Santi menarikan tari Bedhaya Ketawang pertanyaan yang sesuai adalah

Kontroversi Masyarakat Jawa Terhadap Keberadaan Tari Bedhaya Segoro Kidul Di Bali, Sebuah Kritik Seni Oleh Ni Ketut Santi Sukma Melati Mahasiwa Program Studi Seni Program Magister Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Denpasar ABSTRAK Tari Bedhaya merupakan tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta upacara peringatan kenaikan tahta Sunan Surakarta. Budaya Islam ikut memengaruhi bentukbentuk tari yang berkembang sejak zaman Majapahit. Penari yang semula berjumlah 7 orang, kemudian dirubah Sunan Kalijaga menjadi 9 penari, disesuaikan dengan jumlah Wali Sanga. Oleh Sunan Pakubuwono I dinamakan Bedhaya Ketawang, termasuk jenis Tarian Jawa Bedhaya Suci dan Sakral. Di beberapa tempat, ada kepercayaan masyarakat, bahwa setiap Tari Bedhaya Ketawang dipertunjukkan, dipercaya Kangjeng Ratu Kidul akan hadir sebagai penari ke sepuluh. Dalam mitologi Jawa, sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa. yang disebut dengan Nawasanga. Saat ini di Bali juga telah diciptakan tari Bedhaya Segoro Kidul oleh Senator Arya Wedakarna sebagai konseptor, dan I Gede Suta Bagas Karayana sebagai Koreografer. Inspirasinya dari Jawa yang menggunakan pemaknaan dan bentuk yang hampir serupa dengan tari Bedhaya yang ditarikan di Keraton. Penarinya delapan orang sebagai abdi [dayang] dan satu orang penari sebagai Ratu Pantai Laut Selatan. Bentuk koreografinya percampuran antara gerak tari Bali dan didominasi oleh gerak tari Jawa. Kostumnya bernuansa hijau dan menggunakan tatanan penggunaan busana tari Bedhaya di Jawa. Keberadaan tari Bedhaya Segoro Kidul di Bali memunculkan kontroversi, terutama dari kalangan masyarakat Jawa, yang sangat paham terhadap keberadaan konsep Bedhaya. Kata Kunci: Penobatan, Tahta, Ratu Kidul, Nawasanga, Kontroversi. A. PENDAHULUAN

Tari Bedhaya adalah sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta [upacara peringatan kenaikan tahta raja]. Nama Bedhaya sendiri berasal dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana. Semuanya diwujudkan dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sampur dan lain sebagainya. Semua kata-kata yang tercantum dalam tembang [lagu] yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran isi dari cerita tari diangkat pada sebuah tari Bedhaya. Budaya Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari yang berkembang sejak zaman Majapahit. Seperti penari yang semula berjumlah 7 orang, kemudian berubah menjadi 9 penari, disesuaikan dengan jumlah Wali Sanga. Ide Sunan Kalijaga tentang Bedhaya dengan 9 penari ini akhirnya sampai pada Mataram Islam, tepatnya sejak perjanjian Giyanti pada 1755 oleh Pangeran Purbaya, Tumenggung Alap-alap dan Ki Panjang Mas, maka disusunlah Bedhaya dengan penari berjumlah 9 orang. Hal ini kemudian dibawa ke Keraton Kasunanan Surakarta. Oleh Sunan Pakubuwono I dinamakan Bedhaya Ketawang, termasuk jenis Tarian Jawa Bedhaya Suci dan Sakral. Contoh Tari Bedhaya di Kerton Yogyakarta Di beberapa tempat menurut kepercayaan masyarakat, setiap Tari Bedhaya Ketawang ini dipertunjukkan, maka dipercaya Kangjeng Ratu Kidul akan hadir dalam upacara dan ikut menari sebagai penari ke sepuluh. Tari Bedhaya Ketawang ini dibawakan oleh sembilan penari. Dalam mitologi Jawa, sembilan penari Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan

arah mata angin yang dikuasai oleh sembilan dewa yang disebut dengan Nawasanga. Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh penarinya. Syarat utama adalah penarinya harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid. Jika sedang haid, maka penari tetap diperbolehkan menari dengan syarat harus meminta izin kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan dilakukannya caos dhahar di Panggung Sangga Buwana, Keraton Surakarta. Syarat selanjutnya yaitu suci secara batiniah. Hal ini dilakukan dengan cara berpuasa selama beberapa hari menjelang pergelaran.. Kesucian para penari benar-benar diperhatikan, karena konon kabarnya Kangjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung. B. TARI BEDHAYA DI BALI Tidak hanya di Jawa, saat ini Bali juga telah memiliki tari Bedhaya yang diciptakan pada 2016 oleh Senator Arya Wedakarna sebagai konseptor, dan I Gede Suta Bagas Karayana sebagai Koreografer. Karya ini mengambil inspirasi dari jawa yang menggunakan pemaknaan dan bentuk yang hampir serupa dengan tari Bedhaya yang ditarikan di Keraton. Karya ini berjudul tari Bedhaya Segoro Kidul dengan menggunakan delapan orang penari sebagai abdi [dayang] dan satu orang penari sebagai Ratu Pantai Laut Selatan. Bentuk koreografi yang dihasilkan percampuran antara gerak tari Bali dan didominasi oleh gerak tari Jawa. Nuansa kostumnya pun bernuansa hijau dan menggunakan tatanan penggunaan busana tari Bedhaya di Jawa. Tari Bedhaya Segoro Kidul dipentaskan hanya tiga kali dalam setahun, yaitu pada bulan Agustus, November dan Desember, yang berlokasi di Istana Mancawarna Tampaksiring dan Pura Durga Kutri. Tari ini juga difungsikan sebagai tari persembahan kepada raja-raja yang hadir pada saat pementasan. Terlahirnya karya ini juga dimaksudkan untuk dijadikan maskot di Istana Mancawarna oleh bapak senator, dengan andil ingin menyamai tradisi kebudayaan Keraton Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kegemaran Senator Arya Wedakarna terhadap Ratu Pantai Laut Selatan menjadikan alasan dari konsep tari Segoro Kidul. Kesembilan penari ini juga menggunakan nama-nama layaknya penari di Keraton, dan sampai saat ini karya ini masih dipertahankan sesuai dengan peraturan dari pemilik. Keberadaan tari Bedhaya Segoro Kidul di Bali memunculkan kontroversi di kalangan masyarakat. Terutama masyarakat Jawa yang sangat paham terhadap keberadaan konsep Bedhaya. Hal ini menyebabkan Bali beserta senimannya mendapat tudingan yang sangat keras dari seniman Jawa. Karena banyaknya hal yang tidak sesuai dan konsep Bedhaya yang telah lama menjadi kebanggaan bagi masyarakat Jawa, khususnya Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Contoh dari Tari Bedhaya Segoro Kidul di Bali C. PEMBAHASAN Sembilan penari Bedhaya Ketawang memiliki nama dan fungsi masing-masing, Tiap penari tersebut memiliki simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya: Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa. Penari ke dua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu. Penari ke tiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan. Penari ke empat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan. Penari ke lima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri. Penari ke enam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri. Penari ke tujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan. Penari ke delapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan. Penari ke sembilan disebut Buncit yang disimbolkan sebagai organ seksual. Penari ke sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang yang merupakan simbol tawang atau langit. Busana yang digunakan oleh para penari Bedhaya Ketawang adalah dodot ageng atau disebut juga basahan, yang biasanya digunakan oleh pengantin perempuan Jawa. Berbeda halnya dengan tari Bedhaya Segoro Kidul, pada karya ini, busana yang digunakan adalah kain batik yang telah di desain sedemikian rupa, dan menggunakan penutup badan berbentuk ankin. Aksesoris yang digunakan juga memiliki bentuk-bentuk yang menyerupai tari jawa pada umumnya. Namun pada hiasan kepala, terdapat kekeliruan pada pemasangan dan

penggunaan pada beberapa atribut, seperti penggunaan crown pada tari Bedhaya Segoro Kidul yang sejatinya pada tari Bedhaya aslinya tidak menggunakan hiasan gtersebut. Tata letak paes pada tari Bedhaya Segoro Kidul juga tidak sesuai pada tempatnya. Hal ini disebabkan karena penata rias dan koreografer tidak sangat paham tentang keaslian dari tradisi di Jawa. Jika dilihat dari segi koreografi dan pola gerak, pada tari Bedhaya di Yogyakarta maupun di Surakarta, sangat mengutamakan kualitas dari dari penari, serta nama-nama kesembilan penari memiliki makna tersendiri yang juga akan menentukan postur tubuh yang cocok sebagai penari Bedhaya. Syarat koreografi pada tari Bedhaya juga menjadi ciri khas dan sebuah pakem dari tari keraton, seperti adanya sebuah keharusan dihadirkannya pola lantai. Adapun konsep struktur di dalam tari bedhaya adalah terdiri dari maju gending, bagian isi, dan mundur gending. Serta bagian isi terdiri dari rakit lajur, rakit tiga-tiga, dan rakit gelar [Kustianti, 2018:2]. Pada tari Bedhaya Segoro Kidul, hal tersebut tidak terlalu diperhatikan, dan pada pola laintai dan pola gerak tidak terdapat syarat seperti yang disebutkan di atas. Hal di atas, menyebabkan banyaknya pendapat yang mengarah pada ketidakterimaan masyarakat pemiliki terhadap keberadaan tari Bedhaya Segoro Kidul, yang mengatasnamakan kata tari Bedhaya pada karya tersebut. Mengingat tari bedhaya adalah tari Jawa yang sudah ada patokan baku dan telah memiliki konsep yang tegas, maka setiap penata tari bedhaya wajib mengikuti konsep tersebut, meskipun dalam hal gerak dan pola lantai pada rakit gelar, seorang penata tari bebas untuk mengembangkannya [Kustiyanti, 2018:3]. Masyarakat pemiliki tari bedhaya yang paham terhadap hal tersebut menjadikan kekeliruan yang terjadi pada tari Bedhaya Segoro Kidul sebagai alasan kuat untuk menghentikan dipentaskannya karya tersebut. Oleh karena masyarakat pemilik merasa adanya pemerkosaan terhadap seni dan budaya yang mereka miliki. Jika diamati lebih mendalam, kontroversi ini akan berakhir, bahkan tidak akan pernah terjadi jika, penggunaan kata Bedhaya pada tari Bedhaya Segoro Kidul tidak dihadirkan. Oleh karena, makna Bedhaya adalah hanya untuk tarian Keraton sedangkan, karya tari yang diciptakan di Bali menyerupai tari bedhaya, tetapi tidak dipentaskan di Keraton itu disebut tari Bedhayan. Akan tetapi karya tari Bedhaya Segoro Kidul, jika dinilai dari segi bentuk dan wujudnya, lebih mengarah ke tari kreasi baru yang imajinasinya terinspirasi dari warna tari Jawa. Sehingga, sebaiknya kata Bedhaya dihilangkan dari lebel karya tersebut, maka karya tersebut akan memiliki bobot dan nilai originalitas yang tinggi. D. SIMPULAN

Tari Bedhaya merupakan tarian yang hanya ditarikan di Keraton. Sedangkan sedangkan tari yang dipentaskan di luar keraton, tarian tersebut disebut tari Bedhayan. Padahal, kata Bedhaya merupakan hal yang diyakini kesakralannya oleh masyarakat pemilik. E. SARAN Saran penulis kepada para kreator-kreator muda, agar memahami terlebih dahulu mengenai konsep dari karya yang akan direalisasikan. Agar mampu mempetakan antara karya yang bisa dikembangkan dan tidak. Penggunaan istilah dari budaya luar daerah juga diperhatikan sebab, akibat, serta dampak yang akan ditimbulkan, agar tidak menjadi sebuah bumerang bagi koreografer maupun konseptor. Sehingga karya-karya yang dihasilkan akan memiliki bobot yang tinggi, serta nilai originalitas yang tepat. DAFTAR REFERENSI Hadi, Y. Sumandiyo. 2001. PASANG SURUT TARI KLASIK YOGYAKARTA, Pembentukan- Perkembangan-Mobilitas. Yogyakarta: CV. Media Pressindo. Yogyakarta. Kustiyanti, Diah dan Sulistyani. 2015. Tari Nusantara [Jawa]-Buku Ajar.Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar. Kustiyanti, Diah dan Sulistyani. 2018. Laporan Penciptaan Hibah Penelitian dan Penciptaan Seni Tari Bedhaya Putri Cina Bhatari Krodha. //id.wikipedia.org/wiki/bedaya_ketawang //www.youtube.com/watch?v=m3zqmxcmfoi

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề