Rumah ibadah yang digunakan oleh masyarakat Indonesia yang beragama Buddha yaitu

Ilustrasi tempat ibadah Budha. Foto: iStock

Setiap agama memiliki tempat ibadah untuk berdoa atau beribadah menurut kepercayaannya masing-masing, termasuk umat Budha. Secara umum, tempat ibadah Budha dikenal dengan kuil atau biara.

Melansir BBC, kuil Buddha dirancang sebagai simbol lima elemen kehidupan, yaitu api, udara, tanah, air, dan kebijaksanaan yang dilambangkan dengan bagian puncak bangunan.

Agama Budha sendiri mengenal 4 macam tempat ibadah yang dapat dikunjungi umatnya, yaitu Vihara, Stupa, Pagoda, dan Candi. Untuk mengetahui lebih jauh tentang keempat tempat ibadah Budha tersebut, simak ulasan lengkapnya berikut ini.

Ilustrasi Vihara. Foto: iStock

Tempat ibadah Budha yang pertama adalah Vihara. Sejatinya, Vihara berfungsi sebagai pusat kegiatan agama dan kebudayaan umat Budha. Karena itu, komplek Vihara juga dimanfaatkan sebagai tempat belajar, berkumpul, serta tempat tinggal para Bhikkhu.

Ada pula Vihara dalam skala kecil yang disebut sebagai cetiya. Mengutip buku Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti oleh Karsan dan Effendhie Tanumihardja, Cetiya hanya berfungsi sebagai tempat kebaktian saja. Tempat kebaktian itu disebut dengan baktisala.

Di dalam ruang puja bakti Vihara terdapat altar yang berfungsi sebagai tempat diletakkannya Buddha Ruppang. Ini digunakan umat Buddha sebagai objek untuk menghormati dan mengingat Buddha Gotama. Selain itu, terkadang altar dilengkapi dengan Bodhisattva Rupang serta benda-benda puja, seperti dupa, lilin, air, dan bunga.

Tak sedikit masyarakat awam yang menyamakan Vihara dengan Klenteng meski faktanya keduanya berbeda. Kelenteng adalah tempat ibadah umat Konghucu yang kebanyakan digunakan untuk memohon sesuatu dan bersifat pribadi. Sedangkan di Vihara, peribadatan lebih bersifat kebaktian serta dapat diisi ceramah oleh Bhikkhu atau Dharmaduta.

Stupa adalah lambang agama Budha yang terlihat seperti mangkuk terbalik berbentuk persegi empat atau segi delapan dengan tongkat di atasnya sehingga bentuknya menyerupai lonceng.

Stupa menjadi identitas yang menandakan suatu bangunan suci beragama Budha. Di beberapa wilayah, stupa merupakan lambang bagi tempat penguburan barang peninggalan yang berharga. Karenanya, keberadaan stupa sering menjadi peringatan dan penghormatan atas kehadiran Sang Budha beserta ajaran-ajarannya.

Ilustrasi Pagoda. Foto: iStock

Pagoda adalah tempat ibadah Budha semacam Menara tinggi yang memiliki atap bertumpuk-tumpuk. Secara umum, pagoda memiliki arsitektur khas Tiongkok.

Mengutip laman china.org.cn, Pagoda mulanya digunakan sebagai tempat penyimpanan jasad Sakyamuni, pendiri ajaran Budha. Tujuannya adalah untuk melestarikan peninggalan-peninggalannya.

Perkembangan arsitektur bangunan Pagoda di setiap negara berbeda-beda, sesuai dengan perkembangan sejarah dan budaya bangsa tersebut. Misalnya, China, Korea, dan Jepang memiliki tipe Pagoda dengan atap berbentuk persegi yang khas pada setiap tingkatnya. Di sana, Pagoda lebih berfungsi sebagai monument.

Berbeda dengan Pagoda di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand, di mana bagian atap Pagoda berbentuk kerucut atau piramid dan berfungsi sebagai tempat ibadah.

Candi merujuk pada bangunan keagamaan yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat ritual ibadah, pemujaan dewa-dewi, penghormatan leluhur, ataupun untuk memuliakan Sang Buddha.

Arsitektur candi biasanya dihiasi dengan relief dan arca yang bertujuan untuk menyampaikan pesan kepada para umat saat mengunjunginya.

Salah satu candi Budha paling terkenal di Indonesia adalah Candi Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah. Sampai sekarang, Borobudur digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan. Setiap tahunnya, umat Budha dari berbagai daerah datang dan berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak.

Selain Borobudur, ada sejumlah nama candi yang juga terkenal di Indonesia. Misalnya, Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Pawon, dan sebagainya.

Wihara (bahasa Sansekerta: विहार Vihara) adalah sebutan bagi rumah ibadah umat Buddha di Indonesia.

Rumah ibadah yang digunakan oleh masyarakat Indonesia yang beragama Buddha yaitu

Suatu wihara di Kota Malang.

Wihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakan kuil. Klenteng adalah rumah ibadah penganut taoisme, maupun konfuciusisme. Tetapi di Indonesia, karena orang yang ke Wihara/kuil/klenteng umumnya adalah etnis Tionghoa, maka menjadi agak sulit untuk dibedakan, karena umumnya sudah terjadi sinkritisme antara Buddhisme, Taoisme, dan Konfuciusisme.[1] Salah satu contohnya adalah Vihara Kalyana Mitta yang terletak di daerah Pekojan, Jakarta Barat.

Banyak umat awam yang tidak mengerti perbedaan antara klenteng dan Wihara. Klenteng dan Wihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat dan fungsi. Klenteng pada dasarnya berarsitektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain fungsi spiritual. Wihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, wihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada Wihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok.

Perbedaan antara klenteng dan wihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa G30S pada tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa, termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa, oleh pemerintah Orde Baru.[2] Klenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian mengadopsi istilah dari bahasa Sanskerta ataupun bahasa Pali, mengubah nama sebagai Vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan. Dari sinilah kemudian umat awam sulit membedakan klenteng dengan Vihara.

Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak wihara yang kemudian mengganti nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai klenteng daripada wihara.

  1. ^ Tionghoa.info, Klenteng
  2. ^ Jaringnews. Inpres zaman orba yang larang perayaan Imlek Diarsipkan 2014-05-14 di Wayback Machine.
  • Chakrabarti, D.K. (1995). Buddhist sites across South Asia as influenced by political and economic forces. World Archaeology 27(2): 185-202.
  • Mitra, D. (1971). Buddhist Monuments. Sahitya Samsad: Calcutta. ISBN 0-89684-490-0.
  • Tadgell, C. (1990). The History of Architecture in India. Phaidon: London. ISBN 1-85454-350-4.
  • Khettry, Sarita (2006). Buddhism in North-Western India: Up to C. A.D. 650". R.N. Bhattacharya: Kolkata. ISBN 978-81-87661-57-3.
  • Rajan, K.V. Soundara (1998). Rock-cut Temple Styles: Early Pandyan Art and The Ellora Shrines. Mumbai: Somaiya Publications. ISBN 81-7039-218-7. 
  • (Inggris) Lay Buddhist Practice: The Rains Residence Diarsipkan 2005-04-05 di Wayback Machine.
  • (Inggris) Mapping Buddhist Monasteries
 

Artikel bertopik Agama Buddha ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Wihara&oldid=19689314"