimetris Tanda-tanda peradangan sendi Deformitas sendi yang permanen Perubahan gaya berjalan Pemeriksaan Penunjang Radiografi 4. 5. Pengelolaan OA berdasarkan atas distribusinya (sendi mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena. Pengobatan bertujuan untuk mencegah progresifitas dan meringankan gejala yang dikeluhkan. Modifikasi gaya hidup, dengan cara: a. Menurunkan berat badan b. Melatih pasien untuk tetap menggunakan sendinya dan melindungi sendi yang sakit Pengobatan Non Medikamentosa Rehabilitasi Medik /Fisioterapi Pengobatan Medikamentosa a. Analgesik topikal b. NSAID (oral): • non selective: COX1 (Diklofenak, Ibuprofen, Piroksikam, Mefenamat, Metampiron) • selective: COX2 (Meloksikam) Kriteria Rujukan 1. 2. Bila ada komplikasi, termasuk komplikasi terapi COX 1 Bila ada komorbiditas 3. Bila nyeri tidak dapat diatasi dengan obatobatan Bila curiga terdapat efusi sendi Prognosis Peralatan Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa, namun fungsi sering terganggu dan sering mengalami kekambuhan. Tidak terdapat peralatan khusus yang digunakan mendiagnosis penyakit arthritis 1. 4. 6. VULNUS No. ICPC-2 No. ICD-10 Referensi Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA: McGraw-Hill. 2008. : S.16 Bruise / Contusion Abration / Scratch / Blister Laceration / Cut : T14.1 Open wound of unspecified body region Tingkat Kemampuan: Vulnus laceratum, punctum 4A Vulnus perforatum, penetratum 3B Masalah Kesehatan kecil tapi didalam mungkin rusak berat, jika yang mengenai abdomen/thorax disebut vulnus penetrosum(luka tembus). Kulit merupakan bagian tubuh yang paling luar yang berguna melindungi diri dari trauma luar serta masuknya benda asing.Apabila kulit terkena trauma, maka dapat menyebabkan luka/ vulnus.Luka tersebut dapat merusak jaringan, sehingga terganggunya fungsi tubuh serta dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. 2. Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan, dapat ditimbulkan oleh berbagai macam akibat yaitu trauma, meliputi luka robek (laserasi), luka akibat gesekan (abrasi), luka akibat tarikan (avulsi), luka tembus (penetrasi), gigitan, luka bakar, dan pembedahan. 3. Penyebab dari luka jenis ini adalah sayatan benda tajam atau jarum merupakan luka terbuka akibat dari terapi untuk dilakukan tindakan invasif, tepi luka tajam dan licin. 4. Trauma tajam yang menimbulkan luka terbuka, misalnya : 1. Vulnus Morsum (Luka Gigitan) Penyebab adalah gigitan binatang atau manusia, kemungkinan infeksi besar bentuk luka tergantung dari bentuk gigi Vulnus Punctum (Luka Tusuk) Penyebab adalah benda runcing tajam atau sesuatu yang masuk ke dalam kulit, merupakan luka terbuka dari luar tampak Vulnus Schlopetorum (Luka Tembak) Penyebabnya adalah tembakan, granat. Pada pinggiran luka tampak kehitamhitaman, bisa tidak teratur kadang ditemukan corpus alienum. Etiologi Berdasarkan mekanisme trauma, terdiri dari : Vulnus Scissum/Insivum (Luka Sayat) 5. Vulnus Perforatum (Luka Tembus) Luka jenis ini merupakan luka tembus atau luka jebol. Penyebab oleh karena panah, tombak atau proses infeksi yang meluas hingga melewati selaput serosa/epithel organ jaringan. 6. Vulnus Amputatum (Luka Terpotong) Luka potong, pancung dengan penyebab benda tajam ukuran besar/berat, gergaji. Luka membentuk lingkaran sesuai dengan organ yang dipotong. Perdarahan hebat, resiko infeksi tinggi, terdapat gejala pathom limb. Trauma tumpul yang menyebabkan luka tertutup (vulnus occlusum), atau luka terbuka (vulnus apertum), misalnya : 1. Vulnus Laceratum (Laserasi/Robek) Patofisiologi Vulnus terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tubuh yang bisa disebabkan oleh trauma mekanis dan perubahan suhu (luka bakar). Vulnus yang terjadi dapat menimbulkan beberapa tanda dan gejala seperti bengkak, krepitasi, shock, nyeri, dan deformitas atau bisa juga menimbulkan kondisi yang lebih serius. Tanda dan gejala yang timbul tergantung pada penyebab dan tipe vulnus. Macam-macam Luka Menurut tipenya luka dibedakan menjadi 4 tipe luka yaitu : 1. Jenis luka ini disebabkan oleh karena benturan dengan benda tumpul, dengan ciri luka tepi luka tidak rata dan perdarahan sedikit luka dan meningkatkan resiko infeksi. 2. 3. Luka bersih adalah luka karena tindakan operasi dengan tehnik steril, misalnya pada daerah dinding perut, dan jaringan lain yang letaknya lebih dalam (non contaminated deep tissue), misalnya tiroid, kelenjar, pembuluh darah, otak, tulang. Vulnus Excoriasi (Luka Lecet) Penyebab luka karena kecelakaan atau jatuh yang menyebabkan lecet pada permukaan kulit merupakan luka terbuka tetapi yang terkena hanya daerah kulit. 2. Trauma termal, (Vulnus Combustion-Luka Bakar), yaitu kerusakan kulit karena suhu yang ekstrim, misalnya air panas, api, sengatan listrik, bahan kimia, radiasi atau suhu yang sangat dingin (frostbite). Jaringan kulit rusak dengan berbagai derajat mulai dari lepuh (bula), sampai karbonisasi (hangus). Terdapat sensasi nyeri dan atau anesthesia. Luka bersih-kontaminasi (Clean contaminated wound) Merupakan luka yang terjadi karena benda tajam, bersih dan rapi, lingkungan tidak steril atau operasi yang mengenai daerah usus halus dan bronchial. Vulnus Contussum (Luka Kontusio) Penyebab: benturan benda yang keras. Luka ini merupakan luka tertutup, akibat dari kerusakan pada soft tissue dan ruptur pada pembuluh darah menyebabkan nyeri dan berdarah (hematoma) bila kecil maka akan diserap oleh jaringan di sekitarnya jika organ dalam terbentur dapat menyebabkan akibat yang serius. Luka bersih (Clean wound) 3. Luka kontaminasi (Contaminated wound) Luka ini tidak rapi, terkontaminasi oleh lingkungan kotor, operasi pada saluran terinfeksi (usus besar, rektum, infeksi bronkhial, saluran kemih) 4. Luka infeksi (Infected wound) Jenis luka ini diikuti oleh adanya infeksi, kerusakan jaringan, serta kurangnya vaskularisasi pada jaringan luka. Hasil Anamnesis (Subjective) Terjadi trauma, ada jejas, memar, bengkak, nyeri, rasa panas didaerah trauma. Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Inspeksi: adanya kerusakan jaringan didaerah trauma, ada perdarahan, edema sekitar area trauma, melepuh, kulit warna kemerahan sampai kehitaman. bila diperlukan. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Pertama dilakukan anestesi setempat atau umum, tergantung berat dan letak luka, serta keadaan penderita, luka dan sekitar luka dibersihkan dengan antiseptik. Bahan yang dapat dipakai adalah larutan yodium povidon 1% dan larutan klorheksidin ½%, larutan yodium 3% atau alkohol 70% hanya digunakan untuk membersih kulit disekitar luka. 2. Kemudian daerah disekitar lapangan kerja ditutup dengan kain steril dan secara steril dilakukan kembali pembersihan luka dari kontaminasi secara mekanis, misalnya pembuangan jaringan mati dengan gunting atau pisau dan dibersihkan dengan bilasan, atau guyuran NaCl. 3. Akhirnya dilakukan penjahitan bila memungkinkan, dan luka ditutup dengan bahan yang dapat mencegah lengketnya kasa, misalnya kasa yang mengandung vaselin ditambah dengan kasa penyerap dan dibalut dengan pembalut elastis. Palpasi: nyeri tekan, atau anestesi. Pemeriksaan Penunjang : Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Gejala Lokal a. Nyeri terjadi karena kerusakan ujungujung saraf sensoris. Intensitas atau derajat rasa nyeri berbeda-beda tergantung pada berat/ luas kerusakan ujung-ujung saraf, etiologi dan lokasi luka. b. Perdarahan, hebatnya perdarahan tergantung pada lokasi luka, jenis pembuluh darah yang rusak. c. Diastase yaitu luka yang menganga atau tepinya saling melebar d. Gangguan fungsi, fungsi anggota badan akan terganggu baik oleh karena rasa nyeri atau kerusakan tendon. 2. Gejala umum Komplikasi Luka 1. Penyulit dini seperti : hematoma, seroma, infeksi 2. Penyulit lanjut seperti : keloid dan parut hipertrofik dan kontraktur Gejala/tanda umum pada perlukaan dapat terjadi akibat penyulit/komplikasi yang terjadi seperti syok akibat nyeri dan atau perdarahan yang hebat. Peralatan Pada kasus vulnus diagnosis pertama dilakukan secara teliti untuk memastikan apakah ada pendarahan yang harus dihentikan. Kemudian ditentukan jenis trauma apakah trauma tajam atau trauma tumpul, banyaknya kematian jaringan, besarnya kontaminasi dan berat jaringan luka. Prognosis Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang Alat Bedah Minor : gunting jaringan, pinset anatomis, pinset sirurgis, gunting benang, needle holder, klem arteri, scalpel blade & handle. Tergantung dari luas, kedalaman dan penyebab dari trauma. 7. LIPOMA No. ICPC-2 No. ICD-10 : S78 Lipoma : D17.9 Benign lipomatous neoplasm Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Lipoma adalah suatu tumor (benjolan) jinak yang berada di bawah kulit yang terdiri dari lemak. Biasanya lipoma dijumpai pada usia lanjut (40-60 tahun), namun juga dapat dijumpai pada anak-anak. Lipoma kebanyakan berukuran kecil, namun dapat tumbuh hingga mencapai lebih dari diameter 6 cm. Hasil Anamnesis Keluhan Benjolan di kulit tanpa disertai nyeri. Biasanya tanpa gejala apa-apa (asimptomatik). Hanya dikeluhkan timbulnya benjolan yang membesar perlahan dalam waktu yang lama. Bisa menimbulkan gejala nyeri jika tumbuh dengan menekan saraf. Untuk tempat predileksi seperti di leher bisa menimbulkan keluhan menelan dan sesak. Faktor Risiko 1. Adiposisdolorosis 2. Riwayat keluarga dengan lipoma 3. Sindrom Gardner 4. Usia menengah dan usia lanjut Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Patologis Keadaan Umum : tampak sehat bisa sakit ringan - sedang Kulit: ditemukan benjolan, teraba empuk, bergerak jika ditekan. Pemeriksaan Penunjang Dapat dilakukan tusukan jarum halus untuk mengetahui isi massa. Penegakan Diagnostik Diagnosis Klinis Massa bergerak di bawah kulit, bulat, yang memiliki karakteristik lembut, terlihat pucat. Ukuran diameter kurang dari 6 cm, pertumbuhan sangat lama. Diagnosis Banding Epidermoid kista,Abses, Liposarkoma, Limfadenitis tuberkulosis Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang lain merupakan pemeriksaan rujukan, seperti biopsi jarum halus. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Biasanya Lipoma tidak perlu dilakukan tindakan apapun. 1. Pembedahan Dengan indikasi : kosmetika tanpa keluhan lain. Cara eksisi Lipoma dengan melakukan sayatan di atas benjolan, lalu mengeluarkan jaringan lipoma 2. Terapi pasca eksisi: antibiotik, anti nyeri Simptomatik: obat anti nyeri Kriteria rujukan: 1. Ukuran massa > 6 cm dengan pertumbuhan yang cepat. 2. Ada gejala nyeri spontan maupun tekan. 3. Predileksi di lokasi yang berisiko bersentuhan dengan pembuluh darah atau saraf. Prognosis Prognosis umumnya adalah bonam, namun ini tergantung dari letak dan ukuran lipoma, serta ada/tidaknya komplikasi. Referensi 1. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005. 2. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds. Soft Tissue Tumor in: Manual of Surgery. 8th Ed. New York:McGraw-Hill Company. 2006. 3. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials of Surgery. New York: Lange Medical Book. 2005. H. NEUROLOGI 1. TENSION HEADACHE No. ICPC-2 No. ICD-10 : N95 Tension Headache : G44.2 Tension–type headache Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Tension Headache atau Tension Type Headache (TTH) atau nyeri kepala tipe tegang adalah bentuk sakit kepala yang paling sering dijumpai dan sering dihubungkan dengan jangka waktu dan peningkatan stres. Sebagian besar tergolong dalam kelompok yang mempunyai perasaan kurang percaya diri, selalu ragu akan kemampuan diri sendiri dan mudah menjadi gentar dan tegang. Pada akhirnya, terjadi peningkatan tekanan jiwa dan penurunan tenaga. Pada saat itulah terjadi gangguan dan ketidakpuasan yang membangkitkan reaksi pada otot-otot kepala, leher, bahu, serta vaskularisasi kepala sehingga timbul nyeri kepala. Nyeri kepala ini lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 3:1. TTH dapat mengenai semua usia, namun sebagian besar pasien adalah dewasa muda yang berusiasekitar antara 20-40 tahun. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan keluhan nyeri yang tersebar secara difus dan sifat nyerinya mulai dari ringan hingga sedang. Nyeri kepala tegang otot biasanya berlangsung selama 30 menit hingga 1 minggu penuh. Nyeri bisa dirasakan kadang-kadang atau terus menerus. Nyeri pada awalnya dirasakan pasien pada leher bagian belakang kemudian menjalar ke kepala bagian belakang selanjutnya menjalar ke bagian depan. Selain itu, nyeri ini juga dapat menjalar ke bahu. Nyeri kepala dirasakan seperti kepala berat, pegal, rasakencang pada daerah bitemporal dan bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling kepala. Nyeri kepala tipe ini tidak berdenyut. Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual ataupun muntah tetapi anoreksia mungkin saja terjadi. Gejala lain yang juga dapat ditemukan seperti insomnia (gangguan tidur yang sering terbangunatau bangun dini hari), nafas pendek, konstipasi, berat badan menurun, palpitasi dan gangguan haid. Pada nyeri kepala tegang otot yang kronis biasanya merupakan manifestasi konflik psikologis yang mendasarinya seperti kecemasan dan depresi. Faktor Risiko: Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tidak ada pemeriksaan fisik yang berarti untuk mendiagnosis nyeri kepalategang otot ini. Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal, pemeriksaan neurologis normal. Pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan kepala dan leher serta pemeriksaan neurologis yang meliputi kekuatan motorik, refleks, koordinasi, dan sensoris. Pemeriksaan mata dilakukan untuk mengetahui adanya peningkatan tekanan pada bola mata yang bisa menyebabkan sakit kepala. Pemeriksaan daya ingat jangka pendek dan fungsi mental pasien juga dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan berbagai penyakit yang serius yang memiliki gejala nyeri kepala seperti tumor atau aneurisma dan penyakit lainnya. Pemeriksaan Penunjang : Tidak diperlukan Penegakan Diagnostik (Assessment) hidup yang salah, disamping pengobatan nyeri kepalanya. Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang normal. Anamnesis yang mendukung adalah adanya faktor psikis yang melatarbelakangi dan karakteristik gejala nyeri kepala (tipe, lokasi, frekuensi dan durasi nyeri) harus jelas. 3. Saat nyeri timbul dapat diberikan beberapa obat untuk menghentikan atau mengurangi sakit yang dirasakan saat serangan muncul. Penghilang sakit yang sering digunakan adalah: acetaminophen dan NSAID seperti Aspirin, Ibuprofen, Naproxen, dan Ketoprofen. Pengobatan kombinasi antara acetaminophen atau aspirin dengan kafein atau obat sedatif biasa digunakan bersamaan. Cara ini lebih efektif untuk menghilangkan sakitnya, tetapi jangan digunakan lebih dari 2 hari dalam seminggu dan penggunaannya harus diawasi oleh dokter. 4. Pemberian obat-obatan antidepresi yaitu Amitriptilin. Klasifikasi Menurut lama berlangsungnya, nyeri kepala tegang otot ini dibagi menjadi nyeri kepala episodik jika berlangsungnya kurang dari 15 hari dengan serangan yang terjadi kurang dari1 hari perbulan (12 hari dalam 1 tahun). Apabila nyeri kepala tegang otot tersebut berlangsung lebih dari 15 hari selama 6 bulan terakhir dikatakan nyeri kepala tegang otot kronis. Tabel 8.1 Analgesik nonspesifik untuk TTH Diagnosis Banding 1. 2. Migren Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster) Komplikasi : Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. Pembinaan hubunganempati awal yang hangat antara dokter dan pasien merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk keberhasilan pengobatan. Penjelasan dokter yang meyakinkan pasien bahwa tidak ditemukan kelainan fisik dalam rongga kepala atau otaknya dapat menghilangkan rasa takut akan adanya tumor otak atau penyakit intrakranial lainnya. Penilaian adanya kecemasan atau depresi harus segera dilakukan. Sebagian pasien menerima bahwa kepalanya berkaitan dengan penyakit depresinya dan bersedia ikut program pengobatan sedangkan pasien lain berusaha menyangkalnya. Oleh sebab itu, pengobatan harus ditujukan kepada penyakit yang mendasari dengan obat anti cemas atau anti depresi serta modifikasi pola Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual menjadi ringan atau hilang dalam 2 jam). Konseling dan Edukasi 1. Keluarga ikut meyakinkan pasien bahwa tidak ditemukan kelainan fisik dalam rongga kepala atau otaknya dapat menghilangkan rasa takut akan adanya tumor otak atau penyakit intrakranial lainnya. 2. Keluarga ikut membantu mengurangi kecemasan atau depresi pasien, serta menilai adanya kecemasan atau depresi pada pasien. Kriteria Rujukan 1. Bila nyeri kepala tidak membaik maka dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf. 2. Bila depresi berat dengan kemungkinan bunuh diri maka pasien harus dirujuk ke pelayanan sekunder yang memiliki dokter spesialis jiwa. Peralatan Obat analgetik Prognosis Prognosis umumnya bonam karena dapat terkendali dengan pengobatan pemeliharaan. Referensi 1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya. 2006. (Sadeli, 2006) 2. Blanda, M. Headache, tension. Available from: www.emedicine.com. 2008. (Blanda, 2008) 3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Jilid kedua. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI. 2000. (Mansjoer, 2000) 4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type Headache. Available from: www.aafp.com. (Millea, 2008) 5. Tension headache. Feb 2009. Available from: www.mayoclinic.com. 2. MIGREN No. ICPC-2 No. ICD-10 : N89 Migraine : G43.9 Migraine, unspecified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Mual dengan atau tanpa muntah. Fotofobia atau fonofobia. Sakit kepalanya mereda secara bertahap pada siang hari dan setelah bangun tidur, kebanyakan pasien melaporkan merasa lelah dan lemah setelah serangan. Sekitar 60 % penderita melaporkan gejala prodormal, seringkali terjadi beberapa jam atau beberapa hari sebelum onset dimulai. Pasien melaporkan perubahan mood dan tingkah laku dan bisa juga gejala psikologis, neurologis atau otonom. Migren adalah suatu istilah yang digunakan untuk nyeri kepala primer dengan kualitas vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan depresi. Serangan seringkali berulang dan cenderung tidak akan bertambah parah setelah bertahun-tahun. Migren bila tidak diterapi akan berlangsung antara 4-72 jam dan yang klasik terdiri atas 4 fase yaitu fase prodromal (kurang lebih 25 % kasus), fase aura (kurang lebih 15% kasus), fase nyeri kepala dan fase postdromal. 5. 6. 7. Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan skala 2:1. Wanita hamil tidak luput dari serangan migren, pada umumnya serangan muncul pada kehamilan trimester I. Faktor Predisposisi Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti faktor penyebab migren, diduga sebagai gangguan neurobiologis, perubahan sensitivitas sistem saraf dan avikasi sistem trigeminalvaskular, sehingga migren termasuk dalam nyeri kepala primer. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Suatu serangan migren dapat menyebabkan sebagian atau seluruh tanda dan gejala, sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Nyeri moderat sampai berat, kebanyakan penderita migren merasakan nyeri hanya pada satu sisi kepala, namun sebagian merasakan nyeri pada kedua sisi kepala. Sakit kepala berdenyut atau serasa ditusuktusuk. Rasa nyerinya semakin parah dengan aktivitas fisik. Rasa nyerinya sedemikian rupa sehingga 8. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/ perubahan hormonal. Puasa dan terlambat makan Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buah-buahan. Cahaya kilat atau berkelip. Banyak tidur atau kurang tidur Faktor herediter Faktor kepribadian Hasil Pemeriksaan Fisik sederhana (Objective) dan penunjang Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, tanda vital harus normal, pemeriksaan neurologis normal. Temuan- temuan yang abnormal menunjukkan sebab- sebab sekunder, yang memerlukan pendekatan diagnostik dan terapi yang berbeda. Pemeriksaan Penunjang 1. a. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, pemeriksaan ini dilakukan jika ditemukan hal-hal, sebagai berikut: Kelainan-kelainan struktural, metabolik b. c. 2. 3. a. b. c. d. e. f. g. h. i. dan penyebab lain yang dapat menyerupai gejala migren. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit penyerta yang dapat menyebabkan komplikasi. Menentukan dasar pengobatan dan untuk menyingkirkan kontraindikasi obat-obatan yang diberikan. Pencitraan (dilakukan di rumah sakit rujukan). Neuroimaging diindikasikan pada hal-hal, sebagai berikut: Sakit kepala yang pertama atau yang terparah seumur hidup penderita. Perubahan pada frekuensi keparahan atau gambaran klinis pada migren. Pemeriksaan neurologis yang abnormal. Sakit kepala yang progresif atau persisten. Gejala-gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria migren dengan aura atau hal-hal lain yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Defisit neurologis yang persisten. Hemikrania yang selalu pada sisi yang sama dan berkaitan dengan gejala-gejala neurologis yang kontralateral. Respon yang tidak adekuat terhadap terapi rutin. Gejala klinis yang tidak biasa. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan fisik umum dan neurologis. Kriteria Migren : Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam dengan gejala dua dari nyeri kepala unilateral, berdenyut, bertambah berat dengan gerakan, intensitas sedang sampai berat ditambah satu dari mual atau muntah, fonofobia atau fotofobia. Diagnosis Banding Arteriovenous Malformations, Atypical Facial Pain, Cerebral Aneurysms, Childhood Migraine Variants, Chronic Paroxysmal Hemicrania, Cluster- type hedache (nyeri kepala kluster) Komplikasi 1. 2. Stroke iskemik dapat terjadi sebagai komplikasi yang jarang namun sangat serius dari migren. Hal ini dipengaruhi oleh faktor risiko seperti aura, jenis kelamin wanita, merokok, penggunaan hormon estrogen. Pada migren komplikata dapat menyebabkan hemiparesis. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi sensoris berlebihan. Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan dikompres dingin. a. Perubahan pola hidup dapat mengurangi jumlah dan tingkat keparahan migren, baik pada pasien yang menggunakan obatobat preventif atau tidak. b. Menghindari pemicu, jika makanan tertentu menyebabkan sakit kepala, hindarilah dan makan makanan yang lain. Jika ada aroma tertentu yang dapat memicu maka harus dihindari. Secara umum pola tidur yang reguler dan pola makan yang reguler dapat cukup membantu. c. Berolahraga secara teratur, olahraga aerobik secara teratur mengurangi tekanan dan dapat mencegah migren. d. Mengurangi efek estrogen, pada wanita dengan migren dimana estrogen menjadi pemicunya atau menyebabkan gejala menjadi lebih parah, atau orang dengan riwayat keluarga memiliki tekanan darah tinggi atau stroke sebaiknya mengurangi obat- obatan yang mengandung estrogen. e. Berhenti merokok, merokok dapat memicu sakit kepala atau membuat sakit kepala menjadi lebih parah (dimasukkan di konseling). f. Penggunaan headache diary untuk mencatat frekuensi sakit kepala. g. Pendekatan terapi untuk migren melibatkan pengobatan akut h. (abortif) dan preventif (profilaksis). 3. Pengobatan Abortif: Melihat kembali rujukan yang ada . a. Analgesik spesifik adalah analgesik yang hanya bekerja sebagai analgesik nyeri kepala. Lebih bermanfaat untuk kasus yang berat atau respon buruk dengan NSAID. Contoh: Ergotamin, Dihydroergotamin, dan golongan Triptan yang merupakan agonis selektif reseptor serotonin pada 5-HT1. b. Ergotamin dan DHE diberikan pada migren sedang sampai berat apabila analgesik non spesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping. Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah absorpsi ergotamin sebagai analgesik. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler serta gagal ginjal. c. Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotobia dan fonofobia. Obat ini diberikan pada migren berat atau yang tidak memberikan respon terhadap analgesik non spesifik. Dosis awal 50 mg dengan dosis maksimal 200 mg dalam 24 jam. d. Analgesik non spesifik yaitu analgesik yang dapat diberikan pada nyeri lain selain nyeri kepala, dapat menolong pada migren intensitas nyeri ringan sampai sedang. Tabel 8.2. Regimen analgesik untuk migren Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual ringan atau hilang dalam 2 jam) Domperidon atau Metoklopropamid sebagai antiemetik dapat diberikan saat serangan nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal. 4. Pengobatan preventif: Pengobatan preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya serangan atau tidak. Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu episodik, jangka pendek (subakut), atau jangka panjang (kronis). Pada serangan episodik diberikan bila faktor pencetus dikenal dengan baik, sehingga dapat diberikan analgesik sebelumnya. Terapi preventif jangka pendek diberikan apabila pasien akan terkena faktor risiko yang telah dikenal dalam jangka waktu tertentu, misalnya migren menstrual. Terapi preventif kronis diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung respon pasien. Farmakoterapi pencegahan migren Tabel 8.3. Farmakoterapi pencegah migren Komplikasi 1. Obat-obat NSAID seperti Ibuprofen dan Aspirin dapat menyebabkan efek samping seperti nyeri abdominal, perdarahan dan ulkus, terutama jika digunakan dalam dosis besar dan jangka waktu yang lama. 2. Penggunaan obat-obatan abortif lebih dari dua atau tiga kali seminggu dengan jumlah yang besar, dapat menyebabkan komplikasi serius yang dinamakan rebound. Konseling dan Edukasi Prognosis 1. Pasien dan keluarga mengontrol serangan. 2. Keluarga menasehati pasien untuk beristirahat dan menghindari pemicu, serta berolahraga secara teratur. 3. dapat berusaha Prognosis pada umumnya bonam, namun quo ad sanationam adalah dubia karena sering terjadi berulang. Referensi 1. Keluarga menasehati pasien jika merokok untuk berhenti merokok karena merokok dapat memicu sakit kepala atau membuat sakit kepala menjadi lebih parah. 2. Kriteria Rujukan Pasien perlu dirujuk jika migren terus berlanjut dan tidak hilang dengan pengobatan analgesik non-spesifik. Pasien dirujuk ke layanan sekunder (dokter spesialis saraf). 3. Peralatan 1. 2. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain. Dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya.2006. Purnomo H. Migrainous Vertigo. Dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya.2006. (Purnomo,2006) Migraine Available at: www.mayoclinic/ disease&condition/topic/migraine.htm Alat pemeriksaan neurologis Obat antimigren 3. VERTIGO No. ICPC-2 No. ICD-10 : N17 Vertigo/dizziness : R42 Dizziness and giddiness Tingkat Kemampuan 4A (Vertigo Vestibular/ Benign Paroxismal Positional Vertigo (BPPV)) Masalah Kesehatan Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau lingkungan sekitarnya. Persepsi gerakan bisa berupa: 1. 2. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada gangguan vestibular. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang yang timbul pada gangguan sistem proprioseptif atau sistem visual Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo vestibular, yaitu: 1. 2. Vertigo vestibular perifer. Terjadi pada lesi di labirin dan nervus vestibularis Vertigo vestibular sentral. Timbul pada lesi di nukleus vestibularis batang otak, thalamus sampai ke korteks serebri. Vertigo merupakan suatu gejala dengan berbagai penyebabnya, antara lain: akibat kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Secara spesifik, penyebab vertigo, adalah: 1. Vertigo vestibular Vertigo perifer disebabkan oleh Benign Paroxismal Positional Vertigo (BPPV), Meniere’s Disease, neuritis vestibularis, oklusi arteri labirin, labirhinitis, obat ototoksik, autoimun, tumor nervus VIII, microvaskular compression, fistel perilimfe. 2. Vertigo sentral disebabkan oleh migren, CVD, tumor, epilepsi, demielinisasi, degenerasi. diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis. Vertigo non vestibular Sensasi bukan berputar, melainkan rasa melayang, goyang, berlangsung konstan atau kontinu, tidak disertai rasa mual dan muntah, serangan biasanya dicetuskan oleh gerakan objek sekitarnya seperti di tempat keramaian misalnya lalu lintas macet. Disebabkan oleh polineuropati, mielopati, artrosis servikalis, trauma leher, presinkop, hipotensi ortostatik, hiperventilasi, tension headache, penyakit sistemik. BPPV adalah gangguan klinis yang sering terjadi dengan karakteristik serangan vertigo di perifer, berulang dan singkat, sering berkaitan dengan perubahan posisi kepala dari tidur, melihat ke atas, kemudian memutar kepala. BPPV adalah penyebab vertigo dengan prevalensi 2,4% dalam kehidupan seseorang. Studi yang dilakukan oleh Bharton 2011, prevalensi akan meningkat setiap tahunnya berkaitan dengan meningkatnya usia sebesar 7 kali atau seseorang yang berusia di atas 60 tahun dibandingkan dengan 1839 tahun. BPPV lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. Vertigo non vestibular Pada anamnesis mengenai: 1. 2. 3. 4. Vertigo vestibular Menimbulkan sensasi berputar, timbulnya episodik, diprovokasi oleh gerakan kepala, bisa disertai rasa mual atau muntah. Vertigo vestibular perifer timbulnya lebih mendadak setelah perubahan posisi kepala dengan rasa berputar yang berat, disertai mual atau muntah dan keringat dingin. Bisa disertai gangguan pendengaran berupa tinitus, atau ketulian, dan tidak disertai gejala neurologik fokal seperti hemiparesis, diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis. Vertigo vestibular sentral timbulnya lebih lambat, tidak terpengaruh oleh gerakan kepala. Rasa berputarnya ringan, jarang disertai rasa mual dan muntah, tidak disertai gangguan pendengaran. Keluhan dapat disertai dengan gejala neurologik fokal seperti hemiparesis, digali penjelasan Deskripsi jelas keluhan pasien. Pusing yang dikeluhkan dapat berupa sakit kepala, rasa goyang, pusing berputar, rasa tidak stabil atau melayang. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan perlu 5. 6. 7. 8. 9. Bentuk serangan vertigo: a. Pusing berputar b. Rasa goyang atau melayang Sifat serangan vertigo: a. Periodik b. b. Kontinu c. Ringan atau berat Faktor pencetus atau situasi pencetus dapat berupa: a. Perubahan gerakan kepala atau posisi b. Situasi: keramaian dan emosional c. Suara Gejala otonom yang menyertai keluhan vertigo: a. Mual, muntah, keringat dingin b. Gejala otonom berat atau ringan Ada atau tidaknya gejala gangguan pendegaran seperti : tinitus atau tuli Obat-obatan yang menimbulkan gejala vertigo seperti: streptomisin, gentamisin, kemoterapi Tindakan tertentu: temporal bone surgery, transtympanal treatment Penyakit yang diderita pasien: DM, hipertensi, kelainan jantung Defisit neurologis: hemihipestesi, baal wajah satu sisi, perioral numbness, disfagia, hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia serebelaris Gambaran klinis BPPV: Vertigo timbul mendadak pada perubahan posisi, misalnya miring ke satu sisi Pada waktu berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk. atau menegakkan kembali badan, menunduk atau menengadah. Serangan berlangsung dalam waktu singkat, biasanya kurang dari 10-30 detik. Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, bisa disertai rasa mual, kadang-kadang muntah. Setelah rasa berputar menghilang, pasien bisa merasa melayang dan diikuti disekulibrium selama beberapa hari sampai minggu. BPPV dapat muncul kembali. Hasil Pemeriksaan Fisik sederhana (Objective) dan berdiri dengan kedua kaki rapat dan mata terbuka pasien jatuh, kemungkinan kelainan pada serebelum. Jika saat mata terbuka pasien tidak jatuh, tapi saat mata tertutup pasien cenderung jatuh ke satu sisi,kemungkinan kelainan pada sistem vestibuler atau proprioseptif (Tes Romberg positif). • Tes Romberg dipertajam (sharpen Romberg/tandem Romberg): Jika pada keadaan berdiri tandem dengan mata terbuka pasien jatuh, kemungkinan kelainan pada serebelum. Jika pada mata tertutup pasien cenderung jatuh ke satu sisi, kemungkinan kelainan pada system vestibuler atau proprioseptif. • Tes jalan tandem: pada kelainan serebelar, pasien tidak dapat melakukan jalan tandem dan jatuh ke satu sisi. Pada kelaianan vestibuler, pasien akan mengalami deviasi. • Tes Fukuda(Fukuda stepping test), dianggap abnormal jika saat berjalan ditempat selama 1 menit dengan mata tertutup terjadi deviasi ke satu sisi lebih dari 30 derajat atau maju mundur lebih dari satu meter. • Tes past pointing, pada kelainan vestibuler ketika mata tertutup maka jari pasien akan deviasi ke arah lesi. Pada kelainan serebelar akan terjadi hipermetri atau hipometri. penunjang Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan umum 2. Pemeriksaan sistem kardiovaskuler yang meliputi pemeriksaan tekanan darah pada saat baring, duduk dan berdiri dengan perbedaan lebih dari 30 mmHg. 3. Pemeriksaan neurologis a. Kesadaran: kesadaran baik untuk vertigo vestibuler perifer dan vertigo non vestibuler, namun dapat menurun pada vertigo vestibuler sentral. b. Nervus kranialis: pada vertigo vestibularis sentral dapat mengalami gangguan pada nervus kranialis III, IV, VI, V sensorik, VII, VIII, IX, X, XI, XII. c. Motorik: kelumpuhan (hemiparesis). satu sisi d. Sensorik: gangguan sensorik pada satu sisi (hemihipestesi). e. Keseimbangan (pemeriksaan khusus neurootologi): • • Tes nistagmus: Nistagmus disebutkan berdasarkan komponen cepat, sedangkan komponen lambat menunjukkan lokasi lesi: unilateral, perifer, bidireksional, sentral. Tes Romberg: Jika pada keadaan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dengan etiologi. dilakukan sesuai Penegakan diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis. Tabel 8.4. Perbedaan vertigo vestibuler dan non vestibuler Tabel 8.5. Perbedaan vertigo perifer dengan vertigo sentral dengan cepat ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali. Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke sisi lain. Pertahankan selama 30 detik, lalu duduk kembali. Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing- masing diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan latihan pagi dan sore hari. 3. Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita sering kali merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapar dihentikan setelah beberapa minggu. Beberapa golongan yang sering digunakan: a. Diagnosis Banding : Antihistamin (Dimenhidrinat Difenhidramin) atau • Dimenhidrinat lama kerja obat ini ialah 4-6 jam. Obat dapat diber per oral atau parenteral (suntikan intramuskular dan intravena), dengan dosis 25 mg-50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. • Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4-6 jam, diberikan dengan dosis 25 mg (1 kapsul)-50 mg, 4 kali sehari per oral. • Senyawa Betahistin (suatu analog histamin): Seperti tabel di bawah ini, yaitu: Tabel 8.6. Diagnosis banding gangguan neurologi Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per oral. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan metode BrandDaroff. 2. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung, dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari. maksimum 6 tablet dibagi dalam beberapa dosis. b. Kalsium Antagonis Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan dapat mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg sehari. Terapi BPPV: 1. Komunikasi dan informasi: 2. Karena gejala yang timbul hebat, pasien menjadi cemas dan khawatir akan adanya penyakit berat seperti stroke atau tumor otak. Oleh karena itu, pasien perlu diberikan penjelasan bahwa BPPV bukan sesuatu yang berbahaya dan prognosisnya baik serta hilang spontan setelah beberapa waktu, namun kadang-kadang dapat berlangsung lama dan dapat kambuh kembali. 3. Obat antivertigo seringkali tidak diperlukan namun apabila terjadi dis-ekuilibrium pasca BPPV, pemberian betahistin akan berguna untuk mempercepat kompensasi. 5. 6. Prognosis Pada BPPV, prognosis umumnya baik, namun BPPV sering terjadi berulang. Referensi 1. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan Dokter Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012. (Kelompok Studi Vertigo, 2012) 2. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis and management in primary care. BJMP. 2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010) 3. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular migraine. Journal Neurology. 2009:25:333-338. (Lempert & Neuhauser, 2009) 4. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of Vertigo.Journal American Family Physician. 2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006) 5. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008. (Mardjono & Sidharta, 2008) 6. Turner, B. Lewis, Neurology:Systematic Needed for establish Practitioner. 2010; 254 (Turner & Lewis, 2010) 7. Chain, T.C. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness and Vertigo. Illinois: Wolter Kluwer Lippincot. William and Wilkins. 2009 (Chain, 2009) Terapi BPPV kanal posterior: 1. 2. 3. Manuver Epley Prosedur Semont Metode Brand Daroff Rencana Tindak Lanjut Vertigo pada pasien perlu pemantauan untuk mencari penyebabnya kemudian dilakukan tatalaksana sesuai penyebab. Konseling dan Edukasi 1. 2. Keluarga turut mendukung dengan memotivasi pasien dalam mencari penyebab vertigo dan mengobatinya sesuai penyebab. Mendorong pasien untuk teratur melakukan latihan vestibular. Kriteria Rujukan 1. 2. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera dirujuk. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo vestibular setelah diterapi farmakologik dan non farmakologik. Peralatan 1. 2. 3. 4. Palu refleks Sphygmomanometer Termometer Garpu tala (penala) Obat antihistamin Obat antagonis kalsium N.E. Symposium Approach that of Vertigo. The (1732) p. 19-23. 4. TETANUS No. ICPC-2 No. ICD-10 : N72 Tetanus : A35 Other tetanus Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin. Penyakit ini ditandai dengan spasme tonik persisten, disertai serangan yang jelas dan keras. Tetanospasmin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanospasmin menghambat neurotransmiter GABA dan glisin, sehingga tidak terjadi hambatan aktivitas refleks otot. Spasme otot dapat terjadi lokal (disekitar infeksi), sefalik (mengenai otot-otot cranial), atau umum atau generalisata (mengenai otot-otot kranial maupun anggota gerak dan batang tubuh). Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang yang mengakibatkan penutupan rahang (trismus atau lockjaw), serta melibatkan otot otot ekstremitas dan batang tubuh. kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek. 3. Tetanus umum/generalisata Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik. 4. Tetanus neonatorum Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable, diikuti oleh kekakuan dan spasme. Di Amerika Serikat, sekitar 15% kasus tetanus adalah penyalahguna obat yang menggunakan suntikan. Faktor Risiko: - Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective) Keluhan Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus, sampai kejang yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu: Pemeriksaan Fisik 1. 1. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap. 2. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. 3. Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan Tetanus lokal Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum. 2. Tetanus sefalik Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh pada daerah kepala atau otitis media luka Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. kesadaran yang tetap baik. 4. Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi tubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawa hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jarijari kaki. 5. Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s: 1. 2. Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik. 3. 4. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi. Tingkat keparahan tetanus: 5. 6. Kriteria Pattel Joag 1. 2. 3. 4. 5. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang Kriteria 2: Spasme,tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat keparahan Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF (> 400 C), atau aksila 99ºF ( 37,6 ºC ). Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum (kematian 84%). Grade 1 (ringan) Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia. Grade 2 (sedang) Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu. Grade 3 (berat) Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengan takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus meningkat. Grade 4 (sangat berat) Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering kali menyebabkan “autonomic storm”. Diagnosis Banding Meningoensefalitis, Poliomielitis, Rabies, Lesi orofaringeal, Tonsilitis berat, Peritonitis, Tetani (timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah), keracunan Strychnine, reaksi fenotiazine Grading Komplikasi 1. 1. 2. 3. 4. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak ada kematian) Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian 10%) Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%) Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%) 2. Saluran pernapasan Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi. Kardiovaskuler Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium. 3. 4. Tulang dan otot Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta. Komplikasi yang lain Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 3. 4. 5. 6. 7. Manajemen luka Pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C. tetani harus mendapatkan perawatan luka. Luka dapat menjadi luka yang rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus dengan kriteria sebagai berikut: Tabel 8.7 Manajemen luka tetanus 8. 2. Rekomendasi manajemen luka traumatik a. Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen. b. Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan. c. TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan. 9. d. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIg Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya-ruangan redup dan tindakan terhadap penderita. Diet cukup kalori dan protein 3500-4500 kalori per hari dengan 100-150 gr protein. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan per sonde atau parenteral. Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu. Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis. zepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/ kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal diazepam 240 mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom. Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan, tetapi sebelumnya diperlukan skin tes untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat. Jika pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka. Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk pasien yang alergi penisilin dapat diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian antibiotik di atas dapat mengeradikasi 10. 11. 12. 13. Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi proses neurologisnya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas dapat dilakukan. Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/ hari dalam 4 dosis. Eritromisin: 50 mg/ kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari. Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml toksoid intramuskular diberikan 24 jam pertama. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. 1. 2. 3. 4. Prognosis Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik. Tetanus biasanya tidak terjadi berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C. tetani. Referensi 1. 2. 3. Konseling dan Edukasi Peran keluarga pada pasien dengan risiko terjadinya tetanus adalah memotivasi untuk dilakukan vaksinasi dan penyuntikan ATS. 4. Rencana Tindak Lanjut 1. 2. 3. 4. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Pengulangan dilakukan 8 minggu kemudian dengan dosis yang sama dengan dosis inisial. Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian. Subsequent booster, diberikan 5 tahun berikutnya. Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan setempat. Kriteria Rujukan 1. 2. 3. Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis neurologi. Peralatan Sarana pemeriksaan neurologis Oksigen Infus set Obat antikonvulsan 5. 6. 7. 8. Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus dalam Infeksi pada sistem saraf. Perdossi. 2012. (Kelompok Studi Neuroinfeksi, 2012) Ismanoe, Gatot. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1799-1806. (Sudoyo, et al., 2006) 3. Azhali, M.S. Garna, H. Aleh. Ch. Djatnika, S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam: Garna, H. Melinda, H. Rahayuningsih, S.E. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.Ed3. Bandung: FKUP/RSHS. 2005; 209-213. (Azhali, et al., 2005) 4. Rauscher, L.A. Tetanus. Dalam:Swash, M. Oxbury, J.Eds. Clinical Neurology. Edinburg: Churchill Livingstone. 1991; 865- 871. (Rauscher, 1991) 5. Behrman, R.E.Kliegman, R.M.Jenson, H.B. Nelson Textbook of Pediatrics. Vol 1. 17thEd. W.B. Saunders Company. 2004. (Behrman, et al., 2004) Poowo, S.S.S. Garna, H. Hadinegoro. Sri Rejeki, S.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis. Ed 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (Poowo, et al., t.thn.) WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus: progress to date. Bull: WHO. 1994; 72: 155-157. (World Health Organization, 1994) Aminoff MJ, So YT. Effects of Toxins and Physical Agents on the Nervous System. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1369-1370. (Aminoff & So, 2012) 5. RABIES No. ICPC-2 No. ICD-10 : A77 Viral disease other/NOS : A82.9 Rabies, Unspecified Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Rabies adalah infeksi virus yang menjalar ke otak melalui saraf perifer. Perjalanan virus untuk mencapai sistem saraf pusat, biasanya mengambil masa beberapa bulan. Masa inkubasi dari penyakit ini 1-3 bulan, tapi dapat bervariasi antara 1 minggu sampai beberapa tahun, tergantung juga pada seberapa jauh jarak masuknya virus ke otak. Penyakit infeksi akut sistem saraf pusat (ensefalitis) ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa- virus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia, terutama melalui gigitan hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing, serigala, kelelawar). Beberapa kasus dilaporkan infeksi melalui transplantasi organ dan paparan udara (aerosol). Rabies hampir selalu berakibat fatal jika post-exposure prophylaxis tidak diberikan sebelum onset gejala berat. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. Stadium prodromal Gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari. 2. Stadium sensoris Penderita merasa nyeri, merasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensoris. 3. Stadium eksitasi Tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi dan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Hal yang sangat khas pada stadium ini adalah munculnya macam- macam fobia seperti hidrofobia. Kontraksi otot faring dan otot pernapasan dapat ditimbulkan oleh rangsangan sensoris misalnya dengan meniupkan udara ke muka penderita. Pada stadium ini dapat terjadi apneu, sianosis, konvulsan, dan takikardia. Tindak tanduk penderita tidak rasional kadang maniakal disertai dengan responsif. Gejala eksitasi terus berlangsung sampai penderita meninggal. 4. Stadium paralisis Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium sebelumnya, namun kadang ditemukan pasien yang tidak menunjukkan gejala eksitasi melainkan paresis otot yang terjadi secara progresif karena gangguan pada medulla spinalis. Pada umumnya rabies pada manusia mempunyai masa inkubasi 3-8 minggu. Gejala-gejala jarang timbul sebelum 2 minggu dan biasanya timbul sesudah 12 minggu. Mengetahui port de entry virus tersebut secepatnya pada tubuh pasien merupakan kunci untuk meningkatkan pengobatan pasca gigitan (post exposure therapy). Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkan mungkin telah dilupakan. Tetapi pasien sekarang mengeluh tentang perasaan (sensasi) yang lain ditempat bekas gigitan tersebut. Perasaan itu dapat berupa rasa tertusuk, gatal-gatal, rasa terbakar (panas), berdenyut dan sebagainya. Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit, tercakar atau kontak dengan anjing, kucing, atau binatang lainnya yang: 1. 2. 3. Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka) Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan dibunuh) Tak dapat diobservasi setelah menggigit 4. (dibunuh, lari, dan sebagainya) Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dan lain- lain). Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi antara 7 hari sampai 7 tahun. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitandan lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat, derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan). Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari. Faktor Risiko : Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang minggu. Gejala fase awal tidak khas: gejala flu, malaise, anoreksia, kadang ditemukan parestesia pada daerah gigitan. Gejala lanjutan: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang persisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia. Diagnosis Banding Tetanus, Ensefalitis, lntoksikasi obat-obat, Japanese encephalitis, Herpes simplex, Ensefalitis post-vaksinasi. Pemeriksaan Fisik Komplikasi 1. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkan mungkin telah dilupakan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal dan parestesia pada luka bekas gigitan yang sudah sembuh (50%), mioedema (menetap selama perjalanan penyakit). Jika sudah terjadi disfungsi batang otak maka terdapat: hiperventilasi, hipoksia, hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf otonom, sindroma abnormalitas ADH, paralitik/ paralisis flaksid. Pada stadium lanjut dapat berakibat koma dan kematian. Tanda patognomonis Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang persisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia. 2. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. Pemeriksaan Penunjang Hasil pemeriksaan laboratorium kurang bermakna. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan (+) dan hewan yang menggigit mati dalam 1 Gangguan hipotalamus: diabetes insipidus, disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipo/hipertermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal atau generalisata, sering bersamaan dengan aritmia dan dyspneu. 3. Isolasi pasien penting segera setelah diagnosis ditegakkan untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang bisa menimbulkan spasme otot ataupun untuk mencegah penularan. Fase awal: Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun (detergen) 5-10 menit kemudian dibilas dengan air bersih, dilakukan debridement dan diberikan desinfektan seperti alkohol 4070%, tinktura yodii atau larutan ephiran. Jika terkena selaput lendir seperti mata, hidung atau mulut, maka cucilah kawasan tersebut dengan air lebih lama; pencegahan dilakukan dengan pembersihan luka dan vaksinasi. Fase lanjut: tidak ada terapi untuk penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala rabies. Penanganan hanya berupa tindakan suportif berupa penanganan gagal jantung dan gagal nafas. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) bila serumheterolog (berasal dari serum kuda) Dosis 40 IU/ kgBB disuntikkan infiltrasi pada luka sebanyak-banyaknya, sisanya disuntikkan secara IM. Skin test perlu dilakukan terlebih dahulu. Bila serum homolog (berasal dari serum manusia) dengan dosis 20 IU/ kgBB, dengan cara yang sama. Pemberian serum dapat dikombinasikan dengan Vaksin Anti Rabies (VAR) pada hari pertama kunjungan. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dalam waktu 10 hari infeksi yang dikenal sebagai post-exposure prophylaxis atau “PEP”VAR secara IM pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml pada hari 0, 3, 7,14, 28 (regimen Essen atau rekomendasi WHO), atau pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/ rekomendasi Depkes RI). Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan berat vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU/kgBB dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada sekitar luka dan setengah dosis IM pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR. Kriteria Rujukan 1. 2. Peralatan 1. 2. 3. 2. Keluarga ikut membantu dalam halpenderita rabies yang sudah menunjukan gejala rabies untuk segera dibawa untuk penanganan segera ke fasilitas kesehatan. Pada pasien yang digigit hewan tersangka rabies, keluarga harus menyarankan pasien untuk vaksinasi. Laporkan kasus rabies ke dinas kesehatan setempat. Cairan desinfektan Serum Anti Rabies Vaksin Anti Rabies Prognosis Prognosis pada umumnya buruk, karena kematian dapat mencapai 100% apabila virus rabies mencapai SSP. Prognosis selalu fatal karena sekali gejala rabies terlihat, hampir selalu kematian terjadi dalam 2-3 hari sesudahnya, sebagai akibat gagal napas atau henti jantung. Jika dilakukan perawatan awal setelah digigit anjing pengidap rabies, seperti pencucian luka, pemberian VAR dan SAR, maka angka survival mencapai 100%. Referensi 1. 2. 3. Konseling dan Edukasi 1. Penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala rabies. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis neurolog. 4. 5. 6. Harijanto, Paul N dan Gunawan, Carta A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FKUI. 2006. Hal 1736-9. Dennis MD, Eugene B. MD.Infection Due to RNA viruses: Harrisons Internal Medicine 16th edition. McGraw Hill. Medical Publishing Division. 2005. (Braunwald, et al., 2009) The Merk Manual of Medical information. Rabies, brain and spinal cord disorders, infection of the brain and spinal cord.2006. p: 484-486. Jackson, A.C. Wunner, W.H.Rabies. Academic Press. 2002. p. 290. (Jackson & Wunner, 2002) Davis L.E. King, M.K. Schultz, J.LFundamentals of neurologic disease. Demos Medical Publishing, LLc. 2005. p: 73. (Davis, et al., 2005) Reynes J-M, D.L. Buchy P, et al. A reliable diagnosis of human rabies based on analysis of skin biopsy specimens.Clin Infect Dis 47 (11): 1410-1417. 2008. (Reynes and Buchy, 7. 8. 2008) 7. Diagnosis CDC Rabies. USA: Centers for Disease Control and Prevention. 2007. Diunduh dari http://www.cdc.gov/RABIES/ diagnosis.html. Retrieved 2008-02-12. (Centers for Disease Control and Prevention , 2007) Kumar.Clark. Rhabdoviruses Rabies. Clinical Medicine. W.B Saunders Company Ltd. 2006. Hal 57-58. (Kumar, 2006) 9. 9. Ranjan. Remnando. Rabies, tropical infectious disease epidemiology, investigation, diagnosis and management. 2002. Hal 291-297. (Beckham, et al., t.thn.) 10. Beckham JD, Solbrig MV, Tyler KL. Infection of the Nervous System. Viral Encephalitis and Meningitis. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, pp. 12521253. 6. MALARIA SEREBRAL No. ICPC-2 No.ICD-10 : A73 Malaria : Plasmodium falciparum with cerebral complication Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Malaria Serebral merupakan salah satu komplikasi infeksi dari Plasmodium falciparum dan merupakan komplikasi berat yang paling sering ditemukan serta penyebab kematian utama pada malaria. Diperkirakan sekitar 1-3 juta orang meninggal diseluruh dunia setiap tahunnya karena malaria serebral, terutama pada anak-anak. Hasil Anamnesis (Subjective) Pasien dengan malaria Serebral biasanya ditandai oleh 2. 3. Trias malaria (menggigil, berkeringat) Penurunan kesadaran berat Disertai kejang 1. 2. Tinggal atau pernah berkunjung ke daerah endemik malaria Riwayat terinfeksi Plasmodium falciparum Penunjang Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai: 1. 3. 4. demam, Faktor Risiko dan Pemeriksaan Fisik 2. Keluhan 1. Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) Penurunan kesadaran yang dapat didahului mengantuk, kebingungan, disorientasi, delirium atau agitasi namun kaku kuduk dan rangsang meningeal lain tidak ditemukan dan dapat berlanjut menjadi koma. Kaku kuduk biasanya negatif, hiperekstensi leher terjadi pada kasus berat Pada pemeriksaan mata dapat dijumpai nistagmus dan deviasi conjugee Pada pemeriksaan funduskopi ditemukan retina yang pucat, perdarahan retina (6-37% kasus), edema papil dan cotton wool spots. 5. Gejala neurologi yang sering adalah lesi upper motor neuron, tonus otot dan reflex tendon meningkat (tetapi dapat juga normal ataupun menurun), refleks babinsky positif Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan apusan darah Bisa ditemukan adanya Plasmodium falciparum aseksual pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran 2. Pemeriksaan darah rutin dan gula darah Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis kontak dengan nyamuk anopheles baik dengan menggunakan kelambu maupun reppelen Hindari aktivitas di malam hari khususnya bagi mereka yang tinggal atau bepergian ke daerah endemik malaria Diagnosis malaria serebral ditegakkan dengan ditemukannya Plasmodium falciparum bentuk aseksual pada pemeriksaan apusan darah tepi pasien dengan penurunan kesadaran berat (koma), walaupun semua gangguan kesadaran (GCS 5, pasien harus segera mendapat perawatan seperti perawatan pasien stroke iskemik akut. Tekanan darah tinggi, penyakit jantung, diabetes dan penyakit gangguan darah harus segera diterapi. Untuk mencegah berulangnya TIA dan serangan stroke, perlu diberikan obat antiplatelet, misalnya asetosal, clopidogrel, dipyridamole, cilostazol. Pada stenosis karotis, mungkin diperlukan tindakan carotid endarterectomy atau carotid angioplasty. Jika ada fibrilasi atrial, mungkin diperlukan antikoagulan oral, misalnya warfarin, rifaroxaban, dabigatran, apixaban. Tabel 8.12 Skor ABCD2 untuk TIA 3. 4. 5. Kriteria Rujukan Pasien segera dirujuk ke RS untuk penanganan lebih lanjut. Peralatan Laboratorium: darah lengkap dan kimia darah Pemeriksaan radiologi: foto toraks Pasien membutuhkan CT scan atau MRI di layanan sekunder Prognosis Prognosis bonam bila faktor risiko dapat teratasi dan penanganan cepat dilakukan. Pemberian obat antiplatelet dan antikoagulan dapat mencegah berulangnya TIA dan serangan stroke iskemik. Referensi 1. 2. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In Brust JCM (Ed). Current Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, New York, 2007:100-25. (Fitzsimmons, 2007) Romano JG, Sacco RL. Prevention of Recurrent Ischemic Stroke. In Goldstein LB (Ed). A Primer on Stroke Prevention and Treatment. Wiley-Blackwell, Dallas, 2009: 85-99. (Romano & Sacco, 2009) Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular Diseases of the Nervous System. Ischemic Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1003-1053. (Biller, et al., 2012) Furie K et al. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients With Stroke or Transient Ischemic Attack : A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 2011; 42:227276 (Furie, 2011) National Stroke Association. Transient Ischemic Attack (TIA). www.stroke.org 9. STROKE No. ICPC-2 No. ICD-10 : : K90 Stroke/cerebrovascular accident I63.9 Cerebral infarction, unspecified Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Stroke adalah defisit neurologis fokal (atau global) yang terjadi mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor vaskuler. Secara global, saat ini stroke merupakan salah satu penyebab kematian utama, dan penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Dari laporan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007, stroke merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Untuk memudahkan pengenalan gejala stroke bagi masyarakat awam, digunakan istilah FAST (Facial movement, Arm Movement, Speech, Time: acute onset). Maksudnya, bila seseorang mengalami kelemahan otot wajah dan anggota gerak satu sisi, serta gangguan bicara, yang terjadi mendadak, patut diduga mengalami serangan stroke. Keadaan seperti itu memerlukan penanganan darurat agar tidak mengakibatkan kematian dan kecacatan. Karena itu pasien harus segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk penanganan tindakan darurat bagi penderita stroke. Gejala awal serangan stroke terjadi mendadak (tiba-tiba), yang sering dijumpai adalah Seperti halnya TIA, pada stroke diperlukan anamnesis yang teliti tentang faktor risiko TIA/ stroke. 1. Faktor Risiko Kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi wajah, lengan, dan tungkai (hemiparesis, hemiplegi) 2. Gangguan sensorik pada salah satu sisi wajah, lengan, dan tungkai (hemihipestesi, hemianesthesi) 3. Gangguan bicara (disartria) 4. Gangguan berbahasa (afasia) 5. Gejala neurologik lainnya seperti jalan sempoyongan (ataksia), rasa berputar (vertigo), kesulitan menelan (disfagia), melihat ganda (diplopia), penyempitan lapang penglihatan (hemianopsia, kwadrananopsia) Catatan: Kebanyakan penderita stroke mengalami lebih dari satu macam gejala diatas. Pada beberapa penderita dapat pula dijumpai nyeri kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran, dan kejang pada saat terjadi serangan stroke. Beberapa faktor risiko yang dapat mempermudah terjadinya serangan stroke, misalnya usia tua, jenis kelamin (laki-laki), berat badan lahir rendah, faktor herediter (familial), ras (etnik), memang tidak bisa dihindari atau diubah (non modifiable risk factors). Sedangkan faktor risiko lainnya mungkin masih bisa dihindari, diobati atau diperbaiki (modifiable risk factors). Tabel 8.13 Faktor risiko stroke Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) 1. 2. 3. 4. 5. 6. dan Penunjang Pemeriksaan tanda vital: pernapasan, nadi, suhu, tekanan darah harus diukur kanan dan kiri Pemeriksaaan jantung paru Pemeriksaan bruitkarotis dan subklavia Pemeriksaan abdomen Pemeriksaan ekstremitas Pemeriksaan neurologis a. Kesadaran: tingkat kesadaran diukur dengan menggunakan Glassgow Coma Scale (GCS) b. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Laseque, Kernig, dan Brudzinski c. Saraf kranialis: terutama Nn. VII, XII, IX/X,dan saraf kranialis lainnya d. Motorik: kekuatan, tonus, refleks fisiologis, refleks patologis e. Sensorik f. Tanda serebelar: dismetria, disdiadokokinesia, ataksi, nistagmus g. Pemeriksaan fungsi luhur, terutama fungsi kognitif (bahasa, memori dll) h. Pada pasien dengan kesadaran menurun, perlu dilakukan pemeriksaan refleks batang otak: • Pola pernafasan: Cheyne-Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, apneustik, ataksia • Refleks cahaya (pupil) • Refleks kornea • Refleks muntah • Refleks okulo-sefalik (doll’s eyes phenomenon) 2. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis klinis Diagnosis awal ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Cara skoring ROSIER (Recognition of Stroke in Emergency Room) dapat digunakan pada stroke akut. Tabel 8.14 Skor ROSIER untuk stroke Klasifikasi Stroke dibedakan menjadi: 1. Pemeriksaan Penunjang: Pemeriksaan pendukung yang diperlukan dalam penatalaksanaan stroke akut di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut 1. Pemeriksaan standar: a. CT scan kepala (atau MRI) b. EKG (elektrokardiografi) c. Kadar gula darah d. Elektrolit serum e. Tes faal ginjal f. Darah lengkap g. Faal hemostasis Pemeriksaan lain (sesuai indikasi): a. Foto toraks b. Tes faal hati c. Saturasi oksigen, analisis gas darah d. Toksikologi e. Kadar alkohol dalam darah f. Pungsi lumbal (pada perdarahan subaraknoid) g. TCD (transcranial Doppler) h. EEG (elektro-ensefalografi. 2. Stroke hemoragik biasanya disertai dengan sakit kepala hebat, muntah, penurunan kesadaran, tekanan darah tinggi. Stroke iskemik biasanya tidak disertai dengan sakit kepala hebat, muntah, penurunan kesadaran dan tekanan darah tidak tinggi. Diagnosis Banding Membedakan stroke iskemik stroke hemoragik sangat penting penatalaksanaan pasien. dan untuk Intensitas sedang dapat didefinisikan Komplikasi Komplikasi stroke yang harus diwaspadai karena dapat mengakibatkan kematian dan kecacatan adalah komplikasi medis, antara lain komplikasi pada jantung, paru (pneumonia), perdarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, dekubitus, trombosis vena dalam, dan sepsis. Sedangkan komplikasi neurologis terutama adalah edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, serta transformasi perdarahan pada infark. Pada umumnya, angka kematian dan kecacatan semakin tinggi, jika pasien datang terlambat (melewati therapeutic window) dan tidak ditangani dengan cepat dan tepat di rumah sakit yang mempunyai fasilitas pelayanan stroke akut. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Pertolongan pertama pada pasien stroke akut. 1. Menilai jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi 2. Menjaga jalan nafas agar tetap adekuat 3. Memberikan oksigen bila diperlukan 4. Memposisikan badan dan kepala lebih tinggi (head-and-trunk up) 20-30 derajat 5. Memantau irama jantung 6. Memasang cairan infus salin normal atau ringer laktat (500 ml/12 jam) 7. Mengukur kadar gula darah (finger stick) 8. Memberikan Dekstrose 50% 25 gram intravena (bila hipoglikemia berat) 9. Menilai perkembangan gejala stroke selama perjalanan ke rumah sakit layanan sekunder 10. Menenangkan penderita Rencana Tindak Lanjut 1. Memodifikasi gaya hidup sehat a. Memberi nasehat untuk tidak merokok atau menghindari lingkungan perokok b. Menghentikan atau konsumsi alkohol c. mengurangi Mengurangi berat badan penderita stroke yang obes pada d. d. Melakukan aktivitas fisik sedang pada pasien stroke iskemik atau TIA. sebagai aktivitas fisik yang cukup berarti hingga berkeringat atau meningkatkan denyut jantung 1-3 kali perminggu. 2. Mengontrol faktor risiko a. Tekanan darah b. Gula darah pada pasien DM c. Kolesterol d. Trigliserida e. Jantung 3. Pada pasien stroke iskemik diberikan obatobat antiplatelet:asetosal, klopidogrel Konseling dan Edukasi 1. 2. 3. 4. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya agar tidak terjadi kekambuhan atau serangan stroke ulang Jika terjadi serangan stroke ulang, harus segera mendapat pertolongan segera Mengawasi agar pasien teratur minum obat. Membantu pasien menghindari faktor risiko. Tabel 8.15 Membedakan stroke iskemik dan stroke hemoragik Kriteria rujukan Referensi Semua pasien stroke setelah ditegakkan diagnosis secara klinis dan diberikan penanganan awal, segera mungkin harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf, terkait dengan angka kecacatan dan kematian yang tinggi. Dalam hal ini, perhatian terhadap therapeutic window untuk penatalaksanaan stroke akut sangat diutamakan. 1. Peralatan 1. 2. 3. 4. 2. 3. Alat pemeriksaan neurologis. Senter Infus set. Oksigen. Prognosis 4. Prognosis adalah dubia, tergantung luas dan letak lesi. Untuk stroke hemoragik sebagian besar dubia ad malam. Penanganan yg lambat berakibat angka kecacatan dan kematian tinggi. Misbach J dkk. Kelompok Studi Stroke. Guideline Stroke 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), Jakarta, 2011. (Misbach, 2011) Jauch EC et al. Guidelines for the Early Management of Patients with Acute Ischemic Stroke. A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 2013; 44:870-947.(Jauch, 2013) Morgenstern LB et al. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 2010;41:1-23. (Morgenstern, 2010) Furie K et al. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients With Stroke or Transient Ischemic Attack : A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 2011;42:227-276. (Furie, 2011) 10. BELLS’ PALSY No. ICPC-2: N91 Facial paralysis/Bells’ palsy No. ICD-10: G51.0 Bells’ palsy Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Bells’palsy adalah paralisis fasialis perifer idiopatik, yang merupakan penyebab tersering dari paralisis fasialis perifer unilateral. Bells’ palsy muncul mendadak (akut), unilateral, berupa paralisis saraf fasialis perifer, yang secara gradual dapat mengalami perbaikan pada 80-90% kasus. Bells’ palsy merupakan salah satu dari penyakit neurologis tersering yang melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75%) dari kasus paralisis fasialis unilateral akut di dunia. Bells’ palsy lebih sering ditemukan pada usia dewasa, orang dengan DM, dan wanita hamil. Peningkatan kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan reaktivasi herpes zoster dari ganglia nervus fasialis. Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui (idiopatik), dan diduga penyakit ini merupakan bentuk polineuritis dengan kemungkinan penyebabnya virus, inflamasi, auto imun dan faktor iskemik. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan keluhan: 1. 2. Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral, dengan onset akut (periode 48 jam) Nyeri auricular posterior atau otalgia, 3. 4. 5. ipsilateral Peningkatan produksi air mata (epifora), yang diikuti penurunan produksi air mata yang dapat mengakibatkan mata kering (dry eye), ipsilateral Hiperakusis ipsilateral Penurunan rasa pengecapan pada lidah, ipsilateral Gejala awal: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kelumpuhan otot otot fasialis unilateral, yang mengakibatkan hilangnya kerutan dahi ipsilateral, tidak mampu menutup mata ipsilateral, wajah merot/tertarik ke sisi kontralateral, bocor saat berkumur, tidak bisa bersiul. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%) Penurunan rasa pengecapan pada lidah, ipsilateral (30-50%) Hiperakusis ipsilateral (15-30%) Gangguan lakrimasi ipsilateral (60%) Gangguan sensorik wajah jarang ditemukan, kecuali jika inflamasi menyebar ke saraf trigeminal. Hasil Pemeriksaan Fisik sederhana (Objective) Faktor Risiko: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Paparan dingin (kehujanan, udara malam, AC) Infeksi, terutama virus (HSV tipe 1) Penyakit autoimun Diabetes mellitus Hipertensi Kehamilan penunjang Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan mulut harus dilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial. 1. 2. 3. Awitan (onset) Awitan Bells’ palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48 jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir dan mencemaskan pasien. Mereka sering berpikir terkena stroke atau tumor otak dapat yang mengakibatkan distorsi wajah permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat, pasien sering datang langsung ke IGD. Kebanyakan pasien menyatakan paresis terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kasus paresis mulai terjadi selama pasien tidur. dan 4. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) mengakibatkan kelemahan wajah (atas dan bawah) satu sisi (unilateral). Pada lesi UMN (lesi supra nuclear/di atas nukleus fasialis di pons), wajah bagian atas tidak mengalami kelumpuhan. Hal ini disebabkan muskuli orbikularis, frontalis dan korrugator, diinervasi bilateral oleh saraf kortikobulbaris. Inspeksi awal pasien memperlihatkan hilangnya lipatan (kerutan) dahi dan lipatan nasolabial unilateral. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan tampak kelumpuhan otot orbikularis oris unilateral, dan bibir akan tertarik ke sisi wajah yang normal (kontralateral). Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar. Pada fase awal, pasien juga dapat melaporkan adanya peningkatan salivasi. Jika paralisis hanya melibatkan wajah bagian bawah saja, maka harus dipikirkan penyebab sentral (supranuklear). Apalagi jika pasien mengeluh juga tentang adanya kelumpuhan anggota gerak (hemiparesis), gangguan keseimbangan (ataksia), nistagmus, diplopia, atau paresis saraf kranialis lainnya, kemungkinan besar BUKAN Bell’s palsy. Pada keadaan seperti itu harus dicurigai adanya lesi serebral, serebelar, atau batang otak, oleh karena berbagai sebab, antara lain vaskular (stroke), tumor, infeksi, trauma, dan sebagainya. Pada Bell’s palsy, progresifitas paresis masih mungkin terjadi, namun biasanya tidak memburuk setelah hari ke 7 sampai 10. Jika progresifitas masih berlanjut setelah hari ke 710, harus dicurigai diagnosis lain (bukan Bell’s palsy). Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi lebih lanjut, karena dapat disebabkan oleh Sindroma Guillain-Barre, penyakit Lyme, meningitis (terutama tuberkulosa), penyakit autoimun (multiple sclerosis, neurosarcoidosis) dan lain-lain. penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal pengecapan mengindikasikan penyembuhan komplit. Manifestasi Okular Laboratorium darah: Darah lengkap, gula darah sewaktu, tes faal ginjal (BUN/kreatinin serum) Komplikasi okular unilateral pada fase awal berupa: Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Diagnosis Klinis 2. 3. Lagoftalmus (ketidakmampuan untuk menutup mata secara total) Penurunan sekresi air mata Kedua hal diatas dapat mengakibatkan paparan kornea (corneal exposure), erosi kornea, infeksi dan ulserasi kornea Retraksi kelopak mata atas Pemeriksaan Penunjang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’ palsy adalah diagnosis eksklusi. Manifestasi okular lanjut Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan penyebab lain dari paralisis fasialis: 1. 1. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral 2. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan penyakit cerebellopontin angle (CPA). 4. 2. 3. 4. Ringan: kontraktur pada otot fasial, melebarnyacelah palpebral. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik. Sinkinesis otonom (air mata buaya, berupa menetesnya air mata saat mengunyah). Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena penurunan fungsi orbicularis okuli dalam membantu ekskresi air mata. Nyeri auricular posterior Separuh pasien dengan Bells’ palsy mengeluh nyeri auricular posterior. Nyeri sering terjadi simultan dengan paresis, tapi nyeri mendahului paresis 2-3 hari sekitar pada 25% pasien. Pasien perlu ditanya apakah ada riwayat trauma, yang dapat diperhitungkan menjadi penyebab nyeri dan paralisis fasial. Sepertiga pasien mengalami hiperakusis pada telinga ipsilateral paralisis, sebagai akibat kelumpuhan sekunder otot stapedius. Gangguan pengecapan Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan gangguan pengecapan, sekitar 80% pasien menunjukkan penurunan rasa pengecapan. Kemungkinan pasien gagal mengenal Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan motorik dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus dipikirkan (misalnya: stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle). Gejala tumor biasanya kronik progresif. Tumor CPA seringkali didahului gangguan pendengaran (saraf VIII), diikuti gangguan saraf VII, dan V, gangguan keseimbangan (serebelar). Pasien dengan paralisis progresif saraf VII lebih lama dari 3 minggu harus dievaluasi kemungkinan penyebab lain, misalnya neoplasma, penyakit autoimun, dan sebagainya. Klasifikasi Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann dgn skala I sampai VI. 1. 2. Grade I adalah fungsi fasial normal. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut: a. 3. 4. 5. 6. Kelemahan ringan saat dilakukan inspeksi secara detil. b. Sinkinesis ringan dapat terjadi. c. Simetris normal saat istirahat. d. Gerakan dahi sedikit sampai baik. e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha. f. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik: a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal. b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan. c. Simetris normal saat istirahat. d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat. e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha. f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai berikut: a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat. b. Simetris normal saat istirahat. c. Tidak terdapat gerakan dahi. d. Mata tidak menutup sempurna. e. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut: a. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan. b. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat. c. Tidak terdapat gerakan pada dahi. d. Mata menutup tidak sempurna. e. Gerakan mulut hanya sedikit. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu: a. Asimetris luas. b. Tidak ada gerakan otot otot wajah. Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade III dan IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil yang buruk. Grade VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain disebut sebagai inkomplit. Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis dan dapat disebut dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini seharusnya dicatat pada rekam medik pasien saat pertama kali datang memeriksakan diri. Diagnosis Banding Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, yaitu: 1. Stroke vertebrabasilaris (hemiparesis alternans) 2. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine angle 3. Otitis media akut atau kronik 4. Sindroma Ramsay Hunt (adanya lesi vesicular pada telinga atau bibir) 5. Amiloidosis 6. Aneurisma a. vertebralis, a. basilaris, atau a. Carotis 7. Sindroma autoimun 8. Botulismus 9. Karsinomatosis 10. Cholesteatoma telinga tengah 11. Malformasi congenital 12. Schwannoma n. Fasialis 13. Infeksi ganglion genikulatum 14. Penyebab lain, misalnya trauma kepala Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Prognosis pasien Bells’ palsy umumnya baik. Karena penyebabnya idiopatik, pengobatan Bell’s palsy masih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf fasialis) dan mencegah kerusakan saraf lebih lanjut. Pengobatan dipertimbangkan untuk mulai diberikan pada pasien dalam fase awal 1-4 hari onset. Hal penting yang perlu diperhatikan: 1. Pengobatan inisial a. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari, diikutipenurunan bertahap total selama 10 hari. 2. 3. 4. b. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk pengobatan Bells’ palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011). c. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN,2012). d. Apabila tidak ada gangguan gungsi ginjal, antiviral e. (Asiklovir)dapat diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 7-10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari. Lindungi mata Perawatan mata: lubrikasi okular topikal dengan air mata artificial (tetes air mata buatan) dapat mencegah corneal exposure. (lihat bagian pembahasan dry eye) Fisioterapi atau akupunktur dapat dilakukan setelah melewati fase akut (+/- 2 minggu). Rencana Tindak Lanjut Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis untuk memantau perbaikan setelah pengobatan. Kriteria Rujukan 1. 2. 3. Bila dicurigai kelainan lain (lihat diagnosis banding) Tidak menunjukkan perbaikan Terjadi kekambuhan atau komplikasi Peralatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Stetoskop (loudness balance test) untuk mengetahui hiperakusis Palu reflex Tes pengecapan Tes lakrimasi (tes Schirmer) Kapas Obat steroid Obat antiviral Prognosis Prognosis pada umumnya baik, kondisi terkendali dengan pengobatan pemeliharaan. Kesembuhan terjadi dalam waktu 3 minggu pada 85% pasien. Dapat meninggalkan gejala sisa (sekuale) berupa kelemahan fasial unilateral atau kontralateral, sinkinesis, spasme hemifasialis, dan terkadang terjadi rekurensi, sehingga perlu evaluasi dan rujukan lebih lanjut. Referensi 1. 2. 3. 4. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1754-1757. (Rucker, 2012) Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy. In Brust JCM (Ed).Current Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, NewYork, 2007:286-288. (Gooch & Fatimi, 2007) Taylor, D.C. Keegan, M. Bells’ Palsy Medication. Medscape. Medscape: Empiric Therapy Regimens. 11. STATUS EPILEPTIKUS No. ICPC II No. ICD X : N88 Epilepsy : G41.9 Status epilepticus, unspecified Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Status epileptikus adalah bangkitan yang terjadi lebih dari 30 menit atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitanbangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. Status epileptikus merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30 menit). Diagnosis pasti status epileptikus bila pemberian benzodiazepin awal tidak efektif dalam menghentikan bangkitan. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan kejang, keluarga pasien perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit epilepsi dan pernah mendapatkan obat antiepilepsi serta penghentian obat secara tibatiba. Riwayat penyakit tidak menular sebelumnya juga perlu ditanyakan, seperti Diabetes Melitus, stroke, dan hipertensi. Riwayat gangguan imunitas misalnya HIV yang disertai infeksi oportunistik dan data tentang bentuk dan pola kejang juga perlu ditanyakan secara mendetil. Faktor Risiko: Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan dapat ditemukan adanya kejang atau gangguan perilaku, penurunan kesadaran, sianosis, diikuti oleh takikardi dan peningkatan tekanan darah, dan sering diikuti hiperpireksia. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: pemeriksaanguladarahsewaktu. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis Status Epileptikus (SE) ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Pseudoseizure Komplikasi Asidosis metabolik, aspirasi, trauma kepala Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Pasien dengan status epilektikus, harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf. Pengelolaan SE sebelumsampaifasilitas pelayanan kesehatan sekunder. 1. 2. Stadium I (0-10 menit) a. Memperbaiki fungsi kardiorespirasi b. Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi bila perlu c. Pemberian benzodiazepin rektal 10 mg Stadium II (1-60 menit) a. Pemeriksaan status neurologis b. Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu c. Pemeriksaan EKG (bila tersedia) c. Memasang infus pada pembuluh darah besar dengan NaCl 0,9 %. Rencana Tindak Lanjut Melakukan koordinasi dengan PPK II dalam hal pemantauan obat dan bangkitan pada pasien. Konseling dan Edukasi Memberikan informasi penyakit kepada individu dan keluarganya, tentang: 1. 2. 3. 4. Penyakit dan tujuan merujuk Pencegahan komplikasi terutama aspirasi Pencegahan kekambuhan dengan meminum OAE secara teratur dan tidak menghentikannya secara tiba-tiba Menghindari aktifitas dan tempat-tempat berbahaya Kriteria Rujukan Mengatasi serangan Mencegah komplikasi Mengetahui etiologi Pengaturan obat Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk quo ad vitam dan fungsionam, namun dubia ad malam untuk quo ad sanationam. Referensi 2. 3. Peralatan 1. 2. 3. Oksigen Kain kasa Infus set 12. DELIRIUM No. ICPC II No. ICD X Spatel lidah Alat pengukur gula darah sederhana Prognosis 1. Semua pasien dengan status epileptikus setelah ditegakkan diagnosis dan telah mendapatkan penanganan awal segera dirujuk untuk: 1. 2. 3. 4. 4. 5. 4. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok Studi Epilepsi, 2012) Darto Saharso. Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya. Appleton, P.R. Choonara, I. Marland, T. Phillips, B. Scott, R. Whitehouse, W. The treatment of convulsive status epilepticus in children.; 83:415-19.Arch Dis Child. 2000. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus 48:683-94. Pediatric Clin North America. 2001 : P71 Organic psychosis other : F05.9 Delirium, unspecified Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan Delirium adalah gangguan kesadaran yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian. 5. 6. Gangguan siklus bangun tidur Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu yang pendek dan cenderung berfluktuasi dalam sehari Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil yang dapat diperoleh pada autoanamnesis, yaitu: Keluhan 1. Pasien datang dengan penurunan kesadaran, ditandai dengan: 2. 1. 2. 3. 4. Alloanamnesis, yaitu adanya gangguan medik lain yang mendahului terjadinya gejala delirium, misalnya gangguan medik umum, atau penyalahgunaan zat. Berkurangnya atensi Gangguan psikomotor Gangguan emosi Arus dan isi pikir yang kacau Pasien tidak mampu menjawab pertanyaan dokter sesuai dengan apa yang diharapkan, ditanyakan. Adanya perilaku yang tidak terkendali. Faktor Risiko Adanya gangguan medik umum, seperti: 1. 2. 3. Penyakit SSP (trauma kepala, tumor, pendarahan, TIA) Penyakit sistemik, seperti: infeksi, gangguan metabolik, penyakit jantung, COPD, gangguan ginjal, gangguan hepar Penyalahgunaan zat Kriteria Diagnosis untuk delirium dalam DSMIV- TR (Diagnosis and Statistical Manual for Mental Disorder – IV – Text Revised), adalah: 1. 2. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik generalis terutama sesuai penyakit utama. 3. Pemeriksaan penunjang Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pemeriksaan yang dilakukan untuk delirium, adalah: 1. 2. Mini-mental State Examination (MMSE). Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk mencari Diagnosis penyakit utama, yaitu: 4. Gangguan kesadaran disertai dengan menurunnya kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, dan mengubah perhatian; Gangguan Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak berkaitan dengan demensia sebelumnya, yang sedang berjalan atau memberat; Perkembangan dari gangguan selama periode waktu yang singkat (umumnya jam sampai hari) dan kecenderungan untuk berfluktuasi dalam perjalanan hariannya; Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik atau temuan laboratorium, bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh: (a) kondisi medis umum, (b) intoksikasi, efek samping, putus obat dari suatu substansi. Diagnosis Banding Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, gula darah, elektrolit (terutama natrium), SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, urinalisis, analisis gas darah, foto toraks, elektrokardiografi, dan CT Scan kepala, jika diperlukan. Demensia, neurologis. Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. 2. 3. Diagnosis Klinis Diagnosis klinis ditegakkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. berdasarkan Gambar 8.1 Confusion Assessment Method (Algoritma) psikosis fungsional, kelainan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Tujuan Terapi Mencari dan mengobati penyebab delirium Memastikan keamanan pasien Mengobati gangguan perilaku terkait delirium, misalnya agitasi psikomotor Penatalaksanaan 1. Kondisi pasien harus dijaga agar terhindar dari risiko kecelakaan selama perawatan. 2. Apabila pasien telah memperoleh pengobatan, sebaiknya tidak menambahkan obat pada terapi yang sedang dijalanin oleh pasien. 3. Bila belum mendapatkan pengobatan, pasien dapat diberikan obat anti psikotik. Obat ini diberikan apabila ditemukan gejala psikosis dan atau agitasi, yaitu: Haloperidol injeksi 2-5 mg IntraMuskular (IM)/ IntraVena (IV). Injeksi dapat diulang setiap 30 menit, dengan dosis maksimal 20 mg/hari. 3. Konseling dan Edukasi Memberikan informasi terhadap keluarga/ care giver agar mereka dapat memahami tentang delirium dan terapinya. 4. Kriteria Rujukan Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan rujukan sekunder untuk memperbaiki penyakit utamanya. 5. 6. Peralatan Prognosis Prognosis delirium dapat diprediksi berdasarkan dari penyakit yang mendasarinya. 7. Referensi 8. 1. 9. 2. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder. Text Revision 4th Ed. Washington DC: APA. 2000. CH Soejono. Sindrom Delirium (Acute Confusional State). Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Interna Publishing.2009. Inouye, S.K. van Dyck, C.H. Alessi, C.A. et al. Clarifying confusion: the confusion Assessment method;113:941-8: a new method for detection of delirium.Ann Intern Med. 1990 Josephson, S.A. Miller, B.L. Confusion and delirium. Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill. 2008. Kane, R.L. Ouslander, J.G. Abrass, I.B. Resnick, B. Essentials of Clinical Geriatrics. 6th Ed. McGraw-Hill Co. 2009. Amir, N. Pamusu, D. dkk. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) Jiwa/Pskiatri. Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). 2012. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik: Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta. 2008. DEPKES RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di Puskesmas. 2004. Dinkes Provinsi Jabar. Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit berdasarkan kewenangan tingkat Pelayanan Kesehatan. 2012 13. KEJANG DEMAM No. ICPC-2: N07 Convulsion/Seizure No. ICD-10: R56.0 Febrile convulsions Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective) Kejang Demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal > 38o C) akibat dari suatu proses ekstra kranial. Kejang berhubungan dengan demam, tetapi tidak disebabkan infeksi intrakranial atau penyebab lain seperti trauma kepala, gangguan kesimbangan elektrolit, hipoksia atau hipoglikemia. Keluhan Keluhan utama adalah kejang. Anamnesis dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang. Perlu deskripsi kejang seperti tipe kejang, lama, frekuensi dan kesadaran pasca kejang. kemudian mencari kemungkinan adanya faktor pencetus atau penyebab kejang. Umumnya kejang demam terjadi pada anak dan berlangsung pada permulaan demam akut. Sebagian besar berupa serangan kejang klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post iktal. meliputi kepala, ubun-ubun besar, tanda rangsang meningeal, pupil, saraf kranial, motrik, tonus otot, refleks fisiologis dan patologis. Penting untuk ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang. Riwayat kejang demam dalam keluarga juga perlu ditanyakan. Pemeriksaan penunjang Faktor Risiko 1. Demam a. Demam yang berperan pada KD, akibat: • Infeksi saluran pernafasan • Infeksi saluran pencernaan • Infeksi THT • Infeksi saluran kencing • Roseola infantum/infeksi virus akut lain. • Paska imunisasi b. Derajat demam: • 75% dari anak dengan demam ≥ 390C • 25% dari anak dengan demam > 400C 2. Usia a. Umumnya terjadi pada usia 6 bulan– 6tahun b. Puncak tertinggi pada usia 17–23 bulan c. Kejang demam sebelum usia 5–6 bulan mungkin disebabkan oleh infeksi SSP d. Kejang demam diatas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan febrile seizure plus (FS+). 3. Gen a. Risiko meningkat 2–3x bila saudara sekandung mengalami kejang demam b. Risiko meningkat 5% bila orang tua mengalami kejang demam Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda vital dan kesadaran. Pada kejang demam tidak ditemukan penurunan kesadaran. Pemeriksaan umum ditujukan untuk mencari tanda-tanda infeksi penyebab demam. Pemeriksaan neurologi Pemeriksaan penunjang lebih ditujukan untuk mencari penyebab demam. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan : 1. 2. Pemeriksaan hematologi rutin dan urin rutin Pemeriksaan lain atas indikasi : glukosa, elektrolit, pungsi lumbal. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi kejang demam terbagi menjadi 2, yaitu: 1. 2. Kejang demam sederhana a. Kejang umum tonik, klonik atau tonikklonik. b. Durasi < 15 menit c. Kejang tidak berulang dalam 24 jam. Kejang demam kompleks a. Kejang fokal atau fokal menjadi umum. b. Durasi > 15 menit c. Kejang berulang dalam 24 jam. Diagnosis Banding 1. 2. 3. Meningitis Epilepsi Gangguan metabolik, seperti: gangguan elektrolit. Komplikasi dan prognosis Kejang demam suatu kondis yang jinak/benign, tidak menyebabkan kematian. Sebagian besar akan menghilang pada usia 5-6 tahun. Faktor risiko epilepsi di kemudian hari tergantung dari: (1) kejang demam kompleks, (2) riwayat epilepsi dalam keluarga, (3) terdapat defisit neurologis. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Keluarga pasien diberikan informasi selengkapnya mengenai kejang demam dan prognosisnya. 2. Farmakoterapi ditujukan untuk tatalaksana kejang akut dan tatalaksana profilaksis untuk mencegah kejang berulang. 3. Pemberian farmakoterapi untuk mengatasi kejang akut adalah dengan: a. Diazepam per rektal (0,5mg/kgBB) atau BB < 10 kg diazepam rektal 5 mg , BB > 10 kg diazepam rektal 10 mg, atau lorazepam (0,1 mg/kg) harus segera diberikan jika akses intravena tidak dapat diperoleh dengan mudah. Jika akses intravena telah diperoleh diazepam lebih baik diberikan intravena dibandingkan rektal. Dosis pemberian IV 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan maksimum pemberian 20 mg. Jika kejang belum berhenti diazepam rektal/IV dapat diberikan 2 kali dengan interval 5 menit. Lorazepam intravena, setara efektivitasnya dengan diazepam intravena dengan efek samping yang lebih minimal (termasuk depresi pernapasan) dalam pengobatan kejang akut. b. Jika dengan 2 kali pemberian diazepam rektal/intravena masih terdapat kejang dapat diberikan fenitoin IV dengan dosis inisial 20 mg/kgBB, diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan pengenceran 10 mg fenitoin dalam 1 ml NaCl 0,9%, dengan kecepatan pemberian 1mg/kgBB/menit, maksimum 50 mg/menit, dosis inisial maksimum adalah 1000 mg. Jika dengan fenitoin masih terdapat kejang, dapat diberikan fenobarbital IV dengan dosis inisial 20 mg/kgBB, tanpa pengenceran dengan kecepatan pemberian 20 mg/menit. Jika kejang berhenti dengan fenitoin maka lanjutkan dengan pemberian rumatan 12 jam kemudian dengan dosis 5-7 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Jika kejang berhenti dengan fenobarbital, maka lanjutkan dengan pemberian rumatan 12 jam kemudian denagn dosis 4-6 mg/kgBB/ hari dalam 2 dosis. 4. Pemberian farmakoterapi untuk profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang di kemudian hari. a. Profilaksis intermiten dengan diazepam oral/rektal, dosis 0,3 mg/kgBB/kali tiap 8 jam, hanya diberikan selama episode demam, terutama dalam waktu 24 jam setelah timbulnya demam. b. Profilaksis kontinyu dengan fenobarbital dosis 4-6 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis atau asam valproat dengan dosis 15-40 mg/ kgBB/hari dibagi 2-3 dosis. Profilaksis hanya diberikan pada kasus-kasus tertentu seperti kejang demam dengan status epileptikus, terdapat defisit neurologis yang nyata seperti cerebral palsy. Profilaksis diberikan selama 1 tahun. Tabel 8.16 Farmakoterapi untuk mengatasi kejang Indikasi EEG Tidak terdapat indikasi pemeriksaan EEG pada kejang demam, kecuali jika ditemukan keraguraguan apakah ada demam sebelum kejang. Indikasi pencitraan (CT-scan/MRI kepala) Pemeriksaan pencitraan hanya dilakukan jika terdapat kejang demam yang bersifat fokal atau ditemukan defisit neurologi pada pemeriksaan fisik. Konseling dan Edukasi Konseling dan edukasi dilakukan untuk membantu pihak keluarga mengatasi pengalaman menegangkan akibat kejang demam dengan memberikan informasi mengenai: 1. Prognosis dari kejang demam. 2. 3. 4. 5. Tidak ada peningkatan risiko keterlambatan sekolah atau kesulitan intelektual akibat kejang demam. 3. Kejang demam kurang dari 30 menit tidak mengakibatkan kerusakan otak. Risiko kekambuhan penyakit yang sama di masa depan. Rendahnya risiko terkena epilepsi dan tidak adanya manfaat menggunakan terapi obat antiepilepsi dalam mengubah risiko itu. Referensi 1. 2. 3. Kriteria Rujukan 1. 2. Apabila kejang tidak membaik setelah diberikan obat antikonvulsan sampai lini ketiga (fenobarbital). Jika diperlukan pemeriksaan penunjang seperti EEG dan pencitraan (lihat indikasi EEG dan pencitraan). 4. 5. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s Children’s Hospital Pediatric Drug Dosage Guidelines. 5th edition. Vancouver. Department of Pharmacy Children’s and Women’s Health Centre of British Columbia. (Esau, 2006) Guidelines and protocol febrile seizures. September, 2010. Lau, E. et al. 2007. Drug Handbook and Formulary 2007-2008. Toronto. The Department of Pharmacy, The Hospital for Sick Children. (Lau, 2008) McEvoy, GK. et al. 2009. AHFS Drug Information 2009. Bethesda. American Society of Health-System Pharmacists, Inc. (McEvoy,2009) Konsensus kejang demam. UKK Neurologi IDAI. 2006 (UKK Neurologi IDAI, 2006) Peralatan Tabung oksigen dan kelengkapannya, infus set, diazepam rektal/intravena, lorazepam, fenitoin IV, fenobarbital IV, NaCl 0,9%. 14. TETANUS NEONATORUM No. ICPC-2: N72 Tetanus No. ICD -10: A33 Tetanus Neonatorum Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective) Secara global hampir 14% penyebab kematian neonatus adalah tetanus neonatorum. Tetanus neonatorum bertanggung jawab terhadap 50% kematian neonatus yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan imunisasi dan atau pelayanan persalinan dan pasca persalinan yang bersih. Beberapa penelitian komunitas di awal tahun 1970 dan 1980 di Negara Amerika Latin dan beberapa Negara berkembang menunjukkan kematian neonatal antara 28 hari tiap 8 jam Faktor Risiko : • UG > 37 minggu Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang - < 7 hari tiap 12 jam Sederhana (Objective) - > 7 hari tiap 8 jam e. Metronidazole loading dose 15mg/ Pemeriksaan Fisik kg/dosis, selanjutnya 7,5mg/kg/dosis, atau 1. Kesadaran intak f. Interval 2. Trismus • Usia < 28 hari tiap 12 jam 3. Kekakuan otot leher, punggung, perut • Usia > 28 hari tiap 8 jam 4. Mulut mencucu seperti mulut ikan g. Pemberian dosis rumatan 5. Kejang • UG < 37 minggu 24 jam setelah loading Pemeriksaan Penunjang dose • UG > 37 minggu 12 jam setelah loading Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dose spesifik untuk tetanus neonatorum. Diagnosis h. Eritromisin 15-25 mg/kg/dosis tiap 8 jam utamanya ditegakkan dengan adanya gejala Bila ada sepsis/pneumonia dapat klinis seperti trismus, disfagia, kekakuan otot ditambahkan sefotaksim 50 mg/kg/dosis (muscular rigidity). • UG < 30 minggu Penegakan Diagnostik (Assessment) - 28 hari tiap 8 jam Diagnosis Klinis • UG > 30 minggu 2. < 14 hari tiap 12 jam Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, > 14 hari tiap 8 jam pemeriksaan fisik dan penunjang. 3. Netralisasi toksin Diagnosis Banding a. ATS 50.000 – 100.000 IU, setengah dosis IM, setengahnya IV, dilakukan uji kulit Semua penyebab kejang neonatus seperti lebih dahulu. Kongenital (cerebral anomalies), perinatal b. Bila tersedia dapat diberikan HTIG 3000(komplikasi persalinan, trauma perinatal & 6000 IU IM atau perdarahan intracranial) dan postnatal 4. Memberikan pelemas otot untuk mengatasi (Intervensi & gangguan metabolik) spasme otot Komplikasi Diazepam 20-40 mg/kgBB/hari, drip, dilarutkan dalam larutan dekstrose 5% Fraktur, dislokasi mandibular, hipoksia dan menggunakan syringe pump. Obat dibagi pneumonia aspirasi, Long bone fractures menjadi empat sediaan untuk menghindari efek pengendapan obat diazepam. Hati-hati terjadi henti napas dalam pemberiannya. Bila diazepam telah mencapai dosis maksimal tetapi spasme tetap tidak teratasi dianjurkan pemberian pelumpuh otot pankuronium 0,05-0,1 mg/kgBB/kali dan penggunaan ventilator mekanik. 5. Terapi suportif a. Pemberian oksigen b. Pembersihan jalan nafas c. Keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori 6. Imunisasi Diberikan imunisasi Tetanus Toksoid sesuai dengan jadwal imunisasi diberikan pada saat penderita pulang. Kriteria Rujukan : Peralatan Prognosis 1. 2. 3. 2. Imunisasi aktif wanita hamil dengan 2 dosis Tetanus Toksoid 0,5 ml dengan jarak penyuntikan 2 bulan dapat mencegah terjadinya penyakit tetanus neonatroum. : dubia : dubia : dubia Referensi 1. Konseling dan Edukasi : 1. Pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan menjaga proses persalinan tetap aseptic termasuk pada saat pemotongan tali pusat. Ad Vitam Ad Functionam Ad Sanationam 2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2004. Tetanus dalam Standar Pelayanan Medis Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD. Denpasar. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Udayana, 2004) Wibowo, T. Tetanus Neonatorum dalam Buletin Jendela Data dan Informasi. 2012. Volume 1. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI. (Wibowo, 2012) I. PSIKIATRI 1. GANGGUAN SOMATOFORM No ICPC-2 No ICD-10 : P75. Somatization disorder : F45 Somatoform disorders Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Gangguan somatoform merupakan suatu kelompok kelainan psikiatrik yang manifestasinya dapat berupa berbagai gejala fisik yang dirasakan signifikan oleh pasien namun tidak ditemukan penyebabnya secara medis. Tidak ada data yang pasti mengenai prevalensi gangguan ini di Indonesia. Satu penelitian di Jakarta mendapatkan prevalensi gangguan jiwa yang terdeteksi di Puskesmas sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis gangguan yang tersering adalah neurosis, yaitu sebesar 25,8%, dan di dalamnya termasuk psikosomatik. Walaupun tidak ada kondisi medis yang serius, gejala- gejala yang dirasakan oleh pasien dengan gangguan somatoform sangat mengganggu dan berpotensi menimbulkan distres emosional. Peran dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama pada kasus gangguan somatoform sangat penting. Keberhasilan dokter dalam mengeksklusi kelainan medis, mendiagnosis gangguan somatoform dengan tepat, dan menatalaksana akan sangat membantu meningkatkan kualitas hidup pasien, mengurangi rujukan yang tidak perlu, dan menghindarkan pasien dari pemeriksaan medis yang berlebihan atau merugikan. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien biasanya datang dengan keluhan fisik tertentu. Dokter harus mempertimbangkan diagnosis gangguan somatoform bila terdapat beberapa karakteristik berikut ini: 1. 2. Keluhan atau gejala fisik berulang, Dapat disertai dengan permintaan 3. 4. 5. 6. pemeriksaan medis, Hasil pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya kelainan yang dapat menjelaskan keluhan tesebut, Onset dan kelanjutan dari keluhan berhubungan erat dengan peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau konflik- konflik, Pasien biasanya menolak upaya untuk membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis, Dapat terlihat perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang tidak puas karena tidak berhasil membujuk dokter menerima persepsinya bahwa keluhan yang dialami merupakan penyakit fisik dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Selain untuk menegakkan diagnosis, anamnesis dilakukan untuk menggali pemahaman dan persepsi pasien mengenai kondisi yang dialaminya. Seringkali tujuan ini baru dapat dicapai setelah beberapa kali pertemuan. Dokter harus mengklarifikasi keluhan-keluhan pasien hingga dicapai kesamaan persepsi. Selain itu, perlu pula digali harapan dan keinginan pasien, keyakinan dan ketakutan yang mungkin pasien miliki, serta stresor psikososial yang mungkin dialami dan menjadi penyebab gangguan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Tidak ada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang spesifik yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis gangguan somatoform. Pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan untuk mengeksklusi kelainan organik yang dianggap relevan dengan keluhan pasien. Pemeriksaan penunjang yang terlalu berlebihan perlu dihindari agar tidak menambah kekhawatiran pasien. dahulu memastikan ada tidaknya tandatanda gangguan ansietas (F40-F41), obsesif kompulsif (F42), reaksi stres dan gangguan penyesuaian (F43), dan gangguan disosiatif atau konversi (F44). Gangguan somatoform tidak dapat ditegakkan bila gejala dan tanda pada pasien memenuhi kriteria diagnostik gangguan di hirarki yang lebih tinggi. Penegakan Diagnosis (Assessment) Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama harus memikirkan diagnosis gangguan somatoform bila pada pasien terdapat keluhan dengan karakteristik sebagaimana yang telah dijelaskan pada halaman sebelumnya (lihat poin Hasil Anamnesis (Subjective)). Dalam praktik sehari-hari, dokter dapat menggunakan kuesioner khusus sebagai alat bantu skrining gangguan somatoform. Salah satu contohnya adalah Patient Health Questionnaire 15 (PHQ15). Berikut ini adalah langkah- langkah pendekatan terhadap keluhan fisik pasien hingga dokter sampai pada kesimpulan diagnosis gangguan somatoform: 1. Mengeksklusi kelainan organik Keluhan dan gejala fisik yang dialami oleh pasien perlu ditindaklanjuti sesuai dengan panduan tatalaksana medis terkait, dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang relevan. 2. Mengeksklusi gangguan-gangguan psikiatri yang tergolong dalam kelompok dan blok yang hirarkinya lebih tinggi. Penegakkan diagnosis gangguan psikiatrik dilakukan secara hirarkis. Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, gangguan somatoform memiliki kode F45 dan merupakan blok penyakit yang termasuk dalam kelompok F40-F48, yaitu gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan yang berkaitan dengan stres. Dengan demikian, pada kasus gangguan somatoform, dokter perlu mengeksklusi gangguan mental organik (F00-F09), gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (F10-F19), skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham (F20-F29), serta gangguan suasana perasaan atau mood atau afektif (F30-F39). Pada blok F40F48 sendiri, dokter perlu terlebih 3. Mengeksklusi kondisi factitious disorder dan malingering Pada kondisi factitious disorder, pasien mengadopsi keluhan- keluhan fisik, tanpa ia sadari, sebagai upaya memperoleh keuntungan internal, misalnya: untuk mendapat perhatian lebih dari orang-orang tertentu di sekitarnya. Berbeda halnya dengan kondisi malingering, di mana pasien sengaja atau berpura-pura sakit untuk memperoleh keuntungan eksternal, misalnya: agar terhindar dari tanggung jawab atau kondisi tertentu, atau untuk memperoleh kompensasi uang tertentu). Pada gangguan somatoform, tidak ada keuntungan yang coba didapat oleh pasien. Keluhan-keluhan yang disampaikan juga bukan sesuatu yang disengaja, malahan adanya keluhan-keluhan tersebut dipicu, dipertahankan, dan diperparah oleh kekhawatiran dan ketakutan tertentu (Oyama et al. 2007). 4. Menggolongkan ke dalam jenis gangguan somatoform yang spesifik Blok gangguan somatoform terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g. F45.0. Gangguan somatisasi F45.1. Gangguan somatoform tak terinci F45.2. Gangguan hipokondrik F45.3. Disfungsi otonomik somatoform F45.4. Gangguan nyeri somatoform menetap F45.5. Gangguan somatoform lainnya F45.6. Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (YTT) Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Tujuan dari tatalaksana gangguan somatoform adalah mengelola gejala dan bukan menyembuhkan, karena pada dasarnya tidak ada kelainan medis yang dialami oleh pasien. Berikut ini adalah prinsip- prinsip dasar pengelolaan pasien dengan gangguan somatoform: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Dokter harus menerima bahwa pasien memang betul-betul merasakan gejala pada tubuhnya dan memahami bahwa gejala- gejala tersebut mengganggu pasien. Dokter perlu melatih diri untuk tidak terlalu prematur menganggap pasien berpura-pura (malingering) tanpa didukung bukti yang kuat. Kunci utama tatalaksana gangguan somatoform adalah membangun kemitraan dengan dan kepercayaan dari pasien. Bila terdapat kecurigaan adanya gangguan somatoform, dokter perlu mendiskusikan kemungkinan ini sedini mungkin dengan pasien. Bila diagnosis gangguan somatoform sudah ditegakkan, dokter perlu mendiskusikannya dengan pasien. Dokter perlu mengedukasi pasien mengenai gangguan yang dialaminya dengan berempati dan menghindari konfrontasi Dokter harus menunjukkan kesungguhan untuk membantu pasien sebaik-baiknya, tanpa memaksa pasien untuk menerima pendapat dokter. Pemeriksaan medis dan rujukan ke layanan sekunder yang tidak perlu harus dihindari. Bila ada gejala baru, dokter perlu berhatihati dalam menganjurkan pemeriksaan atau rujukan. Dokter harus memfokuskan penatalaksanaan pada fungsi pasien sehari-hari, bukan gejala, serta pada pengelolaan gejala, bukan penyembuhan. Dokter perlu menekankan modifikasi gaya hidup dan reduksi stres. Keluarga pasien dapat dilibatkan dalam tatalaksana bila memungkinkan dan diperlukan. Pasien mungkin perlu dibantu untuk 7. 8. 9. mengindentifikasi serta mengelola stres secara efektif, misalnya dengan relaksasi, breathing control. Peningkatan aktifitas fisik dapat disarankan untuk mengurangi fatigue dan nyeri muskuloskeletal Bila gangguan somatoform merupakan bagian dari kelainan psikiatrik lain, dokter harus mengintervensi dengan tepat. Dokter perlu menjadwalkan pertemuan yang reguler sebagai follow-up. Pertemuan dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap bulan selama 5-10 menit, terutama untuk memberi dukungan dan reassurance. Dokter perlu membatasi dan menghindari konsultasi via telepon atau kunjungankunjungan yang bersifat mendesak. Dokter perlu berkolaborasi dengan psikiater bila diperlukan, misalnya saat penegakan diagnosis yang sulit, menentukan adanya komorbid psikiatrik lain, atau terkait pengobatan. Non-medikamentosa Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan salah satu tatalaksana yang efektif untuk mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT, dokter memposisikan diri sebagai mitra yang membantu pasien. Tahap awal dari CBT adalah mengkaji masalah pasien dengan tepat dan membantu pasien mengidentifikasi hal-hal yang selama ini menimbulkan atau memperparah gejala fisik yang dialami, misalnya distorsi kognitif, keyakinan yang tidak realistis, kekhawatiran, atau perilaku tertentu. Tahap selanjutnya adalah membantu pasien mengidentifikasi dan mencoba alternatif perilaku yang dapat mengurangi atau mencegah timbulnya gejala-gejala fisik, yang dikenal sebagai behavioral experiments. Medikamentosa Penggunaan obat harus berdasarkan indikasi yang jelas. Hanya sedikit studi yang menunjukkan efektifitas yang signifikan dari penggunaan obat-obat untuk tatalaksana gangguan somatoform. Antidepresan dapat diberikan bila terdapat gejala-gejala depresi atau ansietas yang mengganggu. Prognosis 1. 2. 3. Ad vitam Ad functionam Ad sanationam : Bonam : Dubia : Dubia Sebagian pasien tidak menunjukkan respon positif atas tatalaksana yang dilakukan dan gangguan somatoform terus berlanjut bahkan hingga seumur hidup. Kondisi ini diperkirakan terjadi pada 0,2-0,5% anggota populasi. Diagnosis dan tatalaksana dini dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi hambatan pada fungsi sosial dan okupasi sehari- hari. Peralatan Untuk keperluan skrining, dapat disediakan lembar PHQ-15 di ruang praktik dokter. Selain itu, tidak ada peralatan khusus yang diperlukan terkait diagnosis dan tatalaksana gangguan somatoform. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993. F45 Gangguan Somatoform. In Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pp. 209–221. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform and Dissociative Disorders: Assessment and Treatment Advance in Psychiatric Treatment,3(1), pp.9–16 Available at:http://apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/ apt.3.1.9 [Accessed May26, 2014]. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode Dua Menit ( M2M ) dalam Menentukan Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia, 60(10), pp.448–453. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007. Somatoform Disorders. American Family Physician, 76, pp.1333–1338. Available at: www.aafp.org/afp. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ15). Patient Health Questionnaire (PHQ) 6. Screeners. Available at: http:// www.phqscreeners.com/pdfs/04_PHQ-15/ English.pdf [Accessed May 24, 2014]. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting Somatoform Disorders in Primary Care with the PHQ-15. Annals of Family Medicine, 7, pp.232–238. Available at: http://www. annfammed.org/content/7/3/232.full. pdf+html. 2. DEMENSIA No. ICPC-2 No. ICD-10 : P70 Dementia : F03 Unspecified dementia Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan Demensia merupakan sindrom akibat penyakit otak yang bersifat kronik progresif, ditandai dengan kemunduran fungsi kognitif multiple, termasuk dayaingat (memori), daya pikir, daya tangkap (komprehensi), kemampuan belajar, orientasi, kalkulasi, visuospasial, bahasa dan daya nilai. Gangguan kognitif biasanya diikuti dengan deteriorasi dalam kontrolemosi, hubungan sosial dan motivasi. Pada umumnya terjadi pada usia lanjut, ditemukan pada penyakit Alzhaimer, penyakit serebrovaskular, dan kondisi lain yang secara primer dan sekunder mempengaruhi otak. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Keluhan utama adalah gangguan daya ingat, mudah lupa terhadap kejadian yang baru dialami, dan kesulitan mempelajari informasi baru. Diawali dengan sering lupa terhadap kegiatan rutin, lupa terhadap benda-benda kecil, pada akhirnya lupa mengingat nama sendiri atau keluarga. Faktor Risiko Usia> 60 tahun (usialanjut). Riwayat keluarga. Adanya penyakit Alzheimer, serebrovaskular (hipertensi, penyakit jantung), atau diabetes mellitus. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. 2. Kesadaran sensorium baik. Penurunan daya ingat yang bersifat kronik dan progresif. 3. Gangguan fungsi otak terutama berupa gangguan fungsi memori dan bahasa, seperti afasia, aphrasia, serta adanya kemunduran fungsi kognitif eksekutif. Dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya gangguan neurologik atau penyakit sistemik Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium dilakukan jika ada kecurigaan adanya kondisi medis yang menimbulkan dan memper berat gejala. Dapat dilakukan Mini Mental State Examination (MMSE). Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Pemeriksaan dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kriteria Diagnosis 1. 2. 3. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu kegiatan harian seseorang Tidak ada gangguan kesadaran Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit enam bulan Klasifikasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Demensia pada penyakit Alzheimer Demensia Vaskular (Demensia multiinfark) Demensia pada penyakit Pick (Sapi Gila) Demensia pada penyakit Creufield-Jacob Demensia pada penyakit Huntington Demensia pada penyakit Parkinson Demensia pada penyakit HIV/AIDS Demensia tipe Alzheimer prevalensinya paling besar (50-60%), disusul demensia vaskular (20-30%) Diagnosis Banding seperti Haloperidol 0,5-1 mg/hari. Delirium, Depresi, Gangguan Buatan, Skizofrenia Kriteria Rujukan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Penatalaksanaan Non farmakologi a. Modifikasi faktor resiko yaitu kontrol penyakit fisik, lakukan aktifitas fisik sederhana seperti senam otak, stimulasi kognitif dengan permintaan, kuis, mengisi teka-teki silang, bermain catur. b. Modifikasi lingkungan sekitar agar lebih nyaman dan aman bagi pasien. c. Rencanakan aktivitas hidup sehari-hari (mandi, makan, dan lain-lain) untuk mengoptimalkan aktivitas independen, meningkatkan fungsi, membantu adaptasi dan mengembangkan keterampilan, serta meminimalisasi kebutuhan akan bantuan. d. Ajarkan kepada keluarga agar dapat membantu mengenal barang milik pribadinya, mengenal waktu dengan menggunakan jam besar, kalender harian, dapat menyebutkan namanya dan anggota keluarga terdekat, mengenal lingkungan sekitar, beri pujian jika dapat menjawab dengan benar, bicara dengan kalimat sederhana dan jelas (satu atau dua tahap saja), bila perlu gunakan isyarat atau sentuhan lembut. 2. Farmakologi a. Jangan berikan inhibitor asetilkolinesterase (seperti: donepzil, galantamine dan rivastigmine) atau memantine secara rutin untuk semua kasus demensia. Pertimbangkan pemberiannya hanya pada kondisi yang memungkinkan diagnosis spesifik penyakit Alzheimer ditegakkan dan tersedia dukungan serta supervisi adekuat oleh spesialis serta pemantauan efek samping oleh pelaku rawat. b. Bila pasien berperilaku agresif, dapat diberikan antipsikotik dosis rendah, 2. 1. Pasien dirujuk untuk konfirmasi diagnosis dan penatalaksanaan lanjutan. Apabila pasien menunjukkan gejala agresifitas dan membahayakan dirinya atau orang lain. Peralatan: Tidak ada Peralatan khusus Prognosis Prognosis umumnya ad vitam adalah dubia ad bonam, sedangkan fungsi adalah dubia ad malam. Ad sanationam adalah ad malam. Referensi 1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1993) 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012) 3. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental, Neurological and Substance Use Disorders in NonSpecialized Health Settings, 2010. (World Health Organization, 2010) 3. INSOMNIA No. ICPC-2 No. ICD-10 : P06 Sleep disturbance : F51 Insomnia non organik pada psikiatri Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam tidur, dapat berupa kesulitan berulang untuk mencapai tidur, atau mempertahankan tidur yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk. Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur adalah salah satu gejala dari gangguan lainnya, baik mental (psikiatrik) atau fisik. Secara umum lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur yang spesifik bersamaan dengan diagnosis lain yang relevan untuk menjelaskan secara kuat psikopatologi dan atau patofisiologinya. Hasil Anamnesis (Subjective) Pada status generalis, pasien tampak lelah dan mata cekung. Bila terdapat gangguan organik, ditemukan kelainan pada organ. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan spesifik tidak diperlukan. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis. Pedoman Diagnosis 1. Keluhan Sulit masuk tidur, sering terbangun di malam hari atau mempertahankan tidur yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk. 2. 3. Faktor Risiko 1. 2. Adanya gangguan organik (seperti gangguan endokrin, penyakit jantung). Adanya gangguan psikiatrik seperti gangguan psikotik, gangguan depresi, gangguan cemas, dan gangguan akibat zat psikoaktif. Faktor Predisposisi 1. 2. 3. 4. 5. Sering bekerja di malam hari . Jam kerja tidak stabil. Penggunaan alkohol, cafein atau zat adiktif yang berlebihan. Efek samping obat. Kerusakan otak, seperti: encephalitis, stroke, penyakit Alzheimer Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 4. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur atau kualitas tidur yang buruk Gangguan terjadi minimal tiga kali seminggu selama minimal satu bulan. Adanya preokupasi tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan. Diagnosis Banding Gangguan Psikiatri, Gangguan Medik umum, Gangguan Neurologis, Gangguan Lingkungan, Gangguan Ritme sirkadian. Komplikasi Dapat terjadi penyalahgunaan zat. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Pasien diberikan penjelasan tentang faktorfaktor risiko yang dimilikinya dan pentingnya untuk memulai pola hidup yang sehat dan mengatasi masalah yang menyebabkan 2. terjadinya insomnia. Untuk obat-obatan, pasien dapat diberikan Lorazepam 0,5-2 mg atau Diazepam 2-5 mg pada malam hari. Pada orang yang berusia lanjut atau mengalami gangguan medik umum diberikan dosis minimal efektif. Peralatan Tidak ada Peralatan khusus Prognosis Prognosis pada umumnya bonam Konseling dan Edukasi Referensi Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga agar mereka dapat memahami tentang insomnia dan dapa tmenghindari pemicu terjadinya insomnia. 1. 2. Kriteria Rujukan Apabila setelah 2 minggu pengobatan tidak menunjukkan perbaikan, atau apabila terjadi perburukan walaupun belum sampai 2 minggu, pasien dirujuk kefasilitas kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis kedokteran jiwa. 3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental, Neurological and Substance Use Disorders in NonSpecialized Health Settings, 2010. 4. GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI No. ICPC-2: P74Anxiety Disorder (anxiety state) No. ICD-10: F41.2 Mixed Anxiety and Depression Disorder Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan Gangguan yang ditandai oleh adanya gejalagejala anxietas (kecemasan) dan depresi bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup beratuntuk dapat ditegakannya suatu diagnosis tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa gejala autonomik harus ditemukan, walaupun tidak terusmenerus, di samping rasa cemas atauk hawatir berlebihan. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik seperti: nafas pendek/cepat, berkeringat, gelisah, gangguan tidur, mudah lelah, jantung berdebar, gangguan lambung, diare, atau bahkan sakit kepala yang disertai dengan rasa cemas/ khawatir berlebihan. Allo dan Auto Anamnesis tambahan: 1. Adanya gejala seperti minat dalam melakukan aktivitas/semangat yang menurun, merasa sedih/ murung, nafsu makan berkurang atau meningkat berlebihan, sulit berkonsentrasi, kepercayaan diri yang menurun, pesimistis. 2. Keluhan biasanya sering terjadi, atau berlangsung lama, dan terdapat stresor kehidupan. 3. Menyingkirkan riwayat penyakit fisik dan penggunaan zat (alkohol, tembakau, stimulan, dan lain-lain) Faktor Risiko 1. Adanya faktorbiologis yang mempengaruhi, antara lain hiper aktivitas sistem noradrenergik, faktorgenetik. 2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan tidak fleksibel, seperti ciri kepribadian dependen, skizoid, anankastik, cemas menghindar. 3. Adanya stres kehidupan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Respirasi meningkat, tekanan darah dapat meningkat, dan tanda lain sesuai keluhan fisiknya. Pemeriksaan penunjang Laboratorium dan penunjang lainnya tidak ditemukan adanya tanda yang bermakna. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis banding sesuai keluhan fisiknya. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu: adanya gejala- gejala kecemasan dan depresi yang timbul bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup beratuntuk dapat ditegakkannya suatu diagnosis tersendiri. 1. Gejala-gejala kecemasan antara lain: a. Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit berkonsentrasi b. Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, gemetaran, tegang, tidak dapat santai c. Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, berkeringat berlebihan, sesak nafas, mulut kering,pusing, keluhan lambung, diare. 