Perbedaan nilai universal dan nilai partikular HAM

Persidangan di Mahkamah Konstitusi selama bulan Agustus 2016 tentang uji materiil pasal perzinahan membuka lagi kanal perdebatan klasik tentang prinsip hak asasi manusia (HAM). Perdebatan ini dimulai ketika ahli hukum Universitas Padjajaran, Atip Latipulhayat, berkata, “Praktik di Eropa memperlihatkan bahwa universalisme Hak Asasi Manusia (HAM) itu hanya ada pada tataran nilai, sedangkan pada tataran praktik, HAM justru sangat memperhatikan nilai partikular.”[1]

Argumen tentang partikularisme HAM ini dikeluarkannya untuk mendukung permohonan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pidana perzinaan. Ia berpandangan bahwa tuntutan pengakuan hak kelompok Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender (LGBT), terutama hak untuk menikah, bukanlah hak universal melainkan bergantung sepenuhnya pada nilai-nilai partikular negara masing-masing. Ia pun mendukung pemohon yang meminta agar lingkup pasal-pasal perzinaan dalam KUHP diperluas sehingga bukan hanya berlaku bagi pasangan pernikahan, tapi juga untuk semua orang di luar ikatan pernikahan, termasuk pasangan homoseksual yang yang tidak mampu menikah menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia.

Dikotomi universal/partikular ini selalu muncul sebagai batu sandungan ketika ada desakan pemenuhan HAM terhadap kelompok minoritas seksual dan gender. Lebih parah lagi, di tangan sebagian pihak, perdebatannya mengalami peyorasi di mana universal disamakan dengan Barat sementara partikular dianggap Timur.[2]

Perdebatan universalisme-partikularisme ini tidak bergerak jauh dari pendidikan HAM yang diberikan di kampus atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Universalisme muncul dari keyakinan akan satu sistem hukum—biasanya sistem Barat—yang mampu melingkupi semua manusia dalam segala situasi, sedangkan partikularisme, atau juga sering disebut sebagai relativisme budaya, berpandangan bahwa penegakan HAM harus disesuaikan dengan konteks budaya tertentu.[3] Sementara universalisme menyamakan HAM sebagai hak yang mendahului sistem politik, budaya dan tatanan nilai lain, partikularisme menganggap bahwa kebudayaan adalah sumber legitimasi HAM.[4]

Untuk keluar dari pertentangan ini, beberapa orang berupaya membandingkan pasal-pasal kovenan hukum internasional dengan nilai-nilai setempat. Mereka melihat bahwa prinsip-prinsip HAM yang dikenal oleh dunia internasional sebenarnya sudah tercangkup dalam isi Pancasila dan ajaran-ajaran Al-Quran.[5] Penyesuaian dan perbandingan nilai antara dokumen-dokumen sakral ini tentunya memberikan dampak yang positif. Sebagian pihak yang alergi dengan kata ‘HAM’ mungkin akan lebih cair ketika tahu bahwa apa-apa yang terkandung dalam Kovenan Hak Ekosob sebenarnya sudah jadi pemikiran BPUPKI sejak merumuskan pasal kelima Pancasila.

Namun, membandingkan nilai-nilai dalam dokumen yang berbeda untuk membuktikan universalitas membuka jebakan esensialisme. Ketika ada nilai yang tidak bisa dipertemukan, mana yang akan dipilih? Dalam kompetisi semacam ini, kebenaran bergantung pada jumlah dan kekuatan pendukung masing-masing sistem nilai. Kubu kosmpolit akan menggaungkan konvensi-konvensi internasional sedangkan kubu nasionalis akan menggemakan peraturan-peraturan nasional. Lalu, menggenapi pepatah Melayu tentang kematian pelanduk di tengah-tengah gajah yang bertarung, korban-korban opresi dan kesewenang-wenangan semakin lama kehilangan haknya.

Salah satu cara untuk keluar jebakan esensialisme ini adalah membawa pertentangan universal/partikular ke pemikiran politik posfundamental (post-fundamental), sebuah gugusan pemikiran yang meyakini ketiadaan nilai atau kebenaran tetap yang mendasari masyarakat. Sebaliknya, proses politik yang sesekali muncul menciptakan dasar yang kontingen dan tidak stabil.

