Perubahan-perubahan apa saja yang sudah pernah dilakukan oleh gereja mu di dalam kehidupan
1 Perubahan Sosial: Masa Depan Gereja Oleh Aripin Tambunan Abstraksi: Perubahan social sangat berpengaruh kepada masa depan gereja, pada abad pertengan perilaku social masyarakat dikuasai oleh otoritas gereja dan Aristoteles. Apapun yang dilakukan oleh masyarakat/ seseorang harus sesuai dengan doktrin gereja, jika tidak, maka inkuisisi gereja akan menghukumnya. Pada abad ini, gereja masih menjadi pemimpin arah zaman. Pada abad modern, terjadi perubahan otoritas. Otoritas dipegang oleh rasio atau intelektual. Jika perilaku masyarakat/ seseorang tidak sesuai dengan kebenaran, maka tidak dapat diterima. Itulah sebabnya teks-teks kitab suci harus disesuaikan dengan rasio, jika teks-teks tersebut berisi mujizat-mujizat, maka harus didemitologisasikan. Mulai dari sini, gereja telah menjadi pengikut zaman, bukan lagi pemimpin zaman. Memasuki posmodernisme, terjadi perubahan yang sangat signifikan pada masyarakat yakni terjadinya kegandrungan social virtual, hal ini disebabkan berkembangnya teknologi informasi. Kegandrungan social virtual ini masuk ke gereja, sehingga muncul gereja virtual seperti: http://www.lifechurch.tv., gereja Northland di Orlando, Florida, telah memanfaatkan facebook untuk melakukan pelayanan pujian dan penyembahan kepada 500 juta pengguna facebook secara langsung, GKPB FP Bandung telah membuka satelit virtual. Jika perkembangan ini diikuti oleh gereja-gereja lain, bagaimana dengan masa depan gereja? Maka perlu pemikiran ulang tentang gereja (rethinking the church), tentang konsep jemaat, konsep ibadah, konsep misi dan pemuridan, dan konsep pengembalaan, tentu akan berubah? Kata-kata Kunci: Perubahan, gereja, social, virtual, masyarakat, perilaku, jemaat. Pendahuluan Perubahan sosial sangat berpengaruh kepada masa depan gereja, hal ini dapat terlihat di Eropa. Masyarakat Eropa hingga masa abad pertengahan masih tunduk di bawah otoritas gereja, perilaku sosial masyarakatnya dikontrol dan dikuasai oleh gereja. Gereja sebagai pedoman penentu terhadap perilaku di masyarakat, sehingga keadaan sosial masyarakat ditentukan dan diarahkan oleh gereja. Keadaan ini tidak dapat terus dipertahankan, dikarenakan terjadinya pemberontakan intelektual. Pemberontakan intelektual ini terjadi karena pemikiran yang ada hingga abad pertengahan, hanya berdasar pada pemikiran hirarki. Dimulai dari kenyataan yang tertinggi hingga terendah dan metoda hirarkis ini selalu mengacu pada otoritas filsafat Aristoteles dan kitab suci. Pada hal pada kenyataannya, manusia memiliki kemampuan rasio untuk mengembangkan diri dan melepaskan diri dari otoritas gereja. Sebab itu muncul suatu semangat baru yang disebut semangat Renaisans (kelahiran kembali), kelahiran kembali kebudayaan Yunani dan Romawi yang telah dikebumikan oleh masyarakat abad pertengahan dibawah komando gereja. Semangat baru ini mengusung misi pemberontakan intelektual terhadap intelektual abad pertengahan. Seperti yang dilakukan oleh Petrarkha (1304-1374) yang menolak pemikiran Agustinus,
2 ia menekankan pentingnya nikmat dunia yang sudah pasti bagi manusia. Copernicus (1473- 1543) mengubah pandangan geosentris yang dipegang oleh gereja, ke heliosentris. Namun Copernicus takut dan menarik pandangannya, tetapi kemudian diteruskan oleh Galileo-Galilei (1564-1642) dan berhasil membuktikan kebenaran teori Copernicus. Meskipun akibatnya ia harus merasakan inkuisisi gereja yang kuat dengan memasukkannya kepenjara. Begitupun dengan Machiavelli (1469-1527), ia mengutarakan gagasan bahwa agama tidak boleh menguasai negara, sebab pada abad pertengahan, kepala negara diangkat oleh Paus. Seharusnya negara yang menguasai agama, seperti pada masa sebelum Agustinus atau Romawi kuno. Kemampuan rasio yang dimiliki oleh manusia yang disadari sejak masa Renaisans itu, terus berlanjut dalam semua sisi kehidupan, sosial, politik, ekonomi, dan agama. Sejak saat itu seluruh pemikiran tentang sosial, politik, ekonomi, dan agama, di dasarkan pada metoda berpikir dan bukan lagi pada otoritas, akibatnya teks-teks kitab suci mulai diteliti dan diarahkan atau disesuaikan dengan akal manusia. Teks-teks kitab suci tidak lagi dipandang sebagai wahyu, sehingga ketika menafsirkannya harus disesuaikan dengan keberadaan Allah. Tetapi telah ditelaah sama seperti teks-teks kuno lainnya, oleh karena itu maknanya harus sesuai dengan rasio manusia. Jika tidak, maka teks-teks tersebut harus dibuang atau di demitologisasikan. Akibatnya gereja telah kehilangan pusatnya yaitu Allah, gereja telah berubah ke arah seremonial atau gereja hanyalah tempat bagi perjumpaan antara sesama anggota gereja maupun pendetanya. Gereja telah berubah menjadi tempat untuk religiusitas dan bukan lagi tempat spiritualitas. Anggota gereja tidak lagi berkoresponden dengan Allah sebagai pusat gereja (Kristus sebagai kepala gereja) ketika ia beribadah, ia hanya berkoresponden dengan seremonial (tata ibadah, musik, dan pujian). Itulah sebabnya, jika seorang anggota jemaat mengalami masalah di dalam hidupnya, ia tidak dapat berkoresponden dengan Allah tentang masalahnya tersebut. Ia hanya dapat berkoresponden dengan sesama anggota jemaat dan pendetanya. Bagi sebagian gereja modern yang masih memperlakukan teks-teks kitab suci sebagai wahyu Allah dan menafsirkannya sesuai dengan keberadaan Allah, namun tak mampu mengejawantahkannya di dalam kehidupan modern. Sebab gereja tersebut tidak memiliki pengaruh yang cukup untuk memimpin pergerakan zaman. Akhirnya gereja telah kehilangan perannya yaitu sebagai pemimpin arah zaman, gereja telah terperosok sangat dalam menjadi pengikut tren zaman (dipengaruhi zaman). Bagaimana jika proses perubahan sosial ini terus berlanjut hingga abad 22, Apa yang terjadi dengan masa depan gereja? Apakah gereja dapat memulihkan dirinya untuk menjadi terang dan pemimpin arah zaman? Apakah gereja dapat menciptakan perubahan sosial yang sesuai dengan gereja? Atau jika gereja kehilangan maknanya, siapa yang bertanggungjawab? Akar Perubahan Sosial Akar perubahan sosial sebenarnya harus dilihat dari perubahan realitas. Realitas dimungkinkan berubah oleh karena ada realitas yang berpotensi ada, yang menurut Aristotel itu dimungkinkan karena empat penyebab yaitu, pertama, causa formalis (sebagai penyusun bahan); causa finalis (tujuan yang menjadi arah suatu wujud); causa effeciens (motor penggerak); causa materialis (bahan dari suatu benda). Misalnya, uap. Uap merupakan realitas yang berpotensi F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004) hal. 11. Frederick Copleston, A History of Philosophy, (New York: 1993). hal. 306-307.
3 ada, ia bukan realitas yang alami. Ia terjadi karena empat penyebab yaitu, air sebagai causa materialisnya, api sebagai causa efficiensnya, bentuk uap sebagai causa formalisnya, dan tujuan pembuatan sebagai causa finalisnya yaitu untuk mandi uap, untuk menggerakkan mesin, dll. Yasraf Amir Piliang, menyebutkan hal tersebut sebagai dunia posrealitas atau kondisi matinya realitas, karena telah muncul suatu realitas baru. Umberto Eco, menyebutnya sebagai dunia hiperealitas, yang berarti dunia yang melampaui realitas. Perubahan realitas ini sebagai konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) mutakhir. IPTEK sebagai kendaraan yang mengantarkan masyarakat industri (abad modern) ke pintu gerbang masyarakat informasi (post modern), perubahan ini dinamakan Alvin Toffler sebagai The Third Wave. Pada masyarakat informasi perubahan realitas dalam bidang social dapat dilihat dari munculnya realitas-realitas baru dalam bidang social, seperti munculnya social virtual media. Sosial virtual media membuat seseorang tidak perlu lagi hadir secara fisik dalam berelasi, cukup dengan teleconference, mailing list group internet, facebook, twitter, LinkedIn, Flickr, internet forum, BBM, Whatsup, google plus+, Tumblr, Instagram, dan my space. Jika ini terus berlanjut sampai tingkat kedalaman tertentu di masyarakat, maka menurut Piliang dapat mengambil relasi social yang sesungguhnya atau dengan kata lain menuju kematian social. Perubahan realitas dalam bidang ekonomi dapat terlihat dari munculnya realitas baru seperti, TV shopping, teleshopping, dan virtual shopping melalui internet. Perubahan ini terjadi oleh karena pergeseran ekonomi di masyarakat informasi dari produksi menjadi konsumsi, sehingga masyarakat telah diciptakan menjadi masyarakat konsumtif melalui iklan lewat dukungan teknologi informasi yang berkembang pesat. Iklan menghantarkan pesan artifisialnya kepada masyarakat melalui critraan model dan gaya dari suatu produk. Munculnya realitas baru dalam bidang social dan ekonomi, memicu munculnya realitas baru dalam bidang moral. Moral tidak lagi seperti realitas pada zaman modern yang memiliki rujukan pada agama, adat, atau keluarga, tetapi moral menjadi tanpa rujukan, tidak ada lagi garis yang jelas terhadap moral, tidak ada lagi kata ”ini boleh dan itu tidak”, ”ini tabu dan itu tidak.” Sebab moral telah tergantung pada pasar, komunitas, dan individu. Karena itu, perubahan yang terjadi dalam bidang moral, tidak dapat dilepaskan dari perubahan makna yang terjadi di masyarakat informasi. Perubahan makna terjadi disebabkan perubahan tanda, tanda tidak lagi terdiri dari realitas tetapi juga postrealitas seperti, tanda pasar, tidak lagi hanya pasar yang dapat dikunjungi secara fisik, tetapi yang dapat dikunjungi secara virtual (dunia maya). Suatu contoh, tanda gereja, tidak lagi ditunjukkan lewat bangunan yang bertanda salib dan dikunjungi oleh orang-orang yang berpakaian sopan, tetapi telah muncul gereja di ruang-ruang public, di diskotik dan dikunjungi oleh orang-orang yang berpakaian seksi. Dengan demikian, untuk mendapatkan suatu makna yang sesuai, tanda harus ditafsirkan dengan kombinasi antara paradigmatik dengan tanda-tanda lainnya. Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, (Bandung: Jalasutra, 2004), hal. 56. Lihat, Umberto Eco, (Terj. Iskandar Zulkarnaen), Tamasya dalam Hiperealitas, Bandung: Jalasutra, 1986. Lihat Alvin Tofler, The Third Wave (New York: William Morrow, 1980). Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, (Bandung: Jalasutra, 2004), hal. 56. Paradigmatic adalah perbendaharaan tanda atau kata (kamus). syntagmatik adalah cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan
4 Namun bukan hanya penandaan yang berubah tetapi penafsir tandapun ikut berubah. Perubahan tersebut dikarenakan sistem pemikiran (paham-paham) atau keilmuan yang berubah. Para penafsir tanda yang beraliran pluralism mengagungkan adanya permaianan bebas penanda (free Play of signifier) yang berakhir pada kematian petanda dan makna (the death of signified). Akibatnya tanda dan makna dapat berbeda dimaknai oleh setiap orang. Para penafsir tanda yang beraliran relativisme mengagungkan bahwa nilai (value) dan kebenaran (truth) hanya ditentukan seseorang atau sekelompok orang. Akibatnya tanda dan makna hanya berlaku relative saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pakaian seksi yang dikenakan seseorang ketika ia memasuki gereja hanyalah permaianan bebas penanda. Para penafsir tanda yang beraliran dekonstruksi mengagungkan permaianan bebas tanda (free play of sign) dan permaianan bebas bahasa (language game). Akibatnya para penafsir dekonstruksi lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), dan citra ketimbang kebenaran (logos). Sebab kaum dekonstruksi telah melepaskan diri dari batas-batas yang dibuat oleh ontologi dan teologi, sehingga tanda gereja yang berlambang salib dan bermakna ontologis yaitu kekudusan, tidak dapat dilekatkan lagi pada gereja. Akibat tanda dan penafsir tanda berubah, maka makna pun turut mengalami perubahan. Tidak ada lagi makna absolute, makna akan selalu tertunda. Lihat misalnya apa yang dicoba dibangun oleh Postrukturalisme, paham ini menjelaskan tentang makna yang terus berubah. Menurut mereka makna tidak serta merta hadir di dalam tanda, ia tersebar atau terserak disepanjang rantai penanda, ia berupa kilasan yang terus menerus dari kehadiran dan ketiadaan secara bersamaan. Dengan demikian, makna akan selalu tertunda sebab satu penanda akan menghantarkan kepenanda lain, dan seterusnya. Akibatnya makna baru akan memodifikasi makna sebelumnya, sehingga makna tidak pernah identik lagi dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, masyarakat informasi telah menguburkan dengan damai etika/ moral, rasionalitas, dan agama, sebab makna moral/ etika tidak identic lagi dengan dirinya, makna rasional tidak identic lagi dengan dirinya, begitupun makna agama sudah tidak identic lagi dengan dirinya. Sudah muncul makna-makna baru tentang moral/ etika, rasionalitas, dan agama, yang memakai ukuran kegirangan dan sukacita yang ditawarkan oleh hedonism posmodern. Perubahan Perilaku Masyarakat Terjadinya perubahan realitas, perubahan tanda dan makna, serta perubahan penafsir, mendorong perubahan pada perilaku masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, moral dan agama. Pada bidang sosial perilaku masyarakat yang berubah dapat terlihat dari ikatan sosial yang dibangun. Ikatan sosial telah dibangun berdasarkan kontrak sosial yang melihat segala sesuatu dari kaca mata uang/modal (nilai uang), sehingga tidak ada lagi, tenggang rasa dan kerja sosial yang murni. Akibat perubahan perilaku social tersebut, maka di Indonesia telah terlihat dampak yang diakibatkan oleh hubungan social yang dibangun berdasarkan kontrak social, yaitu munculnya: 1) Masalah balita dan anak terlantar serta anak jalanan; 2) masalah wanita rawan ekonomi dan kekerasan; 3) masalah lansia terlantar; 4) masalah penyandang cacat; 5) masalah tunasusila; 6) masalah pengemis; 7) masalah gelandangan; 8) masalah keluarga miskin.
5 Menurut Sir Henry Maine, hal tersebut di atas yang membedakan antara masyarakat pra modern dengan modern. Pada masyarakat pra modern orang diikat satu sama lain oleh hubungan status seperti ayah dan anak, kekerabatan, gotongroyong. Sementara pada masyarakat modern orang diikat berdasarkan hubungan kontrak sosial seperti, hubungan kualitas kerja dengan seberapa besar gaji yang diperoleh. Di dalam hubungan seperti ini tidak ada muatan hubungan moral, belaskasihan, keluarga, dan agama, sebab yang penting adalah syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam kontrak dipenuhi. Dilihat dari kacamata Ferdinand Tonnies, maka perilaku masyarakat modern tersebut disebut gesellschaft atau masyarakat, sebab masyarakat dibangun berdasarkan hukum formal, sehingga hubungan sosial bersifat formal dan impersonal yang menyebabkan kurang bertanggungjawab secara moral. Sementara masyarakat pra modern disebut gemeinschaft atau komunitas, sebab komunitas dibangun berdasarkan norma-norma yang tidak tertulis dan setiap individu diikat dalam jalinan saling kebergantungan mulai dari keluarga, kerja, dan aspek kesenangan lain. Hubungan sosial informal telah beralih ke hubungan sosial virtual seperti, facebook, twitter, LinkedIn, Path, Flickr, internet forum, BBM, Whatsup, google plus+, Tumblr, Instagram, youtube, dan myspace. Lihat fakta-fakta berikut, yang menunjukkan betapa signifikannya peralihan tersebut: 1) facebook memiliki 500.000.000 pengguna; 2) 60 juta updates yang terjadi pada facebook setiap hari; 3) 1-3 perempuan berusia antara 18-34 tahun membuka facebooknya ketika ia bangun tidur setiap hari; 4) Youtube telah diakses lebih dari satu juta kali setiap hari; 11.574 kali per detik; 694.444 kali per menit, dan 41.666,67 kali per jam; 5) 95 % perusahaan menggunakan social network Linkedln; 6) kelahiran tahun 1980-2000, 96% telah bergabung ke social network; 7) ada 80.000.000, pengguna Twitter. Pada bidang moral dan agama, perilaku masyarakat yang berubah adalah tatanan moral dan perilaku, hal-hal tersebut tidak lagi dibangun berdasarkan agama, tetapi dibangun berdasarkan pada pasar, komunitas, dan individu. Seperti halnya tentang bunuh diri, kini telah muncul bisnis bunuh diri. Contohnya, munculnya bisnis layanan bunuh diri di Swiss yang didirikan oleh seorang pengacara dari Swiss yang bernama Ludwig A. Minelli pada tanggal 17 Mei 1998, organisasi tersebut bernama “dignitas” yang berkedudukan di kota Forch yang tak jauh dari Zurich. Anggotanya tersebar diseluruh dunia berjumlah 6.924 orang, dan telah memenuhi permintaan bunuh diri sebanyak 1.701 orang. Pada tahun 1998 hanya memenuhi permintaan 6 orang untuk bunuh diri, tetapi sekarang telah mengalami peningkatan yang sangat signifikan yang dapat terlihat dari pelanggan yang datang dari Negara-negara Jerman 840 orang, Inggris 224 orang, Prancis 159 orang, dan Swiss 154 orang. Uniknya para pemohon bunuh diri ini harus membayar sebesar 10.500 franc atau setara Rp. 140.000.000,-. Di Belanda juga telah menjamin hak untuk bunuh diri yang diberlakukan pemerintah Belanda sejak 1 April 2002. Belgia juga mengikuti langkah Belanda dengan menjamin hak untuk bunuh diri pada tanggal 22 September 2002. Ada lima Negara bagian di Amerika Serikat yang Francis Fukuyama, The Great Disruption: Hakekat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial, (Yogjakarta: Qalam, 2002), hal. 11 Dikutip Kenneth Lilard, dari How Social Media Transforms the Way We Live and Do Business, Erik Qualman; “Surfing the Liminal Domains”, John La Grou; mashable.com; and techrunch.com. di dalam buku Sosial Media and Ministry, (Copyright 2010), p. 3-4. Pikiran Rakyat, Minggu, 24 Agustus 2014, hal. 3, kol. 1-5.