2. Gejala-gejala depresi antara lain: suasana perasaan sedih/murung, kehilangan minat/ kesenangan (menurunnya semangat dalam melakukan aktivitas), mudah, lelah, gangguan tidur, konsentrasi menurun, gangguan pola makan, kepercayaan diri yang berkurang, pesimistis, rasa tidak berguna/rasa bersalah Diagnosis Banding Gangguan Cemas (Anxietas) Organik, Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat, Gangguan Depresi,Gangguan Cemas Menyeluruh, Gangguan Panik, Gangguan Somatoform Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Non-farmakologi a. Konseling dan edukasi pada pasien dan keluarga • Karena gangguan campuran cemas depresi dapat mengganggu produktivitas pasien, keluarga perlu memahami bahwa hal ini bukan karena pasien malas atau tidak mau mengerjakan tugasnya, melainkan karena gejala- gejala penyakitnya itu sendiri, antara lain mudah lelah serta hilang energi. Oleh sebab itu, keluarga perlu memberikan dukungan agar pasien mampu dan dapat mengatasi gejala penyakitnya. • Gangguan campuran anxietas dan depresi kadang-kadang memerlukan pengobatan yang cukup lama, diperlukan dukunga keluarga untuk memantau agar pasien melaksanakan pengobatan dengan benar, termasuk minum obat setiap hari. b. Intervensi Psikososial • Lakukan penentraman (reassurance) dalam komunikasi terapeutik, dorong pasien untuk mengekspresikan pikiran perasaan tentang gejala dan riwayat gejala. • Beri penjelasan adanya pengaruh antara faktor fisik dan psikologis, termasuk bagaimana faktor perilaku, psikologik dan emosi berpengaruh mengeksaserbasi gejala somatik yang 2. mempunyai dasar fisiologik. • Bicarakan dan sepakati rencana pengobatandan follow-up, bagaimana menghadapi gejala, dan dorong untuk kembali keaktivitas normal. • Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas dalam) • Anjurkan untuk berolah raga teratur atau melakukan aktivitas yang disenangi serta menerapkan perilaku hidup sehat. • Ajarkan untuk selalu berpikir positif dan manajemen stres dengan baik. Farmakologi: a. Untuk gejala kecemasan maupun depresinya, diberikan antidepresan dosis rendah, dapat dinaikkan apabila tidak ada perubahan yang signifikan setelah 2-3 minggu: fluoksetin 1x1020 mg/hari atau sertralin 1 x 25-50 mg/ hari atau amitriptilin 1x12,5-50 mg/ hari atau imipramin1-2x10-25 mg/hari. Catatan: amitriptilin dan imipramin tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit jantung, dan pemberian berhati-hati untuk pasien lansia karena efek hipotensi ortostastik (dimulai dengan dosis minimal efektif). b. Pada pasien dengan gejala kecemasan yang lebih dominan dan atau dengan gejala insomnia dapat diberikan kombinasi fluoksetin atau sertralin dengan antianxietas benzodiazepin. Obat-obatan antianxietas jenis benzodiazepin yaitu: diazepam 1x2-5 mg atau lorazepam 1-2 x 0,5-1 mg atau klobazam 2x5-10 mg atau alprazolam 2x 0,25-0,5mg. Setelah kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin ditappering-off perlahan, sementara antidepresan diteruskan hingga 4-6 bulan sebelum ditappering- off. Hatihati potensi penyalahgunaan pada alprazolam karena waktu paruh yang pendek. Kriteria Rujukan Pasien dapat dirujuk setelah didiagnosis mengalami gangguan ini, terutama apabila gejala progresif dan makin bertambah berat yang menunjukkan gejala depresi seperti pasien menolak makan, tidak mau merawat diri, ada ide/tindakan bunuh diri; atau jika tidak ada perbaikan yang signifikan dalam 2-3 bulan terapi. Peralatan Tidak ada peralatan khusus. Prognosis Pada umumnya prognosis gangguan ini adalah bonam. Referensi 1. 2. 3. 4. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and Wilkins. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis Gangguan jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental disorders in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe & Huber Publishers. (World Health Organization, t.thn.) Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/ Psikiatri, 2012 5. GANGGUAN PSIKOTIK No. ICPC-2 No. ICD-10 PC : P98 Psychosis NOS/other : F20 Chronic Psychotic Disorder Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan Gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan atau hendaya berat dalam menilai realita, berupa sindroma (kumpulan gejala), antara lain dimanifestasikan dengan adanya halusinasi dan waham. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien mungkin datang dengan keluhan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi Tidak dapat tidur, tidak mau makan Perasaan gelisah, tidak dapat tenang, ketakutan Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti Mendengar suara orang yang tidak dapat didengar oleh orang lain Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai realita Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan yang berat, perilaku kacau, perilaku kekerasan Menarik diri dari lingkungannya dan tidak merawat diri dengan baik Alo dan Auto Anamnesis tambahan: Singkirkan adanya kemungkinan penyakit fisik (seperti demam tinggi, kejang, trauma kepala) dan penggunaan zat psikoaktif sebagai penyebab timbulnya keluhan. Faktor Risiko 1. 2. 3. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, antara lain hiperaktivitas sistem dopaminergik dan faktor genetik. Ciri kepribadian tertentu yang imatur, seperti ciri kepribadian skizoid, paranoid, dependen. Adanya stresor kehidupan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menyingkirkan penyebab organik dari psikotiknya (gangguan mental organik). Selain itu pasien dengan gangguan psikotik juga sering terdapat gangguan fisik yang menyertai karena perawatan diri yang kurang. Pemeriksaan Penunjang 1. 2. Dilakukan jika dicurigai adanya penyakit fisik yang menyertai untuk menyingkirkan diagnosis banding gangguan mental organik. Apabila ada kesulitan dalam merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut maka pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang mampu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai seperti: darah perifer lengkap, elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, serta radiologi dan EKG. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10-PC, yaitu: 1. 2. Halusinasi (terutama halusinasi dengar); merupakan gangguan persepsi (persepsi palsu), tanpa adanya stimulus sensori eksternal. Halusinasi dapat terjadi pada setiap panca indra, yaitu halusinasi dengar, lihat, cium, raba, dan rasa. Waham (delusi); merupakan gangguan pikiran, yaitu keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan realita dan logika, namun 3. 4. 5. 6. 7. tetap dipertahankan dan tidak dapat dikoreksi dengan cara apapun serta tidak sesuai dengan budaya setempat. Contoh: waham kejar, waham kebesaran, waham kendali, waham pengaruh. Perilaku kacau atau aneh Gangguan proses pikir (terlihat dari pembicaraan yang kacau dan tidak dimengerti) Agitatif Isolasi sosial (social withdrawal) Perawatan diri yang buruk Diagnosis Banding 1. Gangguan Mental Organik (Delirium, Dementia, Psikosis Epileptik) 2. Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat (Napza) 3. Gangguan Afektif Bipolar/ Gangguan Manik 4. Gangguan Depresi (dengan gejala psikotik) Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Intervensi Psikososial a. Informasi penting bagi pasien dan keluarga • Agitasi dan perilaku aneh merupakan gejala gangguan mental, yang juga termasuk penyakit medis. • Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi perjalanan penyakit jangka panjang sulit diprediksi. Pengobatan perlu dilanjutkan meskipun setelah gejala mereda. • Gejala-gejala dapat hilang timbul. Diperlukan antisipasi dalam menghadapi kekambuhan. Obat merupakan komponen utama dalam pengobatan. Minum obat secara teratur akan mengurangi gejalagejala dan mencegah kekambuhan. • Dukungan keluarga penting untuk ketaatberobatan (compliance) dan rehabilitasi. • Organisasi masyarakat dapat menyediakan dukungan yang berharga untuk pasien dan keluarga. b. Konseling pasien dan keluarga • Bicarakan rencana pengobatan dengan anggota keluarga dan minta dukungan mereka. Terangkan bahwa minum obat secara teratur dapat mencegah kekambuhan. Informasikan bahwa obat tidak dapat dikurangi atau dihentikan tiba-tiba tanpa persetujuan dokter. Informasikan juga tentang efek samping yang mungkin timbul dan cara penanggulangannya. • Dorong pasien untuk melakukan fungsinya dengan seoptimal mungkin di pekerjaan dan aktivitas harian lain. • Dorong pasien untuk menghargai norma dan harapan masyarakat (berpakaian, berpenampilan dan berperilaku pantas). • Menjaga keselamatan pasien dan orang yang merawatnya pada fase akut: o Keluarga atau teman harus menjaga pasien. o Pastikan kebutuhan dasar terpenuhi (misalnya makan dan minum). o Jangan sampai mencederai pasien. • Meminimalisasi stres dan stimulasi: o Jangan mendebat pikiran psikotik (anda boleh tidak setuju dengan keyakinan pasien, tetapi jangan mencoba untuk membantah bahwa pikiran itu salah). Sedapat mungkin hindari konfrontasi dan kritik. o Selama masa gejala-gejala menjadi lebih berat, istirahat dan menghindari stres dapat bermanfaat. • Agitasi yang berbahaya untuk pasien, keluarga dan masyarakat memerlukan rawat inap atau pengamatan ketat di tempat yang aman. 2. Farmakologi a. Berikan obat antipsikotik: Haloperidol 2-3 x 2-5 mg/hari atau Risperidon 2x 13 mg/hari atau Klorpromazin 2-3 x 100200 mg/hari. Untuk haloperidol dan risperidon dapat digabungkan dengan benzodiazepin (contoh: diazepam 2-3 x 5 mg, lorazepam 1-3 x 1-2 mg) untuk mengurangi agitasi dan memberikan efek sedasi. Benzodiazepin dapat ditappering-off setelah 2-4 minggu. Catatan: klorpromazin memiliki efek samping hipotensi ortostatik. b. Intervensi sementara untuk gaduh gelisah dapat diberikan injeksi intra muskular haloperidol kerja cepat (short acting) 5 mg, dapat diulangi dalam 30 menit - 1 jam jika belum ada perubahan yang signifikan, dosis maksimal 30 mg/hari. Atau dapat juga dapat diberikan injeksi intra muskular klorpromazin 2-3 x 50 mg. Untuk pemberian haloperidol dapat diberikan tambahan injeksi intra muskular diazepam untuk mengurangi dosis ntipsikotiknya dan menambah efektivitas terapi. Setelah stabil segera rujuk ke RS/RSJ. c. mandir tidak bisa berhenti bukan akibat gejala) turunkan dosis antipsikotik dan berikan beta-blocker, propranolol 2-3 x 10-20 mg. 3. Kunjungan Rumah (home visit) Kunjungan rumah dilakukan sesuai indikasi untuk: a. Memastikan kepatuhan dan kesinambungan pengobatan b. Melakukan asuhan keperawatan c. Melakukan pelatihan bagi pelaku rawat Kriteria Rujukan 1. 2. Pada kasus baru dapat dirujuk untuk konfirmasi diagnostik ke fasyankes sekunder yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa setelah dilakukan penatalaksanaan awal. Kondisi gaduh gelisah yang membutuhkan perawatan inap karena berpotensi membahayakan diri atau orang lain segera dirujuk setelah penatalaksanaan awal. Peralatan 1. 2. Alat restraint (fiksasi) Alat transportasi untuk tersedia). merujuk (bila Prognosis Untuk pasien psikotik kronis yang tidak taat berobat, dapat dipertimbangkan untuk pemberian injeksi depo (jangka panjang) antipsikotik seperti haloperidol decanoas 50 mg atau fluphenazine decanoas 25 mg. Berikan injeksi I.M ½ ampul terlebih dulu untuk 2 minggu, selanjutnya injeksi 1 ampul untuk 1 bulan. Obat oral jangan diberhentikan dahulu selama 1-2 bulan, sambil dimonitor efek samping, lalu obat oral turunkan perlahan. 1. d. Jika timbul efek samping ekstrapiramidal seperti tremor, kekakuan, akinesia, dapat diberikan triheksifenidil 2-4 x 2 mg; jika timbul distonia akut berikan injeksi diazepam atau difenhidramin, jika timbul akatisia (gelisah, mondar 4. Untuk ad Vitam adalahbonam, ad fungsionam adalah dubia, dan ad sanationam adalah dubia. Referensi 2. 3. Kaplan and Sadock.Synopsis of psychiatry. 7thEd. William and Wilkins. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III. Ed 1. 1993. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental disorders in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe & Huber Publishers. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri. 2012. J. RESPIRASI 1. INFLUENZA No. ICPC-2 No. ICD-10 : R80 Influenza : J11 Influenza, virus not identified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Influenza, sering dikenal dengan flu adalah penyakit menular disebabkan oleh virus RNA yaitu virus influenza A, B dan lebih jarang C. Virus influenza terus mengalami perubahan, sehingga dalam beberapa waktu akan mengakibatkan wabah (pandemik) yang parah. Virus ini menyerang saluran napas atas dan paru-paru. Penegakan diagnosis influenza membutuhkan ketelitian, karena keluhannya hampir sama dengan penyakit saluran pernapasan lainnya. Influenza dapat didiagnosis berdasarkan 4 kriteria berikut: 1. 2. 3. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Keluhan yang sering muncul adalah demam, bersin, batuk, sakit tenggorokan, hidung meler, nyeri sendi dan badan, sakit kepala, lemah badan. Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. 5. Daya tahan tubuh menurun Kepadatan hunian dan kepadatan penduduk yang tinggi Perubahan musim/cuaca Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Usia lanjut 4. Terjadi tiba-tiba/akut Demam Gejala saluran pernapasan seperti batuk, tidak ada lokasi spesifik dari keluhan yang timbul Terdapat penyakit serupa di lingkungan penderita Ketika terdapat kasus influenza di masyarakat, semua pasien dengan keluhan influenza harus didiagnosis secara klinis. Pasien disarankan kembali untuk tindak lanjut jika keluhan yang dialami bertambah buruk atau tidak ada perbaikan dalam waktu 72 jam. Diagnosis Banding Faringitis, Tonsilitis, Laringitis Komplikasi Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana Infeksi sekunder oleh bakteri, Pneumonia (Objective) Penatalaksanaan Pemeriksaan Fisik 1. Tatalaksana influenza umumnya tanpa obat (self-limited disease). Tanda Patognomonis 1. 2. 3. Febris Rinore Mukosa hidung edema Pemeriksaan penunjang: tidak diperlukan Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Hal yang perlu ditingkatkan adalah daya tahan tubuh. Tindakan untuk meringankan gejala flu adalah beristirahat 2-3 hari, mengurangi kegiatan fisik berlebihan, meningkatkan gizi makanan dengan makanan berkalori dan protein tinggi, serta buah-buahan yang tinggi vitamin. 2. Terapi simptomatik per oral a. Antipiretik. Pada dewasa yaitu parasetamol 3-4 x 500 mg/hari (10-15 mg/kgBB), atau ibuprofen 3-4 x 200400 mg/hari (5-10 mg/kgBB). b. Dekongestan, seperti pseudoefedrin (60 mg setiap 4-6 jam) c. Antihistamin, seperti klorfeniramin 46 mg sebanyak 3-4 kali/hari, atau difenhidramin, 25-50 mg setiap 4-6 jam, atau loratadin atau cetirizine 10 mg dosis tunggal (pada anak loratadin 0,5 mg/kgBB dan setirizin 0,3 mg/kgBB). d. Dapat pula diberikan antitusif atau ekspektoran bila disertai batuk. Konseling dan Edukasi 1. Edukasi a. Edukasi terutama ditujukan untuk individu dan lingkungannya. Penyebaran penyakit ini melalui udara sehingga lingkungan rumah harus memenuhi persyaratan rumah sehat terutama ukuran jendela untuk pencahayaan dan ventilasi serta kepadatan hunian. Untuk mencegah penyebaran terhadap orang-orang terdekat perlu diberikan juga edukasi untuk memutuskan mata rantai penularan seperti etika batuk dan pemakaian masker. b. Selain edukasi untuk individu, edukasi terhadap keluarga dan orangorang terdekat juga penting seperti peningkatan higiene dan sanitasi lingkungan 2. Pencegahan a. Imunisasi influenza, terutama bagi orang-orang risiko tinggi. b. Harus diwaspadai pasien yang baru kembali dari daerah terjangkit epidemi influenza Rujukan Bila didapatkan tanda-tanda pneumonia (panas tidak turun 5 hari disertai batuk purulen dan sesak napas) Prognosis Prognosis pada umumnya bonam. Peralatan Referensi 1. 2. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L.et al. Harrisson’s: Principle of Internal Medicine. 17thed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009. p: 1006 1020. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 2007. 2. FARINGITIS AKUT No. ICPC-2 No. ICD-10 : R74.Upper respiratory infection acute : J02.9 Acute pharyngitis, unspecified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lainlain.Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis setiap tahunnya. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan Demam Sekret dari hidung Dapat disertai atau tanpa batuk Nyeri kepala Mual Muntah Rasa lemah pada seluruh tubuh Nafsu makan berkurang 7. Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. 5. 6. 2. 3. 4. 5. 6. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan mual. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk, dan seringkali terdapat pembesaran KGB leher. Faringitis fungal:terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk yang berdahak. Faringitis kronik atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat Usia 3 – 14 tahun. Menurunnya daya tahan tubuh. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring Gizi kurang Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam lambung, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring. Paparan udara yang dingin. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu: 1. pada faring dan tidak berespon dengan pengobatan bakterial non spesifik. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan seksual, terutama seks oral. 2. 3. 4. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus dapat timbul lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiaepada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan hiperplasia lateral band. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone). 5. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering. 6. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan pada mukosa faring dan laring 7. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit: a. Stadium primer Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula b. Stadium sekunder Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema yang menjalar ke arah laring. c. Stadium tersier Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum. Pemeriksaan Penunjang 1. 2. 3. Pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram. Pada dugaan adanya infeksi jamur, dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik swab mukosa faring dengan pewarnaan KOH. 2. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Klasifikasi faringitis 1. Faringitis Akut a. Faringitis Viral Dapat disebabkan oleh rinovirus, adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-lain. Pada 3. adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak. b. Faringitis Bakterial Infeksi grup A stereptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Faringitis akibat infeksi bakteri streptokokkus group A dapat diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu : • Demam • Anterior Cervical lymphadenopathy • Eksudat tonsil • Tidak ada batuk Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor 1. Bila skor 0-1 maka pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi streptokokkus group A, bila skor 1-3 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi streptokokkus group A dan bila skor 4 pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi streptokokkus group A. c. Faringitis Fungal Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. d. Faringitis Gonorea Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital Faringitis Kronik a. Faringitis Kronik Hiperplastik Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. b. Faringitis Kronik Atrofi Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Faringitis Spesifik a. Faringitis Tuberkulosis Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. b. Faringitis Luetika Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring, seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik tergantung stadium penyakitnya. Komplikasi Tonsilitis, Abses peritonsilar, Abses retrofaringeal, Gangguan fungsi tuba Eustachius, Otitis media akut, Sinusitis, Laringitis, Epiglotitis, Meningitis, Glomerulonefritis akut, Demam rematik akut, Septikemia Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) hari. Konseling dan Edukasi Memberitahu pasien dan keluarga untuk: 1. 2. Penatalaksanaan 1. 2. 3. Istirahat cukup Minum air putih yang cukup Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur antiseptik untuk menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal diberikan Nistatin 100.000400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan Nitras Argentin 25% 4. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus Isoprinosine dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada orang dewasa dan pada anak 20% (petanda adanya perburukan asma) maka diagnosis asma perlu dipertimbangkan. Penegakan Diagnosis (Assessment) Asma Stabil Jika gejala dan tanda klinis jelas serta respons terhadap pemberian obat asma baik, pemeriksaan lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Jika respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum mengganti obat dengan yang lebih poten, harus dinilai lebih dulu apakah dosis sudah adekuat, cara dan waktu pemberian sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar, diagnosis bukan asma perlu dipikirkan. Klasifikasi asma pada anak menurut PNAA 2004 Asma Eksaserbasi Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas, batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya, eksaserbasi disertai distres pernapasan. Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF atau FEV1. Pengukuran ini merupakan indikator yang lebih dapat dipercaya daripada penilaian berdasarkan gejala. Sebaliknya, derajat gejala lebih sensitif untuk menunjukkan awal terjadinya ekaserbasi karena memberatnya gejala biasanya mendahului perburukan PEF. Derajat serangan asma bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang mengancam jiwa, perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari. Serangan akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap faktor pencetus (paling sering infeksi virus atau allergen atau kombinasi keduanya), sedangkan serangan berupa perburukan yang bertahap mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka panjang penyakit. # pada matrik klinis, setiap pasien asma harus dicantumkan diagnosis asma secara lengkap berdasarkan kekerapan serangan maupun drajat berat serangan misalnya asma episodik jarang serangan Ryan, asma episodik sering di luar serangan. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Asma Stabil Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda terkadang juga disebut sebagai obat pelega atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma yang sedang timbul. Jika serangan sudah teratasi dan gejala sudah menghilang, obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang sering disebut sebagai obat pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran napas. Dengan demikian, obat ini dipakai terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan. tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur dan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan di rumah, disebutkan bahwa terapi awal adalah inhalasi B2agonis kerja cepat sebanyak 2 kali dengan selang waktu 20 menit. Bila belum ada perbaikan, segera mencari pertolongan ke dokter atau sarana kesehatan. Nilai derajat serangan Tatalaksana awal • nebulisasi B2agonis 1-2x, selang 20 menit • nebulisasi kedua + antikolinergik jika serangan sedang/berat • nebulisasi langsung dengan B2agonis + antikolinergik Serangan ringan (nebulisasi 1x, respons baik) • Observasi 1-2 jam • Jika efek bertahan, boleh pulang • Jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai serangan sedang Serangan sedang (nebulisasi 2x, respons parsial) • Berikan oksigen • Nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dengan serangan sedang, observasi di Ruang Rawat Sehari • Berikan steroid oral • Pasang jalur parenteral Serangan berat (bila telah nebulisasi 3x, respons buruk) • Sejak awal berikan O2 saat/di luar nebulisasi • Pasang jalur parenteral, nilai ulang keadaan klinis, jika seuai dgn serangan berat, rawat di Ruang Rawat Inap • Foto rontgen toraks Boleh pulang Asma Eksaserbasi Global initiative for asthma (GINA) membagi tatalaksana serangan asma menjadi dua yaitu • Bekali dengan obat ß-agonis (hirupan/oral) • Jika sudah ada obat pengendali, teruskan • Jika pencetusnya adalah infeksi virus, dapat diberikan steroid oral • Dalam 24-48 jam control ke klinik rawat jalan. Catatan: baik dalam 4-6 minggu, tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering. Ruang rawat sehari/observasi • • • • Teruskan pemberian oksigen Lanjutkan steroid oral Nebulisasi tiap 2 jam Bila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang. Tetapi jika klinis tetap belum membaik/memburuk, alih rawat ke Ruang rawat inap. 2. Penggunaan B2-agonis hirupan lebih dari 3x per minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik), atau serangan sedang/ berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, merupakan indikasi penggunaan antiinflamasi sebagai pengendali. Obat steroid hirupan yang sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah 100-200 g/hari budesonid (50-100 g/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 g/hari budesonid (100-200 g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Pada penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 g/hari atau setara dengan flutikason 50-100 g, belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Jika setelah pengobatan selama 812 minggu dengan steroid dosis rendah tidak timbul respons (masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), pengobatan dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 g/hari yang termasuk dalam tatalaksana asma persisten. Jika tatalaksana suatu derajat penyakit asma sudah adekuat, tetapi responsnya tetap tidak baik dalam 812 minggu, derajat tatalaksananya berpindah ke yang lebih berat (step up). Sebaliknya, jika asma terkendali dalam 8-12 minggu, derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step down). Jika memungkinkan, steroid hirupan dihentikan penggunaannya. Ruang rawat inap • • • • • • • • • • • • Teruskan oksigen Atasi dehidrasi dan asidosis jika ada Steroid IV tiap 6-8 jam Nebulisasi tiap 1-2 jam Aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan Jika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 4-6 jam Jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang Jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang rawat Jika menurut penilaian serangannya sedang/ berat, nebulisasi pertama kali langsung dengan ß-agonis + antikolinergik Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif Jika alat nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, termasuk pada saat nebulisasi intensif Tatalaksana Asma Eksaserbasi Tatalaksana Asma Eksaserbasi 1. Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator -agonis hirupan kerja pendek (Short Acting B2Agonist, SABA) atau golongan xantin kerja cepat hanya apabila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Pada alur tatalaksana jangka panjang (Gambar 3.6.1), terlihat bahwa jika tatalaksana asma episodik jarang sudah adekuat, tetapi responsnya tetap tidak Asma episodik sering Sebelum melakukan step-up, harus dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan penghindaran pencetus, penggunaan obat, serta faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rinitis dan sinusitis. 3. Asma persisten Bergantung pada kasusnya, steroid hirupan dapat diberikan mulai dari dosis tinggi lalu diturunkan sampai dosis rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya, mulai dari dosis rendah sampai dosis tinggi hingga gejala dapat dikendalikan. Pada keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Kriteria Rujukan 1. 2. 3. 4. Asma eksaserbasi sedang-berat Asma tidak terkontrol Asma mengancam jiwa Asma Persisten Pencegahan Pengendalian lingkungan, pemberian ASI eksklusif minimal 6 bulan, penghindaran makanan berpotensi alergenik, pengurangan pajanan terhadap tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah terbukti mengurangi timbulnya alergi makanan dan khususnya dermatitis atopik pada bayi. Pneumotoraks Pneumomediastinum dan emfisema subkutis Atelektasis Gagal napas Bronkitis Fraktur iga Peralatan 1. 2. 3. 4. Alat tiup APE Pemeriksaan darah rutin Radiologi (jika fasilitas tersedia) Oksigen Prognosis Prognosis tergantung pada beratnya penyakit dan ketepatan penanganan. Referensi 1. 2. 3. Komplikasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit Koordinasi Kerja PengurusPusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2001. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Indonesia IDAI. 2010. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. National Institute of Health. www.ginasthma. com/download.asp? intId=214 . 2006 7. STATUS ASMATIKUS (ASMA AKUT BERAT) No. ICPC-2: R03. Wheezing No. ICD-10: J45.902 Unspecified asthma with status asthmaticus Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Asma akut berat (serangan asma atau asma eksaserbasi) adalah episode peruburukan gejala yang progresif dari sesak, batuk, mengi, atau rasa berat di dada, atau kombinasi gejala-gejala tersebut. Hasil Anamnesis (Subjective) Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah digunakan, respons pengobatan, waktu mula terjadinya dan penyebab/ pencetus serangan saat itu, dan ada tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan keadaan fatal/ kematian yaitu: 1. Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi/ ventilasi mekanis 2. Riwayat perawatan di rumah sakit atau kunjungan ke darurat gawat dalam satu tahun terakhir 3. Saat serangan, masih dalam glukokortikosteroid oral, atau baru saja menghentikan salbutamol atau ekivalennya 4. Dengan gangguan/ penyakit psikiatri atau masalah psikososial termasuk penggunaan sedasi 5. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pada fasilitas layanan kesehatan sederhana dengan kemampuan sumber daya manusia terbatas, dapat hanya menekankan kepada : 1. Posisi penderita 2. Cara bicara 3. Frekuensi napas 4. Penggunaan otot-otot bantu napas 5. Nadi 6. Tekanan darah (pulsus paradoksus) 7. Ada tidak mengi Pemeriksaan Penunjang 1. Pada serangan asma,APE sebaiknya diperiksa sebelum pengobatan, tanpa menunda pemberian pengobatan. Pemeriksaan ini dilakukan jika alat tersedia. 2. Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry dapat dilakukan bila alat tersedia. 3. Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan jika fasilitas tersedia. Diagnosis banding 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Obstruksi saluran napas atas Benda asing di saluran napas PPOK eksaserbasi Penyakit paru parenkimal Disfungsi pita suara Gagal jantung akut Gagal ginjal akut Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Gambar 10.2. Status Asmatikus (Asma Akut Berat) Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Tabel 10.6 Serangan akut asma Catatan : Jika algoritma di atas tidak dapat digunakan, dokter dapat menggunakan obatobatan alternatif pada tabel Daftar Obat-obat Asma. Tabel 10.7 Pengobatan asma berdasarkan berat serangan dan tempat pengobatan 5. 6. 7. 8. Gejala memburuk yang berkepanjangan sebelum datang membutuhkan pertolongan saat itu Pengobatan yang tidak adekuat sebelumnya Kondisi rumah yang sulit/ tidak menolong Masalah/ kesulitan dalam transport atau mobilisasi ke rumah sakit Kriteria Pulang Pertimbangan untuk memulangkan penderita di layanan tingkat pertama: 1. 2. 3. 4. pada Bila terjadi perbaikan klinis, yaitu: keluhan berkurang, frekuensi napas kembali normal, mengi menghilang, nadi dan tekanan darah kembali normal, pasien dapat bernapas tanpa otot-otot bantu napas, pasien dapat berbicara lebih lancar atau berjalan, atau kesadaran membaik. Bila APE pasca tatalaksana awal 40-60% nilai terbaik/ prediksi dengan pengawasan ketat di komunitas. Bila APE pasca tatalaksana awal > 60% nilai terbaik/ prediksi dan pasien dapat menggunakan obat inhalasi atau oral dengan patuh. Penderita dirawat inap Kriteria Rujukan Tidak respons dengan pengobatan, ditandai dengan: a. Rencana tindak lanjut Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, praktek dokter/ puskesmas) tergantung kepada fasiliti yang tersedia : 1. 2. 3. 4. Respons terapi tidak adekuat dalam 1-2 jam Obstruksi jalan napas yang menetap (APE < 30% nilai terbaik/ prediksi) Riwayat serangan asma berat, perawatan rumah sakit/ ICU sebelumnya Dengan risiko tinggi (lihat di riwayat serangan) Tidak terjadi perbaikan klinis b. Bila APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai terbaik/ prediksi; atau APE pasca tatalaksana < 40% nilai terbaik/ prediksi. c. Serangan akut yang mengancam jiwa d. Tanda dan gejala tidak jelas (atipik), atau masalah dalam diagnosis banding, atau komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid); seperti sinusitis, polip hidung, aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi pita suara, refluks gastroesofagus dan PPOK. e. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan standar, seperti uji kulit (uji alergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji provokasi bronkus, uji latih (kardiopulmonary exercise test), bronkoskopi dan sebagainya. 7. 8. 9. Konseling dan Edukasi Prognosis 1. 2. 3. 1. 2. 3. Meningkatkan kebugaran fisik Berhenti merokok Menghindari pencetus di lingkungan seharihari Peralatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tabung oksigen Kanul hidung Sungkup sederhana Sungkup inhalasi Nebulizer Peak flow meter Pulse oxymeter Analisis gas darah Tensimeter Ad vitam : Dubia ad bonam Ad functionam : Bonam Ad sanationam : Dubia ad bonam Referensi 1. 2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. Jakarta. 2004 Global Initiative For Asthma. Global strategy for asthma management and prevention. GINA. 2012. 8. PNEUMONIA ASPIRASI No. ICPC-2 No. ICD-10 : R99 Respiratory disease other : J69.0 Pneumonitis due to food and vomit Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Pneumonia aspirasi (Aspiration pneumonia) adalah pneumonia yang disebabkan oleh terbawanya bahan yang ada diorofaring pada saat respirasi ke saluran napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru. Secara spesifik, pneumonia aspirasi didefinisikan dengan ditemukannya bukti radiografi berupa penambahan infiltrat di paru pada pasien dengan faktor risiko aspirasi orofaring. 2. 3. Pasien dengan irupsi dari gastroesophageal junction. Terdapat abnormalitas anatomis dari traktus aerodigestifus atas. Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) 1. 2. Takipnea Tanda-tanda dari pneumonia Faktor Risiko: 1. Pasien dengan disfagi neurologis. Penunjang Pemeriksaan fisik serupa pada pneumonia umumnya. Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. Inspeksi Hasil Anamnesis (Subjective) Kejadian aspiration pneumonia biasanya tidak dapat diketahui waktu terjadinya dan paling sering pada orang tua. Keluhannya berupa : Batuk dan Palpasi Perkusi Auskultasi : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit : redup di bagian yang sakit : terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. Pemeriksaan Penunjang c. 1. Foto toraks 2. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Diagnosis Banding :- Penyakit periodontal berat, dahak yang busuk atau alkoholisme : piperasilin-tazobaktam (3, 375 gr/6 jam) atau imipenem (500 mg/8 jam sampai 1 gr/6 jam) atau kombinasi dua obat : levofloksasin (500 mg/hari) atau siprofloksasin (400 mg/12 jam) atau seftriakson (1-2 gr/hari) ditambah klindamisin (600 mg/8 jam) atau metronidazol (500 mg/8jam) Kriteria Rujukan Aspiration pneumonitis: Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penilaian status keparahan serupa dengan pneumonia biasa. Penatalaksanaan Peralatan 1. 2. Tabung oksigen beserta nasal kanul atau masker 3. Pemberian oksigen Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila cairan parenteral). Jumlah cairan sesuai berat badan, peningkatan suhu dan derajat dehidrasi. Pemberian antibiotik tergantung pada kondisi : a. Pneumonia komunitas : levofloksasin (500 mg/hari) atau seftriakson (1-2 gr/ hari) b. Pasien dalam perawatan di rumah sakit : levofloksasin (500 mg/hari)atau piperasilin tazobaktam (3, 375 gr/6 jam) atau seftazidim (2 gr/8 jam) Prognosis Prognosis pada umumnya bonam. Referensi 1. 2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia. PDPI. Jakarta 2013. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2013) Marik PE. Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N Eng J Med. 2001;3:665-71.(Marik, 2001) 9. PNEUMONIA, BRONKOPNEUMONIA No. ICPC-2: R81 Pneumonia No. ICD-10: J18.0 Bronchopneumonia, unspecified J18.9 Pneumonia, unspecified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Pneumonia adalah peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, sertamenimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pneumonia yang dimaksud di sini tidak termasuk dengan pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%) berdasarkan RISKESDAS 2013. tersedia 4. Kultur sputum jika fasilitas tersedia 5. Kultur darah jika fasilitas tersedia Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis defenitif dilakukan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini: Pneumonia pada Pasien Dewasa Hasil Anamnesis (Subjective) 1. 2. 3. 4. Gambaran klinik biasanya ditandai dengan : 1. 2. 3. 4. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah Sesak napas Nyeri dada 5. Komplikasi Efusi pleura, Empiema, Abses Pneumotoraks, gagal napas, sepsis. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Penatalaksanaan Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas Palpasi : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit Perkusi : redup di bagian yang sakit Auskultasi : terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik. 1. Pengobatan suportif / simptomatik a. Istirahat di tempat tidur b. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi c. Pemeriksaan Penunjang 1. Pewarnaan gram 2. Pemeriksaan lekosit 3. Pemeriksaan foto toraks jika fasilitas paru, Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Pemeriksaan fisik Inspeksi Batuk-batuk bertambah Perubahan karakteristik dahak / purulen Suhu tubuh > 38°C (aksila) / riwayat demam Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial danronki Leukosit > 10.000 atau < 4500 Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas d. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran 2. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik yang harus diberikan kurang dari 8 jam. Pasien Rawat Jalan Kriteria Rujukan a. 1. Pasien yang sebelumnya sehat dan tidak ada risiko kebal obat ; (Conciousness, kadar Ureum, Respiratory rate>30 x/menit, tekanan darah: sistolik 30/menit b. Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg c. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral d. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus e. Tekanan diastolik < 60 mmHg f. Tekanan sistolik < 90 mmHg 3. Pneumonia pada pengguna NAPZA 4. Menurut ATS (American Thoracic Society) kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah satu atau lebih’ kriteria di bawah ini. a. Kriteria minor: • Frekuensi napas > 30/menit • Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg • Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral • Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus • Tekanan sistolik < 90 mmHg • Tekanan diastolik < 60 mmHg b. Kriteria mayor adalah sebagai berikut : • Membutuhkan ventilasi mekanik • Infiltrat bertambah > 50% • Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok) • Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang mempunyai: 1. 2. Satu dari dua gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor >4 jam [syok sptik]) atau Dua dari tiga gejala minor tertentu (Pa02/ FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks parumenunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif. Bronkopneumonia pada Pasien Anak Hasil Anamnesis (Subjective) Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit. Beberapa faktor yang memengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah: 1. 2. 3. 4. 5. Imaturitas anatomik dan imunologik Mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang- kadang tidak khas terutama pada bayi Etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering Faktor patogenesis Kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut: 1. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. 2. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan Penunjang b. Pewarnaan gram, pemeriksaan lekosit, pemeriksaan foto toraks, kultur sputum serta kultur darah (bila fasilitas tersedia) Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis sebagai dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Oleh karena itu, pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara napas melemah. WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang sederhana. Pedoman ini terutama ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan tingkat pertama, dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi napas cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke pelayanan kesehatan. Napas cepat dinilai dengan menghitung frekuensi napas selama satu menit penuh ketika bayi dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas (retraksi epigastrium). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan–5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk; tanda bahaya untuk bayi berusia di bawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin. Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman WHO adalah: 1. Bayi dan anak berusia 2 bulan–5 tahun a. Pneumonia berat • Ada sesak napas • Harus dirawat dan diberikan • • 2. antibiotik. Pneumonia • Tidak ada sesak napas • Ada napas cepat dengan laju napas: >50 x/menit untuk anak usia 2 bulan–1 tahun >40 x/menit untuk anak >1–5 tahun Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral. c. Bukan pneumonia Tidak ada napas cepat dan sesak napas • Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas Bayi berusia di bawah 2 bulan a. Pneumonia • Ada napas cepat (>60 x/menit) atau sesak napas • Harus dirawat dan diberikan antibiotik. b. Bukan pneumonia • Tidak ada napas cepat atau sesak napas • Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/ minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai dan pengobatan suportif yang meliputi : 1. 2. 3. Pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif 4. 5. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat Komplikasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi Pneumonia Rawat Jalan Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%.Penelitian multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia rawat jalan, pemberian amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP − 20 mg/kgBB sulfametoksazol. seperti meningitis purulenta Peralatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Prognosis Prognosis tergantung pada beratnya penyakit dan ketepatan penanganan. Referensi 1. 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2011.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011) 2. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, Dowell SE, etc. Infectious diseases society of America/ American thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults. Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27– 72(Mandel, et al., 2007) 3. Said M. Pneumonia. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p.310-33. (Said, 2011) Penumonia Rawat Inap Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan betalaktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta-laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Sebaiknya segera dirujuk jika tidak tersedia antibiotik yang sesuai. Kriteria Rujukan 1. 2. Pneumonia berat Pneumonia rawat inap Pencegahan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pemberian imunisasi Pemberian vitamin A Menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara Membiasakan cuci tangan Isolasi penderita Menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum Pemberian ASI Menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA Komplikasi Empiema torakis, Perikarditis purulenta, Pneumotoraks, Infeksi ekstrapulmoner Termometer Tensimeter Pulse oxymeter (jika fasilitas tersedia) Pemeriksaan pewarnaan gram Pemeriksaan darah rutin Radiologi (jika fasilitas tersedia) Oksigen 10. PNEUMOTORAKS No. ICPC-2: R99 Respiratory Disease Other No. ICD-10: J93.9 Respiratory Disease other Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Pneumotoraks adalah kondisi dimana terdapat udara bebas dalam rongga pleura. Insiden pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui. Umumnya pria lebih banyak dari wanita. Gejala klinis : 1. 2. 3. 4. 5. Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu: 1. 2. Pneumotoraks spontan primer adalah pneumotoraks yang terjadi tanpa riwayat penyakit paru sebelumnya ataupun trauma, dan dapat terjadi pada individu yang sehat. Terutama lebih sering pada laki, tinggi dan kurus, dan perokok. Pneumotoraks spontan sekunder adalah pneumotoraks yang terjadi pada penderita yang memiliki riwayat penyakit paru sebelumnya seperti PPOK, TB paru dan lainlain. Pemeriksaan Penunjang: 1. Foto toraks, didapatkan garis penguncupan paru yang sangat halus (pleural line), dan gambaran avaskuler di sisi yang sakit. Bila disertai darah atau cairan lainnya, akan tampak garis mendatar yang merupakan batas udara dan cairan (air fluid level). 2. Pulse oxymetry. Pemeriksaan ini tidak untuk menegakkan diagnosis, namun untuk menilai apakah telah terjadi gagal napas. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pneumotoraks dapat menimbulkan keluhan atau tidak. Keluhan yang dapat timbul adalah sesak napas, yang dapat disertai nyeri dada pada sisi yang sakit. Nyeri dada tajam, timbul secara tiba- tiba, dan semakin nyeri jika menarik napas dalam atau terbatuk. Keluhan timbul mendadak ketika tidak sedang aktivitas. 2. Faktor risiko, di antaranya: a. Infeksi, misalnya: tuberkulosis, pneumonia b. Trauma c. Merokok 1. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Hiperkapnia Hipotensi Takikardi Perubahan status mental Pemeriksaan fisik paru : a. Inspeksi paru, tampak sisi yang sakit lebih menonjol dan tertinggal pada pernapasan b. Palpasi paru, suara fremitus menurun di sisi yang sakit c. Perkusi paru, ditemukan suara hipersonor dan pergeseran mediastinum ke arah yang sehat d. Auskultasi paru, didapatkan suara napas yang melemah dan jauh Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan untuk diagnosis definitif dengan pemeriksaan penunjang. Komplikasi 1. 2. 3. Kegagalan respirasi Kegagalan sirkulasi Kematian Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. 2. 3. Oksigen Jika ada tanda kegagalan sirkulasi, dilakukan pemasangan IV line dengan cairan kristaloid Rujuk Konseling dan Edukasi Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai: 1. 2. 3. Bahaya dan komplikasi pneumotoraks Pertolongan kegawatdaruratan pada pneumotoraks Perlunya rujukan segera ke RS Kriteria Rujukan Segera rujuk pasien yang terdiagnosis pneumotoraks, setelah dilakukan penanggulangan awal. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Prognosis 1. Ad vitam : Dubia Referensi 1. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam: Pulmonologi intervensi dan gawat darurat napas. Swidarmoko B, Susanto AD, editor. Jakarta: Dep. Pulmonologi dan Ked. Respirasi. 2010: 54-71.(Astowo, 2010) 2. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous pneumothorax: British Thoracic Society pleural diseases guideline 2010. Thorax. 2010; 65:18-31.(MacDuff, et al., 2010) Peralatan 1. 2. 3. Kanul hidung Sungkup sederhana Lidocaine 2% Spuit 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50 cc Three-way Botol bervolume 500 cc Infus set Abbocath 14 Tabung oksigen 11. PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS) No. ICPC-2: R95Chronic Obstructive Pulmonary Diseases No. ICD-10: J44.9 Chronic Obstructive Pulmonary Diseasesm unspecified Tingkat Kemampuan PPOK eksaserbasi akut 3B Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective) PPOK adalah penyakit paru kronik yang dapat dicegah dan diobati, dikarakteristikkan dengan hambatan aliran udara yang persisten, progresif dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis di paru terhadap partikel dan gas berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi terhadap keseluruhan keparahan tiap individu. Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen. PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan dan lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan. Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah. 1. Keluhan a. Sesak napas b. Kadang-kadang disertai mengi c. Batuk kering atau dengan dahak yang produktif d. Rasa berat di dada 2. Faktor risiko a. Genetik b. Pajanan partikel • Asap rokok • Debu kerja, organik dan inorganik • Polusi udara dalam rumah dari pemanas atau biomassa rumah tangga dengan ventilasi yang buruk • Polusi udara bebas c. d. e. f. g. h. i. j. 3. Pertumbuhan dan perkembangan paru Stres oksidatif Jenis kelamin Umur Infeksi paru Status sosial-ekonomi Nutrisi. Komorbiditas b. Irama jantung di apeks mungkin sulit ditemukan karena hiperinflasi paru c. Hiperinflasi menyebabkan hati letak rendah dan mudah di palpasi 3. a. Penilaian severitas gejala Penilaian dapat dilakukan dengan kuesioner COPD Assesment Test (CAT) yang terdiri atas 8 pertanyaan untuk mengukur pengaruh PPOK terhadap status kesehatan pasien. c. Pemeriksaan fisik Sianosis sentral pada membran mukosa mungkin ditemukan b. Abnormalitas dinding dada yang menunjukkan hiper inflasi paru termasuk iga yang tampak horizontal, barrel chest (diameter antero posterior dan transversal sebanding) dan abdomen yang menonjol keluar c. 2. Hemidiafragma mendatar Ronki basah kasar saat inspirasi dapat ditemukan d. Bunyi jantung terdengar lebih keras di area xiphoideus Inspeksi a. Pasien dengan PPOK sering mengalami penurunan suara napas tapi tidak spesifik untuk PPOK b. Mengi selama pernapasan biasa menunjukkan keterbatasan aliran udara. Tetapi mengi yang hanya terdengar setelah ekspirasi paksa tidak spesifik untuk PPOK Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) 1. Auskultasi Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah uji jalan 6 menit yang dimodifikasi. Untuk di Puskesmas dengan sarana terbatas, evaluasi yang dapat digunakan adalah keluhan lelah yang timbul atau bertambah sesak. Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat dilakukan bila fasilitas tersedia: 1. Spirometri d. Laju respirasi istirahat meningkat lebih dari 20 kali/menit dan pola napas lebih dangkal 2. Peak flow meter (arus puncak respirasi) 3. Pulse oxymetry e. 4. Analisis gas darah 5. Foto toraks 6. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, leukosit, trombosit) Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu), laju ekspirasi lebih lambat memungkinkan pengosongan paru yang lebih efisien f. Penggunaan otot bantu napas adalah indikasi gangguan pernapasan g. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai Palpasi dan Perkusi a. Sering tidak ditemukan kelainan pada PPOK Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Tabel 10.9 Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK 4. 5. Ekspektoran dengan obat batuk hitam (OBH) Mukolitik (ambroxol) dapat diberikan bila sputum mukoid. Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut ringan 1. Oksigen (bila tersedia) 2. Bronkodilator Pada kondisi eksaserbasi, dosis dan atau frekuensi bronkodilator kerja pendek ditingkatkan dan dikombinasikan dengan antikolinergik. Bronkodilator yang disarankan adalah dalam sediaan inhalasi. Jika tidak tersedia, obat dapat diberikan secara injeksi, subkutan, intravena atau perdrip, misalnya: Adrenalin 0,3 mg subkutan, digunakan dengan hati-hati Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) harus perlahan (10 menit) utk menghindari efek samping.dilanjutkan dengan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 3. Kortikosteroid Diberikan dalam dosis 30 mg/hari diberikan maksimal selama 2 minggu. Pemberian selama 2 minggu tidak perlu tapering off. Tujuan penatalaksanaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama: 4. Antibiotik yang tersedia di Puskesmas 1. 2. 3. Mengurangi laju beratnya penyakit Mempertahankan PPOK yang stabil Mengatasi eksaserbasi ringan 5. Pada kondisi telah terjadi kor pulmonale, dapat diberikan diuretik dan perlu berhatihati dalam pemberian cairan. 4. Merujuk ke spesialis paru atau rumah sakit Konseling dan Edukasi Penatalaksanaan PPOK stabil 1. 2. 3. Obat-obatan dengan tujuan mengurangi laju beratnya penyakit dan mempertahankan keadaan stabil. Bronkodilator dalam bentuk oral, kombinasi golongan ß2 agonis (salbutamol) dengan golongan xantin (aminofilin dan teofilin). Masing-masing dalam dosis suboptimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya penyakit. Untuk dosis pemeliharaan, aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinasi dengn salbutamol 1 mg. Kortikosteroid digunakan dalam bentuk inhalasi, bila tersedia. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Edukasi ditujukan untuk mencegah penyakit bertambah berat dengan cara menggunakan obat-obatan yang tersedia dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi. Pengurangan pajanan faktor risiko Berhenti merokok Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat, dapat diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Rehabilitasi a. Latihan bernapas dengan pursed lip breathing b. Latihan ekspektorasi c. Latihan otot pernapasan dan ekstremitas Terapi oksigen jangka panjang Kriteria Rujukan 1. 2. 3. Untuk memastikan diagnosis dan menentukan derajat PPOK PPOK eksaserbasi sedang - berat Rujukan penatalaksanaan jangka panjang Peralatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Spirometer Peak flow meter Pulse oxymeter Tabung oksigen Kanul hidung Sungkup sederhana Sungkup inhalasi Nebulizer Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin Prognosis 1. Ad vitam 2. Ad functionam 3. Ad sanationam : Dubia : Dubia : Dubia Referensi 1. 2. 3. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik. Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta. 2011. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011) Global strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc. 2013.(GLobal Initiatives for COPD, 2013) Global strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc. 2006.(Global Initiatives for COPD, 2006) ALGORITMA PENGOBATAN PPOK EKSASERBASI AKUT Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Gejala eksaserbasi : 1. 2. 3. Sesak bertambah Produksi sputum meningkat Perubahan warna sputum Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga : a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline , atau frekuensi nadi > 20% baseline Gambar 10.3 Algoritma Pengobatan PPOK Eksaserbasi Akut 12. EPISTAKSIS No. ICPC-2: R06. Nose bleed/epistaxis No. ICD-10: R04.0 Epistaxis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir keluar dari hidung yang berasal dari rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan. Hampir 90% epistaksis dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu. Faktor etiologi dapat lokal atau sistemik. Sumber perdarahan harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif. Klasifikasi 1. Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. Epistaksis Anterior Epistaksis anterior paling sering berasal dari pleksus Kiesselbach, yang merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Selain itu juga dapat berasal dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana. 2. b. Banyaknya perdarahan c. Frekuensi d. Lamanya perdarahan 5. 6. 7. 8. Epistaksis Posterior Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina atau arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada orang dewasa yang menderita hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan. 9. Pemeriksaan Fisik 1. 2. Rinoskopi anterior Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat untuk mengetahui sumber perdarahan. Keluhan Keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari hidung. Harus ditanyakan secara spesifik mengenai : a. Lokasi keluarnya darah (depan rongga hidung atau ke tenggorok) Kebiasaan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Hasil Anamnesis (Subjective) 1. Trauma Adanya penyakit di hidung yang mendasari, misalnya: rinosinusitis, rinitis alergi. Penyakit sistemik, seperti kelainan pembuluh darah, nefritis kronik, demam berdarah dengue. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti NSAID, aspirin, warfarin, heparin, tiklodipin, semprot hidung kortikosteroid. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal, atau nasofaring. Kelainan kongenital, misalnya: hereditary hemorrhagic telangiectasia / Osler’s disease. Adanya deviasi septum. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah, atau lingkungan dengan udara yang sangat kering. 2. Rinoskopi posterior 3. Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang untuk menyingkirkan neoplasma. 2. 3. Pengukuran tekanan darah 1. Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis posterior yang hebat dan sering berulang. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok, pasien bisa berbaring dengan kepala dimiringkan. 2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 3-5 menit (metode Trotter). 3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku. 4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan kapas yang dibasahi ke dalam hidung dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk mencari sumber perdarahan. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. 5. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi larutan Nitras Argenti 15 – 25% atau asam Trikloroasetat 10%. Sesudahnya area tersebut diberi salep antibiotik. 6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi Vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapislapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus Penatalaksanaan Pemeriksaan Penunjang Bila diperlukan: 1. Darah perifer lengkap 2. Skrining terhadap koagulopati (bleeding time, clotting time) Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Diagnosis Banding Hemoptisis, Varises oesofagus yang berdarah, Perdarahan di basis cranii, Karsinoma nasofaring, Angiofibroma hidung. Komplikasi 1. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat) dan sumbatan duktus lakrimal. 2. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibir bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik. 3. Akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Tiga prinsip utama epistaksis, yaitu : 1. dalam menanggulangi Menghentikan perdarahan Mencegah komplikasi Mencegah berulangnya epistaksis menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Selama pemakaian tampon, diberikan antibiotik sistemik dan analgetik. Gambar 10.4 Tampon anterior hidung 7. a. Untuk perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior). Teknik pemasangan tampon posterior, yaitu: Masukkan kateter karet melalui nares anterior dari hidung yang berdarah sampai tampak di orofaring, lalu tarik keluar melalui mulut. b. Ikatkan ujung kateter pada 2 buah benang tampon Bellocq, kemudian tarik kembali kateter itu melalui hidung. c. Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior dengan bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. d. Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. e. Lekatkan benang yang terdapat di rongga mulut dan terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. f. Berikan juga obat hemostatik selain dari tindakan penghentian perdarahan itu. Gambar 10.5 Tampon posterior (Bellocq) untuk hidung Rencana Tindak Lanjut Setelah perdarahan dapat diatasi, langkah selanjutnya adalah mencari sumber perdarahan atau penyebab epistaksis. Konseling dan Edukasi Memberitahu pasien dan keluarga untuk: 1. 1. Mengidentifikasi penyebab epistaksis, karena hal ini merupakan gejala suatu penyakit, sehingga dapat mencegah timbulnya kembali epistaksis. 2. Mengontrol tekanan darah pada penderita dengan hipertensi. 3. Menghindari membuang hidung terlalu keras. 4. Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat pada pasien anak. 5. Membatasi penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen. lendir melalui Pemeriksaan penunjang lanjutan Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal bila dicurigai sinusitis. Kriteria Rujukan 1. Bila perlu mencari sumber perdarahan dengan modalitas yang tidak tersedia di layanan Tingkat Pertama, misalnya nasoendoskopi. 2. Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di rongga hidung atau nasofaring. 3. Epistaksis yang terus berulang atau masif Prognosis 1. 2. 3. Ad vitam Ad functionam Ad sanationam : Bonam : Bonam : Bonam 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Referensi 1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997. 2. Iskandar, M. Teknik Penatalaksanaan Epistaksis. In: Cermin Dunia Kedokteran. No. 132. 2001. p. 43-4(Iskandar, 2001) 3. Mangunkusumo, E. Wardani, R.S. Epistaksisdalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke-6. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Lidi kapas Nelaton kateter Benang kasur Larutan Adrenalin 1/1000 Larutan Pantokain 2% atau Lidokain 2% Larutan Nitras Argenti 15 – 25% Salep vaselin, Salep antibiotik Lampu kepala Spekulum hidung Alat penghisap (suction) Pinset bayonet Tampon anterior, Tampon posterior Kaca rinoskopi posterior Kapas dan kain kassa 13. BENDA ASING DI HIDUNG No. ICPC-2 No. ICD-10 : R87. Foreign body nose/larynx/bronch : T17.1 Foreign body in nostril Tingkat Kemampuan : 4A Masalah Kesehatan Kasus benda asing di hidung sering ditemui oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan Tingkat Pertama. Kasus ini paling sering dialami oleh anak dan balita. Terdapat dua jenis benda asing, yaitu benda hidup (organik) dan benda mati (anorganik). Contoh benda asing organik, antara lain lintah, lalat, larva, sedangkan benda asing anorganik, misalnya manik-manik, kertas, tisu, logam, baterai kecil, kacang-kacangan, dan lain-lain. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Hidung tersumbat Onset tiba-tiba Umumnya unilateral Hiposmia atau anosmia Setelah 2 – 3 hari, keluar sekret mukoid / mukopurulen dan berbau di satu sisi hidung. Dapat timbul rasa nyeri Bila benda asing organik, terasa ada yang bergerak-gerak di dalam rongga hidung. 8. Khusus untuk lintah, sumbatan pada hidung semakin memberat setiap hari. Adanya laporan dari pasien atau orang tua mengenai adanya benda yang masuk atau dimasukkan ke rongga hidung. 4. Faktor Risiko Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan masuknya benda asing ke dalam rongga hidung: 1. 2. 3. 4. Umur: biasanya anak ≤ 5 tahun Adanya kegagalan mekanisme proteksi yang normal, misal: keadaan tidur, kesadaran menurun, alkoholisme, epilepsi Adanya masalah kejiwaan, emosi, dan gangguan psikiatrik Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Pada rinoskopi anterior, nampak: 2. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Konseling dan Edukasi 1. 2. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Rinolit Komplikasi 1. 2. 3. Obstruksi jalan napas akut akibat masuknya benda asing ke saluran napas yang lebih distal (laring, trakea). Pada benda asing organik berupa larva / ulat / lintah, dapat terjadi destruksi mukosa dan kartilago hidung. Benda asing baterai cepat merusak mukosa Medikamentosa Pemberian antibiotik per oral selama 5 hari bila telah terjadi infeksi sekunder. Pemeriksaan Penunjang: Foto Rontgen kranium (Schedel) posisi AP dan lateral, bila diperlukan dan fasilitas tersedia. Tindakan ekstraksi benda asing secara manual dengan menggunakan pengait tumpul atau pinset. Dokter perlu berhati-hati agar tidak sampai mendorong benda asing lebih dalam sehingga masuk ke saluran napas bawah. b. Untuk lintah, sebelum ekstraksi, teteskan air tembakau ke dalam rongga hidung dan biarkan 5 menit hingga lintah terlebih dahulu terlepas dari mukosa hidung. Pemeriksaan Fisik Benda asing Sekret purulen (bila sudah berlangsung 2 – 3 hari) Non Medikamentosa a. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) 1. 2. sehingga dapat masuk ke dalam septum atau konka inferior dalam beberapa jam dan menyebabkan perforasi septum. Pada benda asing berupa lalat (miasis hidung), dapat terjadi invasi ke intrakranium dan, walaupun jarang, dapat menyebabkan meningitis yang fatal. 3. Reassurance bahwa tidak ada kondisi berbahaya bila segera dilakukan ekstraksi. Sebelum tindakan dilakukan, dokter perlu menjelaskan mengenai prosedur ekstraksi dan meminta persetujuan pasien / orang tua (informed consent). Setelah benda asing berhasil dikeluarkan, dokter dapat memberi beberapa saran yang relevan untuk mencegah berulangnya kejadian kemasukan benda asing ke hidung di kemudian hari, misalnya: a. Pada orang tua, dapat lebih berhatihati dalam meletakkan benda-benda yang mudah atau sering dimasukkan ke dalam rongga hidung. b. Pada anak, dapat diingatkan untuk menghindari memasukkan bendabenda ke dalam hidung. c. Pada pekerja yang sering terpapar larva atau benda-benda organik lain, dapat menggunakan masker saat bekerja. Kriteria Rujukan 1. Pengeluaran benda asing tidak berhasil karena perlekatan atau posisi benda asing sulit dilihat. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Referensi 1. Efiaty, A. Nurbaiti, I. Jenny, B. Ratna, D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 6th Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. 2. Buku Modul Hidung: Benda Asing 1st ed. Jakarta: Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 2008. (Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008) 2. Pasien tidak kooperatif. Prognosis 1. 2. 3. Ad vitam Ad functionam Ad sanationam : Bonam : Bonam : Bonam Peralatan 1. 2. Pengait tumpul(blunt hook) Pinset Forsep aligator Suction Xylocaine 2% spray Formulir informed consent Lampu kepala Spekulum hidung 14. FURUNKEL PADA HIDUNG No. ICPC-2 No. ICD-10 : R73. Boil/abscess nose : J34.0 Abscess, furuncle and carbuncle of nose Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau folikel rambut hidung yang melibatkan jaringan subkutan. Biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Penyakit ini memiliki insidensi yang rendah. Belum terdapat data spesifik yang menunjukkan prevalensi furunkel. Furunkel umumnya terjadi paling banyak pada anak-anak, remaja sampai dewasa muda. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. 2. Bisul di dalam hidung, disertai rasa nyeri dan perasaan tidak nyaman. Kadang dapat disertai gejala rinitis. 2. 3. 4. Higiene personal yang buruk Rinitis kronis, akibat iritasi dari sekret rongga hidung. Kebiasaan mengorekrinitisbagian dalam hidung. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Pada lubang hidung tampak furunkel. Paling sering terdapat pada lateral vestibulum nasi yang mempunyai vibrissae (rambut hidung). Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan Penegakan Diagnostik (Assessment) Faktor Risiko Diagnosis Klinis 1. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sosio ekonomi rendah Diagnosis 3. Banding:- Kriteria Rujukan: - Komplikasi Prognosis 1. 1. 2. 3. 2. 3. Penyebaran infeksi ke vena fasialis, vena oftalmika, lalu ke sinus kavernosus sehingga menyebabkan tromboflebitis sinus kavernosus. Abses. Vestibulitis. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Non Medikamentosa a. Kompres hangat b. Insisi dilakukan jika telah timbul abses 2. Medikamentosa a. Antibiotik topikal, seperti salep Bacitrasin dan Polimiksin B b. Antibiotik oral selama 7-10 hari, yaitu Amoksisilin 3 x 500 mg/hari, Sefaleksin 4 x 250 – 500 mg/hari, atau Eritromisin 4 x 250 – 500 mg/hari. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 2. Lampu kepala Spekulum hidung Skalpel atau jarum suntik ukuran sedang (untuk insisi) Kassa steril Klem Pinset Bayonet Larutan Povidon Iodin 7,5% Referensi 1. Adam, G.L. Boies L.R. Higler.Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke- 6. Jakarta: EGC. 1997. 2. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke- Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Konseling dan Edukasi 1. Ad vitam : Bonam Ad functionam : Bonam Ad sanationam : Bonam Peralatan dan Bahan Medis Habis Pakai Penatalaksanaan 1. Selalu menjaga kebersihan diri. Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek bagian dalam hidung. Tidak memencet atau melakukan insisi padafurunkel. 15. RINITIS AKUT No. ICPC-2: R74. Upper respiratory infection acute No. ICD-10: J00. Acute nasopharyngitis (common cold) Tingkat Kemampuan : 4A Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective) Rinitis akut adalah peradangan pada mukosa hidung yangberlangsung akut ( 10 hari namun masih < 12 minggu 3. Rinosinusitis akut bakterial: Bila terdapat sekurangnya 3 tanda / gejala berikut ini: a. Sekret berwarna atau purulen dari rongga hidung b. Nyeri yang berat dan terlokalisasi pada wajah c. Komplikasi 1. Demam, suhu > 38oC Penyebaran infeksi ke orbita paling sering terjadi pada sinusitis etmoid, frontal, dan maksila. Gejala dan tanda yang patut dicurigai sebagai infeksi orbita adalah: edema periorbita, selulitis orbita, dan nyeri berat pada mata. Kelainan dapat mengenai satu mata atau menyebar ke kedua mata. d. Peningkatan LED / CRP e. Double sickening, yaitu perburukan setelah terjadi perbaikan sebelumnya Rinosinusitis Kronis (RSK) Dasar penegakkan diagnosis RSK dapat dilihat pada tabel 5.5 di lampiran Kelainan orbita 2. Kelainan intrakranial Penyebaran infeksi ke intrakranial dapat menimbulkan meningitis, abses ekstradural, dan trombosis sinus kavernosus. Gejala dan tanda yang perlu dicurigai adalah: sakit kepala (tajam, progresif, terlokalisasi), paresis nervus kranial, dan perubahan status mental pada tahap lanjut. 3. d. Pasien dianjurkan untuk membilas atau mencuci hidung secara teratur dengan larutan garam isotonis (salin). Rencana Tindak Lanjut 1. Pasien dengan RSA viral (common cold) dievaluasi kembali setelah 10 hari pengobatan. Bila tidak membaik, maka diagnosis menjadi RSA pasca viral dan dokter menambahkan kortikosteroid (KS) intranasal ke dalam rejimen terapi. 2. Pasien dengan RSA pasca viral dievaluasi kembali setelah 14 hari pengobatan. Bila tidak ada perbaikan, dapat dipertimbangkan rujukan ke spesialis THT. 3. Pasien dengan RSA bakterial dievaluasi kembali 48 jam setelah pemberian antibiotik dan KS intranasal. Bila tidak ada perbaikan, dapat dipertimbangkan rujukan ke spesialis THT. Komplikasi lain, terutama pada rinosinusitis kronik, dapat berupa: osteomielitis sinus maksila, abses subperiosteal, bronkitis kronik, bronkiektasis. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Rinosinusitis Akut (RSA) Tujuan penatalaksanaan RSA adalah mengeradikasi infeksi, mengurangi severitas dan durasi gejala, serta mencegah komplikasi. Prinsip utama tatalaksana adalah memfasilitasi drainase sekret dari sinus ke ostium di rongga hidung. Tatalaksana RSA dapat dilihat dalam gambar Algoritma tatalaksana RSA. Konseling dan Edukasi : 1. 2. Pasien dan atau keluarga perlu mendapatkan penjelasan yang adekuat mengenai penyakit yang dideritanya, termasuk faktor risiko yang diduga mendasari. Dokter bersama pasien dapat mendiskusikan hal-hal yang dapat membantu mempercepat kesembuhan, misalnya: a. Pada pasien perokok, sebaiknya merokok dihentikan. Dokter dapat membantu pasien berhenti merokok dengan melakukan konseling (dengan metode 5A) atau anjuran (metode pengurangan, penundaan, atau cold turkey, sesuai preferensi pasien). b. Bila terdapat pajanan polutan seharihari, dokter dapat membantu memberikan anjuran untuk meminimalkannya, misalnya dengan pasien menggunakan masker atau ijin kerja selama simtom masih ada. c. Pasien dianjurkan untuk cukup beristirahat dan menjaga hidrasi. Kriteria Rujukan Pada kasus RSA, rujukan segera ke spesialis THT dilakukan bila: 1. Terdapat gejala dan tanda komplikasi, di antaranya: Edema / eritema periorbital perubahan posisi bola mata, Diplopia, Oftalmoplegia, penurunan visus, sakit kepala yang berat, pembengkakan area frontal, tanda-tanda iritasi meningeal, kelainan neurologis fokal. 2. Bila tidak terjadi perbaikan pasca terapi adekuat setelah 10 hari (RSA viral), 14 hari (RSA pasca viral), dan 48 jam (RSA bakterial). Rinosinusitis KronisStrategi tatalaksana RSK meliputi identifikasi dan tatalaksana faktor risiko serta pemberian KS intranasal atau oral dengan / tanpa antibiotik. Tatalaksana RSK dapat dilihat pada Algoritma tatalaksana RSK. Konseling dan Edukasi 1. Dokter perlu menjelaskan mengenai faktor risiko yang mendasari atau mencetuskan rinosinusitis kronik pada pasien beserta alternatif tatalaksana untuk mengatasinya. 2. Pencegahan timbulnya rekurensi juga perlu didiskusikan antara dokter dengan pasien. Kriteria Rujukan Rujukan ke spesialis THT dilakukan apabila: 1. Pasien imunodefisien 2. 3. Terdapat dugaan infeksi jamur Bila rinosinusitis terjadi ≥ 4 kali dalam 1 tahun Bila pasien tidak mengalami perbaikan setelah pemberian terapi awal yang adekuat setelah 4 minggu. Bila ditemukan kelainan anatomis ataupun dugaan faktor yang memerlukan tatalaksana oleh spesialis THT, misalnya: deviasi septum, polip nasal, atau tumor. 4. 5. Sinusitis Dentogenik 1. 2. 3. 7. 8. 9. 10. Formulir permintaan pemeriksaan radiologi 11. Formulir rujukan Referensi 1. Fokkens, W et.al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. Rhinol Suppl, 23, pp.1-298. Available at: http://www.rhinologyjournal.com [Accessed June 24, 2014]. (Fokkens, 2012) 2. Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala – Leher FKUI / RSCM. Panduan Pelayanan Medis Rinosinusitis. 3. 3. Desrosiers, M et.al, 2011. Canadian Clinical Practice Guidelines forAcute and Chronic Rhinosinusitis. Allergy, Asthma, & Clinical Immunology, 71, pp.1-38. Available at: http://www.aacijournal.com/content/7/1/2 [Accessed June 6,2014]. (Desrosier et.al, 2011) 4. Hwang, PH & Getz, A, 2014. Acute Sinusitis and Rhinosinusitis in Adults: Treatment. UpToDate Wolters Kluwer Health. Available at: www.uptodate.com [Accessed June 6, 2014]. (Hwang & Getz,2014) 5. Chow, AW et.al, 2012. IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults. Clinical Infectious Diseases, pp.e1-e41. Available at: http://cid. oxfordjournals.org/ [Accessed June 6, 2014]. (Chow et.al, 2012) 6. Fagnan, LJ, 1998. Acute Sinusitis: A CostEffective Approach to Diagnosis and Treatment. American Family Physician, 58(8), pp.1795-1802. Available at: http:// www.aafp.org/afp/1998/1115/p1795.html [Accessed June 6, 2014]. (Fagnan, 1998) Eradikasi fokus infeksi, misal: ekstraksi gigi Irigasi sinus maksila Antibiotik Prognosis Rinosinusitis Akut 1. 2. 3. Ad vitam : Bonam Ad functionam : Bonam Ad sanationam : Bonam Rinosinusitis Kronis 1. 2. 3. Ad vitam : Bonam Ad functionam : Dubia ad bonam Ad sanationam : Dubia ad bonam Sinusitis Dentogenik 1. 2. 3. Ad vitam : Bonam Ad functionam : Bonam Ad sanationam : Bonam Peralatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Termometer Spekulum hidung Kaca rinoskop posterior Kassa steril Lampu kepala Lampu Bunsen / spiritus dan korek api Otoskop Suction Lampu baca x-ray K. KULIT 1. MILIARIA No. ICPC-2 No. ICD-10 : S92 Sweat gland disease : L74.3 Miliaria, unspecified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat yang ditandai oleh adanya vesikel milier. Sinonim untuk penyakit ini adalah biang keringat, keringat buntet, liken tropikus, prickle heat. Berdasarkan survey yang dilakukan di Jepang didapatkan 5000 bayi baru lahir menderita miliaria. Survey tersebut mengungkapkan bahwa miliaria kristalina terjadi pada 4,5% nenonatus dengan usia ratarata 1 minggu dan miliaria rubra terjadi pada 4% neonatus dengan usia rata-rata 11-14 hari. Dari sebuah survey yang dilakukan di Iran ditemukan insiden miliaria pada 1,3% bayi baru lahir. Miliaria umumnya terjadi di daerah tropis dan banyak diderita pada mereka yang baru saja pindah dari daerah yang beriklim sedang ke daerah yang beriklim tropis. 1. Miliaria kristalina a. Terdiri atas vesikel miliar (1-2 mm), sub korneal tanpa tanda inflamasi, mudah pecah dengan garukan, dan deskuamasi dalam beberapa hari. b. Predileksi pada badan yang tertutup pakaian. c. 2. Gejala subjektif ringan memerlukan pengobatan. dan tidak Milaria rubra a. Jenis tersering, terdiri atas vesikel miliar atau papulo vesikel di atas dasar eritematosa sekitar lubang keringat, tersebar diskret. b. Gejala subjektif gatal dan pedih pada di daerah predileksi. Gambar 11.1 Miliaria rubra Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan yang dirasakan adalah gatal yang disertai timbulnya vesikel atau bintil, terutama muncul saat berkeringat, pada lokasi predileksi, kecuali pada miliaria profunda. Faktor Risiko 1. Tinggal di lingkungan tropis, panas, kelembaban yang tinggi. 2. Pemakaian baju terlalu ketat. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Tergantung pada jenis atau klasifikasi miliaria. Klasifikasi miliaria : 3. Miliaria profunda a. Merupakan kelanjutan miliaria rubra, berbentuk papul putih keras berukuran 1-3 mm, mirip folikulitis, dapat disertai pustul. b. Predileksi pada badan dan ekstremitas. Gambar 11.2 Miliaria profunda Bedak kocok: likuor faberi atau bedak kocok yang mengandung kalamin dan antipruritus lain (mentol dan kamfora) diberikan 2 kali sehari selama 1 minggu. Lanolin topikal atau bedak salisil 2% dibubuhi mentol ¼-2% sekaligus diberikan 2 kali sehari selama 1 minggu. Terapi berfungsi sebagai antipruritus untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya miliaria profunda. b. Sistemik (bila gatal dan bila diperlukan) 4. Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama 7 hari atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 7 hari Miliaria pustulosa Berasal dari miliaria rubra, dimana vesikelnya berubah menjadi pustul. Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan. Antihistamin non sedatif: loratadin 1 x 10 mg per hari selama 7 hari. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaaan fisik. Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang. Diagnosis Banding Konseling dan Edukasi Campak / morbili, Folikulitis, Varisela, Kandidiasis kutis, Erupsi obat morbiliformis Edukasi dilakukan dengan memberitahu keluarga agar dapat membantu pasien untuk: Komplikasi 1. Menghindari kondisi hidrasi berlebihan atau membantu pasien untuk memakai pakaian yang sesuai dengan kondisinya. 2. Menjaga ventilasi udara di dalam rumah. 3. Menghindari banyak berkeringat. 4. Prinsipnya adalah mengurangi pruritus, menekan inflamasi, dan membuka retensi keringat. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah: Memilih lingkungan yang lebih sejuk dan sirkulasi udara (ventilasi) cukup. 5. Mandi air dingin dan memakai sabun. 1. Melakukan modifikasi gaya hidup, yaitu: Tidak ada indikasi rujukan a. Peralatan Infeksi sekunder Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 2. Memakai pakaian yang tipis dan dapat menyerap keringat. Kriteria Rujukan b. Menghindari panas dan kelembaban yang berlebihan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit miliaria. c. Menjaga kebersihan kulit Prognosis d. Mengusahakan ventilasi yang baik Prognosis umumnya bonam, pasien dapat sembuh tanpa komplikasi. Memberikan farmakoterapi, seperti: a. Topikal Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Levin, N.A. 2014. Dermatologic manifestation of miliaria. Medscape. May 21, 2014. http:// emedicine.medscape.com/article/1070840overview#a0199 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. 2. VERUKA VULGARIS No. ICPC-2: S03Warts No. ICD-10: B07 Viral warts Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan sepanjang goresan (fenomena Koebner). Veruka vulgaris merupakan hiperplasia epidermis yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu. Sinonim penyakit ini adalah kutil atau common wart. Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Veruka ini sering dijumpai pada anak-anak dan remaja. Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan Gambar 11.3 Veruka vulgaris Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Adanya kutil pada kulit dan mukosa. Faktor Risiko 1. 2. 3. Biasanya terjadi pada anak-anak dan orang dewasa sehat. Pekerjaan yang berhubungan dengan daging mentah. Imunodefisiensi. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Diagnosis klinis dapat ditambahkan sesuai dengan bentuk klinis atau lokasi, yaitu: Pemeriksaan Fisik 1. 2. 3. Tanda Patognomonis Papul berwarna kulit sampai keabuan dengan permukaan verukosa. Papul ini dapat dijumpai pada kulit, mukosa dan kuku. Apabila permukaannya rata, disebut dengan veruka Plana. Dengan goresan dapat timbul autoinokulasi Veruka vulgaris Veruka Plana Veruka Plantaris Diagnosis Banding Kalus, Komedo, Liken planus, Kondiloma akuminatum, Karsinoma sel skuamosa Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan Tatalaksana Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit veruka vulgaris. 1. 2. Pasien harus menjaga kebersihan kulit. Pengobatan topikal dilakukan dengan pemberian bahan kaustik, misalnya dengan larutan AgNO3 25%, asam trikloroasetat 50% atau asam salisilat 20% - 40%. Prognosis Pada 90% kasus sembuh spontan dalam 5 tahun sehingga prognosis umumnya bonam. Komplikasi Referensi Efek samping dari penggunaan bahan kaustik dapat menyebabkan ulkus. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. Konseling dan Edukasi Edukasi pasien bahwa penyakit ini seringkali residif walaupun diberi pengobatan yang adekuat. Kriteria Rujukan Rujukan sebaiknya dilakukan apabila: 1. 2. Diagnosis belum dapat ditegakkan. Tindakan memerlukan anestesi/sedasi. 3. HERPES ZOSTER No. ICPC-2: S70 Herpes Zoster No. ICD-10: B02.9 Zoster without complication Tingkat Kemampuan Herpes Zoster tanpa komplikasi 4A Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective) Herpes Zoster adalah infeksi kulit dan mukosa yang disebabkan oleh virus Varisela-zoster. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. Herpes Zoster jarang terjadi pada anak- anak dan dewasa muda, kecuali pada pasien muda dengan AIDS, limfoma, keganasan, penyakit imunodefisiensi dan pada pasien yang menerima transplantasi sumsum tulang atau ginjal. Penyakit ini terjadi kurang dari 10% pada pasien yang berusia kurangdari 20 tahun dan hanya 5% terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 15 tahun. Insiden herpes zoster meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit ini pada pria dan wanita sama. Keluhan Nyeri radikular dan gatal terjadi sebelum erupsi. Keluhan dapat disertai dengan gejala prodromal sistemik berupa demam, pusing, dan malaise. Setelah itu timbul gejala kulit kemerahan yang dalam waktu singkat menjadi vesikel berkelompok dengan dasar eritem dan edema. Faktor Risiko 1. 2. Umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama orang tua. Imunodefisiensi Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) hanya berlangsung dalam waktu singkat dan kelainan kulit hanya berupa beberapa vesikel dan eritem. Pemeriksaan Fisik Sekelompok vesikel dengan dasar eritem yang terletak unilateral sepanjang distribusi saraf spinal atau kranial. Lesi bilateral jarang ditemui, namun seringkali, erupsi juga terjadi pada dermatom di dekatnya. Diagnosis Banding 1. 2. 3. Gambar 11.4 Herpes zoster Herpes simpleks Dermatitis venenata Pada saat nyeri prodromal, diagnosis dapat menyerupai migrain, nyeri pleuritik, infark miokard, atau apendisitis. Komplikasi Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang. 1. Neuralgia pasca-herpetik 2. Ramsay Hunt Syndrome: herpes pada ganglion genikulatum, ditandai dengan gangguan pendengaran, keseimbangan dan paralisis parsial. 3. Pada penderita dengan imunodefisiensi (HIV, keganasan, atau usia lanjut), vesikel sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik dapat terjadi infeksi sistemik. 4. Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, serta neuritis optik. 5. Paralisis motorik. Penegakan Diagnosis (Assessment) Penatalaksanaan komprehensif Diagnosis Klinis (Plan) Penatalaksanaan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Catatan untuk diperhatikan: 1. Pemeriksaan Penunjang 1. 2. 3. 4. Herpes zoster hemoragik, yaitu jika vesikel mengandung darah. Herpes zoster generalisata, yaitu kelainan kulit unilateral dan segmental ditambah kelainan kulit generalisata berupa vesikel soliter yang berumbilikasi. Keduanya merupakan tanda bahwa pasien mengalami imunokompromais. Herpes zoster oftalmikus, yaitu infeksi cabang pertama nervus trigeminus sehingga menimbulkan kelainan pada mata, di samping itu juga cabang kedua dan ketiga menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya. Herpes zoster abortif, yaitu penyakit yang 2. 3. 4. Terapi suportif dilakukan dengan menghindari gesekan kulit yang mengakibatkan pecahnya vesikel, pemberian nutrisi TKTP, istirahat dan mencegah kontak dengan orang lain. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan indikasi. Aspirin dihindari oleh karena dapat menyebabkan Reye’s syndrome. Pengobatan topikal: a. Stadium vesikel: bedak salisil 2% atau bedak kocok kalamin agar vesikel tidak pecah. b. Apabila erosif, diberikan kompres terbuka. Apabila terjadi ulserasi, dapat dipertimbangkan pemberian salep antibiotik. Pengobatan antivirus oral, antara lain dengan : a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak- b. c. anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis maksimal 800 mg), selama 7 hari, atau Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari. Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan pada 24 jam pertama setelah timbul lesi. Konseling dan Edukasi Konseling dan edukasi dilakukan kepada pasien mengenai: 1. 2. 3. Edukasi tentang perjalanan penyakit Herpes Zoster. Edukasi bahwa lesi biasanya membaik dalam 2-3 minggu pada individu imunokompeten. Edukasi mengenai seringnya komplikasi neuralgia pasca-herpetik. Kriteria Rujukan 2. 3. 4. Tidak diperlukan peralatan mendiagnosis penyakit Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari setelah terapi. Terjadi pada pasien bayi, anak dan geriatri (imunokompromais). Terjadi komplikasi. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka. khusus untuk Herpes Zoster. Prognosis Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya adalah bonam, sedangkan pasien dengan imunokompromais, prognosis menjadi dubia ad bonam. Referensi 1. 2. Pasien dirujuk apabila: 1. Peralatan 3. 4. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Janniger, C.K. Eastern, J.S., Hispenthal, D.R., Moon, J.E. 2014. Herper zoster. Medscape June 7, 2014. http://emedicine.medscape. com/article/1132465 overview#a0156 Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. 4. HERPES SIMPLEKS No. ICPC-2 No. ICD-10 : S71 Herpes Simplex : B00.9 Herpesviral infection, unspecified Tingkat Kemampuan Herpes Simpleks tanpa komplikasi 4A Masalah Kesehatan Infeksi akut yang disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe 1 atau tipe 2, yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah mukokutan. Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Infeksi primer oleh Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan HSV tipe 2 biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Diperkiraan ada 536 juta orang yang berusia 1549 tahun yang terinfeksi HSV-2 di seluruh dunia pada tahun 2003 atau sekitar16% dari populasi dunia pada rentang usia tersebut. Prevalensi penyakit ini lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria dan umumnya lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Hasil Anamnesis (Subjective) Gambar 11.5 Herpes simpleks Keluhan Infeksi primer HSV-1 biasanya terjadi pada anak dan subklinis pada 90% kasus, biasanya ditemukan perioral. Pada 10% sisanya, dapat terjadi gingivostomatitis akut. Infeksi primer HSV-2 terjadi setelah kontak seksual pada remaja dan dewasa, menyebabkan vulvovaginitis akut dan atau peradangan pada kulit batang penis. Infeksi primer biasanya disertai dengan gejala sistemik seperti demam, malaise, mialgia, nyeri kepala, dan adenopati regional. Infeksi HSV-2 dapat juga mengenai bibir. Gambar 11.6 Herpes simplek pada kelamin Infeksi rekuren biasanya didahului gatal atau sensasi terbakar setempat pada lokasi yang sama dengan lokasi sebelumnya. Prodromal ini biasanya terjadi mulai dari 24 jam sebelum timbulnya erupsi. Faktor Risiko 1. 2. Individu yang aktif secara seksual. Imunodefisiensi. Pemeriksaan Penunjang Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan Fisik Penegakan Diagnosis (Assessment) Papul eritema yang diikuti oleh munculnya vesikel berkelompok dengan dasar eritem. Vesikel ini dapat cepat menjadi keruh, yang kemudian pecah, membasah, dan berkrusta. Kadang-kadang timbul erosi/ulkus. Diagnosis Klinis Tempat predileksi adalah di daerah pinggang ke atas terutama daerah mulut dan hidung untuk HSV-1, dan daerah pinggang ke bawah terutama daerah genital untuk HSV-2. Untuk infeksi sekunder, lesi dapat timbul pada tempat yang sama dengan lokasi sebelumnya. Herpes simpleks tipe 1 Herpes simpleks tipe 2 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Catatan untuk diperhatikan: 1. Infeksi primer. 2. Fase laten: tidak terdapat gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis. 3. Infeksi rekurens. Diagnosis Banding 1. Impetigo vesikobulosa. 2. Ulkus genitalis pada penyakit menular seksual. Komplikasi Dapat terjadi pada individu dengan gangguan imun, berupa: 1. 2. 3. 4. Herpes simpleks ulserativa kronik. Herpes simpleks mukokutaneus akut generalisata. Infeksi sistemik pada hepar, paru, kelenjar adrenal, dan sistem saraf pusat. Pada ibu hamil, infeksi dapat menular pada janin, dan menyebabkan neonatal herpes yang sangat berbahaya. Kriteria Rujukan Pasien dirujuk apabila: 1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari setelah terapi. 2. Terjadi pada pasien bayi dan geriatrik (imunokompromais). 3. Terjadi komplikasi. 4. Terdapat penyakit penyerta menggunakan multifarmaka. Penatalaksana Komprehensif (Plan) yang Penatalaksanaan Peralatan 1. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit herpes simpleks. 2. 3. Terapi diberikan dengan antiviral, antara lain: a. Asiklovir, dosis 5 x 200 mg/hari selama 5 hari, atau b. Valasiklovir, dosis 2 x 500 mg/hari selama 7-10 hari. Pada herpes genitalis: edukasi tentang pentingnya abstinensia pasien harus tidak melakukan hubungan seksual ketika masih ada lesi atau ada gejala prodromal. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan indikasi. Aspirin dihindari oleh karena dapat menyebabkan Reye’s syndrome. Konseling dan Edukasi Edukasi untuk infeksi herpes simpleks merupakan infeksi swasirna pada populasi imunokompeten. Edukasi untuk herpes genitalis ditujukan terutama terhadap pasien dan pasangannya, yaitu berupa: 1. 2. 3. 4. 5. Informasi perjalanan alami penyakit ini, termasuk informasi bahwa penyakit ini menimbulkan rekurensi. Tidak melakukan hubungan seksual ketika masih ada lesi atau gejala prodromal. Pasien sebaiknya memberi informasi kepada pasangannya bahwa ia memiliki infeksi HSV. Transmisi seksual dapat terjadi pada masa asimtomatik. Kondom yang menutupi daerah yang terinfeksi, dapat menurunkan risiko transmisi dan sebaiknya digunakan dengan konsisten. Prognosis Prognosis umumnya bonam, namun quo ad sanationam adalah dubia ad malam karena terdapat risiko berulangnya keluhan serupa. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. 3. Looker, K. J., Garnett, G. P. & Schmid, G. P. 2008. An Estimate Of The Global Prevalence And Incidence Of Herpes Simplex Virus Type 2 Infection. World Health Organization. Bulletin Of The World Health Organization, 86, 805-12, A. June 8, 2014. http:// search.proquest.com/docview/229661081/ fulltextPDF?acc ountid=17242 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. 5. MOLUSKUM KONTAGIOSUM No. ICPC-2: S95 Molluscum contagiosum No. ICD-10: B08.1 Molluscum contagiosum Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Gambar 11.7 Moluskum kontagiosum Moluskum kontagiosum adalah penyakit yang disebabkan oleh virus poks yang menginfeksi sel epidermal. Penyakit ini terutama menyerang anak dan kadang-kadang juga orang dewasa. Pada orang dewasa, penyakit ini digolongkan kedalam penyakit akibat hubungan seksual. Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Adanya kelainan kulit berupa papul miliar. Masa inkubasi berlangsung satu sampai beberapa minggu. Pemeriksaan Penunjang Faktor Risiko Bila diperlukan, melakukan tindakan enukleasi pada papul untuk menemukan badan moluskum. 1. Penegakan Diagnosis (Assessment) 2. Terutama menyerang anak dan kadangkadang juga orang dewasa. Imunodefisiensi. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Papul miliar, kadang-kadang lentikular dan berwarna putih seperti lilin, berbentuk kubah yang kemudian di tengahnya terdapat lekukan (delle). Jika dipijat akan tampak keluar massa yang berwarna putih seperti nasi. Lokasi predileksi adalah daerah muka, badan, dan ekstremitas, sedangkan pada orang dewasa di daerah pubis dan genitalia eksterna. Kadangkadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga timbul supurasi. Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Komedo, Miliaria, Karsinoma sel basal nodular Komplikasi Lesi dapat mengalami infeksi sekunder. Jika moluskum mengenai kelopak mata (jarang terjadi), dapat terjadi konjungtivitis kronis. Pada individu dengan AIDS, moluskum seringkali tidak mudah dikenali,banyak, dan penatalaksanaannya membutuhkan ketrampilan khusus. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. Pasien perlu menjaga higiene kulit. Pengobatan dilakukan dengan mengeluarkan massa yang mengandung badan moluskum dengan menggunakan alat seperti ekstraktor komedo, jarum suntik, atau alat kuret kulit. Prognosis Konseling dan Edukasi Penyebaran dalam keluarga sangat jarang terjadi. Dengan demikian, anggota keluarga tidak perlu terlalu khawatir terhadap anak/individu dengan penyakit ini. Prognosis pada umumnya bonam karena penyakit ini merupakan penyakit yang selflimiting. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. Kriteria Rujukan 1. 2. 3. Tidak ditemukan badan moluskum. Terdapat penyakit komorbiditas terkait dengan kelainan hematologi. Pasien HIV/AIDS. yang Peralatan 1. 2. Lup Ekstraktor komedo, jarum suntik atau alat kuret kulit 6. REAKSI GIGITAN SERANGGA No. ICPC-2: S12 Insect bite/sting No. ICD-10: T63.4 Venom of other arthropods Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Hasil Anamnesis (Subjective) 14 hari setelah gigitan berlangsung. Keluhan kadang-kadang diikuti dengan reaksi sistemik gatal seluruh tubuh, urtikaria, dan angioedema, serta dapat berkembang menjadi suatu ansietas, disorientasi, kelemahan, GI upset (cramping, diarrhea, vomiting), dizziness, sinkop bahkan hipotensi dan sesak napas. Gejala dari delayed reaction mirip seperti serum sickness, yang meliputi demam, malaise, sakit kepala, urtikaria, limfadenopati dan poliartritis. Keluhan Faktor Risiko Pasien datang dengan keluhan gatal, rasa tidak nyaman, nyeri, kemerahan, nyeri tekan, hangat atau bengkak pada daerah tubuh yang digigit, umumnya tidak tertutup pakaian. 1. Reaksi gigitan serangga (insect bite reaction) adalah reaksi hipersensitivitas atau alergi pada kulit akibat gigitan (bukan terhadap sengatan/ stings) dan kontak dengan serangga. Gigitan hewan serangga, misalnya oleh nyamuk, lalat, bugs, dan kutu, yang dapat menimbulkan reaksi peradangan yang bersifat lokal sampai sistemik. Kebanyakan penderita datang sesaat setelah merasa digigit serangga, namun ada pula yang datang dengan delayed reaction, misalnya 10- 2. 3. 4. Lingkungan tempat tinggal yang banyak serangga. Riwayat atopi pada diri dan keluarga. Riwayat alergi. Riwayat alergi makanan. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) 2. Pemeriksaan Fisik Tanda Patognomonis 1. 2. 3. Urtika dan papul timbul secara simultan di tempat gigitan, dikelilingi zona eritematosa. Di bagian tengah tampak titik (punctum) bekas tusukan/gigitan, kadang hemoragik, atau menjadi krusta kehitaman. Bekas garukan karena gatal. Dapat timbul gejala sistemik seperti takipneu, stridor, wheezing, bronkospasme, hiperaktif peristaltic, dapat disertai tanda-tanda hipotensi orthostatik Pada reaksi lokal yang parah dapat timbul eritema generalisata, urtikaria, atau edema pruritus, sedangkan bila terdapat reaksi sistemik menyeluruh dapat diikuti dengan reaksi anafilaksis. 3. jam. Reaksi tipe lambat: Pada anak terjadi lebih dari 20 menit sampai beberapa jam setelah gigitan serangga. Pada orang dewasa dapat muncul 3-5 hari setelah gigitan. Reaksi tidak biasa: Sangat segera, mirip anafilaktik. Klasifikasi berdasarkan bentuk klinis: 1. 2. 3. 4. Urtikaria iregular. Urtikaria papular. Papulo-vesikular, misalnya pada prurigo. Punctum (titik gigitan), misalnya pada pedikulosis kapitis atau phtirus pubis. Diagnosis Banding Prurigo Komplikasi 1. 2. Gambar 11.8 Reaksi Gigitan serangga Infeksi sekunder akibat garukan. Bila disertai keluhan sistemik, dapat terjadi syok anafilaktik hingga kematian. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Tatalaksana 1. 2. Pemeriksaan Penunjang Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Prinsip penanganan kasus ini adalah dengan mengatasi respon peradangan baik yang bersifat lokal maupun sistemik. Reaksi peradangan lokal dapat dikurangi dengan sesegera mungkin mencuci daerah gigitan dengan air dan sabun, serta kompres es. Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi saluran napas. Penanganan pasien dapat dilakukan di Unit Gawat Darurat. Bila disertai obstruksi saluran napas diindikasikan pemberian epinefrin sub kutan. Dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis diturunkan 5-10 mg/hari. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi berdasarkan waktu terjadinya: Dalam kondisi stabil, terapi yang dapat diberikan yaitu: 1. a. Reaksi tipe cepat: Terjadi segera hingga 20 menit setelah gigitan, bertahan sampai 1-3 Sistemik • Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama 7 hari atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 7 hari. • Antihistamin non sedatif: loratadin 1 x 10 mg per hari selama 7 hari. b. Topikal Kortikosteroid topikal potensi sedang-kuat: misalnya krim mometason furoat 0,1% atau krim betametason valerat 0,5% diberikan selama 2 kali sehari selama 7 hari. Konseling dan Edukasi Keluarga diberikan penjelasan mengenai: 1. 2. Minum obat secara teratur. Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, memakai baju berlengan panjang dan celana panjang, pada beberapa kasus boleh memakai mosquito repellent jika diperlukan, dan lain-lain agar terhindar dari gigitan serangga. Peralatan 1. 2. Prognosis Prognosis umumnya bonam. Quo ad sanationam untuk reaksi tipe cepat dan reaksi tidak biasa adalah dubia ad malam, sedangkan reaksi tipe lambat adalah bonam. Referensi 1. 2. 3. Kriteria rujukan Jika kondisi memburuk, yaitu dengan makin bertambahnya patch eritema, timbul bula, atau disertai gejala sistemik atau komplikasi. 7. SKABIES No. ICPC-2 No. ICD-10 Alat resusitasi Tabung dan masker oksigen Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta : S72 Scabies/other acariasis : B86 Scabies Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Skabies adalah penyakit yang disebabkan infestasi dan sensitisasi kulit oleh tungau Sarcoptes scabiei dan produknya. Penyakit ini berhubungan erat dengan higiene yang buruk. Prevalensi skabies tinggi pada populasi yang padat. Dari hasil penelitian di Brazil, prevalensi skabies dua kali lebih tinggi di daerah kumuh perkotaan yang padat penduduk daripada di masyarakat nelayan dimana mereka tinggal di tempat yang lebih luas. Penularan dapat terjadi karena: 1. Kontak langsung kulit dengan kulit 2. penderita skabies, seperti menjabat tangan, hubungan seksual, atau tidur bersama. Kontak tidak langsung (melalui benda), seperti penggunaan perlengkapan tidur bersama dan saling meminjam pakaian, handuk dan alat-alat pribadi lainnya, tidak memiliki alat-alat pribadi sendiri sehingga harus berbagi dengan temannya. Tungau hidup dalam epidermis, tahan terhadap air dan sabun dan tetap hidup bahkan setelah mandi dengan air panas setiap. Hasil Anamnesis (Subjective) Gejala klinis: 1. 2. Pruritus nokturna, yaitu gatal yang hebat terutama pada malam hari atau saat penderita berkeringat. Lesi timbul di stratum korneum yang tipis, seperti di sela jari, pergelangan tangan dan kaki, aksila, umbilikus, areola mammae dan di bawah payudara (pada wanita) serta genital eksterna (pria). Faktor Risiko: 1. 2. 3. 4. Masyarakat yang hidup dalam kelompok yang padat seperti tinggal di asrama atau pesantren. Higiene yang buruk. Sosial ekonomi rendah seperti di panti asuhan, dan sebagainya. Hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Terdapat 4 tanda kardinal untuk diagnosis skabies, yaitu: 1. 2. 3. 4. Pruritus nokturna. Penyakit menyerang manusia secara berkelompok. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok-kelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel. Ditemukannya tungau dengan pemeriksaan mikroskopis. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Diagnosis ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda tersebut. Pemeriksaan Fisik Diagnosis Banding Lesi kulit berupa terowongan (kanalikuli) berwarna putih atau abu- abu dengan panjang rata-rata 1 cm. Ujung terowongan terdapat papul, vesikel, dan bila terjadi infeksi sekunder, maka akan terbentuk pustul, ekskoriasi, dan sebagainya.Pada anak-anak, lesi lebih sering berupa vesikel disertai infeksi sekunder akibat garukan sehingga lesi menjadi bernanah. Skabies adalah penyakit kulit yang disebut dengan the great imitator dari kelainan kulit dengan keluhan gatal. Diagnosis bandingnya adalah: Pioderma, Impetigo, Dermatitis, Pedikulosis korporis Gambar 11.9 Skabies Komplikasi Infeksi kulit sekunder terutama oleh S. aureus sering terjadi, terutama pada anak. Komplikasi skabies dapat menurunkan kualitas hidup dan prestasi belajar. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit untuk menemukan tungau. 2. Melakukan perbaikan higiene diri dan lingkungan, dengan: a. Tidak menggunakan peralatan pribadi secara bersama-sama dan alas tidur diganti bila ternyata pernah digunakan oleh penderita skabies. b. Menghindari kontak langsung dengan penderita skabies. Terapi tidak dapat dilakukan secara individual melainkan harus serentak dan menyeluruh pada seluruh kelompok orang yang ada di sekitar penderita skabies. Terapi diberikan dengan salah satu obat topikal (skabisid) di bawah ini: a. Salep 2-4 dioleskan di seluruh tubuh, selama 3 hari berturut- turut, dipakai setiap habis mandi. b. Krim permetrin 5% di seluruh tubuh. Setelah 10 jam, krim permetrin dibersihkan dengan sabun. Terapi skabies ini tidak dianjurkan pada anak < 2 tahun. Peralatan 1. 2. Lup Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit. Prognosis Prognosis umumnya bonam, namun tatalaksana harus dilakukan juga terhadap lingkungannya. Referensi 1. Konseling dan Edukasi Dibutuhkan pemahaman bersama agar upaya eradikasi skabies bisa melibatkan semua pihak. Bila infeksi menyebar di kalangan santri di sebuah pesantren, diperlukan keterbukaan dan kerjasama dari pengelola pesantren. Bila sebuah barak militer tersebar infeksi, mulai dari prajurit sampai komandan barak harus bahu membahu membersihkan semua benda yang berpotensi menjadi tempat penyebaran penyakit. 2. Kriteria Rujukan 4. 3. Pasien skabies dirujuk apabila keluhan masih dirasakan setelah 1 bulan paska terapi. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Heukelbach, J. & Feldmeier, H. 2006. Scabies. The Lancet, 367, 1767-74. June 8, 2014. http:// Search.Proquest.Com/Docview/199054155/ Fulltextpdf/Afbf4c2fd1bd4016pq/6?Accoun tid=17242 James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. 8. PEDIKULOSIS KAPITIS No. ICPC-2 No. ICD-10 : S73 Pediculosis/skin infestation other : B85.0 Pediculosis due to Pediculus humanus capitis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Pedikulosis kapitis adalah infeksi dan infestasi kulit kepala dan rambut manusia yang disebabkan oleh kutu kepala Pediculus humanus var capitis. Penyakit ini terutama menyerang anak-anak usia muda dan cepat meluas dalam lingkungan hidup yang padat, misalnya di asrama atau panti asuhan. Ditambah pula dalam kondisi higiene yang tidak baik, misalnya jarang membersihkan rambut atau rambut yang relatif susah dibersihkan (rambut yang sangat panjang pada wanita). Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab, melalui: 1. 2. Kontak fisik erat dengan kepala penderita, seperti tidur bersama. Kontak melalui fomite yang terinfestasi, misalnya pemakaian bersama aksesori kepala, sisir, dan bantal juga dapat menyebabkan kutu menular. Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Banding Keluhan Tinea kapitis, Impetigo krustosa (pioderma), Dermatitis seboroik Gejala yang paling sering timbul adalah gatal di kepala akibat reaksi hipersensitivitas terhadap saliva kutu saat makan maupun terhadap feses kutu. Gejala dapat pula asimptomatik Faktor Risiko 1. 2. 3. Status sosioekonomi yang rendah. Higiene perorangan yang rendah Prevalensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria, terutama pada populasi anak usia sekolah. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Komplikasi Infeksi sekunder bila pedikulosis berlangsung kronis. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Pengobatan bertujuan untuk memusnahkan semua kutu dan telur serta mengobati infeksi sekunder. 1. Sebaiknya rambut pasien dipotong sependek mungkin, kemudian disisir dengan menggunakan sisir serit, menjaga kebersihan kulit kepala dan menghindari kontak erat dengan kepala penderita. 2. Pengobatan topikal merupakan terapi terbaik, yaitu dengan pedikulosid dengan pengobatan Permetrin 1% dalam bentuk cream rinse, dibiarkan selama 2 jam. Pedikulosid sebaiknya tidak digunakan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Cara penggunaan: rambut dicuci dengan shampo, kemudian dioleskan losio/krim dan ditutup dengan kain. Setelah menunggu sesuai waktu yang ditentukan, rambut dicuci kembali lalu disisir dengan sisir serit. 3. Pada infeksi sekunder yang berat sebaiknya rambut dicukur, diberikan pengobatan dengan antibiotik sistemik dan topikal telebih dahulu, lalu diberikan obat di atas dalam bentuk shampo. Pemeriksaan Fisik Lesi kulit terjadi karena bekas garukan, yaitu bentuk erosi dan ekskoriasi. Bila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri, maka timbul pus dan krusta yang menyebabkan rambut bergumpal, disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional. Ditemukan telur dan kutu yang hidup pada kulit kepala dan rambut. Telur P. humanus var. capitis paling sering ditemukan pada rambut di daerah oksipital dan retroaurikular. Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan menemukan kutu atau telur kutu di kulit kepala dan rambut. Gambar 11.10 Telur Pediculus humanus capitis Konseling dan Edukasi Edukasi keluarga tentang pedikulosis penting untuk pencegahan. Kutu kepala dapat ditemukan di sisir atau sikat rambut, topi, linen, boneka kain, dan upholstered furniture, walaupun kutu lebih memilih untuk berada dalam jarak dekat dengan kulit kepala, sehingga harus menghindari pemakaian alat-alat tersebut bersama-sama. Anggota keluarga dan teman bermain anak yang terinfestasi harus diperiksa, namun terapi hanya diberikan pada yang terbukti mengalami infestasi. Kerjasama semua pihak dibutuhkan agar eradikasi dapat tercapai. Referensi 1. Kriteria Rujukan Apabila terjadi infestasi kronis dan tidak sensitif terhadap terapi yang diberikan. 2. Peralatan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit pedikulosis kapitis. 3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.PedomanPelayanan Medik. Jakarta. Prognosis Prognosis umumnya bonam. 9. PEDIKULOSIS PUBIS No. ICPC-2 No.ICD-10 : S 73 Pediculosis/skin infestation other : B 85.3 Pthiriasis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Pedikulosis pubis adalah penyakit infeksi pada rambut di daerah pubis dan sekitarnya yang disebabkan oleh Phthirus pubis. Penyakit ini menyerang orang dewasa dan dapat digolongkan dalam penyakit akibat hubungan seksual dan menular secara langsung. Infeksi juga bisa terjadi pada anak-anak yang berasal dari orang tua mereka dan terjadi di alis, atau bulu mata. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat meluas sampai ke daerah abdomen dan dada. Gejala patognomonik lainnya adalah adanya black dot yaitu bercak-bercak hitam yang tampak jelas pada celana dalam berwarna putih yang dilihat penderita pada waktu bangun tidur. Bercak hitam tersebut adalah krusta berasal dari darah yang sering diinterpretasikan salah sebagai hematuria. Faktor Risiko: 1. 2. 3. Aktif secara seksual Higiene buruk Kontak langsung dengan penderita Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Pada inspeksi ditemukan bercak-bercak yang berwarna abu-abu atau kebiruan yang disebut makula serulae pada daerah pubis dan sekitarnya. Kutu dapat dilihat dengan mata telanjang dan juga bisa didapatkan pembengkakan kelenjar getah bening sekitar. Pemeriksaan Penunjang Mencari telur atau bentuk dewasa P. pubis Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gambar 11.11 Pedikulosis pubis Diagnosis Banding: 1. 2. Dermatitis seboroik Dermatomikosis Komplikasi: Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Pengobatan topikal : emulsi benzil benzoat 25% yang dioleskan dan didiamkan selama 24 jam. Pengobatan diulangi 4 hari kemudian, jika belum sembuh Rencana Tindak Lanjut : Mitra seksual juga diperiksa dan diobati Konseling dan Edukasi 1. 2. 3. Menjaga kebersihan badan Sebaiknya rambut kelamin dicukur Pakaian dalam direbus atau diseterika Kriteria Rujukan : Peralatan Tidak diperlukan perlatan khusus untuk mendiagnosis penyakit pedikulosis pubis. Prognosis Bonam Referensi 1. Cho B.S., Kim H.S., Pediculosis of The Pubis. Available from http://www.nejm.org/doi/ pdf/10.1056/NEJMicm0707428 (10 Juni 2014) 2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 3. Guenther L. Pediculosis. Available from http://e- medicine.medscape.com (10 Juni 2014) 10. DERMATOFITOSIS : S74 No. Dermatophytosis ICPC-2 No. ICD-10 : B35 Dermatophytosis B35.0 Tinea barbae and tinea capitis B35.1 Tinea unguium B35.2 Tinea manuum B35.3 Tinea pedis B35.4 Tinea corporis B35.5 Tinea imbricate B35.6 Tinea cruris B35.8 Other dermatophytoses Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Dermatofitosis adalah infeksi jamur dermatofita yang memiliki sifat mencernakan keratin di jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku. Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Sumber penularan dapat berasal dari manusia (jamur antropofilik), binatang (jamur zoofilik) atau dari tanah (jamur geofilik). Klasifikasi dermatofitosis yang praktis adalah berdasarkan lokasi, yaitu antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala. Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan jenggot. Tinea kruris, pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan perut bagian bawah. Tinea pedis et manum, pada kaki dan tangan. Tinea unguium, pada kuku jari tangan dan kaki. Tinea korporis, pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea di atas. Bila terjadi di seluruh tubuh disebut dengan tinea imbrikata. Tinea pedis banyak didapatkan pada orang yang dalam kehdupan sehari-hari banyak memakai sepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu atau sering basah. Tinea kruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pada sebagian besar infeksi dermatofita, pasien datang dengan bercak merah bersisik yang gatal. Adanya riwayat kontak dengan orang yang mengalami dermatofitosis. Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. Lingkungan yang lembab dan panas Imunodefisiensi Obesitas Diabetes Melitus Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Pemeriksaan Fisik Gambaran umum: Lesi berbentuk infiltrat eritematosa, berbatas tegas, dengan bagian tepi yang lebih aktif daripada bagian tengah, dan konfigurasi polisiklik. Lesi dapat dijumpai di daerah kulit berambut terminal, berambut velus (glabrosa) dan kuku. Pemeriksaan Penunjang Bila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH, akan ditemukan hifa panjang dan artrospora. 2. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang. 3. Gambar 11.12 Dermatofitosis Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topikal, yaitu dengan: antifungal topikal seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau terbinafin yang diberikan hingga lesi hilang dan dilanjutkan 1-2 minggu kemudian untuk mencegah rekurensi. Untuk penyakit yang tersebar luas atau resisten terhadap terapi topikal, dilakukan pengobatan sistemik dengan: a. Griseofulvin dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g per hari untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g per hari untuk anak- anak atau 10-25 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 2 dosis. b. Golongan azol, seperti Ketokonazol: 200 mg/hari; Itrakonazol: 100 mg/hari atau Terbinafin: 250 mg/hari. Pengobatan diberikan selama 10-14 hari pada pagi hari setelah makan. Konseling dan Edukasi Diagnosis Banding Tinea Korporis : Dermatitis numularis, Pytiriasis rosea, Erythema annulare centrificum, Granuloma annulare Edukasi mengenai penyebab dan cara penularan penyakit. Edukasi pasien dan keluarga juga untuk menjaga higiene tubuh, namun penyakit ini bukan merupakan penyakit yang berbahaya. Tinea Kruris : Kandidiasis, Dermatitis intertrigo, Eritrasma Kriteria rujukan Pasien Tinea Pedis : Hiperhidrosis, Dermatitis kontak, Dyshidrotic eczema 1. dirujuk apabila: Penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari setelah terapi. Terdapat imunodefisiensi. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka. Tinea Manum : Dermatitis kontak iritan, Psoriasis 2. 3. Tinea Fasialis : Dermatitis seboroik, Dermatitis kontak Peralatan Komplikasi 1. 2. Jarang ditemukan, bakterial sekunder. dapat berupa infeksi Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian handuk/pakaian secara bersamaan harus dihindari. Lup Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH Prognosis Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya bonam, sedangkan pasien dengan imunokompromais, quo ad sanationamnya menjadi dubia ad bonam. Referensi 1. 2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical 11. PITIRIASIS VERSIKOLOR/ TINEA VERSIKOLOR No. ICPC-2: S76 Skin infection other No. ICD-10: Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Tinea versikolor adalah penyakit infeksi pada superfisial kulit dan berlangsung kronis yang disebabkan oleh jamur Malassezia furfur. Prevalensi penyakit ini tinggi pada daerah tropis yang bersuhu hangat dan lembab. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien pada umumnya datang berobat karena tampak bercak putih pada kulitnya. Keluhan gatal ringan muncul terutama saat berkeringat, namun sebagian besar pasien asimptomatik. Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. Sering dijumpai pada dewasa muda (kelenjar sebasea lebih aktif bekerja). Cuaca yang panas dan lembab. Tubuh yang berkeringat. Imunodefisiensi Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Lesi berupa makula hipopigmentasi atau berwarna-warni, berskuama halus, berbentuk B36.0 Pityriasis versicolor bulat atau tidak beraturan dengan batas tegas atau tidak tegas. Skuama biasanya tipis seperti sisik dan kadangkala hanya dapat tampak dengan menggores kulit (finger nail sign). Predileksi di bagian atas dada, lengan, leher, perut, kaki, ketiak, lipat paha, muka dan kepala. Penyakit ini terutama ditemukan pada daerah yang tertutup pakaian dan bersifat lembab. Pemeriksaan Penunjang 1. 2. Pemeriksaan lampu Wood menampakkan pendaran (fluoresensi) kuning keemasan pada lesi yang bersisik. Pemeriksaan mikroskopis sediaan kerokan skuama lesi dengan KOH. Pemeriksaan ini akan tampak campuran hifa pendek dan spora-spora bulat yang dapat berkelompok (spaghetti and meatball appearance). Gambar 11.13 Tinea versikolor Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Vitiligo, Dermatitis seboroik, Pitiriasis alba, Morbus hansen, Eritrasma Komplikasi tinggi (± 50% pasien). Infeksi jamur dapat dibunuh dengan cepat tetapi membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengembalikan pigmentasi ke normal. Untuk pencegahan, diusahakan agar pakaian tidak lembab dan tidak berbagi dengan orang lain untuk penggunaan barang pribadi. Kriteria Rujukan Sebagian besar kasus tidak memerlukan rujukan. Peralatan Jarang terjadi. 1. 2. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. Lup Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH Pasien disarankan untuk tidak menggunakan pakaian yang lembab dan tidak berbagi penggunaan barang pribadi dengan orang lain. Prognosis Pengobatan terhadap keluhannya dengan: 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. a. Prognosis umumnya bonam. Referensi Pengobatan topikal Suspensi selenium sulfida 1,8%, dalam bentuk shampo yang digunakan 2-3 kali seminggu. Obat ini digosokkan pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum mandi. Derivat azol topikal, antara mikonazol dan klotrimazol. lain b. Pengobatan sistemik diberikan apabila penyakit ini terdapat pada daerah yang luas atau jika penggunaan obat topikal tidak berhasil. Obat tersebut, yaitu: Ketokonazol per oral dengan dosis 1x200 mg sehari selama 10 hari, atau Itrakonazol per oral dengan dosis 1 x 200 mg sehari selama 5-7 hari (pada kasus kambuhan atau tidak responsif dengan terapi lainnya). Konseling dan Edukasi Edukasi pasien dan keluarga bahwa pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten, karena angka kekambuhan 12. PIODERMA No. ICPC-2: S84 Impetigo S76 Skin infection other No. ICD-10: L01 Impetigo L02 Cutaneous abscess, furuncle and carbuncle L08.0 Pyoderma Tingkat Kemampuan : Folikulitis superfisialis 4A, Furunkel, Furunkulosis dan Karbunkel 4A Impetigo krustosa (im Masalah Kesehatan Pioderma adalah infeksi kulit (epidermis, dermis dan subkutis) yang disebabkan oleh bakteri gram positif dari golongan Stafilokokus dan Streptokokus. Pioderma merupakan penyakit yang sering dijumpai. Di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, insidennya menduduki peringkat ketiga, dan berhubungan erat dengan keadaaan sosial ekonomi. Penularannya melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang mengeluh adanya koreng atau luka di kulit 1. Awalnya berbentuk seperti bintil kecil yang gatal, dapat berisi cairan atau nanah dengan dasar dan pinggiran sekitarnya kemerahan. Keluhan ini dapat meluas menjadi bengkak disertai dengan rasa nyeri. 2. Bintil kemudian pecah dan menjadi keropeng/koreng yang mengering, keras dan sangat lengket. Faktor risiko: 1. Higiene yang kurang baik 2. Defisiensi gizi 3. Imunodefisiensi (CD4 dan CD8 yang rendah) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Folikulitis adalah peradangan folikel rambut yang ditandai dengan papul eritema perifolikuler dan rasa gatal atau perih. Furunkel adalah peradangan folikel rambut dan jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau pustul perifolikuler dengan eritema di sekitarnya dan disertai rasa nyeri. Furunkulosis adalah beberapa furunkel yang tersebar. Karbunkel adalah kumpulan dari beberapa furunkel, ditandai dengan beberapa furunkel yang berkonfluensi membentuk nodus bersupurasi di beberapa puncak. Impetigo krustosa (impetigo contagiosa) adalah peradangan yang memberikan gambaran vesikel yang dengan cepat berubah menjadi pustul dan pecah sehingga menjadi krusta kering kekuningan seperti madu. Predileksi spesifik lesi terdapat di sekitar lubang hidung, mulut, telinga atau anus. Impetigo bulosa adalah peradangan yang memberikan gambaran vesikobulosa dengan lesi bula hipopion (bula berisi pus). Ektima adalah peradangan yang menimbulkan kehilangan jaringan dermis bagian atas (ulkus dangkal). Gambar 11.14 Furunkel 2. Gambar 11.15 Ektima 3. 4. 5. 6. tinggi, sakit kepala, mual muntah, dan nyeri sendi. Pada pemeriksaan darah rutin dapat dijumpai leukositosis 20.000/mm3 atau lebih. Selulitis adalah peradangan supuratif yang menyerang subkutis, ditandai dengan peradangan lokal, infiltrate eritema berbatas tidak tegas, disertai dengan rasa nyeri tekan dan gejala prodromal tersebut di atas. Ulkus Limfangitis Limfadenitis supuratif Bakteremia (sepsis) Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Terapi suportif dengan menjaga higiene, nutrisi TKTP dan stamina tubuh. 2. Farmakoterapi dilakukan dengan: a. Pemeriksaan Penunjang 1. 2. Pemeriksaan dari apusan cairan sekret dari dasar lesi dengan pewarnaan Gram Pemeriksaan darah rutin kadang-kadang ditemukan leukositosis. Penegakan diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis 1. 2. 3. 4. 5. 6. Folikulitis Furunkel Furunkulosis Karbunkel Impetigo bulosa dan krustosa Ektima Komplikasi 1. Erisipelas adalah peradangan epidermis dan dermis yang ditandai dengan infiltrat eritema, edema, berbatas tegas, dan disertai dengan rasa panas dan nyeri. Onset penyakit ini sering didahului dengan gejala prodromal berupa menggigil, panas Topikal: Bila banyak pus/krusta, dilakukan kompres terbuka dengan permanganas kalikus (PK) 1/5.000 atau yodium povidon 7,5% yang dilarutkan 10 kali. Bila tidak tertutup pus atau krusta, diberikan salep atau krim asam fusidat 2% atau mupirosin 2%, dioleskan 2-3 kali sehari selama 7-10 hari. b. Antibiotik oral dapat diberikan dari salah satu golongan di bawah ini: Penisilin yang resisten penisilinase, seperti: terhadap kloksasilin. Dosis dewasa: 3 x 250500 mg/hari, selama 5-7 hari, selama 57 hari. Dosis anak: 50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari. Amoksisilin dengan asam klavulanat. Dosis dewasa: 3 x 250-500 mg Dosis anak: 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, selama 5-7 hari Klindamisin 4 x 150 mg per hari, pada infeksi berat dosisnya 4 x 300450 mg per hari. Eritromisin: dosis dewasa: 4 x 250-500 mg/hari, anak: 20-50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis, selama 5-7 hari. Sefalosporin, misalnya sefadroksil dengan dosis 2 x 500 mg atau 2 x 1000 mg per hari. c. Insisi untuk karbunkel yang menjadi abses untuk membersihkan eksudat dan jaringan nekrotik. Konseling dan Edukasi Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan penyakit dengan menjaga kebersihan diri dan stamina tubuh. Peralatan Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan Gram Prognosis Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi, prognosis umumnya bonam, bila dengan komplikasi, prognosis umumnya dubia ad bonam. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta Kriteria Rujukan Pasien dirujuk apabila terjadi: 1. 2. 3. Komplikasi mulai dari selulitis. Tidak sembuh dengan pengobatan selama 5-7 hari. Terdapat penyakit sistemik (gangguan metabolik endokrin dan imunodefisiensi). 13. ERISIPELAS No. ICPC-2: S 76Skin infection order No. ICD-10: A 46 Erysipelas Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Erisipelas adalah penyakit infeksi bakteri akut, biasanya disebabkan oleh Streptococcus, melibatkan dermis atas dengan tanda khas meluas ke limfatik kutaneus superfisial. Erisipelas pada wajah kebanyakan disebabkan oleh streptococcus grup A, sedangkan erisipelas pada ekstremitas bawah kebanyakan disebabkan oleh streptococcus non grup A. Di perkirakan 85% kasus erisipelas terjadi pada ekstremitas bawah. Erisipelas kebanyakan terjadi pada wanita, akan tetapi pada usia muda lebih sering terjadi pada pria. Insidens tertinggi dilaporkan pada pasien berusia 60 – 80 tahun khususnya pada pasien dengan gangguan saluran limfatik. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Terdapat gejala konstitusi seperti demam dan malaise sebelum terjadinya lesi pada kulit. Gejala umum pada lesi didapatkan gatal, rasa terbakar, nyeri dan bengkak. Didahului trauma atau riwayat faringitis. Faktor Risiko: 1. Penderita Diabetes Mellitus 2. Higiene buruk 3. Gizi kurang 4. Gangguan saluran limfatik Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Lokasi : kaki, tangan dan wajah Efloresensi : eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai edema, vesikel dan bula. Gambar 11.16 Erisipelas pada wajah Ganggren, Edema kronis, terjadi scar, sepsis, demam Scarlet, Pneumonia, Abses, Emboli, Meningitis Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. Istirahat Tungkai bawah dan kaki yang diserang ditinggikan Pengobatan sistemik : 1. 2. Analgetik antipiretik Antibiotik : a. Penisilin 0,6 – 1,5 mega unit 5-10 hari b. Sefalosporin 4 x 400 mg selama 5 hari Rencana tindak lanjut : 1. 