Penegakan HAM sebagai Politik

Mungkin akan terasa ironis apabila artikel ini mencatut nama pemikir barat—Perancis lebih tepatnya—untuk mendudukkan kembali perdebatan universalisme/partikularisme. Bukankah itu sama saja dengan melakukan imperialisme budaya untuk mengubah dan bahkan menghilangkan otentisitas budaya sendiri? Namun, Jacques Rancière bukanlah seorang pemikir yang memaksakan nilai-nilai liberal ke masyarakat di belahan dunia lainnya. Ia dididik dalam tradisi Marxis dan menjadi pengikut Louis Althusser selama beberapa waktu. Sekitar tahun 1970-80an, Rancière berupaya untuk menghidupkan kembali filsafat politik dengan menampilkan politik bukan sebagai cabang dari filsafat melainkan politik sebagai penegak dan pembentuk dasar kebenaran.[6]

Dalam artikelnya yang berjudul “Siapa Subjek Hak Asasi Manusia?” Rancière memformulasikan kembali perdebatan HAM yang dipelopori oleh Hannah Arendt tentang siapa orang-orang yang perlu dan pantas untuk mendapatkan HAM. Arendt menunjukkan ambiguitas HAM lewat kasus eksodus orang-orang Yahudi pada masa interim perang dunia yang menempatkan mereka sebagai pengungsi. Keterlepasan status mereka dari komunitas politik membuat mereka menjadi subjek tanpa negara (stateless) yang tidak mampu untuk mengakses hak-hak dasar mereka.[7] Kondisi ini menunjukkan paradoks HAM sebab, ketika manusia dipreteli predikat-predikatnya menjadi tidak bersisa kecuali kemanusiaannya, HAM malahan menghilang.

Arendt menulis, “Dunia menemukan tidak ada yang sakral di dalam ketelanjangan abstrak dari menjadi manusia.”[8]

Kritik Arendt terhadap HAM seolah hanya memberikan dua pilihan untuk menentukan siapa subjek HAM. Pertama, subjek HAM adalah mereka yang tidak memiliki keanggotaan politik, seperti mereka yang kehilangan kewarganegaraan. Namun, hak ini menjadi nihil karena ketiadaan entitas yang menjamin.[9] Kedua, subjek HAM adalah mereka yang tergabung di komunitas politik tertentu. Namun, HAM menjadi tautologi karena menjadi sama dengan hak penduduk atau hak warga negara.[10] Kalau dibawa ke ranah perdebatan universal/partikular, pilihan pertama menuruti mazhab universalisme karena percaya bahwa manusia memiliki HAM karena kemanusiaannya. Pilihan kedua mendukung mahzab partikularisme yang mengembalikan pemenuhan hak seseorang ke komunitas politiknya masing-masing yang memiliki nilai dan budaya yang unik.

Bagi Rancière, ada pilihan ketiga, tapi pilihan itu baru muncul ketika kita membongkar pemahaman soal politik dan demokrasi. Politik bukanlah sebuah kesepakatan tetap dan historikal yang mengikutsertakan sebagian orang dan mengecualikan yang lain. Sebaliknya, politik adalah suatu proses yang baru muncul ketika seseorang berusaha untuk merombak rezim. Politik (politics) adalah upaya untuk merombak struktur sosial yang telah mengalokasikan anggota masyarakat ke fungsi dan perannya masing-masing—struktur ini Rancière namakan polisi (police). Politik terjadi ketika mereka yang sebelumnya tidak punya tempat dalam polisi menunjukkan bahwa mereka setara dengan yang lain.[11] Karena itu, bagi Rancière, inti dari demokrasi bukanlah terletak pada konsensus yang menyembunyikan suara kelompok-kelompok marginal melainkan pada disensus yang mempertentangkan logika polisi dan logika kesetaraan.[12]

Kembali ke permasalahan HAM, Rancière melihat bahwa penegakan HAM adalah salah satu momentum di mana politik mendobrak polisi. Baginya, HAM adalah “hak bagi mereka yang tidak memiliki hak yang mereka punya dan memiliki hak yang tidak mereka punya”.[13] Seseorang mempraktikkan negasi ganda ini ketika ia menunjukkan celah antara dua jenis eksistensi hak. Eksistensi pertama terletak dalam manuskrip-manuskrip adiluhung yang menuliskan tentang kebebasan dan kesetaraan manusia. Eksistensi kedua terdapat dalam upaya verifikasi setiap orang terhadap kebenaran manuskrip-manuskrip tersebut.[14]

Salah satu contoh gerakan yang mengamalkan pemikiran Rancière adalah kelompok sans papier, sebuah istilah bagi para imigran di Perancis yang dianggap ilegal karena status kewarganegaraan mereka. Advokasi HAM yang dilakukan oleh kelompok sans papier ini memperlihatkan bahwa mereka tidak memiliki hak ekonomi, sosial dan politik yang dijamin oleh pemerintah Perancis. Di saat yang bersamaan, kelompok imigran ini mendemonstrasikan seolah-oleh mereka tetap memiliki hak mereka; mereka menduduki gereja dan mengeluarkan pendapat mereka sebagaimana warga negara Perancis.[15] Para sans papier menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki hak yang seharusnya dijamin oleh perjanjian-perjanjian internasional, sekaligus bertindak seolah-olah mereka memiliki hak yang tidak mereka punya ini. Mereka melakukan dua hal sekaligus: mendemonstrasikan bahwa dalam tatanan sosial mereka tidak setara, tapi sejatinya mereka setara karena mampu bertindak sebagaimana orang lain.[16]

Cara Rancière memahami HAM mampu memberikan pemahaman baru terhadap dilema universal/partikular HAM. Universal dan partikular merujuk pada baik kondisi maupun upaya verifikasi. Dalam kaitannya dengan kondisi, subjek HAM menunjukkan adanya jarak antara apa yang dijamin secara universal dengan apa yang terjadi secara partikular. Kemudian, subjek HAM melakukan verifikasi dengan membawa apa yang universal ke lingkup yang partikular. Rancière percaya akan konsep universal, tapi ketika universalitas itu terjadi dalam konteks yang ‘lokal’ dan ‘tunggal’[17]; universalitas yang terjadi sesaat ketika seseorang atau sekelompok orang berhasil menjadi subjek politik.

Perspektif Rancière ini memperbaiki pendekatan elitis ketika kita berbicara soal universal/partikular HAM. Selama ini, ahli hukum dan pejabat pemerintah suka mencocokkan mana hak asasi yang menurut mereka universal dan mana yang partikular, kemudian menyodorkan pilihan ini kepada masyarakat. Padahal yang terjadi sebaliknya. Hanya orang-orang yang sebelumnya tidak dihitung oleh batas demokrasi yang bisa menunjukkan dan menjembatani jurang antara universal dan partikular.

Mengaji untuk Memverifikasi

Di Indonesia, salah satu kelompok yang menunjukkan kontradiksi universal/partikular ini adalah santri waria yang bergabung di dalam Pesantren Al-Fatah di Yogyakarta. Pondok pesantren yang dirintis sejak tahun 2008 ini berdiri untuk menjadi ruang spiritual alternatif bagi transpuan muslim yang terusir ketika menjalankan ibadah.[18] Kegiatan pengajaran utama bagi kurang lebih 46 anggota aktif di pesantren ini adalah mengaji Al-Quran dan Kitab Kuning.[19]

Pimpinan Pondok Pesantren Al-Fatah, Shinta Ratri, menyampaikan pernyataan yang menarik ketika diwawancarai wartawan BBC, “Inilah kami, dan kami punya hak juga untuk beribadah.”[20]

Sebagaimana yang Rancière nyatakan, pernyataan dan sikap para waria di pondok pesantren ini menunjukkan bahwa mereka tidak memilki hak yang mereka punya sekaligus memiliki hak yang tidak mereka punya. Mereka menunjukkan bahwa pemenuhan hak mereka tidak setara dibandingkan orang lain karena banyak pihak berusaha menutup ruang mereka untuk beribadah—salah satunya terjadi di tahun 2016 ketika Front Jihad Islam beserta pemerintah setempat berupaya menutup Pesantren Al-Fatah[21]. Namun, pada saat yang bersamaan, mereka bertindak seolah-olah mereka memiliki hak yang tidak mereka punya ini: mereka beribadah, mengaji, dan mempraktikan betapa setaranya mereka dengan orang lain.

