Pengaruh Islam di bidang sosial yang ikut mempercepat proses Islamisasi di Nusantara adalah

tirto.id - Sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara terjadi melalui proses yang panjang serta secara bertahap. Selain beberapa teori dengan ragam versinya terkait masuknya ajaran Islam, ada pula 6 jenis saluran Islamisasi di Indonesia, apa saja?

Sebelum ajaran Islam masuk dan berkembang di Indonesia, sebagian besar masyarakat Nusantara memeluk agama Hindu, Buddha, atau aliran kepercayaan. Kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha pun banyak bermunculan di Nusantara, beberapa yang terbesar seperti Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit.

Kerajaan bercorak Islam pertama di Nusantara adalah Kesultanan Samudera Pasai di Aceh yang muncul sejak abad ke-13 Masehi. Sedangkan kerajaan Islam di Jawa yang kemudian menggeser kedudukan Majapahit adalah Kesultanan Demak yang berdiri pada akhir abad ke-15 M seiring dengan hadirnya Wali Songo sebagai perintis syiar Islam di Jawa.

Baca juga:

  • Nama-Nama Asli Wali Songo: Strategi Dakwah & Wilayah Persebarannya
  • Daftar Silsilah Raja Majapahit: Sejarah Awal Kerajaan Hingga Runtuh
  • Sejarah Kesultanan Demak: Kerajaan Islam Pertama di Jawa

Proses dan Jenis 6 Saluran Islamisasi di Jawa

Agama Islam masuk dan berkembang di Nusantara dengan cara-cara damai. Para Wali Songo bahkan menyebarkan ajaran Islam dengan menyesuaikan diri terhadap budaya yang sudah ada sebelumnya.

Dengan cara-cara seperti itu, agama Islam pun dapat diterima oleh masyarakat Nusantara. Berikut ini 6 saluran Islamisasi di Indonesia seperti dikutip dari modul Sejarah Indonesia: Islam Nusantara [2017] terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI serta beberapa referensi lainnya:

1. Saluran Perdagangan

Proses penyebaran Islam di Nusantara pertama kali melalui saluran perdagangan. Pada abad ke-7 hingga abad ke-16 M, kaum saudagar muslim dari berbagai belahan dunia seperti Arab, Persia [Iran], India, bahkan Cina, singgah di berbagai pelabuhan di Nusantara untuk melakukan transaksi perdagangan.

Relasi niaga ini kemudian memunculkan interaksi antara para pedagang asing yang beragama Islam itu dengan orang-orang Nusantara di berbagai tempat yang disinggahi. Tidak sedikit para saudagar muslim itu yang menetap di daerah-daerah pesisir di Nusantara.

Lambat-laun, tempat yang mereka tinggali berkembang menjadi perkampungan muslim. Interaksi yang sering muncul saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Pengaruh ini membuat pergeseran dalam sistem kehidupan bermasyarakat di Nusantara, termasuk dalam hal kepercayaan.

Baca juga:

  • Sejarah Proses Masuknya Islam ke Indonesia Berdasar Teori Gujarat
  • Teori Sejarah Masuknya Islam dari Mekah dan Tokoh Pendukungnya
  • Teori-Teori Masuknya Islam ke Indonesia Beserta Tokohnya

2. Saluran Pernikahan

Bermukimnya para pedagang muslim di beberapa wilayah di Nusantara menimbulkan interaksi dengan masyarakat setempat. Banyak orang asing tersebut yang kemudian menikah dengan perempuan asli Nusantara yang kemudian menjadi salah satu saluran Islamisasi, yakni melalui pernikahan.

Pernikahan antara orang asing beragama Islam dengan pribumi juga terjadi di kalangan bangsawan atau istana yang membuat penyebaran Islam semakin masif dan efektif.

Saluran Islamisasi melalui pernikahan menjadi akar yang kuat untuk membentuk masyarakat muslim. Inti dari masyarakat adalah keluarga. Setelah memiliki keturunan, maka persebaran Islam semakin meluas.