6 telah turut menjamin hak untuk bunuh diri yaitu, Negara bagian Oregon, Washington, Montana, Vermont, dan New Mexico. Pada bidang ekonomi, perilaku masyarakat yang berubah adalah munculnya kegandrungan belanja secara online lewat pasar virtual atau virtual shopping, seperti toko bagus yang berubah menjadi http://www.oxl.com, berniaga.com, dll. Karl Popper menyebut masrakat yang demikian adalah masyarakat abstrak atau masyarakat yang dipersonalisasikan. Artinya suatu masyarakat yang tidak pernah saling bertemu dan terisolasi namun dapat berhubungan dengan peralatan internet dan telepon. Sesuai dengan definisi Farley tentang perubahan sosial, maka semua yang terjadi tersebut di atas dapat disebut sebagai perubahan sosial. Sebab perubahan sosial menurutnya adalah suatu perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial yang terjadi pada waktu tertentu. Perubahan Gereja Di Indonesia memasuki awal abad 21, terjadi perubahan kehidupan masyarakat yang sangat signifikan, secara khusus di kota-kota besar. Mudahnya akses internet dan munculnya smartphone, telah mengubah wajah gereja. Perubahan dapat terlihat mulai dari konsep Alkitab yang berbahan kertas menjadi Alkitab berbasis software berharga jutaan rupaih yang mengakibatkan LAI mengalami kerugian sebab tidak laku menjual Alkitab berbahan kertas, sampai dengan perubahan warta jemaat dari kertas menjadi virtual, dan dari gereja fisik/ real menjadi gereja virtual. Mudahnya akses internet dan munculnya smartphone ini juga telah membuat kehidupan komunitas sosial masyarakat kota di Indonesia menjadi autis. Namun di dunia virtual (maya) justru berkembang komunitas sosial virtual seperti facebook, twitter, LinkedIn, Path, Flickr, internet forum, BBM, Whatsup, google plus+, Tumblr, Instagram, dan my space.. Dengan demikian, komunitas social real telah digantikan dengan komunitas social maya. Komunitas social real bila dilakukan harus dilakukan dengan ekspresi bahasa tubuh seperti mimic wajah yang mencerminkan perasaan.Tetapi komunitas social maya, tidak perlu melakukan hal tersebut. Cukup dengan menambahkan ikon emosi, artinya semuanya dilakukan dengan jari (bukan lagi mulutmu harimaumu, tetapi jarimu harimaumu) dan dapat dilakukan dimana saja. Tidak mengenal ruang dan waktu, tidak mengenal kelas/ kasta, dan tidak mengenal rasa takut, sepanjang identitas resminya tidak diberitahukannya sebab tidak memerlukan KTP untuk membuka account facebook, dll. Karena kegandrungan yang seperti ini, maka tak heran muncul gagasan untuk membuka gereja virtual, seperti http://www.lifechurch.tv. lifechurch.tv adalah satu gereja yang berbasis internet yang menawarkan pelayanan on line lengkap seperti, music, fellowship, sermon, diskusi, dan live prayers. Para anggota livechurch ini dapat berbicara satu sama lain sebelum atau ketika streaming message berlangsung. Karl R. Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 214-216. Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2004), hal. 5. Kenneth Lillard, Sosial Media and Ministry, (Kenneth Lillard, copyright 2010), p. 114.
7 Gereja Northland di Orlando, Florida, telah memanfaatkan facebook untuk melakukan pelayanan pujian dan penyembahan kepada 500 juta pengguna facebook secara langsung. Bukan hanya melalui facebook, tetapi telah mencoba pelayanan pujian dan penyembahan secara live melalui Blackberry meskipun masih dalam bentuk beta. Di Indonesia, GKPB FP (Gereja Kristen Perjanjian Baru Fajar Pengharapan) Bandung, telah menggagas gereja satelit virtual. Jika gagasan lifechurch, Northland, dan GKPB FP ini diikuti oleh gereja-gereja lain, artinya terus berkembang, maka gereja telah berpindah tempat, dari gereja real/ fisik, ke gereja virtual, telah juga mengubah konsep ibadah, konsep jemaat, konsep misi/ pemuridan, dan konep pengembalaan di dalam gereja. Pertanyaannya adalah sejauhmana perubahan konsep-konsep tersebut dapat diterima? Dan apakah gereja siap dengan resiko yang ditimbulkannya, yaitu orang tidak hadir lagi beribadah di gereja? Bagaimana para Pendeta dan Gembala jemaat menyikapi tren zaman seperti ini ke depannya? Haruskah Sekolah Tinggi Teologi memasukkan pengetahuan dan penguasaan teknologi virtual/ informasi di dalam kurikulumnya, agar lulusannya dapat mengembalakan di dunia virtual? Rethinking The Church Dengan demikian perlu pemikiran ulang tentang gereja (rethinking the church), tentang konsep ibadah, konsep jemaat, konsep misi dan pemuridan, konsep pengembalaan. Konsep Jemaat Jika gereja virtual terjadi, maka akan ada jemaat virtual. Apakah itu masih sesuai dengan arti atau konsep jemaat di dalam Alkitab? Karena itu, baiklah dilihat terlebih dahulu secara etimologi arti gereja. Gereja di dalam Perjanjian Lama, berasal dari kata, “qahal” yang datang dari akar kata “qal” yang artinya memanggil. Dan kata “edhah” yang datang dari “ya’adh” yang artinya memilih atau menunjuk (Kel 12: 6; Bil 14: 5). Di dalam Perjanjian Baru, gereja berasal dari kata “ekklesia” yang dipergunakan dalam septuaginta. Kata tersebut terdiri dari “ek” dan “kaleo” yang artinya memanggil ke luar. Ekklesia diartikan juga sebagai jemaat, pada LXX ekklesia diartikan sebagai jemaat Israel; dan satu kata lain lagi yang digunakan ialah “sunagoge” yang datang dari “sun” dan “ego” yang artinya, datang atau berkumpul bersama-sama atau tatap muka (Mat 4: 23, KPR 13: 43; Why 2: 9, 3: 9). Alkitab secara umum menggambarkan gereja, sebagai jemaat, (Kel 19: 6; Yer 17: 7-10), sebagai tubuh Kristus, (Kol 1: 18-19), dan sebagai bait Roh Kudus, (1 Kor 12: 13, Ef 2: 21-22). Dengan pengertian-pengertian tersebut, gereja adalah kumpulan dari orang-orang yang dipanggil ke luar dari lingkungannya (jemaat), ke suatu tempat (area) tertentu untuk berkumpul bersama- sama atau tatap muka, untuk beribadah kepada Tuhan sebagai tubuh Kristus yang didiami Roh Kudus. Dari pengertian di atas, berarti gereja atau jemaat harus berkumpul bersama-sama dalam tatap muka, untuk beribadah kepada Allah. Pada zaman Perjanjian Lama, semua orang harus Louis Berkhof, Teologi Sistematika 5, Doktrin Gereja, (Surabaya: LRII, 1997), hal. 5.
8 pergi ke Yerusalem untuk beribadah, sebab disanalah tempat untuk beribadah kepada Tuhan. Jika demikian, maka sejauhmana konsep gereja dapat berubah menjadi gereja virtual? Artinya gereja yang melakukan ibadah tanpa tatap muka real/ fisik, hanya diwakili dengan kehadiran virtual? Atau apakah kehadiran virtual, sama dengan kehadiran real/ fisik? . Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya melihat keterangan dalam Yohanes 4: 21, 24 mengatakan bahwa “…Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan digunung ini dan bukan juga di Yerusalem.” Tetapi “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” Artinya barangsiapa mau menyembah Tuhan atau beribadah pada Tuhan harus di dasarkan pada penyembahan dalam roh dan kebenaran, bukan pada suatu tempat tertentu. Apa yang dimaksudkan disini dalam roh? Keterangan Yohanes 3: 3-5 dapat dilihat sebagai konteks dekatnya yang menjelaskan tentang perlunya seseorang dilahirkan dari roh, baru ia dapat masuk ke dalam kerajaan Allah. Jika seseorang belum dilahirkan dari roh, maka ia tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Allah. Bila seseorang tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Allah, bagaimana ia dapat menyembah Allah di dalam kerajaan-Nya. Dengan demikian, dilahirkan dari roh itu artinya dilahirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus atau sering dipergunakan dengan istilah lahir baru. Lalu apa yang dimaksudkan dengan kebenaran? Itu artinya, jika seseorang mau menyembah Tuhan harus dalam kebenaran, kebenaran seperti apa? Untuk menjelaskan ini, dapat dilihat lagi konteks Yohanes tentang kebenaran di dalam Yohanes 14: 6 “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Artinya, kebenaran itu adalah Yesus Kristus. Dengan demikian, setiap orang yang mau menyembah atau beribadah kepada Allah harus sesuai dengan Yesus Kristus (sesuai dengan ajaran-Nya). Dia menjadi patokan, tolak ukur, serta dasar untuk dapat menyembah atau beribadah kepada Allah. Dari kajian ini, maka penyembahan atau beribadah kepada Tuhan, tidak lagi di dasarkan pada tempat. Tetapi didasarkan pada dilahirkan dari Roh (lahir baru) dan sesuai dengan kebenaran (Yesus Kristus). Jika dalam menyembah Tuhan tidak mesti harus di Yerusalem, berarti terbuka kemungkinan untuk menyembah Tuhan dimana saja atau darimana saja. Bila melalui dunia maya (virtual) orang dapat menyembah Tuhan yang berdasar pada dilahirkan dari Roh (percaya kepada Yesus) dan kebenaran, maka disanapun telah terbentuk satu jemaat/ gereja.Gereja bukanlah suatu persoalan tempat secara fisik, melainkan menyangkut soal dilahirkan dari Roh dan kebenaran. Konsep Ibadah Apakah ibadah virtual dapat dijalankan? Jika dapat, diperuntukkan pada siapa ibadah tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah terlebih dahulu dijawab pertanyaan apakah ibadah? Apakah ibadah dapat diartikan sebagai seremonial saja atau menjalankan ritual ibadah pada hari minggu secara bersama-sama? Atau mungkin pengertian yang sedikit lebih luas dari hal tersebut adalah, melakukan puasa, doa, penyembahan atau segala sesuatu yang menyangkut hal-hal rohani? Pengertian seperti ini telah umum diterima oleh orang Kristen, dan inilah yang diajarkan oleh gereja terhadap jemaatnya. Tetapi apa sebenarnya ibadah, tidak pernah mendapatkan penjelasan yang baik. Sebab itu, baiklah diperiksa apa itu ibadah, Paulus menjelaskan tentang ibadah di dalam 1 Tim 4: 7-8, “… Latihlah dirimu beribadah. Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, …” Kata ibadah di sana memakai kata “eusebeia” (Yunani) yang
9 artinya kesalehan (godliness), tetapi eusebeia dapat diartikan sebagai sikap hati yang mau tunduk kepada Tuhan di dalam segala hal (holistic). Pengertian ini menjelaskan, bahwa apapun yang dikerjakan seseorang -apakah seseorang sedang memasak, mengajar, bekerja, membesarkan anak, berdoa, berpuasa dan memuji Tuhan-, ia haruslah memiliki sikap hati yang mau tunduk kepada Tuhan di dalam melaksanakan pekerjaannya tersebut (baca: saleh). Itu berarti pekerjaan tersebut merupakan ibadah (kesalehan) secara holistic, bukan terbagi dua menjadi dunia profan (bekerja, memasak, mengendarai mobil, usaha) ini disebut kesalehan social dan dunia sacral (ibadah, doa, khotbah, puasa, melayani di gereja) ini disebut kesalehan agama. Dengan demikian, Paulus tidak mengajarkan kesalehan agama saja dan juga tidak memisahkan antara kesalehan agama dengan kesalehan social. Tetapi Paulus mengajarkan agar seorang percaya kepada Tuhan menjadi beribadah atau saleh (esubeia) dalam menjalankan ritual agama dan dalam menjalankan ritual sosial. Bagaimana mungkin ini bisa? Hal ini dimungkinkan oleh karena Kristus telah menebus jemaat-Nya dari dosa (penebusan sebagai pintu masuk untuk ibadah/ saleh) dan jemaatnya akan terus berjuang melawan dosa yang bukan lagi naturnya. Barangkali itulah sebabnya Rudolf Bultman dalam Victor Paul Furnish. Berkata “the Christian is freed from sin through justivication, he ought to wage war against sin” Pengertian ibadah (kesalehan) yang demikian tentulah sangat sukar dilaksanakan, itulah sebabnya Paulus menyuruh untuk melatih hal tersebut. Mengapa harus melatih? Karena latihan membuat seseorang terlatih melakukan ibadah (kesalehan) seperti yang dimaksudkan Paulus tersebut, sehingga ia dapat melakukannya dengan mudah di dalam berkehidupan. Pengkajian ibadah ini, membawa pengertian bahwa ibadah/ kesalehan bukanlah masalah melakukan seremonial secara bersama-sama, tetapi ibadah adalah sikap hati yang mau tunduk kepada Tuhan di dalam segala hal dalam hidup jemaat-Nya. Jika sikap hati yang menentukan, apakah jemaat-Nya beribadah kepada Tuhan atau tidak, maka terbuka kemungkinan untuk dapat melakukan ibadah lewat virtual. Sebab ibadah virtual dapat dilakukan sepanjang memiliki dasar pada sikap hati yang mau tunduk kepada Allah. Tetapi jika konsep ibadah adalah seremonial, maka akan sangat kurang seru jika dilakukan seorang diri sebab hanya bersentuhan dengan layar. Ibadah yang seperti itu akan mengurangi rasa psikologis yang disebabkan telah terpola dalam ibadah seremonial. Tetapi sebenarnya tidak mengurangi hakekat dari ibadah itu sendiri, jika setuju dengan konsep eusebeia. Namun ibadah virtual, sebaiknya dilakukan untuk mereka-mereka yang tidak dapat hadir di dalam ibadah real/ fisik. Tidak dapat hadir oleh karena sakit, terkendala waktu, atau alasan lainnya yang bersifat insidentil. Konsep Misi dan Pemuridan Apakah ladang misi termasuk dunia virtual? Jika ya. Maka penginjilan harus dilakukan juga di dunia virtual. Karena itu, harus mengkaji konsep penginjilan, penginjilan semestinyalah didasarkan pada peran dan fungsi gereja, sebab penginjilan sangat berkaitan dengan pemuridan. Jika dilihat circle pemuridan yang ada di dalam Matius 28: 19-20, di sana tertulis tiga kata yang penting yaitu: Pertama, “pergilah”, itu berarti penjangkauan; kedua, “baptislah”, itu berarti memasukkan seseorang menjadi murid ke dalam satu komunitas social; ketiga, “ajarlah”, itu Theology &Ethics in Paul, (Nashville: Abindon Press, 1988), p. 262.
10 berarti melakukan pembinaan agar orang yang dimuridkan tersebut dapat melakukan proses ulang. Bagannya dapat dilihat sbb: Untuk melakukan penjangkauan harus berdasar pada fungsi dan peran gereja, fungsi gereja dapat terlihat dari keterangan 1 Pet 2: 9-10 yaitu, untuk memberitakan perbuatan- perbuatan yang besar dari Tuhan, untuk memberitakan keselamatan yang dari pada-Nya kepada segenap umat manusia, dan untuk membawa manusia dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. Sedangkan peran gereja ditengah-tengah dunia ini dapat terlihat dari pengutusan Yesus kepada 12 murid-Nya di dalam Matius 10: 5-15 dan perkataan Yeremia di dalam pasal 29: 7, yaitu untuk menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, tahirkanlah orang kusta, dan usirlah setan-setan mengusahakan pembangunan kesejahteraan kota di mana gereja berada. Dengan demikian, penginjilan / penjangkauan harus fokus pada fungsi dan peran gereja tersebut agar sesuai dengan tujuan pendirian jemaat yang digagas Yesus. Bila dari antara yang dijangkau tersebut ada yang percaya kepada Yesus, maka ia dibaptiskan. Pembaptisan tersebut sebagai perwujudan bahwa seseorang masuk dalam komunitas sosial sebagai murid Kristus. Di dalam komunitas sosial inilah ia bertumbuh semakin mengenal Kristus lewat pengajaran atau pembinaan. Pengajaran/ pembinaan apa yang ia terima? Apakah pengajaran doktrin? Tentu tidak, Frank E. Gaebelein mengatakan bahwa “What the disciples teach is not mere dogma steeped in abstract theorizing but content to be obeyed” Namun hanya ketaatan saja juga tidak mungkin, sebab ketaatan tanpa pengertian yang jelas itu hanya menjadi robot. Sebab itu apa yang perlu diajarkan? Maka harus dilihat dari konteks kitab Matius, di dalam kitab Matius pasal 22: 37-39, telah disarikan dua hal yang penting yaitu: Kasihilah Tuhan Allah-mu dan kasihilah sesama-mu manusia. Dengan demikian, maka yang harus diajarkan kepada seseorang yang telah dijangkau adalah agar dirinya mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Jadi bukan dogma suatu gereja (sekalipun ini penting untuk diajarkan), tetapi lebih kepada hubungannya kepada Allah atau berkoresponden dengan Allah dan berkoresponden dengan sesama dalam wujud mengasihi. Jika konsep pemuridan seperti di atas, maka pemuridan virtualpun dapat digagas. Sebab penjangkauan di dunia virtual dapat menjangkau lebih luas sebab lepas dari ruang dan waktu. Pemuridan di dalam dunia virtual dapat dilakukan lepas dari dogma, sehingga hanya focus kepada pengajaran bagaimana iaberkoresponden dengan Allah dan sesame dalam wujud kasih. Frank E. Gaebelein, The Expositor’s Bible Commentary vol 8, (Grand Rapids: Regency Reference Library, 1984), p. 599.
11 Konsep Pengembalaan Apa yang menjadi tugas atau fungsi seorang gembala? Jika dilihat dari Nasehat Paulus kepada Timotius, maka dapat dikatakan bahwa fungsi gembala adalah pemberitaan, pengajaran, dan peneladanan (1 Tim 4: 6, 11-16). Jika dilihat konteks Timotius ini, maka fungsi pertama seorang gembala adalah memberitakan bahwa jemaat harus hidup di dalam kesalehan/ ibadah/ eusebeia. Agar dapat hidup dan menjalankan eusebeia, maka jemaat perlu diajar. Pengajaran ini berfungsi sebagai pagar bagi jemaat, agar jemaat tidak hidup atau menuruti ajaran lain dan juga membuka pengertian dan wawasan jemaat agar tahu apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Fungsi yang ketiga adalah peneladanan, ketika gembala memberikan pengajaran, maka ia pun menghidupi ajarannya atau melakukan ajarannya. Akibatnya gembala tidak dapat dipandang rendah oleh jemaatnya, sekalipun ia masih muda. Artinya, pengajaran dan melakukan ajaran serentak ada di dalam diri seorang gembala. Bila hal tersebut di atas yang menjadi fungsi gembala, maka apabila seorang gembala mengembalakan dalam wilayah virtual, tentu tidak menjadi masalah. Sepanjang gembala tersebut dapat memberitakan bagaimana harus menjalani hidup secara eusebeia, memberikan pengajaran yang dapat menjadi pagar yang melindungi jemaat tersebut, dan ia dapat menjadi teladan (menghidupi ajarannya). Kesimpulan Perubahan social yang terjadi di masyarakat seringkali berdampak kepada perubahan gereja, itulah yang terjadi pada gereja di masa kini. Perubahan dari teknologi produksi ke teknologi informasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, telah mendorong pendirian gereja virtual di dunia maya. Sebab itu pemikiran ulang tentang gereja (rethinking the church) perlu dilakukan tentang konsep ibadah, konsep jemaat, konsep misi dan pemuridan, konsep pengembalaan. Gereja virtual akan mengubah konsep religiusitas dan spiritualitas seseorang, religiusitas telah dapat dilakukan dalam kesendirian. Pujian, penyembahan, dan mendengar Firman Tuhan telah dapat dilakukan di ruang privat dalam kesendirian dengan menonton live streaming. Ibadah telah dilakukan melampaui ruang dan waktu, di belahan dunia manapun ia berada, ia dapat ikut dalam ibadah virtual. Ruang dan waktu tidak lagi berpengaruh, yang menjadi pengaruh baginya adalah apakah ia berkoresponden dengan Allah, dalam hal ini Yesus Kristus sebagai kepala gereja. DAFTAR PUSTAKA Capra, Fritjof, 2007 The Turning Point (Titik Balik Peradaban), Jogyakarta: Jejak Copleston, Frederick,
12 1993 A History of Philosophy, New York: __ Fukuyama, Francis, 2002 The Great Disruption: hakekat manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial, Jogyakarta: Qalam Lillard, Kenneth, 2010 Social Media and Ministry. Popper, Karl R., 2002 Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya, Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Sztompka, Piotr, 2004 Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada. Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Bandung: Jalasutra, 2004. SURAT KHABAR Pikiran Rakyat, Minggu, 24 Agustus 2014, hal. 3, kol. 1-5. |