2. Memantau terjadinya komplikasi Mencegah faktor risiko Konseling dan Edukasi 1. Gambar 11.17 Erisipelas pada kaki Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol gula darah 2. Menjaga kebersihan badan Kriteria Rujukan Jika terjadi komplikasi Peralatan Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin. Prognosis Dubia ad bonam Pemeriksaan Penunjang Referensi Pemeriksaan darah didapatkan leukositosis 1. Penegakan Diagnostik (Assessment) 2. Diagnosis Klinis Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis Banding: Selulitis, Urtikaria Komplikasi: 3. DavisL.Erysipelas. Available from http://emedicine.medscape.com (10 Juni 2014) Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pereira de Godoy JM, et al. Epidemiological Data And Comorbidities Of 428 Patients Hospitalized With Erysipelas. Angiology. Jul 2010;61(5):492-4 14. DERMATITIS SEBOROIK No. ICPC-2: S86 Dermatitis seborrhoeic No. ICD-10: L21 Seborrhoeic dermatitis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang digunakan untuk segolongan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi (predileksi di tempat-tempat kelenjar sebum). Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Bentuk klinis lain Lesi berat: seluruh kepala tertutup oleh krusta, kotor, dan berbau (cradle cap). Pemeriksaan Penunjang Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang. Gambar 11.18 Dermatitis seboroik pada kulit kepala Pasien datang dengan keluhan munculnya bercak merah dan kulit kasar. Kelainan awal hanya berupa ketombe ringan pada kulit kepala (pitiriasis sika) sampai keluhan lanjut berupa keropeng yang berbau tidak sedap dan terasa gatal. Faktor Risiko Genetik, faktor kelelahan, stres emosional , infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih sering daripada wanita, usia bayi bulan 1 dan usia 18-40 tahun, kurang tidur Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Pemeriksaan Fisik Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tanda patognomonis Diagnosis Banding 1. 2. 3. Psoriasis (skuamanya berlapis-lapis, tanda Auspitz, skuama tebal seperti mika), Kandidosis (pada lipat paha dan perineal, eritema bewarna merah cerah berbatas tegas dengan lesi satelit disekitarnya), Otomikosis, Otitis eksterna. Papul sampai plak eritema Skuama berminyak agak kekuningan Berbatas tidak tegas Lokasi predileksi Kulit kepala, glabela, belakang telinga, belakang leher, alis mata, kelopak mata, liang telinga luar, lipat naso labial, sternal, areola mammae, lipatan bawah mammae pada wanita, interskapular, umbilikus, lipat paha, daerah angogenital. Komplikasi Pada anak, lesi bisa meluas menjadi penyakit Leiner atau eritroderma. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) perlu dipertimbangkan pemberian ketokonazol krim 2%. Penatalaksanaan 1. Pasien diminta untuk memperhatikan faktor predisposisi terjadinya keluhan, misalnya stres emosional dan kurang tidur. Diet juga disarankan untuk mengkonsumsi makanan rendah lemak. 2. Farmakoterapi dilakukan dengan: a. b. Oral sistemik • Antihistamin sedatif yaitu: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama 2 minggu, setirizin 1 x 10 mg per hari selama 2 minggu. • Antihistamin non sedatif yaitu: loratadin 1x10 mgselama maksimal 2 minggu. Topikal Bayi: Konseling dan Edukasi • Pada lesi di kulit kepala bayi diberikan asam salisilat 3% dalam minyak kelapa atau vehikulum yang larut air atau kompres minyak kelapa hangat 1 kali sehari selama beberapa hari. 1. Memberitahukan kepada orang tua untuk menjaga kebersihan bayi dan rajin merawat kulit kepala bayi. 2. Memberitahukan kepada orang tua bahwa kelainan ini umumnya muncul p a d a bulan-bulan pertama kehidupan dan membaik seiring dengan pertambahan usia. 3. Memberikan informasi bahwa penyakit ini sukar disembuhkan tetapi dapat terkontrol dengan mengontrol emosi dan psikisnya. • Dilanjutkan dengan krim hidrokortison 1% atau lotion selama beberapa hari. • Selama pengobatan, rambut tetap dicuci. Dewasa: Kriteria Rujukan • Pada lesi di kulit kepala, diberikan shampo selenium sulfida 1,8 atau shampo ketokonazol 2%, zink pirition (shampo anti ketombe), atau pemakaian preparat ter (liquor carbonis detergent) 2-5 % dalam bentuk salep dengan frekuensi 2-3 kali seminggu selama 5-15 menit per hari. Pasien dirujuk apabila tidak ada perbaikan dengan pengobatan standar. • Pada lesi di badan diberikan kortikosteroid topikal: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonid krim 0,025%) selama maksimal 2 minggu. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. • Pada kasus dengan manifestasi dengan inflamasi yang lebih berat diberikan kortikosteroid kuat misalnya betametason valerat krim 0,1%. • Pada kasus dengan infeksi jamur, Peralatan: Prognosis Prognosis pada umumnya bonam, sembuh tanpa komplikasi. Referensi 15. DERMATITIS ATOPIK No. ICPC-2 No. ICD-10 : S87 Dermatitis/atopic eczema : L20 Atopic dermatitis Tingkat Kemampuan Dermatitis atopik (kecuali recalcitrant) 4A Masalah Kesehatan Dermatitis Atopik (DA) adalah peradangan kulit berulang dan kronis dengan disertai gatal. Pada umumnya terjadi selama masa bayi dan anak-anak dan sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Sinonim dari penyakit ini adalah eczema atopik, eczema konstitusional, eczema fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan keluhan gatal yang bervariasi lokasinya tergantung pada jenis dermatitis atopik (lihat klasifikasi). Gejala utama DA adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk. Pasien biasanya juga mempunyai riwayat sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan. Faktor Pemicu 1. Makanan: telur, susu, gandum, kedelai, dan kacang tanah. 2. Tungau debu rumah 3. Sering mengalami infeksi di saluran napas atas (kolonisasi Staphylococus aureus) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Kulit penderita DA: 1. 2. 3. 4. Lokasi predileksi: 1. Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. Wanita lebih banyak menderita DA dibandingkan pria (rasio 1,3 :1). Riwayat atopi pada pasien dan atau keluarga (rhinitis alergi, konjungtivitis alergi/vernalis, asma bronkial, dermatitis atopik, dan lain- lain). Faktor lingkungan: jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu semakin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan antibiotik. Riwayat sensitif terhadap wol, bulu kucing, anjing, ayam, burung, dan sejenisnya. Kering pada perabaan Pucat/redup Jari tangan teraba dingin Terdapat papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi dan krusta pada lokasi predileksi 2. 3. Tipe bayi (infantil) a. Dahi, pipi, kulit kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai, serta lutut (pada anak yang mulai merangkak). b. Lesi berupa eritema, papul vesikel halus, eksudatif, krusta. Tipe anak a. Lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian dalam, kelopak mata, leher, kadang-kadang di wajah. b. b. Lesi berupa papul, sedikit eksudatif, sedikit skuama, likenifikasi, erosi. Kadang-kadang disertai pustul. Tipe remaja dan dewasa a. Lipat siku, lipat lutut, samping leher, dahi, sekitar mata, tangan dan pergelangan tangan, kadang-kadang ditemukan setempat misalnya bibir mulut, bibir kelamin, puting susu, atau kulit kepala. b. Lesi berupa plak papular eritematosa, skuama, likenifikasi, kadangkadang erosi dan eksudasi, terjadi hiperpigmentasi. Berdasarkan derajat keparahan terbagi menjadi: 1. 2. 3. DA ringan : apabila mengenai < 10% luas permukaan kulit. DA sedang : apabila mengenai 10-50% luas permukaan kulit. 3. DA berat : apabila mengenai > 50% luas permukaan kulit. Tanpa penyulit (umumnya tidak diikuti oleh infeksi sekunder). Dengan penyulit (disertai infeksi sekunder atau meluas dan menjadi rekalsitran (tidak membaik dengan pengobatan standar). Gambar 11.19 Dermatitis atopik Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan IgE serum (bila diperlukan dan dapat dilakukan di fasilitas pelayanan Tingkat Pertama) 3. 4. 5. atau Kriteria minor: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Xerosis Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus atau virus herpes simpleks) Iktiosis/ hiperliniar palmaris/ keratosis piliaris Pitriasis alba Dermatitis di papilla mamae White dermogrhapism dan delayed blanch response Kelilitis Lipatan infra orbital Dennie-Morgan Konjungtivitis berulang Keratokonus Katarak subskapsular anterior Orbita menjadi gelap Muka pucat atau eritem Gatal bila berkeringat Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak Aksentuasi perifolikular Hipersensitif terhadap makanan Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi Tes kulit alergi tipe dadakan positif Kadar IgE dalam serum meningkat Mulai muncul pada usia dini Pada bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi menjadi: 1. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik harus terdiri dari 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor dari kriteria Williams (1994) di bawah ini. Dermatitis di fleksura pada dewasa Dermatitis kronis atau berulang Riwayat atopi pada penderita keluarganya 2. Tiga kriteria mayor berupa: a. Riwayat atopi pada keluarga b. Dermatitis pada muka dan ekstensor c. Pruritus Serta tiga kriteria minor berupa: a. Xerosis / iktiosis / hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular b. Fisura di belakang telinga c. Skuama di scalp kronis Kriteria mayor: Diagnosis banding 1. 2. Dermatitis seboroik (terutama pada bayi), Dermatitis kontak, Dermatitis numularis, Pruritus Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak Skabies, Iktiosis , Psoriasis (terutama di daerah palmoplantar), Sindrom Sezary, Dermatitis herpetiformis Pada bayi, diagnosis banding, yaitu Sindrom imunodefisiensi (misalnya sindrom Wiskott-Aldrich), Sindrom hiper IgE dapat diberikan golongan betametason valerat krim 0,1% atau mometason furoat krim 0,1%. • Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal atau sistemik bila lesi meluas. b. Oral sistemik • Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama maksimal 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu. • Antihistamin non sedatif: loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu. Komplikasi 1. Infeksi sekunder 2. Perluasan penyakit (eritroderma) Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, yaitu: a. Menemukan faktor risiko. b. Menghindari bahan-bahan yang bersifat iritan termasuk pakaian seperti wol atau bahan sintetik. c. Memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab. d. Menjaga kebersihan bahan pakaian. e. Menghindari pemakaian bahan kimia tambahan. f. Membilas badan segera setelah selesai berenang untuk menghindari kontak klorin yang terlalu lama. g. Menghindari stress psikis. h. Menghindari bahan pakaian terlalu tebal, ketat, kotor. i. Pada bayi, menjaga kebersihan di daerah popok, iritasi oleh kencing atau feses, dan hindari pemakaian bahan-bahan medicatedbaby oil. j. Menghindari pembersih yang mengandung antibakteri karena menginduksi resistensi. 2. Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi diberikan dengan: a. Topikal (2 kali sehari) • Pada lesi di kulit kepala, diberikan kortikosteroid topikal, seperti: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonid krim 0,025%) selama maksimal 2 minggu. • Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, Pemeriksaan diperlukan) Penunjang Lanjutan (bila Pemeriksaan untuk menegakkan atopi, misalnya skin prick test/tes uji tusuk pada kasus dewasa. Konseling dan Edukasi 1. 2. 3. Penyakit bersifat kronis dan berulang sehingga perlu diberi pengertian kepada seluruh anggota keluarga untuk menghindari faktor risiko dan melakukan perawatan kulit secara benar. Memberikan informasi kepada keluarga bahwa prinsip pengobatan adalah menghindari gatal, menekan proses peradangan, dan menjaga hidrasi kulit. Menekankan kepada seluruh anggota keluarga bahwa modifikasi gaya hidup tidak hanya berlaku pada pasien, juga harus menjadi kebiasaan keluarga secara keseluruhan. Rencana tindak lanjut 1. Diperlukan pengobatan setelah fase akut teratasi. pemeliharaan Pengobatan pemeliharaan dengan kortikosteroid topikal jangka panjang (1 kali sehari) dan penggunaan krim pelembab 2 kali sehari sepanjang waktu. 2. Pengobatan pemeliharaan dapat diberikan selama maksimal 4 minggu. 3. Pemantauan efek samping kortikosteroid. Bila terdapat efek samping, kortikosteroid dihentikan. Kriteria Rujukan 1. 2. 3. 4. 5. Dermatitis atopik luas dan berat Dermatitis atopik rekalsitran atau dependent steroid Bila diperlukan skin prick test/tes uji tusuk Bila gejala tidak membaik dengan pengobatan standar selama 4 minggu Bila kelainan rekalsitran atau meluas sampai eritroderma Peralatan Prognosis Prognosis pada umumnya bonam, dapat terkendali dengan pengobatan pemeliharaan. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.PedomanPelayanan Medik. Jakarta. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit ini. 16. DERMATITIS NUMULARIS No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10: L20.8 Other atopic dermatitis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Dermatitis numularis adalah dermatitis berbentuk lesi mata uang (koin) atau lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing/madidans). Penyakit ini pada orang dewasa lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Usia puncak awitan pada kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun, pada wanita usia puncak terjadi juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun, umumnya kejadian meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Faktor Risiko Pria, usia 55-65 tahun (pada wanita 15-25 tahun), riwayat trauma fisis dan kimiawi (fenomena Kobner: gambaran lesi yang mirip dengan lesi utama), riwayat dermatitis kontak alergi, riwayat dermatitis atopik pada kasus dermatitis numularis anak, stress emosional, minuman yang mengandung alkohol, lingkungan dengan kelembaban rendah, riwayat infeksi kulit sebelumnya Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Hasil Anamnesis (Subjective) Tanda patognomonis Keluhan 1. Bercak merah yang basah pada predileksi tertentu dan sangat gatal. Keluhan hilang timbul dan sering kambuh. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel (0,3 – 1 cm), berbentuk uang logam, eritematosa, sedikit edema, dan berbatas tegas. 2. Tanda eksudasi karena vesikel mudah pecah, kemudian mengering menjadi krusta kekuningan. 3. basah) sampai lesi mengering. • Kemudian terapi dilanjutkan dengan kortikosteroid topikal: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan f l u o s i n o l o n asetonid krim 0,025%) selama maksimal 2 minggu. Jumlah lesi dapat satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral, atau simetris, dengan ukuran yang bervariasi. Tempat predileksi terutama di tungkai bawah, badan, lengan, termasuk punggung tangan. • Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan Betametason valerat krim 0,1% atau Mometason furoat krim 0,1%). Gambar 11.20 Dermatitis numularis • Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal atau sistemik bila lesi meluas. b. Oral sistemik • Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari selama maksimal 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama maksimal 2 minggu. Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan, karena manifestasi klinis jelas dan klasik. • Antihistamin non sedatif: loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis c. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Dermatitis kontak, Dermatitis atopi, Neurodermatitis sirkumskripta, Dermatomikosis Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. Komplikasi Infeksi sekunder Konseling dan Edukasi 1. Pasien disarankan untuk menghindari faktor yang mungkin memprovokasi seperti stres dan fokus infeksi di organ lain. Farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu: a. 2. Topikal (2 kali sehari) • Kompres terbuka dengan larutan permanganas kalikus 1/10.000, menggunakan 3 lapis kasa bersih, selama masing-masing 15-20 menit/ kali kompres (untuk lesi madidans/ Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik topikal atau antibiotik sistemik bila lesi luas. Memberikan edukasi bahwa kelainan bersifat kronis dan berulang sehingga penting untuk pemberian obat topikal rumatan. Mencegah terjadinya infeksi sebagai faktor risiko terjadinya relaps. Kriteria Rujukan 1. 2. Apabila kelainan tidak membaik dengan pengobatan topikal standar. Apabila diduga terdapat faktor penyulit lain, misalnya fokus infeksi pada organ lain, maka konsultasi danatau disertai rujukan kepada dokter spesialis terkait (contoh: gigi mulut, THT, obgyn, dan lain-lain) untuk penatalaksanaan fokus infeksi tersebut. Peralatan Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit dermatitis numularis. Prognosis Prognosis pada umumnya bonam apabila kelainan ringan tanpa penyulit, dapat sembuh tanpa komplikasi, namun bila kelainan berat dan dengan penyulit prognosis menjadi dubia ad bonam. 17. LIKEN SIMPLEKS KRONIK (NEURODERMATITIS SIRKUMKRIPTA) No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema No. ICD-10: L28.0 Lichen simplex chronicus Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan Liken simpleks kronik atau yang sering disebut juga dengan neurodermatitis sirkumkripta adalah kelainan kulit berupa peradangan kronis, sangat gatal berbentuk sirkumskrip dengan tanda berupa kulit tebal dan menonjol menyerupai kulit batang kayu akibat garukan dan gosokan yang berulang-ulang. Penyebab kelainan ini belum diketahui. Prevalensi tertinggi penyakit ini pada orang yang berusia 30-50 tahun dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. Wanita lebih sering ditemukan dibandingkan pria, dengan puncak insidens 30-50 tahun. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda Patognomonis 1. 2. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan keluhan gatal sekali pada kulit, tidak terus menerus, namun dirasakan terutama malam hari atau waktu tidak sibuk. Bila terasa gatal, sulit ditahan bahkan hingga harus digaruk sampai luka baru gatal hilang untuk sementara. Faktor Risiko 3. Lesi biasanya tunggal, namun dapat lebih dari satu. Dapat terletak dimana saja yang mudah dicapai tangan. Biasanya terdapat di daerah tengkuk, sisi leher, tungkai bawah, pergelangan kaki, kulit kepala, paha bagian medial, lengan bagian ekstensor, skrotum dan vulva. Awalnya lesi berupa eritema dan edema atau kelompok papul, kemudian karena garukan berulang, bagian tengah menebal, kering, berskuama serta pinggirnya mengalami hiperpigmentasi. Bentuk umumnya lonjong, mulai dari lentikular sampai plakat. Gambar 11.21 Liken simpleks kronis Konseling dan Edukasi 1. 2. Memberitahu keluarga mengenai kondisi pasien dan penanganannya. Menyarankan pasien untuk melakukan konsultasi dengan psikiatri dan mencari kemungkinan penyakit lain yang mendasari penyakit ini. Kriteria Rujukan Pemeriksaan Penunjang Rujukan dilakukan dengan tujuan untuk mengatasi penyebab lain yang mendasari penyakit dengan berkonsultasi kepada psikiatri atau dokter spesialis kulit. Tidak diperlukan Peralatan Penegakan Diagnostik (Assessment) Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit liken simpleks kronik. Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Dermatitis atopik, Dermatitis kontak, Liken planus, Dermatitis numularis Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis Prognosis pada umumnya bonam, namun quo ad sanationamnya adalah dubia ad bonam. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. Penatalaksanaan 1. 2. Pasien disarankan agar tidak terus menerus menggaruk lesi saat gatal, serta mungkin perlu dilakukan konsultasi dengan psikiatri. Prinsip pengobatan yaitu mengupayakan agar penderita tidak terus menggaruk karena gatal, dengan pemberian: a. Antipruritus: antihistamin dengan efek sedatif, seperti hidroksisin 10-50 mg setiap 4 jam, difenhidramin 25-50 mg setiap 4-6 jam (maksimal 300 mg/ hari), atau klorfeniramin maleat (CTM) 4 mg setiap 4-6 jam (maksimal 24 mg/hari). b. Glukokortikoid topikal, antara lain: betametason dipropionat salep/krim 0,05% 1-3 kali sehari, metilprednisolon aseponat salep/krim 0,1% 1-2 kali sehari, atau mometason furoat salep/krim 0,1% 1 kali sehari. Glukokortikoid dapat dikombinasi dengan tar untuk efek antiinflamasi. 18. DERMATITIS KONTAK ALERGIK No. ICPC-2: S88 Dermatitis contact/allergic No. ICD-10: L23 Allergic contact dermatitis Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik Dermatisis kontak alergik (DKA) adalah reaksi peradangan kulit imunologik karena reaksi hipersensitivitas. Kerusakan kulit terjadi didahului oleh proses sensitisasi berupa alergen (fase sensitisasi) yang umumnya berlangsung 23 minggu. Bila terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa, periode hingga terjadinya gejala klinis umumnya 24-48 jam (fase elisitasi). Alergen paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da. DKA terjadi dipengaruhi oleh adanya sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit. Tanda Patognomonis Tanda yang dapat diobservasi sama seperti dermatitis pada umumnya tergantung pada kondisi akut atau kronis. Lokasi dan pola kelainan kulit penting diketahui untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya, seperti di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan seterusnya. Faktor Predisposisi Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap suatu bahan yang bersifat alergen. Hasil Anamnesis (Subjective) Pemeriksaan Penunjang Keluhan Tidak diperlukan Keluhan kelainan kulit berupa gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Keluhan dapat disertai timbulnya bercak kemerahan. Penegakan Diagnostik (Assessment) Hal yang penting ditanyakan adalah riwayat kontak dengan bahan- bahan yang berhubungan dengan riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetik, bahan- bahan yang dapat menimbulkan alergi, serta riwayat alergi di keluarga Faktor Risiko 1. 2. 3. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan oleh bahan alergen. Riwayat kontak dengan bahan alergen pada waktu tertentu. Riwayat dermatitis atopik atau riwayat atopi pada diri dan keluarga Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Dermatitis kontak iritan. Komplikasi Infeksi sekunder Gambar 11.22 Dermatitis kontak alergik Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 4 minggu setelah pengobatan standar dan sudah menghindari kontak. Penatalaksanaan 1. Keluhan diberikan farmakoterapi berupa: a. Topikal (2 kali sehari) • Pelembab krim hidrofilik urea 10%. • Kortikosteroid: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan Fluosinolon asetonid krim 0,025%). • Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan Betametason valerat krim 0,1% atau Mometason furoat krim 0,1%). • Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal. Peralatan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit dermatitis kontak alergi. Prognosis Prognosis pada umumnya bonam, sedangkan quo ad sanationam adalah dubia ad malam (bila sulit menghindari kontak dan dapat menjadi kronis). Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. b. Oral sistemik • Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg per hari selama maksimal 2 minggu, atau • Loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu. 2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari bahan- bahan yang bersifat alergen, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis, memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab serta memakai alat pelindung diri untuk menghindari kontak alergen saat bekerja. Konseling dan Edukasi 1. 2. 3. Konseling untuk menghindari bahan alergen di rumah saat mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Edukasi menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan sepatu boot. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja. Kriteria rujukan 1. 2. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch test. Apabila kelainan tidak membaik dalam 19. DERMATITIS KONTAK IRITAN No. ICPC-2: S88 Dermatitis contact/allergic No. ICD-10: L24 Irritant contact dermatitis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Dermatisis kontak iritan (DKI) adalah reaksi peradangan kulit non- imunologik. Kerusakan kulit terjadi secara langsung tanpa didahului oleh proses sensitisasi. DKI dapat dialami oleh semua orang tanpa memandang usia, jenis kelamin, dan ras. Penyebab munculnya dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu yang biasanya berhubungan dengan pekerjaan. kondisi akut atau kronis. Selengkapnya dapat dilihat pada bagian klasifikasi. Faktor Predisposisi Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap suatu bahan yang bersifat iritan. Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan Penegakan Diagnostik (Assessment) Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis Klinis Keluhan Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Keluhan di kulit dapat beragam, tergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala akut, sedangkan iritan lemah memberikan gejala kronis. Gejala yang umum dikeluhkan adalah perasaan gatal dan timbulnya bercak kemerahan pada daerah yang terkena kontak bahan iritan. Kadang-kadang diikuti oleh rasa pedih, panas, dan terbakar. Gambar 11.23 Dermatitis kontak iritan Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan oleh bahan iritan Riwayat kontak dengan bahan iritan pada waktu tertentu Pasien bekerja sebagai tukang cuci, juru masak, kuli bangunan, montir, penata rambut Riwayat dermatitis atopik Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Tanda yang dapat diobservasi sama seperti dermatitis pada umumnya, tergantung pada Klasifikasi Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktorfaktor tertentu, DKI dibagi menjadi: 1. DKI akut: a. Bahan iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat (H2SO4) atau asam klorida (HCl), termasuk luka bakar oleh bahan kimia. b. Lesi berupa: eritema, edema, bula, kadang disertai nekrosis. c. 2. Tepi kelainan kulit berbatas dan pada umumnya asimetris. tegas DKI akut lambat: a. Gejala klinis baru muncul sekitar 8-24 jam atau lebih setelah kontak. b. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI tipe ini diantaranya adalah podofilin, antralin, tretionin, etilen oksida, benzalkonium klorida, dan asam hidrofluorat. c. 3. b. Umumnya dapat sembuh sendiri, namun menimbulkan penebalan kulit, dan kadang-kadang berlanjut menjadi DKI kumulatif. 5. Penyebabnya adalah kontak berulangulang dengan iritan lemah (faktor fisis misalnya gesekan, trauma minor, kelembaban rendah, panas atau dingin, faktor kimia seperti deterjen, sabun, pelarut, tanah dan bahkan air). b. Umumnya predileksi ditemukan tanganterutama pada pekerja. c. di Kelainan baru muncul setelah kontak dengan bahan iritan bermingguminggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting. d. Kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus-menerus dengan deterjen. Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Reaksi iritan: a. Merupakan dermatitis subklinis pada seseorang yang terpajan dengan pekerjaan basah, misalnya penata DKI traumatik: a. Kadang-kadang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata), penderita baru merasa pedih keesokan harinya, pada awalnya terlihat eritema, dan pada sore harinya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis. Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi. b. Gejala seperti dermatitis numularis (lesi akut dan basah). c. Penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu. d. Lokasi predileksi paling sering terjadi di tangan. DKI kumulatif/ DKI kronis: a. 4. rambut dan pekerja logam dalam beberapa bulan pertama, kelainan kulit monomorfik (efloresensi tunggal) dapat berupa eritema, skuama, vesikel, pustul, dan erosi. 6. DKI non eritematosa: Merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai dengan perubahan fungsi sawar stratum korneum, hanya ditandai oleh skuamasi ringan tanpa disertai kelainan klinis lain. 7. DKI subyektif/ DKI sensori: Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat. Diagnosis Banding Dermatitis kontak alergi Komplikasi Infeksi sekunder. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Keluhan dapat diatasi dengan pemberian farmakoterapi, berupa: a. Topikal (2 kali sehari) • Pelembab krim hidrofilik urea 10%. • Kortikosteroid: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonid krim 0,025%). • Pada kasus DKI kumulatif dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan betametason valerat krim 0,1% atau mometason furoat krim 0,1%). • Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal. b. Prognosis Prognosis pada umumnya bonam. Pada kasus DKI akut dan bisa menghindari kontak, prognosisnya adalah bonam (sembuh tanpa komplikasi). Pada kasus kumulatif dan tidak bisa menghindari kontak, prognosisnya adalah dubia. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. Oral sistemik • Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg per hari selama maksimal 2 minggu, atau • Loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu. 2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari bahan- bahan yang bersifat iritan, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis, memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab, serta memakai alat pelindung diri untuk menghindari kontak iritan saat bekerja. Konseling dan Edukasi 1. Konseling untuk menghindari bahan iritan di rumah saat mengerjakan pekerjaan rumah tangga. 2. Edukasi untuk menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan sepatu boot. 3. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja. Kriteria Rujukan 1. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch test 2. Apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu pengobatan standar dan sudah menghindari kontak. Peralatan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit dermatitis kontak iritan. 20. NAPKIN ECZEMA (DERMATITIS POPOK) No. ICPC-2: S89 Diaper rash No. ICD-10: L22 Diaper (napkin) dermatitis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan kadang pustul, lesi satelit (bila terinfeksi jamur). Napkin eczema sering disebut juga dengan dermatitis popok atau diaper rash adalah dermatitis di daerah genito-krural sesuai dengan tempat kontak popok. Umumnya pada bayi pemakai popok dan juga orang dewasa yang sakit dan memakai popok. Dermatitis ini merupakan salah satu dermatitis kontak iritan akibat isi napkin (popok). Gambar 11.24 Napkin eczema Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan keluhan gatal dan bercak merah berbatas tegas mengikuti bentuk popok yang berkontak, kadang-kadang basah dan membentuk luka. Pemeriksaan Penunjang Faktor Risiko Bila diduga terinfeksi jamur kandida, perlu dilakukan pemeriksaan 1. 2. KOH atau Gram dari kelainan kulit yang basah. 3. 4. Popok jarang diganti. Kulit bayi yang kering sebelum dipasang popok. Riwayat atopi diri dan keluarga. Riwayat alergi terhadap bahan plastik dan kertas. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Makula eritematosa berbatas agak tegas (bentuk mengikuti bentuk popok yang berkontak) Papul Vesikel Erosi Ekskoriasi Infiltran dan ulkus bila parah Plak eritematosa (merah cerah), membasah, Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding 1. Penyakit Letterer-Siwe 2. Akrodermatitis enteropatika 3. Psoriasis infersa 4. Eritrasma Komplikasi Infeksi sekunder Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Untuk mengurangi gejala dan mencegah bertambah beratnya lesi, perlu dilakukan hal berikut: a. Ganti popok bayi lebih sering, gunakan pelembab sebelum memakaikan popok bayi. b. Dianjurkan pemakaian popok sekali pakai jenis highly absorbent. 2. Prinsip pemberian farmakoterapi yaitu untuk menekan inflamasi dan mengatasi infeksi kandida. a. Bila ringan: krim/salep bersifat protektif (zinc oxide/pantenol) dipakai 2 kali sehari selama 1 minggu atau kortikosteroid potensi lemah (hidrokortison salep 1-2,5%) dipakai 2 kali sehari selama 3-7 hari. b. Bila terinfeksi kandida: berikan antifungal nistatin sistemik 1 kali sehari selama 7 hari atau derivat azol topikal dikombinasi dengan zinc oxide diberikan 2 kali sehari selama 7 hari. Konseling dan Edukasi 1. 2. 3. Memberitahu keluarga mengenai penyebab dan menjaga higiene kulit. Mengajarkan cara penggunaan popok dan mengganti secepatnya bila popok basah. Mengganti popok sekali pakai bila kapasitas telah penuh. Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Biasanya tidak perlu dilakukan, hanya dilakukan untuk mengekslusi diagnosis banding. Rencana Tindak Lanjut Bila gejala tidak menghilang setelah pengobatan standar selama 1 minggu, dilakukan: 1. Pengobatan dapat diulang 7 hari lagi. 2. Pertimbangkan untuk pemeriksaan ulang KOH atau Gram. Kriteria Rujukan Bila keluhan tidak membaik pengobatan standarselama 2 minggu. setelah Peralatan Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH dan Gram Prognosis Prognosis umumnya bonam dan dapat sembuh tanpa komplikasi. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. 21. DERMATITIS PERIORAL No. ICPC-2: S99 Skin disease other No. ICD-10: L71.0 Perioral dermatitis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Dermatitis perioral adalah erupsi eritematosa persisten yang terdiri dari papul kecil dan papulo-pustul yang berlokasi di sekitar mulut. Dermatitis perioral dapat terjadi pada anak dan dewasa. Dalam populasi dewasa, penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Namun, selama masa kanakkanak persentase pasien pria lebih besar. Pada anak-anak, penyakit ini memiliki kecenderungan untuk meluas ke periorbita atau perinasal. Beberapa agen penyebab terlibat dalam patogenesis penyakit ini diantaranya penggunaan kosmetik dan glukokortikoid. Studi case control di Australia memperlihatkan bahwa pemakaian kombinasi foundation, pelembab dan krim malam meningkatkan risiko terjadinya dermatitis perioral secara signifikan. Penggunaan kortikosteroid merupakan penyebab utama penyakit ini pada anak-anak. Beberapa faktor lainnya yang juga diidentifikasai diantaranya infeksi, faktor hormonal, pemakaian pil kontrasepsi, kehamilan, fluoride dalam pasta gigi, dan sensitasi merkuri dari tambalan amalgam. Demodex folliculorum dianggapmemainkan peran penting dalam patogenesis dermatitis perioral terutama pada anak dengan imunokompromais. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa density dari D.folliculorum merupakan fenomena sekunder penyebab dermatitis perioral. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan yang dirasakan pasien adalah gatal dan rasa panas disertai timbulnya lesi di sekitar mulut. Faktor Risiko 1. Pemakaian kortikosteroid topikal. 2. 3. Pemakaian kosmetik. Pasien imunokompromais Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Erupsi eritematosa yang terdiri dari papul, papulopustul atau papulovesikel, biasanya tidak lebih dari 2 mm. Lesi berlokasidi sekitar mulut, namun pada anak lesi dapat meluas ke perinasal atau periorbita. Pemeriksaan Penunjang Umumnya tidak diperlukan. Gambar 11.25 Dermatititis perioral Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaaan fisik. Diagnosis Banding Dermatitis kontak, Dermatitis seboroik, Rosasea, Akne, Lip-licking cheilitis, Histiocytosis, Sarkoidosis Komplikasi folliculorum. Infeksi sekunder Konseling dan Edukasi Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Edukasi dilakukan terhadap pasien dan pada pasien anak edukasi dilakukan kepada orangtuanya. Edukasi berupa menghentikan pemakaian semua kosmetik, menghentikan pemakaian kortikostroid topikal. Eritema dapat terjadi pada beberapa hari setelah penghentian steroid. Penatalaksanaan Untuk keberhasilan pengobatan, langkah pertama yang dilakukan adalah menghentikan penggunaan semua kosmetik dan kortikosteroid topikal. Jika tidak diobati, bentuk klasik dermatitis perioral memiliki kecenderungan untuk bertahan, terutama jika pasien terbiasa menggunakan pelembab atau krim malam. Dalam kasus resisten, dermatitis perioral membutuhkan farmakoterapi, seperti: 1. Topikal a. Klindamisin krim 1%, satu atau dua kali sehari b. Eritromisin krim 2-3% satu atau dua kali sehari c. Asam azelaik krim 20% atau gel 15%, dua kali sehari d. Adapalene gel 0,1%, sekali sehari selama 4 minggu 2. Sistemik a. Tetrasiklin 250-500 mg, dua kali sehari selama 3 minggu. Jangan diberikan pada pasien sebelum usia pubertas. b. Doksisiklin 100 mg per hari selama 3 minggu. Jangan diberikan pada pasien sebelum usia pubertas. c. Minosiklin 100 mg per hari selama 4 minggu. Jangan diberikan pada pasien sebelum usia pubertas. d. Eritromisin 250 mg, dua kali sehari selama 4-6 minggu e. Azytromisin 500 mg per hari, 3 hari berturut-turut per minggu selama 4 minggu. Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Pada pasien yang menderita dermatitis perioral dalam waktu lama, pemeriksaan mikroskopis lesi dapat disarankan untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri, jamur atau adanya Demodex Kriteria rujukan Pasien dirujuk apabila memerlukan pemeriksaan mikroskopik atau pada pasien dengan gambaran klinis yang tidak biasa dan perjalanan penyakit yang lama. Peralatan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit dermatitis perioral. Prognosis Prognosis umumnya bonam jika pasien menghentikan penggunaan kosmetik atau kortikosteroid topikal. Referensi 1. Caputo, R. & Barbareschi, M. 2007. Current And Future Treatment Options For Perioral Dermatitis. Expert Review Of Dermatlogy, 2, 351-355, Available from http://Search. Pr oq ue s t. Co m /D o c v ie w /91 227 83 00 / Fulltextpdf/Dc34942e98744010pq/5?Accou ntid=17242(7 Juni 2014). 2. Green, B. D. O. & Morrell, D. S. M. D. 2007. Persistent Facial Dermatitis: Pediatric Perioral Dermatitis. Pediatric Annals, 36,pp.796-8. Available from http://search. proques t .c o m/ d o c v ie w / 2 1 7 55 69 8 9 / fulltextPDF?acc ountid=17242 (7 Juni 2014). 3. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical Appraisal Of Reports On The Treatment Of Perioral Dermatitis. Dermatology, 210, 3007. Available from http://search.proquest. com/docview/275129538/DC34942E9874 4010PQ/1?accountid=17242#(7 Juni 2014). 22. PITIRIASIS ROSEA No. ICPC-2 No. ICD-10 : : S90 Pityriasis rosea L42 Pityriasis rosea Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Penyakit ini belum diketahui sebabnya, dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus (mother patch), kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas, yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit. Penyakit ini biasanya sembuh dalam waktu 3-8 minggu. Pitiriasis rosea didapati pada semua usia, terutama antara 15-40 tahun, dengan rasio pria dan wanita sama besar. sejajar dengan tulang iga, sehingga menyerupai pohon cemara terbalik. Tempat predileksi yang sering adalah pada badan, lengan atas bagian proksimal dan paha atas. Gambar 11.26 Pitiriasis rosea Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan keluhan lesi kemerahan yang awalnya satu kemudian diikuti dengan lesi yang lebih kecil yang menyerupai pohon cemara terbalik. Lesi ini kadang-kadang dikeluhkan terasa gatal ringan. Faktor Risiko Etiologi belum diketahui, ada yang mengatakan hal ini merupakan infeksi virus karena merupakan self limited disease. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Penunjang Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis KOH dilakukan untuk menyingkirkan Tinea Korporis. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Tinea korporis, Erupsi obat Pemeriksaan Fisik Komplikasi Gejala konstitusi pada umumnya tidak terdapat, sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di badan, soliter, berbentuk oval, dan anular, diameternya sekitar 3 cm. Lesi terdiri atas eritema dan skuama halus di atasnya. Lamanya beberapa hari sampai dengan beberapa minggu. Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi pertama dengan gambaran serupa dengan lesi pertama, namun lebih kecil, susunannya Tidak ada komplikasi yang bermakna. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Pengobatan bersifat simptomatik, misalnya untuk gatal diberikan antipruritus seperti bedak asam salisilat 1-2% atau mentol 0,25-0,5%. Konseling dan Edukasi Edukasi pasien dan keluarga bahwa penyakit ini swasirna. Kriteria Rujukan Referensi Tidak perlu dirujuk 1. Peralatan Lup 2. Prognosis Prognosis pada umumnya bonam karena penyakit sembuh spontan dalam waktu 3-8 minggu. 3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. 23. ERITRASMA No. ICPC-2: S76 Skin infection other No. ICD-10: L08.1 Erythrasmay Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneumyang disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum. Eritrasma terutama terjadi pada orang dewasa, penderita diabetes, dan banyak ditemukan di daerah tropis. Eritrasma dianggap tidak begitu menular karena didapatkan bahwa pasangan suami istri tidak mendapatkan penyakit tersebut secara bersama- sama. Secara global, insidens eritrasma dilaporkan 4% dan lebih banyak ditemukan di daerah iklim tropis dan subtropis. Selain itu insidensnya lebih banyak ditemukan pada ras kulit hitam. Eritrasma terjadi baik pria maupun wanita, pada pria lebih banyak ditemukan eritrasma pada daerah kruris, sedangkan pada wanita di daerah interdigital. Berdasarkan usia, insidens eritrasma bertambah seiring dengan pertambahan usia dengan pasien termuda yang pernah ditemukan yaitu usia 1 tahun. Faktor Risiko Penderita Diabetes Mellitus, iklim sedang dan panas, maserasi pada kulit, banyak berkeringat, kegemukan, higiene buruk, peminum alkohol Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Lokasi : lipat paha bagian dalam, sampai skrotum, aksilla, dan intergluteal Efloresensi : eritema luas berbatas tegas, dengan skuama halus dan kadang erosif. Kadang juga didapatkan likenifikasi dan hiperpigmentasi. Pemeriksaan Penunjang 1. 2. Pemeriksaan dengan lampu Wood Sediaan langsung kerokan kulit dengan pewarnaan gram Hasil Anamnesis (Subjective) Penegakan Diagnostik (Assessment) Keluhan Diagnosis Klinis Eritrasma kadang tidak menimbulkan keluhan subyektif, tetapi ada juga pasien datang dengan keluhan gatal dengan durasi dari bulan sampai tahun. Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood didapatkan fluoresensi merah bata (coral pink). Diagnosis Banding Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pitiriasis versikolor, Tinea kruris, Dermatitis seboroik, Kandidiasis Komplikasi: - 2. Kibbi A.G.Erythrasma. Available from http://e- medicine.medscape.com (10 Juni 2014) 3. Morales-Trujillo ML, Arenas R, Arroyo S. Interdigital Erythrasma: Clinical, Epidemiologic, And Microbiologic Findings. Actas Dermosifiliogr. Jul-Aug 2008;99(6):469-73 4. Sarkany I, Taplin D, Blank H. Incidence And Bacteriology Of Erythrasma.Arch Dermatol. May 1962;85:578-82 Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. Pengobatan topikal: salep Tetrasiklin 3% Pengobatan sistemik: Eritromisin 1 g sehari (4 x 250mg) untuk 2-3 minggu. Gambar 11.27 Eritrasma Rencana Tindak Lanjut: Konseling dan Edukasi 1. 2. 3. 4. 5. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol gula darah Menjaga kebersihan badan Menjaga agar kulit tetap kering Menggunakan pakaian yang bersih dengan bahan yang menyerap keringat. Menghindari panas atau kelembaban yang berlebih Kriteria Rujukan: Peralatan 1. 2. Lampu Wood Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan KOH dan pewarnaan gram Prognosis Bonam Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu 24. SKROFULODERMA No. ICPC-2 No. ICD-10 : A 70 Tuberculosis : A 18.4 Tuberculosis of skin and subcutaneous tissue Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment) Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi infeksi tuberkulosis akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit seperti limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk abses dingin dan melibatkan kulit di atasnya, kemudian pecah dan membentuk sinus di permukaan kulit. Diagnosis Klinis Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gambar 11.28 Skrofuloderma Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Skrofuloderma biasanya dimulai dengan pembesaran kelenjar getah bening tanpa tandatanda radang akut. Mula-mula hanya beberapa kelenjar diserang, lalu makin banyak sampai terjadi abses memecah dan menjadi fistel kemudian meluas menjadi ulkus. Jika penyakitnya telah menahun, maka didapatkan gambaran klinis yang lengkap. Diagnosis Banding Limfosarkoma, Limfoma maligna, Hidradenitis supurativa, Limfogranuloma venerum Komplikasi :Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Faktor Risiko Sama dengan TB Paru Penatalaksanaan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Sama dengan TB Paru Pengobatan sistemik: Sama dengan TB Paru Rencana tindak lanjut: Pemeriksaan Fisik Lokasi : leher, ketiak, lipat paha Efloresensi : pembesaran kelenjar getah bening tanpa radang akut kecuali tumor dengan konsistensi bermacam-macam, periadenitis, abses dan fistel multipel, ulkus-ulkus khas, sikatriks-sikatriks yang memanjang dan tidak teratur serta jembatan kulit. Pemeriksaan Penunjang 1. 2. Pemeriksaan dahak Pemeriksaan biakan tuberculosis Memantau kriteria penyembuhan skrofuloderma, antara lain: 1. 2. 3. 4. Semua fistel dan ulkus sudah menutup Seluruh kelenjar limfe sudah mengecil (< 1 cm, konsistensi keras) Sikatriks tidak eritematous Laju Endap Darah menurun Konseling dan Edukasi Sama dengan TB Paru Mycobacterium Peralatan 1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan 2. laju endap darah dan pemeriksaan BTA Tes tuberkulin Prognosis 2. 3. Bonam Referensi 1. Kementerian Kesehatan RI. 2008. Diagnosis dan Tata Laksana TB Pada Anak. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 25. HIDRADENITIS SUPURATIF No. ICPC-2: S92 Sweat gland disease No. ICD-10: L73.2 Hidradenitis suppurativa Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Faktor Risiko Hidradenitis supuratif atau disebut juga akne inversa adalah peradangan kronis dan supuratif pada kelenjar apokrin. Penyakit ini terdapat pada usia pubertas sampai usia dewasa muda. Prevalensi keseluruhan adalah sekitar 1%. Rasio wanita terhadap pria adalah 3:1. Dari beberapa penelitian epidemiologi diketahui bahwa sepertiga pasien hidradenitis supuratif memiliki kerabat dengan hidradenitis. Merokok dan obesitas merupakan faktor risiko untuk penyakit ini. Penyakit ini juga sering didahului oleh trauma atau mikrotrauma, misalnya banyak keringat, pemakaian deodorant atau rambut ketiak digunting. Merokok, obesitas, banyak berkeringat, pemakaian deodorant, menggunting rambut ketiak Beberapa bakteri telah diidentifikasi dalam kultur yang diambil dari lesi hidradenitis supuratif, diantaranya adalah Streptococcusviridans, Staphylococcus aureus, bakteri anaerob (Peptostreptococcus spesies, Bacteroides melaninogenicus, dan Bacteroides corrodens), Coryneformbacteria, dan batang Gram-negatif. Lokasi predileksi di aksila, lipat paha, gluteal, perineum dan daerah payudara. Meskipun penyakit ini di aksila seringkali ringan, di perianal sering progresif dan berulang. Hasil Anamnesis (Subjective) 1. Keluhan awal yang dirasakan pasien adalah gatal, eritema, dan hiperhidrosis lokal. Tanpa pengobatan penyakit ini dapat berkembang dan pasien merasakan nyeri di lesi. Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Pemeriksaan Fisik Ruam berupa nodus dengan tanda-tanda peradangan akut, kemudian dapat melunak menjadi abses, dan memecah membentuk fistula dan disebut hidradenitis supuratif. Pada yang menahun dapat terbentuk abses, fistel, dan sinus yang multipel. Terdapat leukositosis. Ada dua sistem klasifikasi untuk menentukan keparahan hidradenitis supuratif, yaitu dengan sistem klasifikasi Hurley dan Sartorius. Hurley mengklasifikasikan pasien menjadi tiga kelompok berdasarkan adanya dan luasnyajaringan parutdan sinus. a. TahapI : lesi soliter atau multipel, ditandai dengan pembentukan abses tanpa saluran sinus parut. atau jaringan b. Tahap II : lesi single atau multipel dengan abses berulang, ditandai dengan pembentukan saluran sinus dan jaringan parut. c. 2. TahapIII : tahap yang palingparah, beberapa saluran saling berhubungan dan abses melibatkan seluruh daerah anatomi (misalnya ketiak atau pangkal paha). Skor Sartorius. Skor didapatkan dengan menghitung jumlah lesi kulit dan tingkat keterlibatan di setiap lokasi anatomi. Lesi yang lebih parah seperti fistula diberikan skor yang lebih tinggi dari pada lesi ringan seperti abses. Skor dari semua lokasi anatomi ditambahkan untuk mendapatkan skor total. Komplikasi 1. 2. 3. 4. 5. Jaringan parut di lokasi lesi. Inflamasi kronis pada genitofemoral dapat menyebabkan striktur di anus, uretra atau rektum. Fistula uretra. Edema genital yang dapat menyebabkan gangguan fungsional. Karsinoma sel skuamosa dapat berkembangpada pasien dengan riwayat penyakit yang lama, namun jarang terjadi. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Pengobatan oral: a. Antibiotik sistemik Antibiotik sistemik misalnya dengan kombinasi rifampisin 600 mg sehari (dalam dosis tunggal atau dosis terbagi) dan klindamisin 300 mg dua kali sehari menunjukkan hasil pengobatan yang menjanjikan. Dapson dengan dosis 50150mg/hari sebagai monoterapi, eritromisin atau tetrasiklin 250-500 mg 4x sehari, doksisilin 100 mg 2x sehari selama 7-14 hari. Gambar 11.29 Hidradenitis supuratif b. Kortikosteroid sistemik Kortikosteroid triamsinolon, prednison sistemik misalnya prednisolon atau Pemeriksaan Penunjang 2. Pemeriksaan darah lengkap Konseling dan Edukasi Penegakan Diagnostik (Assessment) Edukasi dilakukan terhadap pasien, yaitu berupa: Diagnosis Klinis 1. Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaaan fisik. 2. 3. Diagnosis Banding Furunkel, karbunkel, kista epidermoid atau kista dermoid, Erisipelas, Granuloma inguinal, Lymphogranuloma venereum, Skrofuloderma 4. 5. 6. Jika telah terbentuk abses, dilakukan insisi. Mengurangi berat badan untuk pasien obesitas. Berhenti merokok. Tidak mencukur di kulit yang berjerawat karena mencukur dapat mengiritasi kulit. Menjaga kebersihan kulit. Mengenakan pakaian yang longgar untuk mengurangi gesekan Mandi dengan menggunakan sabun dan antiseptik atau antiperspirant. Kriteria Rujukan Pasien dirujuk apabila penyakit tidak sembuh dengan pengobatan oral atau lesi kambuh setelah dilakukan insisi dan drainase. Peralatan Bisturi Prognosis Prognosis umumnya bonam, tingkat keparahan penyakit bervariasi dari satu pasien dengan pasien lainnya. Referensi 1. Alhusayen, R. & Shear, N. H. 2012. Pharmacologic Interventions For Hidradenitis Suppurativa. American Journal Of Clinical Dermatology, 13,pp 283-91. Available from http://search.proquest.com/ docview/1030722679/fulltextPDF/2D2BD7 905F304E87PQ/6?accountid=17242#(7 Juni 2014). 2. American Academy of Dermatology Hidradenitis suppurativa. Available from http://www.aad.org/dermatologya-to-z/diseases-and-treatments/e---h/ hidradenitis-suppurativa(7 Juni 2014). 3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 4. Herrington, S. (2007). Hidradenitis suppurativa. In M. R. Dambro (Ed.), Griffith’s 5 minute clinical consult.14th Ed. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins, pp. 570–572. 5. Jovanovic, M. 2014. Hidradenitis suppurativa. Medscape. June 7, 2014. http://emedicine. medscape.com/article/1073117-overview. 6. Sartorius, K., Emtestam, L., Lapins, J. & Johansson, O. 2010. Cutaneous PGP 9.5 Distribution Patterns In Hidradenitis Suppurativa. Archives of Dermatological Research, 302,pp. 461-8. Available from: http://search.proquest.com/docview/52117 6635? accountid=17242(7 Juni 2014).. 7. Shah, N. 2005. Hidradenitus suppurative: A treatment challenge. American Family Physician, 72(8), pp. 1547-1552. Available from http://www.aafp.org/afp/2005/1015/ p1547.html#afp20051015p1 547-t2(7 Juni 2014). 26. AKNE VULGARIS RINGAN No. ICPC-2: S96 Acne No. ICD-10: L70.0 Acne vulgaris Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Akne vulgaris adalah penyakit peradangan kronis dari folikel pilosebasea yang diinduksi dengan peningkatan produksi sebum, perubahan pola keratinisasi, peradangan, dan kolonisasi dari bakteri Propionibacterium acnes. Sinonim untuk penyakit ini adalah jerawat. Umumnya insidens terjadi pada wanitausia 1417 tahun, pria16- 19 tahun lesi yang utama adalah komedo dan papul dan dapat dijumpai pula lesi beradang. Pada anak wanita,akne vulgaris dapat terjadi pada premenarke. Setelah masa remaja kelainan ini berangsur berkurang, namun kadang-kadang menetap sampai dekade ketiga terutama pada wanita. Ras oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang menderita akne vulgaris dibandingkan dengan ras kaukasia (Eropa, Amerika). Hasil Anamnesis (Subjective) tertutup (white comedo, close comedo). Erupsi kulit polimorfi dengan gejala predominan salah satunya, komedo, papul yang tidak beradang dan pustul, nodus dan kista yang beradang. Tempat predileksi adalah di muka, bahu, dada bagian atas, dan punggung bagian atas. Lokasi kulit lain misalnya di leher, lengan atas, dan kadang- kadang glutea. Gradasi yang menunjukan berat ringannya penyakit diperlukan bagi pilihan pengobatan. Gradasi akne vulgaris adalah sebagai berikut: 1. 2. Keluhan berupa erupsi kulit polimorfi di lokasi predileksi, disertai rasa nyeri atau gatal namun masalah estetika umumnya merupakan keluhan utama. Faktor Risiko: Usia remaja, stress emosional, siklus menstruasi, merokok, ras, riwayat akne dalam keluarga, banyak makan makanan berlemak dan tinggi karbohidrat Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) 3. Ringan, bila: a. Beberapa lesi tak beradang pada satu predileksi b. Sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat predileksi c. Sedikit lesi beradang pada satu predileksi Sedang, bila: a. Banyak lesi tak beradang pada satu predileksi b. Beberapa lesi tak beradang pada lebih dari satu predileksi c. Beberapa lesi beradang ada satu predileksi d. Sedikit lesi beradang pada lebih dari satu predileksi Berat, bila: a. Banyak lesi tak beradang pada lebih dari satu predileksi b. Banyak lesi beradang pada satu atau lebih predileksi Pemeriksaan Fisik Keterangan: Tanda patognomonis Sedikit bila kurang dari 5, beberapa bila 5-10, banyak bila lebih dari 10 lesi Komedo berupa papul miliar yang ditengahnya mengandung sumbatan sebum, bila berwarna hitam disebut komedo hitam (black comedo, open comedo) dan bila berwarna putih disebut komedo putih atau komedo Tak beradang : komedo putih, komedo hitam, papul Beradang : pustul, nodus, kista Pada pemeriksaan ekskohleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok Unna) ditemukan sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak seperti nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam. Gambar: 11.30 Lesi beradang Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Ditegakkan erdasarkan pemeriksaaan fisik. anamnesis dan Diagnosis Banding: Erupsi akneiformis, Akne venenata, Rosasea, Dermatitis perioral Penatalaksanaan (Plan) Penatalaksanaan meliputi usaha untuk mencegah terjadinya erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif). Pencegahan yang dapat dilakukan : 1. Gambar: 11.31 Komedo Hitam 2. Gambar: 11.32 Akne vulgaris ringan lesi campuran Menghindari terjadinya peningkatan jumlah lipid sebum dan perubahan isi sebum dengan cara : a. Diet rendah lemak dan karbohidrat. Meskipun hal ini diperdebatkan efektivitasnya, namun bila pada anamnesis menunjang, hal ini dapat dilakukan. b. Melakukan perawatan kulit dengan membersihkan permukaan kulit. Menghindari terjadinya faktor pemicu terjadinya akne, misalnya : a. Hidup teratur dan sehat, cukup istirahat, olahraga, sesuai kondisi tubuh, hindari stress. b. Penggunaan kosmetika secukupnya, baik banyaknya maupun lamanya. c. Menjauhi terpacunya kelenjar minyak, misalnya minuman keras, makanan pedas, rokok, lingkungan yang tidak sehat dan sebagainya. d. Menghindari polusi debu, pemencetan lesi yang tidak lege artis, yang dapat memperberat erupsi yang telah terjadi. Pengobatan akne vulgaris ringan dapat dilakukan dengan memberikan farmakoterapi seperti : 1. Pemeriksaan Penunjang Umumnya tidak diperlukan. Topikal Pengobatan mencegah topikal dilakukan untuk pembentukan komedo, menekan peradangan dan mempercepat penyembuhan lesi. Obat topikal terdiri dari : a. Retinoid Retinoidtopikal merupakan obat andalan untuk pengobatan jerawat karena dapat menghilangkan komedo, mengurangi pembentukan mikrokomedo, dan adanya efek antiinflamasi. Kontraindikasi obat ini yaitu pada wanita hamil, dan wanita usia subur harus menggunakan kontrasepsi yang efektif. Kombinasi retinoid topikal dan antibiotik topikal (klindamisin) atau benzoil peroksida lebih ampuh mengurangi jumlah inflamasi dan lesi non-inflamasi dibandingkan dengan retinoid monoterapi. Pasien yang memakai kombinasi terapi juga menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang lebih cepat. b. Bahan iritan yang dapat mengelupas kulit (peeling), misalnya sulfur (4-8), resorsinol (1-5%), asam salisilat (25%), peroksida benzoil (2,5-10%), asam vitamin A (0,025-0,1%), asam azelat (15-20%) atau asam alfa hidroksi (AHA) misalnya asma glikolat (3-8%). Efek samping obat iritan dapat dikurangi dengan cara pemakaian berhati-hati dimulai dengan konsentrasi yang paling rendah. c. Antibiotik topikal: oksitetrasiklin 1% atau klindamisin fosfat 1%. d. Antiperadangan topikal: hidrokortison 1-2,5%. 2. Sistemik Pengobatan sistemik ditujukan untuk menekan aktivitas jasad renik disamping juga mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum. Dapat diberikan antibakteri sistemik, misalnya tetrasiklin 250 mg-1g/ hari, eritromisin 4x250 mg/hari. Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang. Konseling dan Edukasi Dokter perlu memberikan informasi yang tepat pada pasien mengenai penyebab penyakit, pencegahan, dan cara maupun lama pengobatan, serta prognosis penyakitnya. Hal ini penting agar penderita tidak mengharap berlebihan terhadap usaha penatalaksanaan yang dilakukan. Kriteria rujukan Akne vulgaris sedang sampai berat. Peralatan Komedo ekstraktor (sendok Unna) Prognosis Prognosis umumnya bonam. akne vulgaris umumnya sembuh sebelum mencapai usia 3040 an. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Williams, H. C., Dellavalle, R. P. & Garner, S. 2012. Acne Vulgaris. 3. The Lancet, 379, pp. 361-72. Available from http://search.proquest.com/ docview/920097495/abstract?accoun tid=17242#(7 Juni 2014). 4. Simonart, T. 2012. Newer Approaches To The Treatment Of Acne Vulgaris. American Journal Of Clinical Dermatology, 13, pp. 35764. Available from http://search.proquest. com/docview/1087529303/F21F34D005 744CD7PQ/20?accountid=17242# (7 Juni 2014). 27. URTIKARIA No. ICPC-2 No. ICD-10 : S98 Urticaria : L50 Urticaria L50.9Urticaria, unspecified Tingkat Kemampuan : Urtikaria akut: 4A Urtikaria kronis : 3A Masalah Kesehatan Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit akibat bermacam-macam sebab. Sinonim penyakit ini adalah biduran, kaligata, hives, nettle rash. Ditandai oleh edema setempat yang timbul mendadak dan menghilang perlahanlahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit,sekitarnya dapat dikelilingi halo. Dapat disertai dengan angioedema. Penyakit ini sering dijumpai pada semua usia, orang dewasa lebih banyak terkena dibandingkan dengan usia muda. Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal. Penisilin tercatat sebagai obat yang lebih sering menimbulkan urtikaria. Hasil Anamnesis (Subjective) 7. 8. 9. 10. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Lesi kulit yang didapatkan: 1. 2. 3. 4. 5. Keluhan Pasien datang dengan keluhan biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk. Gatal sedangberat di kulit yang disertai bentol-bentol di daerah wajah, tangan, kaki, atau hampir di seluruh tubuh. Keluhan dapat juga disertai rasa panas seperti terbakar atau tertusuk. Kadangkadang terdapat keluhan sesak napas, nyeri perut, muntah- muntah, nyeri kepala, dan berdebar- debar (gejala angioedema). Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. 5. 6. Riwayat atopi pada diri dan keluarga. Riwayat alergi. Riwayat trauma fisik pada aktifitas. Riwayat gigitan/sengatan serangga. Konsumsi obat-obatan (NSAID, antibiotik – tersering penisilin, diuretik, imunisasi, injeksi, hormon, pencahar, dan sebagainya). Konsumsi makanan (telur, udang, ikan, kacang, dan sebagainya). Riwayat infeksi dan infestasi parasit. Penyakit autoimun dan kolagen. Usia rata-rata adalah 35 tahun. Riwayat trauma faktor fisik (panas, dingin, sinar matahari, sinar UV, radiasi). 6. 7. Ruam atau patch eritema. Berbatas tegas. Bagian tengah tampak pucat. Bentuk papul dengan ukuran bervariasi, mulai dari papular hingga plakat. Kadang-kadang disertai demografisme, berupa edema linier di kulit yang terkena goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit. Pada lokasi tekanan dapat timbul lesi urtika. Tanda lain dapat berupa lesi bekas garukan. Pemeriksaan fisik perlu dilengkapi dengan pemeriksaan lainnya, misalnya pemeriksaan gigi, THT, dan sebagainya untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal. Tempat predileksi Bisa terbatas di lokasi tertentu, namun dapat generalisata bahkan sampai terjadi angioedema pada wajah atau bagian ekstremitas. Pemeriksaan Penunjang 1. 2. Pemeriksaan darah (eosinofil), urin dan feses rutin (memastikan adanya fokus infeksi tersembunyi). Uji gores (scratch test) untuk melihat 3. 4. dermografisme. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu per satu. Tes fisik: tes dengan es (ice cube test), tes dengan air hangat Gambar 11.33 Urtikaria • Keikutsertaan komplemen  reaksi hipersensitifitas tipe II dan III (Coombs and Gell), dan genetik. • Urtikaria kontak  reaksi hipersensitifitas tipe 4 (Coombs and Gell). b. Urtikaria non-imunologik (obat golongan opiat, NSAID, aspirin serta trauma fisik). c. Urtikaria idiopatik (tidak jelas penyebab dan mekanismenya). Diagnosis Banding Purpura anafilaktoid (purpura HenochSchonlein), Pitiriasis rosea (lesi awal berbentuk eritema), Eritema multiforme (lesi urtika, umumnya terdapat pada ekstremitas bawah). Komplikasi Penegakan Diagnostik (Assessment) Angioedema dapat disertai obstruksi jalan napas. Diagnosis Klinis Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi Prinsip penatalaksanaan 1. Berdasarkan waktu berlangsungnya serangan, urtikaria dibedakan atas urtikaria akut (< 6 minggu atau selama 4 minggu terus menerus) dan kronis (> 6 minggu). 2. Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menjadi urtikaria papular (papul), gutata (tetesan air) dan girata (besar- besar). 3. 4. Berdasarkan luas dan dalamnya jaringan yang terkena, urtikaria dibedakan menjadi urtikaria lokal (akibat gigitan serangga atau kontak), generalisata (umumnya disebabkan oleh obat atau makanan) dan angioedema. Berdasarkan penyebab dan mekanisme terjadinya, urtikaria dapat dibedakan menjadi: a. Urtikaria imunologik, yang dibagi lagi menjadi: • Keterlibatan IgE  reaksi hipersensitifitas tipe I (Coombs and Gell) yaitu pada atopi dan adanya antigen spesifik. Tata laksana pada layanan Tingkat Pertama dilakukan dengan first- line therapy, yaitu memberikan edukasi pasien tentang penyakit urtikaria (penyebab dan prognosis) dan terapi farmakologis sederhana. Urtikaria akut Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi saluran napas. Penanganan dapat dilakukan di Unit Gawat Darurat bersama-sama dengan/atau dikonsultasikan ke dokter spesialis THT. Bila disertai obstruksi saluran napas, diindikasikan pemberian epinefrin subkutan yang dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis diturunkan 5-10 mg/hari. Urtikaria kronik 1. Pasien menghindari penyebab yang dapat menimbulkan urtikaria, seperti: a. Kondisi yang terlalu panas, stres, alkohol, dan agen fisik. 2. Peralatan b. Penggunaan antibiotik penisilin, aspirin, NSAID, dan ACE inhibitor. 1. Tabung dan masker oksigen c. 2. Alat resusitasi 3. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah, urin dan feses rutin. Agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria. Pemberian farmakoterapi dengan: a. Antihistamin oral nonsedatif, misalnya loratadin 1 x 10 mg per hari selama 1 minggu. b. Bila tidak berhasil dikombinasi dengan Hidroksisin 3 x 25 mg atau Difenhidramin 4 x 25-50 mg per hari selama 1 minggu. c. Apabila urtikaria karena dingin, diberikan Siproheptadin 3 x 4 mg per hari lebih efektif selama 1 minggu terus menerus. Prognosis Prognosis pada umumnya bonam dengan tetap menghindari faktor pencetus. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. d. Antipruritus topikal: cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau 2% selama 1 minggu terus menerus. e. Apabila terjadi angioedema atau urtikaria generalisata, dapat diberikan Prednison oral 60-80 mg mg per hari dalam 3 kali pemberian selama 3 hari dan dosis diturunkan 5-10 mg per hari. Konseling dan Edukasi Pasien dan keluarga diberitahu mengenai: 1. 2. 3. Prinsip pengobatan adalah identifikasi dan eliminasi faktor penyebab urtikaria. Penyebab urtikaria perlu menjadi perhatian setiap anggota keluarga. Pasien dapat sembuh sempurna. Kriteria Rujukan 1. 2. 3. 4. Rujukan ke dokter spesialis bila ditemukan fokus infeksi. Jika urtikaria berlangsung kronik dan rekuren. Jika pengobatan first-line therapy gagal. Jika kondisi memburuk, yang ditandai dengan makin bertambahnya patch eritema, timbul bula, atau bahkan disertai sesak. 28. EXANTHEMATOUS DRUG ERUPTION No. ICPC-2 No. ICD-10 : S07 Rash generalized : L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicament Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Exanthematous Drug Eruption adalah salah satu bentuk reaksi alergi ringan pada kulit yang terjadi akibat pemberian obat yang sifatnya sistemik. Obat yang dimaksud adalah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan terapi. Bentuk reaksi alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (alergi selular tipe lambat) menurut Coomb and Gell. Nama lainnya adalah erupsi makulopapular atau morbiliformis. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Gatal ringan sampai berat yang disertai kemerahan dan bintil pada kulit. Kelainan muncul 10-14 hari setelah mulai pengobatan. Biasanya disebabkan karena penggunaan antibiotik (ampisilin, sulfonamid, dan tetrasiklin) atau analgetik-antipiretik non steroid. Kelainan umumnya timbul pada tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak, kemudian meluas dalam 1-2 hari. Gejala diikuti demam subfebril, malaise, dan nyeri sendi yang muncul 1-2 minggu setelah mulai mengkonsumsi obat, jamu, atau bahanbahan yang dipakai untuk diagnostik (contoh: bahan kontras radiologi). Tanda patognomonis 1. 2. Erupsi makulopapular atau morbiliformis. Kelainan dapat simetris. Tempat predileksi tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak. Pemeriksaan Penunjang Biasanya tidak penunjang. diperlukan pemeriksaan Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding Morbili Komplikasi Eritroderma Gambar 11.34. Exanthematous Drug Eruption Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan sinar matahari, atau kontak obat pada kulit terbuka). Riwayat atopi diri dan keluarga. Alergi terhadap alergen lain. Riwayat alergi obat sebelumnya. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Farmakoterapi yang diberikan, yaitu: 1. 2. 3. Kortikosteroid sistemik: Prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam 3 kali pemberian per hari selama 1 minggu. Antihistamin sistemik: a. Setirizin 2x10 mg/hari selama 7 hari bila diperlukan, atau b. Loratadin 10 mg/hari selama 7 hari bila diperlukan Topikal: Bedak salisilat 2% dan antipruritus (Menthol 0.5% - 1%) b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan Uji provokasi 3. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar dan menghindari obat selama 7 hari 4. Lesi meluas Peralatan Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit Exanthematous Drug Eruption. Konseling dan Edukasi Prognosis 1. Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi atau tidak memenuhi kriteria rujukan. 2. 3. Prinsipnya adalah eliminasi obat penyebab erupsi. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompetnya tentang alergi obat yang dideritanya. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan adanya hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Kriteria Rujukan 1. 2. a. Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan berkembang menjadi Sindroma Steven Johnson. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai penyebab : Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutan dengan Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. 29. FIXED DRUG ERUPTION No. ICPC-2 No. ICD-10 : A85 Adverse effect medical agent : L27.0 Generalized skin eruption due to drugs and medicaments Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Fixed Drug Eruption (FDE) adalah salah satu jenis erupsi obat yang sering dijumpai. Darinamanya dapat disimpulkan bahwa kelainan akan terjadi berkali-kali pada tempat yang sama. Mempunyai tempat predileksi dan lesi yang khas berbeda dengan Exanthematous Drug Eruption. FDE merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik). Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang keluhan kemerahan atau luka pada sekitar mulut, bibir, atau di alat kelamin, yang terasa panas. Keluhan timbul setelah mengkonsumsi obat-obat yang sering menjadi penyebab seperti Sulfonamid, Trimetoprim, dan analgetik. Barbiturat, Anamnesis yang dilakukan harus mencakup riwayat penggunaan obat-obatan atau jamu. Kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari setelah mengkonsumsi obat. Keluhan lain adalah rasa gatal yang dapat disertai dengan demam yang subfebril. Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, dosis, cara pemberian, pengaruh pajanan sinar matahari, atau kontak obat pada kulit terbuka) Riwayat atopi diri dan keluarga Alergi terhadap alergen lain Riwayat alergi obat sebelumnya Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Tanda patognomonis Lesi khas: 1. 2. 3. 4. 5. Vesikel, bercak Eritema Lesi target berbentuk bulat lonjong atau numular Kadang-kadang disertai erosi Bercak hiperpigmentasi dengan kemerahan di tepinya, terutama pada lesi berulang Pemeriksaan diperlukan Sekitar mulut Daerah bibir Daerah penis atau vulva Gambar 11.35 Fixed Drug Eruption (FDE) Biasanya tidak Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis berdasarkan pemeriksaan anamnesis dan Diagnosis Banding Pemfigoid bulosa, Selulitis, Herpes simpleks , SJS (Steven Johnson Syndrome) Komplikasi Infeksi sekunder Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu: 1. Kortikosteroid sistemik, misalnya prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam 3 kali pemberian per hari 2. Antihistamin sistemik untuk mengurangi rasa gatal; misalnya Hidroksisin tablet 10 mg/hari 2 kali sehari selama 7 hari atau Loratadin tablet 1x10 mg/hari selama 7 hari 3. Pengobatan topikal Tempat predileksi: 1. 2. 3. penunjang: a. Pemberian topikal tergantung dari keadaan lesi, bila terjadi erosi atau madidans dapat dilakukan kompres NaCl 0,9% atau Larutan Permanganas kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa selama 10-15 menit. Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai lesi kering. b. Terapi dilanjutkan dengan pemakaian topikal kortikosteroid potensi ringansedang, misalnya Hidrokortison krim 2,5% atau Mometason furoat krim 0,1%. Konseling dan Edukasi Peralatan 1. 2. Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit Fixed Drug Eruption. 3. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompetnya tentang alergi obat yang dideritanya. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan adanya hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Dan bila alergi berulang terjadi kelainan yang sama, pada lokasi yang sama. Kriteria Rujukan Lesi luas, hampir di seluruh tubuh, termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan berkembang menjadi Sindroma Steven Johnson. 2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai penyebab: a. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutkan dengan b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan c. Uji provokasi. 3. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar selama 7 hari dan menghindari obat. 4. Lesi meluas. Prognosis Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi atau tidak memenuhi kriteria rujukan. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011. Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. 1. 30. CUTANEUS LARVA MIGRANS No. ICPC-2 No. ICD-10 : D96 Worms/other parasites : B76.9 Hookworm disease, unspecified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Cutaneus Larva Migrans (Creeping Eruption) merupakan kelainan kulit berupa peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, yang disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Penularan melalui kontak langsung dengan larva. Prevalensi Cutaneus Larva Migran di Indonesia yang dilaporkan oleh sebuah penelitian pada tahun 2012 di Kulon Progo adalah sekitar 15%. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien mengeluh gatal dan panas pada tempat infeksi. Pada awal infeksi, lesi berbentuk papul yang kemudian diikuti dengan lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok yang terus menjalar memanjang. Keluhan dirasakan muncul sekitar empat hari setelah terpajan. Faktor Risiko Orang yang berjalan tanpa alas kaki, atau sering berkontak dengan tanah atau pasir. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) 2. Terapi farmakologi dengan Albendazol 400 mg sekali sehari, selama 3 hari. Pemeriksaan Fisik Patognomonis 3. Lesi awal berupa papul eritema yang menjalar dan tersusun linear atau berkelok-kelok meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per hari. Untuk mengurangi gejala pada penderita dapat dilakukan penyemprotan Etil Klorida pada lokasi lesi, namun hal ini tidak membunuh larva. 4. Predileksi penyakit ini terutama pada daerah telapak kaki, bokong, genital dan tangan. Bila terjadi infeksi sekunder, dapat diterapi sesuai dengan tatalaksana pioderma. Konseling dan Edukasi Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang khusus tidak ada. Penegakan Diagnosis (Assessment) Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan penyakit dengan menjaga kebersihan diri. Kriteria Rujukan Diagnosis Klinis Pasien dirujuk apabila dalam waktu 8 minggu tidak membaik dengan terapi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Peralatan Diagnosis Banding Dermatofitosis, Dermatitis, Dermatosis Komplikasi Dapat terjadi infeksi sekunder. Gambar 11.36. Cutaneous Larva Migrans Lup Prognosis Prognosis umumnya bonam. Penyakit ini bersifat self-limited, karena sebagian besar larva mati dan lesi membaik dalam 2-8 minggu, jarang hingga 2 tahun. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. 4. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A. 2012. Risk factors of hookworm related cutaneous larva migrans and definitive host Penatalaksanaan 1. Memodifikasi gaya hidup dengan menggunakan alas kaki dan sarung tangan pada saat melakukan aktifitas yang berkontak dengan tanah, seperti berkebun dan lain-lain. 31. LUKA BAKAR DERAJAT I DAN II No. ICPC-2 No. ICD-10 : S14burn/scald : T30 burn and corrosion, body region unspecified T31 burns classified according to extent of body surface involved T32 corrosions classified according to extent of body surface involved Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat bula yang berisi cairan eksudat dan nyeri karena ujungujung saraf sensorik yang teriritasi. Luka bakar (burn injury) adalah kerusakan kulit yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pada luka bakar derajat I paling sering disebabkan sinar matahari. Pasien hanya mengeluh kulit teras nyeri dan kemerahan. Pada luka bakar derajat II timbul nyeri dan bula. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. Luka bakar derajat I, kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superfisial), kulit hanya tampak hiperemi berupa eritema denganperabaan hangat, tidak dijumpai adanya bula, terasa nyeri karena ujungujung saraf sensorik teriritasi. Dibedakan atas 2 bagian : a. Derajat II dangkal/superficial (IIA). Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari corium/dermis. b. Derajat II dalam/deep (IIB). Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa-sisa jaringan epitel masih sedikit. Organ-oran kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea tinggal sedikit sehingga penyembuhan terjadi lebih dari satu bulan dan disertai parut hipertrofi. Gambar 11.38 Luka Bakar Superficial Partial Thickness (IIa). Memucat dengan penekanan, biasanya berkeringat Gambar 11.37 Luka bakar dangkal (superfisial) Gambar 11.39 Luka Bakar Deep Partial Thickness (IIb) Permukaan putih, tidak memucat dengan penekanan Pada daerah badan dan lengan kanan, luka bakar jenis ini biasanya memucat dengan penekanan 2. Luka bakar derajat II Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian Pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan darah lengkap : Menentukan luas luka bakar berdasarkan rumus “rule of nine” Gambar 11.40 Luas luka bakar “Rule of nine” e. telinga, mata, kaki dan genitalia/ perinerium Luka bakar dengan cedera inhalasi, disertai trauma lain. Penatalaksanaan (Plan) Penatalaksanaan 1. Luka bakar derajat 1 penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus. 2. Penatalaksanaan luka bakar derajat II tergantung luas luka bakar. Pada penanganan perbaikan sirkulasi pada luka bakar dikenal beberapa formula, salah satunya yaitu Formula Baxter sebagai berikut: 1. Hari Pertama: Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas bakar per 24 jam Anak: Ringer Laktat : Dextran = 17 : 3 Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis luka bakar derajat I atau II berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria berat ringannya luka bakar dapat dipakai ketentuan berdasarkan American Burn Association, yaitu sebagai berikut: 1. Luka Bakar Ringan a. Luka bakar derajat II < 15% b. Luka bakar derajat II < 10% pada anakanak c. Luka bakar derajat III < 2% 2. Luka Bakar Sedang a. Luka bakar derajat II 15-25% pada orang dewasa b. Luka bakar II 10-25% pada anak-anak c. Luka bakar derajat III < 10% 3. Luka Bakar Berat a. Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa b. Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak c. Luka bakar derajat II 10% atau lebih d. Luka bakar mengenai tangan, wajah, 2 cc x berat badan x % luas luka ditambah kebutuhan faali. Kebutuhan faali : < 1 Tahun : berat badan x 100 cc 1-3 Tahun : berat badan x 75 cc 3-5 Tahun : berat badan x 50 cc ½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. ½ diberikan 16 jam berikutnya. 2. Hari kedua Dewasa Anak : ½ hari I; : diberi sesuai kebutuhan faali Formula cairan resusitasi ini hanyalah perkiraan kebutuhan cairan, berdasarkan perhitungan pada waktu terjadinya luka bakar, bukan pada waktu dimulainya resusitasi. Pada kenyataannya, penghitungan cairan harus tetap disesuaikan dengan respon penderita. Untuk itu selalu perlu dilakukan pengawasan kondisi penderita seperti keadaan umum, tanda vital, dan produksi urin dan lebih lanjut bisa dilakukan pemasangan monitor EKG untuk memantau irama jantung sebagai tanda awal terjadinya hipoksia, gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Pemberian antibiotik spektrum luas pada luka bakar sedang dan berat. Komplikasi Jaringan parut Prognosis Prognosis luka bakar derajat 1 umumnya bonam, namun derajat 2 dapat dubia ad bonam. Referensi 1. Konseling dan Edukasi Pasien dan keluarga menjaga higiene dari luka dan untuk mempercepat penyembuhan, jangan sering terkena air. Kriteria Rujukan Rujukan dilakukan pada luka bakar sedang dan berat Peralatan Infus set, peralatan laboratorium pemeriksaan darah lengkap Doherty, G.M. 2006. Current surgical diagnosis and & treatment. United State of America. Lange Medical Publication. 2 Kartohatmodjo, S. Luka Bakar (Combustio). http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/ matkul/Ilmu%20Kedokte ran%20 Terintegrasi%20-%20PBL/Materi%20 PBL%20IIa%2020072008/luka%20 bakar%20akut%20text.pdf 3. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi ketiga. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. untuk 32. ULKUS PADA TUNGKAI No. ICPC-2 No. ICD-10 : S97Chronic Ulcer Skin : I83.0 Varicose veins of lower extremities with ulcer L97 Ulcer of lower limb, notelsewhere classified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Ulkus pada tungkai adalah penyakit arteri, vena, kapiler dan pembuluh darah limfe yang dapat menyebabkan kelainan pada kulit. Insiden penyakit ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Di negara tropis, insidens ulkus kruris lebih kurang 2% dari populasi dan didominasi oleh ulkus neurotropik dan ulkus varikosum. Wanita lebih banyak terserang ulkus varikosum daripada pria, dengan perbandingan 2:1, dengan usia rata-rata di atas 37 tahun untuk prevalensi varises. Trauma, higiene yang buruk, gizi buruk, gangguan pada pembuluh darah dan kerusakan saraf perifer dianggap sebagai penyebab yang paling sering. Kerusakan saraf perifer biasanya terjadi pada penderita diabetes mellitus dan penderita kusta. Hipertensi juga dikaitkan sebagai salah satu penyebab rusaknya pembuluh darah. Pembagian ulkus kruris dibagi ke dalam empat golongan yaitu, ulkus tropikum, ulkus varikosus, ulkus arterial dan ulkus neurotrofik. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien datang dengan luka pada tungkai bawah. Luka bisa disertai dengan nyeri atau tanpa nyeri. Terdapat penyakit penyerta lainnya yang mendukung kerusakan pembuluh darah dan jaringan saraf perifer. Anamnesa: 1. Dapat ditanyakan kapan luka pertama kali terjadi. Apakah pernah mengalami hal yang sama di daerah yang lain. 2. Perlu diketahui apakah pernah mengalami fraktur tungkai atau kaki. Pada tungkai 3. perlu diperhatikan apakah ada vena tungkai superfisial yang menonjol dengan tanda inkompetensi katup. Perlu diketahui apakah penderita mempunyai indikator adanya penyakit yang dapat memperberat kerusakan pada pembuluh darah. Faktor Risiko: usia penderita, berat badan, jenis pekerjaan, penderita gizi buruk, mempunyai higiene yang buruk, penyakit penyerta yang bisa menimbulkan kerusakan pembuluh darah. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang 1. 2. 3. 4. Pemeriksaan darah lengkap Urinalisa Pemeriksaan kadar gula dan kolesterol Biakan kuman Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis klinis Dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, Pemeriksaan biakan kuman pada ulkus sangat membantu dalam diagnosa dan pemberian terapi. Tabel 11.2. Diagnosa klinis ulkus pada tungkai Gejala Klinis Gejala klinis keempat tipe ulkus dapat di lihat pada tabel di bawah ini. Tabel 11.1 Gejala klinis ulkus pada tungkai Diagnosis Banding Keadaan dan bentuk luka dari keempat jenis ulkus ini sulit di bedakan pada stadium lanjut. Pada ulkus tropikum yang kronis dapat menyerupai ulkus varikosum atau ulkus arteriosum. Gambar : 11.41 Ulkus Varikosum a. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih. b. Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air mengeringkan dengan sempurna dan hati-hati terutama diantara jari-jari kaki. c. Memakai krim kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit yang retakretak. Tidak memakai bedak, sebab ini akan menyebabkan kering dan retakretak. d. Menggunting kuku, lebih mudah dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku lembut. e. Menghindari penggunaan air panas atau bantal panas. f. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Non medikamentosa a. Perbaiki keadaan gizi dengan makanan yang mengandung kalori dan protein tinggi, serta vitamin dan mineral. b. Hindari suhu yang dingin c. Hindari rokok d. Menjaga berat badan e. Jangan berdiri terlalu lama dalam melakukan pekerjaan 2. Medikamentosa Pengobatan yang akan dilakukan disesuaikan dengan tipe dari ulkus tersebut. a. Pada ulkus varikosum lakukan terapi dengan meninggikan letak tungkai saat berbaring untuk mengurangi hambatan aliran pada vena, sementara untuk varises yang terletak di proksimal dari ulkus diberi bebat elastin agar dapat membantu kerja otot tungkai bawah memompa darah ke jantung. b. Pada ulkus arteriosum, pengobatan untuk penyebabnya dilakukan konsul ke bagian bedah. Tabel 11.3. Penatalaksanaan terapi pada ulkus tungkai Konseling dan Edukasi 1. 2. 3. 4. 5. Edukasi perawatan kaki Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal Menghindari trauma berulang, trauma dapat berupa fisik, kimia dan panas yang biasanya berkaitan dengan aktivitas atau jenis pekerjaan. Menghentikan kebiasaan merokok. Merawat kaki secara teratur setiap hari, dengan cara : Komplikasi 1. 2. 3. Hematom dan infeksi pada luka Thromboembolisme (resiko muncul akibat dilakukan pembedahan) Terjadi kelainan trofik dan oedem secara 4. spontan Resiko amputasi memburuk Referensi jika keadaan luka 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Sudirman, U. 2002. Ulkus Kulit dalam Ulkus Kulit. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta. Hipokrates. 3. Cunliff, T. Bourke, J. Brown Graham R. 2012. Dermatologi Dasar Untuk Praktik Klinik. Jakarta. EGC. Kriteria Rujukan Respon terhadap perawatan ulkus tungkai akan berbeda. Hal ini terkait lamanya ulkus, luas dari ulkus dan penyebab utama. Prognosis 1. 2. 3. Ad vitam : Dubia Ad functionam : Dubia Ad sanationam : Dubia 33. SINDROM STEVENS-JOHNSON No. ICPC-2: S99 Skin disease other No. ICD-10: L51.1 Bullous erythema multiforme Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan hingga berat. SSJ merupakan bentuk minor dari toxic epidermal necrolysis (TEN) dengan pengelupasan kulit kurang dari 10% luas permukaan tubuh. SSJ menjadi salah satu kegawatdaruratan karena dapat berpotensi fatal. Angka mortalitas SSJ berkisar 1-5% dan lebih meningkat pada pasien usia lanjut. Insiden sindrom ini semakin meningkat karena salah satu penyebabnya adalah alergi obat dan sekarang obat-obatan cenderung dapat diperoleh bebas. Hasil Anamnesis (Subjective) Faktor Risiko 1. Mengkonsumsi obat-obatan yang dicurigai dapat mengakibatkan SSJ. Beberapa obat yang yang berisiko tinggi dapat menyebabkan terjadinya SSJ antara lain allopurinol, trimethoprim- sulfamethoxazol, antibiotik golongan sulfonamid, aminopenisillin, sefalosporin, kuinolon, karbamazepin, fenitoin, phenobarbital, antipiretik / analgetik (salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan parasetamol) dan NSAID. Selain itu berbagai penyebab dikemukakan di pustaka, misalnya: infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma, paska-vaksinasi, radiasi dan makanan. 2. Sistem imun yang lemah, misalnya pada HIV/AIDS. 3. Riwayat keluarga menderita SSJ. Keluhan Keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Pada fase akut dapat disertai gejala prodromal berupa:demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, arthralgia. Gejala prodromal selanjutnya akan berkembang ke arah manifestasi mukokutaneus. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik SSJ memiliki trias kelainan berupa: 1. Kelainan kulit 2. 3. Dapat berupa eritema, papul, purpura, vesikel dan bula yang memecah kemudian terjadi erosi luas. Lesi yang spesifik berupa lesi target. Pada SSJ berat maka kelainannya generalisata. Ciri khas lesi di kulit adalah: a. ruam diawali dengan bentuk makula yang berubah menjadi papul, vesikel, bula, plakurtikaria atau eritema konfluens b. tanda patognomoniknya adalah lesi target c. berbeda dengan lesi eritema multiform, lesi SSJ hanya memiliki 2 zona warna, yaitubagian tengah dapat berupa vesikel,purpura atau nekrotik yang dikelilingi oleh tepiberbentuk makular eritema. d. lesi yang menjadi bula akan pecah menimbulkan kulit yang terbuka yang akan rentanterinfeksi e. lesi urtikaria tidak gatal Kelainan selaput lendir di orifisium: tersering adalah pada mulut (90-100%), genitalia (50%), lubang hidung (8%) dan anus (4%). Kelainan berupa vesikel dan bula yang pecah dan mengakibatkan erosi, ekskoriasi, dan krusta kehitaman. Kelainan mata, terjadi pada 80% di antara semua kasus, tersering adalah konjugtivitis kataralis, konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis. 3. 4. Pemphigus bullosa Staphyloccocal Scalded (SSSS) Skin Syndrome Komplikasi Komplikasi tersering adalah bronkopneumonia, dapat pula terjadi gangguan elektrolit hingga syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. Bila keadaan umum penderita cukup baik dan lesi tidak menyeluruh dapat diberikan metilprednisolon 30-40 mg/hari. Mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi. Setelah dilakukan penegakan diagnosis perlu segera dilakukan penentuan tingkat keparahan dan prognosis dengan menggunakan sistem skoring SCORTEN. Pasien dengan skoring SCORTEN 3 atau lebih sebaiknya segera ditangani di unit perawatan intensif. Tabel 11.5. SCORTEN (Skor keparahan penyakit) pada Sindrom Pemeriksaan Penunjang Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, dapat dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, yang menunjukkan hasil leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi atau eosinofilia kemungkinan adanya faktor alergi. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi kulit. Diagnosis Banding 1. 2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) Pemphigus vulgaris Konseling dan Edukasi Pasien dan keluarga diberikan penjelasan mengenai penyebab SSJ sehingga faktor pencetus SSJdapat dihindari di kemudian hari. Kriteria Rujukan Berdasarkan skoring SCORTEN pasien dengan skor 3 atau lebih harus dirujuk ke fasiltas pelayanan kesehatan sekunder untuk mendapatkan perawatan intensif Peralatan Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah lengkap. Prognosis 1. 2. Bila penangan tepat dan segera maka prognosis cukup baik. Prognosis malam bila terdapat purpura luas, leukopenia, dan bronkopneumonia. Referensi 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Harr T, French LE. 2010, Toxic epidermal necrolysis and Stevens- Johnson syndrome. Orphanet Journal of Rare Diseases, 5, 39. 3. French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens JohnsonSyndrome: Our Current Understanding. Allergology International,55, 9-16 L. METABOLIK ENDOKRIN DAN NUTRISI 1. OBESITAS No. ICPC-2 No. ICD-10 : T82 obesity, T83 overweight : E66.9 obesity unspecified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Obesitas merupakan keadaan dimana seseorang memiliki kelebihan lemak (body fat) sehingga orang tersebut memiliki risiko kesehatan. Riskesdas 2013, prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7% lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Sedangkan pada perempuan di tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 persen dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%).WHO, dalam data terbaru Mei 2014, obesitas merupakan faktor risiko utama untuk penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular (terutama penyakit jantung dan stroke), diabetes, gangguan muskuloskeletal, beberapa jenis kanker (endometrium, payudara, dan usus besar). Dari data tersebut, peningkatan penduduk dengan obesitas, secara langsung akan meningkatkan penyakit akibat kegemukan. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Biasanya pasien datang bukan dengan keluhan kelebihan berat badan namun dengan adanya gejala dari risiko kesehatan yang timbul. penambahan berat badan dan retensi natrium), usia (misalnya menopause), kejadian tertentu (misalnya berhenti merokok, berhenti dari kegiatan olahraga, dsb). Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Pemeriksaan Fisik 1. Pengukuran Antropometri (BB, TB dan LP) Indeks Masa Tubuh (IMT/Body mass index/ BMI) menggunakan rumus Berat Badan (Kg)/ Tinggi Badan kuadrat (m2). Pemeriksaan fisik lain sesuai keluhan untuk menentukan telah terjadi komplikasi atau risiko tinggi 2. Pengukuran lingkar pinggang (pada pertengahan antara iga terbawah dengan kristailiaka, pengukuran dari lateral dengan pita tanpa menekan jaringan lunak).Risiko meningkat bila laki-laki >85 cm dan perempuan >80cm. 3. Pengukuran tekanan darah untuk menentukan risiko dan komplikasi, misalnya hipertensi. Pemeriksaan Penunjang Penyebab Untuk menentukan risiko dan komplikasi, yaitu pemeriksaan kadar gula darah, profil lipid, dan asam urat. 1. Ketidakseimbangnya asupan energi dengan tingkatan aktifitas fisik. Penegakan Diagnostik (Assessment) 2. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain kebiasaan makan berlebih, genetik, kurang aktivitas fisik, faktor psikologis dan stres, obat-obatan (beberapa obat seperti steroid, KB hormonal, dan antidepresan memiliki efek samping Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Diagnosis Klinis Tabel 12.1 Kategori obesitas Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Non –Medikamentosa 1. Penatalaksanaan dimulai dengan kesadaran pasien bahwa kondisi sekarang adalah obesitas, dengan berbagai risikonya dan berniat untuk menjalankan program penurunan berat badan 2. Diskusikan dan sepakati target pencapaian dan cara yang akan dipilih (target rasional adalah penurunan 10% dari BB sekarang) 3. Usulkan cara yang sesuai dengan faktor risiko yang dimiliki pasien, dan jadwalkan pengukuran berkala untuk menilai keberhasilan program 4. Penatalaksanaan ini meliputi perubahan pola makan (makan dalam porsi kecil namun sering) dengan mengurangi konsumsi lemak dan kalori, meningkatkan latihan fisik dan bergabung dengan kelompok yang bertujuan sama dalam mendukung satu sama lain dan diskusi halhal yang dapat membantu dalam pencapaian target penurunan berat badan ideal. 5. Pengaturan pola makan dimulai dengan mengurangi asupan kalori sebesar 300-500 kkal/hari dengan tujuan untuk menurunkan berat badan sebesar ½-1 kg per minggu. 6. Latihan fisik dimulai secara perlahan dan ditingkatkan secara bertahap intensitasnya. Pasien dapat memulai dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Diagnosis Banding: 1. 2. Keadaan asites atau edema Masa otot yang tinggi, misalnya pada olahragawan Diagnosis klinis mengenai kondisi kesehatan yang berasosiasi dengan obesitas: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Hipertensi DM tipe 2 Dislipidemia Sindrom metabolik Sleep apneu obstruktif Penyakit sendi degeneratif Komplikasi Diabetes Mellitus tipe 2, Hipertensi, penyakit kardiovakular, Sleep apnoe, abnormalitas hormon reproduksi, Low back pain, perlemakan hati Obesitas dikelompokkan menjadi obesitas risiko tinggi bila disertai dengan 3 atau lebih keadaan di bawah ini: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Hipertensi Perokok Kadar LDL tinggi Kadar HDL rendah Kadar gula darah puasa tidak stabil Riwayat keluarga serangan jantung usia muda Usia (laki-laki > 45 thn, atau perempuan > 55 thn). Konseling dan Edukasi 1. Perlu diingat bahwa penanganan obesitas dan kemungkinan besar seumur hidup. Adanya motivasi dari pasien dan keluarga untuk menurunkan berat badan hingga mencapai BB ideal sangat membantu keberhasilan terapi. 2. Menjaga agar berat badan tetap normal dan mengevaluasi adanya penyakit penyerta. 3. Membatasi asupan energi dari lemak total dan gula. 4. Meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, serta kacang- kacangan, biji-bijian dan kacang-kacangan. 5. Terlibat dalam aktivitas fisik secara teratur (60 menit sehari untuk anak-anak dan 150 menit per minggu untuk orang dewasa) berat badan, maka pasien dirujuk ke spesialis penyakit dalam untuk memperoleh obat-obatan penurun berat badan Prognosis Terdapat berbagai komplikasi yang menyertai obesitas. Risiko akan meningkat seiring dengan tingginya kelebihan berat badan. Referensi 1. Henthorn, T.K. Anesthetic Consideration in Morbidly Obese Patients. [cite 2010 June 12] Available from: http://cucrash.com/ Handouts04/MorbObese Henthorn.pdf. Kriteria Rujukan 1. Konsultasi pada dokter spesialis penyakit dalam bila pasien merupakan obesitas dengan risiko tinggi dan risiko absolut 2. Sugondo, Sidartawan. Obesitas. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed. V. Jakarta. 2006. Hal. 1973-83. 2. Jika sudah dipercaya melakukan modifikasi gaya hidup (diet yang telah diperbaiki, aktifitas fisik yang meningkat dan perubahan perilaku) selama 3 bulan, dantidak memberikanrespon terhadap penurunan 3. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas. Pedoman Praktik Klinik untuk Dokter Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI. 200. (Trisna, 2008) 2. TIROTOKSIKOSIS No. ICPC-2: T85 Hipertiroidisme/tirotoksikosis No. ICD-10: E05.9 Tirotoksikosis unspecified Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis akibat kelebihan hormon tiroid yang beredar disirkulasi. Data Nasional dalam Riskesdas 2013, hipertiroid di Indonesia, terdiagnosis dokter sebesar 0,4%. Prevalensi hipertiroid tertinggi di DI Yogyakarta dan DKI Jakarta (masing-masing 0,7%), Jawa Timur (0,6%), dan Jawa Barat (0,5%). Tiroktosikosis di bagi dalam 2 kategori, yaitu yang berhubungan dengan hipertiroidisme dan yang tidak berhubungan. Tirotoksikosis dapat berkembang menjadi krisis tiroid yang dapat menyebabkan kematian. Tirotoksikosis yang fatal biasanya disebabkan oleh autoimun Grave’s disease pada ibu hamil. Janin yang dikandungnya dapat mengalami tirotoksikosis pula, dan keadaaan hepertiroid pada janin dapat menyebabkan retardasi pertumbuhanm kraniosinostosis, bahkan kematian janin. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pasien dengan tirotoksikosis memiliki gejala antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. Berdebar-debar Tremor Iritabilitas Intoleran terhadap panas Keringat berlebihan 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Penurunan berat badan Peningkatan rasa lapar (nafsu makan bertambah) Diare Gangguan reproduksi (oligomenore/ amenore dan libido turun) Mudah lelah Pembesaran kelenjar tiroid Sukar tidur Rambut rontok Faktor Risiko Memiliki penyakit hipertiroidisme) atau toksik bebas di dalam plasma (serum free T4 & T3 meningkat dan TSH sedikit hingga tidak ada). Diagnosis tirotoksikosis sering dapat ditegakkan secara klinis melaui anamnesis dan pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan laboratorium, namun untuk menilai kemajuan terapi tanpa pemeriksaan penunjang sulit dideteksi. Diagnosis Banding 1. Graves (autoimun struma multinodular Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) 2. Pemeriksaan Fisik 1. 2. 3. 4. 5. Benjolan di leher depan Takikardia Demam Exopthalmus Tremor Spesifik untuk penyakit Grave : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Oftalmopati (spasme kelopak mata atas dengan retraksi dan gerakan kelopak mata yang lamban, eksoftalmus dengan proptosis, pembengkakan supraorbital dan infraorbital) Edema pretibial Kemosis, Ulkus kornea Dermopati Akropaki Bruit Pemeriksaan Penunjang 1. 2. Darah rutin, SGOT, SGPT, gula darah sewaktu EKG 3. 4. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. 3. Pemberian obat simptomatis Propanolol dosis 40-80 mg dalam 2-4 dosis. PTU 300-600 mg dalam 3 dosis bila klinis Graves jelas Rencana Tindak Lanjut 1. 2. Diagnosis pasti dan penatalaksanaan awal pasien tirotoksikosis dilakukan pada pelayanan kesehatan sekunder Bila kondisi stabil pengobatan dapat dilanjutkan di fasilitas pelayanan tingkat pertama. Konseling dan Edukasi Penegakan Diagnostik (Assessment) 1. Diagnosis Klinis 2. Untukhipertiroidismediagnosis yang tepat adalah dengan pemeriksaan konsentrasi tiroksin Hipertiroidisme primer: penyakir Graves, struma multinudosa toksik, adenoma toksik, metastase karsinoma tiroid fungsional, struma ovari,mutasi reseptor TSH, kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow). Tirotoksikosis tanpa hipotiroidisme: tiroiditis sub akut, tiroiditis silent, destruksi tiroid, (karena aminoidarone, radiasi, infark adenoma) asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis faktisia) Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional. Anxietas Pada pasien diberikan edukasi mengenai pengenalan tanda dan gejala tirotoksikosis Anjuran kontrol dan minum obat secara teratur. 3. Melakukan gaya hidup sehat Referensi Kriteria Rujukan 1. Pasien dirujuk untuk penegakan diagnosis dengan pemeriksaan laboratorium ke layanan sekunder. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1961-5.2006. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Hal 37-41.2004. Peralatan EKG Prognosis Prognosis tergantung respon terapi, kondisi pasien serta ada tidaknya komplikasi. 3. DIABETES MELLITUS TIPE 2 No. ICPC-2 No. ICD-10 : T90 Diabetes non-insulin dependent : E11 Non-insulin-dependent diabetes mellitus Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American Diabetes Association (ADA) adalah kumulan gejala yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi insulin) dan sekresi insulin atau kedua-duanya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, terjadi peningkatan dari 1,1% (2007) menjadi 2,1% (2013). Proporsi penduduk ≥15 tahun dengan diabetes mellitus (DM) adalah 6,9%. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. 2. 3. 4. Polifagia Poliuri Polidipsi Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya Keluhan tidak khas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Lemah Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas) Gatal Mata kabur Disfungsi ereksi pada pria Pruritus vulvae pada wanita Luka yang sulit sembuh Faktor risiko 1. 2. 3. 4. Berat badan lebih dan obese (IMT ≥ 25 kg/ m2) Riwayat penyakit DM di keluarga Mengalami hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi hipertensi) Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000 gram atau pernah didiagnosis DM Gestasional Perempuan dengan riwayat PCOS (polycistic ovary syndrome) 100–125 mg/dl (5,6–6,9 mmol/l) 5. 6. Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)/TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) Aktifitas jasmani yang kurang Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. 2. 3. Penilaian berat badan Mata : Penurunan visus, lensa mata buram Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen Pemeriksaan Penunjang 1. 2. 3. Gula Darah Puasa Gula Darah 2 jam Post Prandial Urinalisis Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa: 1. 2. 3. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi) + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir ATAU Gejala Klasik DM+ Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam ATAU Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO)> 200 mg/ dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa anhidrus 75 gram yang dilarutkan dalam air. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa Teranggu (GDPT) tergantung dari hasil yang diperoleh Kriteria gangguan toleransi glukosa: 1. GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 2. TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO kadar glukosa plasma 140–199 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram (7,8 -11,1 mmol/L) 3. HbA1C 5,7 -6,4% Komplikasi 1. 2. 3. 4. 5. Akut: Ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar non ketotik, Hipoglikemia Kronik: Makroangiopati, Pembuluh darah jantung, Pembuluh darah perifer, Pembuluh darah otak Mikroangiopati: Pembuluh darah kapiler retina, pembuluh darah kapiler renal Neuropati Gabungan: Kardiomiopati, rentan infeksi, kaki diabetik, disfungsi ereksi Penatalaksanaan komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan pengobatan (algoritma pengelolaan DM tipe 2) Gambar 12.1 Algoritme Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2 Gambar 12.2 Algoritma pengelolaan Diabetes Melitus tipe 2 tanpa komplikasi Rencana Tindak Lanjut Tindak lanjut adalah untuk pengendalian kasus DM berdasarkan parameter berikut: Table 12.2 Kriteria pengendalian DM (berdasarkan konsensusDM) Catatan: Pemilihan jenis Obat Hipoglikemik oral (OHO) dan insulin bersifat individual tergantung kondisi pasien dan sebaiknya mengkombinasi obat dengan cara kerja yang berbeda. Angka-angka laboratorium di atas adalah hasil pemeriksaan plasma vena. Dosis OHO Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh dan plasma vena Cara Pemberian OHO, terdiri dari: Konseling dan Edukasi 1. Edukasi meliputi pemahaman tentang: 2. 3. 4. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikansampai dosis optimal. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan. Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapanpertama. Penunjang Penunjang 1. 2. 3. 4. 5. Urinalisis Funduskopi Pemeriksaan fungsi ginjal EKG Xray thoraks 1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi dapat dikontrol 2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada penderita misalnya olahraga, menghindari rokok, dan menjaga pola makan. 3. Pemberian obat jangka panjang dengan kontrol teratur setiap 2 minggu Perencanaan Makan Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi: 1. 2. Karbohidrat Protein 45 – 65 % 15 – 20 % 3. Lemak 20 – 25 % Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hr, diutamakan serat larut. sedang). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan. Kriteria Rujukan Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi berikut: Jumlah kalori basal per hari: 1. 2. 3. 1. 2. Peralatan Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman Wanita: 25 kal/kg BB idaman 1. Rumus Broca:* Berat badan idaman = ( TB – 100 ) – 10 % *Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 % lagi. BB kurang : < 90 % BB idaman BB normal : 90 – 110 % BB idaman BB lebih : 110 – 120 % BB idaman Gemuk : >120 % BB idaman Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari): 1. Status gizi: a. BB gemuk b. BB lebih c. BB kurang 2. Umur > 40 tahun : - 20 % - 10 % + 20 % Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): + (10 s/d 30 %) 4. Aktifitas: 5. + 300 kal + 500 kal Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-5 kali seminggu selama kurang lebih 30-60 menit minimal 150 menit/minggu intensitas Laboratorium untuk pemeriksaan gula darah, darah rutin, urin rutin, ureum, kreatinin Alat Pengukur berat dan tinggi badan anak serta dewasa Monofilamen test Prognosis Prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah penyakit kronis, quo ad vitam umumnya adalah dubia ad bonam, namun quo ad fungsionam dan sanationamnya adalah dubia ad malam. Referensi 1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. 2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006) 3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Indonesia FKUI,2012) + 10 % + 20 % + 30 % Hamil: a. trimester I, II b. trimester III / laktasi 3. -5% 3. a. Ringan b. Sedang c. Berat 2. DM tipe 2 dengan komplikasi DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk DM tipe 2 dengan infeksi berat 4. HIPERGLIKEMIA HIPEROSMOLAR NON KETOTIK No. ICPC-2: A91 Abnormal result invetigation NOS No. ICD-10: R73.9 Hyperglycaemia unspecified Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) merupakan komplikasi akut pada DM tipe 2 berupa peningkatan kadar gula darah yang sangat tinggi (>600 mg/dl-1200 mg/dl) dan ditemukan tanda- tanda dehidrasi tanpa disertai gejala asidosis. HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta dengan asupan makanan yang kurang. Faktor pencetus serangan antara lain: infeksi, ketidakpatuhan dalam pengobatan, DM tidak terdiagnosis, dan penyakit penyerta lainnya. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. 2. 3. 4. Lemah Gangguan penglihatan Mual dan muntah Keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma. Secara klinis HHNK sulit dibedakan dengan ketoasidosis diabetik terutama bila hasil laboratorium seperti kadar gula darah, keton, dan keseimbangan asam basa belum ada hasilnya. Untuk menilai kondisi tersebut maka dapat digunakan acuan, sebagai berikut: 1. Sering ditemukan pada usia lanjut, yaitu usia lebih dari 60 tahun, semakin muda semakin berkurang, dan belum pernah ditemukan pada anak. 2. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau diabetes tanpa pengobatan insulin. 3. Mempunyai penyakit dasar lain. Ditemukan 85% pasien HHNK mengidap penyakit ginjal atau kardiovaskular, pernah ditemukan pada penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan penyakit Cushing. 4. Sering disebabkan obat-obatan antara lain Tiazid, Furosemid, Manitol, Digitalis, Reserpin, Steroid, Klorpromazin, Hidralazin, Dilantin, Simetidin, dan Haloperidol (neuroleptik). 5. Mempunyai faktor pencetus, misalnya penyakit kardiovaskular, aritmia, perdarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik, dan operasi. Dari anamnesis keluarga biasanya faktor penyebab pasien datang ke rumah sakit adalah poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, dan penurunan kesadaran. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Fisik 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pasien apatis sampai koma Tanda-tanda dehidrasi berat seperti: turgor buruk, mukosa bibir kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin, denyut nadi cepat dan lemah. Kelainan neurologis berupa kejang umum, lokal, maupun mioklonik, dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi defisit cairan Hipotensi postural Tidak ada bau aseton yang tercium dari pernapasan Tdak ada pernapasan Kussmaul. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaaan kadar gula darah Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Secara klinis dapat didiagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu Diagnosis Banding Peralatan Ketoasidosis Diabetik (KAD), Ensefalopati uremikum, Ensefalopati karena infeksi Laboratorium untuk pemeriksaan glukosa darah Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Penanganan kegawatdaruratan yang diberikan untuk mempertahankan pasien tidak mengalami dehidrasi lebih lama. Proses rujukan harus segera dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut. Pertolongan pertama dilayanan tingkat pertama adalah: 1. Memastikan jalan nafas lancar dan membantu pernafasan dengan suplementasi oksigen 2. Memasang akses infus intravena dan melakukan hidrasi cairan NaCl 0.9 % dengan target TD sistole > 90 atau produksi urin >0.5 ml/kgbb/jam 3. Memasang kateter urin untuk pemantauan cairan 4. Dapat diberikan insulin rapid acting bolus intravena atau subkutan sebesar 180 mikrounit/kgBB Komplikasi Oklusi vakular, Infark miokard, Low-flow syndrome, DIC, Rabdomiolisis Konseling dan Edukasi Edukasi ke keluarga mengenai kegawatan hiperglikemia dan perlu segera dirujuk Rencana Tindak Lanjut Pemeriksaan tanda vital dan gula darah perjam Kriteria Rujukan Pasien harus dirujuk ke layanan sekunder (spesialis penyakit dalam) setelah mendapat terapi rehidrasi cairan. Prognosis Prognosis biasanya buruk, sebenarnya kematian pasien bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasari atau menyertainya. Referensi 1. Soewondo, Pradana. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1900-2. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17. 5. HIPOGLIKEMIA No. ICPC-2: T87 hypoglycaemia No. ICD-10: E16.2 hypoglycaemia unspecified Tingkat Kemampuan: Hipoglikemia ringan 4A Hipoglikemia berat 3B Masalah Kesehatan Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah 200 mg/dL – pertimbangkan mengganti infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 %. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, protokol hipoglikemi dihentikan. Rencana Tindak Lanjut 1. 2. Mencari penyebab hipoglikemi kemudian tatalaksana sesuai penyebabnya. Mencegah timbulnya komplikasi menahun, ancaman timbulnya hipoglikemia merupakan faktor limitasi utama dalam kendali glikemi pada pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2 yang mendapat terapi ini. Peralatan 1. 2. Laboratorium untuk pemeriksaan kadar glukosa darah. Cairan Dekstrosa 40 % dan Dekstrosa 10 % Prognosis Prognosis pada umumnya baik bila penanganan cepat dan tepat. Referensi 1. Soemadji, Djoko Wahono. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.2006. Hal 1892-5. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004.Hal 18-20. 6. HIPERURISEMIA-GOUT ARTHRITIS No. ICPC-2 : T99 Endocrine/metabolic/nutritional disease other T92 Gout No. ICD-10 : E79.0 Hyperuricemia without signs of inflammatory arthritis & tophaceous disease M10 Gout Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Kondisi kadar asam urat dalam darah lebih dari 7,0 mg/dl pada pria dan pada wanita 6 mg/dl. Hiperurisemia dapat terjadi akibat meningkatnya produksi ataupun menurunnya pembuangan asam urat, atau kombinasi dari keduanya. Gout adalah radang sendi yang diakibatkan deposisi kristal monosodium urat pada jaringan sekitar sendi. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. 2. 3. 4. Bengkak pada sendi Nyeri sendi yang mendadak, biasanya timbul pada malam hari. Bengkak disertai rasa panas dan kemerahan. Demam, menggigil, dan nyeri badan. Apabila serangan pertama, 90% kejadian hanya pada 1 sendi dan keluhan dapat menghilang dalam 3-10 hari walau tanpa pengobatan. Arthritis monoartikuler dapat ditemukan, biasanya melibatkan sendi metatarsophalang 1 atau sendi tarsal lainnya. Sendi yang mengalami inflamasi tampak kemerahan dan bengkak. Pemeriksaan Penunjang 1. X ray: Tampak pembengkakan asimetris pada sendi dan kista subkortikal tanpa erosi 2. Kadar asam urat dalam darah > 7 mg/dl. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan untuk diagnosis definitif gout arthritis adalah ditemukannya kristal urat (MSU) di cairan sendi atau tofus. Gambaran klinis hiperurisemia dapat berupa: 1. Hiperurisemia asimptomatis Keadaan hiperurisemia tanpa manifestasi klinis berarti. Serangan arthritis biasanya muncul setelah 20 tahun fase ini. 2. Gout arthritis, terdiri dari 3 stadium, yaitu: a. Stadium akut b. Stadium interkritikal c. Stadium kronis 3. Penyakit Ginjal Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Usia dan jenis kelamin Obesitas Alkohol Hipertensi Gangguan fungsi ginjal Penyakit-penyakit metabolik Pola diet Obat: aspirin dosis rendah, diuretik, obatobat TBC Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Diagnosis Banding Sepsis arthritis, Rheumatoid arthritis, Arthritis lainnya Komplikasi 1. 2. Terbentuknya batu ginjal Gagal ginjal. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan Penatalaksanaan 1. 2. 1. Mengatasi serangan akut dengan segera Obat: analgetik, kolkisin, kortikosteroid a. Kolkisin (efektif pada 24 jam pertama setelah serangan nyeri sendi timbul. Dosis oral 0,5-0.6 mg per hari dengan dosis maksimal 6 mg. b. Kortikosteroid sistemik jangka pendek (bila NSAID dan kolkisin tidak berespon baik) seperti prednisone 2-3x5 mg/hari selama 3 hari c. 2. NSAID seperti natrium diklofenak 25-50 mg selama 3-5 hari Program pengobatan serangan berulang untuk mencegah Obat: analgetik, kolkisin dosis rendah 3. Mengelola hiperurisemia (menurunkan kadar asam urat) dan mencegah komplikasi lain a. Obat-obat penurun asam urat Agen penurun asam urat (tidak digunakan selama serangan akut). Pemberian Allupurinol dimulai dari dosis terendah 100 mg, kemudian bertahap dinaikkan bila diperlukan, dengan dosis maksimal 800 mg/hari. Target terapi adalah kadar asam urat < 6 mg/dl. b. Modifikasi gaya hidup • Minum cukup (8-10 gelas/hari). • Mengelola obesitas dan menjaga berat badan ideal. • Hindari konsumsi alkohol • Pola diet sehat (rendah purin) Kriteria Rujukan 1. Apabila pasien mengalami komplikasi atau pasien memiliki penyakit komorbid 2. Bila nyeri tidak teratasi Laboratorium untuk pemeriksaan asam urat. Radiologi Prognosis Quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad fuctionam dubia Referensi 1. Braunwald, Fauci, Hauser, editor. Harrison’s Principals of Internal Medicine. 17thed. USA: McGraw Hill, 2008. 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. 7. DISLIPIDEMIA No. ICPC-2: T93 Lipid disorder No. ICD-10: E78.5 Hiperlipidemia Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment) Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunanfraksi lipid dalam darah. Beberapa kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan atau trigliserida, serta penurunan kolesterol HDL. Dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis sehingga dapat menyebabkan stroke, Penyakit Jantung Koroner (PJK), Peripheral Arterial Disease (PAD), Sindroma Koroner Akut (SKA). Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Tabel 12.3 Interpretasi kadar lipid plasma berdasarkan NECP (National Cholesterol Education Program) Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pada umumnya dislipidemia tidak bergejala dan biasanya ditemukan pada saat pasien melakukan pemeriksaan rutin kesehatan (medical check-up). Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan tanda-tanda vital 2. Pemeriksaaan antropometri (lingkar perut dan IMT/Indeks Massa Tubuh). Cara pengukuran IMT(kg/m2)= BB(kg)/TB2(m) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosa. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan: 1. 2. 3. 4. Kadar kolesterol total Kolesterol LDL Kolesterol HDL Trigliserida plasma Diagnosis Banding : Komplikasi Penyakit jantung koroner, stroke Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan dalam dislipidemia dimulai dengan melakukan penilaian jumlah faktor risiko penyakit jantung koroner pada pasien untuk menentukan kolesterol-LDL yang harus dicapai. Berikut ini adalah tabel faktor risiko (selain kolesterol LDL) yang menentukan sasaran kolesterol LDL yang ingin dicapai berdasarkan NCEP- ATP III: Tabel 12.4 Faktor risiko utama (selain kolesterol LDL) yang menentukan sasaran kolesterol LDL 2. Setelah menemukan banyaknya faktor risiko pada seorang pasien, maka pasien dibagi kedalam tiga kelompok risiko penyakit arteri koroner yaitu risiko tinggi, risiko sedang dan risiko tinggi. Hal ini digambarkan pada tabel berikut ini: Tabel 12.5 Tiga kategori risiko yang menentukan sasaran kolesterol LDL yang ingin dicapai berdasarkan NCEP (Sudoyo, 2006) 3. Selanjutnya penatalaksanaan pada pasien ditentukan berdasarkan kategori risiko pada tabel diatas. Berikut ini adalah bagan penatalaksanaan untuk masing-masing kategori risiko: Gambar 12.3 Penatalaksanaan untuk masingmasing kategori risiko 4. Terapi non farmakologis a. Terapi nutrisi medis Pasien dengan kadar kolesterol LDL tinggi dianjurkan untuk mengurangi asupan lemak total dan lemak jenuh, dan meningkatkan asupan lemak tak jenuh rantai tunggal dan ganda. Pada pasien dengan trigliserida tinggi perlu dikurangi asupan karbohidrat, alkohol, dan lemak b. Aktivitas fisik Pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai kondisi dan kemampuannya. 5. Tata laksana farmakologis Terapi farmakologis dilakukan setelah 6 minggu terapi non farmakologis. Tabel 12.6 Obat hipoglikemik dan efek terhadap kadar lipid plasma Konseling dan edukasi 1. Perlu adanya motivasi dari pasien dan keluarga untuk mengatur diet pasien dan aktivitas fisik yang sangat membantu keberhasilan terapi. 2. Pasien harus kontrol teratur untuk pemeriksaan kolesterol lengkap untuk melihat target terapi dan maintenance jika target sudah tercapai. Kriteria Rujukan 1. Terdapat penyakit komorbid yang harus ditangani oleh spesialis. 2. Terdapat salah satu dari faktor risiko PJK Peralatan Pemeriksaan kimia darah Prognosis Dengan penatalaksanaan yang tepat maka dapat dicegah terjadinya komplikasi akibat dislipidemia. Referensi Tabel 12.7 Obat Hipolopidemik 1. Azwar, B. Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. Medan: FK USU.2004. (Azwar, 2004) 2. Darey, Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005. (Darey, 2005) 3. Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.2007. (Ganiswarna, 2007) 4. Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati, S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.2009. 5. PERKENI, Konsensus Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012 (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2012) 8. MALNUTRISI ENERGI PROTEIN (MEP) No. ICPC II: T91 Vitamin/nutritional deficiency No. ICD X: E46 Unspecified protein-energy malnutrition Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik Patognomonis MEP adalah penyakit akibat kekurangan energi dan protein umumnya disertai defisiensi nutrisi lain. 1. 2. Klasifikasi dari MEP adalah : 1. Kwashiorkor 2. Marasmus 3. Marasmus Kwashiorkor Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. Kwashiorkor, dengan keluhan: • Edema • Wajah sembab • Pandangan sayu • Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa sakit, rontok BB/TB < 70% atau < -3SD Marasmus: tampak sangat kurus, tidak ada jaringan lemak bawah kulit, anak tampak tua, baggy pants appearance. 3. Kwashiorkor: edema, rambut kuning mudah rontok, crazy pavement dermatosa 4. Tanda dehidrasi 5. Demam 6. Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung 7. Sangat pucat 8. Pembesaran hati, ikterus 9. Tanda defisiensi vitamin A pada mata: konjungtiva kering, ulkus kornea, keratomalasia 10. Ulkus pada mulut 11. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium: gula darah, Hb, Ht, preparat apusan darah, urin rutin, feses 2. Antropometri 3. Foto toraks 4. Uji tuberkulin • Anak rewel, apatis 2. Marasmus, dengan keluhan: • • • • 3. Sangat kurus Cengeng Rewel Kulit keriput Marasmus Kwashiorkor, dengan keluhan kombinasi dari ke-2 penyakit tersebut diatas. Faktor Risiko Berat badan lahir rendah, HIV, Infeksi TB, pola asuh yang salah Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective) Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis dengan gizi buruk, apabila: 1. BB/TB < -3SD atau 70% dari median (marasmus). 2. Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/ TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor BB/TB 103 bakteri per lapang pandang 2. Kultur urin (hanya diindikasikan untuk pasien yang memiliki riwayat kekambuhan infeksi salurah kemih atau infeksi dengan komplikasi). Pada pielonefritis akut keluhan dapat juga berupa nyeri pinggang, demam tinggi sampai menggigil, mual muntah, dan nyeri pada sudut kostovertebra. Penegakan Diagnostik (Assessment) Faktor Risiko Diagnosis Klinis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Riwayat diabetes melitus Riwayat kencing batu (urolitiasis) Higiene pribadi buruk Riwayat keputihan Kehamilan Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya Riwayat pemakaian kontrasepsi diafragma Kebiasaan menahan kencing Hubungan seksual Anomali struktur saluran kemih Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Diagnosis Banding Recurrent cystitis, Urethritis, Pielonefritis, Bacterial asymptomatic Komplikasi Gagal ginjal, Sepsis , ISK berulang atau kronik kekambuhan Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Minum air putih minimal 2 liter/hari bila fungsi ginjal normal. 2. Menjaga higienitas genitalia eksterna 3. Pada kasus nonkomplikata, pemberian antibiotik selama 3 hari dengan pilihan antibiotik sebagai berikut: a. Trimetoprim sulfametoxazole b. Fluorikuinolon c. Amoxicillin-clavulanate d. Cefpodoxime higiene genital tetap buruk, ISK dapat berulang atau menjadi kronis. Referensi 1. Weiss, Barry.20 Common Problems In Primary Care. 2. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family Medicine. 2011 3. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI. 2009 4. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract infection. N Engl J Med2012;366:1028-37 (Hooton, 2012) Konseling dan Edukasi Pasien dan keluarga diberikanpemahaman tentang infeksi saluran kemih dan hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain: 1. Edukasi tentang penyebab dan faktor risiko penyakit infeksi saluran kemih. Penyebab infeksi saluran kemih yang paling sering adalah karena masuknya flora anus ke kandung kemih melalui perilaku atau higiene pribadi yang kurang baik. Pada saat pengobatan infeksi saluran kemih, diharapkan tidak berhubungan seks. 2. Waspada terhadap tanda-tanda infeksi saluran kemih bagian atas (nyeri pinggang) dan pentingnya untuk kontrol kembali. 3. Patuh dalam pengobatan antibiotik yang telah direncanakan. 4. Menjaga higiene pribadi dan lingkungan. Kriteria Rujukan 1. Jika ditemukan komplikasi dari ISK maka dilakukan ke layanan kesehatan sekunder 2. 2. Jika gejala menetap dan terdapat resistensi kuman, terapi antibiotika diperpanjang berdasarkan antibiotika yang sensitifdengan pemeriksaan kultur urin Peralatan Pemeriksaan laboratorium urinalisa Prognosis Prognosis pada umumnya baik, kecuali bila 2. PIELONEFRITIS TANPA KOMPLIKASI No ICPC-2: U70. Pyelonephritis / pyelitis No ICD-10 : N10. Acute tubulo-interstitial nephritis (applicable to: acute pyelonephritis) Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Pielonefritis akut (PNA) tanpa komplikasi adalah peradangan parenkim dan pelvis ginjal yang berlangsung akut. Tidak ditemukan data yang akurat mengenai tingkat insidens PNA nonkomplikata di Indonesia. Pielonefritis akut nonkomplikata jauh lebih jarang dibandingkan sistitis (diperkirakan 1 kasus pielonefritis berbanding 28 kasus sistitis). Hasil Anamnesis (Subjective) Tampilan klinis tiap pasien dapat bervariasi, mulai dari yang ringan hingga menunjukkan tanda dan gejala menyerupai sepsis. Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda di bawah ini: 1. 2. 3. 4. Keluhan 1. 2. 3. 4. 5. Onset penyakit akut dan timbulnya tiba-tiba dalam beberapa jam atau hari Demam dan menggigil Nyeri pinggang, unilateral atau bilateral Sering disertai gejala sistitis, berupa: frekuensi, nokturia, disuria, urgensi, dan nyeri suprapubik Kadang disertai pula dengan gejala gastrointestinal, seperti: mual, muntah, diare, atau nyeri perut Faktor Risiko Faktor risiko PNA serupa dengan faktor risiko penyakit infeksi saluran kemih lainnya, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Lebih sering terjadi pada wanita usia subur Sangat jarang terjadi pada pria berusia 38,5oC Takikardi Nyeri ketok pada sudut kostovertebra, unilateral atau bilateral Ginjal seringkali tidak dapat dipalpasi karena adanya nyeri tekan dan spasme otot Dapat ditemukan nyeri tekan pada area suprapubik Distensi abdomen dan bising usus menurun (ileus paralitik) Pemeriksaan Penunjang Sederhana 1. Urinalisis Urin porsi tengah (mid-stream urine) diambil untuk dilakukan pemeriksaan dipstick dan mikroskopik. Temuan yang mengarahkan kepada PNA adalah: a. Piuria, yaitu jumlah leukosit lebih dari 5 – 10 / lapang pandang besar (LPB) pada pemeriksaan mikroskopik tanpa / dengan pewarnaan Gram, atau leukosit esterase (LE) yang positif pada pemeriksaan dengan dip-stick. b. Silinder leukosit, yang merupakan tanda patognomonik dari PNA, yang dapat ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik tanpa/dengan pewarnaan Gram. c. Hematuria, yang umumnya mikroskopik, namun dapat pula gross. Hematuria biasanya muncul pada fase akut dari PNA. Bila hematuria terus terjadi walaupun infeksi telah tertangani, perlu dipikirkan penyakit lain, seperti batu saluran kemih, tumor, atau tuberkulosis. d. Bakteriuria bermakna,yaitu > 104 koloni/ ml, yang nampak lewat pemeriksaan mikroskopik tanpa /dengan pewarnaan Gram. Bakteriuria juga dapat dideteksi lewat adanya nitrit pada pemeriksaan dengan dip-stick. 2. Kultur urin dan tes sentifitas-resistensi antibiotik Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui etiologi dan sebagai pedoman pemberian antibiotik dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan lanjutan. 3. Darah perifer dan hitung jenis Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya leukositosis dengan predominansi neutrofil. 4. Kultur darah Bakteremia terjadi pada sekitar 33% kasus, sehingga pada kondisi tertentu pemeriksaan ini juga dapat dilakukan. 5. Foto polos abdomen (BNO) Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan adanya obstruksi atau batu di saluran kemih. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Diagnosis banding: Uretritis akut, Sistitis akut, Akut abdomen, Appendisitis, Prostatitis bakterial akut, Servisitis, Endometritis, Pelvic inflammatory disease Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 1. Non-medikamentosa a. Identifikasi dan meminimalkan faktor risiko b. Tatalaksana kelainan obstruktif yang ada c. Menjaga kecukupan hidrasi 2. Medikamentosa a. Antinbiotika empiris Antibiotika parenteral: Pilihan antibiotik parenteral untuk pielonefritis akut nonkomplikata antara lain ceftriaxone, cefepime, dan fluorokuinolon (ciprofloxacin dan levofloxacin). Jika dicurigai infeksi enterococci berdasarkan pewarnaan Gram yang menunjukkan basil Gram positif,maka ampisillin yang dikombinasi dengan Gentamisin, Ampicillin Sulbaktam, dan Piperacillin Tazobactam merupakan pilihan empiris spektrum luas yang baik.Terapi antibiotika parenteral pada pasien dengan pielonefritis akut nonkomplikata dapat diganti dengan obat oral setelah 24-48 jam, walaupun dapat diperpanjang jika gejala menetap. Antibiotika oral: Antibiotik oral empirik awal untuk pasien rawat jalan adalah fluorokuinolon untuk basil Gram negatif. Untuk dugaan penyebab lainnya dapat digunakan Trimetoprimsulfametoxazole. Jika dicurigai enterococcus, dapat diberikan Amoxicilin sampai didapatkan organisme penyebab. Sefalosporin generasi kedua atau ketiga juga efektif, walaupun data yang mendukung masih sedikit. Terapi pyeolnefritis akut nonkomplikata dapat diberikan selama 7 hari untuk gejala klinis yang ringan dan sedang dengan respons terapi yang baik. Pada kasus yang menetap atau berulang, kultur harus dilakukan. Infeksi berulang ataupun menetap diobati dengan antibiotik yang terbukti sensitif selama 7 sampai 14 hari. Penggunaan antibiotik selanjutnya dapat disesuaikan dengan hasil tes sensitifitas dan resistensi. b. Simtomatik Obat simtomatik dapat diberikan sesuai dengan gejala klinik yang dialami pasien, misalnya: analgetik-antipiretik, dan anti- emetik. Konseling dan Edukasi 1. Dokter perlu menjelaskan mengenai penyakit, faktor risiko, dan cara-cara pencegahan berulangnya PNA. 2. Pasien seksual aktif dianjurkan untuk berkemih dan membersihkan organ kelamin segera setelah koitus. 3. Pada pasien yang gelisah, dokter dapat memberikan assurance bahwa PNA nonkomplikata dapat ditangani sepenuhnya dgn antibiotik yang tepat. Peralatan 1. 2. 3. 4. 5. Prognosis 1. 2. 3. Apabila respons klinik buruk setelah 48 – 72 jam terapi, dilakukan re-evaluasi adanya faktor-faktor pencetus komplikasi dan efektifitas obat. 2. Urinalisis dengan dip-stick urin dilakukan pasca pengobatan untuk menilai kondisi bebas infeksi. Kriteria Rujukan Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama perlu merujuk ke layanan tingkat lanjutan pada kondisi-kondisi berikut: 1. Ditemukan tanda-tanda urosepsis pada pasien. 2. Pasien tidak menunjukkan respons yang positif terhadap pengobatan yang diberikan. 3. Terdapat kecurigaan adanya penyakit urologi yang mendasari, misalnya: batu saluran kemih, striktur, atau tumor. Ad vitam : Bonam Ad functionam : Bonam Ad sanationam : Bonam Referensi 1. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi Indonesia. (Achmad, 2007) 2. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical Practice Guidelines for the Treatment of Acute Uncomplicated Cystitis and Pyelonephritis in Women : A 2010 Update by the Infectious Diseases Society of America and the European Society for Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Infectious Disease, 52, pp.103–120 (Colgan, 2011) 3. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract Infections, Pyelonephritis, and Prostatitis. In A. s Fauci et al., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill, pp. 1820– 1825. (Stamm, 2008) Rencana Tindak Lanjut 1. Pot urin Urine dip-stick Mikroskop Object glass, cover glass Pewarna Gram 3. FIMOSIS No. ICPC-2 No. ICD-10 : : Y81 Phimosis N47 Phimosis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan hingga ke korona glandis Pancaran urin mengecil Menggelembungnya ujung preputium saat berkemih Eritema dan udem pada preputium dan glans penis Pada fimosis fisiologis, preputium tidak memiliki skar dan tampak sehat Pada fimosis patalogis pada sekeliling preputium terdapat lingkaran fibrotik Timbunan smegma pada sakus preputium Fimosis adalah kondisi dimana preputium tidak dapat diretraksi melewati glans penis. Fimosis dapat bersifat fisiologis ataupun patalogis. Umumnya fimosis fisiologis terdapat pada bayi dan anak-anak. Pada anak usia 3 tahun 90% preputium telah dapat diretraksi tetapi pada sebagian anak preputium tetap lengket pada glans penis sehingga ujung preputium mengalami penyempitan dan mengganggu proses berkemih. Fimosis patologis terjadi akibat peradangan atau cedera pada preputium yang menimbulkan parut kaku sehingga menghalangi retraksi. 2. 3. Hasil Anamnesis (Subjective) Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik Keluhan Keluhan umumnya berupa gangguan aliran urin seperti: 1. 2. 3. 4. Nyeri saat buang air kecil Mengejan saat buang air kecil Pancaran urin mengecil Benjolan lunak di ujung penis akibat penumpukan smegma. 4. 5. 6. 7. Penegakan Diagnosis (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis Banding Parafimosis, Balanitis, Angioedema Komplikasi Dapat terjadi infeksi penumpukan smegma. berulang karena Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Faktor Risiko Penatalaksanaan 1. 2. 1. Pemberian salep kortikosteroid (0,05% betametason) 2 kali perhari selama 2-8 minggu pada daerah preputium. 2. Sirkumsisi 3. Hygiene yang buruk Episode berulang balanitis atau balanoposthitis menyebabkan skar pada preputium yang menyebabkan terjadinya fimosis patalogis Fimosis dapat terjadi pada 1% pria yang tidak menjalani sirkumsisi Rencana Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Apabila fimosis bersifat fisiologis seiring dengan perkembangan maka kondisi akan membaik dengan sendirinya Pemeriksaan Fisik Konseling dan Edukasi 1. Preputium keproksimal tidak dapat diretraksi Pemberian penjelasan terhadap orang tua atau pasien agar tidak melakukan penarikan preputium secara berlebihan ketika membersihkan penis karena dapat menimbulkan parut. Kriteria Rujukan Referensi 1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran Kemih dan Alat Kelamin Lelaki. Buku Ajar Imu Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004. 2. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and Circumcision. The Scientific World Journal. 2011. 11, 289–301. 3. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in Childhood. BMJ 2013;346:f3678. 4. TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke P, Kocvara R, Nijman R, Radmayr Chr, dan Stein R. Phimosis. Guideline of Paediatric Urology. European Association of Urology. 2013. hlm 9-10 Bila terdapat komplikasi dan penyulit untuk tindakan sirkumsisi maka dirujuk ke layanan sekunder. Peralatan Set bedah minor Prognosis Prognosis bonam bila penanganan sesuai 4. PARAFIMOSIS No. ICPC-2: Y81. Paraphimosis No. ICD-10: N47.2 Paraphimosis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Parafimosis merupakan kegawatdaruratan karena dapat mengakibatkan terjadinya ganggren yang diakibatkan preputium penis yang diretraksi sampai di sulkus koronarius tidak dapat dikembalikan pada kondisi semula dan timbul jeratan pada penis di belakang sulkus koronarius. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. Pembengkakan pada penis 2. Nyeri pada penis Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. 2. 3. 4. Preputium tertarik ke belakang glans penis dan tidak dapat dikembalikan ke posisi semula Terjadi eritema dan edema pada glans penis Nyeri Jika terjadi nekrosis glans penis berubah warna menjadi biru hingga kehitaman Penegakan Diagnosis (Assessment) Faktor Risiko Diagnosis Klinis Penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) pada laki- laki yang belum disirkumsisi misalnya pada pemasangan kateter. Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis dan peneriksaan fisik Diagnosis Banding Angioedema, Balanitis, Penile hematoma Komplikasi Bila tidak ditangani dengan segera dapat terjadi ganggren Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Reposisi secara manual dengan memijat glans selama 3-5 menit. Diharapkan edema berkurang dan secara perlahan preputium dapat dikembalikan pada tempatnya. 2. Dilakukan dorsum insisi pada jeratan Rencana Tindak Lanjut Dianjurkan untuk melakukan sirkumsisi. Konseling dan Edukasi Setelah penanganan kedaruratan disarankan untuk dilakukan tindakan sirkumsisi karena kondisi parafimosis tersebut dapat berulang. Kriteria Rujukan Bila terjadi tanda-tanda nekrotik segera rujuk ke layanan sekunder. Peralatan Set bedah minor Prognosis Prognosis bonam Referensi 1. 2. 3. 4. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Buku Ajar Imu Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and Circumcision. The Scientific World Journal. 2011. 11, 289–301. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in Childhood. BMJ 2013;346:f3678. TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke P, Kocvara R, Nijman R, RadmayrChr, dan Stein R. Phimosis. Guideline of Paediatric Urology. European Association of Urology. 2013. hlm 9-10 N. KESEHATAN WANITA 1. KEHAMILAN NORMAL No. ICPC-2 : W90 Uncomplicated labour/delivery livebirth No. ICD-10 : O80.9 Single spontaneous delivery, unspecified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan a. b. c. d. e. Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahir. Lama kehamilan normal 40 minggu dihitung dari hari pertama haid terahir (HPHT). Untuk menghindari terjadinya komplikasi pada kehamilan dan persalinan, maka setiap ibu hamil dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan secara rutin minimal 4 kali kunjungan selama masa kehamilan. Hasil Anamnesis (Subjective) 1. 2. 3. 4. 5. 6. Haid yang terhenti Mual dan muntah pada pagi hari Ngidam Sering buang air kecil Pengerasan dan pembesaran payudara Puting susu lebih hitam Faktor Risiko Pada kehamilan perlu diwaspadai hal-hal di bawah ini: Bila pada kehamilan sebelumnya terdapat riwayat obstetrik sebagai berikut: a. Lahir mati atau bayi mati umur < 28 hari b. > 3 abortus spontan c. Berat badan bayi < 2500 gram d. Berat badan bayi > 4500 gram e. Dirawat di rumah sakit karena hipertensi, preeklampsia atau eklampsia f. Operasi pada saluran reproduksi khususnya operasi seksiosesaria 2. Bila pada kehamilan saat ini: a. Usia ibu di bawah 16 tahun atau di atas 35 tahun b. Ibu memiliki rhesus (-) c. Ada keluhanperdarahan vagina 3. Bila ibu memiliki salah satu masalah kesehatan di bawah ini: f. g. Diabetes Mellitus/ kencing manis Penyakit jantung Penyakit ginjal Penyalahgunaan obat Konsumsi rokok, alkohol dan bahan adiktif lainnya Penyakit menular TB, malaria, HIV/AIDS dan penyakit menular seksual, Penyakit kanker Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Periksa tanda vital ibu (tekanan darah, nadi, suhu, frekuensi nafas), ukur berat badan, tinggi badan, serta lingkar lengan atas (LLA) pada setiap kedatangan. Pada trimester 1 1. LLA> 33 cm, maka diduga obesitas, memiliki risiko preeklampsia dan diabetes maternal, memiliki risiko melahirkan bayi dengan berat badan lebih 2. LLA< 23 cm, maka diduga undernutrisi atau memiliki penyakit kronis, biasanya memiliki bayi yang lebih kecil dari ukuran normal 3. Keadaan muka diperhatikan adanya edema palpebra atau pucat, mata dan konjungtiva dapat pucat,kebersihan mulut dan gigi dapat terjadi karies dan periksa kemungkinan pembesaran kelenjar tiroid. 4. Pemeriksaan payudara: puting susu dan areola menjadi lebih menghitam. 5. Pemeriksaan dada:perhatikan suara paru dan bunyi jantung ibu 6. Pemeriksaan ekstremitas: edema dan varises 1. perhatikan Pemeriksaan obstetrik : 1. Abdomen: a. Observasi adanya bekas operasi. b. Mengukur tinggi fundus uteri. c. Melakukan palpasi dengan manuever Leopold I-IV. d. Mendengarkan bunyi jantung janin (120-160x/menit). 2. Vulva/vagina a. Observasi varises, kondilomata, edema, haemorhoid atau abnormalitas lainnya. b. Pemeriksaan vaginal toucher: memperhatikan tanda-tanda tumor. c. Pemeriksaan inspekulo untuk memeriksa serviks,tanda-tanda infeksi, ada/tidaknya cairan keluar dari osteum uteri. Tabel 14.1 Tinggi fundus sesuai usia kehamilan trimester 1 terutama untuk daerah endemik untuk skrining faktor risiko. 5. USG sesuai indikasi. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosisi ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik/obstetrik, dan pemeriksaan penunjang. Tanda tak pasti kehamilan: Tes kehamilan menunjukkan HCG (+) Tanda pasti kehamilan: 1. Bunyi jantung janin/BJJ (bila umur kehamilan/UK> 8 minggu) dengan BJJ normal 120-160 kali per menit, 2. Gerakan janin (bila UK> 12 minggu) 3. Bila ditemukan adanya janin pemeriksaan Ultrasonografi(USG) pemeriksaan obstetrik. pada dan Kehamilan normal apabila memenuhi kriteria dibawah ini: Pemeriksaan Penunjang 1. Tes kehamilan menunjukkan HCG (+) 2. Pemeriksaan darah: Golongan darah ABO dan Rhesus pada trimester 1, Hb dilakukan pada trimester 1 dan 3, kecuali bila tampak adanya tanda-tanda anemia berat. 3. Pemeriksaan lain: kadar glukosa darah dan protein urin sesuai indikasi. 4. Pada ibu hamil dengan faktor risiko, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan: BTA, TORCH (toxoplasma, rubella, cytomegalo virus, herpes and others), sifilis, malaria danHIV dilakukan pada 1. Keadaan umum baik 2. Tekanan darah 5% dari berat badan sebelum hamil, uterus besar sesuai usia kehamilan, pada pemeriksaan inspekulo tampak serviks yang berwarna biru. Pemeriksaan Penunjang Gejala klinis 3. 4. 5. 6. 7. 8. diperkirakan erat kaitannya dengan faktorfaktor : Peningkatan hormon – hormon kehamilan. Adanya riwayat hiperemesis pada kehamilan sebelumnya. Status nutrisi: pada wanita obesitas lebih jarang di rawat inap karena hiperemesis. Psikologis: adanya stress dan emosi. Darah : kenaikan relatif hemoglobin dan hematokrit. Urinalisa : warna pekat, berat jenis meningkat, pemeriksaan ketonuria, dan proteinuria. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Hiperemesis gravidarum apabila terjadi: secara pasti namun 1. 2. 3. 4. Mual muntah berat Berat badan turun > 5% dari berat sebelum hamil Ketonuria Dehidrasi dan Ketidakseimbangan elektrolit Klasifikasi hiperemesis gravidarum secara klinis dibagi menjadi 3 tingkatan, antara lain: 1. Tingkat 2 Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum dimuntahkan, haus hebat, subfebris, nadi cepat lebih dari 100-140 x/ mnt, tekanan darah sistolik menurun, apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus, aseton, bilirubin dalam urin, dan berat badan cepat menurun. 3. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Tingkat 3 Walaupun kondisi tingkat 3 sangat jarang, yang mulai terjadi adalah gangguan kesadaran (delirium-koma), muntah berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung, bilirubin, dan proteinuria dalam urin. Diagnosis Banding Ulkus peptikum, Inflammatory bowel syndrome, Acute Fatty Liver, Diare akut Komplikasi Komplikasi neurologis, Stress related mucosal injury, stress ulcer pada gaster, Jaundice, Disfungsi pencernaan, Hipoglikemia, Malnutrisi, Defisiensi vitamin terutama thiamin, komplikasi potensial dari janin, kerusakan ginjal yang Non Medikamentosa a. Mengusahakan kecukupan nutrisi ibu, termasuk suplemantasi vitamin dan asam folat di awal kehamilan. b. Makan porsi kecil, tetapi lebih sering. c. Menghindari makanan yang berminyak dan berbau lemak. d. Istirahat cukup dan hindari kelelahan. e. Efekasi yang teratur. Tingkat 1 Muntah yang terus menerus, timbul intoleransi terhadap makanan dan minuman, berat badan menurun, nyeri epigastrium, muntah pertama keluar makanan, lendir dan sedikit cairan empedu, dan yang terakhir keluar darah. Nadi meningkat sampai 100 x/mnt, dan tekanan darah sistolik menurun. Mata cekung dan lidah kering, turgor kulit berkurang, dan urin sedikit tetapi masih normal. 2. menyebabkan hipovolemia, Intrauterine growth restriction (IUGR) 2. Medikamentosa Tatalaksana Umum a. Dimenhidrinat 50-100 mg per oral atau supositoria, 4-6 kali sehari ATAU Prometazin 5-10 mg 3-4 kali sehari per oral atau supositoria. b. Bila masih belum teratasi, tapi tidak terjadi dehidrasi, berikan salah satu obat di bawah ini: • Klorpromazin 10-25 mg per oral atau 50-100 mg IM tiap 4-6 jam • Prometazin 12,5-25 mg per oral atau IM tiap 4-6 jam • Metoklopramid 5-10 mg per oral atau IM tiap 8 jam • Ondansetron 8 mg per oral tiap 12 jam c. Bila masih belum teratasi dan terjadi dehidrasi, pasang kanula intravena dan berikan cairan sesuai dengan derajat hidrasi ibu dan kebutuhan cairannya, lalu: • Berikan suplemen multi vitamin IV • Berikan dimenhidrinat 50 mg dalam 50 ml NaCl 0,9% IV selama 20 menit, setiap 4-6 jam sekali • Bila perlu, tambahkan salah satu obat berikut ini: - Klorpromazin 25-50 mg IV tiap 4-6 jam - Prometazin 12,5-25 mg IV tiap 4-6 jam - Metoklopramid 5-10 mg tiap 8 jam per oral • Bila perlu, tambahkan Metilprednisolon 15-20 mg IV tiap 8 jam ATAU ondansetron 8 mg selama 15 menit IV tiap 12 jam atau 1 mg/ jam terus-menerus selama 24 jam. yang baik pada tingkat yang berat, kondisi ini dapat mengancam nyawa ibu dan janin. Ad vitam Ad functionam Ad sanationam Referensi 1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013) 2. World Health Organization, Kementerian Kesehatan, Perhimpunan Obstetri Dan Ginekologi, Ikatan Bidan Indonesia. Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar Dan Rujukan. Edisi I. Jakarta 2013. Hal 823 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013) 3. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Raschimhadhi, T. Wiknjosastro, G.H, 2010. Ilmu Kebidanan. Ed 4. Cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010; Hal 814-818. (Prawirohardjo, et al., 2010) 4. Wiknjosastro, H.Hiperemesis Gravidarum dalam Ilmu Kebidanan.Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2005: Hal 275-280. (Prawirohardjo, et al., 2010) 5. Ronardy, D.H. Ed. Obstetri Williams. Ed 18. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006:9, 996. (Ronardy, 2006) Konseling dan Edukasi 1. Memberikan informasi kepada pasien, suami, dan keluarga mengenai kehamilan dan persalinansuatu proses fisiologik. 2. Memberikan keyakinan bahwa mual dan kadang-kadang muntah merupakan gejala fisiologik pada kehamilan muda dan akan hilang setelah usia kehamilan 4 bulan. 3. Hindari kelelahan pada ibu dengan aktivitas berlebihan. 4. Memperhatikan kecukupan nutrisi ibu, dan sedapat mungkin mendapatkan suplemen asam folat di awal kehamilan. Kriteria Rujukan 1. Ditemukan gejala klinis dan ada gangguan kesadaran (tingkat 2 dan 3). 2. Adanya komplikasi gastroesopagheal reflux disease (GERD), ruptur esofagus, perdarahan saluran cerna atas dan kemungkinan defisiensi vitamin terutama thiamine. 3. Pasien telah mendapatkan tindakan awal kegawatdaruratan sebelum proses rujukan. Peralatan 1. 2. Laboratorium sederhana pemeriksaan darah rutin Laboratorium urinalisa untuk Prognosis Prognosis umumnya bonam dan sangat memuaskan jika dilakukan penanganan dengan baik. Namun jika tidak dilakukan penanganan : Bonam; : Bonam; : Bonam 3. ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA KEHAMILAN No. ICPC-2: B80 Irondeficiency anaemia No. ICD-10: D50 Iron deficiency anaemia Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Penegakan Diagnostik (Assessment) Anemia dalam kehamilan adalah kelainan pada ibu hamil dengan kadar hemoglobin < 11g/dl pada trimester I dan III atau 40 tahun b. Nullipara dan Kehamilan multipel 5. Obesitas sebelum hamil 6. Riwayat keluarga pre-eklampsia dan eklampsia 7. Riwayat pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana(Objective) dan Penunjang Pemeriksaan Fisik 1. 2. Pada pre-eklampsia ringan: a. Tekanan darah 140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria +1 atau pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil > 300 mg/24 jam Pada pre-eklampsia berat: a. Tekanan darah > 160/110 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria +2 atau pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil > 5g/24 jam c. Atau disertai keterlibatan organ lain: • Trombositopenia (110 mmHg 6. Sianosis 7. Skotoma penglihatan 8. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda edema paru dan atau gagal jantung Pemeriksaan Penunjang Dari pemeriksaan proteinuria ≥ 2+ urinalisa didapatkan Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis Banding Kejang pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang akibat penyakit lain, oleh karena itu sebagai diagnosis banding eklampsia antara lain: Hipertensi, perdarahan otak, lesi di otak, Meningitis, Epilepsi , Kelainan metabolik 1. 2. Komplikasi pada ibu: sianosis, aspirasi , pendarahan otak dan kegagalan jantung, mendadak, lidah tergigit, jatuh dari tempat tidur yang menyebabkan fraktur dan luka, gangguan fungsi ginjal, perdarahan atau ablasio retina, gangguan fungsi hati dan ikterus Komplikasi pada janin: Asfiksia mendadak disebabkan spasme pembuluh darah, Solusio plasenta, persalinan prematuritas 2. 3. 4. Penatalaksanaan Komprehensif(Plan) Penatalaksanaan Perawatan dasar eklampsia yang utama adalah terapi supportif untuk stabilisasi fungsi vital, dengan pemantauan terhadap Airway, Breathing, Circulation (ABC). 5. Non Medikamentosa Pengelolaan Kejang 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pemberian obat anti kejang. Masukan sudap lidah ke dalam mulut penderita. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi trendelenburg untuk mengurangi risiko aspirasi. Katerisasi urine untuk pengukuran cairan dan pemeriksaan proteinuria. Beberapa keluarga pasien membantu untuk menjaga pasien tidak terjatuh dari tempat tidur saat kejang timbul Beri O2 4 - 6 liter permenit. Medikamentosa 1. MgSO4diberikan intravena dengan dosis awal 4 g (10ml MgSO4 40%, larutkan dalam 10 ml akuades) secara perlahan selama 20 menit, jika pemberian secara intravena sulit, dapat diberikan secara IM dengan dosis 5mg masing bokong kanan dan kiri. Adapun syarat pemberian MgSO4 a. tersedianya CaGlukonas10% b. ada refleks patella, c. jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam d. frekuensi napas 12-16x/menit. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 (15ml MgSO4 40%, larutkan dalam 500 ml larutan Ringer Laktat/ Ringer asetat) 28 tetes/ menit selama 6 jam dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir. Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya, berikan dosis awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas kesehatan sekunder . Diazepam juga dapat dijadikan alternatif pilihan dengan dosis 10 mg IV selama 2 menit (perlahan), namun mengingat dosis yang dibutuhkan sangat tinggi dan memberi dampak pada janin, maka pemberian diazepam hanya dilakukan apabila tidak tersedia MgSO4. Stabilisasi selama proses perjalanan rujukan a. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella. b. b. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/ menit, dan/atau tidak didapatkan refleks tendon patella, danatau terdapat oliguria (produksi urin 16 minggu: Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi hasil konsepsi dari dalam uterus. Bila perlu berikan infus oksitosin 40 IU dalam 1 L NaCl 0,9% atau RL dengan kecepatan 40 tetes per menit d. Lakukan pemantauan paska tindakan setiap 30 menit selama 2 jam, Bila kondisi baik dapat dipindahkan ke ruang rawat. e. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium f. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi urin tiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar Hb setelah 24 jam. Bila kadar Hb > 8gr/dl dan keadaan umum baik, ibu diperbolehkan pulang Abortus inkomplit a. Lakukan konseling b. Observasi tanda vital (tensi, nadi, suhu, respirasi) c. Evaluasi tanda-tanda syok, bila terjadi syok karena perdarahan, pasang IV line (bila perlu 2 jalur) segera berikan infus cairan NaCl fisiologis atau cairan ringer laktat disusul dengan darah. d. Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan 16 minggu berikan infus oksitosin 40 IU dalam 1 L NaCl 0,9% atau RL dengan kecepatan 40 tetes per menit. Lakukan pemantauan paska tindakan setiap 30 menit selama 2 jam, Bila kondisi baik dapat dipindahkan ke ruang rawat. g. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium h. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi urin tiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar Hb setelah 24 jam. Bila kadar Hb > 8gr/dl dan keadaan umum baik, ibu diperbolehkan pulang Abortus komplit Tidak memerlukan pengobatan khusus, hanya apabila menderita anemia perlu diberikan sulfas ferosus dan dianjurkan supaya makanannya mengandung banyak protein, vitamin dan mineral. Pencegahan 1. 2. 3. 4. 5. Pemeriksaan rutin antenatal Makan makanan yang bergizi (sayuran, susu,ikan, daging,telur). Menjaga kebersihan diri, terutama daerah kewanitaan dengan tujuan mencegah infeksi yang bisa mengganggu proses implantasi janin. Hindari rokok, karena nikotin mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Apabila terdapat anemia sedang berikan tablet Sulfas Ferosus 600 mg/hari selama 2 minggu,bila anemia berat maka berikan transfusi darah. Rencana Tindak Lanjut 1. 2. 3. Melakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional Menganjurkan penggunaan kontrasepsi pasca keguguran karena kesuburan dapat kembali kira-kira 14 hari setelah keguguran. Untuk mencegah kehamilan, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) umumnya dapat dipasang secara aman setelah aborsi spontan atau diinduksi. Kontraindikasi pemasangan AKDR pasca keguguran antara lain adalah infeksi pelvik, abortus septik, atau komplikasi serius lain dari abortus. Follow up dilakukan setelah 2 minggu. Kriteria Rujukan Abortus Insipiens, Abortus Inkomplit, perdarahan yang banyak, nyeri perut, ada pembukaan serviks, demam, darah cairan berbau dan kotor Peralatan 1. 2. 3. 4. Inspekulo Laboratorium sederhana untuk pemeriksan tes kehamilan . Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin. USG Prognosis Prognosis umumnya bonam. Referensi 1. 2. 3. Saifuddin, A.B. Ilmu Kebidanan. Perdarahan pada kehamilan muda. Ed 4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo.2009: p. 460-474. (Prawirohardjo, et al., 2010) KementerianKesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: KementerianKesehatan RI. 2013(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013) Saifuddin, A.B. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2001; 146-147.(Saifuddin, 2011) 7. KETUBAN PECAH DINI (KPD) No. ICPC-2 No. ICD-10 : W92 Complicated labour/delivery livebirth : 042.9 Premature rupture of membrane, unspecified Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan atau dimulainya tanda inpartu. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini. Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% kehamilan. Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Ketuban pecah dini prematur sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten serviks, dan solusio plasenta. Hasil Anamnesis (Subjective) Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. 2. 3. 4. 5. 6. Keluhan 1. 2. Terasa keluar air dari jalan lahir Biasanya tanpa disertai dengan kontraksi atau tanda inpartu Adanya riwayat keluarnya air ketuban berupa cairan jernih keluar dari vagina yang kadangkadang disertai tanda-tanda lain dari persalinan. Pada anamnesis, hal-hal yang perlu digali adalah menentukan usia kehamilan, adanya cairan yang keluar dari vagina, warna cairan yang keluar dari vagina, dan adanya demam. Pemeriksaan Penunjang 1. 2. 3. Faktor Risiko : Multiparitas, Hidramnion, Kelainan letak ; sungsang atau melintang, Kehamilan ganda, Cephalo Pelvic Disproportion, Infeksi, Perdarahan antepartum Tercium bau khas ketuban Apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servikalis pada bagian yang sudah pecah, lihat dan perhatikan atau terdapat cairan ketuban padaforniks posterior. Menentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan ketuban di vagina. Pastikan bahwa cairan tersebut adalah cairan amnion dengan memperhatikan bau cairan ketuban yang khas. Jika tidak ada cairan amnion, dapat dicoba dengan menggerakkan sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengejan Tidak ada tanda inpartu Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai adanya tanda-tanda infeksi pada ibu dengan mengukur suhu tubuh (suhu ≥ 380C). 4. Pemeriksaan pH vagina (cairan ketuban) dengan kertas lakmus (Nitrazin test) dari merah menjadi biru , sesuai dengan sifat air ketuban yang alkalis Pemeriksaan mikroskopis tampak gambaran pakis yang mengering pada sekret serviko vaginal. Dilakukan dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan mengering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis. Pemeriksaan darah rutin, leukosit> 15.000/ mm3. Penegakan Diagnostik (Assessment) c. Diagnosis Klinis < 24 minggu: • Pertimbangan dilakukan dengan melihat risiko ibu dan janin. Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. • Lakukan konseling pada pasien. Terminasi kehamilan mungkin menjadi pilihan. Diagnosis Banding : Komplikasi yang timbul bergantung pada usia kehamilan 1. 2. 3. 4. 5. Infeksi maternal korioamnionitis dan neonatal Persalinan prematur Hipoksia karena kompresi tali pusat Deformitas janin Meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagal persalinan normal. • Konseling dan Edukasi 1. Memberikan informasi kepada ibu, adanya air ketuban yang keluar sebelum tanda inpartu 2. Menenangkan ibu dan kepada suami dan keluarga 3. agar ibu dapat diberi kesempatan untuk tirah baring. 4. Memberi penjelasan mengenai persalinan yang lebih cepat dan rujukan yang akan dilakukan ke pusat pelayanan sekunder. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Pembatasan aktivitas pasien. 2. Apabila belum inpartuberikan Eritromisin 4 x 250 mg selama 10 hari. 3. Segera rujuk pasien ke fasilitas pelayanan sekunder 4. Di RS rujukan : a. b. ≥ 34 minggu : lakukan induksi persalinan dengan oksitosin bila tidak ada kontraindikasi 24-33 minggu: • Bila terdapat amnionitis, abruptio plasenta, dan kematian janin, lakukan persalinan segera. Jika terjadi infeksi (koroiamnionitis), lakukan tatalaksana koriamnionitis. Kriteria rujukan Ibu hamil dengan keadaan ketuban pecah dini merupakan kriteria rujukan ke pelayanan kesehatan sekunder. Peralatan 1. 2. 3. Inspekulo Kertas lakmus (Nitrazin test) Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin Prognosis • Berikan Deksametason 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam. Prognosis Ibu • Lakukan pemeriksaan serial untuk menilai kondisi ibu dan janin. 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam • Bayi dilahirkan di usia 34 minggu, bila dapat dilakukan pemeriksaan kematangan paru dan hasil menunjukan bahwa paru sudah matang. memberitahu Prognosis Janin 1. Ad vitam 2. Ad functionam 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam : Dubia ad bonam : Dubia ad Bonam Referensi 1. 2. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 677-680. (Prawirohardjo, et al., 2010) Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013) 8. PERSALINAN LAMA No. ICPC-2: W92 Life birth W93 still birth No. ICD-10: O63.9 Long labour Tingkat Kemampuan 3B Masalah Kesehatan Persalinan lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 18-24 jam sejak dimulai dari tanda-tanda persalinan. 3. Passage : panggul sempit, kelainan serviks atau vagina, tumor 4. Gabungan : jalan lahir dari faktor-faktor di atas Etiologi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kepala janin yang besar / hidrosefalus Kembar terkunci Kembar siam Disporsi fetopelvik Malpresentasi dan malposisi Deformitas panggul karena trauma atau polio Tumor daerah panggul Infeksi virus di perut atau uterus Jaringan arut (dari sirkumsisi wanita) Hasil Anamnesis (Subjective) Pasien datang dalam kondisi fase persalinan Kala 1 atau Kala 2 dengan status: kelainan pembukaan serviks atau partus macet. Faktor Risiko: (“Po, Pa, Pa”atau gabungan 3 P ) 1. Power : His tidak adekuat (his dengan frekuensi 1 jam • Tidak ada pembukaan (dilatasi) > 2 jam • Tidak ada penurunan bagian terendah > 1 jam • Kegagalan penurunan bagian terendah (Tidak ada penurunan pada fase deselerasi atau kala 2) Faktor Penyebab 3. 1. 2. 3. 4. Penegakan Diagnostik (Assessment) • Fase deselerasi memanjang ( > 3 jam ) 1. 2. Pemeriksaan penunjang : • Kemajuan pembukaan (dilatasi) serviks pada fase aktif 50% sfingter ani ekterna IIIc. Robekan juga meliputi sfingter ani interna Gambar 14. 5 Ruptur Perineum dan Sfingter Ani perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum yang berat). 2. Manajemen Ruptur Perineum: a. • • • • • • • • • Retractor Weislander’s Forceps gigi (fine & strong) Needle holder (small and large) Forceps Allis (4) Forceps arteri (6) Gunting Mitzembaum Gunting pemotong jahitan Spekulum Sims Retraktor dinding samping dalam vagina • Forceps pemegang kasa Sfingter ani yang intak (ditunjuk oleh tanda panah A) terlihat lebih jelas pada pemeriksaan rectal touche (B); Robekan parsial sepanjang sfingter ani eksterna (C); Robekan perineum derajat 3b dengan sfingter ani yang intak (Internal anal sphincter/IAS). Sfingter ani eksterna (External anal sphincter/EAS) dijepit oleh forseps Allis. Perhatikan perbedaan warna IAS yang lebih pucat dibandingkan EAS (D). 4. b. bahan-bahan yang diperlukan untuk perbaikan jalan lahir. • • • • Tampon Kapas besar Povidon Iodine Lidocain 1% (untuk ruptur perineumderajat I-II) • Benang catgut / Asam poliglikolik (Dexon, David&Geck Ltd, UK) / Poliglaktin 910 (Vicryl, Ethicon Ltd, Edinburgh, UK) Derajat IV :Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rektum Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Ruptur perineum harus segera diperbaiki untuk meminimalisir risiko perdarahan, edema, dan infeksi. Manajemen ruptur perineum untuk masing-masing derajatnya, antara lain sebagai berikut : Non Medikantosa 1. 2. Menghindari atau mengurangi dengan menjaga jangan sampai dasarpanggul didahului oleh kepala janin dengan cepat. Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama. Medikamentosa 1. Penatalaksanaan farmakologis Dosis tunggal sefalosporin golongan II atau III dapat diberikan intravena sebelum Alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan jalan lahir Robekan perineum derajat 1 Robekan tingkat I mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat, tidak perlu dilakukan penjahitan. Penjahitan robekan perineum derajat 2 1. 2. Siapkan alat dan bahan. Pastikan pasien tidak memiliki alergi terhadap Lignokain atau obat-obatan sejenis 3. 4. 5. 6. 7. 8. Suntikan 10 ml Lignokain 0.5% di bawah mukosa vagina, di bawah kulit perineum dan pada otot-otot perineum. Masukan jarum pads ujung laserasi dorong masuk sepanjang luka mengikuti garis tempat jarum jahitnya akan masuk atau keluar. Tunggu 2 menit. Kemudian area dengan forsep hingga pasien tidak merasakan nyeri. Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan benang 2-0, lihat ke dalam luka untuk mengetahui letak ototnya (penting untuk menjahit otot ke otot agar tidak ada rongga di dalamnya). Carilah lapisan subkutis persis dibawah lapisan kulit, lanjutkan dengan jahitan subkutikuler kembali keatas vagina, akhiri dengan simpul mati pada bagian dalam vagina. Potong kedua ujung benang dan hanya sisakan masing-masing 1 cm. Jika robekan cukup luas dan dalam, lakukan colok dubur dan pastikan tidak ada bagian rektum terjahit. CATATAN: Aspirasi penting untuk meyakinkan suntikan lignokain tidak masuk dalam pembuluh darah. Jika ada darah pada aspirasi, pindahkan jarum ke tempat lain. Aspirasi kembali. Kejang dan kematian dapat terjadi jika lignokain diberikan lewat pembuluh darah (intravena) Penjahitan robekan perineum derajat 3 1. Perbaikan robekan harus dilakukan hanya oleh dokter yang sudah dilatih secara formal (atau dalam supervisi) mengenai perbaikan sfingter ani primer. Perbaikan harus dilakukan di kamar operasi dengan pencahayaan yang baik, peralatan yang memadai, dan kondisi aseptik. a. Anestesi umum atau regional (spinal, epidural, kaudal) menjadi analgesik dan pelemas otot yang bermanfaat dalam evaluasi luasnya robekan. b. Luasnya robekan harus dievaluasi melalui pemeriksaan vagina dan rektal yang berhati-hati. c. Jika terdapat kebingungan dalam menentukan derajat trauma maka derajat yang lebih tinggi yang harus dipilih. Pada kasus yang jarang ditemui, tipe robekan “buttonhole” terisolasi dapat terjadi di rektum tanpa menyebabkan kerusakan sfingter ani. 2. Diperbaiki secara transvaginal menggunakan jahitan interrupted dengan benang Vicryl. 3. Untuk mengurangi risiko fistula rektovaginal persisten, selapis jaringan perlu disisipkan diantara rektum dan vagina. (Dengan aproksimasi fasia rektovaginal). 4. Kolostomi diindikasikan hanya jika terdapat robekan besar yang mencapai dasar pelvis atau terdapat kontaminasi feses pada luka. Gambar 14.6 Penjahitan Luka Perineum Tingkat 2 Penjahitan robekan perineum derajat 4 1 Epitel ani yang mengalami robekan diperbaiki dengan jahitan interrupted menggunakan benang Vicryl 3/0 dan disimpul di dalam lumen ani. Perbaikan epitel ani secara subkutikular melalui pendekatan transvaginal juga diketahui memiliki keefektifan yang sama jika simpul terminalnya terikat dengan baik. 2 Otot sfingter diperbaiki dengan 3/0 PDS dyed sutures. a. a. Benang monofilamen dipercaya dapat mengurangi risiko infeksi dibandingkan dengan benang braided. b. Ujung-ujung robekan sfingter ani eksterna kemudian dijahit menggunakan teknik overlap dengan benang PDS 3/0. b. Benang monofilamen non-absorbable seperti nilon atau Prolene (polypropylene) dipilih oleh beberapa dokter bedah kolorektal dalam perbaikan sekunder robekan sfingter. c. c. Benang non-absorbable dapat menyebabkan abses pada jahitan (terutama pada simpul) dan ujung tajam jahitan dapat menyebabkan ketidaknyamanan. 3. Untuk mengurangi perpindahan jahitan, ujung jahitan harus dipotong pendek dan tertupi oleh muskulus perinei superfisialis. f. Sebuah RCT menunjukkan tidak ada perbedaan morbiditas terkait jahitan menggunakan benang Vicryl dan PDS pada 6 minggu post partum. 5. Sfingter ani eksterna harus diidentifikasi dan dijepit dengan forsep Allis karena sfingter ini cenderung mengkerut ketika robek. Jika operator tidak familiar dengan teknik overlap atau sfingter ani eksterna hanya robek sebagian (derajat 3a/3b) maka perbaikan end-to-end harus dilakukan menggunakan 2-3 jahitan matras, seperti pada perbaikan sfingter ani interna. Setelah perbaikan sfingter, perineal body perlu direkonstruksi agar dapat mempertahankan sfingter ani yang telah diperbaiki. a. Sfingter ani interna tampak pucat seperti daging ikan mentah sedangkan sfingter ani eksterna berwarna lebih terang, seperti daging merah. b. Ujung-ujung otot yang robek dijepit dengan forsep Allis dan perbaikan endto-end dilakukan dengan jahitan interrupted atau matras menggunakan PDS 3/0. 4. e. Sfingter ani interna harus diidentifikasi dan jika mengalami robekan harus diperbaiki secara terpisah dari sfingter ani eksterna. a. Teknik overlap akan menyebabkan area kontak otot menjadi lebih luas dibandingkan dengan teknik end-to end. d. Wanita dengan perbaikan sfingter ani eksterna secara end-to- end diketahui dapat tetap kontinen tetapi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami inkontinensia pada usia yang lebih lanjut. d. Absorpsi sempurna PDS lebih lama dari Vicryl dan kekuatan tensilnya bertahan lebih lama dari Vicryl. e. Setelah itu, otot dipisahkan dari lemak iskhioanal menggunakan gunting Mitzembaum. Perineum yang pendek dapat menyebabkan sfingter ani menjadi lebih rentan terhadap trauma dalam kelahiran per vaginam berikutnya. b. Kulit vagina harus dijahit dan kulit perineum diaproksimasi dengan jahitan subkutikular menggunakan benang Vicryl 3/0. 6 Pemeriksaan rektovaginal harus dilakukan untuk memastikan perbaikan telah sempurna dan memastikan bahwa seluruh tampon atau kapas telah dikeluarkan. 7. Catatan yang lengkap mengenai temuan dan perbaikan harus dibuat. Jika tidak terdapat tenaga yang kompeten pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis obstetrik dan ginekologi. (Kementerian Indonesia, 2013) 2. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu Bedah Dasar Obstetri dan Ginekologi. Bina Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014) 3. 3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L. Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y. Williams Obstectrics. 23rdEd. McGrawHill.2009.(Cunningham, et al., 2009) 4. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan. Ed 1 Jakarta: Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo. 2007: Hal 170-6 (Prawirohardjo, et al., 2010). Konseling dan Edukasi Memberikan informasi suami, mengenai, cara daerah vagina dan dilakukannya penjahitan yaitu antara lain: kepada pasien dan menjaga kebersihan sekitarnya setelah di daerah perineum, 1. Menjaga perineum selalu bersih dan kering. 2. Hindari penggunaan tradisional pada perineum. 3. Cuci perineumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali perhari. 4. 4. Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu harus kembali lebih awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan cairan yang berbau busuk dari daerah lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri. obat-obatan Kriteria Rujukan Kriteria tindakan pada Fasilitas Pelayanan tingkat pertama hanya untuk Luka Perineum Tingkat 1 dan 2. Untuk luka perineum tingkat 3 dan 4 dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder. Peralatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Lampu Kassa steril Sarung tangan steril Hecting set Benang jahit catgut Laboratorium sederhana pemeriksaan darah rutin dan golongan darah. Prognosis Prognosis umumnya bonam. Referensi 1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI 2013. Kesehatan Republik 11. MASTITIS No. ICPC-2 No. ICD-10 : X21 Breast symptom/complaint female other : N61 Inflammatory disorders of breast Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Mastitis adalah peradangan payudara yang terjadi biasanya pada masa nifas atau sampai 3 minggu setelah persalinan. Kejadian mastitis berkisar 2-33% dari ibu menyusui dan lebih kurang 10% kasus mastitis akan berkembang menjadi abses (nanah), dengan gejala yang makin berat. Hasil Anamnesis (Subjective) 7. 8. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan fisik 1. 2. Keluhan 1. 2. 3. pada puting susu. Terdapat luka pada payudara. Riwayat mastitis sebelumnya saat menyusui. Nyeri dan bengkak pada daerah payudara, biasa pada salah satu payudara Adanya demam >380 C Paling sering terjadi di minggu ke 3 - 4 postpartum Pemeriksaan tanda vital : nadi meningkat (takikardi). Pemeriksaan payudara a. payudara membengkak b. lebih teraba hangat c. kemerahan dengan batas tegas d. adanya rasa nyeri e. unilateral f. dapat pula ditemukan luka pada payudara Gejala klinis Pemeriksaan penunjang : - 1. 2. 3. 4. 5. Penegakan Diagnostik(Assessment) Demam disertai menggigil Dapat disertai demam > 380C Mialgia Nyeri didaerah payudara Sering terjadi di minggu ke–3 dan ke–4 postpartum, namun dapat terjadi kapan saja selama menyusui Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. 5. 6. Primipara Stress Tehnik menyusui yang tidak benar, sehingga proses pengosongan payudara tidak terjadi dengan baik. (menyusui hanya pada satu posisi) Penghisapan bayi yang kurang kuat, dapat menyebabkan statis dan obstruksi kelenjar payudara. Pemakaian bra yang terlalu ketat Bentuk mulut bayi yang abnormal (ex: cleft lip or palate), dapat menimbulkan trauma Diagnosis klinis Diagnosis klinis dapat di tegakkan dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Berdasarkan tempatnya, mastitis dapat dibedakan menjadi 3 macam, antara lain : 1. 2. 3. Mastitis yang menyebabkan abses dibawah areola mammae. Mastitis ditengah payudara yang menyebabkan abses ditempat itu. Mastitis pada jaringan dibawah dorsal kelenjar-kelenjar yang menyebabkan abses antara payudara dan otot-otot dibawahnya. Diagnosis Banding:Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Non Medikamentosa Prognosis 1. Prognosis pada umumnya bonam. 2. 3. Ibu sebaiknya tirah baring dan mendapat asupan cairan yang lebih banyak. Sampel ASI sebaiknya dikultur dan diuji sensitivitas. Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra yang pas Referensi 1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2010: Hal 380, 652653(Prawirohardjo, et al., 2010) 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013. Medikamentosa 1. 2. 3. Berikan antibiotika a. Kloksasilin 500 mg per oral per 6 jam selama 10-14 hari b. ATAU Eritromisin 250 mg per oral 3 x 1 sehari selama10 hingga 14 hari Analgetik parasetamol 3x500 mg per oral Lakukan evaluasi setelah 3 hari. Komplikasi: 1. 2. Abses mammae Sepsis Konseling dan Edukasi 1. 2. 3. 4. 5. Memberikan pengetahuan akan pentingnya ASI dan mendorong ibu untuk tetap menyusui, Menyusui dapat dimulai dengan payudara yang tidak sakit. Pompa payudara dapat di lakukan pada payudara yang sakit jika belum kosong setelah bayi menyusui. Ibu dapat melakukan kompres dingin untuk mengurangi bengkak dan nyeri. Ibu harus menjaga kebersihan diri dan lingkungan untuk menghindari infeksi yang tidak diinginkan. Peralatan 1. 2. 3. 4. Lampu Kasa steril Sarung tangan steril Bisturi Kriteria Rujukan Jika terjadi komplikasi abses mammae dan sepsis. 12. INVERTED NIPPLE No. ICPC-2 : W.95 Breast disorder in pregnancy other X.20 Nipple symptom/complaint female : O92.02 Retracted nipple associated with the puerperium O92.03 Retracted nipple associated with lactation No. ICD-10 Tingkat kemampuan : 4A Masalah Kesehatan 1. Grade 1 a. Puting tampak datar atau masuk ke dalam b. Puting dapat dikeluarkan dengan mudah dengan tekanan jari pada atau sekitar areola. c. Terkadang dapat keluar sendiri tanpa manipulasi d. Saluran ASI tidak bermasalah, dan dapat menyusui dengan biasa. 2. Grade 2 Terdapat beberapa bentuk puting susu. Pada beberapa kasus seorang ibu merasa putingnya datar atau terlalu pendek akan menemui kesulitan dalam menyusui bayi. Hal ini bisa berdampak bayi tidak bisa menerima ASI dengan baik dan cukup. Pada beberapa kasus, putting dapat muncul kembali bila di stimulasi, namun pada kasuskasus lainnya, retraksi ini menetap. Hasil Anamnesis (Subjective) a. Dapat dikeluarkan dengan menekan areola, namun kembali masuk saat tekanan dilepas b. Terdapat kesulitan menyusui. c. Terdapat fibrosis derajat sedang. d. Saluran ASI dapat mengalami retraksi namun pembedahan tidak diperlukan. e. Pada pemeriksaan histologi ditemukan stromata yang kaya kolagen dan otot polos. Keluhan 1. 2. 3. Kesulitan ibu untuk menyusui bayi Puting susu tertarik Bayi sulit untuk menyusui Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Adanya puting susu yang datar atau tenggelam dan bayi sulit menyusui pada ibu. Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam penegakan diagnosis Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan tidak memerlukan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis ini terbagi dalam : 3. Grade 3 a. Puting sulit untuk dikeluarkan pada pemeriksaan fisik dan membutuhkan pembedahan untukdikeluarkan. b. Saluran ASI terkonstriksi dan tidak memungkinkan untuk menyusui c. Dapat terjadi infeksi, ruam, atau masalah kebersihan d. Secara histologis ditemukan atrofi unit lobuler duktus terminal dan fibrosis yang parah Komplikasi Risiko yang sering muncul adalah ibu menjadi demam dan pembengkakan pada payudara. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Kriteria Rujukan: - Penatalaksanaan Non-Medikamentosa Prognosis Untuk puting datar/tenggelam (inverted nipple) dapat diatasi setelah bayi lahir, yaitu dengan proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) sebagai langkah awal dan harus terus menyusui agar puting selalu tertarik. Ada dua cara yang dapat digunakan untuk mengatasi puting datar/ terbenam, yaitu: 1. Ad vitam : Bonam 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam 1. Penarikan puting secara manual/dengan tangan. Puting ditarik- tarik dengan lembut beberapa kali hingga menonjol. 2. Menggunakan spuit ukuran 10-20 ml, bergantung pada besar puting. Ujung spuit yang terdapat jarum dipotong dan penarik spuit (spuit puller) dipindahkan ke sisi bekas potongan. Ujung yang tumpul di letakkan di atas puting, kemudian lakukan penarikan beberapa kali hingga puting keluar. Lakukan sehari tiga kali; pagi, siang, dan malam masing-masing 10 kali 3. Jika kedua upaya di atas tidak memberikan hasil, ibu dapat memberikan air susunya dengan cara memerah atau menggunakan pompa payudara. 4. Jika putting masuk sangat dalam, suatu usaha harus dilakukan untuk mengeluarkan putting dengan jari pada beberapa bulan sebelum melahirkan. Konseling dan Edukasi 1. Menarik-narik puting sejak hamil (nipple conditioning exercises) ataupun penggunaan breast shield dan breast shell. Tehnik ini akan membantu ibu saat masa telah memasuki masa menyusui. 2. Membangkitkan rasa percaya diri ibu dan membantu ibu melanjutkan untuk menyusui bayi. Posisikan bayi agar mulutnya melekat dengan baik sehingga rasa nyeri akan segera berkurang. Tidak perlu mengistirahatkan payudara, tetapi tetaplah menyusu on demand Referensi 1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010. 379 2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013. 3. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta. 4. http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/ manajemen- laktasi.html. 2014 13. CRACKED NIPPLE No. ICPC-2 : W.95 Breast disorder in pregnancy other X.20 Nipple symptom/complaint female : O9212 Cracked nipple associated with the puerperium O9213 Cracked nipple associated with lactation No. ICD-10 Tingkat kemampuan 4A Masalah Kesehatan Gambar 14.7 Crackecd Nipple Nyeri pada puting merupakan masalah yang sering ditemukan pada ibu menyusui dan menjadi salah satu penyebab ibu memilih untuk berhenti menyusui bayinya. Diperkirakan sekitar 80-90% ibu menyusui mengalami nipple pain dan 26% di antaranya mengalami lecet pada puting yang biasa disebut dengan nipple crack. Kerusakan pada puting mungkin terjadi karena trauma pada puting akibat cara menyusui yang salah. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Adanya nyeri pada puting susu dan nyeri bertambah jika menyusui bayi. Penyebab Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam penegakan diagnosis. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Dapat disebabkan oleh teknik menyusui yang salah atau perawatan yang tidak benar pada payudara. Infeksi monilia dapat mengakibatkan lecet. Diagnosis bisa ditegakkan anamnesis, pemeriksaan fisik. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Risiko yang sering muncul adalah ibu menjadi demam dan pembengkakan pada payudara. Pemeriksaan Fisik Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Pemeriksaan Fisik didapatkan : Penatalaksanaan 1. 2. Non-Medikamentosa Nyeri pada daerah putting susu Lecet pada daerah putting susu berdasarkan Komplikasi 1. 2. 3. 4. 5. Teknik menyusui yang benar Puting harus kering Mengoleskan colostrum atau ASI yang keluar di sekitar puting susu dan membiarkan kering. Mengistiraharkan payudara apabila lecet sangat berat selama 24 jam Lakukan pengompresan dengan kain basah dan hangat selama 5 menit jika terjadi bendungan payudara Referensi 1. Prawirohardjo, S. Saifuddin,A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 379. 2. Utami, R. Yohmi, E. Buku Bedah ASI IDAI Medikamentosa 1. 2. 3. Memberikan tablet Parasetamol tiap 4–6 jam untuk menghilang- kan nyeri. Pemberian Lanolin dan vitamin E Pengobatan terhadap monilia Konseling dan Edukasi 1. 2. 3. 4. 5. Tetap memberikan semangat pada ibu untuk tetap menyusui jika nyeri berkurang. Jika masih tetap nyeri, sebagian ASI sebaiknya diperah. Tidak melakukan pembersihan puting susu dengan sabun atau zat iritatif lainnya. Menggunakan bra dengan penyangga yang baik. Posisi menyusui harus benar, bayi menyusui sampai ke kalang payudara dan susukan secara bergantian di antara kedua payudara. Tabel 14.14 Posisi menyusui yang baik Kriteria Rujukan Rujukan diberikan jika terjadi kondisi yang mengakibatkan abses payudara Prognosis 1. 2. 3. Ad vitam : Bonam ; Ad functionam : Bonam; Ad sanationam : Bonam O. PENYAKIT KELAMIN 1. FLUOR ALBUS / VAGINAL DISCHARGE NON GONORE No. ICPC-2 No. ICD-10 : X14 vaginal discharge X71 gonore pada wanita X72 urogenital candidiasis pada wanita X73 trikomoniasis urogenital pada wanita X92 klamidia genital pada wanita : N98.9 Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Vaginal discharge atau keluarnya duh tubuh dari vagina secara fisiologis yang mengalami perubahan sesuai dengan siklus menstruasi berupa cairan kental dan lengket pada seluruh siklus namun lebih cair dan bening ketika terjadi ovulasi. Masih dalam batas normal bila duh tubuh vagina lebih banyak terjadi pada saat stres, kehamilan atau aktivitas seksual. Vaginal discharge bersifat patologis bila terjadi perubahan-perubahan pada warna, konsistensi, volume, dan baunya. prolaps uteri, sedangkan masalah infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, jamur atau virus seperti berikut ini: 1. Kandidiasis vaginitis, disebabkan oleh Candida albicans, duh tubuh tidak berbau, pH 4,5. 3. Servisitis yang disebabkan oleh chlamydia, dengan gejala inflamasi serviks yang mudah berdarah dan disertai duh mukopurulen 4. Trichomoniasis, seringkali asimtomatik, kalau bergejala, tampak duh kuning kehijauan, duh berbuih, bau amis dan pH >4,5. 5. Pelvic inflammatory disease (PID) yang disebabkan oleh chlamydia, ditandai dengan nyeri abdomen bawah, dengan atau tanpa demam. Servisitis bisa ditandai dengan kekakuan adneksa dan serviks pada nyeri angkat palpasi bimanual. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Biasanya terjadi pada daerah genitalia wanita yang berusia di atas 12 tahun, ditandai dengan adanya perubahan pada duh tubuh disertai salah satu atau lebih gejala rasa gatal, nyeri, disuria, nyeri panggul, perdarahan antar menstruasi atau perdarahan paska-koitus. Faktor Risiko Terdapat riwayat koitus dengan pasangan yang dicurigai menularkan penyakit menular seksual. Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana(Objective) dan Penunjang 6. Liken planus Pemeriksaan Fisik 7. Gonore Penyebab discharge terbagi menjadi masalah infeksi dan non infeksi. Masalah non infeksi dapat karena benda asing, peradangan akibat alergi atau iritasi, tumor, vaginitis atropik, atau 8. Infeksi menular seksual lainnya 9. Atau adanya benda asing (misalnya tampon atau kondom yang terlupa diangkat) Periksa klinis dengan seksama untuk menyingkirkan adanya kelainan patologis yang lebih serius. Pemeriksaan Penunjang Swab vagina atas (high vaginal swab) tidak terlalu berarti untuk diperiksa, kecuali pada keadaan keraguan menegakkan diagnosis, gejala kambuh, pengobatan gagal, atau pada saat kehamilan, postpartum, postaborsi dan postinstrumentation. 2. Tidak perlu pemeriksaan silang dengan pasangan pria. 3. Bila sedang hamil metronidazol 400 7 hari direkomendasikan peroral. 4. Tidak dibutuhkan peningkatan dosis kontrasepsi hormonal bila menggunakan antibiotik yang tidak menginduksi enzim hati. 5. Pasien yang menggunakan IUD tembaga dan mengalami vaginosis bakterial dianjurkan untuk mengganti metode kontrasepsinya. Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan spekulum, palpasi bimanual, uji pH duh vagina dan swab (bila diperlukan). atau menyusui gunakan mg 2x sehari untuk 5atau pervaginam. Tidak untuk minum 2 gram Diagnosis Banding : - Vaginitis kandidiosis terbagi atas: Komplikasi 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. Radangpanggul (Pelvic Inflamatory Disease = PID) dapat terjadi bila infeksi merambah ke atas, ditandai dengan nyeri tekan, nyeri panggul kronis, dapat menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik Infeksi vagina yang terjadi pada saat paska aborsi atau paska melahirkan dapat menyebabkan kematian, namun dapat dicegah dengan diobati dengan baik Infertilitas merupakan komplikasi yang kerap terjadi akibat PID, selain itu kejadian abortus spontan dan janin mati akibat sifilis dapat menyebabkan infertilitas Kehamilan ektopik dapat menjadi komplikasi akibat infeksi vaginal yang menjadi PID. immunocompromise Penatalaksanaan vulvovaginal kandidiosis: 1. Dapat diberikan azol antifungal oral atau pervaginam 2. Tidak perlu pemeriksaan pasangan 3. Pasien dengan vulvovaginal kandidiosis yang berulang dianjurkan untuk memperoleh pengobatan paling lama 6 bulan. 4. Pada saat kehamilan, hindari obat anti-fungi oral, dan gunakan imidazol topikal hingga 7 hari. 5. Hati-hati pada pasien pengguna kondom atau kontrasepsi lateks lainnya, bahwa penggunaan antifungi lokal dapat merusak lateks 6. Pasien pengguna kontrasepsi pil kombinasi yang mengalami vulvovaginal kandidiosis berulang, dipertimbangkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lainnya Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan Pasien dengan riwayat risiko rendah penyakit menular seksual dapat diobati sesuai dengan gejala dan arah diagnosisnya. Vaginosis bakterial: 1. Metronidazol atau Klindamisin secara oral atau per vaginam. Infeksi tanpa komplikasi Infeksi parah Infeksi kambuhan Dengan kehamilan Dengan diabetes atau Chlamydia: 1. Azithromisin 1 gram single dose, atau 2. Doksisiklin 100 mg 2 x sehari untuk 7 hari Ibu hamil dapat diberikan Amoksisilin 500 mg 3 x sehari untuk 7 hari atau Eritromisin 500 mg 4 x sehari untuk 7 hari Prognosis Prognosis pada umumnya dubia ad bonam. Trikomonas vaginalis: Faktor-faktor yang menentukan prognosis, antara lain: 1. 