Baca juga:

  • Akulturasi dan Asimilasi; Pengertian, Perbedaan & Contoh
  • Contoh Asimilasi dan Akulturasi di Indonesia Beserta Penjelasannya
  • Contoh Akulturasi Budaya Masyarakat Nusantara dengan Ajaran Islam

3. Saluran Tasawuf

Saluran Islamisasi di Nusantara berikutnya adalah melalui tasawuf. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI], tasawuf adalah ajaran atau cara untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Para pendakwah Islam di Indonesia mengajarkan tasawuf kepada masyarakat dengan cara yang mudah dimengerti dan disesuaikan dengan tradisi yang sudah ada sebelumnya. Cara ini membuat proses Islamisasi di Nusantara dapat berjalan dengan baik dan efektif.

Baca juga:

  • Apa Saja Contoh Akulturasi Budaya Tionghoa dan Indonesia?
  • Mengenal Teori Arus Balik, Sejarah, dan Tokoh Pencetusnya
  • Apa Saja Unsur-unsur yang Terjadi dalam Proses Akulturasi?

4. Saluran Pendidikan

Kaum wali, ulama, ustaz, syekh, guru agama, tokoh masyarakat, hingga para pemimpin muslim memiliki peran besar dalam persebaran Islam di Nusantara. Mereka menyebarkan islam dengan mendirikan pondok-pondok pesantren sebagai tempat untuk memperdalam ajaran Islam.

Murid atau santri yang telah mempelajari ilmu agama dan kemudian keluar dari pesantren untuk menyebarluaskan ajaran Islam di tempat-tempat lain, atau mendirikan pesantren sendiri sehingga semakin memperluas proses Islamisasi di Indonesia.

Baca juga:

  • Sejarah Hidup Sunan Kalijaga: Dakwah Wali Songo Mantan Bromocorah
  • Sejarah Hidup Sunan Muria: Wali Songo Termuda, Putra Sunan Kalijaga
  • Sejarah Hidup Sunan Giri: Lahir, Nasab, & Ajaran Dakwah Wali Songo

5. Saluran Kesenian

Seni dan budaya juga bisa menjadi saluran Islamisasi yang efektif. Ajaran Islam dipadukan dengan berbagai jenis seni yang sudah ada sebelumnya, seperti seni musik, seni tari, seni pahat, seni bangunan, seni ukir, seni pertunjukan, seni sastra, dan lain sebagainya.

Di bidang seni pertunjukan, misalnya, pertunjukan wayang disisipi dengan cerita-cerita atau tokoh-tokoh dalam ajaran Islam. Begitu pula dengan seni musik. Beberapa wali sengaja menggubah tembang atau lagu dalam bahasa Jawa yang berisi tentang ajaran Islam. Penggunaan gamelan juga demikian untuk menarik masyarakat.

Dalam sektor seni bangunan bisa dilihat dari Masjid Menara Kudus yang menampilkan akulturasi antara corak bangunan Hindu dengan Islam, juga masjid-masjid lain atau bangunan lainnya di Nusantara.

Baca juga:

  • Sejarah Masjid Agung Kasepuhan Cirebon & Ragam Arsitekturnya
  • Masjid Menara Kudus: Sejarah, Pendiri, & Ciri Khas Arsitektur
  • Sejarah Masjid Gedhe Kauman: Simbol Akulturasi Kraton Yogyakarta

6. Saluran Politik

Pengaruh raja dalam persebaran Islam di Nusantara sangat besar. Jika seorang raja sudah memeluk agama Islam, maka warga istana dan rakyat di wilayah kerajaan itu akan berbondong-bondong turut masuk Islam.

Salah satu contohnya adalah Kesultanan Demak. Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, adalah pangeran dari Majapahit. Raden Patah berguru kepada Wali Songo dan kemudian masuk Islam hingga akhirnya mendirikan Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa.

Berdirinya Kesultanan Demak dengan Raden Patah sebagai rajanya yang telah masuk Islam kemudian berbondong-bondong diikuti oleh sebagian besar rakyatnya. Kehadiran Kesultanan Demak pada akhirnya meruntuhkan Kerajaan Majapahit dan semakin banyak orang yang memeluk Islam.

Baca juga:

  • Sejarah Raden Patah: Putra Majapahit Pendiri Kerajaan Islam Demak
  • Sejarah Majapahit: Penyebab Runtuhnya Kerajaan & Daftar Raja-Raja
  • Sejarah Keruntuhan Kerajaan Demak: Penyebab dan Latar Belakang

Baca juga artikel terkait SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE NUSANTARA atau tulisan menarik lainnya Yunita Dewi
[tirto.id - ynt/isw]


Penulis: Yunita Dewi
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Yunita Dewi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Indonesia adalah negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di seluruh dunia. Pada saat ini diperkirakan bahwa jumlah umat Muslim mencapai 207 juta orang, sebagian besar menganut Islam aliran Suni. Jumlah yang besar ini mengimplikasikan bahwa sekitar 13% dari umat Muslim di seluruh dunia tinggal di Indonesia dan juga mengimplikasikan bahwa mayoritas populasi penduduk di Indonesia memeluk agama Islam [hampir 90% dari populasi Indonesia]. Namun, kendati mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia bukanlah negara Islam yang berdasarkan pada hukum-hukum Islam.

Justru, Indonesia adalah sebuah negara sekuler demokratik tetapi dengan pengaruh Islam yang kuat. Sejak awal berdirinya negara ini, sudah ada banyak perdebatan politik mengenai dasar ideologi negara Indonesia. Sejumlah kelompok Islam konservatif [termasuk sejumlah partai politik] berpendapat bahwa Indonesia seharusnya menjadi sebuah negara Islam. Namun, karena ada puluhan juta penduduk non-Muslim - apalagi banyak penduduk yang menganut Islam di Indonesia bukan orang Muslim yang mempraktekkannya dengan sangat ketat [nominal Muslim] -, berdirinya sebuah negara Islam [sekaligus penerapan hukum syariah] selalu dianggap sebagai pemicu perpecahan dan separatisme.

Bahkan, partai-partai politik yang mendukung pendirian negara Islam di Indonesia belum pernah sempat meraih suara mayoritas penduduk sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia. Bahkan berdasarkan hasil pemilihan-pemilihan setelah Orde Baru Suharto, partai-partai Islam yang konservatif sepertinya justru kehilangan dukungan dibandingkan partai-partai sekuler dan karena itu tampaknya kecil kemungkinan bahwa Indonesia akan menjadi negara Islam di masa mendatang. Namun, memang benar juga bahwa aliran Islam yang konservatif dalam masyarakat Indonesia tampaknya sempat meningkatkan pengaruhnya terhadap politik regional dan politik nasional sejak 2017 [topik ini dibahas lebih lanjut di bawah].

Proses Islamisasi di Indonesia [atau tepatnya di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia] telah berlangsung selama berabad-abad dan terus berlanjut hingga saat ini. Islam menjadi sebuah kekuatan yang berpengaruh melalui serangkaian gelombang dalam berjalannya sejarah [gelombang-gelombang ini yaitu perdagangan internasional, pendirian berbagai kesultanan Islam yang berpengaruh, dan gerakan-gerakan sosial] yang akan dijelaskan lebih lanjut dengan detail di bawah ini.

Namun, juga benar bahwa penerapan agama Islam di Indonesia pada saat ini memiliki karakter yang beragam karena setiap wilayah memiliki sejarah tersendiri yang dipengaruhi oleh sebab-sebab yang unik dan berbeda-beda. Mulai dari akhir abad ke-19 sampai saat ini, Indonesia - secara keseluruhan - memiliki sejarah umum yang lebih seragam karena para penjajah [dan dilanjutkan oleh para pemimpin nasionalis Indonesia] menetapkan dasar-dasar nasional di wilayahnya. Proses unifikasi ini juga membuat agama Islam di Indonesia - dalam proses yang lambat - semakin kehilangan keanekaragamannya. Namun, hal ini bisa dipandang sebagai perkembangan yang logis dalam proses Islamisasi di Indonesia.

Di dalam beberapa tahun terakhir, media - baik nasional dan internasioanal - melaporkan penyerangan-penyerangan pada kelompok-kelompok agama minoritas di Indonesia [seperti Ahmadiyah dan Kristen]. Sejumlah kelompok Muslim radikal seperti Front Pembela Islam [FPI] menggunakan kekerasan [atau ancaman kekerasan] untuk memeperjuangkan idealisme mereka; termasuk dengan melawan umat Islam lainnya, contohnya dengan menyerang penduduk beragama Islam yang menjual makanan pada siang hari selama bulan puasa [Ramadhan]. Sangat menguatirkan bahwa Pemerintah Indonesia dan pengadilan di Indonesia tidak bertindak tegas melawan kelompok-kelompok radikal semacam ini. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah memiliki monopoli yang lemah dalam hal penggunaan kekerasan [weak monopoly on violence]. Namun, perlu ditekankan bahwa mayoritas penduduk Muslim di Indonesia sangat mendukung pluralisme dan kerukunan antar umat agama.