Tindakan para waria untuk terus beribadah, selain memenuhi kebutuhan spiritual mereka, juga merupakan proses subjektifikasi politik. Mereka mendemonstrasikan disensus dengan menunjukkan adanya kontradiksi di sistem demokrasi Indonesia yang mensyaratkan semua orang untuk bertakwa tapi menghalangi kebebasan sebagian orang untuk beribadah.

Para santri waria tidak akan kehabisan sumber nilai universal untuk mendukung aksi emansipasi mereka. Mereka bisa mengacu pada ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil alimin, pada pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadat, atau pada Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang juga telah diratifikasi negara Indonesia. Semuanya bisa menjadi acuan untuk memverifikasi kondisi partikular mereka.

Ketika ada satu acuan yang tidak membuahkan hasil, bukan berarti nilai kebenaran dalam manuskrip suci itu berkurang. Advokasi yang mereka lakukan tetap menorehkan cerita, retorika, dan fakta-fakta baru tentang perjuangan politik umat manusia. Menurut Rancière, manusia menjadi mahluk politik bukan hanya karena kemampuannya berbahasa tapi juga dalam posisinya dalam dunia yang kelebihan kata-kata. Kelimpahan kata-kata ini yang membuat mereka bisa terus-menerus menggugat perbedaan antara tulisan agung dan keadaan sosial di mana dirinya berada[22], menutup jarak antara yang universal dan yang partikular.***

Catatan Kaki:

[1] Untuk lebih jelasnya bisa dibaca Risalah Sidang Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang Undang Hukum Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 23 Agustus 2016.

[2] Lihat contoh pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Arif Hidayat, ketika membahas soal universal/partikular HAM. Andi Saputra, “Ketua MK soal LGBT: HAM Bukan Universal,” detik.com, 18 Juni 2017, diakses di https://news.detik.com/berita/d-3564842/ketua-mk-soal-lgbt-ham-bukan-universal pada tanggal 25 Mei 2020.

[3] Rhona K.M. Smith and others, Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), p. 18–21.

[4] Smith and others, p. 19–21.

[5] Yuli Asmara Triputra, ‘Implementasi Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia Global Kedalam Sistem Hukum Indonesia Yang Berlandaskan Pancasila’, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 24.2 (2017), 279–300; Suhaimi Hamid, ‘Hak Asasi Manusia (HAM) Di Indonesia Dilihat Dalam Perspektif Islam’, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 14.2 (2014), 58–63; Usman Hamid, ‘Haul Nurcholish Madjid (8): Naskah Pidato Usman Hamid Di Acara Haul Cak Nur’, Alif.Id, 2020 [accessed 5 December 2020].

[6] Ivana Perica, ‘The Archipolitics of Jacques Rancière’, Krisis, 1, 2019, 14–26.

[7] Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism, 2nd edn (Ohio: The Wold of Publishing Company, 1961), p. 275–81.

[8] Arendt, p. 299.

[9] Jacques Rancière, ‘Who Is the Subject of the Rights of Men?’, The South Atlantic Quarterly, 103.2/3 (2004), 297–310 (p. 302).

[10] Ibid., p. 302.

[11] Jacques Rancière, Disagreement : Politics and Philosophy (London: University of Minnesota Press, 1999), p. 29–30.

[12] Ibid., p. 102–3.

[13] Rancière, ‘Who Is the Subject of the Rights of Men?’, p. 302.

[14] Ibid., p. 302–3.

[15] Andrew Schaap, ‘Enacting the Right to Have Rights: Jacques Rancière’s Critique of Hannah Arendt’, European Journal of Political Theory, 10.1 (2011), 22–45 (p. 34).

[16] Ibid., p. 34.

[17] Razmig Keucheyan, The Left Hemisphere: Mapping Critical Thory Today (London: Verso, 2013), p. 306.

[18] Masthuriyah Sa’dan, Santri Waria: Kisah Kehidupan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta (Yogyakarta: Diva Press, 2020), p. 41.

[19] Sa’dan, p. 78.

[20] “Para pencari Tuhan di Pesantren waria Yogyakarta,” bbc.com, 3 Juni 2019, diakses di https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48450044 pada tanggal 25 Mei 2020.

[21] Irwan Syambudi, “Suka Duka Para Waria Belajar Agama di Pesantren Al Fatah Yogyakarta”, tirto.id, 5 Juni 2019, diakses di https://tirto.id/d9uV pada tanggal 25 Mei 2020.

[22] Schaap, p. 36.