1. Prognosis lebih buruk apabila adanya gejala radang panggul 2. Prognosis lebih baik apabila mampu memelihara kebersihan diri (hindari penggunaan antiseptik vagina yang malah membuat iritasi dinding vagina) 2. 3. 4. Obat minum nitromidazol (contoh metronidazol) efektif untuk mengobati trikomonas vaginalis Pasangan seksual pasien trikomonas vaginalis harus diperiksa dan diobati bersama dengan pasien Pasien HIV positif dengan trikomonas vaginalis lebih baik dengan regimen oral penatalaksanaan beberapa hari dibanding dosis tunggal Kejadian trikomonas vaginalis seringkali berulang, namun perlu dipertimbangkan pula adanya resistensi obat Referensi 1. Faculty of Sexual and Reproductive Healthcare.2012. Clinical Guidance 2012: Management of vaginal discharge in nongenitourinary medicine settings. England: Clinical Effectiveness Unit. Diunduh dari www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual and Reproductive Healthcare, 2012) 2. 2. World Health Organization. 2005.Sexually transmitted and other reproductive tract infection. A guide to essential practice. WHO Library Cataloguing in Publication Data. (World Health Organization, 2005) Rencana Tindak Lanjut Pasien yang memiliki risiko tinggi penyakit menular seksual sebaiknya ditawarkan untuk diperiksa chlamydia, gonore, sifilis dan HIV. Konseling dan Edukasi 1. Pasien diberikan pemahaman tentang penyakit, penularan serta penatalaksanaan di tingkat rujukan. 2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan hubungan seksual selama penyakit belum tuntas diobati. Kriteria Rujukan Pasien dirujuk apabila: 1. 2. 3. Tidak terdapat fasilitas pemeriksaan untuk pasangan Dibutuhkan pemeriksaan kultur kuman gonore Adanya arah kegagalan pengobatan Peralatan 1. 2. 3. 4. Ginecology bed Spekulum vagina Lampu Kertas lakmus 2. SIFILIS No. ICPC-2 : Y70 Syphilis male X70 Syphilis female : A51 Early syphilis No. ICD-10 A51.0 Primary genital syphilis A52 Late syphilis A53.9 Syphilis, unspecified Tingkat Kemampuan 3A Masalah Kesehatan Sifilis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Treponema pallidum dan bersifat sistemik. Istilah lain penyakit ini adalah lues veneria atau lues. Di Indonesia disebut dengan raja singa karena keganasannya. Sifilis dapat menyerupai banyak penyakit dan memiliki masa laten. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Pada afek primer, keluhan hanya berupa lesi tanpa nyeri di bagian predileksi. angina pektoris. Neurosifilis dapat menunjukkan gejala-gejala kelainan sistem saraf (lihat klasifikasi). Faktor Risiko: 1. 2. 3. 4. 5. Pada sifilis sekunder, gejalanya antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. Ruam atau beruntus pada kulit, dan dapat menjadi luka, merah atau coklat kemerahan, ukuran dapat bervariasi, di manapun pada tubuh termasuk telapak tangan dan telapak kaki. Demam Kelelahan dan perasaan tidak nyaman. Pembesaran kelenjar getah bening. Sakit tenggorokan dan kutil seperti luka di mulut atau daerah genital. Pada sifilis lanjut, gejala terutama adalah guma. Guma dapat soliter atau multipel dapat disertai keluhan demam. Pada tulang gejala berupa nyeri pada malam hari. Stadium III lainnya adalah sifilis kardiovaskular, berupa aneurisma aorta dan aortitis. Kondisi ini dapat tanpa gejala atau dengan gejala seperti Berganti-ganti pasangan seksual. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Bayi dengan ibu menderita sifilis. Hubungan seksual dengan penderita tanpa proteksi (kondom). Sifilis kardiovaskular terjadi tiga kali lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita setelah 15–30 tahun setelah infeksi. Hasil Pemeriksaan Fisik Sederhana (Objective) dan Penunjang Pemeriksaan Fisik Stadium I (sifilis primer) Diawali dengan papul lentikuler yang permukaannya segera erosi dan menjadi ulkus berbentuk bulat dan soliter, dindingnya tak bergaung dan berdasarkan eritem dan bersih, di atasnya hanya serum.Ulkus khas indolen dan teraba indurasi yang disebut dengan ulkus durum. Ulkus durum merupakan afek primer sifilis yang akan sembuh sendiri dalam 3-10 minggu. Tempat predileksi 1. Genitalia ekterna, pada pria pada sulkus koronarius, wanita di labia minor dan mayor. 2. Ekstragenital: lidah, tonsil dan anus. Seminggu setelah afek primer, terdapat pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional yang soliter, indolen, tidak lunak, besarnya lentikular, tidak supuratif dan tidak terdapat periadenitis di ingunalis medialis. Bentuk ini paling sering terlihat pada S II, kadang bersama-sama dengan roseola. Papul berbentuk lentikular, likenoid, atau folikular, serta dapat berskuama (papuloskuamosa) seperti psoriasis (psoriasiformis) dan dapat meninggalkan bercak leukoderma sifilitikum. Ulkus durum dan pembesaran KGB disebut dengan kompleks primer. Bila sifilis tidak memiliki afek primer, disebut sebagai syphilis d’embiee. Pada S II dini, papul generalisata dan S II lanjut menjadi setempat dan tersusun secara tertentu (susunan arsinar atau sirsinar yang disebut dengan korona venerik, susunan polikistik dan korimbiformis). Stadium II (sifilis sekunder) S II terjadi setelah 6-8 minggu sejak S I terjadi. Stadium ini merupakan great imitator. Kelainan dapat menyerang mukosa, KGB, mata, hepar, tulang dan saraf. Kelainan dapat berbentuk eksudatif yang sangat menular maupun kering (kurang menular). Tempat predileksi papul: sudut mulut, ketiak, di bawah mammae, dan alat genital. 3. Perbedaan dengan penyakit lainnya yaitu lesi tidak gatal dan terdapat limfadenitis generalisata. Tempat predileksi kondiloma lata: lipat paha, skrotum, vulva, perianal, di bawah mammae dan antar jari kaki. S II terdiri dari SII dini dan lanjut, perbedaannya adalah: S II dini terlihat lesi kulit generalisata, simetrik dan lebih cepat hilang (beberapa hari – beberapa minggu), sedangkan S II lanjut tampak setempat, tidak simetrik dan lebih lama bertahan (beberapa minggu – beberapa bulan). 4. Roseola sifilitika: eritema makular, berbintik-bintik, atau berbercak-bercak, warna tembaga dengan bentuk bulat atau lonjong. Jika terbentuk di kepala, dapat menimbulkan kerontokan rambut, bersifat difus dan tidak khas, disebut alopesia difusa. Bila S II lanjut pada rambut, kerontokan tampak setempat, membentuk bercak- bercak yang disebut alopesia areolaris. Lesi menghilang dalam beberapa hari/ minggu, bila residif akan berkelompok dan bertahan lebih lama. Bekas lesi akan menghilang atau meninggalkan hipopigmentasi (leukoderma sifilitikum). 2. Papul Pustul Bentuk ini jarang didapati, dan sering diikuti demam intermiten. Kelainan ini disebut sifilis variseliformis. Bentuk lesi pada S II yaitu: 1. Bentuk papul lainnya adalah kondiloma lata berupa papul lentikular, permukaan datar, sebagian berkonfluensi, dapat erosif dan eksudatif yang sangat menular akibat gesekan kulit. 5. Konfluensi papul, pustul dan krusta mirip dengan impetigo atau disebut juga sifilis impetiginosa. Kelainan dapat membentuk berbagai ulkus yang ditutupi krusta yang disebut dengan ektima sifilitikum. Bila krusta tebal disebut rupia sifilitikum dan bila ulkus meluas ke perifer membentuk kulit kerang disebut sifilis ostrasea. S II pada mukosa (enantem) terutama pada mulut dan tenggorok. S II pada kuku disebut dengan onikia sifilitikum yaitu terdapat perubahan warna kuku menjadi putih dan kabur, kuku rapuh disertai adanya alur transversal dan longitudinal. Bagian distal kuku menjadi hiperkeratotik sehingga kuku terangkat. Bila terjadi kronis, akan membentuk paronikia sifilitikum. S II pada alat lain yaitu pembesaran KGB, uveitis anterior dan koroidoretinitis pada mata, hepatitis pada hepar, periostitis atau kerusakan korteks pada tulang, atau sistem saraf (neurosifilis). Sifilis laten dini tidak ada gejala, sedangkan stadium rekurens terjadi kelainan mirip S II. Sifilis laten lanjut biasanya tidak menular, lamanya masa laten adalah beberapa tahun bahkan hingga seusia hidup. jika pemeriksaan I dan II negatif. Setelah diambil serum dari lesi, lesi dikompres dengan larutan garam fisiologis. Pemeriksaan lain yang dapat dirujuk, yaitu: 1. Tes Serologik Sifilis (TSS), antara lain VDRL (Venereal Disease Research Laboratories), TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay), dan tes imunofluoresens (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption Test – FTA-Abs) 2. Histopatologi dan imunologi. Stadium III (sifilis tersier) Penegakan Diagnosis Lesi pertama antara 3 – 10 tahun setelah S I. Bentuk lesi khas yaitu guma.Guma adalah infiltrat sirkumskrip kronis, biasanya lunak dan destruktif, besarnya lentikular hingga sebesar telur ayam. Awal lesi tidak menunjukkan tanda radang akut dan dapat digerakkan, setelah beberapa bulan menjadi melunak mulai dari tengah dan tanda-tanda radang mulai tampak. Kemudian terjadi perforasi dan keluar cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen atau disertai jaringan nekrotik. Tempat perforasi menjadi ulkus. (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis. Klasifikasi 1. Sifilis kongenital 1. Dini (prekoks): bentuk ini menular, berupa bula bergerombol, simetris di tangan dan kaki atau di badan. Bentuk ini terjadi sebelum 2 tahun dan disebut juga pemfigus sifilitika. Bentuk lain adalah papulo-skuamosa. Wajah bayi tampak seperti orang tua, berat badan turun dan kulit keriput. Keluhan di organ lainnya dapat terjadi. 2. Lanjut (tarda): bentuk ini tidak menular, terjadi sesudah 2 tahun dengan bentuk guma di berbagai organ. 3. Stigmata: bentuk ini berupa deformitas dan jaringan parut. Pada lesi dini dapat: Guma umumnya solitar, namun dapat multipel. Bentuk lain S III adalah nodus. Nodus terdapat pada epidermis, lebih kecil (miliar hingga lentikular), cenderung berkonfluensi dan tersebar dengan wana merah kecoklatan. Nodus memiliki skuama seperti lilin (psoriasiformis). S III pada mukosa biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi dalam bentuk guma. S III pada tulang sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula dan humerus. S III pada organ dalam dapat menyerang hepar, esophagus dan lambung, paru, ginjal, vesika urinaria, prostat serta ovarium dan testis. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan mikroskopis untuk menemukan T. pallidum pada sediaan serum dari lesi kulit. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut • Pada wajah: hidung membentuk saddle nose (depresi pada jembatan hidung) dan bulldog jaw (maksila lebih kecil daripada mandibula). • Pada gigi membentuk gigi Hutchinson (pada gigi insisi permanen berupa sisi gigi konveks dan bagian menggigit konkaf). Gigi molar pertama permulaannya berbintil-bintil (mulberry molar). • Jaringan parut pada sudut mulut yang disebut regades. sembab, gangguan mental, kelumpuhan nervus kranialis dan seterusnya. 3. a. • Kelainan permanen lainnya di fundus okuli akibat koroidoretinitis dan pada kuku akibat onikia. Pada lesi lanjut: Sifilis akuisita a. 4. Klinis • Stadium I (S I) dalam 2-4 minggu sejak infeksi. • Stadium II (S II) dalam 6-8 minggu sejak S I. b. Epidemiologis • Stadium dini menular (dalam 1 tahun sejak infeksi), terdiri dari S I, S II, stadium rekuren dan stadium laten dini. • Stadium tidak menular (setelah 1 tahun sejak infeksi), terdiri dari stadium laten lanjut dan S III. Diagnosis Banding Diagnosis banding bergantung pada stadium apa pasien tersebut terdiagnosis. 1. Stadium 1: Herpes simpleks, Ulkus piogenik, Skabies, Balanitis, Limfogranuloma venereum, Karsinoma sel skuamosa, Penyakit Behcet, Ulkus mole 2. Stadium II: Erupsi alergi obat, Morbili, Pitiriasis rosea, Psoriasis, Dermatitis seboroik, Kondiloma akuminata, Alopesia aerata 3. Stadium III: Tuberkulosis, Mikosis profunda Klasifikasi untuk neurosifilis: 1. Neurosifilis asimptomatik, menunjukkan gejala karena terbatas pada cairan serebrospinal. 2. Sifilis meningovaskular tidak hanya Bentuk ini terjadi beberapa bulan sampai 5 tahun sejak S I. Gejala tergantung letak lesi, antara lain berupa nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus Guma Guma umumnya terdapat pada meningen akibat perluasan dari tulang tengkorak. Keluhan berupa nyeri kepala, muntah dan dapat terjadi konvulsi serta gangguan visus. Pada pemeriksaan terdapat edema papil karena peningkatan tekanan intrakranial, paralisis nervus kranialis atau hemiplegi. Terdiri dari 2 stadium: • Stadium III (S III) terjadi setelah 1 tahun sejak infeksi. Tabes dorsalis (8-12 tahun sejak infeksi primer). Keluhan berupa gangguan motorik (ataksia, arefleksia), gangguan visus, retensi dan inkoninensia urin serta gangguan sensibilitas (nyeri pada kulit dan organ dalam). b. Demensia paralitika (8-10 tahun sejak infeksi primer). Keluhan diawali dengan kemunduran intelektual, kehilangan dekorum, apatis, euphoria hingga waham megaloman atau depresif. Selain itu, keluhan dapat berupa kejang, lemah dan gejala pyramidal hingga akhirnya meninggal. Kornea keruh, perforasi palatum dan septum nasi, serta sikatriks kulit seperti kertas perkamen, osteoporosis gumatosa, atrofi optikus dan trias Hutchinson yaitu keratitis interstisial, gigi Hutchinson, dan tuli N. VIII. 2. Sifilis parenkim Komplikasi: Eritroderma Frambusia, Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Peralatan Penatalaksanaan - 1. Sifilis yang sedang dalam inkubasi dapat diobati dengan regimen penisilin atau dapat menggunakan Ampisilin, Amoksisilin, atau Seftriakson mungkin juga efektif. Prognosis 2. Pengobatanprofilaksis harus diberikan pada pasangan pasien, namun sebaiknya diberikan sejak 3 bulan sebelumnya, tanpa memandang serologi. 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 3. Kontak seksual harus ditelusuri, diketahui dan diobati 2. 4. Pasien perlu diuji untuk penyakit lain yang ditularkan secara seksual (sexually transmitted diseases/STD), termasuk HIV, harus dilakukan pada semua penderita. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011. Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. Pada sifilis dengan kehamilan untuk wanita berisiko tinggi, uji serologis rutin harus dilakukan sebelum trimester pertama dan awal trimester ketiga serta pada persalinan. Bila tanda-tanda klinis atau serologis memberi kesan infeksi aktif atau diagnosis sifilis aktif tidak dapat dengan pasti disingkirkan, maka indikasiuntuk pengobatan. Pemeriksaan Penunjang Lanjutan Dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan sekunder Konseling dan Edukasi 1. Pasien diberikan pemahaman tentang penyakit, penularan serta penatalaksanaan di tingkat rujukan. 2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan hubungan seksual selama penyakit belum tuntas diobati Kriteria Rujukan Semua stadium dan klasifikasi sifilis harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki dokter spesialis kulit dan kelamin. Prognosis umumnya dubia ad bonam. Referensi 3. GONORE No. ICPC-2 No. ICD-10 : X71 Gonorrhoea female, Y71 Gonorrhoea male : A54.9 Gonococcal infection, unspecified Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Gonore adalah semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Penyakit ini termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS) yang memiliki insidensi tinggi.Cara penularan gonore terutama melalui genitorgenital, orogenital dan ano-genital, namun dapat pula melalui alat mandi, termometer dan sebagainya (gonore genital dan ekstragenital). Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah mukosa vagina wanita sebelum pubertas. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Keluhan utama berhubungan erat dengan infeksi pada organ genital yang terkena. (endokarditis, meningitis, dan sebagainya pada gonore diseminata – 1% dari kasus gonore). Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. 5. Berganti-ganti pasangan seksual. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Wanita usia pra pubertas dan menopause lebih rentan terkena gonore. Bayi dengan ibu menderita gonore. Hubungan seksual dengan penderita tanpa proteksi (kondom). Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Pada pria, keluhan tersering adalah kencing nanah. Gejala diawali oleh rasa panas dan gatal di distal uretra, disusul dengan disuria, polakisuria dan keluarnya nanah dari ujung uretra yang kadang disertai darah.Selain itu, terdapat perasaan nyeri saat terjadi ereksi.Gejala terjadi pada 2-7 hari setelah kontak seksual. Tampak eritem, edema dan ektropion pada orifisium uretra eksterna, terdapat duh tubuh mukopurulen, serta pembesaran KGB inguinal uni atau bilateral. Apabila terjadi prostatitis, keluhan disertai perasaan tidak enak di perineum dan suprapubis, malaise, demam, nyeri kencing hingga hematuri, serta retensi urin, dan obstipasi. Pemeriksaan rectal toucher dilakukan untuk memeriksa prostat: pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, nyeri tekan dan bila terdapat abses akan teraba fluktuasi. Pada wanita, gejala subyektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan obyektif. Wanita umumnya datang setelah terjadi komplikasi atau pada saat pemeriksaan antenatal atau Keluarga Berencana (KB). Keluhan yang sering menyebabkan wanita datang ke dokter adalah keluarnya cairan hijau kekuningan dari vagina, disertai dengan disuria, dan nyeri abdomen bawah. Keluhan selain di daerah genital yaitu : rasa terbakar di daerah anus (proktitis), mata merah pada neonatus dan dapat terjadi keluhan sistemik Apabila terjadi proktitis, tampak daerah anus eritem, edem dan tertutup pus mukopurulen. Pada pria: Pada wanita: Pemeriksaan in speculo dilakukan apabila wanita tesebut sudah menikah. Pada pemeriksaan tampak serviks merah, erosi dan terdapat secret mukopurulen. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan mikroskopis sediaan langsung duh tubuh dengan pewarnaan gram untuk menemukan kuman gonokokus gram negarif, intra atau ekstraseluler. Pada pria sediaan diambil dari daerah fossa navikularis, dan wanita dari uretra, muara kelenjar bartolin, serviks dan rektum. Muskular (I.M) dosis tunggal. Tiamfenikol, ofloksasin dan siprofloksasin merupakan kontraindikasi pada kehamilan dan tidak dianjurkan pada anak dan dewasa muda. Pemeriksaan lain bila diperlukan: kultur, tes oksidasi dan fermentasi, tes beta-laktamase, tes thomson dengan sediaan urin Penegakan Diagnostik (Assessment) Rencana Tindak Lanjut :- Diagnosis Klinis Konseling dan Edukasi :- Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Kriteria Rujukan 1. Apabila tidak laboratorium. 2. Apabila pengobatan di atas tidak menunjukkan perbaikan dalam jangka waktu 2 minggu, penderita dirujuk ke dokter spesialis karena kemungkinan terdapat resistensi obat. Klasifikasi Berdasarkan susunan anatomi genitalia pria dan wanita: 1. 2. Uretritis gonore Servisitis gonore (pada wanita) Diagnosis Banding Peralatan Infeksi saluran kemih, Faringitis, Uretritis herpes simpleks, Arthritis inflamasi dan septik, Konjungtivitis, endokarditis, meningitis dan uretritis non gonokokal 1. 2. 3. 4. 5. 6. Komplikasi Pada pria dapat melakukan tes Senter Lup Sarung tangan Alat pemeriksaan in spekulo Kursi periksa genital Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Gram Lokal : tynositis, parauretritis, litritis, kowperitis. Prognosis Asendens : prostatitis, vesikulitis, funikulitis, vasdeferentitis, epididimitis, trigonitis. Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa, namun dapat menimbulkan gangguan fungsi terutama bila terjadi komplikasi. Apabila faktor risiko tidak dihindari, dapat terjadi kondisi berulang. Pada wanita Lokal : parauretritis, bartolinitis. Asendens : salfingitis, Pelvic Inflammatory Diseases (PID). Disseminata : Arthritis, miokarditis, endokarditis, perkarditis, meningitis, dermatitis. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. Memberitahu pasien untuk tidak melakukan kontak seksual hingga dinyatakan sembuh dan menjaga kebersihan genital. Pemberian farmakologi dengan antibiotik: Tiamfenikol, 3,5 gr per oral (p.o) dosis tunggal, atau Ofloksasin 400 mg (p.o) dosis tunggal, atau Kanamisin 2 gram Intra Referensi 1. 2. 3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta. 4. VAGINITIS No. ICPC-2 No. ICD-10 : X84 Vaginitis : N76.0 Acute Vaginitis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Pemeriksaan Fisik Vaginitis adalah peradangan pada vagina yang ditandai dengan adanya pruritus, keputihan, dispareunia, dan disuria. Penyebab vaginitis: Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya iritasi, eritema atau edema pada vulva dan vagina. Mungkin serviks juga dapat tampak eritematous. 1. 2. 3. Vaginosis bakterialis (bakteri Gardnerella Vaginalis adalah bakteri anaerob yang bertanggung jawab atas terjadinya infeksi vagina yang non-spesifik, insidennya terjadi sekitar 23,6%). Trikomonas (kasusnya berkisar antara 5,120%). 3. Kandida (vaginal kandidiasis, merupakan penyebab tersering peradangan pada vagina yang terjadi pada wanita hamil, insidennya berkisar antara 15-42%). Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Bau adalah keluhan yang paling sering dijumpai. Gejala klinis 1. 2. 3. 4. 5. Bau Gatal (pruritus) Keputihan Dispareunia Disuria Faktor Risiko 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pemakai AKDR Penggunaan handuk bersamaan Imunosupresi Diabetes melitus Perubahan hormonal (misal : kehamilan) Penggunaan terapi antibiotik spektrum luas Obesitas. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Penunjang 1. 2. 3. Pemeriksaan mikroskopik cairan atau sekret vagina. Pemeriksaan pH cairan vagina. Pemeriksaan uji whiff: Jika positif berarti mengeluarkan mengeluarkan bau seperti anyir (amis) pada waktu ditambahkan larutan KOH. Penegakan Diagnostik(Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Vaginitis harus dicari penyebabnya, dengan menilai perbedaan tanda dan gejala dari masing-masing penyebab, dapat pula dengan menilai secara mikroskopik cairan vagina. Tabel 15.1 Kriteria diagnostik vagintis Diagnosis Banding Peralatan Vaginosis bakterialis, Vaginosis trikomonas, Vulvovaginitis kandida 1. Komplikasi: - 2. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Prognosis Penatalaksanaan 1. 2. 3. 4. 5. Menjaga kebersihan diri terutama daerah vagina Hindari pemakaian handuk secara bersamaan Hindari pemakaian sabun untuk membersihkan daerah vagina yang dapat menggeser jumlah flora normal dan dapat merubah kondisi pH daerah kewanitaan tersebut. Jaga berat badan ideal Farmakologis: a. Tatalaksana vaginosis bakterialis • Metronidazol 500 mg peroral 2 x sehari selama 7 hari • Metronidazol pervagina 2 x sehari selama 5 hari • Krim klindamisin 2% pervagina 1 x sehari selama 7 hari b. Tatalaksana vaginosis trikomonas • Metronidazol 2 g peroral (dosis tunggal) • Pasangan seks pasien sebaiknya juga diobati c. Tatalaksana vulvovaginitis kandida • Flukonazol 150 mg peroral (dosis tunggal) Konseling dan Edukasi Memberikan informasi kepada pasien, dan (pasangan seks) suami, mengenai faktor risiko dan penyebab dari penyakit vaginitis ini sehingga pasien dan suami dapat menghindari faktor risikonya. Dan jika seorang wanita terkena penyakit ini maka diinformasikan pula pentingnya pasangan seks (suami) untuk dilakukan juga pemeriksaan dan terapi guna pengobatan secara keseluruhan antara suamiistri dan mencegah terjadinya kondisi yang berulang. Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan cairan vagina Kertas lakmus Prognosis pada umumnya bonam. Referensi 1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of Vaginitis In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy. Universitary Clinic of Obstetrics and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157159 (D, 2006) 2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. (Mochamad, et al., 2011) 5. VULVITIS No. ICPC-2 No. ICD-10 : : X84 Vaginitis/Vulvitis N76.0 Acute Vaginitis Tingkat Kemampuan 4A Masalah Kesehatan Bagi setiap wanita selain masalah keputihan, adapun masalah sering dihadapi adalah vaginitis dan vulvitis. Vulvitis adalah suatu peradangan pada vulva (organ kelamin luar wanita),sedangkan vulvovaginitis adalah peradangan pada vulva dan vagina. Gejala yang paling sering ditemukan adalah keluarnya cairan abnormal dari vagina, dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat banyak serta baunya menyengat atau disertai gatal-gatal dan nyeri. Penyebab 1. Alergi, khususnya sabun, kertas toilet berwarna, semprotan vagina, deterjen, gelembung mandi, atau wewangian 2. Dermatitis jangka panjang, seborrhea atau eksim 3. Infeksi seperti infeksi pedikulosis, atau kudis jamur dan bakteri Diagnosis Klinis Diagnosis klinis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis Banding : Dermatitis alergika Komplikasi Infertilitas, Infeksi sekunder karena sering digaruk, Vulva distrofi Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. 2. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Rasa gatal dan perih di kemaluan, serta keluarnya cairan kental dari kemaluan yang berbau. Gejala Klinis: 1. 2. 3. 4. Rasa terbakar di daerah kemaluan Gatal Kemerahan dan iritasi Keputihan Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik Dari inspeksi daerah genital didapati kulit vulva yang menebal dan kemerahan, dapat ditemukan juga lesi di sekitar vulva. Adanya cairan kental dan berbau yang keluar dari vagina. Pemeriksaan Penunjang : Penegakan Diagnostik (Assessment) Menghindari penggunaan bahan yang dapat menimbulkan iritasi di sekitar daerah genital. Menggunakan salep kortison. Jika vulvitis disebabkan infeksi vagina, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotik sesuai penatalaksanaan vaginitis atau vulvovaginitis. Kriteria Rujukan Pasien dirujuk ke dokter spesialis kulit dan kelamin jika pemberian salep kortison tidak memberikan respon. Peralatan Lup Prognosis Prognosis pada umumnya bonam. Referensi 1. 2. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of Vaginitis In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy. Universitary Clinic of Obstetrics and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157-159 Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Daftar Pustaka 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011) PDPI. Jakarta. 2011. 2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011) 3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan DOkter Indonesia. Jakarta. 2012. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012) 4. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International standards for tuberkulosis tare (ISTC), 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance. The Hague. 2014. (Tuberculosis Coalition for Technical Assistance , 2014) 5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al. Mycobacterial disease: Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of internal medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009: hal. 1006 - 1020. (Braunwald, et al., 2009) 6. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis tuberculosis pada anak. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p. 170-87. 7. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th Ed. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007. (Djuanda, et al., 2007) 8. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Saunders Elsevier. Canada.2000. (James, et al., 2000) 9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Pedoman Pelayanan Medik. 2011. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, 2011) 10. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009. 11. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Depkes RI. Jakarta. 2008. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008 12. Zein, Umar. Leptospirosis. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI. 2006. Hal 1823-5. (Sudoyo, et al., 2006) 13. Cunha, John P. Leptospirosis. 2007. Available at: (Cunha, 2007) 14. Dugdale, David C. Leptospirosis. 2004.Available at: http://www.nlm.nih.gov/ medlineplus/ency/article/001376.htm. Accessed December 2009. (Dugdale, 2004) 15. Behrman, R.E. Jenson, H.B. Kliegman, R.M. Lymphatic Filariasis (Brugria Malayi, PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 441 DAFTAR PUSTAKA Brugria timori, Wuchereria Bancrofti) in Nelson Textbook of Pediatric.18thEd.2007: 1502-1503. (Behrman, et al., 2007) 16. Rudolph Colin, D. Rudolph, A.M. Parasitic Disease in Rudolphs Pediatrics Textbook of Pediatric. 21stEd. 2007: 1106-1108. (Rudolph, et al., 2007) 17. Soedarmo Sumarmo S.P.Garna, H. Sri Rezeki, S.H.Hindra Irawan S. Filariasis dalam Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed-. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2010: 400-407. (Sumarmo, et al.,2010) 18. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2003. Infeksi Tali Pusat dalam Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2003) 19. Peadiatrics Clerkship University. The University of Chicago. 20. Pengobatan dasar di Puskesmas. 2007. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007) 21. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012. Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012) 22. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 23. Panduan Puskesmas untuk keracunan makanan. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007) Depkes: Jakarta. 2007. 24. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010; 125: 11625. (Sichere & Sampson, 2010) 25. Prawirohartono, E.P. Makanan Sebagai Penyebab Alergi dalam Alergi Makanan.Ed. Djuffrie. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press. 2001. (Prawirohartono, 2001) 26. Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter pada Alergi. Jakarta: Dian Rakyat. 2003. (Davies, 2003) 27. Karyadi, W. Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu-1. Surabaya: FK Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000. (Karyadi, et al.,2000) 28. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al.Anaphylactic Reactions. In:Text Book of Critical care. Eds: Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, R.William, C.Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia: WB Saunders Company. 2000: p. 246-56. 29. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute allergic reactions. In:International edition Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen. Stapczynski. 5thEd. New York: McGrraw-Hill. 2000: p. 242-6. 30. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan dalam Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya. 2000. 31. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Tatalaksana Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 32. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7. 33. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever: diagnosis, treatment, prevention and control. 2nd Edition. Geneva. 1997 34. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten / Kota. 1 ed. Jakarta: World Health Organization Country Office for Indonesia. 35. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Diagnosis dan tata laksana infeksi virus dengue pada anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2014 36. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.Harrisson’s: Principle of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009. (Braunwald, et al., 2009) 37. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 63236. (Sudoyo, et al., 2006) 38. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) 39. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 1825-30. (Sudoyo, et al., 2006 40. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2008. hlm 127-128. (Rani, et al., 2008) 41. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2006. (Sudoyo, et al., 2006) 42. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei T, Cheung CK (ed). Oxford handbook of clinical medicine. 7th edition. Oxford University Press. Oxford. 2008. hlm 540-541. (Longmore, et al., 2008) PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA 443 43. Petri M, et al. derivation and validation of the Systemic Lupus International Collborating Clinics classification criteria for systemic lupus eritematosus. Arthritis and Rheumatism. 2012 Aug;64(8):2677-86. (Petri, et al., 2012) 44. Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. 45. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of the Oral Mucosa: Non- Infective Stomatitis. In Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. Spain: Elsevier Science Limited, pp. 192–195. (Cawson & Odell, 2002) 46. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In Handbook of Oral Disease: Diagnosis and Management. London: Martin Dunitz Limited, pp. 73–82. (Scully, 1999) 47. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent Aphtous Ulcers: A Review of Diagnosis and Treatment. Journal of The American Dental Association, 127, pp.1202–1213. (Woo & Sonis, 1996) 48. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008. Ulcerative, Vesicular, and Bullous Lesions. In M. Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds. Burket’s Oral Medicine. Ontario: BC Decker, p. 41. (Woo & Greenberg, 2008) 49. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks (Gastroesofageal Reflux Disease/GERD) Indonesia. 2004. Gastroesofageal 50. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentan PedomanPengendalian Demam Tifoid. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, t.thn.) 51. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004. (Feigin, et al., 2004) 52. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al., 2003) 53. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th ed. Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al., 2004) 54. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB Saunders: Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002) 55. CDC. Typhoid fever. 2005. www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g. htm (Center for Disease and Control, 2005) 56. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al., 2003) 57. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but also soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008) 58. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot M and Diazo test vis-à-vis blood culture and Widal test in the early diagnosis of typhoid fever in children in a resource poor setting. Braz J Infect Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010) 59. Summaries of infectious diseases. Dalam: Red Book Online 2009. Section 3. http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3. 117 (Anon., 2009) 60. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman pemberantasan penyakit diare. Jakarta: Ditjen PPM dan PL. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2009) 61. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan sosialisasi tatalaksana diare pada balita. Jakarta: Ditjen PP dan PL (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) 62. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M.D. Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: p. 548-556. 63. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah, M. Syam, A.F. Fauzi, A. Konsensus Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2009. 64. Setiawan, B. Diare akut karena Infeksi. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 17941798. 65. Sansonetti, P. Bergounioux, J. Shigellosis. In: Kasper. Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol II. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p. 962964. (Braunwald, et al., 2009) 66. Reed, S.L. Amoebiasis dan Infection with Free Living Amoebas. In: Kasper. Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol I. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p. 1275-1280. 67. Galley, H.F. Webster, N.R. Lawler, P.G.P. Soni, N. Singer, M,Critical Care. Focus 9 Gut. London: BMJ Publishing Group. 2002. (Galley, et al., 2002) 68. Elta, G.H.Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding in Yamada, T.Alpers, D.H. Kaplowitz, N. Laine, L. Owyang, C. Powell, D.W.Eds. Text Book of Gastroenetrology. 4tEd. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins. 2003. (Elta,2003) 69. Rockey, D.C.Gastrointestinal bleeding in Feldman, M Friedman, L.S. Sleisenger, M.H.Eds.Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease. 7thEd. Philadelphia: W.B. Sauders.2002. (Rockey, 2002) 70. Gilbert, D.A. Silverstein, F.E.Acute upper gastrointestinal bleeding in Sivak, M.V.Ed.Gastroenterologic endoscopy. Philadelphia: WB Sauders. 2000. (Gilbert & Silverstein, 2000) 71. Thornton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids. Emedicine. Medscape. Update 12 September 2012. (Thornton & Giebel, 2012) 72. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhoids and Fissure in Ano Gastroenterology Clinics of North America. 2008. 73. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis delta virus. In: Disease of Liver and Biliary System. Blackwell Publishing Company. 2002: p.285-96. (Sherlock, 2002) 74. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645. 75. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000). 76. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik. Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et al.,1999) 77. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih bahasa dr. Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC. 2000. (Shrock, 2000) 78. Fox, P. C. & Ship, J. A., 2008. Salivary Gland Diseases. Dalam: M. Greenberg, M. Glick & J. A. Ship, penyunt. Burket’s Oral Medicine. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 191-222. (Fox & Ship, 2008) 79. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (Gandahusada, 2000) 80. 2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed by staff and experts from the cluster on Communicable Diseases (CDS) and Water, Sanitation and Health unit (WSH), World Health Organization (WHO). 81. 3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000- 1 82. Centers for Disease Control and Prevention. Schistosomiasis. July 25, 2013. http:// www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center for Disease and Control, 2013) 83. World Health Organization. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.who.int/ topics/shcistosomiasis/end (World Health Organization, 2013) 84. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma in Medical Microbiology. Germany. Thieme. Stutgart. (Kayser, et al., 2005) 85. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo & Pretty, 2007) 86. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000- 1. 87. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Kecacingan. 88. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis: a multifaceted Gastroenetrology & hepatology 2011;7:194-6. (Ganesh & Cruz, 2011) diseases. 89. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000- 1. 90. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007) 91. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006. 92. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta: Erlangga. 2005. 93. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed.17.Jakarta: EGC. 2009. 94. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan V. Jakarta: BalaiPenerbit FK UI. 2008. 95. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000. 96. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New York. Thieme Stuttgart. 2007. 97. Grosvenor,T. Primary Care Optometry. 2nd Ed. New York: Fairchild Publication. 1989. (Grosvenor, 1989) 98. Casser, L. Atlas of Primary Eyecare Procedures. 2ndEd. Stamfort Connecticut: Appleton&Lange. 1997. (Casser, 1997) 99. Soewono, W. Kuliah ilmu penyakit mata. RSUD Dr.Soetomo. Surabaya. 1999. (Soewono, 1999) 100. RSUD Dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. 3rd Ed. 2006 (Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Dr. Soetomo, 2006) 101. Pan C-W, Ramamurthy D & Saw S-M. Worldwide prevalence and risk factors for myopia. Ophthalmic Physiol Opt 2012, 32, 3–16. (Pan, et al., 2012) 102. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New York. Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007) 103. Galor, A. & Jeng, B.H., 2008. Red Eye for the Internist: When to Treat, When to Refer. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 75(2), pp.137–44. Available at: http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/18290357. (Galor & Jeng, 2008) 104. Sims, J., 2012. Scleritis: Presentations, Disease Associations and Management. Postgraduate Medical Journal, 88(1046), pp.713–8. Available at: http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/22977282 [Accessed May 27, 2014]. (Sims, 2012) 105. Watson, P., Hayreh, S. & Awdry, P., 1968. Episcleritis and Scleritis I. British Journal Ophthalmology, 52, pp.278–279. (Watson, et al., 1968) 106. Ehlers JP, Shah CP, editors.The Wills Eye Manual-office and emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008. (Ehlers & Shah, 2008) 107. Karesh JW. The evaluation and management of eyelid trauma. Dalam : Duane’s Clinical Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. (Karesh, 2006) 108. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008. 109. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008. 110. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. (Hafil, et al., 2007) 111. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler, Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997. (Adam & Boies, 1997) 112. Sander, R. Otitis Externa: A Practical Guide to Treatment and Prevention. Am Fam Physician. 2001. Mar 1; 63(5):927-937. (Sander, 2001) 113. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003. (Lee, 2003) 114. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper Respiratory Tract Infection: The Effect of Age. PEDIATRICS Vol. 119 No. 6 June 2007, pp. e1408-e1412.2007. (Reyai, 2007) 115. Acuin J. Chronic suppurative otitis media: Burden of Illness and Management Options. WHO Library Cataloguing in publication data. 2004. (J, 2004) 116. Verhoeff M, Van der Veen EL, Rovers MM, Sanders EAM, Schilder AGM. Chronic suppurative otitis media: A review. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology (2006) 70, 1-12. (Verhoeff, et al., 2006) 117. Bernius M, Perlin D. Pediatric Ear, Nose, Throat Emergencies. Pediatric Clinics of North America 53 (2006) 195-214. (Bernius & Perlin, 2006) 118. Heim SW, Maughan KL. Foreign Bodies in The Ear, Nose and Throat. American Family Physician. 2007 Oct 15:76(8):1185-1189. (Heim & Maughan, 2007) 119. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in the nose and ear: a review of technique for removal in the emergency department. Emergency Medicine Journal.2000;17:9194. (Davies & Benger, 2000) 120. Sosialisman, Hafil AF, Helmi. Kelainan Telinga Luar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT KL. FKUI. Jakarta. 121. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 3. Jakarta: EGC. 2000. (Isselbacher, 2000) 122. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The Heart Manual of Cardiology.12th Ed. McGraw-Hill. 2009. (O’Rouke, et al., 2009) 123. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric Rescucitation in Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital. 4Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p: 255-279. (Bigatello, 2006) 124. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku Pedoman Pengendalian Hipertensi. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013) 125. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture. E-medicine. Medscape. Update 21 May. 2011. (Schaller & Calhoun, 2011) 126. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi 3. Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334. (Chairuddin, 2007) 127. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In: Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA: McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92. 128. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005. 129. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds. Soft Tissue Tumor in: Manual of Surgery. 8th Ed. New York:McGraw-Hill Company. 2006. 130. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials of Surgery. New York: Lange Medical Book. 2005. 131. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya. 2006. (Sadeli, 2006) 132. 2. Blanda, M. Headache, tension. Available from: www.emedicine.com. 2008. (Blanda, 2008) 133. 3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Jilid kedua. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI. 2000. (Mansjoer, 2000) 134. 4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type Headache. Available from: www.aafp.com. (Millea, 2008) 135. 2. Purnomo H. Migrainous Vertigo. Dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya.2006. (Purnomo,2006) 136. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman Tatalaksana Vertigo. Pehimpunan Dokter Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012. (Kelompok Studi Vertigo, 2012) 137. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis and management in primary care. BJMP. 2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010) 138. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular migraine. Journal Neurology. 2009:25:333-338. (Lempert & Neuhauser, 2009) 139. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of Vertigo.Journal American Family Physician. 2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006) 140. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008. (Mardjono & Sidharta, 2008) 141. Turner, B. Lewis, N.E. Symposium Neurology:Systematic Approach that Needed for establish of Vertigo. The Practitioner. 2010; 254 (1732) p. 19-23. (Turner & Lewis, 2010) 142. Chain, T.C. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness and Vertigo. Illinois: Wolter Kluwer Lippincot. William and Wilkins. 2009 (Chain, 2009) 143. Dennis MD, Eugene B. MD.Infection Due to RNA viruses: Harrisons Internal Medicine 16th edition. McGraw Hill. Medical Publishing Division. 2005. (Braunwald, et al., 2009) 144. The Merk Manual of Medical information.Rabies, brain and spinal cord disorders, infection of the brain and spinal cord.2006. p: 484-486. 145. Jackson, A.C. Wunner, W.H.Rabies. Academic Press. 2002. p. 290. (Jackson & Wunner, 2002) 146. Davis L.E. King, M.K. Schultz, J.LFundamentals of neurologic disease. Demos Medical Publishing, LLc. 2005. p: 73. (Davis, et al., 2005) 147. Reynes J-M, D.L. Buchy P, et al. A reliable diagnosis of human rabies based on analysis of skin biopsy specimens.Clin Infect Dis 47 (11): 1410-1417. 2008. (Reynes and Buchy, 2008) 148. 7. Diagnosis CDC Rabies. USA: Centers for Disease Control and Prevention. 2007. Diunduh dari http://www.cdc.gov/RABIES/diagnosis.html. Retrieved 2008-02-12. (Centers for Disease Control and Prevention , 2007) 149. Gunawan C, Malaria Serebral dan penanganannya dalam Malaria dari Molekuler ke Klkinis EGC. Jakarta 2012. (Gunawan, 2012) 150. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok Studi Epilepsi, 2012) 151. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In Brust JCM (Ed). Current Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, New York, 2007:10025. (Fitzsimmons, 2007) 152. Romano JG, Sacco RL. Prevention of Recurrent Ischemic Stroke. In Goldstein LB (Ed). A Primer on Stroke Prevention and Treatment. Wiley-Blackwell, Dallas, 2009: 85-99. (Romano & Sacco, 2009) 153. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular Diseases of the Nervous System. Ischemic Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1003-1053. (Biller, et al., 2012) 154. Furie K et al. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients With Stroke or Transient Ischemic Attack : A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 2011; 42:227- 276 (Furie, 2011) 155. National Stroke Association. Transient Ischemic Attack (TIA). www.stroke.org 156. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1754-1757. (Rucker, 2012) 157. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy. In Brust JCM (Ed).Current Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, NewYork, 2007:286-288. (Gooch & Fatimi, 2007) 158. Taylor, D.C. Keegan, M. Bells’ Palsy Medication. Medscape. 159. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder. Text Revision 4th Ed. Washington DC: APA. 2000. 160. CH Soejono. Sindrom Delirium (Acute Confusional State). Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Interna Publishing.2009. 161. Inouye, S.K. van Dyck, C.H. Alessi, C.A. et al. Clarifying confusion: the confusion Assessment method;113:941-8: a new method for detection of delirium.Ann Intern Med. 1990 162. Josephson, S.A. Miller, B.L. Confusion and delirium. Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill. 2008. 163. Kane, R.L. Ouslander, J.G. Abrass, I.B. Resnick, B. Essentials of Clinical Geriatrics. 6th Ed. McGraw-Hill Co. 2009. 164. Amir, N. Pamusu, D. dkk. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan (PNPK) Jiwa/ Pskiatri. Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). 2012. 165. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik: Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta. 2008. 166. DEPKES RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di Puskesmas. 2004. 167. Dinkes Provinsi Jabar. Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit berdasarkan kewenangan tingkat Pelayanan Kesehatan. 2012 168. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s Children’s Hospital Pediatric Drug Dosage Guidelines. 5th edition.Vancouver. Department of Pharmacy Children’s and Women’s Health Centre of British Columbia. (Esau, 2006) 169. Guidelines and protocol febrile seizures. September, 2010. 170. Lau, E. et al. 2007. Drug Handbook and Formulary 2007-2008. Toronto. The Department of Pharmacy, The Hospital for Sick Children. (Lau, 2008) 171. McEvoy, GK. et al. 2009. AHFS Drug Information 2009. Bethesda. American Society of Health-System Pharmacists, Inc. (McEvoy,2009) 172. Konsensus kejang demam. UKK Neurologi IDAI. 2006 (UKK Neurologi IDAI, 2006) 173. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993. F45 Gangguan Somatoform. In Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pp. 209–221. 174. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform and Dissociative Disorders: Assessment and Treatment Advance in Psychiatric Treatment,3(1), pp.9–16 Available at:http:// apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/apt.3.1.9 [Accessed May26, 2014]. 175. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode Dua Menit ( M2M ) dalam Menentukan Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia, 60(10), pp.448–453. 176. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007. Somatoform Disorders. American Family Physician, 76, pp.1333–1338. Available at: www.aafp.org/afp. 177. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-15). Patient Health Questionnaire (PHQ) Screeners. Available at: http://www.phqscreeners.com/ pdfs/04_PHQ-15/English.pdf [Accessed May 24, 2014]. 178. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting Somatoform Disorders in Primary Care with the PHQ-15. Annals of Family Medicine, 7, pp.232–238. Available at: http://www. annfammed.org/content/7/3/232.full.pdf+html. 179. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1993) 180. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012) 181. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental, Neurological and Substance Use Disorders in Non-Specialized Health Settings, 2010. (World Health Organization, 2010) 182. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and Wilkins. 183. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis Gangguan jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993. 184. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental disorders in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe & Huber Publishers. (World Health Organization, t.thn.) 185. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 2007. 186. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. 187. Carolin. Elizabeth, J.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2002. 188. Danusantoso. Halim.Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: EGC.1998. 189. Snell. Richard S. Anatomi Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. 190. Soeparman. Waspadji, S.Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Penerbit FKUI. 1998. 191. Nastiti, N. Rahajoe.Supriyanto, B. Bronkitis Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama, cetakan kedua. 2010. Hal: 337. 192. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.2014.(Global Initiatives for Asthma, 2011) 193. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.2006.(Global Initiatives for Asthma, 2006) 194. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2004.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004) 195. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit Koordinasi Kerja PengurusPusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2001. 196. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Indonesia IDAI. 2010. 197. Marik PE.Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N Eng J Med. 2001;3:665- 71.(Marik, 2001) 198. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, Dowell SE, etc. Infectious diseases society of America/American thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults. Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27–72(Mandel, et al., 2007) 199. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam: Pulmonologi intervensi dan gawat darurat napas. Swidarmoko B, Susanto AD, editor. Jakarta: Dep. Pulmonologi dan Ked. Respirasi. 2010: 54-71.(Astowo, 2010) 200. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous pneumothorax: British Thoracic Society pleural diseases guideline 2010. Thorax. 2010; 65:18-31.(MacDuff, et al., 2010) 201. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke- Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. 202. Irawati, N., Poerbonegoro, NL., Kasakeyan, E. Rhinitis Vasomotor dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. 203. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003. 204. Fokkens, W et.al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. Rhinol Suppl, 23, pp.1-298. Available at: http://www.rhinologyjournal.com [Accessed June 24, 2014]. (Fokkens, 2012) 205. Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala – Leher FKUI / RSCM. Panduan Pelayanan Medis Rinosinusitis. 206. 3. Desrosiers, M et.al, 2011. Canadian Clinical Practice Guidelines forAcute and Chronic Rhinosinusitis. Allergy, Asthma, & Clinical Immunology, 71, pp.1-38. Available at: http://www.aacijournal.com/content/7/1/2 [Accessed June 6,2014]. (Desrosier et.al, 2011) 207. Hwang, PH & Getz, A, 2014. Acute Sinusitis and Rhinosinusitis in Adults: Treatment. UpToDate Wolters Kluwer Health. Available at: www.uptodate.com [Accessed June 6, 2014]. (Hwang & Getz,2014) 208. Chow,AW et.al,2012.IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults. Clinical Infectious Diseases, pp.e1-e41. Available at: http:// cid.oxfordjournals.org/ [Accessed June 6, 2014]. (Chow et.al, 2012) 209. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 210. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier. 211. Cho B.S., Kim H.S., Pediculosis of The Pubis. Available http://www.nejm.org/doi/ pdf/10.1056/NEJMicm0707428 (10 Juni 2014) from 212. DavisL.Erysipelas. Available from http://e-medicine.medscape.com (10 Juni 2014) 213. Caputo, R. & Barbareschi, M. 2007. Current And Future Treatment Options For Perioral Dermatitis. Expert Review Of Dermatlogy, 2, 351-355, Available from http://Search. Proquest.Com/Docview/912278300/Fulltextpdf/Dc34942e98744010pq/5?Account id=17242(7 Juni 2014). 214. Green, B. D. O. & Morrell, D. S. M. D. 2007. Persistent Facial Dermatitis: Pediatric Perioral Dermatitis. Pediatric Annals, 36,pp.796-8. Available from http://search.proquest.com/docview/217556989/fulltextPDF?acc ountid=17242 (7 Juni 2014). 215. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical Appraisal Of Reports On The Treatment Of Perioral Dermatitis. Dermatology, 210, 300-7. Available from http://search.proquest. com/docview/275129538/DC34942E98744010PQ/1? accountid=17242#(7 Juni 2014). 216. Alhusayen, R. & Shear, N. H. 2012. Pharmacologic Interventions For Hidradenitis Suppurativa. American Journal Of Clinical Dermatology, 13,pp 283-91. Available from http://search.proquest.com/docview/1030722679/fulltextPDF/2D2BD7905F3 04E87PQ/6?accountid=17242#(7 Juni 2014). 217. American Academy of Dermatology. Hidradenitis suppurativa.Available from http:// www.aad.org/dermatology-a-to-z/diseases-and-treatments/e--h/hidradenitis- suppurativa(7 Juni 2014). 218. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A. 2012. Risk factors of hookworm related cutaneous larva migrans and definitive host 219. Doherty, G.M. 2006. Current surgical diagnosis and & treatment. United State of America. Lange Medical Publication. 220. Kartohatmodjo, S. Luka Bakar (Combustio). http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/ matkul/Ilmu%20Kedokteran %20Terintegrasi%20-%20PBL/Materi%20PBL%20 IIa%2020072008/luka %20bakar%20akut%20text.pdf 221. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi ketiga. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 222. Harr T, French LE. 2010, Toxic epidermal necrolysis and Stevens- Johnson syndrome. Orphanet Journal of Rare Diseases, 5, 39. 223. French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens JohnsonSyndrome: Our Current Understanding. Allergology International,55, 9-16 224. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas.Pedoman Praktik Klinik untuk Dokter Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI. 200. (Trisna, 2008) 225. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1961-5.2006. 226. 2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Hal 37-41.2004. 227. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006) 228. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Indonesia FKUI,2012) 229. Braunwald, Fauci, Hauser, editor. Harrison’s Principals of Internal Medicine. 17thed. USA: McGraw Hill, 2008. 230. Azwar, B. Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. Medan: FK USU.2004. (Azwar, 2004) 231. Darey, Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005. (Darey, 2005) 232. Ganiswarna, Sulistia. (Ganiswarna, 2007) Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.2007. 233. Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati, S.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.2009. 234. 5. PERKENI, Konsensus Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012 (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2012) 235. Weiss, Barry.20 Common Problems In Primary Care. 236. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family Medicine. 2011 237. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI. 2009 238. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract infection. N Engl J Med2012;366:1028-37 (Hooton, 2012) 239. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi Indonesia. (Achmad, 2007) 240. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical Practice Guidelines for the Treatment of Acute Uncomplicated Cystitis and Pyelonephritis in Women : A 2010 Update by the Infectious Diseases Society of America and the European Society for Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Infectious Disease, 52, pp.103–120 (Colgan, 2011) 241. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract Infections, Pyelonephritis, and Prostatitis. In A. s Fauci et al., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill, pp. 1820–1825. (Stamm, 2008) 242. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri K. Prepuce: Phimosis, Paraphimosis, and Circumcision. The Scientific World Journal. 2011. 11, 289–301. 243. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in Childhood. BMJ 2013;346:f3678. 244. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013) 245. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2010(Prawirohardjo, et al., 2010) 246. WHO. Managing prolonged and obstructed labour. Education for safe motherhood. 2ndEd. Department of making pregnancy safer. Geneva: WHO. 2006.(World Health Organization, 2006) 247. Pedoman penyelenggaraan pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif (PONEK). 2008. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008) 248. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu Bedah Dasar Obstetri dan Ginekologi. Bina Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014) 249. 3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L. Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y. Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-Hill.2009.(Cunningham, et al., 2009) 250. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta. 251. Faculty of Sexual and Reproductive Healthcare.2012. Clinical Guidance 2012: Management of vaginal discharge in non- genitourinary medicine settings. England: Clinical Effectiveness Unit. Diunduh dari www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual and Reproductive Healthcare, 2012) 252. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of Vaginitis In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy. Universitary Clinic of Obstetrics and Gynecology “Bega” Timisoara.p.157-159 (D, 2006)

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (Indonesian Medical Association) Alamat: Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 29 Menteng, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta Telp: (021) 3150679 email : [email protected] website: www.idionline.org