Pulau-pulau Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim:

1. Sumatra2. Jawa3. Kalimantan [daerah pesisir]4. Sulawesi5. Lombok6. Sumbawa

7. Maluku Utara

Wilayah barat Indonesia yang padat penduduknya pada umumnya memiliki jumlah penduduk Muslim yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah timur Indonesia. Karena perdagangan memiliki peran yang signifikan dalam proses Islamisasi di Indonesia, pulau-pulau yang lebih dekat dengan rute-rute perdagangan utama menerima lebih banyak pengaruh Islam. Wilayah barat Indonesia, yang telah menjadi bagian dari jalur perdagangan global sejak sejarah awal manusia, lebih banyak menerima pengaruh-pengaruh Islam yang disebarkan melalui proses perdagangan, dan karena itu mengalami proses kebangkitan dan kejatuhan kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-13. Hal ini terutama terjadi di wilayah sekitar Selat Malaka [yang terletak di antara Malaysia dan Indonesia] yang dari dulu [sampai sekarang] adalah salah satu jalur perdagangan laut tersibuk di dunia.

Melompat ke masa kini, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat sejak tahun 1970an: jumlah penduduk kelas menengah bertambah dengan cepat dan hal ini ditunjukkan dengan peningkatan berkelanjutan produk domestik bruto per kapita [berarti penduduk semakin banyak mengonsumsi produk dan jasa]. Apalagi masyarakat Indonesia - seperti juga trennya di seluruh dunia - semakin mengalami proses urbanisasi [sebuah proses yang berhubungan erat dengan modernisasi dan industrialisasi].

Mengingat penduduk Muslim setara dengan hampir 90% dari jumlah total penduduk Indonesia, mereka dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan ini [yaitu peningkatan konsumsi dan urbanisasi]. Di kota-kota besar [terutama di pulau Jawa yang merupakan pulau paling padat penduduk di Indonesia] kelompok masyarakat ini menunjukkan gaya hidup yang semakin konsumtif. Hal ini terutama berlaku untuk komponen kelompok Muslim moderat yang berjumlah sangat besar. Mereka semakin menerapkan gaya hidup perkotaan yang modern, yang didukung dengan alat-alat elektronik dan gaya busana terbaru. Walaupun peminat fashion Islam sedang meningkat cukup cepat di Indonesia, permintaan untuk perbankan syariah dan pelancongan halal masih tetap rendah [bahkan pelancongan halal justru dikembangkan sebagai strategi untuk menarik wisatawan Muslim asing untuk menghabiskan liburan di Indonesia].

Kedatangan Islam di Indonesia

Walaupun sulit untuk mengetahui secara persis perkembangan awal agama Islam di kepulauan ini [karena kurangnya sumber informasi], cukup jelas bahwa perdagangan intenasional merupakan faktor yang sangat penting. Kemungkinan besar para pedagang Muslim dari berbagai negara telah ada di wilayah maritim Asia Tenggara sejak periode awal Islam. Sumber-sumber paling awal melaporkan bahwa sejumlah penduduk asli telah memeluk agama Islam sejak awal abad ke-13.

Sementara itu, batu-batu nisan mengindikasikan keberadaan sebuah kerajaan Muslim di Sumatra Utara pada tahun 1211. Mungkin kerajaan-kerajaan lokal mengadopsi agama baru ini karena bisa memberikan keuntungan-keuntungan tertentu dalam perdagangan dengan para pedagang asing yang sebagian besar beragama Islam. Tidaklah jelas mengapa para penduduk asli Nusantara tampaknya baru memeluk agama Islam berabad-abad setelah agama ini sudah tiba dan dikenal di wilayah tersebut. Baru dari abad ke-15 dan selanjutnya, kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan Islam menjadi kekuatan politik dominan di kepulauan ini, meskipun mereka akan kemudian dikalahkan oleh para pendatang baru dari Eropa [Portugis dan Belanda] di abad ke-16 dan abad ke-17.

Variasi Agama Islam di Indonesia

Tibanya Islam di kepulauan ini memiliki dampak-dampak yang beragam bagi komunitas-komunitas lokal tergantung konteks historis dan sosial dari wilayah tempat kedatangannya. Di beberapa bagian dari Nusantara, kota-kota bermunculan akibat para pedagang Muslim mendirikan tempat permukiman di sana. Namun di wilayah-wilayah lain, Islam tidak pernah menjadi agama mayoritas, kemungkinan karena letaknya jauh dari rute-rute perdagangan yang penting [seperti wilayah Indonesia timur yang terletaknya jauh dari jalur dagang utama, bahkan terletaknya di semacam 'kekosongan ekonomi']. Sementara itu, di wilayah-wilayah yang memiliki pengaruh kuat dari kebudayaan animisme atau Hindu-Buddha, penyebaran agama Islam diblokir oleh kebudayaan-kebudayaan yang telah ada [seperti di wilayah Bali yang didominasi kebudayaan Hindu sampai saat ini] atau agama Islam jadi bercampur dengan sistem-sistem kepercayaan [animisme] yang sudah ada [contoh-contohnya masih bisa ditemukan di Jawa Tengah].

Sejak terbitnya buku [terkemuka] Clifford Geertz berjudul 'The Religion of Java' [diterbitkan pada tahun 1960], para ilmuwan cenderung membagi komunitas Islam Jawa [kelompok Muslim terbesar di Indonesia] di dalam dua kelompok:

Abangan; mereka adalah umat Muslim tradisionil yang berarti mereka masih menerapkan dogma-dogma agama tradisional Jawa; yang mencampurkan ajaran Islam dengan agama Hindu, Buddha, dan animism. Anggota dari kelompok ini umumnya bertempat tinggal atau berasal dari wilayah pedesaan.

Santri; kelompok ini bisa disebut sebagai umat Muslim ortodoks. Mereka umumnya bertempat tinggal atau berasal dari wilayah perkotaan dan lebih berorientasi pada mesjid dan Al-Quran.

Geertz sebenarnya juga menyatakan ada kelompok ketiga, yaitu priyayi [kelompok bangsawan tradisional], namun karena ini merupakan kelompok kelas sosial dan bukan kelompok agama, maka kelompok priyayi ini tidak kami masukkan dalam pembagian masyarakat di atas.

Penyebaran Islam di Indonesia seharusnya tidak dipandang sebagai proses yang cepat dan yang berasal dari satu asal atau sumber saja. Sebaliknya, lebih tepat kalau dipandang sebagai proses yang didorong beberapa gelombang Islamisasi yang sangat berkaitan dengan perkembangan internasional dalam dunia Islam; sebuah proses yang terus berlanjut sampai dengan hari ini. Seperti yang telah dijelaskan di atas, para pedagang Muslim yang datang ke wilayah kepulauan ini pada abad-abad pertama era Islam bisa dianggap sebagai gelombang pertama. Gelombang kedua juga sudah kami sentuh di atas, yaitu pendirian kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara [dan setelah raja masuk agama Islam, rakyatnya biasanya mengikutinya]. Topik ini dibahas jauh lebih terperinci di bagian sejarah prakolonial Indonesia.

Dua gelombang reformasi penting lainnya yang bertujuan untuk mengembalikan kemurnian Islam - seperti yang diterapkan pada masa Nabi Muhammad - adalah gerakan Wahabi dan gerakan Salafi. Kedua gerakan ini datang dari jauh: gerakan Wahabi datang dari Arab dan mulai memberikan pengaruh di wilayah kepulauan ini sejak awal abad ke-19, sementara gerakan Salafi datang dari Mesir pada akhir abad ke-19. Kedua gerakan ini memiliki dampak yang sangat kuat dalam proses penyebaran agama Islam ortodoks di Nusantara.

Perkembangan penting lainnya di proses Islamisasi di Indonesia adalah pembukaan Kanal Suez pada tahun 1869 yang mengimplikasikan - karena perjalanan ke Mekah menjadi lebih mudah - adanya lebih banyak peziarah antara Indonesia dan Mekkah. Hal ini menyebabkan semakin intensifnya komunikasi Indonesia dengan pusat-pusat agama di Timur Tengah.

Kendati begitu, gelombang-gelombang Islamisasi juga menyebabkan ketegangan dan perpecahan di dalam komunitas Islam Indonesia karena tidak semua orang setuju dengan kedatangan gerakan Islam ortodoks. Contohnya, perbedaan antara komunitas modernis [santri] dan komunitas tradisionalis [abangan] disebabkan karena reaksi komunitas tradisionalis melawan gerakan reformasi di abad ke-19. Perbedaan ini masih tampak dalam dua organisasi Islam yang paling berpengaruh di Indonesia pada saat ini. Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial yang didirikan pada tahun 1912 di Jawa, mewakili komunitas Islam modernis yang menolak Islam Jawa yang mistis [tradisional]. Pada saat ini, kelompok ini memiliki sekitar 50 juta anggota. Sebagai reaksi atas pendirian Muhammadiyah, para pemimpin tradisional Jawa mendirikan Nahdlatul Ulama [NU] pada tahun 1926. Para anggota NU masih dipengaruhi oleh elemen-elemen mistis sebelum kedatangan agama Islam. Para pemimpin NU juga cenderung lebih toleran pada agama-agama lain. Jumlah anggotanya saat ini mencapai 90 juta orang.

Meningkatnya Pengaruh Islam Konservatif terhadap Politik Indonesia?

Ada kekhawatiran tentang meningkatnya pengaruh kelompok-kelompok Islam garis keras terhadap politik daerah dan politik nasional Indonesia. Kekhawatirannya adalah bahwa perkembangan ini tidak baik untuk pluralisme agama di Indonesia dan juga tidak baik untuk kelompok-kelompok minoritas, seperti komunitas LGBT.

Pada tahun 2014 seorang Kristen [dan etnis Tionghoa], Basuki Tjahaja Purnama [Ahok], menggantikan Joko Widodo sebagai Gubernur Jakarta. Sebelumnya Ahok jadi Wakil Gubernur [2012-2014] tetapi, secara hukum, menggantikan Widodo ketika Widodo menjadi Presiden Indonesia yang ketujuh pada tahun 2014. Walaupun kelompok garis keras tidak setuju seorang non-Muslim memimpin kota yang mayoritasnya Muslim, tidak ada masalah yang signifikan hingga akhir 2016.

Pada akhir 2016, dalam konteks pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017, Ahok membuat penghujatan ketika dia mengatakan beberapa warga Jakarta tidak akan memilih Ahok karena mereka "terancam dan tertipu" oleh mereka yang menggunakan ayat Al-Ma'ida 51 dari Al-Qur'an [yang melarang populasi Muslim dipimpin oleh pemimpin non-Muslim]. Setelah sebuah video [yang memanipulasi pernyataan Ahok] menjadi viral di media [sosial], kritik muncul, terutama dari kelompok Muslim garis keras.

Serangkaian demonstrasi besar, yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok garis keras, terjadi di Jakarta yang memberikan tekanan besar pada masyarakat. Ketegangan agama membuat banyak orang Muslim memutuskan untuk memperkuat identitas Muslim mereka. Misalnya, wanita yang sebelumnya tidak pernah mengenakan jilbab tiba-tiba mulai mengenakan jilbab, sementara pria yang jarang menggunakan frase Arab di media sosial tiba-tiba mulai sering menggunakan frase-frase Arab, atau, memasang gambar profil baru di media sosial yang menggambarkan mereka dalam pakaian Muslim. Maka, ketegangan agama yang tinggi ini menyebabkan gelombang Islamisasi yang berikut di Indonesia.

Ahok di kemudian hari diadili dalam perkara penistaan agama, dan dihukumi dua tahun penjara [sebuah vonis yang kontroversial; kemungkinannya para hakim juga diintimidasi oleh ketegangan agama saat itu]. Sementara itu, Ahok juga dikalahkan dalam pemilu gubernur Jakarta 2017 oleh Anies Baswedan. Untuk kelompok-kelompok garis keras ini adalah kemenangan besar [melihat Ahok masuk penjara dan dikalahkan di pemilu]. Mungkin untuk pertama kalinya mereka merasa memiliki pengaruh terhadap politik Indonesia.

Kekacauan dan ketegangan agama yang terkait dengan pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017 kemungkinan jadi meluas ke pemilihan presiden dan legislatif 2019 di Indonesia. Lagi pula, Presiden Widodo dianggap sebagai sekutu Ahok. Oleh karena itu, kelompok-kelompok garis keras juga mulai 'mengejar' Widodo. Selain itu, kandidat presiden yang kontroversial, Prabowo Subianto, justru menjangkau para garis keras karena kerja sama pasti meningkatkan peluangnya dalam pemilihan presiden. Namun, Widodo berhasil menangkis 'serangan' dari kelompok garis keras dengan memilih ulama Muslim konservatif yang terkenal, Ma'ruf Amin, sebagai kandidat wakil presiden dalam pemilihan presiden 2019.

Ma'ruf Amin, yang dihormati oleh kebanyakan kalangan Islam termasuk kelompok-kelompok garis keras, bersaksi melawan Ahok dalam kasus penistaan agama, dan ia juga di belakang banyak fatwa [dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, MUI] yang melawan hak-hak agama atau aliran minoritas, termasuk Ahmadiyah dan komunitas Syiah, serta komunitas LGBT. Sementara fatwa-fatwa itu tidak mengikat secara hukum, toh fatwa-fatwa tersebut jadi digunakan untuk melegitimasi retorika yang semakin galak oleh pejabat pemerintah Indonesia terhadap orang-orang LGBT, bahkan fatwa itu digunakan untuk melegitimasi pemicuan kekerasan oleh para Islamis terhadap beberapa agama minoritas.

Meskipun ketegangan agama di Indonesia lenyap dengan cepat setelah Amin duduk di sebelah Widodo [dan mereka berhasil memenangkan pemilihan presiden 2019], pemilu presiden 2019 juga dapat dianggap sebagai kemenangan bagi Islam konservatif karena sekarang ada seorang ulama Muslim yang konservatif di posisi politik nasional yang tinggi [maka punya pengaruh politik]. Siapa tahu ini menjadi preseden untuk pemilihan umum di masa depan: wapres harus berasal dari kalangan ulama. Dan, yang cukup menarik, ini semua tidak terjadi jika masa jabatan Ahok sebagai Gubernur Jakarta berakhir dengan hancur. Jadi, walau pada awalnya - pada tahun 2014 - banyak orang [termasuk pembela hak asasi manusia] memuji fakta bahwa seorang Kristen dapat menjadi gubernur Jakarta, pada akhirnya itu justru memicu gelombang baru dalam proses Islamisasi di Indonesia, dan juga memperkuat pengaruh kelompok-kelompok Muslim garis keras terhadap politik nasional indonesia.

Islam Radikal di Indonesia

Sejak tahun 1990-an, pengaruh Islam semakin tampak jelas di jalan-jalan di Indonesia dan mulai memainkan peran yang lebih penting dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim. Contohnya, jumlah wanita Indonesia yang menggunakan jilbab atau kerudung telah meningkat secara signifikan, dan beribadah di mesjid semakin menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Namun, penting untuk memahami bahwa perkembangan Islamisasi ini samasekali tidaklah sama dengan radikalisme [atau Islamisme]. Sebagian besar umat Muslim di Indonesia memiliki toleransi tinggi pada agama-agama lain beserta aliran-aliran lain di dalam Islam. Hanya sekelompok kecil masyarakat di Indonesia yang setuju dan/atau berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas radikal. Apalagi, hanya sekelompok sangat kecil yang terlibat - atau setuju dengan - aksi teror [meskipun ada kekhawatiran bahwa kelompok ini sedang tumbuh belakangan ini].

Meskipun radikalisme Islam di Indonesia mendapatkan lebih banyak sorotan di media sejak penyerangan 11 September 2001 di New York [terutama setelah beberapa pemboman di Bali dan Jakarta pada tahun 2000an], ini bukanlah fenomena baru di Indonesia. Insiden-insiden yang melibatkan radikalisme Islam telah terjadi jauh sebelumnya, seperti pemberontakan-pemberontakan Darul Islam pada tahun 1950an, pemberontakan-pemberontakan daerah pada akhir 1950an, pembantaian komunis pada tahun 1965-1966, pembajakan pesawat pada tahun 1981, berbagai serangan pada gereja Kristen dan monumen Buddha, dan serangan-serangan pada tempat-tempat yang dianggap haram [rumah bordil, bar, dan tempat perjudian] pada beberapa dekade terakhir.

Untuk informasi yang lebih detail mengenai hal ini silahkan kunjungi halaman kami mengenai Islam Radikal.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề